KEBENARAN tentang apa yang sesungguhnya terjadi di seputar Peristiwa Mei 1998, hingga kini belum berhasil diungkapkan dengan tuntas. Padahal waktu telah berjalan tak kurang dari 17 tahun lamanya. Tanpa kebenaran, dengan sendirinya mustahil bisa ada tindakan dan penyelesaian yang adil terhadap peristiwa tersebut. Jangankan penyelesaian, bahkan formula pikiran yang adil dan penilaian objektif tentang peristiwa itu sekalipun sulit untuk ditegakkan. Maka, seperti misalnya yang telah kita saksikan bersama dalam kancah Pemilihan Presiden 2014 yang lalu, Peristiwa Mei 1998 itu sempat dijadikan sebagai bahan tuduh menuduh di antara sejumlah jenderal incumbent di tahun terjadinya peristiwa tersebut. Katakanlah, seperti yang terjadi antara Jenderal Purnawirawan Wiranto dan kawan-kawan jenderalnya dengan Letnan Jenderal Punawirawan Prabowo Subianto sebagai fokus sasaran utama. Tak lain karena ia ini sedang tampil sebagai salah satu calon Presiden, sementara para jenderal lainnya ada di kubu seberang, mendukung calon presiden satunya lagi, Joko Widodo.

Dan publik sulit untuk menilai mana yang benar di antara simpang siur tuduhan, karena memang nyaris tak ada samasekali hasil pencarian fakta dan kebenaran yang secara bulat bisa dipegang sebagai referensi. Temuan awal dan rekomendasi Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) di tahun 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman SH, tak ditindaklanjuti penguasa pasca lengsernya Presiden Soeharto. TGPF menyimpulkan “Sebab pokok peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat.” Akan tetapi kala itu terdapat situasi seakan-akan duduk kebenaran peristiwa yang melibatkan begitu banyak tokoh kekuasaan, memang tak diinginkan penguasa untuk terbuka diketahui publik. Rekomendasi TGPF, tentang perlunya pemerintah melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan menyusun ‘buku putih’ peristiwa, diabaikan kalangan kekuasaan.
Dalam kesimpulan dan rekomendasi TGPF secara spesifik muncul dua nama jenderal dalam rangkaian peristiwa. Mayor Jenderal Prabowo Subianto –yang adalah juga menantu Soeharto kala itu– disebutkan dalam kaitan sebuah pertemuan di Markas Kostrad 14 Mei dan penculikan sejumlah aktivis anti Soeharto sebelum 1998. Sementara itu, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoedin disorot terkait kelemahan koordinasi pengamanan ibukota saat peristiwa Mei terjadi. Meskipun nama Jenderal Wiranto yang kala itu menjabat Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI tidak disebutkan langsung, tetapi pada dasarnya terdapat sorotan TGPF terhadap dirinya dalam fungsi tersebut. TGPF menyimpulkan terdapat kelemahan koordinasi pertahanan-keamanan, bukan hanya di ibukota tetapi meluas pada sejumlah kota lain. Mau tak mau ini merujuk pada kelemahan pucuk pimpinan tertinggi. Terminologi ‘pergumulan elit politik’ memperkuat aksentuasi bahwa persoalan memang berakar pada persoalan ‘atas’. Belakangan, Jenderal Wiranto disorot kepergiannya ke Malang membawa sejumlah petinggi bidang keamanan ketika Jakarta justru diprediksi dalam momen-momen menuju genting. Bagi Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan, apa yang dilakukan Jenderal Wiranto kala itu adalah sebuah tanda tanya besar. Merupakan tanda tanya berikutnya, adalah kenapa Jenderal Wiranto, selaku penanggungjawab tertinggi keamanan saat itu, tak bersedia memberikan testimoni kepada TGPF, sebagaimana telah dilakukan baik Prabowo maupun Sjafrie Sjamsoedin serta sejumlah jenderal lainnya.
TATKALA Prabowo Subianto mengalami rangkaian bombardir tentang ‘dosa-dosa’ lamanya oleh setidaknya dua jenderal purnawirawan –Wiranto dan Hendro Priyono– menjelang Pemilihan Presiden 2014, ia terlihat kewalahan menangkis. Namun ada kesan, bahwa keterbatasan Prabowo Subianto tak terlepas dari ‘keharusan’ sikap menjaga nama ‘atasan-atasan’nya di masa lampau, terkait tuduhan penculikan. Katakanlah, Jenderal Soeharto dan Jenderal Faisal Tandjung. Buku Putih Prabowo Subianto pernah mengutip pernyataan menarik dari Ketua TGPF Marzuki Darusman –yang dikatakan diucapkan kepada sejumlah wartawan– September 1998. “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa. Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya.”

