Tag Archives: kelompok teknokrat

Timur Pradopo Dalam Kancah Kerusuhan 1998 (4)

“Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinga. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa,..”. “Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi”.

Timur Pradopo dan SBY. DALAM rangka pengamanan Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR Maret 1998, melalui suatu perintah operasi dari Panglima ABRI, untuk ibukota Jakarta, dibentuk Komando Operasi Jaya (Koops Jaya). Menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Hamami Nata di depan TGPF (28 Agustus 1998), “Koops Jaya ini khusus untuk mengamankan kampanye, pasca kampanye, pemilu, pasca pemilu, Sidang Umum MPR, sampai berakhir akhir Juni 1998. Panglimanya adalah Pangdam selaku Pangkoop Jaya, dan wakilnya adalah adalah Kapolda, sebagai Wapangkoop Jaya”. Dalam skala kecil, pengamanan diserahkan kepada Polri, tetapi tetap di-back-up Koops Jaya sebagai lapis kedua. “Tetapi ketika eskalasi sudah cukup besar, penanganan langsung ke tangan Pangdam sebagai Pangkoop Jaya”.

Menambahkan penjelasan Mayjen Hamami Nata tentang Komando Pengendalian di ibukota itu, Kapolres Jakbar Letnan Kolonel Timur Pradopo, memaparkan bahwa sebagai penjabaran kesatuan wilayah, “ada yang namanya Komando Pelaksana Operasi, dengan Komandan Kodim sebagai Dankolaops, dan Kapolres sebagai Wadankolaops”. Pengamanan di wilayah Jakarta Barat, dari Koops ada sekitar 7 SSK, dan dari Polres Jakarta Barat 8 SSK, yang seluruhnya sebanyak 4000 orang.

Adakah kedekatan khusus Letnan Kolonel Timur Pradopo, dengan salah satu faksi tertentu dalam tubuh militer yang ada dalam political game di tahun 1998 itu? Kalau ada, dengan faksi atau kelompok kepentingan yang mana, kelompok Jenderal Wiranto atau kelompok Letnan Jenderal Prabowo Subianto? Atau suatu kelompok lain di luar itu? Sejauh ini, hal itu tak terdeteksi. Tetapi sejauh yang dapat dicatat dalam tali temali peristiwa politik di tahun 1998 itu, para pimpinan Polri, khususnya Jenderal Dibyo Widodo merasa sangat berang karena menganggap dikorbankan oleh pimpinan ABRI Jenderal Wiranto demi kehati-hatiannya –untuk tidak menyebutkannya sebagai tanda kegentaran– menghadapi manuver-manuver Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Pola kerusuhan by design pada bulan Mei 1998 ini bisa dibandingkan dengan pola kerusuhan yang diciptakan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, saat setidaknya dua kelompok militer dan politik –kelompok Jenderal Soemitro dan kelompok Jenderal Ali Moertopo serta kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro cs– ‘bertarung’ dalam suatu political game. Dalam permainan itu, mahasiswa Jakarta terposisikan sebagai ujung tombak permainan –untuk tidak menyebutnya dijadikan pion percaturan politik dan kekuasaan– yang kemudian di’korban’kan, sementara Jenderal Soeharto pada babak akhir menjadi pemenang sesungguhnya.

