“Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinga. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa,..”. “Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi”.
Timur Pradopo dan SBY. DALAM rangka pengamanan Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR Maret 1998, melalui suatu perintah operasi dari Panglima ABRI, untuk ibukota Jakarta, dibentuk Komando Operasi Jaya (Koops Jaya). Menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Hamami Nata di depan TGPF (28 Agustus 1998), “Koops Jaya ini khusus untuk mengamankan kampanye, pasca kampanye, pemilu, pasca pemilu, Sidang Umum MPR, sampai berakhir akhir Juni 1998. Panglimanya adalah Pangdam selaku Pangkoop Jaya, dan wakilnya adalah adalah Kapolda, sebagai Wapangkoop Jaya”. Dalam skala kecil, pengamanan diserahkan kepada Polri, tetapi tetap di-back-up Koops Jaya sebagai lapis kedua. “Tetapi ketika eskalasi sudah cukup besar, penanganan langsung ke tangan Pangdam sebagai Pangkoop Jaya”.
Menambahkan penjelasan Mayjen Hamami Nata tentang Komando Pengendalian di ibukota itu, Kapolres Jakbar Letnan Kolonel Timur Pradopo, memaparkan bahwa sebagai penjabaran kesatuan wilayah, “ada yang namanya Komando Pelaksana Operasi, dengan Komandan Kodim sebagai Dankolaops, dan Kapolres sebagai Wadankolaops”. Pengamanan di wilayah Jakarta Barat, dari Koops ada sekitar 7 SSK, dan dari Polres Jakarta Barat 8 SSK, yang seluruhnya sebanyak 4000 orang.
Adakah kedekatan khusus Letnan Kolonel Timur Pradopo, dengan salah satu faksi tertentu dalam tubuh militer yang ada dalam political game di tahun 1998 itu? Kalau ada, dengan faksi atau kelompok kepentingan yang mana, kelompok Jenderal Wiranto atau kelompok Letnan Jenderal Prabowo Subianto? Atau suatu kelompok lain di luar itu? Sejauh ini, hal itu tak terdeteksi. Tetapi sejauh yang dapat dicatat dalam tali temali peristiwa politik di tahun 1998 itu, para pimpinan Polri, khususnya Jenderal Dibyo Widodo merasa sangat berang karena menganggap dikorbankan oleh pimpinan ABRI Jenderal Wiranto demi kehati-hatiannya –untuk tidak menyebutkannya sebagai tanda kegentaran– menghadapi manuver-manuver Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Pola kerusuhan by design pada bulan Mei 1998 ini bisa dibandingkan dengan pola kerusuhan yang diciptakan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, saat setidaknya dua kelompok militer dan politik –kelompok Jenderal Soemitro dan kelompok Jenderal Ali Moertopo serta kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro cs– ‘bertarung’ dalam suatu political game. Dalam permainan itu, mahasiswa Jakarta terposisikan sebagai ujung tombak permainan –untuk tidak menyebutnya dijadikan pion percaturan politik dan kekuasaan– yang kemudian di’korban’kan, sementara Jenderal Soeharto pada babak akhir menjadi pemenang sesungguhnya.
Dalam opini, tersangka kuat para penembak mahasiswa dalam insiden Trisakti 12 Mei 1998 adalah pasukan penyusup yang berasal dari kelompok di bawah pengaruh Letnan Jenderal Prabowo. Motifnya, menciptakan kadar kerusuhan luar biasa dengan kategori situasi darurat agar Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi pembentukan lembaga pengamanan dengan wewenang ekstra. Tetapi dalam konteks teori konspirasi, bukan mustahil para penembak mahasiswa itu justru dari kelompok tentara lainnya, yang berkepentingan terciptanya martir di kalangan mahasiswa untuk memicu suhu situasi yang bisa membuka pintu kejatuhan Soeharto. Atau memang sekedar insiden sederhana, dilakukan salah satu satuan polisi di bawah komando Letnan Kolonel Timur Pradopo, yang katakanlah tanpa motif politik tetapi karena faktor emosi. Namun, karena di satu pihak tidak ada dorongan kuat untuk suatu pengungkapan tuntas atas peristiwa, dan pada pihak lain kelompok-kelompok kekuatan yang ada memang berkepentingan untuk menutup tabir peristiwa, maka siapa sebenarnya pembunuh para mahasiswa itu tidak pernah betul-betul bisa terungkap. Tinggallah sejumlah perwira polisi berpangkat rendah sebagai kambing hitam yang tergiring ke depan Mahkamah Militer. Protes Jenderal Dibyo Widodo terhadap dikorbankannya Polri, membawa sang jenderal pada akhir karirnya di kepolisian.
