Tag Archives: back to campus

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (3)

Hatta Albanik*

RAKYAT dan bangsa Indonesia, karenanya harus peka bilamana aturan dan undang-undang itu dibuat atau diusulkan oleh ABRI sendiri, dengan anggapan mereka lebih ahli dalam bidangnya. Kemalasan dan keengganan berfikir semacam inilah yang membuat bangsa dan negara Indonesia seringkali kecolongan sehingga melahirkan banyak aturan-aturan negara yang kemudian mencekik negara dan menguntungkan satu kelompok kepentingan saja.

Produk undang-undang ‘ketengan’ semacam ini banyak dihasilkan oleh inflasi undang-undang di masa pemerintahan Presiden Habibie (yang berkolaborasi dengan DPR/MPRnya Harmoko cs) sehingga menyulitkan kontrol publik terhadap kekuasaan kripto-mania yang mengangkangi asset-asset milik publik, membuat negara dalam negara yang dikuasi para kripto-mania tersebut. Lihat saja UU Bank Indonesia, aturan-aturan tentang BPPN, UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Kejaksaan, UU Kepolisian, UU tentang Perpajakan dan lain-lain.

KARIKATUR, KETIKA PELAJAR (KAPI-KAPPI) MENUNTUT WAKIL MAHASISWA  (KAMI) TURUN DARI KURSI DPR, 1968. “Ada kecenderungan penilaian bahwa tokoh-tokoh mahasiswa 1966 sudah mulai lembek terhadap kekuasaan Orde Baru, tidak lagi kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto, tidak idealis lagi, dan mulai meninggalkan tradisi-tradisi kecendekiawanan gerakan-gerakan mahasiswa. Masih ada sedikit respek terhadap segelintir tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masih mau dan mampu berkomunikasi intensif karena dinilai dapat tetap memelihara integritas dan idealisme mahasiswa. Tetapi tokoh-tokoh semacam ini biasanya adalah mereka yang justru dimusuhi oleh kekuatan kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto”. (Karikatur Ganjar Sakri, 1968).

Semua UU itu bertujuan untuk mengontrol dan menguasai publik dan memberikan tempat sangat sempit untuk kontrol publik. UU Kepolisian misalnya, telah menempatkan kepolisian sebagai suatu ‘kekuatan’ baru yang jauh lebih besar kekuasaannya daripada masa sebelumnya, namun tidak memberi celah kepada kontrol publik. Sehingga bukan mustahil pada waktunya kepolisian akan mengulangi perilaku tentara tatkala memegang kekuasaan besar di tangannya. Kecemasan seperti ini ada dasarnya karena catatan empiris memperlihatkan terjadinya beberapa tindakan brutal aparat kepolisian sebagai aparat kekuasaan dalam menghadapi masyarakat pada beberapa tahun terakhir dan pada akhir-akhir ini, termasuk Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (3)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (2)

*Hatta Albanik

PADA awalnya kekuatan mahasiswa masih menganggap sebagai suatu kewajaran bahwa kondisi kekacauan politik yang ditinggalkan pemberontakan G30S menimbulkan kondisi keamanan yang kurang memuaskan. Sehingga, banyak peluang dan dorongan bagi ABRI untuk mengisi kekosongan-kekosongan jabatan sipil yang tak mungkin segera ditempati karena belum berlangsungnya mekanisme demokrasi yang wajar sejak pemilihan umum pertama satu dasawarsa sebelumnya (pada tahun 1955).  Namun, hanya selang beberapa tahun pada tahun 1970-an kekuasaan tentara yang terlalu dominan di dalam panggung politik kenegaraan Indonesia dengan serta merta memunculkan ekses penyalahgunaan kekuasaan militer yang merekognisi kembali ingatan terhadap suatu pemerintahan darurat militer (SOB) yang pernah dialami oleh negara Indonesia dengan segala akibatnya.

IRONI PARTNERSHIP ABRI-MAHASISWA 1966. Usai perjuangan 1966, back to campus menjadi mainstream aktivitas mahasiswa. “Mahasiswa tetap mentabukan politik dan permainannya, sementara ABRI mulai asyik mengatur politik dan permainannya itu dalam menjalankan kekuasaan yang sudah dalam genggamannya. ABRI mengambil tempat sebagai panglima politik baru, dan pada waktu yang bersamaan memposisikan politik sebagai panglima –suatu hal yang selama ini selalu mereka lontarkan penuh sinisme sebagai seolah-olah ciri pemerintahan Orde Soekarno yang dikatakannya totaliter”. (Karikatur T. Sutanto 1967)

Ada tidaknya pengaruh dari semakin terbukanya wawasan dan komunikasi dengan dunia luar –khususnya dengan Amerika Serikat– yang pada era tersebut diramaikan oleh isu-isu gerakan hak-hak sipil warga negara, turut menggugah kesadaran kalangan terdidik ini terhadap hak-hak dasar manusia sebagai warga dari suatu negara. Keberhasilan mengeliminir kekuatan komunis yang dianggap menindas hak-hak warga negara untuk ditundukkan oleh kekuatan-kekuatan negara, harus dibarengi dengan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya memperhatikan hak dan kesejahteraan warga dari suatu negara. Keadaan serba tidak boleh pada masa Orde Soekarno (misalnya tidak boleh mendengar musik Barat yang ngak-ngik-ngok, tak boleh cas-cis-cus berbahasa asing, tidak boleh mendengar siaran radio luar negeri, tidak boleh menonton film Amerika dan Inggeris, tidak boleh bergaul akrab dengan orang asing, tidak boleh berbeda pendapat dengan pemerintah dan sebagainya) membuat orang kemudian seakan-akan mendapatkan kembali kebebasannya pada saat itu.

Tetapi, seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman militer terhadap kekuasaan negara, maka sedikit demi sedikit kebebasan-kebebasan itu semakin menghilang digantikan kembali oleh segala serba tidak boleh itu. Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (2)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (1)

Hatta Albanik*

SEJARAH Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. George Mc’Turnan Kahin bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh-tokoh yang mempelopori  terjadinya perubahan yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus: mahasiswa.

‘UJUNG TOMBAK’ PERUBAHAN YANG BERNAMA ‘GERAKAN MAHASISWA’
HAMPIR seluruh perubahan di Indonesia –besar atau kecil– melibatkan peran gerakan dan ‘kekuatan’ mahasiswa, sebelum maupun pada masa Indonesia merdeka. Dua perubahan besar di tahun 1966-1967 yang terkait kejatuhan Soekarno dan 1998 yang mengakhiri kekuasaan Soeharto, yang diantarai gerakan kritis mahasiswa sekitar 1974 dan 1978, mencatat kehadiran peran mahasiswa, meski dengan skala kuantitatif dan kualitatif yang bisa saja berbeda satu sama lain. Gerakan 1966 diikuti keikutsertaan peran lanjut secara fisik dan konseptual dalam arah perubahan berikutnya, sementara Gerakan 1998 tidak sehingga peran itu diambil partai dan kekuatan politik lainnya.
Berdasarkan jajak pendapat 9-11 Mei 2012, Harian Kompas (14 Mei) mencatat bahwa peran mahasiswa dalam “menumbangkan rezim Orde Baru” Mei 1998 masih dikenang sebagai bukti kemenangan idealisme gerakan mahasiswa terhadap tirani Soeharto. Tetapi pasca reformasi, gerakan mahasiswa terasa melempem karena mahasiswa terkotak-kotak sehingga gerakan mereka pun menjadi sporadis. Meski demikian, “gerakan mahasiswa tetap potensial melawan penguasa seperti dalam gerakan menolak kenaikan harga BBM”. Dan dari jajak pendapat antara lain dicatat semacam kesimpulan, “Kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa tetap tinggi karena mahasiswa dianggap masih murni dalam mengajukan tuntutan perubahan kepada pemerintah. Mahasiswa adalah alat kontrol pemerintah yang efektif ketimbang partai politik sebagai organisasi politik formal. Dalam karut marut politik dan ekonomi sekarang muncul harapan masyarakat agar mahasiswa bangkit dan bersatu untuk memulai gerakan reformasi”.
Kesimpulan ini sejajar dengan yang ditulis Hatta Albanik, dalam referensi tema untuk buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004). Tulisan itu, “Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa” diturunkan bersambung secara lengkap di sociopolitica –setelah selama ini sering dikutip secara parsial– agar bisa membantu memberi gambaran lebih komperehensif tentang pergerakan mahasiswa Indonesia dalam konteks peran sebagai kekuatan kontrol terhadap kekuasaan dari waktu ke waktu.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka, umumnya berupa upaya untuk merobohkan kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran. Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (1)

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (5)

“Keluar-kampusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa intra kampus sebagian besar terjadi oleh karena semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat luas dan kalangan mahasiswa intra kampus terhadap permainan-permainan politik para tokoh organisasi ekstra kampus yang seringkali ‘bermain mata’ dengan politik kekuasaannya Orde Soeharto dan ABRI. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak mungkin lagi berdiri di depan untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Soeharto”.

