DALAM pemahaman klasik, politik dimaknai sebagai keutamaan dalam kehidupan manusia. Saat para pendiri bangsa mengupayakan dan memperjuangkan Indonesia merdeka, mereka masih meletakkan posisi politik itu dalam keutamaan. Politik dijalankan sebagai kegiatan mulia, untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat reformasi digulirkan dua puluh tahun silam, setelah Peristiwa Mei 1998, terbit harapan bahwa makna keutamaan politik akan kembali melajur dalam kehidupan bangsa ini selanjutnya.
Tetapi kenyataan menunjukkan lain. Tetap saja makin banyak manusia Indonesia lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan bersama secara keseluruhan. Politik makin terdegradasi dari kemuliaannya. Oleh berbagai praktek kotor dalam kegiatan politik, kepercayaan terhadap institusi-institusi politik –maupun demokrasi sebagai pilihan the bad among the worst di antara sistem kehidupan yang ada– makin hari makin merosot. Ke depan, terlihat nyata betapa terminologi politik, dengan laju degradasi yang kian cepat telah dan akan terus tertampilkan dengan konotasi terburuk sebagai satu kejahatan mengejar kekuasaan. Sementara kekuasaan itu sendiri untuk sebagian besar di sana sini makin tertampilkan sebagai praktek kejahatan dalam bernegara. Tanpa kita tahu lagi siapa yang harus bertanggungjawab.
Fenomena tersebut tidak terjadi dengan sendirinya. Bangsa ini memiliki dua sumber kemalangan di masa lampau, yakni Feodalisme Nusantara dan Kolonialisme, yang membantu membentuk kemalangan masa kini. Keduanya telah mengajarkan dan memberi ekstase dari kenikmatan berkuasa bagi para penguasa, mengalahkan berbagai nilai luhur kemanusiaan tentang altruisme dan kebajikan lainnya bagi mereka yang menjadi rakyat jelata. Dua masa panjang itu, tak pernah terisi dengan satu proses bermakna konstruksi sosial –dan dengan sendirinya juga hampa konstruksi politik di masa berikutnya. Sehingga, manusia Nusantara yang kemudian menjadi bangsa dalam Indonesia merdeka, terbentuk sebagai satu bangsa yang mengalami kegagalan sosiologis secara kronis.

Percampuran pengalaman dan warisan sistem nilai kekuasaan dari kedua masa tersebut, memberi pengaruh kuat yang melahirkan pemimpin-pemimpin kekuasaan yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan yang pragmatis demi kenikmatan kekuasaan belaka, jauh di atas kepentingan rakyat. Ini berlangsung sepanjang masa Indonesia merdeka hingga sekarang, yang pada gilirannya mencipta kemalangan aktual masa kini.
Dalam situasi kegagalan sosiologis terhidang berbagai kecenderungan sebagai fakta, berikut ini.
Konflik politik kepentingan menjadi bagian tetap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketidak-adilan sosial dan kegagalan pencapaian kesejahteraan.
Ketidak-adilan kesempatan memperoleh hak-hak sosial dan hak-hak hukum. Hukum berfungsi sebagai alat represi kekuasaan demi pemeliharaan ketertiban belaka, bukan untuk pencapaian keadilan berdasarkan kebenaran.
Pendidikan untuk semua orang hanya sebatas retorika, tak pernah terlihat effort yang bersungguh-sungguh untuk pencapaiannya, karena adalah sulit untuk menguasai dan mengendalikan rakyat yang lebih cerdas.
Kesempatan kalangan akar rumput memperoleh benefit ekonomis seakan ‘perlu’ dibatasi. Karena, rupanya selalu diperlukan lapisan mayoritas rakyat yang berpendapatan terbatas, agar tetap bisa ada lapisan pekerja yang bisa dieksploitasi tenaganya untuk produksi.
Konflik-konflik sosial dipelihara agar selalu ada spasi peran bagi kalangan kekuasaan dalam pengendalian situasi.
Hak bersuara cenderung diberikan seminimal mungkin, sekedar untuk bisa terlihat demokratis, karena kebebasan berpendapat yang terlalu luas akan menimbulkan kesulitan dalam menjalankan otoritas kekuasaan dan pengambilan keputusan sesuai kepentingan kekuasaan.
Cukup dengan beberapa fakta sosial-politik seperti di atas, bisa dilakukan telaah dan analisis lanjut bahwa dalam suatu situasi kegagalan sosiologis bangsa ini akan terhambat untuk menjadi suatu bangsa modern yang mampu menjawab tantangan zaman yang akan semakin berat di masa depan. Termasuk dan terutama dalam menghadapi tantangan global Revolusi Industri 4.0. Tetap terlebih dahulu dibutuhkan suatu upaya baru untuk membangun kembali bangsa dalam satu sistematika baru, dengan menempatkan pembangunan sosiologis dan pembangunan kebudayaan sebagai induk sistem perubahan dan menempatkan pembangunan bidang lain –pemerintahan, politik, ekonomi dan teknologi– dalam posisi sub-sistem – (Sumber: media-karya.com).
Klimax dari kegagalan Reformasi adalah ketika UUD45 Asli di obok obok demi kepentingan.. GBHN hilang, dan nilai luhur Pancasila hanya dijadikan Slogan, Label dan Pengakuan sepihak..