Pancasila dan Bung Karno

BANGSA ini, sebenarnya memiliki bekal berharga dari para pendiri bangsa, yakni Pancasila, sebagai filsafat dan ideologi dalam bernegara. Esensi dasar negara yang kemudian diberi nama Pancasila, disampaikan oleh beberapa tokoh pendiri bangsa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –yang juga dikenal sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai– tanggal 29 dan 31 Mei hingga 1 Juni 1945.

Pada sidang-sidang pertama BPUPKI yang beranggotakan 62 tokoh pergerakan Indonesia menuju Indonesia merdeka, dibahas mengenai  Dasar Negara Indonesia. Anggota Mr Soepomo mengetengahkan gagasan Indonesia sebagai Negara Integralistik yang menginspirasi pilihan negara kesatuan. Sementara itu, anggota Muhammad Yamin memberikan pemaparan mengenai peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat yang dikaitkan dengan keadilan sosial.

Pada hakekatnya, dalam pembahasan menjawab masalah dasar negara yang diajukan Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, beberapa aspek yang kemudian diserap sebagai sila-sila dalam Pancasila telah disampaikan oleh para pembicara dalam sidang 29 dan 31 Mei1945. Namun, menurut catatan para sejarawan, anggota Soekarno –yang hingga saat itu lebih sering disapa sebagai Bung Karno– lah yang paling jelas dan sistematik merumuskan jawaban mengenai dasar negara, yang disampaikan dalam sidang 1 Juni 1945. Soekarno memaparkan lima pokok dari apa yang dikatakannya sebagai philosofische grondslag dari Indonesia Merdeka. Lima pokok itu, berdasarkan urutan penyampaiannya, adalah dasar kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta keTuhanan Yang Maha Esa.

Ekasila. Bagi yang tak suka angka lima, Bung Karno menawarkan kelima pokok itu diperas menjadi socio-nationalisme dan socio-democratie –yang sudah diutarakannya sejak 1932– ditambah prinsip “keTuhanan yang menghormati satu sama lain.” Hanya saja, ketika di kemudian hari, Soekarno lebih jauh melangkah memeras tiga sila (Tri Sila) menjadi Eka Sila, muncul sejumlah sorotan kritis di bawah permukaan. Terutama saat ia berulang-ulang mengumandangkan di masa Nasakom 1960-1965 bahwa Eka Sila itu adalah Gotong Royong yang tak lain Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Saat memberi amanat pada Kursus Kilat Kader Revolusi Nasakom, 1 Juni 1965 –tepat 20 tahun setelah pidatonya di depan sidang BPUPKI– Presiden Soekarno memberi uraian yang terasa ‘kiri’. “Bilamana Pancasila itu diperas maka akan terhasillah Trisila…, sedangkan perasan lebih jauh dari Trisila akan menemukan kita pada Ekasila atau kegotongroyongan. Kegotongroyongan inilah yang dengan perasan cara lain mewujudkan Nasakom atau sebaliknya. Dengan demikian Nasakom adalah pada hakekatnya perwujudan semangatnya Pancasila.”

PIDATO 1 JUNI 1945 BUNG KARNO. “Pada masa kekuasaan Soekarno sendiri di kemudian hari, pada awalnya 1 Juni dianggap sebagai hari kelahiran ajaran Pancasila, bukan Hari Lahir Pancasila. Tak lain karena disadari bersama bahwa Pancasila secara formal juridis lahir 18 Agustus 1945 bersamaan dengan disahkannya UUD 1945.”

Lima dasar yang disebutkan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 itu kemudian disepakati sebagai dasar negara –tanpa penggunaan penamaan Pancasila– oleh Panitia Kecil atau Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI. Tugas Panitia Kecil BPUPKI ini adalah menyusun rancangan pembukaan undang-undang dasar. Ketuanya adalah Soekarno sendiri dengan Wakil Ketua Mohammad Hatta. Komposisi Panitia Sembilan pada dasarnya adalah perwakilan dari apa yang disebut golongan nasionalis sekuler dan golongan nasionalis Islami. Dasar keTuhanan yang oleh Soekarno ditempatkan pada urutan kelima, dipindahkan menjadi urutan pertama. Dan terkait dengan pokok keTuhanan itu sempat dilahirkan sebuah formula tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun dengan sikap kenegarawanan yang dimiliki para tokoh pendiri bangsa itu, tujuh kata tersebut disepakati untuk dicoret dari rancangan pembukaan undang-undang dasar. Rumusan lima dasar negara, tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mendapat pengesahan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 sehari setelah Proklamasi. Pengesahan batang tubuh UUD 1945 dilakukan pada sidang hari berikutnya, 19 Agustus 1945.