Di masa Orde Soekarno banyak partai politik yang mendirikan organisasi-organisasi onderbouw di kalangan mahasiswa untuk  menanamkan pengaruh ideologi politik yang mereka anut itu pada generasi muda intelektual mahasiswa. Diantaranya, sudah tak asing lagi bagaimana sebagian besar universitas-universitas negeri terkemuka banyak yang dipengaruhi oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sementara kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada waktu itu ditengarai sebagai basis dari pengaruh organisasi mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Banyak perguruan tinggi swasta yang berafiliasi dengan partai-partai politik Katolik dan Kristen lalu juga menjadi basis pengaruh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Jangan lupa pula pengaruh dari organisasi-organisasi mahasiswa yang kebanyakan beranggotakan kalangan non pri keturunan cina yang kekiri-kirian, yang bahkan menolak upaya-upaya pembauran dengan menuntut menjadi kelompok etnis tersendiri, sebagai organisasi yang berbasiskan ideologi yang mempertahankan semata-mata kebhinnekaan dan sedikit sekali upaya untuk menemukan keekaan. Wajar bila aktivitas kegiatannya lebih banyak berorientasikan kepentingan ideologi politik semata, yang untuk mempertahankan eksistensinya seringkali melakukan manuver-manuver politik dengan mempertajam perbedaan-perbedaan yang mereka miliki (divergensi) dan hampir samasekali tidak berorientasikan konvergensi, mencari kesamaan yang memungkinkan terjadinya pembauran gagasan.

Kebersamaan di dalam KAMI ternyata lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan jangka pendek untuk menumpas PKI sebagai musuh bersama yang berlanjut dengan upaya-upaya menggulingkan Soekarno yang dianggap terlalu melindungi PKI, sebagai musuh bersamanya. Dengan keberhasilan meruntuhkan kekuasaan Orde Soekarno, organisasi ekstra kampus – yang di masa Orde Soekarno juga saling bertarung memperebutkan hegemoni dan menguasai kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia – kembali melanjutkan pertempuran diantara mereka yang sempat jedah sejenak sewaktu mereka bisa berkumpul bersama dalam waktu singkat di dalam organisasi perjuangan KAMI. Organisasi KAMI sendiri terbentuk cukup unik melalui prakarsa ABRI di dalam pemerintahan Kabinet Soekarno yang seakan-akan diinspirasikan dari Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yaitu organisasi yang menghimpun dalam satu wadah federasi organisasi-organisasi mahasiswa ekstra di Indonesia pada waktu itu. Organisasi-organisasi intra kampus ketika itu pun dihimpun dalam suatu organisasi yang diberi nama Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Dalam kenyataannya waktu itu, kekuasaan di dalam MMI hampir sepenuhnya ditentukan oleh pergulatan dan kompetensi hegemoni yang berlangsung di antara organisasi-organisasi ekstra kampus yang bernaung di dalam PPMI. Entah mengapa organisasi PPMI maupun MMI ternyata berhasil didominasi oleh kekuatan CGMI yang menjadi onderbouw PKI, HMI yang dituding oleh Orde Soekarno sebagai onderbouw dari partai terlarang Masjumi, serta GMNI yang menjadi onderbouw dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kala itu dituduh dikuasai oleh kekuatan ideologi kekiri-kirian bahkan dituduh disusupi oleh tokoh komunis.

Pada masa awal perjuangan Angkatan 66, konstelasi ini kemudian berubah dengan tersingkirnya kekuatan-kekuatan yang dianggap dekat dengan PKI pada waktu itu (mungkin juga sampai kini ?) dan dianggap sebagai dalang terjadinya pemberontakan G30S (suatu usaha kudeta terhadap kekuatan pemerintahan yang sah waktu itu): CGMI plus GMNI. Di kalangan PNI pada waktu itu telah terjadi pula usaha pembersihan terhadap tokoh-tokoh PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo dan Ir Surachman yang dianggap bersimpati terhadap PKI, sehingga terbentuklah GMNI ‘aliran kanan’ PNI yang dipimpin Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja. GMNI dari aliran inilah yang dianggap bisa bekerjasama dengan organisasi-organisasi ekstra kampus yang anti komunis dan menjadi kekuatan pendobrak awal dalam usaha ABRI di bawah pimpinan Jenderal Soeharto dan Jenderal AH Nasution untuk menggusur kekuatan Orde Soekarno melalui pembentukan KAMI.

Pada mulanya KAMI hanya didukung oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang anti komunis tersebut. Terlibatnya mahasiswa melalui organisasi intra kampus kemudian, terjadi oleh karena terdesaknya usaha-usaha pergerakan yang dilakukan oleh KAMI dengan munculnya instruksi pemerintahan Orde Soekarno untuk membubarkan KAMI yang segera disusul instruksi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio untuk membentuk Barisan Soekarno sebagai pengimbang KAMI. Waktu itu terkenal semboyan “teror harus dibalas dengan kontra teror”. Terdesaknya organisasi KAMI yang murni ekstra kampus itu kemudian mendorong munculnya kebutuhan melibatkan mahasiswa secara keseluruhan di kampus-kampus perguruan tinggi untuk juga terlibat dan melibatkan diri dalam perjuangan menghancurkan dalang peristiwa kudeta G30S yang dianggap masih terlalu dilindungi oleh Soekarno. Bersamaan dengan munculnya konsulat-konsulat KAMI di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di Indonesia pada waktu itu bersama-sama dengan dilibatkannya pula massa pelajar SMP dan SMA di dalam organisasi KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) maka resmilah para mahasiswa organisasi intra kampus ikut terlibat menjadi anggota KAMI.

Dengan penggambaran di atas dapat dipahami mengapa pada tahun 1970-1974 gerakan back to campus lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi intra kampus yang seakan-akan kembali meninggalkan kegiatan-kegiatan politik untuk kembali melaksanakan fitrahnya sebagai mahasiswa yang harus melanjutkan studinya. Sementara tokoh-tokoh mahasiswa organisasi ekstra kampus juga kembali pada fitrahnya sebagai politisi-politisi muda yang digerakkan oleh aliran ideologi politiknya masing-masing. Tentunya kalangan organisasi mahasiswa ekstra kampus inilah yang sangat berkeberatan dengan terlaksananya gagasan back to campus. Terdorongnya kemudian tokoh-tokoh mahasiswa intra kampus ke dalam kegiatan politik yang terjadi, adalah karena mereka juga tidak tahan menghadapi penyimpangan-penyimpangan kekuasaan Orde Soeharto. Kemudian, mengambilalih sikap-sikap kritis mahasiswa dan cendekiawan kampus yang tak mungkin lagi dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi mahasiswa ekstra kampus yang semakin larut masuk ke dalam permainan politik kekuasaan Orde Soeharto. Keluar-kampusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa intra kampus sebagian besar terjadi oleh karena semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat luas dan kalangan mahasiswa intra kampus terhadap permainan-permainan politik para tokoh organisasi ekstra kampus yang seringkali ‘bermain mata’ dengan politik kekuasaannya Orde Soeharto dan ABRI. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak mungkin lagi berdiri di depan untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Soeharto.

