Susilo Bambang Yudhoyono, “Why Indonesians Think This Man Can Save Their Country”

KETIKA menurunkan laporan mengenai Susilo Bambang Yudhoyono, dengan judul cover “The Populist General”, majalah politik dan ekonomi terkemuka Far Eastern Economic Review, 8 Juli 2004, menggunakan sub judul “Why Indonesians think this man can save their country”. Tanpa tanda tanya, karena laporan tersebut memang sedang mencoba menyimpulkan kenapa rakyat Indonesia percaya bahwa tokoh berlatarbelakang militer itu akan sanggup menyelamatkan negeri kepulauan ini, dan bukannya kepada sederetan tokoh lainnya. Dalam pemilihan presiden 5 Juli tahun itu, ada 4 tokoh lainnya yang ikut sebagai kandidat, Megawati Soekarnoputeri, Jenderal Wiranto, Amien Rais dan Hamzah Haz. Semuanya tumbang di hadapan SBY. Menurut FEER kala itu rakyat Indonesia percaya bahwa Susilo Bambang Yudhoyono akan mampu memberi jawaban terhadap apa yang dibutuhkan rakyat dalam kehidupan ekonomi-keuangan, menyediakan lapangan kerja, mengatasi kriminalitas dan memberantas korupsi.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, FAR EASTERN ECONOMIC REVIEW 2004. “Sekarang mungkin kita bisa meminjam judul 2004 FEER menjadi sebuah pertanyaan, “why Indonesians think these men can save their country?”. Tertuju kepada semua, tak hanya kepada Susilo Bambang Yudhoyono seorang”.

Kini, setelah waktu berlalu selama 8 tahun, pada bagian akhir kalimat itu satu tanda tanya mungkin perlu ditambahkan, sehingga menjadi “Why Indonesians think this man can save their country?”, saat kesangsian bermunculan terhadap kepemimpinannya. Sebagian dari yang dulu berada dalam barisan orang-orang percaya, kini kehilangan kepercayaan. Bersamaan dengan itu, sepanjang yang bisa diikuti dalam pengarahannya pada 1 April 2012 –yang dikatakan sebagai pidato internal Partai Demokrat yang telah dibocorkan– Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sebaliknya memperlihatkan telah hilang kepercayaan kepada partai-partai yang menjadi mitranya dalam koalisi yang dibentuknya sebelum dan sesudah Pemilu 2009. Kalau kebocoran rekaman pidato 1 April itu terjadi di luar pengetahuan dan kemauannya selaku Ketua Dewan Pembina, ia pun patut kehilangan kepercayaan kepada kader-kader partainya. Sebab, siapa yang bisa membocorkan, kalau bukan dari antara kader-kader Partai Demokrat sendiri?

BERBEDA dengan berbagai pidatonya yang selalu disiapkan dengan bantuan teks elektronik, dalam pengarahan 1 April, tata bahasa yang digunakan SBY saat itu tak terlalu rapih, mungkin karena itu adalah pidato lisan di kala gusar. Di sini terlihat beberapa kesamaan antara SBY dengan Soeharto, yakni sama-sama bertatabahasa tak rapih bilamana menyampaikan pidato tanpa teks. Biasanya, Presiden Soeharto berpidato tanpa teks bila ia sedang gusar, entah karena dwifungsi ABRI dan kekuasaannya sedang dikecam, entah karena keluarganya disinggung para pengeritik. Saat gusar, Soeharto bisa menggunakan kata-kata semacam “ta’ gebug”, “akan saya hadapi selaku pengemban daripada Super Semar”, “apa saya dianggap mau mempertahankan kursi presiden?”. Pernah juga Soeharto menantang, bahwa bila ada yang menghendaki dirinya mundur, “ndak perlu ribut-ribut, gunakan kesempatan Sidang MPR…. Kalau mau lebih cepat lagi bikin Sidang Istimewa MPR”. “Jangan coba-coba tindakan inkonstitusional, akan saya hantam, siapa saja”.

Sekilas lintas, dengan mendengar rekaman pidato ‘bocor’ SBY serta analisis semiotika sederhana  atas kalimat-kalimat pada 1 April itu, tak salah bila disimpulkan bahwa Ketua Dewan Pembina partai berkuasa ini, memang sedang gusar. Pertama-tama ia gusar kepada setidaknya dua partai satu koalisi, yakni Partai Golkar dan PKS. Tentang pertemuan membahas rencana kenaikan harga BBM dengan para Ketua Umum partai-partai yang tergabung dalam Setgab, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan “setelah berbicara kurang lebih dua setengah jam….. semuanya seolah-olah kompak, bersatu, sama posisi…”. Tapi, mengaku punya ‘pengalaman’ dengan perangai tertentu anggota koalisi, SBY bilang “Oleh karena itu pada saat konperensi pers, saya tidak terlalu cepat mengatakan bahwa koalisi sudah kompak, tidak. Karena, sekali lagi pengalaman….”.

Dalam kaitan Sidang Paripurna DPR 30 Maret 2012 yang membahas perubahan atas UU No. 22 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012, bilamana dibiarkan ada 3 opsi untuk di-voting, menurut SBY,  “We will lose, karena banyak sekali orang yang mudah ingkar janji, ingkar kesepakatan”. Tak salah lagi, yang tak dipercayai SBY di sini terutama adalah Golkar dan PKS. Dan mungkin juga, beberapa anggota koalisi lainnya yang memberi rumusan yang bersayap dan ada sedikit warna abu-abunya, seperti dilakukan PPP dan PAN. Soal PKS, tak usah disebut lagi karena dengan tegas sudah dinilai SBY sebagai mitra yang tidak jelas sikapnya. SBY juga mengklaim bahwa gagasan untuk mematok perubahan ICP 15 persen dalam 6 bulan sebagai dasar untuk menaikkan harga BBM bukanlah sepenuhnya dari Golkar seperti yang diklaim Aburizal Bakrie, melainkan sesuai pengarahan dari dirinya ke para menterinya dan Partai Demokrat.

