Tag Archives: nasakom

Kisah Pertarungan Politik Setelah Surat Perintah 11 Maret 1966 (1)

SEHARI setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, dari Presiden Soekarno ke tangan Jenderal Soeharto, sejenak sempat tercipta suasana euphoria, dimulai dengan pengumuman pembubaran PKI yang disiarkan melalui RRI pukul 6 pagi 12 Maret 1966 oleh sang pengemban Surat Perintah 11 Maret 1996 –yang kemudian sengaja dipopulerkan dengan nama berbau pewayangan, Super Semar. Jakarta mendadak diliputi suasana ‘pesta kemenangan’, yang oleh salah seorang tokoh KAMI, almarhum Yosar Anwar, dikatakan karena “telah tercapai hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa bulan ini”. Titik tolak perjuangan yang dimaksudkan Yosar pastilah sejak lahirnya Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) 10 Januari 1966. Sedang penanda bagi ‘kemenangan’ adalah pembubaran PKI, yang menjadi salah satu titik tuntutan. Disusul kemudian reshuffle kabinet Dwikora beberapa waktu kemudian.

Pembaharuan melawan kenaifan. Menjadi fenomena umum di kalangan perjuangan 1966 kala itu, khususnya bagi mereka yang berada di Jakarta, dengan beberapa pengecualian, bahwa ‘perjuangan’ memang telah selesai, karena kekuasaan sudah beralih ke tangan Jenderal Soeharto yang selama ini mereka dukung. Selain menganggap ‘perjuangan’ mereka telah selesai, juga banyaknya yang berpikir kini saatnya untuk ambil bagian dalam kekuasaan baru. Pada sisi lain, sejumlah aktivis, mahasiswa dan cendekiawan, ditambah satu dua jenderal idealis, menganggap bahwa harus ada pembaharuan lanjut dalam kehidupan politik maupun kekuasaan negara, yang pada instansi pertama tentu adalah menurunkan rezim Soekarno dan mengganti struktur politik Nasakom. Jalan pikiran untuk menuntaskan permasalahan ini, harus berhadapan dengan orang-orang dengan kenaifan memandang kekuasaan. Ada kalangan tertentu, yang bahkan cukup puas dengan sekedar keikutsertaan dalam suatu renovasi kekuasaan bersama Soekarno minus PKI dan kelompok kiri lainnya. Bahkan Jenderal Soeharto sendiri terkesan sejenak cukup menikmati posisi ‘kedua’, setelah mengemban Surat Perintah 11 Maret 1966, dalam kekuasaan di bawah Soekarno. Namun, di sekeliling Soeharto sudah ada satu lingkaran yang cukup ‘tangguh’ untuk mendorong dan mengelola suatu strategi menuju puncak kekuasaan bagi sang jenderal.

Sejumlah kelompok Mahasiswa Bandung amat menonjol dalam ekspresinya bagi pengakhiran kekuasaan Soekarno. Di Jakarta, juga terdapat kelompok-kelompok serupa yang memiliki kehendak yang sama secara dini, melebihi kawan-kawannya mahasiswa Jakarta pada umumnya. Sementara itu sejumlah organisasi mahasiswa ekstra kelompok Islam, bergabung dengan partai-partai Islam yang menjadi induk ideologi mereka. Partai-partai politik berideologi Islam ini, dengan telah terbasminya PKI dan melemahnya PNI berharap akan dapat menjadi pendamping kelompok militer, khususnya Angkatan Darat, dalam kekuasaan baru. Mereka merasa mempunyai andil dalam pembasmian PKI, meskipun sebenarnya dalam rangka perlawanan terhadap PKI yang harus dicatat adalah peranan signifikan kelompok-kelompok eks Masjumi, bukannya partai-partai eks Nasakom. Akan tetapi khusus dalam pembasmian berdarah-darah terhadap massa PKI, terutama di Jawa Timur, tentu saja nama NU takkan terlupakan dalam sejarah.

Dalam menghadapi Soekarno pasca Surat Perintah 11 Maret, partai-partai ini tak kalah taktisnya dengan Soeharto. Sikap taktis yang kerap kali begitu berlebih-lebihan sehingga sulit dibedakan dengan sikap opportunistik, tak jarang mereka pertunjukkan. Namun dalam pendekatan terhadap Soeharto, langkah mereka tak berjalan dengan lancar, karena faktor hambatan dari lingkaran Soeharto sendiri, khususnya Kolonel (kemudian menjadi Brigadir Jenderal) Ali Moertopo, yang tak terlalu mengakomodir partai-partai Islam ini, karena dikonotasikan dengan stigma Masjumi. Dalam hal yang satu ini, kelompok politik Katolik lebih berhasil. Ini terutama karena sejak awal Soeharto memiliki ketergantungan konsep kepada Ali Moertopo, sedangkan think tank Ali terutama terdiri dari kelompok Katolik ini. Kecemerlangan think tank ini tak terlepas dari peranan khas seorang rohaniawan Katolik, Pater Joop Beek, yang amat dominan dengan konsep dan skenario belakang layarnya. Ia digambarkan sebagai perancang berbagai manuver penting yang dilakukan Soeharto sejak awal peristiwa bulan September. Ia juga adalah perancang yang cemerlang berbagai gerakan massa untuk melumpuhkan kekuatan politik kiri dan kelompok-kelompok pendukung Soekarno, yang amat menguntungkan Soeharto.

Ali Moertopo –yang menyerap semua rancangan dari think tank Beek dan kawan-kawan– adalah penasehat politik utama Soeharto sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965, dan meneruskan tugasnya itu selaku pendamping Soeharto melalui pergulatan kekuasaan dan politik 1965, 1966 dan 1967. Bahkan peran itu dipegang Ali hingga beberapa tahun kemudian sebelum disisihkan, ketika Soeharto sudah kokoh dalam puncak kekuasaannya. Sejumlah penulis asing mengenai politik Indonesia, seperti Richard Robison dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo sebagai tokoh yang anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik”, menurut para Indonesianis itu, adalah “tokoh teknokrat militer yang berpandangan politik rasional sekuler”, sehingga sikap anti partai Islam yang diperlihatkannya tidak mengherankan. Ali berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah agar tak terulang lagi persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an.

Menjelang Sidang Umum IV MPRS (20 Juni – 5 Juli 1966) di Jakarta, sikap anti Soekarno makin meningkat dan makin terbuka. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung mengeluarkan sebuah pernyataan keras, antara lain bahwa demokrasi terpimpin ternyata adalah diktatur, dan bahwa presiden harus memberikan pertanggunganjawab mengenai penyelewengan dari UUD 1945, gagalnya politik ekonomi dan kemunduran demokrasi. Mereka menyatakan pula bahwa mitos palsu “di sekitar diri presiden adalah salah dan berlawanan dengan UUD 1945 dan karena itu harus diruntuhkan”. Pernyataan yang dikeluarkan 3 Juni 1966 itu, ditandatangani oleh Ketua Periodik Presidium KAMI Bandung Rohali Sani dan wakil-wakil mahasiswa yang lain. Pernyataan itu dibacakan secara khusus bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno 6 Juni dalam suatu appel mahasiswa Bandung di Taman Makam Pahlawan Tjikutra. Seorang mahasiswi IKIP Laila Djanun, tampil membacakan pernyataan itu. Pernyataan berikut, datang dari Somal setelah melaksanakan Musyawarah Kerja di Bandung, 8-10 Juni. Di Jakarta, 12 Juni organisasi-organisasi anggota Somal –PMB, Imaba, GMS, CSB, MMB dan Imada– pada penutupan Musyawarah Kerja itu, menyampaikan tuntutan agar gelar Pemimpin Besar Revolusi dari Soekarno ditinjau kembali. Dan yang terpenting adalah Somal menuntut pula pembatalan atas pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup.

Selama Sidang Umum IV MPRS berlangsung, kegiatan ekstra parlementer untuk sementara seakan beralih ke dalam ruang sidang di Istora Senayan. Keadaan ini sesuai dengan keinginan pimpinan Angkatan Darat, dan mahasiswa menuruti anjuran itu. Tuntutan-tuntutan seperti yang diutarakan KAMI Bandung maupun Somal dan beberapa organisasi lainnya, yakni pencabutan gelar Pemimpin Besar Revolusi dan jabatan Presiden Seumur Hidup, terpenuhi oleh SU MPR ini. Jenderal AH Nasution terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MPRS. Pertanggungjawaban Presiden Soekarno, Nawa Aksara, ditolak oleh MPRS karena dianggap tak memenuhi sebagai suatu pertanggungjawaban. Soekarno dalam pidato itu tak menjelaskan keterkaitan dan peranannya dalam Peristiwa 30 September, serta tak memberi pertanggungjawabannya terhadap kekalutan ekonomi dan ahlak yang disebabkan dan terjadi selama pemerintahannya.

Terhadap pidato Soekarno, Nawa Aksara, KAMI Bandung memberikan reaksi bahwa itu adalah pidato biasa bukan progress report dan tak memenuhi syarat sebagai suatu pertanggungjawaban. Isinyapun dianggap masih mengandung doktrin-doktrin yang diracuni dengan paham-paham pra-Gestapu seperti Pantja Azimat dan yang sejenisnya. MT Zen dari ITB yang juga adalah salah seorang anggota dewan redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia, menulis serial tulisan ‘tandingan’ dengan judul  “Nawa Sengsara Rakyat Indonesia” yang disebutnya sebagai progress report yang sebenarnya, sesuai dengan realita keadaan rakyat yang telah disengsarakan. Sesuai dengan nawa yang berarti sembilan, MT Zen memperincikan sembilan pokok kesengsaraan rakyat. Pertama, hilangnya kemerdekaan. Kedua, kehancuran sendi-sendi moralitas. Lalu yang ketiga, kehancuran wibawa pemerintah. Sumber kesengsaraan keempat berasal dari kegagalan dalam bidang politik, dan yang kelima kegagalan politik ekonomi dan keuangan. Keenam, kegagalan di bidang pembangunan. Penghancuran barang modal dan macetnya perhubungan menjadi sumber penderitaan ketujuh dan kedelapan. Terakhir, sebagai sumber kesengsaraan kesembilan adalah tamatnya riwayat kehidupan normal.