Tokoh-tokoh organisasi ekstra kampus pada umumnya masih merupakan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966. Regenerasi pimpinan organisasi ekstra kampus ini memang hampir tidak berlangsung mulus. Banyak pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus ini yang sebenarnya sudah bukan mahasiswa lagi, entah karena dropout (tidak dapat menyelesaikan studinya), entah karena telah menjadi sarjana tapi masih betah mempertahankan statusnya sebagai pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus. Banyak diantaranya yang dalam usia sudah tidak muda lagi (usia 30-40 bahkan lebih tua) masih mempertahankan statusnya itu. Sementara di kalangan organisasi intra kampus (khususnya pada perguruan-perguruan tinggi terkemuka) proses regenerasi pada tampuk kepemimpinannya berlangsung sangat cepat. Hampir tidak pernah ada pimpinan intra yang lebih dari dua periode menduduki jabatan puncak dalam organisasi mahasiswa intra kampus.

Berlanjut ke Bagian 6

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (3)

“Ada kecenderungan penilaian bahwa tokoh-tokoh mahasiswa 1966 sudah mulai lembek terhadap kekuasaan Orde Baru, tidak lagi kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto, tidak idealis lagi, dan mulai meninggalkan tradisi-tradisi kecendekiawanan gerakan-gerakan mahasiswa. Masih ada sedikit respek terhadap segelintir tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masih mau dan mampu berkomunikasi intensif karena dinilai dapat tetap memelihara integritas dan idealisme mahasiswa. Tetapi tokoh-tokoh semacam ini biasanya adalah mereka yang justru dimusuhi oleh kekuatan kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto”.

Karena sikap menikmati kekuasaan untuk diri sendiri semakin terestafet turun temurun dari generasi ke generasi ABRI, kala itu muncul pikiran-pikiran untuk dilakukannya suatu penanganan khusus terhadap ABRI. Bukan mustahil, karena tidak ada jalan lain untuk menanggulanginya, lalu secara radikal memperlakukan ABRI bagaikan BUMN yang tak mampu mengembangkan aset negara yang dikuasakan kepadanya, membubarkannya atau menjual aset publik itu kepada pemodal asing yang lebih mampu mengelolanya. Itu berarti, mengundang kekuatan luar untuk menggantikan kekuatan ABRI, sehingga kalaupun tindakannya sama kejamnya (dan kemungkinan itu lebih kecil karena kontrol internasional akan lebih terbuka), akan mengundang perlawanan kuat dari seluruh bangsa akibat kesan penjajahan dan pendudukannya akan membangkitkan solidity perlawanan terhadap ‘kekejaman penjajah’.

Dengan kata lain, kekuatan demokrasi dalam mekanisme negara harus mampu sensitif mengontrol ABRI supaya tidak keluar dari area fungsinya menjaga keamanan rakyat, bangsa dan negara. Artinya, sensitif bilamana ABRI memasuki wilayah kekuasaan publik dengan menggunakan seragam dan menodongkan senjatanya mencampuri urusan-urusan masyarakat dalam tertib sipil. ABRI dan sipil memang tidak boleh dipertentangkan. Namun itu hanya terjadi bilamana ABRI berada dalam koridor fungsinya sesuai konstitusi negara dan tidak tergoda untuk keluar dari fungsi itu dengan alasan apapun. Kalau tindakannya terhadap rakyat dan kekuatan sipil menampilkan perilaku kejam dan menindas, maka harus segera dikoreksi oleh mekanisme dan prosedur kekuasaan negara karena itu telah bertentangan dengan fungsinya.

Penindakannya tidak boleh diserahkan kepada mekanisme intern mereka sendiri, karena hal itu berarti menempatkan aturan yang mereka buat untuk lingkungannya sendiri sebagai lebih tinggi dari aturan negara. Tetapi harus ditindak dengan aturan sipil (baca: aturan-aturan negara), karena tindakan itu sudah menyangkut perampasan hak-hak sipil, menindas hak-hak sipil dan karenanya harus dihukum sesuai dengan aturan-aturan sipil. Jadi, kekejaman terhadap warga negara yang dilakukan tentara tidak bisa mereka lindungi dengan aturan yang mereka buat sendiri lalu mengatakan telah dilakukan sesuai prosedur yang mereka buat sendiri, seakan-akan prosedur dan aturan mereka itu tidak bisa dimasuki oleh undang-undang dan aturan negara.

Rakyat dan bangsa Indonesia, karenanya harus peka bilamana aturan dan undang-undang itu dibuat atau diusulkan oleh ABRI sendiri, dengan anggapan mereka lebih ahli dalam bidangnya. Kemalasan dan keengganan berfikir semacam inilah yang membuat bangsa dan negara Indonesia seringkali kecolongan sehingga melahirkan banyak aturan-aturan negara yang kemudian mencekik negara dan menguntungkan satu kelompok kepentingan saja. Produk undang-undang ‘ketengan’ semacam ini banyak dihasilkan oleh inflasi undang-undang di masa pemerintahan Presiden Habibie (yang berkolaborasi dengan DPR/MPRnya Harmoko cs) sehingga menyulitkan kontrol publik terhadap kekuasaan kripto-mania yang mengangkangi aset-aset milik publik, membuat negara dalam negara yang dikuasi para kripto-mania tersebut. Lihat saja UU Bank Indonesia, aturan-aturan tentang BPPN, UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Kejaksaan, UU Kepolisian, UU tentang Perpajakan dan lain-lain. Semua UU itu bertujuan untuk mengontrol dan menguasai publik dan memberikan tempat sangat sempit untuk kontrol publik.

UU Kepolisian, sebagai contoh, telah menempatkan kepolisian sebagai suatu ‘kekuatan’ baru yang jauh lebih besar kekuasaannya daripada masa sebelumnya, namun tidak memberi celah kepada kontrol publik. Sehingga bukan mustahil pada waktunya kepolisian akan mengulangi perilaku tentara tatkala memegang kekuasaan besar di tangannya. Kecemasan seperti ini ada dasarnya karena catatan empiris memperlihatkan terjadinya beberapa tindakan brutal aparat kepolisian sebagai aparat kekuasaan dalam menghadapi masyarakat pada beberapa tahun terakhir dan pada akhir-akhir ini, termasuk dalam menghadapi gerakan-gerakan kritis mahasiswa. Ada sejumlah catatan yang memperkuat dasar kecemasan itu: Mulai dari Peristiwa 6 Oktober 1970, kasus Sum Kuning, kasus wartawan Udin di Yogya, penanganan kasus-kasus yang tak tertuntaskan seperti pembunuhan peragawati Dietje hingga buruh wanita Marsinah, peristiwa Semanggi serta kebrutalan menghadapi demo di depan Mahkamah Agung 12 Pebruari 2004.

Anatomi Gerakan Mahasiswa Bandung 1970-an. MAINSTREAM kondisi mahasiswa di Bandung tahun 1970-an yang ditandai semangat back to campus mengarah kepada mentabukan politik yang penuh permainan dan mengarah kepada sikap apolitis bahkan cenderung kepada depolitisasi. Ditambah lagi dengan sikap antipati terhadap  sejumlah tokoh mahasiswa 1966 yang senang bermain politik tetapi kemampuan akademiknya ternyata nol besar. Banyak aktivis mahasiswa Bandung pada waktu itu, terutama aktivis 1966, dianggap sebagai mahasiswa abadi yang tidak memiliki prestasi akademik, tidak bernalar dalam argumentasi, suka pamer jasa dan kekuasaan, bahkan seringkali dinilai atau terbukti sering memeras pengusaha-pengusaha cina dengan alasan untuk mengumpulkan dana perjuangan. Di lingkungan kampus Universitas Padjadjaran misalnya dikenal aktivis-aktivis mahasiswa semacam itu yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi Liga Film Mahasiswa, mobil VW DPR, korupsi DM Unpad, kasus Biro Pers Mahasiswa, kasus peminjaman inventaris Dewan Mahasiswa untuk kepentingan salah satu organisasi mahasiswa Islam dan lain sebagainya. Di ITB muncul bau korupsi dalam penyelenggaraan Konferensi Mahasiswa Asia Tenggara (ASEAUS), pembangunan masjid, komersialisasi kegiatan-kegiatan pengumpulan dana penyelenggaraan event mahasiswa, mode pemilihan Miss University dan sebagainya.

