Mahasiswa, Tentara dan Kekuasaan (5)

“Keluar-kampusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa intra kampus sebagian besar terjadi oleh karena semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat luas dan kalangan mahasiswa intra kampus terhadap permainan-permainan politik para tokoh organisasi ekstra kampus yang seringkali ‘bermain mata’ dengan politik kekuasaannya Orde Soeharto dan ABRI. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak mungkin lagi berdiri di depan untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Soeharto”.

Di masa Orde Soekarno banyak partai politik yang mendirikan organisasi-organisasi onderbouw di kalangan mahasiswa untuk  menanamkan pengaruh ideologi politik yang mereka anut itu pada generasi muda intelektual mahasiswa. Diantaranya, sudah tak asing lagi bagaimana sebagian besar universitas-universitas negeri terkemuka banyak yang dipengaruhi oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sementara kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada waktu itu ditengarai sebagai basis dari pengaruh organisasi mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Banyak perguruan tinggi swasta yang berafiliasi dengan partai-partai politik Katolik dan Kristen lalu juga menjadi basis pengaruh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Jangan lupa pula pengaruh dari organisasi-organisasi mahasiswa yang kebanyakan beranggotakan kalangan non pri keturunan cina yang kekiri-kirian, yang bahkan menolak upaya-upaya pembauran dengan menuntut menjadi kelompok etnis tersendiri, sebagai organisasi yang berbasiskan ideologi yang mempertahankan semata-mata kebhinnekaan dan sedikit sekali upaya untuk menemukan keekaan. Wajar bila aktivitas kegiatannya lebih banyak berorientasikan kepentingan ideologi politik semata, yang untuk mempertahankan eksistensinya seringkali melakukan manuver-manuver politik dengan mempertajam perbedaan-perbedaan yang mereka miliki (divergensi) dan hampir samasekali tidak berorientasikan konvergensi, mencari kesamaan yang memungkinkan terjadinya pembauran gagasan.

Kebersamaan di dalam KAMI ternyata lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan jangka pendek untuk menumpas PKI sebagai musuh bersama yang berlanjut dengan upaya-upaya menggulingkan Soekarno yang dianggap terlalu melindungi PKI, sebagai musuh bersamanya. Dengan keberhasilan meruntuhkan kekuasaan Orde Soekarno, organisasi ekstra kampus – yang di masa Orde Soekarno juga saling bertarung memperebutkan hegemoni dan menguasai kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia – kembali melanjutkan pertempuran diantara mereka yang sempat jedah sejenak sewaktu mereka bisa berkumpul bersama dalam waktu singkat di dalam organisasi perjuangan KAMI. Organisasi KAMI sendiri terbentuk cukup unik melalui prakarsa ABRI di dalam pemerintahan Kabinet Soekarno yang seakan-akan diinspirasikan dari Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yaitu organisasi yang menghimpun dalam satu wadah federasi organisasi-organisasi mahasiswa ekstra di Indonesia pada waktu itu. Organisasi-organisasi intra kampus ketika itu pun dihimpun dalam suatu organisasi yang diberi nama Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Dalam kenyataannya waktu itu, kekuasaan di dalam MMI hampir sepenuhnya ditentukan oleh pergulatan dan kompetensi hegemoni yang berlangsung di antara organisasi-organisasi ekstra kampus yang bernaung di dalam PPMI. Entah mengapa organisasi PPMI maupun MMI ternyata berhasil didominasi oleh kekuatan CGMI yang menjadi onderbouw PKI, HMI yang dituding oleh Orde Soekarno sebagai onderbouw dari partai terlarang Masjumi, serta GMNI yang menjadi onderbouw dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kala itu dituduh dikuasai oleh kekuatan ideologi kekiri-kirian bahkan dituduh disusupi oleh tokoh komunis.

Pada masa awal perjuangan Angkatan 66, konstelasi ini kemudian berubah dengan tersingkirnya kekuatan-kekuatan yang dianggap dekat dengan PKI pada waktu itu (mungkin juga sampai kini ?) dan dianggap sebagai dalang terjadinya pemberontakan G30S (suatu usaha kudeta terhadap kekuatan pemerintahan yang sah waktu itu): CGMI plus GMNI. Di kalangan PNI pada waktu itu telah terjadi pula usaha pembersihan terhadap tokoh-tokoh PNI yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo dan Ir Surachman yang dianggap bersimpati terhadap PKI, sehingga terbentuklah GMNI ‘aliran kanan’ PNI yang dipimpin Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja. GMNI dari aliran inilah yang dianggap bisa bekerjasama dengan organisasi-organisasi ekstra kampus yang anti komunis dan menjadi kekuatan pendobrak awal dalam usaha ABRI di bawah pimpinan Jenderal Soeharto dan Jenderal AH Nasution untuk menggusur kekuatan Orde Soekarno melalui pembentukan KAMI.

Pada mulanya KAMI hanya didukung oleh organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang anti komunis tersebut. Terlibatnya mahasiswa melalui organisasi intra kampus kemudian, terjadi oleh karena terdesaknya usaha-usaha pergerakan yang dilakukan oleh KAMI dengan munculnya instruksi pemerintahan Orde Soekarno untuk membubarkan KAMI yang segera disusul instruksi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio untuk membentuk Barisan Soekarno sebagai pengimbang KAMI. Waktu itu terkenal semboyan “teror harus dibalas dengan kontra teror”. Terdesaknya organisasi KAMI yang murni ekstra kampus itu kemudian mendorong munculnya kebutuhan melibatkan mahasiswa secara keseluruhan di kampus-kampus perguruan tinggi untuk juga terlibat dan melibatkan diri dalam perjuangan menghancurkan dalang peristiwa kudeta G30S yang dianggap masih terlalu dilindungi oleh Soekarno. Bersamaan dengan munculnya konsulat-konsulat KAMI di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di Indonesia pada waktu itu bersama-sama dengan dilibatkannya pula massa pelajar SMP dan SMA di dalam organisasi KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) maka resmilah para mahasiswa organisasi intra kampus ikut terlibat menjadi anggota KAMI.

Dengan penggambaran di atas dapat dipahami mengapa pada tahun 1970-1974 gerakan back to campus lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi intra kampus yang seakan-akan kembali meninggalkan kegiatan-kegiatan politik untuk kembali melaksanakan fitrahnya sebagai mahasiswa yang harus melanjutkan studinya. Sementara tokoh-tokoh mahasiswa organisasi ekstra kampus juga kembali pada fitrahnya sebagai politisi-politisi muda yang digerakkan oleh aliran ideologi politiknya masing-masing. Tentunya kalangan organisasi mahasiswa ekstra kampus inilah yang sangat berkeberatan dengan terlaksananya gagasan back to campus. Terdorongnya kemudian tokoh-tokoh mahasiswa intra kampus ke dalam kegiatan politik yang terjadi, adalah karena mereka juga tidak tahan menghadapi penyimpangan-penyimpangan kekuasaan Orde Soeharto. Kemudian, mengambilalih sikap-sikap kritis mahasiswa dan cendekiawan kampus yang tak mungkin lagi dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi mahasiswa ekstra kampus yang semakin larut masuk ke dalam permainan politik kekuasaan Orde Soeharto. Keluar-kampusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa intra kampus sebagian besar terjadi oleh karena semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat luas dan kalangan mahasiswa intra kampus terhadap permainan-permainan politik para tokoh organisasi ekstra kampus yang seringkali ‘bermain mata’ dengan politik kekuasaannya Orde Soeharto dan ABRI. Organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak mungkin lagi berdiri di depan untuk mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Soeharto.

Tokoh-tokoh organisasi ekstra kampus pada umumnya masih merupakan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa 1966. Regenerasi pimpinan organisasi ekstra kampus ini memang hampir tidak berlangsung mulus. Banyak pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus ini yang sebenarnya sudah bukan mahasiswa lagi, entah karena dropout (tidak dapat menyelesaikan studinya), entah karena telah menjadi sarjana tapi masih betah mempertahankan statusnya sebagai pimpinan organisasi mahasiswa ekstra kampus. Banyak diantaranya yang dalam usia sudah tidak muda lagi (usia 30-40 bahkan lebih tua) masih mempertahankan statusnya itu. Sementara di kalangan organisasi intra kampus (khususnya pada perguruan-perguruan tinggi terkemuka) proses regenerasi pada tampuk kepemimpinannya berlangsung sangat cepat. Hampir tidak pernah ada pimpinan intra yang lebih dari dua periode menduduki jabatan puncak dalam organisasi mahasiswa intra kampus.

Berlanjut ke Bagian 6

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s