Keputusan lain yang merubah situasi kekuasaan saat itu adalah pembubaran kabinet Soekarno oleh MPRS dan dikeluarkannya keputusan meminta Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret yang sudah disahkan melalui suatu Tap MPRS, untuk membentuk suatu kabinet baru yang disebut sebagai Kabinet Ampera. Ditentukan pula agar suatu Pemilihan Umum harus diselenggarakan paling lambat 5 Juli 1968. Pembentukan kabinet baru yang wewenangnya berada di tangan Soeharto, membuat segala orientasi akrobatik politik dari semua partai-partai politik terarah kepada Soeharto di satu sisi, dan pada sisi yang lain menimbulkan semacam reaksi mengarah kepada kekalapan di antara para pendukung Soekarno yang masih berusaha agar Soekarno tak tersisihkan sama sekali sebagai pusat kekuasaan.

DEMAM PEMILIHAN UMUM. Rencana diadakannya Pemilihan Umum di tahun 1968 telah menularkan suatu demam tersendiri, terutama di kalangan partai politik. Setidaknya selama 5 bulan terakhir tahun 1966, partai politik mempunyai kesibukan baru… “Prinsip tidak penting. Pokoknya asal dapat dukungan suara rakyat sebanyak-banyaknya(Karikatur T. Sutanto 1966)

Sementara itu, rencana diadakannya pemilihan umum di tahun 1968 telah menularkan suatu demam tersendiri, terutama di kalangan partai politik. Setidaknya selama 5 bulan terakhir tahun 1966, partai-partai politik yang masih mewarisi cara berpolitik lama zaman Nasakom minus PKI, mempunyai kesibukan baru, yang kemudian akan berlanjut lagi hingga tahun berikutnya, sampai akhirnya Soeharto memutuskan menunda pelaksanaan pemilihan umum sampai tahun 1971. Semua mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum yang direncanakan akan diselenggarakan tahun 1968 itu.

Sederetan sikap opportunistik partai-partai yang terkait dengan pemilihan umum ini digambarkan dengan baik oleh Rosihan Anwar. Seluruh kegiatan diarahkan dan tunduk kepada strategi memenangkan pemilihan umum dengan cara apapun. “Sikap politik disesuaikan dengan keperluan serta keadaan khas setempat. Di daerah yang sentimen rakyatnya masih kuat pro Bung Karno, maka giatlah sokong BK. Sebaliknya di daerah yang kebanyakan rakyatnya tidak senang sama BK, maka bersikaplah pula sesuai dengan kenyataan itu. Prinsip tidak penting. Pokoknya asal dapat dukungan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Minat dan taruhan tidak lagi sepenuhnya dipasangkan pada perjuangan mengalahkan Orde Lama. Sejauh mengenai kebanyakan partai-partai politik itu, maka soal Orde Lama sudah ‘selesai’. Kini yang diutamakan bagaimana bisa menang dalam pemilihan umum”.

Berlanjut ke Bagian 2

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (1)

SEKILAS PINTAS, koalisi yang diintrodusir dan dijalankan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menopang kekuasaan dan pemerintahannya di periode kedua (2009-2014) ini, ada persamaannya dengan gagasan dwi group –yang diharapkan berproses lanjut menuju sistem dwi partai– yang dilontarkan Mayor Jenderal HR Dharsono bersama ‘rakyat’ Jawa Barat di kwartal pertama 1968. Tetapi dengan suatu telaah lanjut, akan segera terlihat, bahwa meskipun kedua gagasan itu bisa sama-sama menghasilkan suatu struktur politik baru yang lebih sederhana, terdapat sejumlah perbedaan esensial.

Gagasan dwi group (kemudian menjadi dwi partai) merupakan bagian dari gerakan pembaharuan struktur politik yang menggelinding masih pada bagian-bagian awal masa kekuasaan Soeharto –sejak ia masih menjabat sebagai Pejabat Presiden. Sejumlah kesatuan aksi yang baru saja usai dengan gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaannya –yang bermuara pada Sidang Istimewa MPRS 1967– beberapa bulan sebelumnya, di awal 1968 menuntut perombakan struktur politik Nasakom (Orde Lama), menuju “pola kehidupan politik baru yang lebih efisien dan berlandaskan program kesejahteraan rakyat”. Di antara penandatangan tercantum nama Rahman Tolleng yang waktu itu adalah Ketua Periodik Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat. Namun, gerakan perombakan struktur politik yang lebih deras, menggelinding lanjut di Jawa Barat, terutama melalui peranan Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono. Salah satu media utama pembawa tuntutan perombakan struktur politik waktu itu adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pemimpin redaksinya saat itu adalah Rahman Tolleng.

Gagasan dwi partai mengkristal pada Musyawarah Rakyat Jawa Barat III (7 Maret 1968). Menilai sistem multi partai telah gagal total, musyawarah memutuskan bahwa sistem dwi partai akan segera dilaksanakan di Jawa Barat. Untuk itu, terlebih dahulu akan disusun dua program dalam waktu secepat-cepatnya oleh suatu panitia yang akan dibentuk dalam waktu singkat. Selanjutnya, kedua program tersebut akan diajukan untuk dinilai dan dipilih oleh rakyat Jawa Barat, sehingga akan terbentuk dua kelompok yang berdasarkan program. Pengelompokan itu akan menuju ke arah dua partai (dwi partai). Musyawarah juga ‘menugaskan’ wakil-wakil rakyat yang mewakili Jawa Barat, menyuarakan gagasan itu di Sidang Umum ke-5 MPRS yang saat itu akan berlangsung di Jakarta. Tetapi gagasan dwi partai ini kandas pada akhirnya.

Konsep dwi partai menghadapi resistensi yang amat kuat dari partai-partai ideologi yang ada, ex struktur Nasakom minus PKI dan Partindo. Partai-partai ex Nasakom itu antara lain: PNI, NU, PSII, Perti, Murba, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI. Di luar partai-partai ada Sekber Golkar yang terbentuk Oktober 1964. Ada juga ex Masjumi yang berusaha eksis kembali dan akhirnya ‘tersalurkan’ melalui pembentukan Parmusi yang kemudian bisa ikut Pemilihan Umum 1971. Di kalangan ABRI pun, kecuali di lingkungan Divisi Siliwangi, gagasan dwi partai untuk sebagian besar disambut dengan tanda tanya, dan bahkan ada yang serta merta menolaknya, terutama para jenderal di lingkaran Soeharto. Dua jenderal yang dikenal kedekatan idealismenya dengan Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yakni Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Mayor Jenderal Kemal Idris, walaupun tidak pernah menyatakan menolak gagasan tersebut, sangat membatasi diri dalam memberi tanggapan maupun menggunakan terminologi dwi partai –untuk tidak mengatakannya tak pernah menggunakan terminologi itu. Akan tetapi seperti halnya dengan Mayor Jenderal HR Dharsono, Sarwo dan Kemal, sama-sama senantiasa menyerukan perlunya pembaharuan politik di Indonesia.

Menurut Dr Midian Sirait, pada tahun 1969-1972, di medan kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Seperti yang dicatat di atas, dari KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) Bandung, sebelumnya (1968) muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak dwi partai, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Dr Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.

Sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan di sebuah forum di Bandung (Februari 1968) oleh tokoh ex Masjumi, Sjafruddin Prawiranegara. “Bubarkan semua partai”, kata Sjafruddin, lalu “Bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan satu partai netral”. Sjafruddin Prawiranegara tak mau menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –dan hanya berkata, “ya, partai netral-lah”– tetapi para tokoh yang hadir di forum itu, antara lain Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Adam Malik, TB Simatupang dan Sultan Hamengku Buwono IX, menganalisa bahwa yang dimaksudkannya adalah partai sosialis, namun ia enggan menyebutkannya. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Hanya sayang bahwa dasar pengelompokan itu lebih ideologistis (kelompok ideologi politik Islam versus kelompok ‘gado-gado’ ideologi nasionalistis plus non Islam, dan di luar keduanya adalah kelompok kekaryaan. Bukan berdasar kepada orientasi program (pembangunan).

Berlanjut ke Bagian 2

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (1)

TATKALA serangkaian ekses silih berganti terjadi –berupa korupsi para jenderal, penyalahgunaan hukum dan sejumlah tindak kekerasan yang lahir dari kesewenang-wenangan kalangan penguasa– di masa rezim baru setelah kejatuhan Soekarno, pengibaratan ‘lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’ menjadi tepat. Tentu saja pengibaratan dengan khewan-khewan buas buaya dan harimau itu tidak ditujukan kepada Soekarno maupun Soeharto sebagai pribadi, melainkan merujuk pada bentuk dan cara kekuasaan yang mereka jalankan.

Soekarno, Omar Dhani, Ahmad Yani. Berakhir di Lubang Buaya. Siapa mengorbankan siapa?

Rezim Soekarno adalah suatu kekuasaan otoriter sipil yang untuk sebagian ditopang unsur militer, berakhir dengan titik awal kejatuhan di Lubang Buaya melalui Peristiwa 30 September 1965. Sedangkan penggantinya adalah rezim Soeharto, suatu kekuasaan otoriter militer yang titik awal kekuasaannya melalui pengobaran kemarahan –yang kemudian menjadi dukungan– kaum sipil atas penemuan jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama di Lubang Buaya itu. Tetapi kejatuhan kedua rezim mempunyai persamaan, yakni karena gerakan-gerakan yang melibatkan kekuatan generasi muda, terutama kelompok mahasiswa. Untuk Jakarta, gerakan pertama mahasiswa dimulai dengan pencetusan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat 10 Januari 1966. Berbeda dengan mahasiswa Jakarta, mahasiswa Bandung yang sejak 1 Oktober 1965 telah mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap Dewan Revolusi disusul appel serta gerakan anti PKI pada 5 Oktober, sekaligus juga sudah mulai ‘menggugat’ kepemimpinan Soekarno dengan politik Nasakom-nya. Mahasiswa Jakarta dalam pada itu lebih ‘menyederhanakan’ persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno, dan dengan Tritura 10 Januari membatasi diri pada masalah kenaikan harga, pembubaran PKI dan retooling kabinet Dwikora.

