Populisme Islam Dalam Kompetisi Antar Faksi Oligarki

BETULKAH  populisme Islam telah hadir dan bahkan menjadi satu faktor di Indonesia? Sosiolog Vedi R. Hadiz, professor studi mengenai Asia pada Asia Institute, University of Melbourne, Australia, menyebutkan adanya kehadiran itu. Bahkan menurutnya, “populisme Islam di Indonesia belakangan ini semakin diserap dalam kompetisi antar faksi oligarki.” Sementara itu, menurut Dr Marzuki Darusman –pegiat HAM PBB dari Indonesia yang pernah menjadi Jaksa Agung RI– populisme Islam di Indonesia masih lebih berstatus fenomen, karena belum pernah melewati proses kritik.

Diwawancarai oleh Balairung –badan penerbitan pers mahasiswa– Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Vedi R. Hadiz, menguraikan populisme adalah suatu bentuk aliansi antar kelas yang sifatnya tidak seimbang. Ada elemen-elemen yang sifatnya dominan dan ada yang subordinat. Lalu, keduanya disatukan oleh satu narasi tentang suatu persamaan nasib. Dikarenakan sifatnya yang lintas kelas, aliansi-aliansi populis sifatnya penuh kontradiksi internal dan rentan. Oleh karena itu, untuk bisa dipelihara dan dijaga kelangsungannya selalu membutuhkan konflik dan kontroversi.

Dalam konteks kesenjangan sosial

“Kalau definisi populismenya adalah aliansi lintas kelas yang tidak seimbang dan sifatnya kontemporer, penuh kontradiksi dan memerlukan kontroversi, kita kemudian bisa melihat varian-variannya.” Varian-varian itu ditentukan oleh konstelasi kekuatan sosok spesifik yang ada di setiap masyarakat. “Saya menyebutnya sebagai cultural resource pool yang tersedia untuk menciptakan bahasa politik sebagai perekat kelas-kelas berbeda. Ciri khas dari populisme Islam adalah bahasa politiknya dari agama Islam.” Singkatnya, beda antara populisme secara konvensional dan populisme Islam adalah konsep dasar yang “The Peoples” sebagai rakyat yang ditindas oleh elite. Sementara, dalam populisme Islam konsep “The Peoples” diganti menjadi ummah yang ditindas dan terpinggirkan.

“Sebagaimana bentuk-bentuk populisme kontemporer lainnya, populisme Islam adalah reaksi terhadap berbagai jenis kontradiksi dan dislokasi sosial baru yang berkaitan dengan proses globalisasi neoliberalisme. Dalam struktur masyarakat yang di dalamnya mayoritas Islam, isu-isu kesenjangan dan ketidakadilan sosial semakin diartikulasikan dengan bahasa dan simbolisme. Seringkali ini dikaitkan dengan agama Islam karena sudah menghilangnya tradisi politik Kiri, dan lemahnya tradisi politik Liberal maupun Sosial Demokrasi.” Konteksnya adalah semakin lebar kesenjangan sosial yang diiringi oleh meningkatnya aspirasi sosial banyak orang, terutama anak muda. Mereka terdidik, tetapi tidak mengalami mobilitas vertikal yang berarti. Fenomena ini umum terjadi di berbagai masyarakat dunia sekarang ini, baik yang maju maupun sedang berkembang. Sebagian anggota masyarakat menjadi tertarik dengan narasi yang menjelaskan bahwa kondisi mereka disebabkan oleh sistem ekonomi dan politik tidak bermoral yang dipimpin orang tidak bermoral pula.

“Di Indonesia, solusinya dicari dalam sistem ekonomi dan politik yang lebih bernapaskan moralitas religius dan mengharuskan adanya solidaritas berdasarkan identitas ummah,” kata Hadiz. Identitas tersebut seakan-akan menyatukan berbagai kalangan yang mempunyai kesamaan dalam memandang diri mereka sebagai “korban” sistem yang ada. Namun, dalam kenyataan mereka terdiri dari elemen yang sangat berbeda (misalnya kelas menengah terdidik dan orang miskin kota).

