BEGITU usai dilantik di Istana dua pekan lalu, masih dalam seragam kebesaran putih-putih, sejumlah gubernur baru sudah melontarkan pernyataan mendukung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019. Serta merta tak bisa dihindari kesan bahwa ini adalah semacam akrobatik politik para gubernur itu. Dilakukan 8 dari 9 gubernur, dengan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi sebagai pengecualian. “Saya dukung Sumatera Utara dulu,” ujar Edy Rahmayadi kepada tvOne (8/10). “Saya ingin menjadikan Sumatera Utara yang bermartabat, visi misinya itu. Tidak ada urusan untuk Pilpres.”
Kemeriahan politik akrobatik ini, sepanjang yang diberitakan pers, seluruh pesertanya tak kurang dari 15 gubernur. Baik yang sudah lebih dulu dilantik, baru dilantik 5 September, maupun yang masih menunggu giliran pelantikan. Dan dengan segera, akrobat politik ini menular ke bawah, ke para bupati di berbagai daerah. Serentak dengan itu, tak pelak model pelanggaran etika itu menjadi sorotan hingga kini. #mediakaryaanalisa
Menangkis kecaman bahwa para gubernur itu telah melanggar, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tak ada aturan yang melarang kepala daerah menyatakan dukungan kepada calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2019. Tapi menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti yang dikutip pers, seorang gubernur tak boleh atas nama Gubernur menyatakan mendukung pasangan capres dan cawapres tertentu dalam pemilu. Namun, kata Kalla, bila “dia ikut mendukung secara pribadi, itu boleh-boleh saja.”
Sebuah pelanggaran etika
Soal apakah dengan pernyataan dukungan kepada salah satu pasangan capres-cawapres –siapapun pasangan itu– para gubernur itu tidak melanggar peraturan seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri, masih bisa diperdebatkan. Namun, dari sisi etika dan norma kepemimpinan dan pemahaman tentang pemimpin terpilih dalam demokrasi, apa yang dilakukan para gubernur itu, bisa dipastikan keliru. Dalam konteks kepemimpinan dan kenegarawanan, pelanggaran etika tak kalah atau bahkan bisa lebih buruk akibatnya dari sekedar pelanggaran peraturan. Sanksi sosialnya bisa jauh lebih dalam dan buruk, seringkali tak terukur kedalamannya dan berkepanjangan dampaknya sebagai ‘hukuman’ masyarakat.

Begitu seorang terpilih menjadi gubernur (kepala daerah) dengan suara terbanyak, maka sebagai konsekuensi dari prinsip the winner takes all yang diberlakukan, tokoh bersangkutan langsung menjadi gubernur (kepala daerah) bagi seluruh rakyat di daerah itu. Baik bagi yang memilih maupun yang tak memilihnya, atau bagi yang ‘abstain’. Ia bukan sekedar pemimpin daerah bagi yang memilihnya saja. Tapi keterpilihannya yang berdasar keabsahan suara terbanyak itu, hanya sebatas untuk dasar mandat penugasan sebagai kepala daerah. Tak mencakup sebagai kuasa aspirasi pribadi masing-masing rakyat di daerahnya. Jadi bagaimana mungkin seorang gubernur berhak ‘membungkus’ 100 persen suara rakyat di daerahnya untuk salah satu calon Presiden-Wakil Presiden?
Jabatan kepala daerah tidak memberi hak seseorang menjadi kuasa lahir batin dari orang per orang warga negara di daerahnya. Hak politik orang per orang warganegara tak bisa diwakilkan. Hak politik tetap menjadi hak prerogatif setiap warganegara. Kalau toh, sebagai pribadi selaku warganegara, seorang kepala daerah punya pilihan, baginya terbuka dua alternatif. Kesatu, ia mengambil cuti sebagai kepala daerah –sesuai yang dimungkinkan peraturan pemilu yang ada– dan terjun menjadi tim sukses salah satu pasangan kandidat pada waktunya. Kedua, bila tak terjun sebagai tim sukses, maka sebagaimana warga negara lainnya, ia hanya bisa mencukupkan diri pergi ke bilik suara menentukan pilihan pribadinya. Tanpa perlu mendeklarasikan apa dan siapa yang menjadi pilihannya, khususnya sebelum ia menjalankan hak pilih. Bila deklarasi pilihan pribadi dinyatakan sebelum pemungutan suara, berkemungkinan melanggar peraturan terkait kampanye. Sistem pemilihan umum Indonesia berdasar asas langsung, umum, bebas dan rahasia.