Dalam opini, tersangka kuat para penembak mahasiswa dalam insiden Trisakti 12 Mei 1998 adalah pasukan penyusup yang berasal dari kelompok di bawah pengaruh Letnan Jenderal Prabowo. Motifnya, menciptakan kadar kerusuhan luar biasa dengan kategori situasi darurat agar Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi pembentukan lembaga pengamanan dengan wewenang ekstra. Tetapi dalam konteks teori konspirasi, bukan mustahil para penembak mahasiswa itu justru dari kelompok tentara lainnya, yang berkepentingan terciptanya martir di kalangan mahasiswa untuk memicu suhu situasi yang bisa membuka pintu kejatuhan Soeharto. Atau memang sekedar insiden sederhana, dilakukan salah satu satuan polisi di bawah komando Letnan Kolonel Timur Pradopo, yang katakanlah tanpa motif politik tetapi karena faktor emosi. Namun, karena di satu pihak tidak ada dorongan kuat untuk suatu pengungkapan tuntas atas peristiwa, dan pada pihak lain kelompok-kelompok kekuatan yang ada memang berkepentingan untuk menutup tabir peristiwa, maka siapa sebenarnya pembunuh para mahasiswa itu tidak pernah betul-betul bisa terungkap. Tinggallah sejumlah perwira polisi berpangkat rendah sebagai kambing hitam yang tergiring ke depan Mahkamah Militer. Protes Jenderal Dibyo Widodo terhadap dikorbankannya Polri, membawa sang jenderal pada akhir karirnya di kepolisian.

Bagaimana dengan Letnan Kolonel Timur Pradopo yang menjadi pemegang komando lapangan saat para mahasiswa itu tertembak? Menurut urutan logika, bila Timur Pradopo harus ditindaki dalam konteks peristiwa Mei 1998, maka banyak tokoh yang posisinya berada pada urutan-urutan di atas dirinya, dan lebih kontroversial perannya dalam peristiwa, yang harus terlebih dulu dimintai pertanggungjawaban. Dan sebagaimana sejumlah tokoh militer pada posisi ‘penting’ pada bingkai peristiwa, yang bisa melanjutkan menapak karir ke jenjang lebih tinggi, Timur Pradopo pun bisa mengalir karirnya. Setelah Peristiwa 1998, kita bisa melihat, hanya Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan beberapa orang dekatnya seperti antara lain Mayor Jenderal Zacky Makarim, yang tersingkir dari barisan elite militer.

DUABELAS tahun setelah peristiwa tahun 1998 berlalu, Timur Pradopo berhasil meniti karir dengan baik, dan kini per 22 Oktober 2010, telah mencapai posisi puncak Kepolisian RI, sebagai Kapolri dengan pangkat Jenderal penuh. Kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri, di saat beberapa jenderal polisi lainnya yang senior, lebih banyak disebut-sebut dalam ‘bursa’ pencalonan? Dua di antaranya, Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, bahkan seakan-akan tinggal melangkah ke kursi nomor satu di Trunojoyo.

Adakah persentuhan antara Timur Pradopo sebagai Kapolres Jakarta Barat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pusaran Peristiwa Mei 1998? Saat SU MPR berlangsung, Maret 1998, Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono yang di tahun sebelumnya menjabat Pangdam Sriwijaya, menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR. Setelah itu ia diangkat sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. Sebelumnya jabatan Kaster disebut sebagai Kasospol ABRI. Setelah dwifungsi ABRI ditinggalkan, dianggap tak perlu lagi ada jabatan dalam organisasi ABRI untuk menangani masalah sospol. Tak ada catatan tentang persentuhan Timur dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peristiwa Mei 1998. Tetapi diketahui bahwa saat Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono menjelang mengakhiri masa tugasnya sebagai Komandan Kontingen Garuda XIV yang tergabung dalam United Nation Protection Forces di Bosnia-Herzegovina (November 1995 – April 1996), ke dalam pasukannya bergabung 40 perwira Polri yang baru tiba dari tanah air. Tiga di antara perwira itu adalah Mayor Polisi Timur Pradopo, Mayor Ito Sumardi dan Mayor Wahyono. Mengutip Koordinator Indonesia Police Watch Neta S. Pane, Tempo menyebut ketiga perwira yang kini berpangkat Komisaris Jenderal itu sebagai Geng Bosnia di Trunojoyo.

Sejumlah hutang kewajiban. Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinya. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah Polri berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa, seperti: Siapa pelaku sebenarnya kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning tahun 1970 dan pembunuhan wartawan Udin (Sjarifuddin), di Yogyakarta. Siapa pembunuh sebenarnya peragawati Dietje yang sempat dikaitkan dengan keluarga tokoh puncak kekuasaan dan sederet kasus lama lainnya?