Kelahiran Ajaran Pancasila. Dari fakta sejarah yang dipaparkan di atas, adalah tepat menyebutkan 1 Juni 1945 sebagai bagian penting dari kelahiran Pancasila –dikaitkan dengan momen pidato Soekarno pada tanggal tersebut– kendati pembahasan dasar negara tersebut sudah terjadi sejak 29 dan 31 Mei 1945. Pada masa kekuasaan Soekarno sendiri di kemudian hari, pada awalnya 1 Juni dianggap sebagai hari kelahiran ajaran Pancasila, bukan Hari Lahir Pancasila. Tak lain karena disadari bersama bahwa Pancasila secara formal juridis lahir 18 Agustus 1945 bersamaan dengan disahkannya UUD 1945.

Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 itu sendiri adalah sebuah pidato politis-intelektualis, yang menurut seorang sejarawan terkemuka Indonesia Anhar Gonggong merupakan perumusan ulang dari ide-ide dasarnya yang telah dipikir dan direnungkan dalam rentang waktu 1926-1945.

Terlepas dari itu, rumusan-rumusan yang ada dalam Pancasila adalah sebuah rumusan prima yang mampu menyerap dan memadukan gagasan dan pemikiran terbaik dalam berbangsa-bernegara di tengah kenyataan situasi pergolakan dunia dari waktu ke waktu. Secara akademis, nilai-nilai dalam rumusan itu, hingga sejauh ini tetap relevan bagi perkembangan zaman.

Ideologisasi lanjut. Namun sayangnya, dari waktu ke waktu, dari rezim ke rezim kekuasaan, Pancasila lebih banyak dimanfaatkan sebagai semboyan daripada sebagai ideologi, dengan pengertian sebagai pangkal perspektif dalam menjalankan kehidupan bangsa menuju ke masa depan.

Sebagai semboyan, ia mungkin masih mampu mengatasi berbagai gangguan, seperti yang terbukti dalam sejumlah pengalaman sejarah. Namun, dalam konteks menghadapi masa depan, sebagai satu bangsa kita belum berhasil mengkonseptualisasi Pancasila dalam merumuskan hakekat berbagai problematika nyata yang dihadapi saat ini yang faktanya merupakan belenggu penghambat dalam bergerak ke depan. Selama puluhan tahun setelah Pancasila selesai disusun dan disepakati oleh para pendiri bangsa, kita lalai tidak melakukan semacam proses ideologisasi lanjut terhadap Pancasila itu.

Keberadaan kelompok-kelompok politik di Indonesia, yang betul-betul menempatkan Pancasila sebagai ideologi politik, tanpa mendua dengan berbagai azas ciri, nyaris terbatas. Kadangkala di sana-sini azas ciri itu esensial berbeda dengan Pancasila sebagaimana yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945. Tepatnya, banyak kelompok politik yang sebenarnya menggunakan ideologi lain sebagai landasan, dengan Pancasila sebagai sampiran proforma untuk sekedar terlihat sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.

Perlu mengamati kesungguhan partai-partai yang ada saat ini, dalam konteks masalah ideologi tersebut. Termasuk mengenai kesungguhan pemerintah yang telah membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang diketuai Yudi Latief dengan Dewan Pengarah yang diketuai Megawati Soekarnoputeri. Siapa yang betul bersungguh-sungguh, siapa yang sekedar bersikap retoris proforma. Lebih jauh dalam konteks makna, siapa yang sesungguhnya masih bisa diharapkan, dan siapa yang tak bisa diharapkan. (Sumber: media-karya.com)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s