Timbul semacam koreksi internal yang ditujukan kepada figur-figur tokoh sisa-sisa Angkatan 66 yang telah menjadi semacam pahlawan kesiangan dan tidak lagi menampilkan perilaku kepemimpinan yang populer serta terpuji di mata para juniornya mahasiswa tahun 1970-an itu. Muncul semacam idola baru dari tokoh mahasiswa 1970-an yaitu mahasiswa yang cerdas, baik potensi akademiknya, apolitis, ‘lugu’ dan berani. Tokoh-tokoh Angkatan 66 terutama yang terjun ke dalam gelanggang politik melalui Pemilihan Umum 1971 untuk sebagian dianggap sebagai tokoh-tokoh avonturir dengan reputasi akademik yang buruk namun masih terus menampilkan diri sebagai representan mahasiswa kampus. Melalui usaha-usaha konstitusional seperti perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ikatan mahasiswa intra universiter masing-masing dilakukanlah pembatasan-pembatasan. Misalnya, untuk duduk sebagai pengurus organisasi mahasiswa intra universiter tidak diperbolehkan bagi para mahasiswa yang lebih dari 6 tahun terdaftar sebagai mahasiswa di perguruan tinggi yang bersangkutan. Masa jabatan kepengurusan dibatasi hanya sampai dengan 1 atau 2 tahun. Nilai akademiknya dianggap memadai, tidak dikenal sebagai mahasiswa yang bodoh dan sebagainya.

Ada kecenderungan penilaian bahwa tokoh-tokoh mahasiswa 1966 sudah mulai lembek terhadap kekuasaan Orde Baru, tidak lagi kritis terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto, tidak idealis lagi, dan mulai meninggalkan tradisi-tradisi kecendekiawanan gerakan-gerakan mahasiswa. Masih ada sedikit respek terhadap segelintir tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masih mau dan mampu berkomunikasi intensif karena dinilai dapat tetap memelihara integritas dan idealisme mahasiswa. Tetapi tokoh-tokoh semacam ini biasanya adalah mereka yang justru dimusuhi oleh kekuatan kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto.

Menarik untuk dicermati bahwa mainstream aktivis mahasiswa Bandung tahun 1970-1974 ini banyak yang dikenal dan tumbuh murni dari lingkungan intra kampus, tidak terkait dalam kegiatan-kegiatan organisasi ekstra universiter secara intensif dan karenanya bobot kegiatan kemahasiswaannya cenderung lebih bercirikan mahasiswa intra kampus yang tidak begitu suka pada kegiatan-kegiatan politik. Pada umumnya mereka lebih senang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian dari pada kegiatan-kegiatan berbau politik apalagi berorientasi pada kekuasaan. Berorganisasi dianggap sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan kepribadian, lebih mematangkan potensi-potensi kepemimpinan yang diperlukan bagi penerapan kemampuan akademik yang dimilikinya, agar dapat lebih diamalkan setelah menyelesaikan strudi dan terjun ke masyarakat. Tidak heran bila ternyata kelak sedikit sekali kalangan tokoh-tokoh mahasiswa era ini yang muncul sebagai tokoh-tokoh politik. Sebagian besar di antara mereka justru terjun dalam bidang-bidang pengabdian yang tidak vokal, uncovered, serta jauh dari upaya-upaya untuk menonjolkan diri dan mencari popularitas.

Era ini ditandai oleh berlangsung cepatnya silih berganti proses regenerasi kepemimpinan mahasiswa yang semakin melepaskan diri, independen dan berjarak dari senior-seniornya di era tahun 1966. Di ITB muncul banyak tokoh pimpinan dewan mahasiswa yang berasal dari generasi yang pada waktu peristiwa 1966 masih duduk di bangku SMP atau SMA dan terlibat dalam peristiwa 1966 bukan sebagai tokoh kesatuan aksi pelajar, bahkan mungkin hanya ikut-ikutan saja. Melalui keaktifan mereka di dalam kegiatan intra kampus seperti group belajar (tentieren grup), olah raga, kesenian, bahkan kelompok les dansa ballroom, berhasil melontarkan mereka ke tangga tokoh dan pimpinan dewan mahasiswa.

Sebaliknya, mereka yang lebih banyak aktif dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar kampus dianggap berada dalam lingkaran politik ideologi dan tidak populer serta seringkali dijauhi dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian mahasiswa di dalam kampus. Mereka dianggap berada di luar mainstream tokoh mahasiswa kampus. Mahasiswa lebih berorientasi inward looking daripada outward looking. Relasi-relasi yang dibina dengan kalangan luar kampus yang sehati dengan gerakan mahasiswa kampus sebagaimana dengan rajin dirajut dan menjadi ciri gerakan mahasiswa 1966, pada era ini seakan-akan mulai ditinggalkan. Back to campus membuat mereka lebih disibukkan hanya oleh kegiatan-kegiatan kemahasiswaan sebagai penuntut ilmu di kampus, eksklusif, seakan dekat dengan gaya hidup mahasiswa ‘normal’ era sebelum 1965-1966, yaitu era mahasiswa tahun 50-an yang hidup dengan semboyan perilaku: buku, pesta dan cinta.

Berlanjut ke Bagian 4

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (2)

“Karena periode pemerintahan Orde Soeharto berlangsung begitu lamanya, maka terlihat bahwa masa bakti kalangan ABRI Angkatan 45 yang ‘sehati’ itu menjadi sedemikian singkatnya ‘berpartnership’ dengan gerakan mahasiswa yang selalu menjaga kedekatan hati dengan nasib bangsanya.  Sehingga, sebagian besar wajah ABRI Orde Soeharto itu lebih banyak diisi oleh wajah penguasa korup yang menindas rakyat serta gerakan mahasiswanya”.

Pada awalnya kekuatan mahasiswa masih menganggap sebagai suatu kewajaran bahwa kondisi kekacauan politik yang ditinggalkan pemberontakan G30S menimbulkan kondisi keamanan yang kurang memuaskan. Sehingga, banyak peluang dan dorongan bagi ABRI untuk mengisi kekosongan-kekosongan jabatan sipil yang tak mungkin segera ditempati karena belum berlangsungnya mekanisme demokrasi yang wajar sejak pemilihan umum pertama satu dasawarsa sebelumnya (pada tahun 1955).  Namun, hanya selang beberapa tahun pada tahun 1970-an kekuasaan tentara yang terlalu dominan di dalam panggung politik kenegaraan Indonesia dengan serta merta memunculkan ekses penyalahgunaan kekuasaan militer yang merekognisi kembali ingatan terhadap suatu pemerintahan darurat militer (SOB) yang pernah dialami oleh negara Indonesia dengan segala akibatnya.

Ada tidaknya pengaruh dari semakin terbukanya wawasan dan komunikasi dengan dunia luar –khususnya dengan Amerika Serikat– yang pada era tersebut diramaikan oleh isu-isu gerakan hak-hak sipil warga negara, turut menggugah kesadaran kalangan terdidik ini terhadap hak-hak dasar manusia sebagai warga dari suatu negara. Keberhasilan mengeliminir kekuatan komunis yang dianggap menindas hak-hak warga negara untuk ditundukkan oleh kekuatan-kekuatan negara, harus dibarengi dengan semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya memperhatikan hak dan kesejahteraan warga dari suatu negara. Keadaan serba tidak boleh pada masa Orde Soekarno (misalnya tidak boleh mendengar musik Barat yang ngak-ngik-ngok, tak boleh cas-cis-cus berbahasa asing, tidak boleh mendengar siaran radio luar negeri, tidak boleh menonton film Amerika dan Inggeris, tidak boleh bergaul akrab dengan orang asing, tidak boleh berbeda pendapat dengan pemerintah dan sebagainya) membuat orang kemudian seakan-akan mendapatkan kembali kebebasannya pada saat itu.

