Kaum Ahmadiyah dan Politik Menteri Agama (3)

MEMANG ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, yang dikeluarkan tanggal 9 juni tahun 2008, dalam menyikapi permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dianggap menjadi dasar hukum pelarangan aktivitas Ahmadiyah di Indonesia (Inilah.co, Jakarta, Selasa, 8 Februari 2011 | 08:25 WIB). Inilah tujuh butir keputusan tiga menteri tersebut.

MIRZA GHULAM AHMAD DAN PENGIKUTNYA. “Terlepas dari salah atau tidaknya golongan Ahmadiyah aliran Qadian yang menabikan Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana nasib golongan Ahmadiyah aliran Lahore yang tidak bersalah tapi juga harus tiarap. Kasihan rakyat kecil yang tidak berdaya itu, kepada siapa mereka mengadukan nasibnya?” (foto download)

Kesatu: Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

Kedua: Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Ketiga: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan.

Keempat: Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

Kelima: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

Keenam: Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Ketujuh: Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008.

Tujuh butir keputusan tiga menteri tersebut, dengan jelas mengatakan memberi peringatan dan pembinaan, bukan eksekusi. Juga hanya merujuk pada JAI (Ahmadiyah Qadian), tapi dibesarkan seolah-olah menjadi pelarangan Ahmadiyah seluruhnya. Jaksa Agung (ketika itu) Hendarman Supandji, salah satu yang menandatangani SKB tersebut, menegaskan dengan diterbitkan SKB maka Ahmadiyah tak boleh lagi beraktivitas alias dibekukan. “Ini (SKB tiga Menteri) intinya memerintahkan menghentikan seluruh kegiatan JAI,” ujar Hendarman usai pengumuman SKB 3 Menteri Tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kantor Departemen Agama (Depag), Jakarta Pusat (9/6/2008). (http:// nasional.inilah.com/ read/detail /1216962 /URLTEENAGE)

Dalam menanggapi silang pendapat tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj dalam tabligh akbar di Bencingan Agung Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dalam rilisnya, Kamis (19/1/2012), mengimbau agar kekerasan terhadap kelompok minoritas, terlebih kekerasan yang mengatasnamakan agama seperti terhadap warga Ahmadiyah, jangan lagi terjadi. “Pasalnya, agama tak mengajarkan kekerasan kepada penganutnya”, kata KH Said Aqil Siraj. (Tribunnews.com, Lombok, Kamis, 19 Januari 2012 16:44 WIB).

Bagaimana pendapat masyarakat mengenai Ahmadiyah ini? Laporan Setara Institute yang disampaikan Ismail Hasani dalam jumpa pers di Hotel Century, Jakarta, Kamis (8/9/2011), mengemukakan bahwa masyarakat menganggap penganut Ahmadiyah tetap sebagai saudara sebangsa, meski bukanlah saudara seiman. “Masyarakat Indonesiamampu memilah yang mana sisi keagamaan dan yang mana sisi kebangsaan,” ujar Ismail dalam jumpa pers tersebut. Yang menjadikan indikasi masyarakat mampu memilah mana sisi agama dan mana sisi kebangsaan, terlihat dari 52,6 persen masyarakat yang menolak Ahmadiyah sebagai saudara seiman. Sebaliknya, hasil yang diperoleh melalui survei tersebut menunjukkan bahwa 68,1 persen masyarakat memilih hidup sebangsa setanah air dengan kelompok Ahmadiyah. Kemudian, 11 persen masyarakat menolak hidup sebangsa setanah air dengan Ahmadiyah. (http://www.tribunnews.com/2011/09/08/ 681-persen-anggap-ahmadiyah-sebagai-saudara-sebangsa)

Kalau begitu masalahnya, kasus kerusuhan penyerangan warga Ahmadiyah tersebut sebenarnya adalah akibat ketidaktegasan Menteri Agama menentukan nasib warga Ahmadiyah, di negara yang memberikan kebebasan memeluk agama dan meyakini kepercayaan itu ditegaskan dalam pasal 28-E dan 28-I UUD 1945. Bahkan dinyatakan bahwa beragama termasuk hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Bayangkan, sebelumnya Menteri Agama, Suryadharma Ali seusai mengikuti rapat gabungan di Gedung DPR, Senayan (30 Agustus 2010), mengatakan bahwa Jamaah Ahmadiyah harus segera dibubarkan. Menurut dia, Ahmadiyah bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. “Seharusnya Ahmadiyah segera dibubarkan. Kalau tidak dibubarkan permasalahannya akan terus berkembang,” katanya. Pembahasan pembubaran Ahmadiyah itu, katanya, segera dilakukan dalam waktu dekat. Kementerian Agama dan instansi terkait akan segera membicarakan pembubaran itu secara intensif. “Nantilah setelah lebaran,” katanya seolah membenarkan kasus penyerangan warga Ahmadiyah ketika itu. (http://nasional.vivanews.com/ news/read/174345-menteri-agama-akan-bahas-pembubaran-ahmadiyah).

