“Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965”. “Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani”.
NUSANTARA, meminjam pandangan Clifford Geertz, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception. Merupakan produk dari pengalaman kemalangan sejarah yang panjang: Pertemuan dan persilangan yang hampir tak masuk akal dari perilaku terburuk dari bangsa-bangsa yang datang dengan hasrat penaklukan, mulai dari orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda, bahkan juga dari ‘sesama’ Asia yakni India dan Cina. Juga menjadi tempat persilangan penyebaran agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan kerap dengan pertumpahan darah, penaklukan dan tipu daya, apakah itu Hindu, Budha, Konghucu, maupun Kristen dan juga Islam. Cara penyebaran yang tak damai itu menyisakan dalam jangka panjang dan berulang-ulang suatu rangkaian konflik berdasarkan perbedaan agama. Lalu, pada dua abad terbaru, Indonesia menjadi pula tempat persilangan antara sistem kapitalisme liberal, imperialisme dan komunisme, bahkan juga ideologi-ideologi berdasar agama yang digunakan dalam kehidupan politik yang amat duniawi, bertentangan dengan kesucian ajaran agama-agama itu sendiri. Pertemuan silang ideologi-ideologi ini menciptakan situasi pertarungan politik dengan orientasi kekuasaan semata.
Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan, para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.
Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.
Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan.
Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.
Di mana posisi dan peran Pers Indonesia dan Pers Mahasiswa dalam bingkai peristiwa? Dalam kurun waktu kekuasaan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang, jelas bahwa pers Indonesia ada dalam masa suram. Pers selalu ada dalam ancaman supresi, namun sungguh menarik bahwa sejumlah pelaku pers tetap mencoba mencari celah untuk menyampaikan aspirasi tentang kebebasan bagi rakyat, kendati pada waktu yang sama tak kurang banyaknya kaum opportunis maupun yang menempatkan diri dalam pola penghambaan terhadap kekuasaan.
Sementara itu, ketika berada dalam masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun kekuasaan otoriter Soeharto, harus diakui bahwa mayoritas pelaku pers nasional melakukan pilihan yang paling aman untuk tunduk terhadap kekuasaan dan menempatkan diri sebagai penyalur suara dan kepentingan kekuasaan belaka. Beberapa tokoh pers terkemuka melakukan pembelaan diri dengan terminologi sikap taktis. Hanya terdapat sedikit pengecualian, dan contoh paling terkemuka untuk dua kurun waktu ini adalah tokoh Mochtar Lubis dengan Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya.
Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965. Setiap penerbitan pers diharuskan memiliki induk partai dan atau kekuatan politik. Seterusnya penerbitan-penerbitan pers di daerah harus bergabung pada salah satu induk pers di Jakarta. Karena seluruh partai dalam struktur Nasakom kala itu dapat dikatakan sepenuhnya adalah partai-partai dengan kepribadian lemah karena sikap opportunis para pemimpinnya, maka dengan sendirinya penerbitan pers yang bergabung dengannya tak bisa diharapkan memiliki kepribadian yang jelas. Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia yang secara politis berada di atas angin, partai itu dan organ-organ persnya menjadi sangat agresif dan provokatif. Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani.
Pengamatan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa aktivitas pers mahasiswa senantiasa terkait erat dengan aktivitas pergerakan dan atau perjuangan mahasiswa dari masa ke masa. Mahasiswa yang terbina dalam kebebasan akademis, memiliki ketertarikan kepada kegiatan pers yang merupakan media penyampaian aspirasi dalam pemahaman demokratis. Sementara kalangan kekuasaan dengan kecenderungan otoriteristik memandang pers hanyalah sekedar alat penanaman opini yang efektif. Pergerakan moral mahasiswa –sebagian bagian dari kaum intelektual– maupun aktivisme pers dalam konteks demokrasi memiliki idealisme dan etika dasar yang sama, yaitu kebenaran objektif dalam pengertian universal yang dengan sendirinya juga memperjuangkan keadilan.
Dharma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa sebagai insan akademis ada dalam konteks. Lahir dan terbentuknya IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1950-an banyak terkait dengan perjuangan mahasiswa untuk penegakan demokrasi. Di masa demokrasi terpimpin Soekarno, IPMI menjadi tempat persemaian aktivis pro demokrasi yang resah terhadap gejala kekuasaan yang mengarah kepada bentuk diktatorial. Pada waktu yang sama, banyak aktivis mahasiswa yang melakukan perlawanan bawah tanah terhadap kekuasaan, antara lain dengan menggunakan pamflet dan selebaran gelap yang berisi tulisan-tulisan kritis terhadap cara Soekarno menjalankan kekuasaan. Di tahun 1970-an di Bandung lahir pula BKS Pers MI (Badan Kerja Sama Pers Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah kerjasama penerbitan pers mahasiswa intra maupun ekstra kampus.