Letnan Kolonel Untung, Mayor Jenderal Soeharto dan Pangti ABRI Soekarno. Segitiga yang membingungkan dalam hubungan penuh tanda tanya. Siapa memanfaatkan siapa?

Semula, hanya Gerakan 30 September 1965, yang dipimpin Letnan Kolonel Untung –seorang komandan batalion Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa– bersama Sjam Kamaruzzaman yang dikaitkan namanya dengan Lubang Buaya. Tetapi pada saat berikutnya, nama Soekarno dan Laksamana Udara Omar Dhani juga dilibatkan, karena Soekarno datang ke Halim Perdanakusumah menjelang tengah hari 1 Oktober, dan adalah kebetulan bahwa Lubang Buaya di Pondok Gede terletak tak jauh dari pangkalan angkatan udara itu.

Dikaitkannya nama Soekarno dengan tragedi Lubang Buaya, menjadi awal gerakan mematahkan mitos kekuasaan Soekarno yang seakan takkan mungkin tergoyahkan. Bagaikan Teseus yang membersihkan Athena dari kekacauan, setelah mengalahkan mahluk setengah manusia setengah banteng Minotaurus –yang sebenarnya mahluk khayalan belaka yang menjadi sumber mitos bagi kekuasaan raja Minos– di gua labirin Kreta, Soeharto membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September. Lalu tercipta mitos baru, yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan bangsa dengan kesaktian Pancasila.

Soekarno, karena ke Halim dikaitkan dengan Lubang Buaya

Setelah ‘pembersihan’ di Jakarta, benturan berdarah terjadi di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian yang berdarah-darah mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak dalam pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan, dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya, telah selesai.

HITAM-PUTIH DI WILAYAH ABU-ABU

 

Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil. Maka tak jarang demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang pada akhirnya menuju istana Soekarno, harus berhadapan dengan bayonet tentara yang kerapkali tadinya disangka kawan seiring.

Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.

Hanya sedikit sebenarnya yang berada di wilayah sikap hitam-putih seperti kelompok mahasiswa di kalangan tentara maupun politisi sipil. Di kalangan tentara, yang bersikap jelas dan menarik garis tegas siapa lawan siapa kawan, bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang sedikit itu adalah kelompok perwira idealis yang juga kerap dikategorikan kelompok perwira intelektual. Kelompok perwira idealis ini dengan cepat memikat simpati kelompok mahasiswa, tetapi dengan cepat pula, hanya dalam bilangan tahun yang ringkas mereka telah disisihkan demi kepentingan kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2

*Esei bergambar dalam Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.Karikatur oleh Haryadi S dan T. Sutanto.

Eksaminasi ‘Post Mortem’ Peristiwa 30 September 1965 (2)

“Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chaerul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan”.

Di mana posisi Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Ia memiliki satu posisi sendiri. Soeharto telah bekerja untuk dirinya sendiri, dan untuk tujuan dan kepentingannya sendiri, tidak untuk ‘siapa-siapa’. Kaitannya dengan kepentingan Amerika Serikat misalnya, hanyalah bersifat dugaan, terutama karena kesejajaran dalam hal pembasmian PKI.

Dr Soebandrio ikut menyumbang dalam penciptaan dan penajaman situasi konfrontatif melalui posisinya yang amat dekat dengan Soekarno, sehingga dalam rangkaian peristiwa politik ini ia dijuluki sebagai Durno oleh para mahasiswa –suatu julukan yang diakuinya sebagai amat menyakitkan hati. Laksamana Madya Omar Dhani, menyumbang melalui keikutsertaan dukungan terhadap apa yang digambarkannya sebagai masalah internal Angkatan Darat, dan membiarkan adanya gerakan yang akan menindaki para jenderal yang dianggap tidak loyal kepada Soekarno. Keterlibatan beberapa anggota AURI dalam gerakan dengan menggunakan senjata dan fasilitas Angkatan Udara, tidak dicegahnya, padahal ia cukup mengetahui informasi mengenai apa yang akan terjadi. ‘Salah membaca situasi’ dan ‘terlalu dini’ –dan dengan demikian amat tidak taktis– mengeluarkan suatu perintah harian, pukul 09.30 1 Oktober 1965, yang menyokong Gerakan 30 September.

Pernyataan Omar Dhani hari berikutnya, 2 Oktober, selaku Menteri Panglima Angkatan Udara –yang menyatakan tidak turut campur dalam Gerakan 30 September dan tidak turut campur dengan urusan rumah tangga lain Angkatan– tidak lagi bisa ‘menghapus’ akibat perintah hariannya. Sehingga, untuk seluruh perannya yang sedikit naif itu akhirnya harus ia bayar dengan hukuman melalui Mahmillub dan mendekam  dalam penjara puluhan tahun sebagai akhir dari karirnya yang semestinya cemerlang. Brigadir Jenderal Soepardjo dan Kolonel Latief adalah perwira-perwira yang terlibat, selain karena pengaruh-pengaruh politik atas dirinya, juga terutama karena ambisi-ambisi pribadi untuk mengambil peran dan posisi dari situasi yang muncul. Letnan Kolonel Untung, selain analisa mengenai pengaruh politik anggota-anggota Biro Khusus PKI atas dirinya, perlu pula dianalisa lebih jauh dalam kaitan sejarah hubungannya dengan Soeharto yang untuk sebagian masih cukup misterius. Secara jelas, dari dirinyalah rencana penindakan terhadap para jenderal berubah menjadi perintah pembunuhan, yang diteruskan dan dilaksanakan melalui Letnan Satu Doel Arief dan pasukan penyergap Gerakan 30 September yang mendatangi rumah para jenderal dinihari 1 Oktober 1965.

Secara ringkas, bila direkonstruksi kembali, Peristiwa 30 September 1965, adalah sepenuhnya hasil akhir sebagai puncak pertarungan politik yang terjadi di antara tiga unsur dalam segitiga kekuasaan. Cetusan Soekarno yang memerintahkan penindakan para jenderal yang tidak loyal pada dirinya, terutama dalam ‘perintah’nya kepada Letnan Kolonel Untung –karena ia juga meminta beberapa jenderal lain, seperti Brigjen Sabur dan Brigjen Soedirgo untuk bertindak– adalah penggerak mula dari suatu reaksi berantai dari peristiwa. Letnan Kolonel Untung lah yang mengantar masalah ke dalam suatu format peristiwa ‘politik’ dan kekuasaan, ketika menginformasikan ‘perintah’ ini kepada Walujo dari Biro Khusus PKI yang meneruskannya kepada Ketua Biro Khusus Sjam. Adalah Sjam yang mengolah informasi dan membawanya kepada Aidit yang baru pulang dari Peking. Dalam suatu koinsidensi, Aidit yang baru tiba ke tanah air, berbekal dorongan dari Mao-Zedong untuk mendahului daripada didahului oleh Angkatan Darat yang akan mengambilalih kekuasaan –terkait dengan kesehatan Soekarno yang menurut Mao ‘memburuk’– diramu informasi dari Sjam, melihat ‘peluang’ mengatasi Angkatan Darat melalui Letnan Kolonel Untung. Satu formula lalu ditetapkan, yakni gerakan ‘internal’ Angkatan Darat.

Pada waktu yang bersamaan, kalangan intelijen Amerika Serikat, juga mengambil peranan dengan mempertajam informasi dengan menyusupkan insinuasi ke Biro Khusus PKI tentang adanya rencana tindakan Angkatan Darat untuk mengambilalih kekuasaan bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Suatu hal yang juga sebenarnya dilakukan oleh intelijen Angkatan Darat, untuk ‘memprovokasi’ PKI untuk bertindak agar bisa ditindaki. Ada petunjuk samar-samar bahwa informasi serupa berhasil disusupkan CIA ke kalangan intelijen Cina, sehingga memperkuat konklusi “mendahului atau didahului”. KGB melalui dinas rahasia Ceko, juga memperkuat dengan informasi adanya kemungkinan Angkatan Darat melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.

Dengan terminologi ‘mendahului atau didahului’ itu, Aidit terdorong ke dalam kebimbangan, merasa menghadapi dilema. Di satu pihak ia menyadari partainya belum siap untuk suatu ‘revolusi’ saat itu, tetapi di sisi lain ia kuatir untuk didahului dan dieliminasi. Dan inilah yang membuat Aidit melihat kemunculan Letnan Kolonel Untung selaku ‘pengemban’ perintah Soekarno untuk menindaki para jenderal yang tidak loyal, sebagai suatu momentum emas. Namun, di luar ‘perhitungan’, Letnan Kolonel Untung merubah rencana sekedar penjemputan sejumlah jenderal untuk diperhadapkan kepada Panglima Tertinggi, menjadi perintah “tangkap hidup atau mati” yang diformulasikan lagi oleh Letnan Satu Doel Arief menjadi “tembak mati siapa yang melawan”. Dan ketika ada yang sudah tertembak mati, tak ada pilihan lain lagi, selain bahwa seluruh yang disergap dan ditangkap itu harus ditembak mati seluruhnya dan disembunyikan jejaknya.

Adalah perlu dicatat, bahwa tak ada petunjuk sedikit pun bahwa Soekarno pernah memberi perintah terperinci kepada Letnan Kolonel Untung tentang siapa-siapa saja jenderal yang harus dijemput pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, kecuali secara khusus menyebut nama Jenderal Nasution. Sedang Ahmad Yani, dijemput karena memang sejak mula ia sudah terjadwal untuk diperhadapkan kepada Spoekarno. Daftar nama selengkapnya disusun oleh para perencana gerakan itu sendiri di Penas. Lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, merubah situasi. Soekarno yang pada pagi hari 1 Oktober akan menuju istana karena memperkirakan akan menerima para jenderal yang akan diperhadapkan kepadanya, membelokkan tujuannya ke Halim Perdanakusumah ke tempat yang diyakininya aman karena berada di bawah kekuasaan Laksamana Madya Omar Dhani yang setia kepadanya. Selain itu, Soekarno pagi itu juga sudah memperoleh laporan tentang ketidakjelasan keberadaan maupun nasib para jenderal yang dijemput, berarti ada pembelokan dalam pelaksanaan di luar yang semula merasa diketahuinya setelah pada malam hari 30 September 1965 ia menerima surat dalam acara di Senayan dari Letnan Kolonel Untung.