Akumulasi kekecewaan dan persoalan sosial ekonomi tidak bisa diatasi secara mudah. Narasi keumatan yang menjadi bagian sentral dari politik identitas itu mengandung narasi bahwa ummah itu adalah bagian dari kelompok sosial yang sudah sejak dulu terpinggirkan secara sistematis. Dari zaman kolonial, pascakolonial masa Orde Baru hingga demokrasi ini. Jadi, itu memberikan potensi massa yang sangat besar untuk elite-elite yang saling berkompetisi saat ini. Massa orang yang marah, kecewa dan mungkin juga tingkat kepercayaan terhadap lembaga tidak terlalu tinggi.

Di sinilah bertemu antara perkembangan di arus bawah dan kepentingan di arus atas. Fraksi-fraksi oligarki yang berkompetisi mampu memobilisasi sentimen keagamaan. Ini berhubungan dengan akumulasi kekecewaan sosial ekonomi yang lebih luas untuk memajukan kompetisi kepentingan politik sesama mereka.

Demokrasi dibajak kaum oligarki

Populisme Islam di Indonesia belakangan ini semakin diserap dalam kompetisi antar faksi oligarki. Gunanya untuk menggalang massa ketika menjelang pemilu berdasarkan identitas ummah, setidaknya untuk sementara dapat menghilangkan sekat-sekat antar golongan masyarakat yang sebetulnya sangat berbeda kepentingannya. Sebagian masyarakat sendiri sudah dikondisikan untuk menerima penggalangan dukungan berdasarkan identitas ummah.

“Ini dikarenakan semakin meningkatnya religiusitas di Indonesia sebagaimana banyak masyarakat mayoritas Islam lainnya, sejak tahun 1970-an dan 1980-an. Pada tahun 1990-an dan 2000-an orang semakin mengkonsumsi produk-produk yang mengukuhkan identitas ummah tersebut—lewat media massa misalnya, atau industri mode, perbankan dan bahkan perumahan—yang juga ternyata semakin menguntungkan secara ekonomi bagi pemodal.’

Demokrasi di Indonesia sudah dibajak oleh oligarki jauh sebelum populisme Islam itu kuat. Demokrasi Indonesia sudah dibajak sejak awal demokratisasi karena ketika Orde Baru turun, tidak ada kekuatan kekuatan progresif yang mampu untuk menggantikannya. Jadi, kelompok elite lama hanya mengubah dirinya menjadi demokrat dengan membuat partai-partai yang dulu membahas integralisme Orde Baru tiba-tiba jadi pro-demokrasi. Namun, pada dasarnya kepentingannya sama, yaitu yang dominan-dominan pada masa Orde Baru juga.

Populisme Islam tidak harus berkaitan dengan kekerasan. Namun, sebagian yang mengusung narasinya adalah kendaraan-kendaraan yang selama ini marjinal dalam sistem politik dan ekonomi. Mereka kurang mempunyai kemampuan untuk memajukan diri lewat mekanisme-mekanisme politik yang rutin. Penggunaan strategi di luar mekanisme tersebut, seperti kekerasan, bermanfaat untuk mempertahankan diri selama ini walaupun berada di pinggiran sistem yang ada. Di beberapa wilayah urban di Indonesia ada irisan antara dunia politik dan dunia kegiatan ekonomi informal yang kerap diwarnai kekerasan dan intimidasi.