TERLEPAS dari itu semua, dengan ‘bocoran’ pidato 1 Mei Susilo Bambang Yudhoyono, apakah itu betul-betul bocor ataupun sengaja dibocorkan, bagaimanapun menjadi jelas bagi kita semua bahwa kebanyakan partai –untuk tidak mengatakannya semua– dalam isu naik tidaknya harga BBM tidaklah betul-betul meletakkan kepentingan rakyat banyak di tempat teratas. Ini tak terlalu sulit diukur, cukup dengan melihat sikap dan ucapan-ucapan para tokoh partai tentang kebijakan kenaikan BBM yang berubah-ubah setiap waktu sesuai arah angin kepentingan politik. Bisa juga diukur dengan sikap yang mencla-mencle para politisi di DPR tatkala berdialog atau bertemu pengamat maupun kelompok mahasiswa yang menentang kenaikan BBM per saat itu. Sekelompok mahasiswa BEM misalnya, menjadi kesal setelah bertemu tokoh PDIP Anung Pramono yang kebetulan menjadi salah satu pimpinan DPR. Kekesalan itu berbuntut dengan insiden penurunan gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di lobby gedung DPR sesudah pertemuan.

Mengamati perilaku politik partai-partai selama ini, mungkin tak terlalu salah juga tudingan SBY dalam pidato 1 April, tentang adanya konspirasi di balik peristiwa. Seperti halnya Jenderal Soeharto, maka Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono dalam membaca situasi juga suka mendasarkan diri pada teori konspirasi. Kita kutip tudingan SBY sebagaimana adanya dalam transkripsi rekaman, berikut ini. “Jadi yang tidak setuju menaikkan BBM, bukan untuk rakyat. Sebuah parpol yang pimpinannya pernah menjadi presiden, juga menaikkan harga BBM. Jadi kali ini bukan untuk rakyat. Supaya SBY, pemerintah dan Partai Demokrat jatuh. Ada juga setuju BBM naik, tapi tidak setuju membantu rakyat miskin, sama saja. Karena begitu kita naikkan BBM, presiden tidak diberikan ruang melalui UU yang ada untuk  memberikan bantuan kepada masyarakat kita dengan social protection, akan terjadi gelombang kemarahan di seluruh Indonesia, karena mereka akan menjerit dan kemudian pemerintah akan dituntut dan akan jatuh juga. Itu semua, silat lidah, talkshownya ke sana ke mari, tapi intinya pemerintah diharapkan jatuh secepat-cepatnya. Tentu, tidak seorang presiden pun yang mau dikadali, yang mau dibegitukan dan oleh karena itulah kita berikhtiar, berupaya dan berjuang”.

Bila kejadian sesungguhnya dalam proses pembahasan harga BBM ini, adalah tepat sebagaimana yang dipaparkan SBY, pada sisi sebaliknya kita juga bisa merasakan adanya nuansa tricky yang dilakukan pemerintah dalam kaitan ini. Kepada publik, para pejabat dan politisi partai pendukung pemerintah dengan gencar telah menggambarkan betapa situasi seakan sudah di ujung tanduk, sehingga bila harga BBM tak naik per 1 April, negara ini dengan segera collapse. Ternyata, dari pidato tanggapan Menteri Keuangan saat menerima keputusan paripurna DPR Jumat 30 Maret menuju Sabtu 31 Maret dinihari, pemerintah sebenarnya telah siap dengan skenario-skenario tindakan bila tidak menaikkan harga BBM per 1 April. Adalah SBY sendiri yang menyatakan semacam ‘kepuasan’ karena pemerintah mendapatkan kembali wewenangnya untuk sewaktu-waktu bisa menaikkan harga BBM tanpa perlu persetujuan DPR lagi, melalui ketentuan Pasal 7 Ayat 6a. Itu jelas legitimasi dan legalitas, ujar SBY. “Saudara di DPR jangan semua diborong, itu sistem seperti parlementer, wrong. Ini sistem presidensil, DPR itu hanya menetapkan berapa subsidi. Pemerintah menjaga subsidi tidak melampaui defisit. Bagaimana pemerintah menjaga subsidi?  Terserah. Nah kalau semua dikontrol DPR, berarti gak perlu ada lembaga eksekutif. Amat riuh kalau dibawa ke dewan”.

NAMUN ada satu hal di sini yang telah dilupakan oleh para politisi dalam kekuasaan pemerintahan maupun kekuasaan legislatif. Saat mereka ‘bermain-main’ politik dalam menetapkan apakah harga BBM naik atau tidak (atau subsidi dikurangi atau tidak), saat itu pula harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari di pasar, sudah meluncur ke atas mencekik leher kaum akar rumput. Siapa yang mau menghitung dan mengganti kerugian kaum bawah ini?

Sekarang mungkin kita bisa meminjam judul 2004 FEER menjadi sebuah pertanyaan, “Why Indonesians think these men can save their country?”. Tertuju kepada semua, tak hanya kepada Susilo Bambang Yudhoyono seorang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s