Di antara semua rangkaian peristiwa, mungkin gerakan yang dilakukan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto –yang banyak tahu namun tak segera bertindak, tapi menunggu sampai korban jatuh– adalah yang paling di luar dugaan siapa pun. Di luar perkiraan Letnan Kolonel Untung, dan juga di luar perkiraan Kolonel Latief maupun Brigjen Soepardjo. Bagi para perwira Gerakan 30 September ini, Soeharto bukan ‘lingkaran luar’, karena peranannya mendatangkan Batalion 454 dan Batalion 530. Setidaknya, sesuai ‘laporan’ Kolonel Latief, Soeharto digolongkan sebagai perwira yang tak akan ikut campur bila gerakan terjadi. Bagi Soekarno pun, kemunculan Soeharto dalam satu peran pada 1 Oktober 1965, adalah surprise. Begitu pula bagi para panglima angkatan yang ada. Bahkan bagi Kolonel Sarwo Edhie, yang dikenal sebagai perwira yang dekat dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani, pada mulanya Mayjen Soeharto adalah tokoh yang ‘meragukan’, setidaknya perlu ‘ditelusuri’ lebih dahulu. Maka ia tak segera memenuhi panggilan Soeharto, apalagi ia tak mengenal Herman Sarens Soediro yang diutus Soeharto kepadanya.

Kelak di kemudian hari, beberapa puluh tahun setelah peristiwa berlalu, Sarwo sesekali mencetuskan ‘keraguan’ tentang peran Soeharto yang sesungguhnya, yang diucapkan secara terbatas kepada kalangan terbatas. Sarwo tampaknya melihat adanya bagian-bagian artifisial dalam catatan ‘sejarah’ versi Soeharto, namun Sarwo telah ‘terikat’ pula oleh versi rezim pemerintahan Soeharto yang telah terlanjur diposisikan secara kuat dalam memori masyarakat selama puluhan tahun. Dilema –dan kesangsian– serupa agaknya dihadapi oleh sejumlah jenderal terkemuka yang ikut berperan di sekitar peristiwa 1965-1966 selain Sarwo Edhie, seperti misalnya Jenderal Muhammad Jusuf yang sempat disebut salah satu de beste zonen van Soekarno, Hartono Rekso Dharsono ataupun Kemal Idris, meskipun dengan alasan dan ‘pemaknaan’ berbeda-beda satu sama lain.

Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto, Peristiwa 30 September 1965, merupakan ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan disekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu. Tampaknya, ‘teori dalang’ atau yang semacamnya dalam rangkaian peristiwa di tahun 1965 ini, harus ditinggalkan.

– Dari Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965, Kata Hasta Pustaka, 2006.

65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia (1)

“Beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi”. “Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang tak terlepas dari permainan kekuasaan”.

SELAMA 65 tahun Indonesia merdeka, sejak 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia ganti berganti hidup bersama 6 presiden. Ada yang memerintah selama 20 tahun dan 32 tahun, yakni Soekarno dan Soeharto, ada yang berada pada posisinya ibarat hanya seumur jagung, yakni BJ Habibie. Sedang Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri harus berbagi separuh-separuh periode 5 tahun. Dan ada pula yang akan menjalaninya selama 10 tahun –atau dua periode, batas maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen– yakni Soesilo Bambang Yudhoyono, bila selamat melampaui masa kedua kepresidenannya saat ini tanpa impeachment atau musibah lainnya. Mudah-mudahan pula, keluhan melankolis Presiden tentang adanya di antara ‘anak bangsa’ yang menjadikan dirinya sasaran, maaf, assassinasi, takkan pernah menjadi kenyataan.

Meski ada yang saling meniru satu sama lain, secara umum para presiden yang enam orang itu, memiliki gaya menjalankan kekuasaan yang masing-masing berbeda. Namun keenam presiden itu memiliki beberapa kesamaan ‘penting’: Sama-sama belum berhasil menegakkan keadilan sosial –keadilan ekonomi, keadilan politik maupun keadilan hukum– bagi seluruh rakyat dalam suatu negara Indonesia yang aman dan sejahtera. Sebagian memerintah dengan gaya otoriter, sebagian dengan gaya feodalistik yang bercampur gaya kolonialistik, sebagian lagi mencoba gaya bercitra demokratis, namun pada hakekatnya sama-sama lebih banyak sekedar mengatasnamakan demokrasi, karena belum berhasilnya bangsa ini menemukan format yang pas dalam praktek berdemokrasi.

Persamaan lain yang sangat menonjol, terlihat secara empiris dari masa ke masa hampir sepenuhnya selama 65 tahun Indonesia merdeka, ialah kegagalan membasmi ‘keong racun’ korupsi. Beberapa di antara mereka, sebaliknya justru berhasil ‘mengendalikan’ korupsi untuk ditarik manfaatnya dalam rangka memelihara kekuasaan, atau setidaknya mempertahankan eksistensinya dalam kekuasaan. Dengan penamaan yang berbeda-beda, selalu terjadi money politics dalam rangka pemeliharaan kekuasaan, yang dengan sendirinya tak bisa tidak mengharuskan adanya kompromi-kompromi dengan para pemilik akumulasi kekayaan yang memperolehnya melalui cara busuk dalam iklim koruptif.

Para pemegang akumulasi kekayaan ini, terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, para konglomerat maupun pengusaha semi konglomerat yang berhasil makin memperbesar akumulasi kekayaan mereka melalui kerjasama ‘ekonomi’ dengan kalangan kekuasaan yang memerlukan biaya sebanyak mungkin dana untuk memperoleh maupun memelihara kekuasaan. Kedua, tak lain adalah kelompok maupun perorangan yang pernah berada di dalam kekuasaan yang di masa lampau saat berkuasa bisa mengakumulasi kekayaan melalui manipulasi atau pemanfaatan kekuasaan mereka saat itu. Kelompok kedua ini membutuhkan kompromi tertentu dengan penguasa ‘baru’ terutama sebagai pengamanan diri mereka agar tak dikutak-katik dosanya di masa lampau, bahkan kadangkala dengan kompromi itu masih bisa turut serta menjalankan peran atau pengaruh tertentu di belakang layar kekuasaan. Makanya dari waktu ke waktu kita selalu bisa melihat kehadiran tokoh-tokoh kategori ‘the man for all seasons’ untuk menghindari penyebutan kasar sebagai tokoh bunglon.

Khusus mengenai manusia segala cuaca –dalam konotasi negatif– ini, menurut catatan,  selalu ada dalam setiap masa peralihan antara dua kurun waktu sejarah. Melimpah dari satu zaman ke zaman berikutnya. Mereka kaum oportunis yang pernah menjadi kaki tangan aktif dari kaum kolonial misalnya, bisa beralih dan mendapat peran di masa-masa awal kemerdekaan. Tapi tentu kita harus membedakannya dengan lapisan pamong praja dalam birokrasi masa kolonial yang kemudian berperan positif dalam birokrasi Indonesia merdeka pada masa awal. Dalam masa peralihan antara rezim Soekarno dengan rezim Soeharto, terdapat pula beberapa tokoh oportunis yang berhasil melanggengkan peranannya dengan nyaman di sisi Soeharto. Sebagaimana kita bisa melihat betapa sejumlah tokoh yang sangat berperan menjalankan politik kekuasaan Soeharto, kemudian mendapat tempat dan peran yang tak kalah signifikannya di masa yang disebut era reformasi. Menarik pula, bagaimana beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi.

SEPERTI halnya dengan elite yang sedang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan negara, para elite partai-partai politik yang sangat kuat orientasinya dalam mengejar kekuasaan, juga sama membutuhkan para konglomerat dan kelompok kedua yang terdiri dari eks lingkaran kekuasaan masa lampau. Itu sebabnya, sekarang ini, kita juga bisa melihat keberadaan sejumlah tokoh ex menteri atau ex pejabat yang cukup berduit –dan diharapkan masih punya sisa pengaruh dan jaringan atau akses tertentu– di sejumlah partai politik.

Di masa Presiden Soeharto, dengan sedikit sekali pengecualian, tak ada pejabat pemerintahan apalagi tokoh militer atau purnawirawan, berada di tubuh dua partai –PPP dan PDI– di luar Golkar. Hanya ada 1-2 menteri yang 1-2 kali berasal dari partai, yang diangkat Presiden Soeharto, seperti misalnya Sunawar Sukawati dan KH Idham Khalid. Seluruh pegawai negeri harus menjadi anggota Korpri yang kiblat politiknya adalah Golkar. Sementara di masa kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Nasakom 1959-1965, partai-partai unsur Nasakom mendapat tempat dalam kabinet. Ada menteri-menteri dari PKI dan yang se-aspirasi, seperti Nyoto, Jusuf Muda Dalam, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Ada menteri-menteri dari partai-partai atau kelompok unsur Agama, seperti KH Idham Chalid, Wahib Wahab, A. Sjaichu, Leimena, Frans Seda, Tambunan. Ada pula menteri-menteri unsur Nasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Chairul Saleh, Supeni, serta dari kalangan militer.

Presiden Soekarno memfaedahkan sejumlah pengusaha besar untuk membantu mengisi pundi-pundi Dana Revolusi. Dalam deretan pengusaha terkemuka itu terdapat antara lain, Markam, Hasjim Ning, Dasaad Musin dan Rahman Aslam. Tokoh-tokoh pengusaha yang menjadi besar karena kemudahan akses dengan kekuasaan ini, menjadi tamu tetap dalam pesta-pesta malam tari lenso di Istana Presiden yang juga disemarakkan oleh sejumlah artis atau bintang film jelita seperti Titiek Puspa, Nurbani Jusuf, Baby Huwae dan kawan-kawan. Untuk kehadiran-kehadiran mereka dalam pesta selebriti negara itu, pada akhirnya sejumlah artis mendapat hadiah mobil Fiat 1300 yang dianggap salah satu model puncak di Indonesia.