Dan yang terbaru, tentu saja, bagaimana sebenarnya liku-liku konspirasi pembunuhan yang kini menempatkan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai terhukum menurut lembaga-lembaga peradilan seluruh tingkat? Apa dan bagaimana sebenarnya kasus Bank Century –yang menjadi hutang bersama Polri, KPK dan Kejaksaan– yang di latar belakangnya dibayangi skandal keuangan berbau politik? Bagaimana tindak lanjut atas informasi hasil tiupan peluit Komjen Susno Duadji? Katakanlah memang Susno adalah ‘maling teriak maling’ –setidaknya menerima suap 500 juta rupiah menurut apa yang disebut dalam keputusan pengadilan terhadap Sjahril Djohan– tetapi bagaimana dengan para maling yang diteriakinya, apa tidak ditindaklanjuti? Bagaimana dengan pertanyaan tentang ‘rekening gendut’ sejumlah perwira Polri, apakah tidak perlu dicari jawaban sebenarnya? Bagaimana dengan pembunuhan aktivis Kontras, Munir, ada korban, ada pelaksana pemberi racun, tetapi siapa dan di mana orang-orang yang menyuruhnya? Bagaimana dengan pelaku penganiayaan Tama Langkun yang mempersoalkan rekening gendut perwira Polri? Bagaimana pengungkapan lanjut kasus Mafia Hukum dan Mafia Pajak Gayus Tambunan dan tali temalinya di tubuh kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan?

Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (10)

Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. “…. menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.

ADALAH menarik bahwa bersamaan dengan radikalisasi mahasiswa Jakarta pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat.

Sejak pertengahan tahun 1973, tatkala melakukan kunjungan marathon bertemu dengan dewan-dewan mahasiswa di berbagai kota terkemuka pulau Jawa –seperti Bandung, Surabaya dan Yogyakarta– popularitas dan nama Pangkopkamtib Jenderal Soemitro ibarat berada dalam satu kurva yang terus menanjak. Namanya bahkan dikaitkan dengan pola kepemimpinan nasional baru, sehingga di kampus-kampus yang dikunjunginya sejak Agustus 1973 mahasiswa bertanya “Apakah betul bapak berambisi menjadi Presiden ?”. Wacana akan adanya pergantian pimpinan nasional dalam waktu tak terlalu lama lagi segera merebak, meskipun Jenderal Soemitro senantiasa mengelak dan pada akhirnya menegaskan “Bukan mau tak mau, kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”.

Akan tetapi pada Rabu tanggal 2 Januari 1974, kurva yang sedang menanjak itu bagaikan membentuk garis patah secara tiba-tiba. Dengan wajah yang digambarkan muram bercampur keberangan, Jenderal Soemitro yang baru saja menghadap Presiden Soeharto –bersama Ali Moertopo dan Sutopo Juwono– menyampaikan kepada para wartawan yang mencegatnya di Cendana bahwa ada usaha adu domba antara dirinya dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Juwono, dan antara Sutopo Juwono dengan Ali Moertopo. “Ada isu-isu yang menyebutkan akan ada penggantian pimpinan nasional mulai 1 April”, atau paling lambat pertengahan tahun ini. Ia merasa dituduh berambisi menjadi pimpinan nasional baru. “Isu-isu itu disadap dari pertemuan saya dengan mahasiswa-mahasiswa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat”, ujarnya seraya mengacungkan-acungkan telunjuknya. “Itulah yang kemudian dikembangkan seolah-olah akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1 April”. Suatu isu, “yang betul-betul aneh, keterlaluan dan kejam !”. Dan seperti Ali Moertopo yang beberapa hari sebelumnya mensitir kata-kata bersayap dari ‘sejarah’, Jenderal Soemitro pun menyatakan bahwa menurut pengalaman sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, “Yang ingin tidak dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.

