LANGKAH kehidupan politik Indonesia memasuki 2019 ditandai dua lekatan opini kuat terhadap dua tokoh utama yang akan memasuki gelanggang Pemilihan Presiden 17 April. Tokoh kubu 01 Joko Widodo tersodorkan sebagai seorang yang dalam 4 tahun berkuasa telah menjelma sebagai tokoh otoriter. Sementara itu tokoh kubu 02 Prabowo Subianto tergambarkan sebagai tokoh ekstrim. Baik karena rentetan pernyataan-pernyataan kerasnya, maupun karena kedekatannya –yang bermakna dukungan– dengan kelompok yang selama ini selalu diberi label kelompok ekstrim.
Dua lekatan atas dua tokoh itu, tentu saja bisa benar, setengah benar atau mungkin tak sepenuhnya benar. Perlu dinilai dan dianalisa bersama.
Tentang sikap otoriter Jokowi
Tuduhan otoriter terbaru atas diri Joko Widodo, datang dari beberapa pengamat asing dari Australia. Tom Power, kandidat PhD dari Australian National University (ANU), Oktober lalu menyebut Presiden Joko Widodo telah berputar arah menjadi penguasa otoriter. Sebelumnya ada pendapat berarah sama dari akademisi Australia lainnya, seperti Tim Lindsey (University of Melbourne), Eve Warburton dan Edward Aspinall (ANU) Namun, sebelumnya lagi sejak April 2018 tuduhan otoriter itu sudah dinyatakan tokoh politik senior Amien Rais.
Jokowi menurut Tom Power, bertindak dengan cara yang non liberal atau anti-demokrasi. “Ini adalah akibat kepekaan politik yang sempit, berpikir jangka pendek dan mengambil keputusan dengan cara ad hoc.” Sementara itu, Tim Lindsey menyimpulkan rezim Jokowi sebagai neo Orde Baru. Rezim Jokowi dianggap gagal menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seraya melakukan banyak tuduhan kriminal palsu (kriminalisasi) guna membungkam kritik terhadap pemerintah, maupun terhadap kritik para aktivis antikorupsi. Lindsey juga menyebut meningkatnya pembunuhan –suatu berita yang masih perlu ditelusuri lebih dulu– terhadap tersangka narkoba di luar jalur hukum.

Adapun Amien Rais, ia mengatakan meski Jokowi bukan dari kalangan militer, tetapi justru telah melakukan kebijakan otoriter yang melampaui pemerintahan militeristis. Indikasi itu terlihat antara lain dari wacana calon tunggal untuk Pemilihan Presiden 2019. Lebih lanjut Amien menggambarkan, “Oposisi dibungkam, diberangus. Itu berat…. Mas Jokowi ini sipil, tapi pikirannya otoriter.” Amien menilai, Jokowi itu bahkan lebih militer daripada Prabowo Subianto yang purnawirawan Letnan Jenderal.
Sebagai aktivis gerakan kritis, pada Februari 1968 Amien Rais pernah mengeritik Jenderal Soeharto bersikap terlalu lunak dalam penyelesaian hukum terhadap Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965. Ia lalu menganjurkan agar Soeharto lebih bersikap radikal sebelum terlambat. “Bersikap radikal berarti mencari radix(akar) yang menjadi sumber dari kekeruhan dan ketegangan, untuk kemudian mencabut akar tersebut.” Amien mengakui, “bahwa radikalisme juga sering membawa ekses.” Tetapi, apabila kondisi strategis sudah menuntut tindakan drastis, maka diabaikannya radikalisme “akan membawa kerugian besar bagi kita sendiri.” Konteks strategis yang dimaksud Amien per saat itu masih ada kaitannya dengan otoriterisme masa Nasakom Soekarno selain sisa masalah PKI.
Tentang sikap ekstrim Prabowo
Lekatan label ekstrim terhadap Prabowo Subianto, tersurat maupun tersirat dilontarkan setidaknya karena dua sebab. Pertama, ungkapan-ungkapannya secara terbuka di depan publik seringkali dianggap terlalu keras dan ekstrim. Lebih dari sekali, belakangan ini, ia misalnya menyebut negara ini bisa punah di ’tangan’ yang salah. Melalui makalah tentang paradoks Indonesia, ia menyebut negara ini akan menjadi negara miskin selamanya. Begitu pula penggambarannya tentang jurang sosial ekonomi yang makin menganga, yang seringkali ditanggapi lawan politiknya sebagai menebar kecemasan dan ketakutan. Lalu dinamai politik gendruwo.
Masih di tahun 2014, Abdillah Toha yang ikut mendirikan Partai Amanat Nasional, ketika berbeda arah dengan partainya yang berada di kubu Prabowo Subianto kala itu, mempublikasikan topik 10 ilusi pendukung Prabowo. Abdillah Toha membantah apa yang disebutnya ilusi pertama, yaitu bahwa “Prabowo adalah pemimpin yang tegas dan berani.” Untuk ini Abdillah Toha mengajukan pertanyaan sanggahan “Tegas dan berani, apakah harus dengan suara lantang dan menggunakan kekerasan? Terhadap siapa ketegasan itu diarahkan? Apakah terhadap rakyat sendiri yang memperjuangkan demokrasi dan hak-haknya?”
Lalu, Abdillah menyanggah ilusi keempat, “Prabowo memperjuangkan aspirasi umat Islam.” Abdillah bertanya aspirasi umat yang mana yang akan diperjuangkan? “Kelompok garis keras dan gemar memaksakan kehendak atau aspirasi bagian besar umat Islam Indonesia yang cinta damai?” Tersirat dan terarah dalam pertanyaan ini, bahwa Prabowo lebih dekat dengan kelompok garis keras. Dan fakta bahwa menjelang Pemilihan Presiden 2019, kelompok massa 212 –yang di belakang layar kerap distigma sebagai kelompok ekstrim atau radikal Islam– mengekspresikan kedekatannya pada Prabowo Subianto, menuntun suatu proses pembentukan opini bahwa ia adalah bagian dari barisan politik ekstrim. Karena didukung ‘kelompok ekstrim’ –meski mungkin terlalu menggeneralisir– maka ia disimpulkan tokoh ekstrim. Inilah sebab kedua dari pelekatan opini atas Prabowo sebagai tokoh ekstrim. Terbaru, Agustus 2018, Abdillah melontarkan pandangan bahwa Prabowo Subianto bisa menjadi kuda Troya kembalinya Orde Baru.
Inikah pilihan the bad among the worst?
Kalau dua lekatan opini terhadap dua calon Presiden ini diasumsikan benar, apakah ini membenarkan anggapan bahwa dalam memilih pemimpin, bangsa ini memang selalu dihadapkan pilihan the bad among the worst? Apakah pilihan yang dihadapkan pada bangsa ini memang sudah sedemikian buruk?
Mari dipikirkan bersama, dinilai bersama dan dianalisa bersama, berdasarkan apa yang dialami masing-masing warganegara. Termasuk oleh para pihak yang menjadi pelaku dalam kancah politik dan kekuasaan saat ini. Agar bisa mawas diri, memperbaiki diri, dan berusaha tampil pantas selama 107 hari di tahun 2019 hingga 17 April… (socio-politica.com/media-karya.com) #mediakaryaanalisa
singkat nye ….. ORBA Soeharto & kel. Cendana –
gak boleh bangkit lagi dan kuasai Indonesia .
Choice ? Bad choice of Joko WIDODO – is much
more preferable to Prabowo SUBIANTO .
NO MORE Cendana ….. simpel aje ……