Tanda Tanya Sejarah Seputar Lahirnya Pancasila dan Soekarno

BERHARI-HARI lamanya terjadi gelombang kritik dan bullying di media sosial sejak Presiden Joko Widodo ‘salah ucap’ di Blitar 1 Juni 2015 dalam acara peringatan ‘lahir’nya Pancasila, tentang tempat kelahiran Bung Karno tahun 1901. Joko Widodo mengatakan, “Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Bung Karno, hati saya selalu bergetar.” Padahal, menurut catatan sejarah, tempat kelahiran Soekarno yang sebenarnya adalah Surabaya. Dengan tujuan ‘membela’ kekeliruan penyebutan itu, ada saja yang berakrobat mencoba mengaburkan persoalan dengan berbagai cara. Antara lain, mengatakan perlunya diteliti lebih lanjut data sejarah yang kurang jelas mengenai tempat kelahiran Soekarno. Tapi apanya yang tidak jelas? Terdapat begitu banyak sumber data sejarah menyebutkan Surabaya sebagai tempat kelahiran Bung Karno.

Dalam buku  Bung Karno Penyambung  Lidah Rakyat –edisi bahasa Indonesia dari buku Soekarno, an Autobiography as Told to Cindy Adams, The Bobbs-Merril Company Inc, New York 1965– Soekarno bertutur mengenai kisah rumit perjodohan dua orangtuanya yang berbeda daerah asal, Jawa dan Bali. Karena ada ketidaksetujuan terhadap perkawinan beda agama antara Raden Sukemi Sosrodihardjo dengan Idayu –ayah dan ibu Soekarno– pasangan itu harus meninggalkan Bali. Dan karena Raden Sukemi “merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan di sanalah putera sang fajar dilahirkan,” tutur Soekarno. Bertepatan waktu dengan “Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus.”

SOEKARNO SUNYI SEPI SENDIRI. "Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini....." (Karikatur Harjadi S, 1966)
SOEKARNO SUNYI SEPI SENDIRI. “Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini…..” (Karikatur Harjadi S, 1966)

            Dengan terjadinya polemik, beberapa pengamat, politisi dan media, menyarankan  perlunya pemerintah meluruskan sejarah Bung Karno. Sepanjang menyangkut tempat dan tanggal lahir Soekarno yang sudah jelas, tentu tak perlu ada pelurusan sejarah lebih lanjut. Persoalannya telah dibuat sederhana, ketika Sunardi Rinakit –seorang peneliti yang pernah jadi tim relawan Jokowi dan belum lama ini diangkat sebagai Komisaris Bank Tabungan Negara tapi ditolaknya– tampil mengambil alih tanggung jawab kekeliruan. Ia mengakui dirinyalah sumber data Blitar sebagai tempat lahir Bung Karno. Akan tetapi, bilamana yang dimaksudkan adalah data sejarah seputar Soekarno secara keseluruhan, memang diperlukan banyak pelurusan berbagai peristiwa sejarah melalui pencarian kebenaran secara bersungguh-sungguh.

            Setidaknya ada tiga peristiwa sejarah yang besar dan berkategori penting menyangkut Soekarno yang masih memerlukan penelusuran lebih jauh, akibat banyaknya kontroversi maupun pencatatan artifisial –dan mungkin saja manipulatif. Kebenarannya kita perlukan bersama sebagai bangsa, untuk mencegah kesesatan sejarah yang berkepanjangan. Ketiga peristiwa itu, adalah mengenai tanda tanya kapan sebenarnya Pancasila atau gagasan Pancasila lahir, teka teki seputar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan misteri peranan sesungguhnya dari Soekarno di sekitar Peristiwa 30 September 1965. Fokus tulisan kali ini adalah mengenai Pancasila, meski dua tanda tanya sejarah lainnya tak kalah menariknya untuk kembali dibahas pada suatu waktu.

            Hari ‘Lahirnya Pancasila’.  Selama ini, tanggal 1 Juni selalu dinyatakan dan dirayakan sebagai hari Lahirnya Pancasila. Ini dikaitkan tampilnya Ir Soekarno di depan sidang BPUPKI –Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia– pada tanggal tersebut dengan acara pembicaraan lanjutan tentang dasar negara Indonesia. Dalam pidato itu Ir Soekarno menawarkan 5 prinsip untuk dijadikan dasar negara, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dilengkapi prinsip Ketuhanan. “Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula,” demikian Soekarno. “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa. Namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

            Tak berhenti hingga di situ, Soekarno menawarkan lebih lanjut, “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.” Lalu Soekarno menyatukan prinsip kebangsaan dan internasionalisme (peri kemanusiaan) menjadi socio-nationalisme, sedang prinsip demokrasi dan kesejahteraan menjadi socio-democratie. Dan keTuhanan menjadi yang ketiga. Dinamai Soekarno sebagai Trisila. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia, yaitu perkataan Gotong Royong…. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila…. Tetapi terserah tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih….”

