TELAH empat tahun lebih Joko Widodo –kini Presiden RI yang sedang mempersiapkan diri menuju periode kedua– senantiasa berada dalam lekatan stigma PKI. Terhadap tuduhan PKI pada dirinya, Joko Widodo mengatakan di depan deklarasi akbar ulama Madura (19/12) “Saya sudah empat tahun diam saja. Saatnya saya berbicara sekarang ini.” Jokowi lalu menuturkan, berdasarkan survei ada 9 juta orang yang percaya dengan isu PKI dan tuduhan anti ulama dan antek asing. “Kalau sudah 9 juta, saya menjawab. Ini perlu saya menjawab. Saya diam kemarin bukan karena apa-apa. Ini saya jawab supaya tak berkembang jadi 10 juta, 11 juta, 12 juta, 15 juta. Bahaya sekali. Sehingga perlu saya jawab.”
Ini ulangan penjelasan serupa yang sebelumnya telah disampaikan Jokowi di Lampung Tengah (23/11) dalam acara membagi-bagi sertifikat tanah. “Ini yang kadang-kadang, haduh, mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul”. Sepekan kemudian saat bertemu Yusril Ihza Mahendra, dan mengeluhkan soal itu (30/11) Ketua Umum PBB itu menasehatinya untuk menjawab. Agar berita yang dianggap bohong oleh Jokowi itu “tidak menjadi benar” karena tidak ada penjelasan.
Sesungguhnya, Joko Widodo tidaklah benar-benar hanya diam selama 4 tahun terhadap pelekatan stigma PKI pada dirinya. Di tahun 2014 pun ia sudah menjawab. Sebuah tulisan di socio-politica.com (1 Oktober 2014) memaparkan bahwa dalam masa-masa menjelang Pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo sudah digempur dengan isu bahwa orang tuanya terindikasi PKI. Isu ini meluncur dari Obor Rakyat dan dikutip oleh berbagai media. Kubu pesaing menyangkal sebagai sumber isu. Namun baru-baru ini, tiba-tiba tampil La Nyalla Mattalitti –yang sempat sejenak menjadi Ketua Umum PSSI– dengan pengakuan dosa bahwa dia lah orang yang berada di balik penyebaran isu PKI terkait Joko Widodo sejak tahun 2014. Untungnya, saat bertemu, Joko Widodo memilih untuk tidak menabok La Nyalla. Tim Kampanye Nasional 01 pun menyatakan takkan menyeret La Nyalla ke ranah hukum. Suatu situasi yang ‘unik’ juga.

“Saya sudah minta maaf, dan saya mengakui bahwa saya yang sebarkan isu PKI itu. Saya yang ngomong pak Jokowi PKI. Saya yang mengatakan pak Jokowi itu agamanya nggak jelas. Tapi saya sudah minta maaf,” pers mengutip La Nyalla usai bertamu ke kediaman Ma’ruf Amin (11/12). Setelah bertemu Ma’ruf Amin, La Nyalla juga mengaku bertemu langsung dengan Joko Widodo untuk meminta maaf sekaligus mendeklarasikan diri sebagai pendukung. Presiden Joko Widodo sendiri menyebut La Nyalla Mattalitti –yang mantan kader Gerindra– sudah tiga kali meminta maaf kepada dirinya. “Pak Nyalla sudah ketemu saya di Surabaya. Sudah minta maaf tiga kali,” kata Jokowi kepada pers di Jakarta (Senin 17/12).
Catatan Tahun 2014
Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap stigma PKI di tahun 2014 tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Tentu sederhana dan mudah sebenarnya menepis tuduhan orang tua Joko Widodo itu PKI. Cukup dengan menampilkan foto atau profil dan catatan riwayat hidup ayah dan ibunda Jokowi secara luas di media televisi dan media lainnya. Lebih-lebih kini, sebagai presiden, Joko Widodo bisa meminta aparat keamanan negara yang punya kompetensi, membuka arsip atau catatan yang ada mengenai kedua orang tua. (Baca juga ‘Catatan Sejarah’ Sebagai Senjata (Bumerang) Politik – https://bit.ly/2rTxq82)
Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan orang-orang anti militer. Maka di bulan Juni 2014, massa PDIP menyeruduk kantor tvOne di Yogyakarta dan di Pulogadung Jakarta.