Ali Moertopo, sebagaimana dikutip oleh koran berbahasa Inggeris ‘The New Standard’ pada edisi 31 Desember 1973, telah mengeluarkan pernyataan bernada peringatan dengan juga mensitir ‘pengalaman’ sejarah. “Janganlah ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. Ali Moertopo memberi contoh dari sejarah, “Runtuhnya banyak kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh kepemimpinan yang goyah. Dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah itu, tidak ada pilihan lain selain dari memperkuat kepemimpinan nasional kita”.

Peringatan dari dua jenderal yang tampaknya bernada sama itu, pada hakekatnya adalah lontaran-lontaran peringatan yang bermata dua. Ali Moertopo berposisi sebagai pihak yang memperingatkan kepada siapa pun, tapi pasti terutama kepada Jenderal Soemitro. Tetapi sebaliknya, Jenderal Soemitro pun memberi peringatan, baik kepada yang dianggapnya penyebar isu maupun insinuasi, maupun kepada pihak lain yang juga pada hakekatnya punya ambisi sama, baik karena merasa dipersiapkan atau karena merasa akan jadi. Di pintu Cendana pada tanggal 2 Januari 1974 itu –sebagaimana yang dituturkannya sendiri kemudian hari– Jenderal Soemitro juga menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya, “Saya dan dia diisukan akan mengganti Presiden Soeharto…. Saya diadukan dengan Jenderal Ali Moertopo, kemudian Jenderal Ali Moertopo diadukan dengan pak Topo. Keterlaluan”. Lalu ia memperingatkan “Jangan sampai meluas isu yang demikian. Isu itu sama sekali tidak benar dan sangat kotor”. Ali Moertopo pun menimpali, “itu makar”. Siapa pembuat isu dan insinuasi ? “Nanti akan terungkap juga !”, cetus Jenderal Soemitro.

Hari itu, kedua jenderal itu baru saja bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana selama kurang lebih 1 jam, bersama Letnan Jenderal Sutopo Juwono. Akan tetapi beberapa hari sebelumnya, pada Senin pagi tanggal 31 Desember 1973, ada pertemuan lebih luas yang diikuti oleh ketiga jenderal itu beserta Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo. Sebagian yang hadir dalam pertemuan 31 Desember itu telah ‘dibekali’ dengan informasi tentang peringatan yang telah dilontarkan Ali Moertopo melalui ‘The New Standard’ edisi hari itu.

Adanya pertemuan 31 Desember 1973 yang berlangsung di Istana Merdeka, pada satu sisi seolah-olah dibuat samar-samar namun memang pada sisi lain dibuat sedemikian rupa agar bisa diketahui sebagian masyarakat dan diberikan kesan ‘penting’. Apa yang dibicarakan pada pertemuan itu tidak diperincikan kepada masyarakat. Akan tetapi peringatan Ali Moertopo di ‘The New Standard’ –suatu koran berbahasa Inggeris dengan oplaag atau tiras yang terbatas– telah memberikan indikasi awal masalah yang akan menjadi pembicaraan pertemuan pagi tersebut. Segalanya lalu menjadi jelas setelah terjadi pertemuan lanjutan tiga jenderal tersebut dua hari kemudian di Cendana dan disampaikan kepada pers. Sejumlah wartawan yang diberi tahu tentang pertemuan itu telah bersiaga dan mencegat Jenderal Soemitro –terutama, dan bukan Ali Moertopo– lalu menghujani sang jenderal dengan serentetan pertanyaan.

Dari dua pertemuan, terlihat bahwa Jenderal Ali Moertopo ada di atas angin. Apalagi, tanpa banyak diketahui beberapa hari sebelumnya Presiden Soeharto pun telah mengadakan pertemuan tersendiri –tempatnya di luar Jakarta– dengan sejumlah menteri dari kelompok teknokrat dan kelompok Aspri. Tujuan pertemuan itu adalah untuk menjembatani ketidakserasian pandangan antara sementara Aspri –Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani– dengan kelompok teknokrat dalam pemerintahan yakni Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Teknokrat yang hadir antara lain adalah mereka yang duduk di Bappenas, ditambah Barli Halim dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Rachmat Saleh dari Bank Indonesia.