Di masa kekuasaan Soeharto, terdapat nama-nama konglomerat yang namanya banyak dikaitkan dengan istana, terutama Lim Soei Liong atau Sudono Salim. Selain Lim masih terdapat nama-nama yang dekat dengan istana atau kekuasaan, seperti Sutopo Jananto, Nyo Han Siang, Bob Hasan hingga Prayogo Pangestu, serta nama-nama pengusaha yang sekaligus berkategori kerabat Presiden atau kerabat keluarga istana, yakni Sudwikatmono, Sukamdani Sahid hingga Probosutedjo. Dan pada akhirnya, konglomerasi puteri-puteri presiden sendiri. Di luar mereka terdapat juga sejumlah nama pengusaha yang melejit karena kedekatan dengan para jenderal di sekeliling Soeharto, seperti misalnya yang punya kedekatan dengan Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, maupun Jenderal Sofjar, Jenderal Ahmad Tirtosudiro dan Jenderal Ibnu Sutowo. Pengusaha properti Ir Ciputra sementara itu melambung dalam berbagai kerjasama menguntungkan bersama pemda di masa Gubernur DKI Ali Sadikin. Ada juga konglomerat yang mati ‘digebug’ oleh orang sekitar istana, yakni William Surjadjaja pemimpin kelompok Astra pra akuisisi yang bermula dari kecerobohan bisnis puteranya, Edward Surjadjaja.

Tentu bisa disebut juga beberapa nama pengusaha, yang untuk sebagian besar kini sudah berkategori konglomerat, yang muncul di masa Soeharto, entah murni karena kemampuan kewirasusahaan mereka sendiri, entah kombinasi dengan pemanfaatan akses kepada kalangan kekuasaan, entah sepenuhnya karena keberuntungan dalam jalinan kolusi dengan kekuasaan. Beberapa nama bisa disebut, mulai dari Mohammad Gobel, Achmad Bakrie, Sudarpo dan Haji Kalla, sampai kepada nama-nama seperti Eka Tjipta Widjaja, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, Syamsu Nursalim, Marimutu Sinivasan, Mochtar Riyadi dan puteranya, putera-puteri Ibnu Sutowo, Po dan isterinya Hartati Murdaya, Arifin Panigoro, Sukanto Tanoto, Sugianto Kusuma, Tommy Winata dan Chairul Tandjung. Sinivasan bersaudara rontok dan Prajogo Pangestu melorot di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa nama bisa berkibar terus di masa BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputeri, bahkan tembus hingga masa Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu yang tetap survive adalah Hartati Murdaya yang kini bergabung di Partai Demokrat. Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang menurut George Junus Aditjondro dalam bukunya mengenai korupsi kepresidenan, tak terlepas dari permainan kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2

Kemal Idris, Kisah Tiga Jenderal Idealis

“Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan”.

SELAIN Jenderal Soeharto, ada tiga jenderal yang tak bisa dilepaskan dari catatan sejarah pergolakan dan perubahan Indonesia pada tiga bulan terakhir tahun 1965,hingga 1966-1967. Peran mereka mewarnai secara khas dan banyak menentukan proses perubahan negara di masa transisi kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Tentu saja ada sebarisan jenderal dan perwira bersama Jenderal Soeharto dalam membangun rezim kekuasaan baru menggantikan kekuasaan Soekarno. Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap berpegang kepada idealisme semula yang menjadi dasar kenapa rezim yang lama di bawah Soekarno harus diganti, dan bahwa kekuasaan baru yang akan ditegakkan adalah sebuah kekuasaan demokratis sebagai koreksi terhadap rezim Nasakom Soekarno.

Paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah tiga jenderal, yakni Sarwo Edhie Wibowo, Hartono Rekso Dharsono dan Achmad Kemal Idris, yang ketiganya di akhir karir mereka ‘hanya’ mencapai pangkat tertinggi sebagai Letnan Jenderal. Ketika masih berpangkat Kolonel pada 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie adalah bagaikan anak panah yang muncul dari dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi, kemudian muncul sebagai jenderal yang menjadi ujung tombak upaya pembaharuan struktur politik Indonesia hingga setidaknya pada tahun 1969. Salah satu gagasannya bersama sejumlah kelompok sipil independen adalah konsep Dwi Partai. Perwira idealis lainnya adalah Mayjen Kemal Idris yang pada tahun 1966 menjadi Kepala Staf Kostrad dan berperan sebagai pencipta momentum dalam peristiwa ‘pasukan tak dikenal’ yang mengepung Istana pada 11 Maret 1966. Berita kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ telah membuat panik Presiden Soekarno dan sejumlah menterinya dan menjadi awal dari ‘drama’ politik lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Tak ada jenderal lain yang begitu dekat dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie, HR Dharsono dan Kemal Idris misalnya, melebihi popularitas Soeharto saat itu. Apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan taktis menghadapi Soekarno selama 17 bulan di tahun 1965-1967, sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Tetapi kepopuleran tiga jenderal ini di kemudian hari juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali.

RABU 28 Juli 2010 pukul 03.30 dinihari Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris meninggal dunia dalam usia 87 tahun karena komplikasi berbagai penyakit. Kepergian Letnan Jenderal Kemal Idris ini menjadi kepergian terakhir yang melengkapi kepergian tiga jenderal idealis perjuangan 1966. Ketiganya pergi dengan kekecewaan mendalam terhadap Jenderal Soeharto. Sebelum meninggal dunia, Letnan Jenderal HR Dharsono sempat dipenjarakan beberapa tahun oleh Soeharto dan para jenderal generasi muda pengikutnya dengan tuduhan terlibat gerakan subversi. Sementara Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo berkali-kali disisihkan dari peranan-peranan dalam kekuasaan dan pemerintahan oleh Soeharto dengan cara-cara yang tidak elegan dan mengecewakan. Tapi Sarwo Edhie Wibowo tak pernah melontarkan kecaman terbuka kepada Soeharto, kecuali menyampaikan keluhan bernada kecewa, kepada beberapa orang yang dianggapnya memiliki idealisme dan keprihatinan yang sama mengenai cara Soeharto menjalankan kekuasaan. Kemal Idris juga bersikap kritis terhadap Soeharto namun tak pernah berkonfrontasi dengan mantan atasannya itu. Tapi tak urung, Kemal Idris pernah ikut dengan kelompok Petisi 50 yang bersikap kritis terhadap Jenderal Soeharto.

KEMAL IDRIS berkali-kali berada pada posisi peran dan keterlibatan dalam beberapa peristiwa sejarah yang penting di masa-masa kritis republik ini. Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, saat kelompok perwira Angkatan Darat berbeda pendapat dan berkonfrontasi dengan Presiden Soekarno, sebagai perwira muda yang kala itu berusia 29 tahun, Kemal Idris ada di belakang meriam yang moncongnya dihadapkan ke istana. Empat tahun sebelumnya, Kemal Idris dengan pasukannya dari Divisi Siliwangi ikut dalam operasi penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Pada tanggal 11 Maret 1966 sekali lagi Kemal Idris berada dalam pusat pusaran sejarah. Sejak pagi hari pada tanggal itu sebenarnya Presiden Soekarno berada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun Soekarno was-was mengenai faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”.

Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab hanya melalui gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet.. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan kepemimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Soekarno menuju sebuah helikopter yang tersedia di halaman istana. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor. Sebenarnya, Amirmahmud sendiri –yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut– saat itu pun tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh korban jiwa di kalangan mahasiswa.

Tapi apa pun yang sebenarnya telah terjadi, kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ yang dikerahkan Brigjen Kemal Idris itu, telah menimbulkan kejutan terhadap Soekarno yang pada akhirnya berbuah lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain.

Digambarkan pula adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. Menurut Sajidiman Surjohadiprojo yang pada tahun 1996 masih berpangkat kolonel, “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya. Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”.

Dalam Sidang Umum MPRS, 20 Juni hingga 5  Juli 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966 disahkan sebagai Tap MPRS. Selain itu sejumlah tuntutan mahasiswa agar gelar Pemimpin Besar Revolusi dan jabatan Presiden Seumur Hidup dicabut, terpenuhi dalam Sidang Umum ini. Jenderal AH Nasution dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MPRS. Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak. Kabinet dibubarkan, dan MPRS memberi ‘mandat’ kepada pengemban Super Semar untuk membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Ampera. Hingga sejauh yang terlihat kasat mata, semua tuntutan tampaknya telah terpenuhi melalui SU IV MPRS. Tetapi pada sisi lain, SU MPRS ini seakan menjadi tonggak titik balik bagi gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa yang konfrontatif. Selama Sidang Umum, mahasiswa mematuhi anjuran untuk tidak melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer. Tetapi Sidang Umum menganjurkan agar gerakan ekstra parlementer tidak lagi digunakan seterusnya, karena untuk selanjutnya jalan yang ditempuh adalah apa yang dinyatakan oleh AH Nasution sebagai taktik konstitusional.

Sebelum Sidang Umum, gerakan ekstra parlementer, langsung atau tidak, menjadi penopang penting bagi tentara untuk menekan Soekarno secara efektif. Tapi kini berbeda. Secara umum memang terlihat bahwa Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat sudah mulai tidak membutuhkan suatu kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai pressure group di jalanan dalam gerakan-gerakan ekstra konstitusional. Soeharto untuk sementara lebih membutuhkan ‘dukungan damai’ mereka dalam forum-forum legislatif yang tampaknya lebih mudah dikendalikan. Dengan situasi seperti ini, apa yang disebut sebagai Partnership ABRI-Mahasiswa, memang perlu dipertanyakan. Apakah ia sesuatu yang nyata sebagai realitas politik ataukah hanya setengah nyata atau samasekali berada dalam dataran retorika belaka dalam rangka permainan politik? Terlihat bahwa bagi Angkatan Darat di bawah Soeharto, partnership itu tak lebih tak kurang adalah masalah taktis belaka, dan mahasiswa ada dalam posisi kategori alat politik dalam rangka kekuasaan.