Marzuki Darusman SH, juga pernah mengungkapkan bahwa berdasarkan suatu daftar korban penculikan Prabowo dan kawan-kawan yang diajukan PDIP kepada Komnas HAM yang dipimpinnya, pernah dilakukan penelusuran. Prabowo mengakui sejumlah nama dalam daftar tersebut memang pernah ‘dijemput’ anggota Kopassus bawahannya. Nama lainnya, dikatakan ‘diambil’ oleh instansi lain. Dalam pencarian yang dilakukan Komnas HAM, seluruh nama yang disebutkan Prabowo bisa ditemukan keberadaannya, dalam keadaan hidup. Tapi nama lain di daftar PDIP itu, tetap tidak jelas di mana berada. (https://socio-politica.com/2014/06/10/persoalan-stigma-prabowo-subianto-dan-para-jenderal-lainnya-1/)
Data adanya korban ‘penculikan’ lainnya, oleh instansi keamanan yang lain, jelas perlu ditelusuri lanjut. Artinya, tidak tepat bila fokus perhatian hanya diarahkan ke Prabowo Subianto. Karena, jangan-jangan ia hanya dikambing-hitamkan untuk menutupi sejumlah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan politik-kekuasaan lainnya yang lebih besar. Setidaknya, dalam hal ini, Prabowo dengan ‘kesalahan’ masa lampaunya mungkin hanya berkategori lesser evil, dan ada real evil dengan kategori lebih dahsyat.
Tak kalah menarik, adalah tulisan mantan Menteri Pertahanan RI Dr Juwono Sudarsono, Setelah Prahara Mei 1998 di Harian Kompas, Jumat 15 Mei 2015. Juwono menulis, “Komnas HAM pada November 1998 mengukuhkan temuan berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta bahwa Sjafrie tidak terbukti secara jelas dan nyata melaksanakan penculikan, apalagi melakukan pembunuhan dalam kerusuhan Mei 1998.” Letnan Jenderal Purnawirawan Sjafrie Sjamsoedin, tulis Juwono “adalah korban iri hati sejumlah kalangan militer dan sipil karena ia adalah anak emas Soeharto.” Lebih jauh dituliskan, selama beberapa tahun Sjafrie pernah menjadi pengawal pribadi Presiden Soeharto. Tetapi kemudian, pada awal Juli 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, mengganti Sjafrie Sjamsoedin dengan Mayor Jenderal Djadja Suparman.
URAIAN dari dua tokoh yang dikenal punya integritas memadai –khususnya Marzuki Darusman, pegiat HAM yang pernah menjadi Jaksa Agung RI– bisa menjadi referensi tentang peran dan sepak terjang para tokoh pelaku dalam kancah Peristiwa Mei 1998. Data dari mereka bisa ditindaklanjuti dalam konteks mencari kebenaran secara menyeluruh dari peristiwa tersebut. Teristimewa pada saat terjadi begitu banyak manipulasi kebenaran sejarah seperti pada masa-masa belakangan ini, yang sering digunakan dalam konteks pertarungan politik dan kekuasaan.
Aktivis Elsam, Rini Prashwati, menyebutkan tahun ini ada sedikit harapan dari negara, yakni mulai disebutnya kembali rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berdasarkan gagasan 6 lembaga negara dan Komnas HAM. Marzuki Darusman mengapresiasi rencana itu, tetapi mengingatkan untuk tidak kembali menjadi satu janji kosong. Pembentukan KKR selama ini timbul tenggelam di tangan kalangan kekuasaan. Undang-undang 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bisa menjadi dasar mencari kebenaran dan rekonsiliasi dalam berbagai peristiwa, dikandaskan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. MK menilai UU No. 27 a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menganggap ada pencampuradukan dan pengaturan kontradiktif satu sama lain dalam pasal-pasal UU tersebut yang menyebabkan ketidakpastian hukum.
MENCARI kebenaran secara tuntas menjadi keharusan moral bagi kita semua demi kepentingan masa depan yang lebih baik. Kebenaran yang masih tersembunyi perlu terus ditelusuri, bukan sebatas untuk kebenaran dua orang atau orang per orang, melainkan demi kebenaran berbagai peristiwa sejarah –khususnya yang masih tersembunyi dan disembunyikan– secara keseluruhan. Dari kebenaran, bisa dihadirkan pandangan, sikap dan solusi yang adil sebagai bangsa. (socio-politica.com)