Syiah, Dendam Lama Yang Dibangkitkan Kembali (1)

“Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah tahmat”, Hadis riwayat Al Baihaqi.

PERSETERUAN karena perbedaan paham antara kelompok Sunni dan Syiah di Sampang, Madura sebenarnya bukan suatu hal baru. Kelompok Sunni menyebut aliran Syiah sebagai aliran sesat. Sudah terjadi sejak 2006, namun berlarut-larut berkepanjangan karena tak pernah ada penyelesaian yang tegas, baik di antara mereka, maupun oleh pihak pemerintah yang berwenang dalam masalah antar agama, sehingga menjadi api dalam sekam yang mudah dikobarkan kembali.

Pada sisi lain, penyerangan dan pembakaran terhadap masjid, madrasah dan rumah kelompok Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, yang dilakukan secara mendadak oleh ratusan massa yang mengaku kelompok Sunni, Kamis (29/12/2011) yang lalu, menunjukkan kekerasan atas nama agama semakin brutal. Bupati Sampang Noer Tjahja, mengatakan kerusuhan yang membuat umat Syiah itu harus mengungsi, sesungguhnya berakar dari masalah internal keluarga yang berbeda faham beragama, sehingga menimbulkan perselisihan (Kompas, 30 Desember 2011).

Menurut Ketua Dewan Syuro Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, penduduk Indonesia yang mayoritas Sunni menganggap Syiah berbeda dengan Islam pada umumnya. Syiah disebutkan memiliki Al Quran yang berbeda, memiliki azan yang berbeda, dan membolehkan kawin kontrak. Namun, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Said Agil Siraj mencurigai ada desain besar di balik kejadian tersebut, karena sejak dulu tak pernah ada perselisihan Sunni dan Syiah di Madura. Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Umar Shihab, sama-sama menegaskan kepada pers bahwa Syiah tidak sesat. Jadi, ada yang mengail di air keruh untuk merusak suasana damai di Indonesia?

Dari kepentingan politik menjadi konflik keyakinan
Sebagaimana tercatat dalam buku sejarah, awal mula munculnya perbedaan paham (khilafiyah) dalam bidang teologi (kalam) yang tidak pada substansi atau esensi Islam, terjadi pada masa akhir pemerintahan Khalifah Usman bin Affan yang berlangsung selama 12 tahun sejak tahun 644, yang berujung pada pembunuhannya, tahun 656. Waktu itu, karena persoalan jabatan politis ada sekelompok orang di pemerintahan Usman yang tidak disukai, sehingga saling mencaci, menghakimi, dan mencap kelompok yang berbeda tersebut sebagai orang kafir.

Ali bin Abi Thalib, sepupu, sahabat dan menantu Nabi Muhammad SAW, yang menggantikan Usman, dianggap tidak menjalankan apa yang diperintahkan Al Quran untuk menghukum seluruh anggota kelompok yang terlibat dalam usaha pembunuhan Usman. Ali hanya menghukum pembunuhnya saja. Kebijakan Ali tersebut mendapat tantangan dari Aisyah, janda Nabi Muhammad SAW, yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah, sehingga berujung dengan Perang Jamal (Unta) yang dimenangkan Ali. Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Setelah itu, banyak kebijakan-kebijakan Ali yang mendapatkan perlawanan dari Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Damaskus dan kerabat Usman, yang didukung oleh sejumlah bekas penjabat tinggi di masa pemerintahan Usman, dengan terjadinya Perang Siffin. Ali yang sebenarnya ingin menghindari perang dengan sesama muslim, dan menyelesaikan perkara itu dengan damai, untuk mengakhiri perang tersebut Ali melakukan tahkim atau perundingan (arbitrase) dengan Muawiyah. Kelompok Khawarij yang semula pendukung Ali, berbalik menghakimi Ali dan Muawiyah, serta pihak lain yang terlibat, yaitu Amru bin Ash, dan Musa Al Asy’ari, sebagai orang kafir, dan halal darahnya. Dalam suatu kesempatan, Ali akhirnya terbunuh oleh orang yang tidak senang padanya.

Pengikut Ali (syi’i), yang sejak Nabi Muhammad SAW wafat sangat yakin Ali berhak menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai khalifah, lalu mengalihkan dukungan kepada keturunan Ali hingga anak cucunya (ahlulbait). Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syiah itu, semakin tersisih dari pusat pemerintahan setelah terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, putra kedua Ali, dalam penghadangan di Karbala oleh Jazid bin Muawiyah, yang kemudian mendirikan Dinasti Muawiyah. Sedangkan kelompok jalan tengah, atau pengikut Khalifah al Rasyidin menerima kepemimpinan Muawiyah, dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang kemudian lebih akrab disebut sebagai kelompok Sunni.