Dalam pertemuan dengan para teknokrat ini, Presiden Soeharto –seperti halnya dalam dua pertemuan berikutnya dengan para jenderal di Istana Merdeka dan Cendana– telah bertindak seakan-akan ‘moderator’ untuk menyatukan pandangan-pandangan antara satu dengan yang lainnya. Bersamaan dengan itu, Presiden Soeharto menggariskan pula beberapa kebijaksanaan, antara lain tentang akan dibentuknya suatu badan yang mirip Dewan Stabilisasi Ekonomi di bidang politik. Agaknya atas dasar penggarisan itulah maka Mayor Jenderal Ali Moertopo mengutarakan dalam ‘The New Standard’ edisi 31 Desember 1973 bahwa Presiden Soeharto berniat untuk membentuk suatu Dewan Stabilisasi Sosial Politik dan juga akan mengadakan pertemuan rutin sekali seminggu dengan dewan ini sebagaimana halnya dengan Dewan Stabilisasi Ekonomi. Adalah pula dalam pertemuan dengan teknokrat dan Aspri itu Presiden menegaskan kembali tentang hak prerogatifnya untuk menggunakan Aspri-aspri. Dan yang terpenting dalam kaitan masalah Aspri ini, penegasan Presiden Soeharto bahwa urusan pembinaan sosial politik tetap akan dipercayakan kepada Aspri Bidang Politik Mayor Jenderal Ali Moertopo.

Jadi, tatkala masuk ke ruang-ruang pertemuan di Cendana dan Istana Merdeka, Ali Moertopo memang ada dalam posisi atas angin terhadap Jenderal Soemitro dan juga Jenderal Sutopo Juwono.  Adalah pula Ali Moertopo yang sebelum dua pertemuan terakhir ini yang sudah terlebih dahulu menunjukkan keunggulan informasi kebijakan tingkat tinggi –yang mengesankan ia berada di pusat pengambilan keputusan– dengan mengungkapkan akan adanya minor reshuffle di tubuh kekuasaan, khususnya di eselon militer tertinggi. Bahwa Laksamana Soedomo yang menjabat Wakil Panglima Kopkamtib saat itu akan mendapat promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi dari jabatannya saat itu. Ali tidak mengungkap secara tepat jabatan baru itu, tapi tak ada jabatan lebih tinggi lagi di lingkungan itu selain jabatan pimpinan Kopkamtib itu sendiri. Sementara jabatan lebih tinggi lainnya di lingkungan Hankamnas sangat bisa dihitung dengan jari dan terbatas, yakni jabatan Menteri Hankam Panglima Angkatan Bersenjata yang sedang diduduki Jenderal Maraden Panggabean yang saat itu tampaknya sedang ‘tidak dipermasalahkan’.

Suatu laporan Badan Koordinasi Intelejen Negara, yang dikeluarkan tiga bulan kemudian –dengan kata pengantar yang ditandatangani oleh Kepala Bakin baru Yoga Soegomo– secara formal tidak mengakui adanya perpecahan internal di kalangan kekuasaan tersebut. Bakin hanya menggambarkan adanya gerakan-gerakan tertentu yang ingin memanfaatkan asumsi adanya perpecahan di kalangan kekuasaan tersebut. Lebih tepatnya, Bakin ingin mengesankan bahwa adanya perpecahan hanya sekedar ditiup-tiupkan dari arah eksternal. Kelompok ex PSI melalui wartawan senior Rosihan Anwar misalnya, antara 11-13 Desember 1973 dicatat telah memberitahukan kepada Hariman Siregar tatkala berada di Hotel Ambarukmo Yogya tentang perpecahan antara Aspri dan Pangkopkamtib. Padahal pada bulan Agustus 1973, hal-hal seputar rivalitas itu sudah menjadi bahan pertanyaan yang diajukan mahasiswa Bandung misalnya kepada Pangkopkamtib maupun kepada kalangan kekuasaan lainnya.