Tetapi, seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman militer terhadap kekuasaan negara, maka sedikit demi sedikit kebebasan-kebebasan itu semakin menghilang digantikan kembali oleh segala serba tidak boleh itu. Hak-hak warga negara terasa semakin ditindas. Kekuasaan negara semakin dibatasi dalam genggaman lingkaran elitis tertentu semata yang umumnya dekat dengan ABRI dan Soeharto sebagai pimpinannya. Rambut gondrong dirazia, diskusi disusupi intel tentara, rapat-rapat organisasi dibatasi oleh izin-izin. Kesannya seperti sama saja dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat di masa Soekarno dulu yang juga dilakukan oleh kekuasaan militernya. Mulailah muncul sikap kritis mahasiswa terhadap kondisi-kondisi ekses yang terjadi. Bilamana kondisi back to campus semula seiring dengan kehendak ABRI dan kesadaran mahasiswa sendiri untuk menghindarkan diri terlibat terlampau jauh mencampuri permainan politik, maka perkembangan selanjutnya membawa mahasiswa dan ABRI berada dalam dua tubir yang saling berseberangan, tidak lagi seiring sejalan. Mahasiswa tetap mentabukan politik dan permainannya, sementara ABRI mulai asyik mengatur politik dan permainannya itu dalam menjalankan kekuasaan yang sudah dalam genggamannya. ABRI mengambil tempat sebagai panglima politik baru, dan pada waktu yang bersamaan memposisikan politik sebagai panglima –suatu hal yang selama ini selalu mereka lontarkan penuh sinisme sebagai seolah-olah ciri pemerintahan Orde Soekarno yang dikatakannya totaliter.

Aktvitas gerakan mahasiswa Bandung pada era 1970-1974 berada dalam kondisi semacam ini: Back to campus tetap menjadi mainstreamnya, rasa antipati terhadap politik dan segala permainannya juga tetap menjadi nafasnya. Tetapi kondisi sudah berubah. Melalui pemilihan umum kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, pada tahun 1971, tentara berhasil mengukuhkan dominasinya dalam negara dan menempatkan institusi-institusi politik sebagai bagian dari etalase demokrasi negara Indonesia. Tidak ada usaha untuk menyadarkan publik bahwa seiring dengan back to campusnya mahasiswa, seharusnya tentara pun segera back to barrack dan keduanya kembali ber’partnership’ mendorong demokratisasi dengan memfungsikan mekanisme demokrasi, mendorong berperannya tokoh-tokoh profesional yang berjiwa demokrat dan bersama-sama melakukan tugas korektif mengawasi jalannya negara agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Terlampau dominannya ABRI dalam kekuasaan negara menyebabkan tidak mungkinnya dilakukan pengawasan efektif terhadap para penyelenggara negara, karena setiap upaya korektif yang dilakukan akan selalu dihadapi oleh kekuatan bersenjata militer yang menjadi pengawal kekuasaan penguasa pemerintahan negara. Otoriterisme dan totaliterismelah yang kemudian terjadi. Upaya korektif terhadap penyelenggara negara hanya mungkin efektif bila dilakukan melalui kekuatan pemikiran (baca: kampus/ intelektual/ mahasiswa) yang berpartner dengan kekuatan efektif bersenjata (baca: ABRI). Sehingga, “pressure” dan wibawa dari koreksi yang dilakukan itu akan membuat para penyelenggara atau pelaksana kekuasaan negara itu (baca: pemerintah/eksekutif dan suprastrukturnya) terawasi dan benar-benar harus jujur melaksanakan tugasnya menyelenggarakan kekuasaan negara bagi kepentingan bangsa. ABRI dan mahasiswa sebagaimana telah terbukti dalam partnershipnya di tahun 1966-an itu menempatkan diri dalam posisi bersama rakyat yang mengoreksi carut marut kezaliman yang diperbuat oleh penyelenggara negara yang curang pada waktu itu.

Namun, sayangnya Soeharto menyeret ABRI terlalu jauh masuk dalam pengaruh kekuasaan sehingga terasa semakin jauh dari rakyat. Banyak petinggi ABRI yang masuk dalam posisi kekuasaan Soeharto kemudian bertingkah laku sebagai Gubernur Jenderal yang kejam dan korupnya melebihi Gubernur Jenderal Daendels. Dan kondisi ini berlangsung tidak dalam sifatnya yang temporer, melainkan berlangsung seakan-akan dipermanenkan. Sehingga generasi penerus ABRI hampir-hampir tidak peka terhadap kondisi yang menyebabkan mengapa ABRI harus berperan sipil di dalam suatu negara demokrasi. Para seniornya dari Angkatan 45 mungkin lebih mudah memahami kondisi kesementaraan ‘darurat militer’ di negara demokrasi itu. Tetapi larutnya mereka dalam arus kenikmatan kekuasaan, menyebabkan mereka pun terjebak dalam kepentingan jangka pendek dan meneriakkan jargon “dwi fungsi ABRI abadi untuk selamanya”. Jargon inilah yang ditelan dan diteruskan oleh generasi penerusnya secara tidak sensitif dengan bertingkah laku lebih kejam dan lebih korup daripada Gubernur Jenderal VOC penjajah Belanda. Itu dimungkinkan oleh karena Orde Soeharto berlangsung terlalu lama memegang kekuasaan dengan menyeret ABRI ke dalam pengaruh kekuasaannya.

Menurut kalangan Angkatan 45 yang kritis, kelompok ABRI yang dididik dalam tradisi pendidikan fasisme militer Jepang yang menjajah Indonesia secara kejam pada 1942-1945 itulah yang berhasil diseret Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama itu. ABRI yang berasal dari kalangan Angkatan 45 dan terdidik dalam suasana pergerakan kemerdekaan yang berlangsung secara terorganisir melawan penjajah Belanda (baca: kalangan ABRI pergerakan) pada umumnya berusaha menghindar kalau tidak mungkin bersikap kritis terhadap kekuasaan Soeharto. Kalangan inilah yang tampaknya bisa ‘sehati’ dengan pergerakan mahasiswa yang tidak pernah berhenti mengkritisi pemerintah (termasuk pemerintahan Orde Soeharto yang berasal dari partnershipnya dengan mahasiswa 1966). Sementara kalangan ABRI yang berhasil diseret Soeharto menjadi alatnya lebih menempatkan diri sebagai ‘penindas’ terhadap sikap-sikap kritis mahasiswa –yang senantiasa berupaya mengawasi pemerintahan agar tidak menindas serta membodohkan rakyat. Karena periode pemerintahan Orde Soeharto berlangsung begitu lamanya, maka terlihat bahwa masa bakti kalangan ABRI Angkatan 45 yang ‘sehati’ itu menjadi sedemikian singkatnya ‘berpartnership’ dengan gerakan mahasiswa yang selalu menjaga kedekatan hati dengan nasib bangsanya.  Sehingga, sebagian besar wajah ABRI Orde Soeharto itu lebih banyak diisi oleh wajah penguasa korup yang menindas rakyat serta gerakan mahasiswanya.

Wajah seperti inilah yang kemudian diestafetkan oleh kalangan generasi penerus kepemimpinan ABRI sebagai sikap dan perilakunya terhadap rakyat dan bangsa (serta mahasiswa yang hampir selalu berada dalam posisi ‘dekat’ dengan hati rakyat dan bangsanya itu). Wajah kekuasaan dengan sikap dan perilaku menindas rakyat, bangsa dan pergerakan mahasiswa. Tidak pelak bilamana di dalam hati masyarakat semakin tumbuh perasaan untuk meng-Irak-kan ABRInya yang semacam itu. Artinya tidak lagi memandang ABRI sebagai asset nasional yang berguna bagi kehidupan bangsa Indonesia yang demokratis, tetapi lebih sebagai penindas dan unsur anti demokrasi yang selalu mengintai kesempatan untuk lebih menindas lagi dengan terjun kembali memegang kekuasaan negara. Bukan untuk memajukan bangsa melainkan menikmati kekuasaan demi kepentingan kelompoknya sendiri (baca: oknum-oknum pemegang kekuasaan di ABRI).