Kalau pun ada yang mengartikan partnership itu sebagai suatu keharusan faktual dan strategis, tak lain hanya para jenderal yang termasuk kelompok perwira intelektual dan idealis seperti Sarwo Edhie, HR Dharsono, Kemal Idris dan sejumlah perwira sekeliling mereka yang secara kuantitatif ternyata minoritas di tubuh Angkatan Darat. Partnership itu memang terasa keberadaannya dan efektifitasnya sepanjang berada di samping para jenderal idealis itu serta pasukan-pasukan di bawah komando mereka. Tetapi luar itu, partnership tak punya arti samasekali. Dalam berbagai situasi yang sangat membingungkan, tatkala berada dekat kesatuan tentara yang disangka partner, kerapkali para mahasiswa justru bagaikan berada di samping harimau dan sewaktu-waktu menjadi korban kekerasan tentara.

SEJARAH kemudian memang memperlihatkan dengan jelas betapa ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang telah naik panggung sebagai pemeran utama kekuasaan politik dan negara dengan dukungan rakyat –yang terutama sekali dukungan mahasiswa Angkatan 1966 sebagai faktor dan fakta penting yang tidak bisa diabaikan– secara berangsur-angsur namun pasti mulai melejit sendiri meninggalkan sang partner. Partnership ABRI-mahasiswa hapus dari kamus politik kekuasaan tentara. Teristimewa setelah pada tahun 1967 Jenderal Soeharto dikukuhkan menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno.

Beberapa sumbangan pemikiran serta pandangan kritis, cenderung tak diindahkan lagi, bahkan dalam banyak hal ditafsirkan sebagai tanda-tanda ‘perlawanan’. Beberapa pendapat kritis yang konstruktif ditanggapi beberapa petinggi militer dalam kekuasaan dengan cara-cara yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Peringatan-peringatan kelompok mahasiswa yang pernah digambarkan sebagai partner,  tentang gejala korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta tindakan-tindakan anti demokrasi yang terjadi, misalnya, sudah mulai dituding sebagai upaya sistimatis untuk mendiskreditkan Dwifungsi ABRI dan Orde Baru. Tak jarang dilengkapi tuduhan ditunggangi sisa-sisa Orde Lama dan PKI. Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan.

Partai NU Bersama KH Idham Chalid di Suatu Masa (2)

“Pada masa itu, tak ada lagi ‘azab’ dunia yang lebih berat selain dari dituduh kontra revolusioner. Kendati para tokoh partai Islam menaruh harapan kepada Angkatan Darat yang resisten terhadap PKI, mereka tak berani menunjukkan sikap cukup ‘berharga’ –jangankan berupa dukungan, menunjukkan kedekatan sekecil apapun, mereka takut. Pengecualian hanya berlaku bagi sejumlah tokoh eks Masjumi yang kala itu berstatus partai terlarang –seperti juga eks PSI yang bersikap anti PKI–  dan mungkin sedikit tokoh Islam lainnya seperti misalnya Subchan Zaenuri Erfan, seorang tokoh muda NU”.

PADA akhir tahun, enam bulan setelah Dekrit, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13, tanggal 31 Desember 1959, tentang pembentukan Front Nasional. Sepanjang tahun 1960 terlihat betapa wadah yang dimaksudkan untuk menghimpun seluruh kekuatan nasional tersebut secara pasti makin didominasi oleh PKI. Bagaimanapun, Soekarno membutuhkan partai yang militan seperti PKI itu dan rapih pengorganisasiannya melebihi tiga partai lainnya dalam deretan 4 besar hasil Pemilihan Umum 1955, dalam rangka balancing power –diantara partai-partai dan dengan militer.

Dukungan militer terhadap Soekarno menjadi penentu tegaknya kekuasaan luar biasa dari Soekarno, sejak dekrit hingga setidaknya hingga tahun 1965. Dengan dua kaki, PKI dan PNI di satu belah kaki dan tentara pada belah yang lain, dengan sendirinya kekuasaan Soekarno menjadi begitu kokoh, suatu keadaan yang belum pernah diperolehnya sebelum ini. Kekuatan bawah tanah penentang Soekarno di kalangan politik Islam –yang datang dari eks Masjumi (Majelis Sjura Muslimin Indonesia) yang telah menjadi partai terlarang bersama PSI (Partai Sosialis Indonesia) di era pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta– dapat diimbangi dengan adanya dukungan kelompok Islam lainnya yang terutama berasal dari NU (Nahdatul Ulama) yang kala itu berbentuk partai politik. NU ini memang memiliki sejarah, karakter dan tradisi pilihan untuk selalu berada sebagai pendukung kekuasaan negara ketimbang di luar lingkungan kekuasaan. Sikap seperti ini memang amat menonjol pada NU, dengan pengecualian pada masa kepemimpin Abdurrahman Wahid, di mana NU bisa bergerak cepat berpindah dari kutub kekuasaan dan kutub anti kekuasaan, vice versa.

Dalam perjalanan waktu, secara menyeluruh terlihat bahwa semua partai politik di Indonesia sangat kuat berorientasi kepada kekuasaan daripada tujuan-tujuan ideal yang seharusnya dimiliki sebuah partai. Bila tak berhasil memperoleh kekuasaan dengan kekuatan sendiri, akan diupayakan memperolehnya dengan pendekatan kepada pemegang kekuasaan untuk mendapatkan tetesan distribusi kekuasaan. Kehidupan politik masa kekuasaan Soekarno 1959-1965 dan masa kekuasaan Soeharto sejak 1967 hingga 1998, mencerminkan dengan jelas watak dan perilaku seperti itu. Bahkan itu terjadi lagi pada tahun-tahun belakangan ini di masa kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak terkecuali Partai Keadilan Sejahtera yang tadinya dianggap memiliki karakter. PKB sebagai partai yang dianggap penjelmaan NU di dunia politik saat ini, tanpa Gus Dur –tepatnya setelah menyingkirkan Gus Dur– meneruskan tradisi Partai NU masa lampau, khususnya saat dipimpin oleh KH Idham Chalid. Kekuatan politik di Indonesia memang tidak memiliki kultur oposisi yang konsisten.

PNI, Partai Nasional Indonesia yang menjadi representan utama dari unsur Nasional, antara 1959 hingga 1965, pada hakekatnya hanyalah partai ‘milik’ Soekarno yang tak punya kemauan dan sikap politik mandiri karena tak bisa keluar dari lindungan bayang-bayang kharisma pribadi Soekarno. Selain itu, suatu ‘penyusupan’ yang amat signifikan terjadi atas dirinya, terutama dari unsur komunis, yang tercermin antara lain dari didudukinya posisi Sekertaris Jenderal partai oleh Ir Surachman yang berhaluan kiri dan lebih patuh kepada PKI. Ali Sastroamidjojo, sang Ketua Umum, tersandera dalam rangkaian kebimbangan antara suara arus bawah dari sebagian warga kepala banteng itu yang menyuarakan keinginan keterbebasan dan pengambilan inisiatif peran politik disatu sisi, dan pada sisi lain ‘keharusan’ patuh terhadap pemikiran dan tindakan politik Soekarno yang begitu dekat dengan PKI. Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 itu, dengan demikian setidaknya ada dua kelompok yang berseteru di dalam tubuh PNI, antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan kecenderungan politik kiri serta kehadiran unsur komunis di tubuh partai. Mereka yang tidak berkenan dengan pengaruh komunis di tubuh partai, ada pada posisi minor, karena terdesak oleh dominasi kelompok kiri bersamaan dengan kuatnya kecenderungan oportunistik secara internal. Pengelompokan itu melajur hingga lapisan terbawah partai, sehingga melumpuhkan insiatif politik partai di berbagai tingkat dan di berbagai daerah.

Sementara itu, barisan partai-partai politik berideologi agama –Islam maupun Kristen dan Katolik– juga secara de facto menjadi unsur yang cukup lemah dalam konstelasi politik Nasakom. Parkindo dan Partai Katolik, terkendala oleh ‘kompleks’ dan konotasi minoritas mereka, kendatipun cukup terdapat pemikiran politik maju, ‘radikal’ dan progresif di dalam diri mereka. Partai Katolik bahkan adalah partai yang kendati memiliki postur tubuh yang tidak besar, menyimpan dalam dirinya think tank dengan performa tinggi dan mengesankan, serta memiliki pengorganisasian kepartaian yang signifikan sehingga cukup tangguh. Ketangguhan ini akan terbukti kelak melalui kader-kadernya dalam suatu proses perubahan politik yang terjadi beberapa tahun kemudian, mampu berperan bagaikan mayoritas pada posisi pijakan minoritas. Bersama Ali Moertopo, sebagian dari kader-kader Katolik ini, ditambah suatu peran khusus kisah ‘belakang layar’ yang dijalankan Pater Joop Beek yang seorang rohaniwan Katolik, hampir-hampir menjadi legenda dalam pengendalian kekuasaan politik dalam satu kurun waktu tertentu kala itu. Sedangkan partai ideologi Islam terbesar NU –setelah dinyatakannya Masjumi sebagai partai terlarang, 17 Agustus 1960– lebih memilih bersikap mempertahankan status quo, terutama karena kebutuhannya untuk selalu berada sejajar berdampingan dengan kekuasaan, agar selalu disertakan dalam posisi-posisi pada pemerintahan, dalam posisi sekunder sekali pun. Jatah tradisional mereka dalam pemerintahan adalah Departemen Agama, ditambah pengikutsertaan rutin tokoh NU KH Idham Chalid selama beberapa tahun dalam kabinet Soekarno maupun selaku unsur pimpinan MPRS.

Partai-partai Islam lainnya, pun cenderung memilih jejak langkah ‘taktis’ NU yang terbukti aman. Bagi partai-partai ini dan sejumlah partai lain di luar PKI dan ‘separuh’ PNI, berlaku adagium ‘kalau tak mampu memukul lawan, rangkullah lawan itu’. Adalah beberapa di antara tokoh-tokoh unsur A ini yang berperan dalam akrobat politik, seperti misalnya penganugerahan gelar Waliyatul Amri untuk Soekarno. Sementara itu, penetapan Soekarno sebagai Presiden “seumur hidup” adalah akrobat politik lainnya lagi yang dilakukan beramai-ramai oleh setiap kekuatan politik dalam konstelasi Nasakom.

