DI LUAR dugaan, mendobrak prediksi sejumlah lembaga survey, kelompok oposisi Pakatan Harapan, memenangkan Pemilihan Umum Malaysia 9 Mei 2018. Dalam perhitungan tak lama setelah pemungutan suara mereka telah melampaui batas minimal 112 jumlah kursi dari 212 kursi parlemen yang diperebutkan. Sekaligus, koalisi oposisi yang dipimpin Dr Mahathir Mohammad di usia larut senja ini, mendadak mematahkan kurva kekuasaan Barisan Nasional yang telah berlangsung 60 tahun. Dunia internasional berharap, kemenangan oposisi ini mampu diterima dengan baik oleh Barisan Nasional, sehingga tak terjadi kekisruhan politik.
Mahathir sendiri, sebenarnya pernah menjadi bagian kekuasaan yang ketat dari Barisan Nasional itu selama 22 tahun sebagai Perdana Menteri, dari 1981 sampai 2003. “Dia memutuskan kembali ke dunia politik dan mendukung oposisi setelah marah dengan skandal korupsi besar-besaran yang melibatkan Perdana Menteri Najib Razak,” tulis Australia Plus 10 Mei 2018. Tak salah bila dengan kejutan-kejutan yang terjadi, maka kemenangan oposisi di bawah Mahathir ini disebut sebagai kemenangan bersejarah.

Dengan hasil pemilihan umum Malaysia yang penuh kejutan itu, Dr Marzuki Darusman SH memprediksi Malaysia terdorong akan lebih terbuka. Sekarang, kata pegiat HAM internasional yang juga adalah mantan Jaksa Agung RI itu, ada dua –bukan hanya satu– kekuatan politik kelompok Melayu yang bisa bergantian berkuasa. Kelompok atau ‘Kaum Melayu’ dengan demikian tak perlu cemas kehilangan kedudukan istimewa yang telah mereka miliki selama beberapa dekade. ‘Politik ras’ memang masih berlaku, tetapi peluang untuk berganti pemerintahan menjadi lebih besar. Otoriterisme akan agak lebih terkendali, begitu pula perilaku korupsi.
“Pengaruh hasil pemilu Malaysia kali ini untuk kawasan, juga baik.” Dengan demikian, Indonesia kini tidak terlalu sendirian sebagai negara paling terbuka yang rentan terhadap ‘tekanan’ negara-negara tetangga yang selama ini sangat restriktif sistem politiknya. Hasil pemilihan umum Malaysia yang historis ini bisa memberikan babak keterbukaan baru di ASEAN.
Kemenangan barisan oposisi Malaysia ini juga memberikan pesan lain, bahwa di luar dugaan, petahana ternyata bisa dikalahkan. Dan itu bisa terjadi di mana-mana di kawasan ini. Termasuk di Indonesia. Meski, selama ini ada semacam tradisi bahwa petahana senantiasa lebih diuntungkan dengan berbagai ‘bonus’ kekuasaan, sehingga cenderung selalu memenangkan pemilihan umum dan bisa bertahan.
Serumpun –walau tak selalu akur– bagaimana pun manusia Indonesia dan manusia Malaysia memiliki begitu banyak kesamaan dalam perilaku sosial maupun perilaku politik. Sekedar beberapa contoh: Feodalisme terpelihara, orientasi ketokohan dalam politik lebih penting daripada orientasi sistem. Bungkus lebih penting daripada esensi. Berbeda pendapat bisa berarti permusuhan. Sama-sama masih bergelut dan bergulat dalam masalah etnis. Dan, sama-sama terjangkit wabah perilaku korupsi dan sulit memeranginya.
Dengan membebaskan diri dari jalan pikiran rasialistis, ada beberapa pertanyaan berikut. Mungkinkah begitu banyak persamaan itu berakar pada apa yang dikatakan sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial dan psikologi bahwa ras Melayu punya semacam sindrom, berupa respon reflektif terhadap kata (echolalia) dan perbuatan (echopraxia)? Dan mungkin karena itu rentan penularan satu dengan yang lain? Tetapi apakah juga bisa ada penularan ‘takdir’ atau ‘nasib’ politik…..? (media-karya.com)