Komedi Parlemen

PELOPOR masuknya komedian atau pelawak ke Dewan Perwakilan Rakyat, agaknya tak lain adalah pelawak Eddy Sud yang berada di lembaga itu sepanjang tahun 1980-an. Tetapi tak banyak dikabarkan ia melawak dalam persidangan. Bahkan seringkali banyak anggota lain yang lebih ‘lucu’. Dan kelucuan itu ternyata selalu ada sepanjang sejarah parlemen Indonesia.

SEKITAR tahun 1955 –sebelum maupun sesudahnya– parlemen kita sangat diwarnai suasana liberalistik. Kabinet jatuh bangun bergantian karena berbagai mosi tidak percaya. Suatu ketika masih sebelum Pemilihan Umum 1955, dalam hearing dengan Perdana Menteri, seorang anggota partai dengan lantang mengatakan, “Partai kami menyatakan mosi-mosi terhadap saudara!”. Dengan agak heran pimpinan sidang menengahi, “Mosi apa?”. Sang anggota balik berkata, tak kalah herannya, “Ya, mosi-mosi… masak saudara ketua tidak tahu?!”. Rupanya yang dimaksud oleh sang wakil partai adalah mosi tidak percaya. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah kebiasaan zaman Jepang kalau bertelepon, “Mosi, mosi..” yang artinya “Halo, halo”. Politisi tua narasumber cerita ini, yang sama herannya, mengaku tidak pernah tahu apakah salah istilah itu semacam kortsluiting lidah atau otak.

Percaya atau tidak, Konstituante setelah Pemilihan Umum 1955, selain politisi kawakan, juga terisi dengan anggota-anggota yang samasekali tidak pernah menjalani pendidikan formal, buta huruf latin dan hanya melek huruf arab. Sebagian lagi hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD). Bandingkan dengan anggota-anggota badan legislatif masa kini yang bertaburan gelar kesarjanaan berbagai tingkat, meski konon banyak pula yang perlu dipertanyakan kebenaran dan kualitas akademisnya. Maka situasi internal Konstituante masa itu bisa kontras, di satu pihak terdapat politisi-politisi handal dan brilian karena pendidikan maupun pengalaman, tetapi di sisi lain terdapat anggota-anggota yang tergolong tidak paham masalah. Terdapat pula anggota yang sudah berusia sangat lanjut, sudah susah berdiri dan berjalan, kadang kala pikun. Satu kali, seorang anggota Konstituante yang sudah berusia senior menjurubicarai kelompoknya untuk menyampaikan minderheitsnota. “Bersama ini kami menyampaikan minderwardigheids complex terhadap keputusan…..”. Ini membuat peserta sidang terperangah. Istilah yang disebut itu yang yang biasa disingkat MC adalah kompleks rasa rendah diri, sedang minderheitsnota adalah pernyataan menerima secara formal suatu keputusan namun memberikan catatan adanya pendapat berbeda. Semacam dissenting opinion yang biasa diajukan hakim yang berbeda pendapat dengan anggota lain dalam suatu majelis hakim.

SUATU ketika, Menteri Lingkungan Hidup di masa pemerintahan Soeharto mengadakan dengar pendapat di depan salah satu komisi DPR-RI. Dalam rapat itu sang menteri antara lain menyinggung efek rumah kaca. Seorang ibu, anggota komisi, tampil dengan bersemangat menyampaikan pendapat. “Mengatasi dampak rumah kaca, harus kita mulai dari Jakarta”, ujarnya, “coba lihat, banyak gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan Thamrin-Sudirman yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca, mata kita sampai silau……”.

Pada kesempatan lain, giliran seorang Menteri Dalam Negeri keseleo ketika harus menjelaskan azas monoloyalitas yang diterapkan pemerintah kala itu terhadap pegawai negeri. “Azas monoloyololitas itu… eh, monoloyolitas…..”. Masih berkali-kali ia keseleo lidah sebelum menemukan jalan keluar. Sembari menyeka keringat di dahinya, pelan-pelan ia membaca dari naskah yang dibawanya, “Maaf, yang saya maksud mo…no…lo… ya… li… tas… Nah itu…”. Tak urung, beberapa kali sang menteri masih keseleo sesudahnya, tapi bagai buldoser, sang menteri bicara terus tanpa merasa perlu buang waktu untuk mengoreksi lagi. Celaka dua belas, setelah itu seorang anggota DPR juga ikutan salah eja, “monoloyolitas”. Susah betul istilah itu rupanya bagi lidah melayu.

BAGAIMANA dengan Dewan Perwakilan Rakyat masa kini? Banyak plesetan kata, tetapi itu disengajakan. Namun yang justru menonjol adalah banyaknya penggunaan kata-kata ‘kasar’ yang disampaikan juga dengan nada tinggi. Khasanah kata-kata yang diangkat dari dunia fauna dan kebun binatang tak jarang diperdengarkan. Ada yang menggunakan kata ‘bangsat’, sebutan yang digunakan orang Betawi untuk ‘kutu busuk’. Kita anggap saja yang dimaksud memang ‘kutu busuk’, dan bukan pengertian lainnya lagi.

Lebih banyak lagi, salah persepsi. Seorang anggota DPR dari partai terkemuka saat ini, dalam suatu acara debat yang diselenggarakan sebuah stasiun TV di selasar DPR menjelang Sidang Paripurna memvoting hasil Pansus Century, memaparkan indikator kemajuan ekonomi saat ini. Berapi-api membela keputusan bailout Century, sang anggota DPR bilang kalau kebijakan itu tidak diambil maka kita tidak menikmati keadaan ekonomi yang sebaik sekarang ini. Apa indikator bahwa ekonomi kita bagus? “Coba lihat pasar-pasar tradisional kita yang ramai”. Berbagai transaksi terjadi, katanya. Lalu dengan bersemangat, ia mencontohkan pula ramai dan berjubelnya transaksi di supermarket-supermarket, mal-mal dan sebagainya. Ketika lawan debatnya mengingatkan, bagaimana dengan rakyat miskin yang berada di daerah-daerah kumuh seperti misalnya yang letaknya tak jauh, di belakang gedung DPR Senayan, sang anggota DPR tertegun dan tergagap juga sejenak.

WAKTU dulu Gus Dur bilang DPR seperti taman kanak-kanak saja, selain reaksi para anggota DPR sendiri, banyak juga yang angkat bicara mengecam Presiden keempat itu. Tapi kini, setelah menyaksikan ulah para anggota lembaga terhormat itu, dari waktu kewaktu, barangkali banyak yang sepenuhnya sepakat……

One thought on “Komedi Parlemen”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s