Bagaimana dengan Letnan Kolonel Timur Pradopo yang menjadi pemegang komando lapangan saat para mahasiswa itu tertembak? Menurut urutan logika, bila Timur Pradopo harus ditindaki dalam konteks peristiwa Mei 1998, maka banyak tokoh yang posisinya berada pada urutan-urutan di atas dirinya, dan lebih kontroversial perannya dalam peristiwa, yang harus terlebih dulu dimintai pertanggungjawaban. Dan sebagaimana sejumlah tokoh militer pada posisi ‘penting’ pada bingkai peristiwa, yang bisa melanjutkan menapak karir ke jenjang lebih tinggi, Timur Pradopo pun bisa mengalir karirnya. Setelah Peristiwa 1998, kita bisa melihat, hanya Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan beberapa orang dekatnya seperti antara lain Mayor Jenderal Zacky Makarim, yang tersingkir dari barisan elite militer.
DUABELAS tahun setelah peristiwa tahun 1998 berlalu, Timur Pradopo berhasil meniti karir dengan baik, dan kini per 22 Oktober 2010, telah mencapai posisi puncak Kepolisian RI, sebagai Kapolri dengan pangkat Jenderal penuh. Kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri, di saat beberapa jenderal polisi lainnya yang senior, lebih banyak disebut-sebut dalam ‘bursa’ pencalonan? Dua di antaranya, Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, bahkan seakan-akan tinggal melangkah ke kursi nomor satu di Trunojoyo.
Adakah persentuhan antara Timur Pradopo sebagai Kapolres Jakarta Barat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pusaran Peristiwa Mei 1998? Saat SU MPR berlangsung, Maret 1998, Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono yang di tahun sebelumnya menjabat Pangdam Sriwijaya, menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR. Setelah itu ia diangkat sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. Sebelumnya jabatan Kaster disebut sebagai Kasospol ABRI. Setelah dwifungsi ABRI ditinggalkan, dianggap tak perlu lagi ada jabatan dalam organisasi ABRI untuk menangani masalah sospol. Tak ada catatan tentang persentuhan Timur dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peristiwa Mei 1998. Tetapi diketahui bahwa saat Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono menjelang mengakhiri masa tugasnya sebagai Komandan Kontingen Garuda XIV yang tergabung dalam United Nation Protection Forces di Bosnia-Herzegovina (November 1995 – April 1996), ke dalam pasukannya bergabung 40 perwira Polri yang baru tiba dari tanah air. Tiga di antara perwira itu adalah Mayor Polisi Timur Pradopo, Mayor Ito Sumardi dan Mayor Wahyono. Mengutip Koordinator Indonesia Police Watch Neta S. Pane, Tempo menyebut ketiga perwira yang kini berpangkat Komisaris Jenderal itu sebagai Geng Bosnia di Trunojoyo.
Sejumlah hutang kewajiban. Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinya. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah Polri berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa, seperti: Siapa pelaku sebenarnya kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning tahun 1970 dan pembunuhan wartawan Udin (Sjarifuddin), di Yogyakarta. Siapa pembunuh sebenarnya peragawati Dietje yang sempat dikaitkan dengan keluarga tokoh puncak kekuasaan dan sederet kasus lama lainnya?
Dan yang terbaru, tentu saja, bagaimana sebenarnya liku-liku konspirasi pembunuhan yang kini menempatkan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai terhukum menurut lembaga-lembaga peradilan seluruh tingkat? Apa dan bagaimana sebenarnya kasus Bank Century –yang menjadi hutang bersama Polri, KPK dan Kejaksaan– yang di latar belakangnya dibayangi skandal keuangan berbau politik? Bagaimana tindak lanjut atas informasi hasil tiupan peluit Komjen Susno Duadji? Katakanlah memang Susno adalah ‘maling teriak maling’ –setidaknya menerima suap 500 juta rupiah menurut apa yang disebut dalam keputusan pengadilan terhadap Sjahril Djohan– tetapi bagaimana dengan para maling yang diteriakinya, apa tidak ditindaklanjuti? Bagaimana dengan pertanyaan tentang ‘rekening gendut’ sejumlah perwira Polri, apakah tidak perlu dicari jawaban sebenarnya? Bagaimana dengan pembunuhan aktivis Kontras, Munir, ada korban, ada pelaksana pemberi racun, tetapi siapa dan di mana orang-orang yang menyuruhnya? Bagaimana dengan pelaku penganiayaan Tama Langkun yang mempersoalkan rekening gendut perwira Polri? Bagaimana pengungkapan lanjut kasus Mafia Hukum dan Mafia Pajak Gayus Tambunan dan tali temalinya di tubuh kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan?
Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi.