SEBUAH pertanyaan, apakah peristiwa ‘tangkap tangan’ Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara oleh KPK Kamis 6 Oktober 2017 merupakan bagian dari fenomena gunung es suap dan korupsi di lembaga peradilan Indonesia? Persoalannya, dalam dua tahun terakhir ini ada belasan –dan sedikit lagi memasuki nominal puluhan– praktek suap dan korupsi terungkap secara nyata di berbagai tingkat lembaga peradilan kita. Dan di bawah permukaan, melalui berbagai keluhan para pencari keadilan, atau percakapan di kalangan pengacara maupun di tengah masyarakat sehari-hari, praktek suap dan korupsi di lingkungan peradilan, menjadi rahasia umum keberadaannya. Maka, terkait suap dan korupsi, seakan-akan memang ada fenomena gunung es pengendalian uang terhadap proses hukum.
Tentu perlu penelusuran lanjut semua pihak untuk memastikan apakah fenomena gunung es wealth driven law itu nyata ada atau sekedar prasangka atau asumsi akibat kekecewaan pihak-pihak yang kalah berperkara. Tapi terlepas dari itu, dalam asumsi fenomena gunung es –bahwa gunung es itu hanya tampak 10 persen di atas permukaan– praktek suap dan korupsi di dunia peradilan yang belum terungkap sebenarnya jauh lebih besar.

Pengacara yang kini non aktif karena menjadi anggota DPR-RI, Henry Yosodiningrat dalam salah satu acara ‘Mata Najwa’ –kini sudah berakhir di Metro TV– Agustus dua tahun lalu, menyebut separuh hakim di Indonesia tidak bersih. “Suap menyuap di peradilan dimainkan hakim dan pengacara.” Henry mengaku pernah ditawari memenangkan perkara dengan menyogok hakim. Seorang pengacara lain, Elza Sjarief juga mengaku pernah ditawari Panitera membayar 30 juta rupiah jika ingin memenangkan sebuah kasus warisan. Namun, berdasarkan pengamatan Imam Anshori Saleh –selaku Komisioner Komisi Yudisial kala itu– yang disampaikannya juga dalam ‘Mata Najwa’, sejak gaji hakim naik tahun 2003 angka suap juga naik, mencapai skala miliaran rupiah (Baca: https://socio-politica.com/2015/08/12/hakim-dan-fenomena-wealth-driven-law/).
SEORANG pengacara muda menceritakan pengalamannya ketika beberapa waktu lalu mendampingi seorang klien –pengurus suatu yayasan sosial– di sebuah instansi penyidik terkait ‘sengketa’ tanah berharga sekitar 800 milyar rupiah. Mestinya, lebih tepat bila kasus itu ditangani di pengadilan perdata saja. Seraya menganjurkan agar sertifikat hak milik tanah yang dipersoalkan itu –dalam kaitan hibah yang tak sah dan dibatalkan– diserahkan saja kepada pihak pelapor pidana, salah seorang penyidik kurang lebih mengatakan, “pelapor adalah orang terkaya Indonesia ke(sekian) lho….” Tentu timbul pertanyaan, memangnya kenapa? Apakah seorang yang tergolong terkaya dengan sendirinya adalah pemegang kebenaran? (Baca: https://socio-politica.com/2015/10/06/keunggulan-korporasi-dan-kaum-kaya-dalam-kendali-hukum/)
Apa yang selanjutnya terjadi? Setelah dari Polri, kasus berpindah ke Kejaksaan Agung dan proses berlangsung dengan begitu cepat. Terjadi penetapan tersangka disertai penahanan di Kejaksaan Negeri dan pelimpahan ke Pengadilan Negeri. Sejak itu tercatat bahwa baik pidana maupun perdata terus menerus dimenangkan oleh orang terkaya kesekian itu, sampai tingkat Mahkamah Agung. Kecuali di tingkat banding Pengadilan Tinggi.
Sebenarnya, dalam persepsi publik bukan suatu keanehan kalau yang tak punya atau hanya sedikit uangnya hampir bisa dipastikan kalah dalam berperkara. Lebih aneh dan langka adalah bila terjadi sebaliknya. Seorang praktisi hukum pernah menyampaikan, bahwa menurut pengamatannya rakyat kecil selalu kalah dalam berperkara bila menghadapi mereka yang banyak uang.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan para penegak hukum mengalami kendala luar biasa, dari arah internal berupa kelemahan teknis dan ketidak-kebalan iman terhadap aneka godaan, maupun dari arah eksternal dari sesama kalangan pemerintahan dan kalangan politik. Ini pasti berlaku untuk semua kalangan penegak hukum. Sementara itu mantan Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto menyebut ruang pengadilan kini lebih megah namun kehilangan ‘aura’, menandakan wibawa yang lenyap. Tak lain karena perilaku para hakim sendiri: Ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya membingungkan dan terkesan tak adil. Dan tentu perlu ditambahkan, melakukan penyimpangan karena uang.
Independensi hakim rupanya telah dimanfaatkan banyak kalangan hakim sebagai komoditi bernilai komersial tinggi. Dengan independensi hakim, teoritis tak mudah seorang atasan mencampuri perkara. Akan menjadi lebih parah, bila memang benar fenomena gunung es itu merupakan fakta, sehingga seorang atasan pun belum tentu terjamin integritasnya. Pengawasan? Tanda tanya.
SEBAGAI penutup, kita ulangi pertanyaan yang juga pernah disampaikan di sini. Bila semua jalan sudah terasa buntu, apakah berarti semua orang harus siap ditindas melalui hukum yang bisa dibeli? Jangan pernah melawan kaum (yang lebih) kaya melalui jalan hukum. Lalu jalan apa yang bisa dipilih? Jalan politik? Tapi, wealth driven politic sebagai turunan dari wealth driven economy dengan segala derivatenya –wealth driven government dan wealth driven law– sudah lebih dulu tertanam kuat sebagai realita sehari-hari.
Lalu ? Mari melawan secara benar, di jalan kebenaran. Kita cari jalannya. (socio-politica.com).