Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (2)

MENGHADAPI masalah Jawanisme, praktik-praktik ibadah yang bercampur dengan tradisi masyarakat setempat, Kiai Dahlan menggunakan metoda yang selalu mengedepankan berbuat baik (amar makruf) mengajak dengan bijaksana untuk mencari solusi, bukannya menyerang tradisi tersebut dengan keras (nahi mungkar). Waktu itu, banyak bangunan masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Mekah, karena dibangun berdasarkan pertimbangan kerapihan pembangunan kota dengan mengikuti rentetan jalan yang sudah ada. Mulanya, Kiai Dahlan yang ahli dalam ilmu falak berusaha untuk membetulkan arah kiblat masjid di Yogyakarta, namun menimbulkan insiden yang membuatnya berpikir lebih bijak setelah suraunya dibakar massa yang protes. Dalam suatu kesempatan lain, kepada para jamaah masjid yang salah arah kiblat ia mengatakan bahwa untuk bisa menampung seluruh jamaah di dalam masjid, saatnya bangunan itu harus diperbesar dan diperindah, serta kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Mekah. Usulan tersebut diterima sepenuhnya oleh para jamaah.

VISUALISASI KH AHMAD DAHLAN MUDA DALAM POSTER FILM ‘SANG PENCERAH’. Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema sekaligus. “…. Ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut wasathiyah (moderat, posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak”. (gambar download).

Untuk memperbaiki arah kiblat masjid di kota-kota lain yang kurang sempurna, Kiai Dahlan berinisiatif mengumpulkan para tokoh ulama di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk melakukan musyawarah. Walaupun setiap tokoh ulama daerah itu memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun hasil musyawarah tersebut membawa pengaruh yang besar dalam pemahaman baru beragama yang rasional. Kiai Dahlan menghendaki umat Islam tidak menjadi orang yang jumud, yang hanya mengikuti dan menerima saja segala ajaran Islam tanpa memverifikasinya terlebih dahulu, apakah ajaran itu benar dari Islam atau sebaliknya, justru berasal dari kelompok lainnya yang bisa menyebabkan rusaknya akidah umat Islam.

Perilaku yang ramah, tidak mencari musuh itulah yang membuat paham Muhammadiyah menyebar dengan damai ke seluruh Indonesia (Islam Digest Republika, 22 November 2009). Namun dalam versi yang lunak, pesantren yang berafiliasi Muhammadiyah ada juga yang menunjukkan sikap menghakimi warga Islam tradisional yang melakukan ziarah kubur sebagai perbuatan bid’ah. Ciri khas pesantren Muhammadiyah ini adalah tidak ada ritual tahlilan. Tidak ada qunut saat salat Subuh atau paruh akhir shalat tarawih. Jumlah raka’at shalat tarawih cuma 8 raka’at.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan Islam, bukan hanya sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi juga sebagai ajaran yang dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Untuk menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Karena itu, gerakan Muhammadiyah selain menyediakan tempat pendidikan, juga mengadakan fasilitas pendukung yang menyangkut kepentingan umat, dengan mengadakan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/Aisyiyah, Balai Kesehatan Ibu dan Anak, Balai Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, dan Apotek), dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial (Panti Asuhan Yatim, Panti Jompo, Balai Kesehatan Sosial, Panti Wreda/Manula, Panti Cacat Netra,  Santunan Keluarga, Wreda/Manula, dan Kematian, BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah), Rehabilitasi Cacat, Sekolah Luar Biasa, dan Pondok Pesantren) di seluruh Indonesia (http://id.wikipedia.org/ wiki/Muhammadiyah).

Kubu Islam modern yang menjaga kerukunan bangsa

Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema sekaligus. Bagaimanapun, Muhammadiyah mempunyai sikap tegas menanggapi maraknya aliran menyimpang di luar ajaran Islam, namun tidak mengandalkan aksi kekerasan, dan diharapkan bisa menjadi media dakwah. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, Muhammadiyah menolak paham yang meyakini adanya nabi setelah Muhammad SAW. “Sejak tahun 1933, Majelis Tarkih Muhammadiyyah sudah mengeluarkan putusan bahwa sesuai akidah Islam, Muhammadiyah menolak ada pemahaman dan ajaran lain yang meyakini nabi baru selain nabi Muhammad. Apapun dan siapa pun yang melakukan,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Hal itu dia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Masalah Kerukunan Umat Beragama dan Solusinya” di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/2/2011).