Reaksi Jokowi dan PDIP kala itu sedikit mengherankan, demikian socio-politica.com menulis. Apakah memang Jokowi dan para petinggi PDIP masih melihat PKI sesuai sudut pandang di masa Orde Baru bahwa PKI adalah stigma yang harus dihindari? Bukankah PDIP menjelang 2014 membuka diri bagi mereka para penderita stigmatisasi terkait PKI? Ada Ribka Tjiptaning di sana, ada juga eks tokoh PRD Budiman Sudyatmiko yang diberi label PKI muda oleh kalangan tentara. “Dan harus diakui sepanjang yang bisa diamati, mereka yang di masa lampau adalah pengikut atau simpatisan PKI, sejak awal memang berkecenderungan menjadikan PDI dan atau PDIP sebagai pilihan untuk bernaung. Dari pemilu ke pemilu secara empiris diketahui bahwa sebagian suara untuk PDIP berasal dari simpatisan eks PKI. Mayoritas simpatisan eks PKI memang menempatkan PDIP sebagai pilihan pertama, dan hanya beberapa lainnya yang memilih partai lain, seperti misalnya Golkar.”
Dalam perkembangan terbaru, bekas anggota PKI dan keluarganya kini legal sejajar dengan warga negara yang lain, dan sudah sama memiliki hak politik. Lalu kenapa PDIP harus merasa terhina? Bukankah dengan sikap merasa terhina, mungkin ke depan massa eks simpatisan PKI dan keturunan mereka akan mencatat bahwa PDIP –seperti halnya dengan partai yang lain– ternyata telah menggunakan standar ganda kepada diri mereka?
Kegamangan PDIP kembali terlihat dalam pokok masalah larangan ajaran komunisme. Salah seorang anggota tim sukses Jokowi-JK, yakni Dr Musda Mulia menjelang pemilihan presiden 2014 mengungkapkan bahwa bila menang, pemerintahan Jokowi akan mengupayakan penghapusan Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pelarangan paham komunisme di Indonesia. Waktu itu dengan cepat hal itu dibantah oleh Jusuf Kalla –seorang aktivis gerakan tahun 1966– dan Jokowi sendiri. Tetapi belakangan lagi, bulan Agustus 2014, bekas aktivis anti Soeharto yang menjadi anggota DPR-RI antar waktu menggantikan Taufiq Kiemas di Fraksi PDIP, Bambang Beathor Suryadi, menegaskan lagi akan memperjuangkan penghapusan Tap MPRS pelarangan ajaran komunisme itu. Dan akan mengajak kader-kader PDIP yang lain untuk bersama memperjuangkannya.
Catatan Tahun 1960-an
Dalam perselisihan dengan kaum intelektual Indonesia, menurut kolumnis Wiratmo Soekito dalam tulisannya di tahun 1968 ‘Politik Serius dan Politik Memaki-maki’, PKI gagal menunaikan janji retoriknya sejak tahun 1955 untuk melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Tak lain karena “pendidikan politik PKI bukanlah politik serius, melainkan politik memaki-maki”. Polemik PKI dengan para pembela prinsip-prinsip humanisme universal pada permulaan tahun 1964, ditujukan semata ke arah menutup legalitas lawan-lawan politiknya. Untuk sementara waktu dengan meminjam tangan kekuasaan Soekarno, PKI berhasil mematikan beberapa lawan politiknya dan atau minimal membuat yang penakut ‘terpaksa’ memilih sikap oportunis. Ini satu pola pemanfaatan kekuatan kekuasaan. Namun, beberapa tahun kemudian menjadi bumerang bagi eksistensi PKI sendiri. Wiratmo menggambarkannya dengan metamorfosa “bagaikan Ken Arok yang mati terbunuh oleh keris yang dibuat oleh Empu Gandring.”
Sepanjang masa Nasakom 1961-1965, PKI dengan ganas menggunakan politik provokatif dan caci maki: Setan kota, setan desa, kapitalis birokrat, borjuis, Anti Nasakom, Kontra Revolusi, Anti Pancasila. Media kesenian rakyat digunakan sebagai alat mengolok-olok penganut agama, semacam lakon wayang kulit Patine Gusti Allah (Kematian Tuhan) dan lakon ketoprak Paus Rabi(Paus Menikah). Setiap saat terjadi aksi perusakan fisik terhadap mesjid dan gereja, penyerbuan pesantren, merobek dan menginjak-injak Al Qur’an. Melakukan penganiayaan santri hingga pembunuhan terhadap kaum ulama dan haji, yang di beberapa daerah disertai perampasan tanah dan berbagai kekerasan lain. Dan puncaknya pembunuhan 6 jenderal, 2 perwira menengah dan 1 perwira pertama, Oktober 1965. Dan akhirnya memicu malapetaka sosiologis, bunuh membunuh di antara sesama rakyat.
Maka kini, bila ada kelompok politik melakukan senjata provokasi dan ancam mengancam, mengolok-olok dan atau melecehkan agama, gampang memaki-maki dan sebagainya, layak saja bila dianggap mirip PKI. Dan harus diakui dalam praktek politik saat ini, perilaku mirip PKI itu memang tak jarang dipertunjukkan, termasuk kebiasaan melontarkan kata umpatan yang kasar dan ancam mengancam……. Perlu mawas diri (socio-politica.com/#mediakaryaanalisa)