Kendati pers mahasiswa juga bisa digeluti oleh beberapa mahasiswa hanya atas dasar minat dan ketertarikan kepada kegiatan jurnalistik, tetapi dalam perjalanan keterlibatan itu akan selalu tampil romantisme atas dasar idealisme seberapa kecilpun kadarnya. Paling tidak, menyalurkan aspirasi untuk mengkritisi keadaan di sekitar dalam berbagai skala. Model ini banyak kita temukan dalam bentuk penerbitan internal di fakultas-fakultas, dan atau di kalangan internal organisasi ekstra-universiter.
Model dengan skala lebih luas adalah penerbitan yang diselenggarakan untuk tingkat universitas. Kampus Universitas Padjadjaran pernah memiliki Gema Padjadjaran pada akhir tahun 1960 hingga awal 1970-an sampai menjelang meletusnya Peristiwa 15 Januari 1974. Kemudian, setelah peristiwa, ada Aspirasi. Keduanya diterbitkan di bawah naungan Dewan Mahasiswa dan atau lembaga mahasiswa internal kampus, dengan supportasi otoritas kampus. Kampus ITB adalah contoh menarik lainnya dalam pers mahasiswa. Kampus ini sejak tahun 1960-an sebelum 1965, dan kemudian pada masa-masa sesudahnya, senantiasa memiliki lembaga-lembaga pers. Ada Berita-berita ITB pada masa pergolakan karena politisasi kampus di masa demokrasi terpimpin, yang terbagi antara kubu mahasiswa intra yang independen dengan kubu mahasiswa onderbouw kekuatan eksternal kampus seperti CGMI, GMNI, Perhimi dan sebagainya. Berita-berita ITB ini berhasil eksis dalam jangka yang amat panjang. Di ITB pernah pula ada Gelora Teknologi, Majalah Kampus, Scientiae. Selain itu, ITB memiliki Liga Film Mahasiswa yang tetap memutar film-film barat pada saat kekuatan politik kiri di masa Soekarno ramai-ramai mengganyang apa yang mereka sebut sebagai film Nekolim. ITB pun memiliki Radio ITB dan sempat ada Pemancar TV di kampus.
Kampus Universitas Gajah Mada di Yogyakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan pers mahasiswa. Sampai kini ada Lembaga Pers yang dikenal sebagai Balairung yang menerbitkan Balkon atau Balairung Koran dan Jurnal yang terbit 1-2 kali setahun dengan kumpulan tulisan tematis. Lembaga pers UGM ini lahir pada masa UGM dipimpin Rektor Prof. Dr Kusnadi Hardjasumantri. Almarhum pada masa mahasiswanya di tahun 1950-an menjadi salah satu pendiri IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) antara lain bersama Emil Salim. Kampus UGM juga memiliki SKM Bulaksumur. Setiap fakultas memiliki penerbitan mahasiswa, seperti halnya dengan Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan, Universitas Indonesia dan berbagai kampus perguruan tinggi di tanah air. Universitas Indonesia juga pernah tercatat sebagai kampus dengan banyak penerbitan pers mahasiswa. Mereka pernah punya Koran Salemba. Karena pemberitaannya, koran mahasiswa itu berkali-kali menghadapi persoalan dengan kalangan kekuasaan masa Soeharto.
Namun yang paling fenomenal dalam kehidupan pers mahasiswa adalah masa pergerakan tahun 1966. Pada tahun 1966 lahir Harian KAMI di Jakarta dan Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan. Berbeda dengan pers kampus, kedua media yang disebut di atas adalah sebuah media yang bergerak sebagai pers umum, namun diasuh oleh sumberdaya manusia yang berasal dari kampus, khususnya kalangan mahasiswa. Selain edisi Jawa Barat, lebih dulu ada Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat dan kemudian edisi Yogyakarta. Akan tetapi dua yang disebut terakhir ini justru tak berusia panjang, sehingga edisi Jawa Barat akhirnya tampil dengan nama Mingguan Mahasiswa Indonesia saja dengan posisi dan kategori pers nasional. Harian KAMI maupun Mingguan Mahasiswa Indonesia memiliki Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Meskipun kedua media itu menyandang nama mahasiswa, media yang diasuh mahasiswa ini menjalani kehidupan pers umum. Beredar secara nasional dengan tiras yang kadangkala bisa menyamai bahkan melampaui media massa nasional yang ada masa itu.
Berlanjut ke Bagian 3