Namun, walaupun memiliki sikap tegas terhadap aliran yang menyimpang itu, Muhammadiyah cukup dewasa menyikapi desakan pembubaran Ahmadiyah. Dari pada ikut serta dalam berbagai aksi yang tidak jelas kesudahannya, Muhammadiyah lebih memilih sikap netral. “Muhammadiyah tidak mau ikut gerakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Karena eksistensi suatu kelompok seperti Ahmadiyah itu bukan urusan masyarakat, tapi negara dan pemerintah. Kami menyerahkan kepada negara,” kata Din Syamsudin. Menurutnya, sebagai warga yang baik hendaknya memberikan solusi bukan menambah keruh suasana. Ada baiknya ajaran sesat seperti itu dituntun ke jalan yang benar (http://news.detik.com/read/2011/02/21/ 153452/1575274/10/ sejak-tahun-1933-muhammadiyah-tolak-ajaran-menyimpang)

Dalam kesempatan lain, dalam Tabligh Akbar di Gedung Kelab Sultan Sulaiman, Kg. Baru, Bandar Kuala Lumpur, Rabu (20/04/2011), Din Syamsudin menegaskan sebagai gerakan tajdid,  Muhammadiyah disebut-sebut sebagai gerakan puritan. Namun, ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut wasathiyah (moderat,  posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak. Muhammadiyah harus senantiasa menjaga dan memegang teguh keseimbangan (tawazun) antara gerakan tajdid  dalam pemurnian akidah dan ibadah (mahdhoh), dan tajdid dalam bidang amaliyah (mu’amalah dunyawiyah).

Dari gerakan purifikasi dan tajdid tersebut, terbentuklah rasionalisasi yang ditandai dengan aksi nyata atau amal usaha yang memberikan manfaat kepada masyarakat luas, seperti amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Dan amal usaha ini harus dikelola secara profesional dan modern. Dari sini para pengamat, baik dari dalam atau luar negeri, menilai bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam modern.

Pada acara puncak World Interfaith Harmony Week dengan tema “Harmoni Untuk Indonesia” yang diselenggarakan IRC (Inter Religious Council Indonesia) di Gedung Nusantara IV MPR/DPR RI, Minggu, (12/2/2012), Din Syamsudin, Ketua IRC, mengatakan perayaan itu merupakan simbol untuk menyampaikan pesan kerukunan ke seluruh pelosok negeri. “Dari sini kita bisa sampaikan ke penjuru dunia supaya tetap hidup dalam kerukunan, bersedia untuk selalu berdampingan dan penuh dengan kedamaian,” kata Din Syamsudin. Saat ditanya mengenai konflik yang terus muncul di negeri ini dengan dalih agama, Din Syamsudin mengatakan: “Di Indonesia yang majemuk ini, kami berharap berbagai macam ketegangan konflik apalagi yang mengatasnamakan agama dapat dihindari secara bersama. Memang, kita tidak menutup mata masih banyak masalah-masalah yang ada, tapi kita tidak bosan untuk terus menyuarakan kerukunan dan harmoni ini demi utuhnya persatuan dan kesatuan” (http://nasional.inilah.com/read/detail/1829278/din-bicara-kerukunan-dan-perdamaian-beragama). Menciptakan keharmonisan untuk membangun NKRI sangat diperlukan, namun di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, ternyata juga tidak bisa lepas dari risko menghadapi berbagai macam perpecahan.

Terlalu semangat dengan ijtihad amali, lupa tajdid

PADA masa kepemimpinan Kiai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di beberapa kota-kota di Jawa Tengah, seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan dan Pekajangan (daerah Pekalongan sekarang). Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah itu berdiri pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam waktu yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruhIndonesia.

-Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’. Namun, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Berlanjut ke Bagian 3

Advertisement

One thought on “Muhammadiyah: Islam Kota Yang Semakin Elit (2)”

  1. Constantly I used to read smaller articles
    which also clear their motive, and that is also happening with this article which I am reading here.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s