Perbedaan pandangan yang tajam antara Syiah dan Sunni, adalah dalam penafsiran Al-Qur’an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syiah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait (Ali bin Abi Thalib), sementara sumber yang lainnya, seperti Abu Hurairah, yang mendukung Muawiyah, tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syiah mengakui otoritas Imam Syiah keturunan Ali bin Abi Thalib (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syiah berbeda dalam siapa pengganti para imam tersebut, dan menetapkan imam mereka saat ini.

Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i, tokoh kelahiran Troblus, Lebanon pada 1924, dalam bukunya bertajuk “Islamuna fi at-Taufiq Baina as-unni wa asy-Syi’ah”, perbedaan antara kedua paham tersebut bukanlah persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiyah yang dapat ditoleransi. Beberapa hal penting yang menjadi perhatian ar-Rifa’i di antaranya perbedaan hukum nikah mut’ah (kontrak berjangka), konsep imamah (kepemimpinan agama yang diturunkan menurut garis keturunan Ali), dan kemunculan Imam al-Mahdi (Islam Digest Republika, 5 Juni 2011).

Walaupun dalam perkembangannya terjadi sekte-sekte Syiah yang menyimpang, namun secara teologi antara Sunni dan Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariyah) tidak memiliki perbedaan mendasar, baik dalam hal konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya, namun untuk kepentingan politis penguasa setempat kedua aliran ini mudah diadudomba. Perselisihan menjadi semakin besar, setelah paham Aswaja yang dulunya hanya sekadar cara pandang atau pola pikir (manhaj al-fikr) dalam sebuah permasalahan agama semakin banyak diikuti banyak orang, akhirnya berubah menjadi mazhab yang diterima penguasa. Sedangkan Syiah, yang dimusuhi pemerintah yang berkuasa menjadi mazhab yang tidak populer dan dikejar-kejar oleh penguasa yang represif. Bahkan, untuk mencari selamat kaum Syiah menerapkan taqiyyah (sikap menyembunyikan diri), tindakan menampilkan fakta yang berbeda soal urusan agama, baik dengan perkataan maupun perbuatan, agar tidak menimbulkan konflik mereka nampak seperti penganut mazhab setempat.

Di Timur Tengah, misalnya perselisihan paham antara Sunni dan Syiah sebagai ujung dari pertikaian politik menjadi semakin marak setelah Amerika Serikat menyerang Irak, dan memanfaatkan celah perselisihan potensial tersebut dengan baik. Bahkan, di Indonesia, Syiah yang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat pun mudah menjadi sasaran kepentingan pihak yang mengaku sebagai kelompok Sunni.

Unjuk kekuatan sebagai isyarat untuk meredam proyek deradikalisi
Masalahnya, pada dasarnya umat Islam di Indonesia tergolong moderat, tapi ketika terjadi pelecehan pada ranah akidah, resistensinya akan menjadi sangat kuat dalam bentuk tindakan kekerasan massa. Prof. Baharun, pemerhati Syiah sekaligus Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, menanggapi pembakaran Ponpes Syiah di Sampang yang disampaikan kepada Eramuslim.com, Selasa (03/01/2012) yang lalu, mengatakan penyebab bentrok tersebut adalah akibat dari kesalahan dakwah kelompok Syiah yang dianggap sebagai aliran sesat yang merusak akidah. “Kita sama sekali tidak membenarkan pembakaran dan kekerasan, tapi mungkin masyarakat sudah kesal. Tidak ada solusi yang dilakukan terhadap sepak terjang Syiah yang merusak akidah,” tandasnya. (http://www.eramuslim.com/berita/nasional/aparat-diminta-usut-syiah-sebagai-pemicu-bentrok.htm)

Masalah Syiah memang mencuat setelah terjadi Revolusi Islam Iran (1979), ketika kelompok ulama Syiah berhasil mengusir Shah Iran, yang memunculkan ketokohan Ayatollah Khomeini, banyak orang kagum dengan ajaran Syiah yang dianggap lebih progresif. Pada awal gerakannya bersifat intelektual, namun sejak kehadiran alumnus Qum gerakan Syiah mulai mengembangkan Fiqh Syiah, sehingga muncullah lembaga-lembaga Syiah.

Berlanjut ke Bagian 2

Ditulis untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

One thought on “Syiah, Dendam Lama Yang Dibangkitkan Kembali (1)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s