Berlanjut ke Bagian 3

Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (1)

PADA Januari 2011 mendatang, sebagai kelaziman setidaknya ada dua peristiwa politik yang melibatkan peranan mahasiswa akan diperingati dengan berbagai cara, yakni peristiwa kelahiran Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) 10 Januari 1966 dan Peristiwa 15 Januari 1974. Peristiwa pertama menandai awal gerakan mahasiswa tahun 1966, yang kemudian mendapat penamaan sebagai Angkatan 1966, untuk ikut menjatuhkan rezim Soekarno. Sementara itu, peristiwa kedua, Peristiwa 15 Januari 1974, adalah gerakan mahasiswa tahun 1970-an yang melancarkan kritik keras terhadap penyimpangan rezim Soeharto dan para jenderalnya, namun berakhir sebagai suatu antiklimaks, karena peristiwa itu mendapat pencitraan makar saat dikaitkan dengan tali temali pertarungan internal rezim Soeharto antar kelompok jenderal di sekeliling Soeharto.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal ini, diperlukan pemaparan lanjut dalam suatu kesempatan tersendiri. Namun sebagai referensi mengenai pergerakan kritis mahasiswa Indonesia, berikut ini menarik untuk dikutip beberapa aspek mengenai pergerakan kritis mahasiswa di Indonesia, khususnya tentang pergerakan 1966 hingga tahun 1970-an. Dipinjam dari beberapa bagian tulisan Drs Hatta Albanik Mpsi yang pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung 1973-1974, Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa. Tulisan tersebut merupakan referensi tema dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Menentukan perubahan bangsa. SEJARAH Indonesia modern telah menunjukkan bahwa generasi muda hampir selalu tampil sebagai penentu perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan bangsa. George Mc’Turnan Kahin bahkan menggunakan penamaan ‘Revolusi Kaum Muda’ untuk menyebutkan pergerakan tokoh-tokoh yang mempelopori  terjadinya perubahan yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern. Setelah Indonesia merdeka, tampaknya gerakan kaum muda itu analog dengan perjuangan intelektual yang terjadi pada awal abad 20, dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Perubahan yang terjadi senantiasa ditentukan oleh kalangan muda kampus: mahasiswa.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa Indonesia merdeka, umumnya berupa upaya untuk merobohkan kekuasaan rezim-rezim totaliter dan kediktatoran yang membawa kehidupan bangsa jatuh pada kondisi kritis yang dapat membawa kehancuran. Sejarah mencatat bahwa perubahan-perubahan besar berupa hancurnya kekuatan-kekuatan totaliter Soekarno maupun Soeharto dilakukan oleh kekuatan-kekuatan mahasiswa sebagai penentu – namun  sayangnya kemudian diambilalih dalam proses-proses berikutnya oleh kekuatan pemegang kekuasaan baru yang berkecenderungan juga berkembang jadi totaliter dan kediktatoran.

Tak dapat dipungkiri bahwa konsentrasi kampus-kampus perguruan tinggi yang menjadi basis gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia terdapat di kota-kota besar yang lebih dekat dengan suasana kehidupan modern sehingga cenderung juga sekaligus menjadi pusat-pusat pemikiran avantgarde bagi kemajuan kehidupan bangsa Indonesia modern. Sangat menarik untuk diamati bahwa kampus sebagai pusat kekuatan modernisasi dan kemajuan kehidupan bangsa harus selalu bersilang pendapat dengan kalangan kekuasaan – yang tampaknya senantiasa menempatkan diri sebagai kekuatan konservatif yang selalu menolak gagasan pembaharuan untuk meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan bangsa Indonesia. Persis seperti posisi yang diambil penjajah melawan kekuatan pergerakan kemerdekaan rakyat Indonesia dulu.  Bahkan biarpun individu-individu pemegang kekuasaan itu pada mulanya juga adalah berasal dari lingkungan gerakan cendekiawan kampus yang pernah seiring sejalan dalam upaya memperbaharui kehidupan bangsa. Serenta memegang kekuasaan negara, para tokoh itu lalu berubah perilaku menjadi berorientasi kekuasaan, bukan lagi berorientasi perjuangan bagi kepentingan bangsanya yang dulunya menjadi tema perjuangannya. Kekuasaan telah menelan perjuangannya.

Fenomena yang kita temukan sepertinya menunjukkan posisi gerakan-gerakan mahasiswa yang menyilang kekuasaan para penguasa itu, telah menjadi kekuatan koreksi yang membawakan hati nurani masyarakat yang ditindas oleh orientasi kekuasaan yang telah disalahgunakan bagi kepentingan pribadi-pribadi pemegang kekuasaan itu yang bukan lagi berorientasi pada kepentingan kemajuan bangsa.

Dalam kondisi seperti itulah gerakan mahasiswa Bandung menempati posisinya yang strategis di tengah-tengah pergolakan korektif terhadap penguasa yang menzalimi rakyatnya sendiri, semata-mata untuk hasrat dan kepentingan kekuasaan. Kekuatan gerakan mahasiswa Bandung pada umumnya terletak pada posisinya yang apolitis, tidak bertujuan untuk pencapaian kekuasaan. Selalu menjadi pembuka gagasan guna memecahkan kebekuan, menimbulkan keberanian dalam melakukan upaya-upaya koreksi menyilang kekuatan kekuasaan. Seringkali gerakan mahasiswa Bandung tidak memunculkan tokoh dan lebih mengandalkan pada kekuatan gagasan. Bahkan, mereka seringkali tidak memperdulikan apakah gagasan itu diambilalih oleh gerakan nasional mahasiswa yang kemudian ‘dipelintir’ oleh praktisi-praktisi politik sebagai amunisi mereka dalam kompetisi kekuasaan.

Menarik untuk dicermati  bahwa gerakan mahasiswa Indonesia berlangsung dari generasi ke generasi dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dengan tema dan tokoh yang berbeda-beda pula, namun seolah-olah memiliki suatu rentang garis benang merah. Garis benang merahnya sendiri selaku dekat dengan hati dan perasaan umumnya masyarakat dalam era dan zaman yang berbeda-beda itu. Sehingga, walaupun mungkin secara nyata tidak terjadi komunikasi fisik langsung, terbuka maupun tertutup, serta modus gerakan yang mungkin berbeda-beda, tetapi ide dan tujuannya pada dasarnya adalah: kepentingan dan keinginan masyarakat luas. Karenanya, selama gerakan mahasiswa berada dalam jalur benang merah yang sama, betapapun buruknya kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia, akan selalu dimungkinkan terjadinya perbaikan atau perubahan-perubahan untuk memperbaharui keadaan semacam itu.

Disemangati Gagasan ’Back to Campus’. MAHASISWA Bandung tahun 1970-an pada umumnya hidup dalam lingkungan suasana gagasan depolitisasi yang disemangati oleh gagasan back to campus. Setelah perjuangan mahasiswa 1966 yang berpartner dengan ABRI berhasil menggulingkan kekuasaan tirani Soekarno yang di ujung kekuasaannya membawa bangsa Indonesia ke dalam kondisi kesejahteraan sangat buruk, ekonomi yang collapse (membawa kebangkrutan) dan kelaparan di mana-mana –rakyat antri beras, minyak tanah dan tekstil kualitas rendah– banyak kalangan yang menuding bahwa kondisi itu terjadi akibat Orde Soekarno yang terlalu banyak bermain politik sehingga mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Lalu tumbuh semacam sikap yang menganggap politik sebagai biang keladi dari buruknya kondisi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Patut diingat bahwa pada zaman itu buruknya kondisi bangsa diindikasikan oleh mismanagement pemerintah dan korupsi yang merajalela (Pada waktu itu Indonesia sudah dianggap termasuk negara paling korup di dunia. Indonesia juga adalah negara pengimpor beras terbesar di dunia. Banyak dilanda bencana alam tanpa mampu diatasi dengan baik, dan mengalami berbagai hal buruk lainnya).

Dan yang dituding ketika itu sebagai kambing hitam, ialah terlampau dominannya pertimbangan-pertimbangan politik di atas pertimbangan-pertimbangan kesejahteraan rakyat, bahkan membahayakan keamanan negara. Indonesia berada dalam situasi konfrontasi yang tak ada habis-habisnya. Ke luar: Konfrontasi dengan Belanda, kemudian dengan Malaysia, Inggeris, Amerika dan seterusnya, yang disebut Nekolim. Ke dalam: Konfrontasi antar kekuatan-kekuatan politik yang berbasiskan konfrontasi kekuatan-kekuatan ideologi dan sara (suku, agama dan ras). Kepentingan-kepentingan politik itu seakan menjadi lebih penting daripada upaya mensejahterakan rakyat sebagai misi utama dari setiap negara yang ingin maju.

Politik dianggap sebagai panglima. Gagasan-gagasan back to campus juga muncul karena ada perasaan risih dari mainstream gerakan mahasiswa pada waktu itu akan kemungkinan terseretnya mahasiswa dalam arus politisasi yang mulai dienggani itu. Banyak tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966 yang masuk dalam pusaran permainan politik sebagai imbas –mungkin juga sebagai hadiah atau reward atas keberhasilan mereka menumbangkan Orde Soekarno. Di satu pihak enggan terhadap politik sebagai panglima, di lain pihak terus terlibat dalam aktivitas politik.