            Beberapa hari sebelumnya, 29 Mei 1945, Muhammad Yamin, telah lebih dahulu menyampaikan 5 pokok gagasan, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri keTuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. Namun Yamin tidak memberi penamaan spesifik terhadap gagasan yang diutarakannya. Sementara itu, Soepomo yang berbicara dalam sidang BPUPKI 31 Mei, lebih fokus kepada masalah bentuk negara yang akan didirikan. Pada umumnya, para peneliti tentang sejarah kelahiran Panca Sila selalu bertitik tolak pada pidato Ir Soekarno 1 Juni 1945. Tetapi penyebutan bahwa Pancasila lahir 1 Juni 1945, barulah dinyatakan pada tahun 1947 dengan penamaan pidato Soekarno pada tanggal tersebut sebagai “Lahirnya Pancasila”.

            Muhammad Yamin berbeda pendapat tentang hari ‘Lahirnya Pancasila’. Ia menyebut Pancasila lahir 22 Juni 1945, bersamaan dengan Piagam Jakarta. Sewaktu menjadi Menteri PPK, pada 22 Juni 1955 ia merayakan Hari Lahirnya Pancasila di kementerian yang dipimpinnya itu. Menurut catatan Aldy Anwar seorang tokoh 1966 dari Bandung, dalam acara itu Yamin menyampaikan hal-hal berikut. “Pada tanggal 22 Juni 1945 lahirlah di Gedung Pegangsaan Timur 56 di ibukota Jakarta, ajaran dan dasar negara Indonesia menurut keinginan untuk merdeka dan sesuai dengan tinjauan hidup bangsa Indonesia. Ajaran itu adalah Pancasila. Yang merumuskannya adalah 9 orang pemimpin Indonesia…. Ajaran Pancasila yang asalnya dari 9 orang yang disebut Piagam Jakarta, umurnya 6 hari lebih tua dari Piagam PBB yang dituliskan di San Fransisco.” Aldy menyimpulkan, “jadi Muhammad Yamin menganggap Piagam Jakarta sebagai penjelmaan dan tempat lahirnya Pancasila.” Namun dalam bukunya di tahun 1960 “Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia” Yamin memberi arah pandangan yang sudah berbeda. “Tanggal 1 Juni 1945 dianggap oleh Republik Indonesia sebagai tanggal lahirnya ajaran Pancasila, dan Bung Karno diterima sebagai penggalinya. Pernah ajaran itu dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945…”

            Siapa Penggali Pancasila? Dalam buku tersebut, Muhammad Yamin selanjutnya di halaman lebih belakang menulis “Ajaran Pancasila ialah hasil pengolahan dan penggalian orang Indonesia di bidang tinjauan hidup yang melakukan peninjauan kerohanian orang Indonesia dalam menyusun perumusan negara Republik Indonesia. Bung Karno menyiarkan hasil penggalian itu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di kota Jakarta.” Aldy Anwar menyimpulkan, jelas Muhammad Yamin membedakan antara orang yang mengolah dan menggali –yang tak pernah disebutkan namanya, termasuk oleh Soekarno sendiri– dengan orang yang menyiarkan hasil penggalian, yakni Soekarno.

Pada peringatan Lahirnya Pancasila, Juni 1958, Soekarno masih menegaskan “saya bukan pembentuk atau pencipta Pancasila, melainkan sekadar salah seorang penggali daripada Pancasila.” Tetapi setelah itu Soekarno lebih sering menyebutkan diri sebagai penggali dan penerima ilham dari Tuhan mengenai Pancasila nyaris tanpa menyebutkan lagi adanya peranan tokoh lain di luar dirinya.  

Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ia menuturkan ‘pengalaman spiritual’nya menjelang pidato 1 Juni. “Di malam sebelum ku berbicara aku berjalan ke luar di pekarangan rumah kami. Seorang diri. Dan menengadah memandangi bintang-bintang di langit. Aku kagum akan kesempurnaan ciptaanNya. Aku meratap perlahan dalam dadaku karena besok aku akan menghadapi detik bersejarah dalam hidupku ‘Dan aku memerlukan bantuanMu. Aku sadar, bahwa buah pikiran yang akan kuucapkan bukanlah kepunyaanku. Engkaulah yang membeberkannya di mukaku. Engkaulah yang memiliki daya-cipta. Engkaulah yang membimbing setiap napas dari kehidupanku. Turunkanlah pertolonganMu…. KepadaMu kumohon pimpinanMu, kepadaMu kupohonkan ilham guna di hari esok.”