Etika kepemimpinan dan partai sebagai ‘kendaraan sewa’
Jadi, sesungguhnya tatkala seorang kepala daerah telah mendeklarasikan pilihan pribadinya dalam posisi dan momen yang salah seperti yang dilakukan pada 5 September, ia pada hakekatnya telah mendegradasi kepemimpinannya menjadi pemimpin kelompok rakyat tertentu saja. Sekaligus, mencipta jurang psikologis dengan rakyat daerahnya, dan menjadi maklumat bahwa ia bukan pemimpin untuk semua. Tak ada altruisme, tak punya integritas. Padahal jabatannya membutuhkan kepercayaan sebanyak-banyaknya rakyat. Lebih-lebih lagi bagi gubernur tertentu yang menyeberangkan aspirasinya dari aspirasi partai yang telah mendukungnya hingga bisa maju sebagai calon, ia juga mendapat penilaian minus dari sisi sistem nilai kesetiaan, moralitas dan kehormatan. Orang memang tidak dituntut untuk memelihara kesetiaan buta, tetapi manusia yang sangat gampang merubah kesetiaan tanpa alasan, adalah manusia tak berintegritas. Sulit untuk dihargai.
Di Indonesia, etika kepemimpinan memang sangat lazim diabaikan. Seorang Presiden untuk sebagian bahkan masih dianggap petugas partai. Begitu juga halnya seorang gubernur atau kepala daerah pada tingkat lebih di bawahnya. Tapi sebaliknya pada sisi lain tokoh-tokoh yang ingin maju dalam kontestasi kepemimpinan negara di berbagai tingkat –presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, walikota dan sebagainya– kerapkali juga menempatkan partai-partai politik sekedar ‘kendaraan sewa’. Dipakai bila dibutuhkan, ditinggalkan bila telah tiba di tujuan. Agaknya, tak berlaku adagium yang dipopulerkan almarhum John Fitzgerald Kennedy –Presiden AS yang terbunuh 1963– bahwa “kesetiaanku kepada partai berakhir saat kesetiaanku kepada negara dimulai”.
Feodalisme gaya baru pendamping oligarki
Dengan semua situasi akrobatik seperti di atas, kita perlu siap-siap untuk menghadapi kembali menguatnya fenomena ‘asal bapak senang’. Termasuk di sini adalah perilaku mencuri start kampanye, seperti dalam kasus iklan ‘2 Musim, 65 Bendungan’ yang disuruh-tayangkan Kemen Kominfo di bioskop-bioskop. Silahkan menyangkal tudingan curi start kampanye. Namun sulit menghilangkan kesan di masyarakat bahwa itu ‘curi’ start, karena pengiklanan dilakukan justru di hari-hari menjelang masa kampanye Pilpres tak lama setelah pendeklarasian kontestan Pilpres. Jika kemajuan pembangunan itu sekedar menjadi pokok pemberitaan media, anggaplah itu benefit yang memang lazim dipetik incumbent. Tapi ini, pengiklanan yang dibayar dari APBN! Termasuk dalam kelompok perilaku tak etis dan tak terpuji, memanfaatkan celah-celah peraturan. Merupakan bagian dari perilaku klasik kalangan kekuasaan, dari rezim ke rezim, dari waktu ke waktu.
Bila berbagai perilaku tak etis seperti yang dituliskan di atas dibiarkan tak terkendali, tak bisa tidak akan membangkitkan kembali perilaku feodalistik. Dari para ‘bawahan’ secara vertikal ke ‘atas’, entah demi masa depan kepentingan, entah dalam kaitan balas budi. Atau setidaknya, feodalisme gaya baru yang eksesif, mendampingi kuasa oligarki yang telah terjadi dalam kehidupan politik dan kekuasaan di negara kita (socio-politica.com/media-karya.com). # mediakaryaanalisa