Situasi perilaku para pemimpin politik umat ini sebenarnya paradoksal dengan kenyataan bahwa pada tahun-tahun 1963, 1964 hingga pertengahan 1965, di berbagai daerah di tingkat bawah, pendukung partai-partai Islam ini, khususnya NU, menjadi sasaran utama aksi-aksi sepihak PKI, terutama dalam masalah pertanahan. Karena elite partai-partai Islam ini tak mampu, untuk tidak menyebutnya tak berani, terang-terangan membela akar rumputnya –dengan beberapa pengecualian– maka tercipta ‘api dalam sekam’ berupa kebencian terpendam dari mereka yang teraniaya dan secara tragis sekaligus tak terlindungi oleh para pemimpinnya. Suatu ketika, semua ini meledak dalam bentuk pelampiasan dendam yang tak terduga-duga kedahsyatannya.

PKI ini adalah satu partai di antara partai yang ada, yang memberi dukungan terkuat pada sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno, setara dengan dukungan tentara terhadap Dekrit 5 Juli 1959, dan mencipta segitiga kekuasaan masa itu. Namun dalam perjalanan waktu, setapak demi setapak, posisi Angkatan Darat melemah dalam segitiga kekuasaan melalui proses perseteruan akrobatik yang panjang selama beberapa tahun. Kemampuan berseteru yang tersisa pada para perwira militer dan pimpinan Angkatan Darat, dari waktu ke waktu digunakan dengan sangat taktis dan seringkali makin tersamar, karena juga didera ketakutan akan pengenaan aneka stigma, terutama tudingan spesifik untuk para jenderal, yakni kapbir akronim untuk kapitalis birokrat dan sesekali julukan ‘jenderal burjuis’. Selain itu, Angkatan Darat –yang dipimpin kelompok perwira anti komunis, yang mewarisi perseteruan turun temurun dengan kaum komunis terutama sejak 1948 – praktis sebenarnya kehilangan salah satu ‘posisi-istimewa’nya sudah sejak Soekarno menghapuskan SOB pada 19 Nopember 1962 secara berangsur hingga paripurna pada 1 Mei 1963.

Partai-partai ideologi Islam dalam konstelasi politik Nasakom yang semestinya berhadap-hadapan langsung dengan PKI yang menunjukkan sikap memusuhi agama Islam secara terang-terangan, memilih diam dan membiarkan Angkatan Darat ‘bertarung’ sendirian selama bertahun-tahun. Mereka tak mau dimasukkan sebagai sasaran utama tepat di tengah-tengah ladang pembunuhan karakter dan penganiayaan politik dengan tudingan-tudingan sebagai kekuatan kontrev (kontra revolusioner) karena menunjukkan sikap komunisto phobia. Apalagi, Soekarno dalam pidatonya 17 Agustus 1964 memperingatkan, “Siapa anti Nasakom, ia tidak progresip. Siapa anti Nasakom, ia sebenarnya adalah memincangkan revolusi, meninggalkan revolusi. Siapa anti Nasakom, ia tidak penuh revolusioner, ia bahkan adalah historis kontra revolusioner”.

Pada masa itu, tak ada lagi ‘azab’ dunia yang lebih berat selain dari dituduh kontra revolusioner. Kendati para tokoh partai Islam menaruh harapan kepada Angkatan Darat yang resisten terhadap PKI, mereka tak berani menunjukkan sikap cukup ‘berharga’ – jangankan berupa dukungan, menunjukkan kedekatan sekecil apapun, mereka takut. Pengecualian hanya berlaku bagi sejumlah tokoh eks Masjumi yang kala itu berstatus partai terlarang –seperti juga eks PSI yang bersikap anti PKI–  dan mungkin sedikit tokoh Islam lainnya seperti misalnya Subchan Zaenuri Erfan, seorang tokoh muda NU. Subchan menurut kesaksian Harry Tjan yang dekat dengannya karena memiliki sikap anti komunis yang sama, adalah tokoh yang tak segan-segan secara terbuka menunjukkan sikap dan kecamannya terhadap komunis di Indonesia, setidaknya pada tahun 1964-1965. Dalam suatu forum internasional di Kairo, Konferensi Asia Afrika untuk kerja sama ekonomi, Subchan ZE menegaskan Indonesia adalah negara Pancasila, tidak menganut faham Marxis-Leninis, dan menjalankan politik bebas aktif. Seorang tokoh NU lainnya, Imron Rosjadi, sempat pula di belakang layar mencoba mendorong AD untuk segera bertindak keras ‘mengakhiri’ PKI. Tapi secara umum, barulah pada pasca Peristiwa 30 September 1965, tatkala mulai terbaca perubahan angin politik, partai-partai peserta Nasakom ini dengan ‘bersemangat’ dan menggebu-gebu mendekati dan coba merapatkan barisan dengan Angkatan Darat, sebagian besar dengan Mayjen Soeharto dan sebagian dengan Jenderal Nasution.

Tentu saja, sikap-sikap lunak dan kompromistis semasa Nasakom, bukan semata milik partai-partai ideologi Islam, melainkan juga diidap sejumlah tokoh dari partai Nasakom lainnya. Harry Tjan menuturkan bahwa menjelang tengah malam, 28 September 1965, hanya dua hari sebelum peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira muda, bersama tokoh Partai Katolik IJ Kasimo ia menemui Frans Seda yang waktu itu adalah Ketua Umum Partai Katolik sekaligus Menteri Perkebunan. Kepada Frans Seda, Harry melaporkan “akan terjadi coup oleh PKI”. Frans menjawab, “Hal itu tidak betul”. Bahwa AURI melatih Pemuda Rakyat dan yang lain-lainnya, itu “adalah pembagian tugas” yang sudah diatur oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. “Janganlah khawatir, sebab semua itu dalam rangka revolusi ! Jangan ikut berpikir demikian, karena bisa dikatakan komunisto phobia”, demikian pesan Frans Seda.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (2)

Prof Dr Midian Sirait*

SELAIN keinginan memberlakukan Piagam Jakarta, terdapat pula adanya beberapa gerakan untuk menjadikan negara ini sebagai satu negara berdasarkan agama. Tahun lima puluhan tak lama setelah kemerdekaan sudah muncul gagasan Negara Islam Indonesia yang dicetuskan oleh SM Kartosoewirjo, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan serta Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tetapi jika kita mencermati kembali catatan sejarah peristiwa-peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa motif awal dari gerakan-gerakan itu sebenarnya bukan berpangkal pada masalah agama, melainkan pada beberapa hal lain di luar itu. Daud Beureueh, membentuk DI/TII di Aceh adalah karena ketidakpuasan terhadap ketidakadilan dalam pembentukan Propinsi di Sumatera tahun 1950. Ada dua calon gubernur Sumatera bagian utara kala itu, yakni Daud Beureueh yang adalah gubernur militer Aceh dan sekitarnya serta Ferdinand Lumbantobing yang gubernur militer Tapanuli. Ternyata pemerintah pusat memilih tokoh lain diluar keduanya, yakni seorang yang bernama Amin yang saat itu tak begitu diketahui latarbelakang perjuangannya semasa perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kahar Muzakkar juga adalah orang yang tak puas kepada keputusan pemerintah pusat di tahun 1950. Ia diminta untuk menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang sebagian besar adalah eks laskar rakyat.

Setelah menyelesaikan kasus itu, pemerintah pusat tidak ‘menepati’ janjinya untuk menempatkannya sebagai Panglima Territorial di wilayah itu dan malah menempatkan seorang perwira asal Sulawesi Utara dalam posisi tersebut. Kahar segera masuk hutan bersama anak buahnya dari CTN dan kemudian membentuk DI/TII. Ibnu Hadjar juga membentuk DI/TII karena kekecewaan internal dalam tubuh ketentaraan. SM Kartosoewirjo, mungkin lebih bermotif karena sejak masa awal perjuangan bersenjata sudah memimpin laskar Islam Hizbullah Sabilillah, dan sudah memprakarsai penyusunan konsep negara Islam setidaknya sejak 1945. Sewaktu Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah-Jawa Timur, tak kurang dari 40.000 anggota pasukan-pasukan Kartosoewirjo mengisi kekosongan akibat hijrahnya Siliwangi. Ketika Siliwangi kembali melalui ‘long march’ ke Jawa Barat, keduanya harus berhadapan satu sama lain. SM Kartosoewirjo yang tidak ingin meninggalkan wilayah-wilayah yang dikuasainya, lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia sekaligus membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Di antara pemberontakan-pemberontakan yang membawa nama DI/TII, yang paling akhir diselesaikan adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, yakni pada awal 1965.

Setiap ada peristiwa-peristiwa berdarah berupa pemberontakan atau konflik-konflik lainnya, kerapkali orang bertanya, “di mana Pancasila itu” ? Apakah persoalan-persoalan itu terkait dengan Pancasila sebagai sistem nilai, ataukah peristiwa-peristiwa itu berdiri sendiri dan berada di luar nilai-nilai di dalamnya ? Saya melihat bahwa dalam proses pendewasaan dalam bernegara, selalu ada angan-angan dalam berbagai kelompok masyarakat untuk menjalankan keinginannya sendiri. Apakah karena terkait dengan agama, ataukah terkait dengan rasa kedaerahan atau ideologi-ideologi sempit. Dan pada waktu itu mereka melupakan Pancasila. Tetapi pada waktu yang lain, nama Pancasila digunakan dengan meninggalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bahkan Pancasila pernah digunakan dalam terminologi revolusioner dan situasi konflik dalam masyarakat.

Pada peristiwa PRRI dan Permesta tahun 1957, motif yang menonjol adalah masalah kedaerahan yang sekaligus dibarengi adanya sikap anti komunis. Sikap anti komunis tercermin antara lain dari tokoh-tokoh yang turut serta dalam pemberontakan PRRI itu, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Aspek kedaerahannya ditandai dengan dibentuknya Dewan Gajah, Dewan Banteng dan sebagainya di pulau Sumatera. Bila berbagai pemberontakan itu ditempatkan sebagai salah satu indikator, secara empiris terlihat surutnya Pancasila, adalah setelah berlakunya Undang-undang Dasar Sementara, yaitu Undang-undang Dasar yang kita pakai setelah Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang sempat berlaku selama setahun. Dengan mosi yang dipelopori oleh Masjumi tahun 1950, agar kembali kepada negara Republik, maka dirumuskan dan dipakai UUD Sementara itu. Republik Indonesia Serikat berakhir, dengan adanya mosi tersebut. Semua negara anggota RIS, seperti Negara Pasoendan, Negara Kalimantan, Negara Madura dan lain-lain menyatakan membubarkan diri. Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur sempat bertahan. Tapi akhirnya, NIT ikut membubarkan diri juga. Sementara itu, Negara Sumatera Timur,  menurut beberapa pihak tidak pernah membubarkan diri dan tak pernah diketemukan catatan atau dokumen tentang pembubarannya. Menjadi tugas para ahli sejarah untuk mengungkap bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah tidak pernah membubarkan diri, atau kalau pernah, kapan dan dengan cara bagaimana pembubaran itu terjadi.