Tidak lama kemudian, saat rapat kerja di Komisi VIII bersama Kapolri di gedung DPR, Jakarta (9/2/2011), nampak Menteri Agama melunak soal Ahmadiyah. “Pemerintah belum ambil keputusan, semua opsi sedang dikaji, pada waktunya akan diumumkan nanti,” ujarnya. Menteri Agama Suryadharma Ali, yang juga Ketua Umum PPP itu menambahkan akan mengkaji Ahmadiyah dengan dialog bersama MUI, ahli Ahmadiyah, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah memberikan perhatian besar terkait dengan persoalan ini. Rapat dengar pendapat juga akan dilakukan bersama pihak Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. “Menag akan mendengarkan pendapat para pakar terkait dengan Ahmadiyah, Persis, Alwasiyah, ahli-ahli yang bisa didengar pendapatnya,” katanya. Meskipun, tambah Suryadharma, beberapa lembaga Islam seperti Persis, MUI bahkan ulama dunia sudah banyak yang melarang Ahmadiyah, dan menganggap ajaran itu sesat. (http://news.okezone.com /read/2011/02/10/339/423225/menteri-agama-melunak-soal-ahmadiyah)
Pada kesempatan lain di Semarang (26/2), Menteri Agama menyatakan hingga kini pemerintah belum memutuskan apakah akan membubarkan aliran Ahmadiyah, seperti yang selama ini disuarakan beberapa kelompok Untuk membubarkan Ahmadiyah, Suryadharma menegaskan, tidak hanya menjadi tugas dan domain Kementerian Agama, tapi juga harus dibahas lintas instansi. (http://www.tempo.co/read/news/2011/02/26/ 063316223/Menteri-Agama-Pembubaran-Ahmadiyah-Masih-Dikaji)

Pendapat yang paling ditunggu dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya muncul juga, yang seharusnya menjadi pemungkas.  Di hadapan 128 duta besar di Indonesia di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (15/2/2012), SBY mengungkapkan keanekaragaman budaya, agama, dan etnis, menjadi ciri bangsa ini. Pemeliharaan kerukunan rakyat antar-etnis dan budaya dalam beragama juga menjadi perhatian pemerintah, meski kerap kali terjadi konflik. Namun SBY menegaskan pemerintah mengakomodir kebebasan rakyat untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk bagi rakyat Indonesia penganut Ahmadiyah, pemerintah berjanji akan memfasilitasinya. “Ahmadiyah, negara tidak melarang tetapi negara mengatur,” ujar SBY. Menurut SBY, kendala Ahmadiyah dan pengikut keyakinan-keyakinan yang kurang menonjol, menurut SBY, karena permasalahan perizinan sarana ibadah dan distorsi pemahaman dengan masyarakat sekitar. (http://nasional.inilah.com/ read/ detail/1830423/sby-ahmadiyah-tidak-dilarang)

Bagaimana sebaiknya pemerintah bersikap

Dalam situasi pemerintah yang tidak tegas, suara keras dari kelompok kecil pun bisa membuat bingung masyarakat akan bersikap bagaimana. Jelas telah terjadi penganiayaan sekelompok minoritas yang tidak berdaya, namun kasusnya tidak dipecahkan. Digantung tidak bertali, kehilangan hak beragama. Mengikuti suara kelompok keras yang memaksa, bisa saja pemerintah membubarkan Ahmadiyah, tapi membubarkannya harus melalui Pengadilan Negeri, seperti di Pakistan. Atau ubah dulu Undang-undang Dasar 1945 agar pemerintah mudah membubarkannya begitu saja melalui Mahkamah Agung (MA) sebagai supreme court.

Terlepas dari salah atau tidaknya golongan Ahmadiyah aliran Qadian yang menabikan Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana nasib golongan Ahmadiyah aliran Lahore yang tidak bersalah tapi juga harus tiarap. Sampai April ini penyerangan ke masjid maupun pesantren dan kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah tetap terjadi. Kasihan rakyat kecil yang tidak berdaya itu, kepada siapa mereka mengadukan nasibnya? Terlepas dari dosanya dalam beragama yang nantinya akan dihitung di akhirat, mengapa kita sekarang merasa lebih berhak mengeksekusi mereka dengan kekerasan, melebihi hak prerogative Allah SWT. Menteri Agama, harus memberi fatwa yang jelas. Bukankah, sebaiknya untuk permasalahan beda aqidah sesama umat Islam, menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj lebih baik diselesaikan dengan cara-cara yang lebih santun? Atau doakan berganti lagi pemerintahan dengan yang pluralis seperti Gus Dur…

-Tulisan ini disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru. Sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s