Dengan adanya ketimpangan sosial yang tinggi, ada kemunculan perasaan ketidakadilan sosial yang semakin menguat secara konvensional ini adalah lahan dari kekuatan-kekuatan Kiri, untuk dibina dan membangun basis pendukung. Dikarenakan gerakan Kiri vakum, maka kekosongan tersebut diisi oleh sebagian besar kelompok Islam. Narasi yang banyak berkembang beriringan dengan populisme Islam adalah hyper-nasionalis dengan slogan-slogan nasionalisme, NKRI harga mati, dan sebagainya. Apakah ada kemungkinan wacana lain yang mampu memecah wacana populisme Islam dan hyper-nasionalis? Demikian Vedi R. Hadiz dalam wawancara dengan Balairung UGM, Juli lalu. (socio-politica.com/media-karya.com#mediakaryaanalisa

VEDI R. HADIZ DAN MARZUKI DARUSMAN. Dalam hal populisme Islam pertanyaan yang serupa muncul, apakah yang kita amati adalah populisme Islam atau Islamisasi populisme? Ini yang tidak begitu jelas dalam uraian Vedi Hadiz. “Menurut saya adalah yang terakhir, seperti halnya yang kita alami sebenarnya ialah gejala atau fenomen Islamisasi radikalisme dan bukan radikalisme Islam. Juga dalam hal populisme yang ada ialah Islamisasi populisme dan bukan populisme Islam.

BUKAN POPULISME ISLAM, TAPI ISLAMISASI POPULISME

Tulisan Vedi Hadiz menarik, kata Marzuki Darusman, bagaimana dua masalah yaitu oligarki dan populisme –dalam hal ini apa yang dia sebut  ‘populisme Islam’– dikombinasi dalam suatu analisa. Oligarki sudah lebih mendalam di teorisasi dibanding populisme Islam. Populisme Islam masih lebih berstatus fenomen karena belum penuh melewati proses kritik.

Dengan mengambil pemikiran dari teori tentang masalah terorisme Islam, pertanyaannya ialah apakah yang kita hadapi adalah akibat atau konsekwensi dari radikalisme Islam atau sebaliknya, Islamisasi radikalisme (Olivier Roy). Kebedaan ini diperlukan dalam analisa dan agaknya tidak selalu dipegang. Pendekatan umum pada waktu ini nampak berpegang pada yang pertama, radikalisme Islam, termasuklah dewasa ini konsep ‘deradikalisasi’ yang agaknya tidak efektif.

Dalam hal populisme Islam pertanyaan yang serupa muncul, apakah yang kita amati adalah populisme Islam atau Islamisasi populisme? Ini yang tidak begitu jelas dalam uraian Vedi Hadiz. “Menurut saya adalah yang terakhir, seperti halnya yang kita alami sebenarnya ialah gejala atau fenomen Islamisasi radikalisme dan bukan radikalisme Islam. Juga dalam hal populisme yang ada ialah Islamisasi populisme dan bukan populisme Islam. Populisme itu tidak timbul dari ‘dalam’ Islam itu sendiri karena tidak ada kritik. Tentang definisi populisme, saya cenderung untuk menghindari perpolitikan definisi. Yang penting ialah gambaran riil manifestasinya, yaitu pergerakan ‘action direct‘ (diambil dari sosiologi Perancis) yang tidak melalui mediasi institusi perwakilan (partai misalnya)  dalam menegosiasi  kepentingan-kepentingannya terhadap kekuasaan.”

Masalah ideologi yang kita hadapi di sini ialah apakah bahasa yang digunakan adalah bahasa ‘penyelamatan’ atau salvation (agama) ataukah bahasa ‘pembebasan’ atau emansipatif (kritis progresif). Populisme dewasa ini memiliki daya tarik global, seperti Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol bahkan gerakan Bernie Sanders yang saat ini mengangkat spekulasi tentang kebangkitan faham sosialisme di Amerika. Tetapi di balik semua ini masih predominan kekuatan yang sangat kenyal kapitalisme transnasional dalam mana termasuk Islam transnasional. “Jadi yang sebenarnya ada di Indonesia adalah suatu oligarki yang ditopang oleh suatu faktor ‘baru’ Islam transnasional dan bukan populisme Islam!” (socio-politica.com/media-karya.com#mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s