Masih dalam rangkaian laporan itu, dicatat pula bahwa pada 30 Desember 1973 Hariman Siregar menghadiri rapat di tempat Mochtar Lubis yang membahas “bentuk-bentuk gerakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto”. Tapi ini belakangan dibantah oleh Mochtar Lubis, bahwa pertemuan itu sendiri tidak pernah terjadi. “Dalam Peristiwa Malari itu, saya tidak ikut campur, malahan jauh sama sekali dari ikut merencanakannya”, Mochtar Lubis menegaskan. Dan kemudian ada juga catatan tentang pengarahan dua tokoh ex perjuangan 1966 dari Bandung, Rahman Tolleng dan Awan Karmawan Burhan, kepada Hariman Siregar tentang tujuan-tujuan berupa reshuffle kabinet, rehabilitasi PSI, mendorong revolusi sosial dan sinyalemen tentang jenderal-jenderal korup di sekitar Soeharto.

Selain itu, ada pula uraian mengenai gerakan Kolonel (purnawirawan) Ramadi, eks Jaksa Tentara dan tokoh Guppi, yang menggalang upaya penggulingan Pimpinan Nasional Presiden Soeharto. Gerakan Ramadi dilukiskan telah merancang hingga kepada menyiapkan penyodoran suatu kabinet baru pada saat telah tercipta kerusuhan atau huru hara. Dan bahkan telah disiapkan Mayjen Suadi sebagai pemimpin gerakan yang sekaligus akan menggantikan kedudukan Jenderal Maraden Panggabean selaku Menteri Pertahanan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata. Menurut laporan Bakin ini, gerakan Ramadi menganggap perlu mengadakan perubahan politik karena wibawa pemerintah makin menurun, ditambah inisiatif Jenderal Soemitro berkunjung ke Tafaat Tapol (Tempat Pemanfaatan Tahanan Politik) di Pulau Buru hanya akan memberi angin kepada PKI. Alasan perubahan politik lainnya adalah terkait kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Moertopo dalam bidang politik yang hanya menguntungkan orang-orang cina saja karena telah didikte oleh Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi, saudara Lim Bian Kie/Jusuf Wanandi). Alasan lainnya lagi, dikuasainya 25% uang-uang dan pinjaman luar negeri oleh orang-orang tertentu saja serta dominasi ekonomi orang cina, korupsi merajalela, sulitnya penghidupan dan lapangan kerja dan tertekannya rakyat atau buruh kecil.

Meskipun dalam rancangan Ramadi, Jenderal Soemitro disentil, namun dalam satu laporan lain yang pernah disampaikan kepada Presiden Soeharto –disampaikan oleh Jenderal Maraden Panggabean yang didampingi Wakil Ketua G-1 Hankam Laksamana Kusnaedi Bagja– nama Jenderal Soemitro dikait-kaitkan dengan rencana gerakan tersebut. Sebenarnya, adanya dokumen Ramadi ini yang menyeret nama Soemitro, lebih dahulu pernah dilaporkan Ka Bakin Sutopo Juwono kepada Presiden. Menanggapi laporan tersebut, menurut Letjen Sutopo Juwono, pertama kali Presiden justru menjawab “Mereka hanya memakai nama Mitro”. Namun kelak ketika laporan serupa disampaikan kembali kepada Presiden setelah terjadinya peristiwa tanggal 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro dipanggil Presiden. Kepadanya, Presiden berkata, “Mit, ada laporan mengenai dokumen Ramadi lagi, yang dihubung-hubungkan dengan Mitro. Ini satu organisasi yang menyebut-nyebut nama Mitro untuk tujuan yang tidak baik”.

Berlanjut ke Bagian 11