Agar tidak menjadi korban politik, mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus terkemuka di Indonesia waktu itu tampak banyak yang terpesona pada fenomena yang dimunculkan oleh arus utama aspirasi mahasiswa Bandung dan Jakarta dengan gagasan back to campus-nya. Tetapi di kemudian hari banyak juga yang menyesalkan fenomena ini, karena tanpa disadari gagasan back to campus ternyata dimanfaatkan oleh partner terpercaya mahasiswa (baca: ABRI) dalam penggulingan Soekarno di tahun 1966, untuk menggiring mahasiswa kembali mengisi ruang-ruang aktivitas akademiknya di perguruan tinggi. Sehingga, memberikan kesempatan ABRI untuk dengan leluasa mengambil alih inisiatif kekuasaan pemerintahan bangsa dan negara secara monolit. Tidak terbersit sedikitpun pikiran pada waktu itu untuk mengasramakan kembali (back to barrack) ABRI dan menormalisasikan kekuasaan pemerintahan sipil negara. Orang seakan-akan melupakan bahwa masa Orde Soekarno untuk sebagian besar juga diisi oleh masa kekuasaan militeristis yang diintrodusir melalui pernyataan Soekarno (yang juga adalah Panglima Tertinggi ABRI) tentang negara dalam keadaan bahaya (SOB) yang pada hakekatnya adalah keadaan darurat militer. Melalui kondisi inilah sebagian besar fungsi-fungsi pemerintahan normal sipil diambil alih oleh kekuatan-kekuatan militer bersenjata. Pada waktu itu tanpa disadari mungkin Indonesia tercatat sebagai negara yang kabinetnya paling banyak diisi kalangan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (16)

“Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan”. “Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaannya berlanjut”.

DENGAN terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, sengaja atau tidak Jenderal Soeharto menemukan satu momentum untuk ‘meringankan’ beban perseteruan dalam tubuh kekuasaan yang dipimpinnya. Mula-mula ia melakukan reorganisasi Kopkamtib dengan mengambil alih langsung jabatan Panglima Kopkamtib. Dengan demikian, Jenderal Soemitro tinggal menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI. Sementara itu, Laksamana Soedomo diangkat menjadi Kepala Staf Kopkamtib. Agaknya Presiden Soeharto tidak terlalu sulit memberhentikan Soemitro dari jabatan Panglima Kopkamtib –suatu jabatan yang menurut guyonan politik saat itu punya wewenang menangkap siapa saja kapan saja, termasuk Presiden Soeharto– karena pada tanggal 17 Januari pagi setelah PM Tanaka meninggalkan Istana dengan helikopter, Jenderal Soemitro menghadap dan menyatakan “Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu izinkan saya mengundurkan diri”. Soemitro mengaku gagal mengatasi keadaan. Dan meskipun secara spontan saat itu Soeharto memberi jawaban bahwa mengundurkan diri tidak memecahkan masalah, dan menyebutkan bahwa yang salah bukan hanya Soemitro, toh beberapa hari kemudian Soeharto melepaskan jabatan Pangkopkamtib itu dari Soemitro.

Sepanjang yang dapat direka ulang dari peristiwa pagi itu, setelah Jenderal Soemitro meninggalkan Istana, Ali Moertopo yang juga berada di Istana waktu itu, di ruang belakang, menghadap Soeharto hanya dalam selang beberapa waktu. Ali Moertopo memberi beberapa pertimbangan berkaitan dengan jabatan Kopkamtib. Namun adalah ‘menarik’ bahwa pada sekitar waktu yang bersamaan dengan reorganisasi Kopkamtib, Presiden Soeharto juga memutuskan menghapuskan jabatan Aspri yang disandang Ali Moertopo dan beberapa lainnya. Ini adalah ‘deal’ Ali kepada Soeharto, bahwa jabatan Aspri bisa dihapus bersamaan penggantian Pangkopkamtib. Jabatan Kepala Bakin yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono –yang dianggap orang dekat Jenderal Soemitro– dilepas dan diserahkan kepada Mayjen Yoga Soegama yang ditarik dari pos perwakilan di PBB. Sutopo diangkat menjadi Duta Besar RI di Belanda. Bagi Yoga, ini adalah kedua kalinya memimpin Bakin, karena sebelumnya jabatan itu pun pernah dipangkunya.

Adapun Jenderal Soemitro, beberapa waktu kemudian dipanggil dan dipersuasi Presiden untuk menjadi Duta Besar RI di Washington, tetapi ditolak oleh Soemitro. Soeharto membuka pembicaraan dengan terlebih dahulu membuka kembali laporan tentang Ramadi yang mengaitkan nama Soemitro. “Saya minta Mitro mengalah sementara”, ujar Soeharto sebagaimana dituturkan Soemitro sendiri, “Saya minta keikhlasan Mitro untuk sementara jadi Duta Besar di Washington”. Pada waktu-waktu berikutnya, secara sistimatis Soemitro yang kerap temperamental ‘dipancing’ emosinya. Dan melalui suatu pertemuan dengan Jenderal Maraden Panggabean yang membicarakan masalah-masalah privasinya yang sensitif –antara lain dengan penggunaan kata ‘kelainan’ terhadap perilaku tertentu  dalam kehidupan privasi sang jenderal– akhirnya Soemitro secara emosional memutuskan membuat surat singkat pengunduran diri dari jabatannya yang terakhir di kemiliteran, yakni Wakil Panglima ABRI. Garis karirnya pun praktis patah, berakhir dalam usianya yang relatif masih cukup muda.

Ali Moertopo sendiri, setelah peristiwa 15 Januari 1974, tampaknya tetap berkiprah dengan peranan-peranan memadai dalam kekuasaan. Secara pribadi ia memang memiliki tingkat kualitas tertentu yang prima. Namun seiring dengan berjalannya waktu, seakan-akan suatu proses dialektis, faktor-faktor baru juga muncul dalam tubuh kekuasaan di sekitar Soeharto, dan dalam kaitan ini nama Sudharmono SH patut untuk disebut. Dalam tubuh Golkar misalnya, selain jalur A, jalur B juga menjadi faktor. Dalam tubuh tentara, muncul pula perwira-perwira yang berkonotasi lebih Islami, yang dalam kancah politik dikenal sebagai proses ‘penghijauan’ di tubuh ABRI.

Presiden Soeharto juga menarik representasi tokoh dalam kabinet-kabinetnya dari berbagai sumber dan latar belakang. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam minor reshuffle untuk mengisi jabatan-jabatan kosong dalam kabinet, antara lain muncul Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja SH yang tadinya Rektor Universitas Padjadjaran, menjadi Menteri Kehakiman. Sementara itu, mantan Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) kabinet peralihan Soekarno 1964-1966 Dr Sjarif Thajeb ditarik dari pos Duta Besar di Washington dan dinaikkan kembali ke ‘panggung’ dalam negeri sebagai Menteri P&K –dan segera saja muncul dengan rumusan-rumusan pembinaan kampus yang esensinya penuh pembatasan kendati tidak diakui demikian. “Harus diingat”, ujarnya, “kegiatan mahasiswa itu banyak sekali, bukan hanya bidang politik saja”. Dengan sedikit naif ia bertanya-tanya tentang ‘keberadaan’ KAMI –yang ikut dibentuknya pada tahun 1966– seraya menyesalkan kenapa wadah itu tidak dipertahankan agar bisa berperanan positif sesuai keadaan saat itu.

Ali Moertopo dalam pada itu baru masuk pada Kabinet berikutnya, sebagai Menteri Penerangan. Namun akumulasi tokoh-tokoh baru yang direkrut dari waktu ke waktu oleh Presiden Soeharto sedikit banyaknya lebih memperkecil rentang pengaruh Ali Moertopo, begitu juga yang lainnya di sekitar Soeharto, sehingga tak ada kekuatan yang betul-betul dominan lagi di sisi Soeharto. Jenderal Soeharto sungguh semakin efektif dalam menata kekuasaan. Tapi sepanjang Ali Moertopo hidup, tak ada yang bisa betul-betul menepikan peranannya –yang luar biasa dan amat fenomenal– secara signifikan. Hanya jantungnya yang pada akhirnya lebih cepat ‘kalah dan menyerah’ sesuai kehendakNya.

