“Terlihat gejala keputusasaan yang makin meluas karena deraan kesulitan ekonomi dan penghancuran harkat dan martabat sebagai manusia yang merupakan bagian dari suatu proses kegagalan sosiologis yang panjang. Ada ibu yang minum racun tikus dengan mengajak anak-anaknya. Ada anak-anak usia sekolah yang bunuh diri ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa orangtuanya tak mampu membiayai mereka bersekolah. Ada suami yang menggorok leher isterinya lalu mencoba membunuh dirinya sendiri karena merasa tak mampu lagi bertahan secara ekonomis. Karena tekanan yang sama, ada satu keluarga membakar diri bersama. Tersedia daftar contoh yang panjang untuk ini”.
WAKTU boleh berjalan, berbagai perubahan mungkin saja telah terjadi dan membuat tampilan luar wajah Indonesia –yang sebentar lagi memasuki usia kemerdekaan 65 tahun– juga banyak berubah. Tetapi selama puluhan tahun ada yang secara esensial tetap saja tidak berubah: Keadilan sosial yang dinanti-nantikan seluruh rakyat belum juga kunjung tercapai. Beberapa pemerintahan yang silih berganti di Indonesia ini, tak satu pun hingga sejauh ini berhasil mendekati cita-cita yang tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar itu.
Berkali-kali beberapa pemerintahan memang sempat cukup berhasil menjalankan pembangunan ekonomi, di antaranya ada yang bisa mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai. Ada kenaikan GNP karena beberapa jenis ekspor meningkat, tetapi pertumbuhan itu tak pernah berhasil meneteskan ke bawah rezeki yang bisa dinikmati mayoritas rakyat banyak. Pola pertumbuhan ekonomi yang tak adil di negara berkembang seperti gambaran Rostow terjadi di sini. Delapan puluh persen hasil pembangunan dinikmati oleh dua puluh persen golongan atas, sementara delapan puluh persen kalangan akar rumput hanya bisa menikmati dua puluh persen dari hasil pembangunan itu.
Kebijakan elitis.Kenyataan empiris menunjukkan bahwa penyebab dari kegagalan distribusi kenikmatan pembangunan itu adalah karena tak sedikit kebijakan elitis yang dijalankan pemerintahan-pemerintahan Indonesia dari waktu ke waktu itu “cenderung senantiasa lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”. Kecenderungan yang sama kembali terjadi pada banyak kebijakan pemerintahan yang sekarang. Maka, situasi akhir pengaruhnya di masyarakat, juga tak berbeda banyak, untuk tidak mengatakannya dalam beberapa hal lebih buruk ketika terakumulasi dengan hasil kegagalan-kegagalan warisan masa lampau. Pelaku-pelaku ekonomi akar rumput yang berdagang di pasar-pasar tradisional tetap bergelimpangan karena serbuan persaingan jaringan supermarket atau hypermarket yang juga ikut menjual kebutuhan sehari-hari seperti sayur kangkung, cabe, terasi dan sebagainya. Secara teoritis, para petani atau nelayan penghasil bahan makanan kebutuhan pokok sehari-hari bisa tetap tertolong bilamana produksi mereka ikut dipasarkan di jaringan pasar-pasar modern itu, tetapi faktanya para produsen itu harus menjual melalui pemasok-pemasok yang bisa menarik keuntungan jauh di atas para produsen itu sendiri. Itu sekedar satu contoh bagaimana kita ‘harus’ menerima mekanisme pasar yang elitis bekerja. Apalagi, diakui atau tidak, mayoritas pelaku utama ekonomi kita yang memegang kendali terbesar porsi ekonomi, adalah kaum fundamentalis pasar bebas.
Kita ingin meminjam catatan berusia 37 tahun lampau seraya melakukan beberapa perbandingan dengan apa yang terjadi pada masa-masa terbaru saat ini. Pada tahun 1970-an, berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan, para penguasa menunjukkan sifat kanibal terhadap rakyatnya sendiri, di pedesaan maupun diperkotaan. Di wilayah perkotaan, dengan bersemangat para penguasa, dengan berbagai alasan, tak segan-segan ‘membersihkan’ kota dari mereka, kalangan akar rumput, yang kerap dikategorikan sampah masyarakat. Semangat ini lebih dominan daripada itikad memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Kalangan akar rumput yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila.
Dalam beberapa segi, dengan sekedar melihat gejala permukaan, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, yang dilakukan para penguasa itu adalah jalan pintas dengan melikwidir manusia yang dianggap sampah itu, bukannya membenahi sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Bandingkan dengan kenyataan empiris yang terjadi saat ini untuk persoalan-persoalan yang sama.
Sejak 30-40 tahun lampau telah muncul kerisauan, kemungkinan apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat akibat kebijakan-kebijakan yang tidak adil? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya. Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.