Dalam pidato 1 Juni 1964 –saat memperingati 19 tahun Lahirnya Pancasila– ia juga menuturkan pengalaman spiritualnya yang lebih eskalatif di malam menuju 1 Juni 1945. “.. Tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya diharuskan menyiapkan pidato giliran saya, saya keluar dari rumah Pegangsaan Timur 56…… Saya keluar di malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu,” demikian ia bercerita. “Pada saat itu dengan segala kerendahan budi saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa: ‘Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan kukatakan’…. Sesudah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata: ‘Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri’. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini…..” Jadi, ilham itu datang pada malam menjelang 1 Juni.

Tempat dan momen yang berbeda. Tetapi soal momen datangnya inspirasi, menjadi membingungkan ketika pada kesempatan lain Soekarno menyebutkan tempat dan waktu yang berbeda sebagai momen turunnya ilham itu.

Masih dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Ir Soekarno bercerita “Di Pulau Flores yang sepi tidak berkawan aku telah menghasilkan waktu berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.” Pada alinea sebelumnya, Soekarno menggambarkan bahwa sebenarnya ia telah enam belas tahun lamanya mempersiapkan soal dasar negara yang akan disampaikannya di depan BPUPKI. “Dalam kuburanku yang gelap di Banceuy, maka landasan-landasan tempat republik di suatu waktu akan berpijak sudah mulai tampak dalam pikiranku.” Banceuy adalah penjara bersejarah di Bandung, tak jauh dari alun-alun. Kini bangunan penjara itu telah tersapu dan menjadi kompleks rumah pertokoan sejak puluhan tahun lalu, tak lama setelah tumbangnya rezim Soekarno.

SAATNYA meluruskan satu per satu persoalan-persoalan sejarah dalam konteks kebenaran, sebelum kebenaran itu sendiri tersapu total dalam sejarah karena kepentingan politik dan pencitraan ketokohan. Dengan kebenaran sejarah, bangsa ini lebih berpeluang terhindar dari berbagai kesalahpahaman yang menyesatkan dan melanggengkan disintegrasi: Tentang Soekarno, tentang Soeharto, Peristiwa 30 September 1965 dan sejumlah peristiwa lainnya. (socio-politica.com)

Advertisement

One thought on “Tanda Tanya Sejarah Seputar Lahirnya Pancasila dan Soekarno”

  1. Soal Lahir nya Pancasila sudah selesai sejat Panitia 5 bersidang tahun 1975 .

    Kutipan sidang .