Gerakan-gerakan mahasiswa 1970 hingga akhir 1973 dan awal 1974, meskipun berada dalam suatu ruang dan waktu yang sama dengan perseteruan dalam tubuh kekuasaan, pada hakekatnya adalah suatu gerakan berdiri sendiri. Lahir dari suatu idealisme dan sikap kritis, meskipun juga tidak selalu sepenuhnya bersih dari perorangan-perorangan yang terimbas oleh kepentingan-kepentingan sendiri. Setiap kelompok kekuasaan yang berseteru, selalu mencoba menempatkan atau menggunakan perorangan-perorangan untuk menjalankan kepentingannya sendiri dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, dunia mahasiswa kerap lebih rentan, terutama karena masih cukup kuatnya dominasi dan pengaruh organisasi-organisasi ekstra kampus dalam tubuh student government-nya, sehingga agak lebih mudah disusupi. Maka akhir dari gerakan mahasiswa Jakarta saat itu pun lebih ‘tragis’. Dalam hal ini, kampus-kampus Bandung menunjukkan perbedaan secara kualitatif.

Mahasiswa Bandung yang berhasil menjalankan konsep back to campus dan menegakkan proses demokratis yang kuat dalam pembentukan student government mereka –terutama di kampus-kampus utama dan besar– berhasil membendung politisasi ke dalam kampus tanpa menutup pintu bagi keinginan mengembangkan pikiran dan hak politik. Sebagai hasil akhirnya mereka memperoleh suatu kemampuan melakukan gerakan kritis yang berwawasan politik luas yang tepat untuk kepentingan masyarakat dalam menghadapi hasrat dan subjektivitas kekuasaan yang tidak wajar. Dalam menjalankan gerakan kritis bersama, bisa saja dikenali adanya perorangan yang terkait dengan organisasi ekstra tertentu, organisasi politik tertentu, kelompok kekuasaan tertentu, bahkan satu-dua orang yang diidentifikasi terkait dengan kalangan intelijen sekalipun, tapi tidak pernah ditemukan suatu keputusan bersama yang terkontaminasi karenanya. Tradisi berpikir secara akademis membuat mereka tiba pada keputusan-keputusan yang logis dan relevan terhadap apa yang mereka ingin capai. Dengan demikian, output keputusan mereka tentang rencana-rencana dan tujuan-tujuan, senantiasa berada dalam batasan gerakan kritis yang lebih murni. Itulah pula sebabnya mereka menjadi sangat peka terhadap situasi pada awal 1974 dan tiba pada keputusan untuk tidak turut ke Jakarta menyambut Tanaka dan tidak turut pada gerakan-gerakan lainnya di Jakarta dan memilih bentuk-bentuk gerakan mereka sendiri di Bandung. Mahasiswa Jakarta melakukan hal berbeda, atau setidak-tidaknya tidak bisa menghindarkan diri dari gerakan-gerakan yang ternyata kemudian diletakkan dalam satu bingkai skenario yang pada akhirnya merugikan gerakan mahasiswa secara keseluruhan –meskipun ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh.

Professor Kusnadi Hardjasumantri almarhum, mantan Rektor Universitas Gajah Mada, kurang lebih pernah mengatakan andaikata mahasiswa Jakarta –Hariman Siregar dan kawan-kawan– lebih membatasi diri dengan gerakan kritis murni dan tidak terlalu jauh ‘membiarkan’ diri masuk ke dalam pertarungan internal kekuasaan yang terjadi, sehingga terperangkap ke dalam bingkai makar, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan. Padahal gerakan-gerakan kritis mahasiswa yang terukur dalam situasi hampir zero seperti itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai katalisator kuat menuju kejatuhan Soeharto.

Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaanya berlanjut. Semenetara itu, para mahasiswa mendadak menemukan diri mereka dalam posisi mencengangkan sebagai pencetus kerusuhan sosial dan bahkan turut serta sebagai pelaku makar dalam opini yang berhasil diciptakan by design oleh salah satu faksi dalam pertarungan internal. Jenderal Soeharto yang sebenarnya sudah berada dalam posisi pelik, diuntungkan dan mendapat kesempatan melakukan konsolidasi. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, penguasa menjadi lebih keras dan mendapat ‘alasan’ melakukan rangkaian tindakan supresi ke kampus-kampus perguruan tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Sementara itu pers kritis pun sudah dilenyapkan setelah peristiwa.

Gerakan mahasiswa Bandung, bagaimanapun ikut terpengaruh. Tak ada tokoh mahasiswa dari kampus Bandung yang dikenakan tahanan. Hanya memang beberapa dari mereka mengalami pemeriksaan-pemeriksaan dan klarifikasi baik di Laksusda –di POM ABRI yang dipimpin Kolonel Samallo– maupun instansi lainnya. Salah satu rangkaian pemeriksaan untuk dimintai keterangan adalah yang dilakukan di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat hingga beberapa waktu kemudian setelah Peristiwa 15 Januari di Jakarta. Tetapi pertanyaan-pertanyaan, seperti misalnya yang dialami Denny Kailimang dari DM Universitas Parahyangan yang diperiksa bersama Budiono Kusumohamidjojo, lebih banyak diarahkan kepada beberapa tokoh senior yang ikut ditangkap di Jakarta. Paling banyak yang coba dikorek adalah mengenai Rahman Tolleng dan Adnan Buyung Nasution, yang ditangkap di Jakarta dan agaknya dipersiapkan untuk jadi tertuduh. Antara lain ditanyakan apakah peranan mereka ada dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Bandung, apa ucapan-ucapan yang pernah mereka lontarkan dan sebagainya. Umumnya, dijawab secara samar dan tidak memuaskan pemeriksa, karena para mahasiswa pun telah menganalisa apa tujuan pemeriksaan. Sepertinya penyelidikan dan penyidikan terhadap mahasiswa Bandung seluruhnya terbentur. Para penyelidik dan penyidik hanya mampu memperoleh data-data sebatas ‘bukti-bukti’ intelejen namun itu bukan ‘bukti-bukti’ hukum yang cukup.

Namun, apapun yang terjadi, student government yang ada di kampus-kampus Bandung tak terputus –dan memang tidak ada alasan kuat bagi penguasa untuk begitu saja menghentikannya. Larangan kegiatan politik di kampus-kampus yang dikeluarkan Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Pimpinan Kopkamtib di Jakarta, memang meredakan sejenak kegiatan dan menghalangi gerakan kritis mahasiswa Bandung. Dalam larangan itu dirumuskan kegiatan-kegiatan yang tak diperbolehkan, seperti demonstrasi, pawai alegoris, apel, rapat, rapat umum, pernyataan lisan atau tulisan, seminar, diskusi, kuliah, kuliah umum dan sebagainya.

Menanggapi aneka pembatasan sebagaimana yang dicantumkan dalam radiogram Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Kopkamtib, beberapa Dewan Mahasiswa –di antaranya DM Universitas Padjadjaran– malah sekalian meminta Pimpinan-pimpinan Perguruan Tinggi untuk menutup Lembaga-lembaga Perguruan Tinggi, “sampai dicabutnya kembali seluruh keputusan-keputusan yang bertentangan dengan azas kehidupan Demokrasi Perguruan Tinggi seperti tercermin dalam Surat Telegram Laksusda Jabar”. Lalu, menginstruksikan seluruh mahasiswa untuk menghentikan seluruh kegiatan-kegiatan akademis, sampai ada pengumuman kembali. Nyatanya, larangan penguasa itu hanya memiliki daya laku yang ringkas. Dan para mahasiswa tetap melakukan apa yang mereka rasa perlu dilakukan, meskipun dengan berbagai cara dan improvisasi baru. Student government di kampus-kampus Bandung pun tetap berjalan.

Maka pada saat-saat berikutnya tetap ada sesuatu yang terestafetkan. Tradisi perlawanan kritis mahasiswa Bandung memang tak berakhir di tahun 1974. Babak-babak baru muncul, hingga saatnya terjadi Peristiwa 1978, tatkala tentara menduduki kampus-kampus Bandung dan akhirnya tercatat sebagai Luka Ketiga dalam hubungan mahasiswa dan kekuasaan.

-Diolah dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Penerbit Buku Kompas, 2004.