Sampai kini pola reaksi serupa masih berlaku di masyarakat, antara lain dalam berbagai bentuk tindakan anarkis, yang satu dan lain sebab terkait pula dengan makin galak dan bahkan makin ganasnya aparat penertiban tatkala menangani aksi-aksi masyarakat. Pada sisi lain, terlihat gejala keputusasaan yang makin meluas karena deraan kesulitan ekonomi dan penghancuran harkat dan martabat sebagai manusia yang merupakan bagian dari suatu proses kegagalan sosiologis yang panjang. Ada ibu yang minum racun tikus dengan mengajak anak-anaknya. Ada anak-anak usia sekolah yang bunuh diri ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa orangtuanya tak mampu membiayai mereka bersekolah. Ada suami yang menggorok leher isterinya lalu mencoba membunuh dirinya sendiri karena merasa tak mampu lagi bertahan secara ekonomis. Karena tekanan yang sama, ada satu keluarga membakar diri bersama. Tersedia daftar contoh yang panjang untuk ini.
Meskipun tak jarang terseret dalam arus ‘radikalisasi’ maupun ‘anarki’, petani-petani yang hidup di pedesaan secara umum cenderung bersikap nrimo, meskipun di tahun 1970-an misalnya beras mereka dibeli paksa oleh pemerintah. Dan dari antara mereka inilah yang setelah merasa kehidupannya makin terjepit di desa lalu lari ke kota-kota dan menjadi penganggur, gelandangan dan sebagainya. Kecuali satu kasus agressivitas berupa pengeroyokan seorang pamong desa di Jawa Timur oleh sejumlah petani pada tahun 1970-an dan radikalisasi karena pengaruh politik sebelum tahun 1965, pada umumnya rakyat pada lapisan akar rumput di perkotaan maupun pedesaan ‘memilih’ bersikap apatis dan atau maksimal sikap pelampiasan horizontal. Salah satu contohnya, tukang-tukang becak yang menggerutu lalu bersikap asosial kepada para penumpangnya atau melanggar peraturan setiap ada kesempatan. Sekali-sekali bahkan sempat melakukan kerusuhan. Pedagang-pedagang kaki lima yang main kucing-kucingan dengan petugas, bahkan menempuh jalan ‘suap’ kecil-kecilan agar tak dilabrak. Dan sebagainya yang mustahil untuk dihadapi dengan cara tambal sulam.
Sebenarnya pada hakekatnya manusia itu punya pula reaksi-reaksi positif disamping yang negatif. Reaksi positif itu mampu menghilangkan ketegangan, yang bisa terjadi bila masyarakat bisa dibimbing untuk rela menunggu sebelum keinginannya dipenuhi, dapat dibuat mengerti dan memahami sebab-sebab objektif yang menghalangi pencapaian suatu tujuan. Sedang sebaliknya, reaksi-reaksi negatif tidak mampu menyalurkan ketegangan. “Di sinilah peranan sikap terbuka pemerintah dalam berkomunikasi, jujur mengakui kekeliruan-kekeliruan, bersedia membersihkan unsur-unsur tidak beres dalam dirinya, seperti korupsi atau pejabat-pejabat yang tidak kapabel dan lain-lain”. Demikian sebuah media pers generasi muda telah memberi peringatan tentang kemungkinan terjadinya letupan-letupan yang bersumber pada keresahan sosial seperti itu, melalui tajuk rencananya di bulan Agustus 1973. Peringatan itu berlaku hingga kini, karena di situlah justru kelemahan pemerintah dari waktu ke waktu.
Hanya sehari setelah edisi tersebut beredar, pada hari Minggu 5 Agustus 1973, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi dalam bentuk huru-hara besar di Bandung yang oleh banyak pihak juga dianggap berbau rasial karena korban-korban dan sasaran utamanya adalah harta dan juga beberapa nyawa warga keturunan cina. Peristiwa itu dikenal sebagai peristiwa 5 Agustus 1973. Kerusuhan sosial ini diberitakan secara lengkap oleh media generasi muda tersebut pada penerbitan pertama sesudah kejadian. Tetapi hal yang sama tidak dilakukan media pers lainnya saat itu karena adanya ‘himbauan’ kalangan penguasa untuk membatasi pemberitaan. Peristiwa tersebut, yang pernah dimuat pada blog ini, dipaparkan kembali di sini sekedar sebagai contoh kasus yang bisa dipelajari.