    Prof. Soenario : Apa yang diutarakan dalam naskah kerja adalah penting sekali.
    Ada beberapa kurang pengertian di dalam masyarakat tentang Lahirnya Pancasila.
    Ditanyakan tentang hari lahirnya Pancasila, apakah benar 1 Juni 1945.
    Pertanyaan ini adalah dalam hubungan, karena dalam buku Prof. Yamin, S.H., Naskah Persiapan Penyusunan UUD tahun 1945, Yamin mengucapkan pidato pada tanggal 29 Mei 1945 antara lain isinya mirip dengan Pancasila.
    Bung Hatta : Tidak benar; Bung Yamin agak licik; sebenarnya pidato itu adalah yang diucap-kan dalam sidang Panitia Kecil. Bung Karno lah satu-satunya yang tegas-tegas meng-usulkan filosofishe grondslag untuk negara yang akan dibentuk; yaitu lima sila yang disebut Pancasila; hanya urutannya sila Ketuhanan ada di bawah.
    Selanjutnya Bung Hatta menguraikan mengenai Pasal 33 UUD, yang tadinya Pasal 33 dan Pasal 34 itu satu.
    Rumusan yang berupa tulisan tangan beliau dulu pernah dipinjam Pak Yamin tetapi tidak pernah dikembalikan lagi.
    Prof. Soenario : Pidato Bung Karno diterima dengan aklamasi dengan dibarengi oleh tepuk tangan yang riuh.
    Apakah sebelumnya sudah ada pem-bicaraan-pembicaraan dengan tokoh-tokoh lainnya.
    Prof. Soebardjo : Pernah menanyakan pada saya, tetapi hanya soal prinsip Internasionalisme.
    Prof. Soenario : Bung Karno mengatakan bahwa beliau adalah merupakan salah satu penggali Pancasila; saya kira ini benar misalnya karena sebelum itu telah menyetus Sumpah Pemuda, yang pula merupakan persiapan mental persatuan Indonesia.
    Bung Hatta : Mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham.
    Ya, memang demikian halnya, misalnya saja azas Ketuhanan dari pihak PSII merupakan azas perjuangan party.
    Memang yang pelik pada waktu itu adalah antara golongan Islam dan golongan Nasionalis mengenai negara yang akan didirikan. Golongan Kristen banyak yang mengalah.
    Pancasila yang diuraikan Bung Karno dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam.
    Sebelum sidang berakhir dibentuk Panitia Kecil untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara berdasar-kan pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.
    Dari Panitia Kecil itu dipilih lagi sembilan orang yang menjalankan tugas itu; yang menghasilkan rancangan pembukaan yang kemudian diberi nama Piagam Jakarta.
    Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Kemerdekaan Indonesia menjadikan Piagam Jakarta itu sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan men-coret bagian kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
    Keberatan itu dinyatakan oleh golongan Kristen dari Indonesia Timur yang dibawa-kan melalui Kaigun
    Prof. Soenario : Memang Pancasila tetap mempersatukan bangsa, tetapi pada taraf moral yang luhur dianggap sebagai alat.
    Oleh Bung Hatta untuk Pancasila diguna-kan perkataan ideologie.
    Apakah dalam pengertian itu juga ter-maktub pengertian Pancasila adalah filsafat Sosial Politik.
    Bung Hatta : Ya, demikian halnya.
    Pancasila adalah filsafat politik
    Prof. Soenario : Mengusulkan agar Hak-hak Asasi dimasuk-kan dalam pembicaraan yang penting.
    Waktu beliau menjadi anggota M.P.R.S. pernah dibentuk panitia kecil untuk pem-bahasan tersebut agar menjadi TAP M.P.R.S.; tetapi hingga sekarang tidak ada follow-upnya.
    Agar diadakan Undang-Undang organik yang mengatur pelaksanaan hak asasi misalnya dalam bidang-bidang perburuhan, kesejahteraan sosial dan sebagainya.
    Bung Hatta : Baik, sekurang-kurangnya ada kekuatan hukum. Kenyataannya bahwa banyak hakim-hakim muda, karena kekurangan literatuur dan tidak mengetahui Bahasa Belanda, kurang dapat memahami hukum yang berlaku sekarang, yang sebenarnya masih bersumber pada hukum-hukum Belanda.
    Prof. Soenario : Justru itu Pancasila harus dihukumkan; untuk dijadikan hukum positif melalui DPR, dan kalau perlu MPR.
    Bung Hatta : Ya memang demikian UUD 1945 harus kita pelihara keaslianya.
    Prof. Soenario : Untuk membicarakan hak-hak asasi ini tepat waktunya, sesuai dengan pidato Presiden pada tgl. 19 Desember 1974 di Universitas Gajah Mada (dibacakan kalimat yang bersangkutan)
    Bung Hatta : Ya, memang benar perlu ada keseimbangan antara individu dan masyarakat, seperti misalnya Aristotles menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
    Prof. Soebardjo : Mengenai hak-hak asasi manusia tidak dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar 45, karena sudah termasuk dalam pengertian systema-tika asas kekeluargaan..
    Bung Hatta : Hal-hal tersebut di atas pernah saya berikan dalam kuliah-kuliah di SESKOAD.
    Coba, dirumuskan dan disusun tentang hak-hak asasi manusia menurut Pancasila oleh Prof. Soenario dan keadilan sosial oleh Prof. Soebardjo.
    Prof. Soenario : Mengatakan bahwa akan kerjasama dengan Prof. Soebardjo.
    Bung Hatta : Kapan kita berkumpul lagi dan agar hasil-hasil Sidang I diumumkan.
    Drs. Pratignjo : Mohon bertanya apakah benar hasil Panitia Sembilan itu namanya Piagam Jakarta.
    Bung Hatta : Tidak benar; Yamin yang memberi nama Piagam Jakarta.

    3. Penutup :

    • Sidang memutuskan Sidang ke II akan diadakan tanggal 28 Januari 1975 di kediaman Bung Hatta dan diharapkan anggota lainnya telah dapat hadir.
    • Menugaskan :
     Prof. Achmad Soebardjo, tentang segi-segi yang menyangkut pelaksanaan keadilan sosial berdasar-kan Pancasila dan UUD 1945
     Prof. Soenario, SH merumuskan tentang hak-hak asasi manusia dalam hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945.
    • Membuat press release hasil-hasil sidang per-tama, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Sekretaris I.

    Sidang ditutup jam 11.00 oleh Ketua dengan mengucapkan terima kasih.

    Disahkan tanggal 28 Januari 1975

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s