Refleksi ketidakadilan sosial. Seluruh rangkaian peristiwa ini bermula dari satu ‘api’ kecil berupa insiden Minggu sore 5 Agustus 1973 di Jalan Astanaanyar, Bandung Barat sebelah Selatan. Sebuah pedati yang dikendarai oleh pemuda 17 tahun bernama Asep Tosin, yang didampingi Sobandi adiknya yang berusia 11 tahun, menyerempet mobil VW (Volks Wagen) yang dikendarai tiga pemuda keturunan cina. Ketiga pemuda itu adalah Tan Kiong Hoat yang beralamat di Jalan Mohammad Toha 35, bersama dua temannya A Kiong dan Goan Chong. Satu diantaranya, menurut keterangan adalah semacam ‘reserse’ ekonomi dari salah satu instansi keamanan, naik pitam dan menyuruh Asep berhenti. Asep tidak berhenti, lalu dikejar dan dipukul. Dia pingsan, lalu ditolong oleh para pemuda pengendara VW itu sendiri, dibawa ke salah satu rumah dekat tempat itu, Kalipah Apo 77. Waktu itu, jalan Astanaanyar dan sekitarnya dikenal sebagai salah satu daerah dengan deretan toko yang banyak diantaranya dimiliki oleh pedagang cina. Ini menimbulkan salah tafsir penduduk yang menyaksikan, bahwa Asep ‘dilanjutkan’ dikeroyok di dalam rumah. Takut akan kemarahan penduduk, para pengendara VW itu meninggalkan tempat kejadian cepat-cepat. Sedang Asep yang pingsan ditolong orang lain, dibawa ke rumah sakit. Ini pun menambah salah tafsir, Asep mungkin telah meninggal, padahal ternyata sehat walafiat dan menurut pihak rumah sakit hanya mengalami perdarahan di hidung.
Disebut-sebutnya salah satu kesatuan ABRI –Komando Pasukan Gerak Cepat TNI AU, Kopasgat TNI-AU, yang kini dikenal sebagai Paskhas (Pasukan Khas) AU– turut serta mengobarkan kemarahan penduduk sebagaimana berita yang cepat tersebar. Ternyata berita itu tidak sepenuhnya benar, karena yang ada hanyalah keterlibatan dua oknum ABRI, seorang Sersan Mayor dan seorang Kapten. Sang Sersan Mayor terlibat karena ia adalah ketua lingkungan di kampung Asep Tosin, di kampung Manglid desa Margahayu kecamatan Dayeuhkolot tak jauh dari lapangan udara Margahayu milik TNI-AU, kabupaten Bandung. Sedang keterlibatan sang Kapten adalah karena emosi setelah mendengar laporan sang Sersan Mayor. Mereka berdua yang mendengar bahwa Asep meninggal segera berangkat bersama beberapa penduduk kampung Asep. Tujuannya seperti yang kemudian diakui dalam pemeriksaan yang berwajib hanyalah untuk mencari pemuda-pemuda yang menganiaya Asep Tosin dan dianggap oleh mereka telah membunuhnya. Berita bahwa Asep Tosin telah mati teraniaya ternyata menebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Inilah kemudian yang meletuskan huru hara pada kurang lebih pukul 17.30 tak begitu jauh dari tempat terjadinya senggolan pedati Asep dengan VW pada pukul 15.15. Menjalarnya isu dengan cepat juga antara lain disebabkan kekurangcekatan aparat pemerintah mengumumkan bahwa Asep Tosin tidak meninggal, sehingga masyarakat percaya bahwa memang Asep telah tewas.
Sasaran kemarahan terarah pada awalnya kepada keturunan cina. Dengan berputarnya jarum jam huru hara perusakan makin meluas ke berbagai penjuru kota. Kualitas perusakan pun meningkat dari menit ke menit. Jika pada mulanya hanya berupa pelemparan batu terhadap kaca-kaca dan lampu-lampu, maka kemudian ia berubah menjadi pendobrakan serta penganiayaan kepada beberapa keturunan cina dan atau yang mirip cina, baik yang di rumah-rumah atau mereka yang dihadang di jalan-jalan. Kendaraan-kendaraan bermotor roda empat maupun dua yang ditumpangi oleh keturunan cina dihadang. Orangnya dianiaya, kendaraannya dirusakkan dan pada saat berikutnya dibakari. Begitu pula terhadap benda-benda yang dikeluarkan dari bangunan-bangunan atau toko-toko, dirusak dan dibakar. Hingga kurang lebih pukul sembilan malam kecenderungan pokok hanyalah perusakan atau pelampiasan emosi kemarahan. Tapi setelahnya mulai ada ekses berupa pengambilan barang-barang, sekalipun ada yang memperingatkan “Jangan ambil barang!”. Barang-barang yang diambil, mulai dari yang kecil-kecil seperti perhiasan sampai kepada jam tangan, bahkan tape recorder. Lewat tengah malam, mulailah penunggangan-penunggangan kriminal yang berupa kelompok-kelompok yang mendobrak rumah, toko dan sebagainya yang kemudian menguras barang-barang. Kelompok-kelompok seperti ini bahkan beroperasi ke tempat-tempat yang ‘menyendiri’ di bagian Utara kota, dan bergerak hingga subuh hari. Apalagi memang waktu itu tidak diberlakukan jam malam.
Berlanjut ke Bagian 2