Dengan pembubaran negara-negara ‘bagian’ itu, Indonesia kembali utuh sebagai Republik Indonesia, yang menggunakan UUD Sementara sebagai konstitusi dasar. Tetapi perlu dicatat, bahwa baik dalam UUD RIS maupun UUDS sebenarnya keberadaan nilai-nilai Pancasila dalam bagian pembukaan senantiasa dipertahankan, nilai-nilainya tersurat di dalamnya, seperti halnya pada Pembukaan UUD 1945, meskipun juga tak menyebutkannya dengan penamaan Pancasila. Dengan demikian, tak pernah ada masalah sepanjang menyangkut bagian pembukaan undang-undang dasar, sejak tahun 1950 sampai kembali ke Undang-undang dasar 1945 di tahun 1959. Yang bermasalah adalah praktek kehidupan politik. Antara tahun 1950, yakni setelah pengakuan kedaulatan, hingga tahun 1955 saatnya dilakukan pemilihan umum untuk menyusun konstituante, kehidupan politik penuh pergolakan karena ‘pertengkaran’ antar partai-partai, yang tercermin baik di parlemen maupun dalam bergantinya kabinet terus menerus. Presiden Soekarno hanya menjadi simbol, kepala negara, sedangkan pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri yang dipilih di forum parlemen itu sendiri.

Terlihat betapa partai-partai yang ada tidak menampakkan kedewasaan dalam berkehidupan parlemen. Namun, sepanjang sejarah parlemen, tidak pernah ada kabinet yang jatuh karena suatu resolusi di parlemen. Selalu, kabinet jatuh, karena partai-partai menarik menterinya dari kabinet, pecah dari dalam tubuh kabinet. Dengan perkataan lain, terjadi ketidaksepakatan atau pertengkaran antara partai pendukung kabinet sehingga koalisi pecah. Ketidakakuran itu terutama terjadi diantara empat partai terbesar, yakni PNI, Masyumi, NU serta PSI pada masa-masa sebelum Pemilihan Umum 1955. Semestinya, kabinet bubar karena voting atau adanya mosi tidak percaya di parlemen. Tapi ini yang justru tak pernah terjadi. Kedewasaan dalam berpartai dan berpolitik memang belum ada, suatu keadaan yang agaknya tetap berlangsung hingga kini. Tentu ini berarti pula bahwa ketidakdewasaan itu juga belum ada dalam berparlemen. Mungkin itulah salah satu kekurangan utama kehidupan politik kita. Bandingkan misalnya dengan Inggeris, yang sudah mulai mengenal kehidupan berparlemen dalam sistem yang tetap monarkis, yaitu sejak Magna Charta tahun 1215. Dalam kehidupan berparlemen kita –dan begitu pula secara umum dalam kehidupan politik– masih terdapat dari waktu ke waktu kecenderungan dikotomis, baik Jawa-Luar Jawa maupun dalam konteks pusat-daerah.

Soekarno: Dari ‘bangsa tempe’ hingga revolusi terus menerus

Hingga tahun 1965, kehidupan politik kita juga mengalami situasi konflik yang berkepanjangan, terkait dengan ideologi komunis versus non komunis. Sedikit banyaknya, situasi itu adalah karena imbas perang dingin antara blok timur dan blok barat yang berlangsung sengit secara internasional. Puncak situasi konflik komunis-non komunis di Indonesia berlangsung terutama tahun 1960-1965. Dalam konflik ideologi itu, Soekarno memperlihatkan kecenderungan kuat berpihak kepada kaum komunis, yang tercermin dari berbagai pidatonya selama masa Nasakom. PKI memanfaatkan situasi seperti itu. Sebenarnya, Soekarno pada dasarnya memiliki ‘cara’ berpikir ilmiah dan universal, tidak terlalu menonjol kejawaannya, antara lain bila dibandingkan dengan Soeharto yang menjadi penggantinya kelak. Malahan, pemikiran-pemikiran filosofis Soekarno kadangkala amat terasa berorientasi pada pemikiran barat. Dia memiliki pandangan yang mendunia, mengenal universal weltanschauung. Kerapkali ia ‘menunjukkan’ kekecewaan terhadap kualitas pemikiran bangsa dengan menampilkan sebutan terus terang bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa tempe. Mohammad Hatta pun memiliki pemikiran yang luas dan mendunia, cenderung akademik, tetapi dibanding Soekarno ia kalah dalam berpidato atau berorasi. Namun ia seorang penulis yang baik, yang mampu menyampaikan bunga rampai pemikirannya dalam beragam karya tulis. Bung Hatta menghayati konsep demokrasi. Bunga rampai pemikiran Bung Hatta tersusun dalam buku yang tebal. Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno menguraikan mengenai revolusi yang tampaknya berada dalam alur yang sejalan dengan pemikiran Trotsky. Soekarno menyebutkan revolusi sebagai suatu inspirasi besar dalam sejarah manusia. Dan inspirasi itu, menurut gambaran Soekarno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. Revolusi, menurut Soekarno, adalah bersifat terus menerus. Di sini ia berbeda dengan Mohammad Hatta, yang menyebutkan revolusi sebagai umwertung alle werte, yakni perubahan dari semua nilai-nilai secara sekaligus. Tapi sebenarnya, sebelum 1960-1965, Bung Karno pun masih menyebut revolusi dalam pengertian ‘menjebol dan membangun’, yang mirip dengan pemahaman Mohammad Hatta.

Tetapi pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia memang melakukan satu revolusi ? Dalam pengertian budaya, menurut saya, kita tidak berrevolusi. Ciri revolusi bangsa Indonesia hanya tampak saat bangkit percaya kepada kekuatan sendiri dan meninggalkan sikap tunduk kepada kekuasaan kolonial. Saat itu, tampil rasa percaya diri, percaya kepada kemampuan dan kekuatan sendiri. Mungkin bisa dikatakan sebagai revolusi fisik, jadi semacam revolusi politik. Kekuasaan yang ada kita rombak dan membangun kekuasaan baru atas kemampuan sendiri. Tapi, dalam pengertian budaya, tidak. Itu berarti dunia pendidikan kita belum berhasil membawa suatu kemajuan berpikir untuk bisa membuat perubahan besar secara menyeluruh. Barangkali ini merupakan bagian dari pasang surutnya Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa.

Dalam kehidupan parlemen antara tahun 1950-1955, Pancasila tak pernah disebut-sebut dalam artian yang bermakna. Yang tampil hanyalah berbagai ideologi lain dari masing-masing golongan atau partai politik. Masjumi begini ideologi dan pendiriannya, PNI begitu ideologi dan pendiriannya, dan lain sebagainya. Bahkan PKI sebagai salah satu partai ideologis, pernah melakukan pemberontakan di tahun 1948, yaitu Pemberontakan Madiun. Namun tak pernah ada penyelesaian tuntas atas peristiwa politik tersebut, sehingga sejak 1950 berangsur-angsur PKI bisa memulihkan kembali kekuatannya dan menjadi empat besar partai hasil pemilihan umum tahun 1955. Tetapi terlepas dari apa yang pernah dilakukannya, PKI masih melihat dirinya sebagai satu dari semua, dan masih menempatkan diri dari bagian bangsa. PKI belum sejauh partai-partai komunis lainnya di dunia yang menempatkan diri terpisah sebagai satu kekuatan. Tan Malaka pernah mengeritik PKI sebagai kekuatan komunis yang tak jelas pendiriannya, tak punya ketegasan. Secara menyeluruh, bangsa Indonesia menurut Tan Malaka, tidak bisa diajak berrevolusi. Itu pula beda Tan Malaka dengan Sjahrir yang menjalankan sosialisme dengan cara-cara yang lebih berdiplomasi. Memang teori Sjahrir lebih kepada sosialisme yang humanistik.

Sebagian dari perkembangan tanah air menjelang dan selama masa Nasakom saya ikuti dari Eropah, antara lain melalui aktivitas di PPI Jerman dan Eropah. Sejak tahun 1955 pada masa Chairul Saleh bergiat di forum PPI, menurut dokumen yang ada, telah tergambarkan terdapatnya dua kelompok besar: Satu kelompok, yakni kelompok Chairul Saleh, yang ingin agar kekuasaan yang ada harus dijebol dan dibangun kembali. Terlihat adanya suasana anti partai-partai dalam sikap kelompok tersebut. Sedangkan kelompok lain, lebih filosofis, melihat Pancasila sebagai  dasar moral dan etika bangsa. Jadi, bukan hanya dalam aspek politik kekuasaan melainkan sebagai moral bangsa, yang berarti lebih kepada budaya. Sepulang ke Indonesia, Chairul Saleh masuk dalam kabinet Soekarno sebagai Menteri urusan Veteran.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (7)

“Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu bagi dirinya. Kerap kali Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya ambisi, tetapi melalui kata-kata bersayap tak jarang pula ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia adalah seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak setelah yakin mengenai apa yang akan dicapainya”.

Bergulat dalam dilema

MAHASISWA Bandung pasca Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel Moechtar, dalam bukunya ‘Mereka dari Bandung’ (1998), menggambarkan adanya perubahan iklim dan situasi. “KAMI tanpa terasa telah tumbuh sebagai suatu kekuatan atau lembaga kemahasiswaan yang formal”. Keberadaannya sebagai suatu organisasi mulai tampil menyerupai sebagai suatu instansi resmi. “Sifat-sifat dan watak perjuangannya yang semula tampak spontan, tidak resmi-resmian, agaknya mulai mengalami perubahan. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret, lalu dibubarkannya PKI, menempatkan KAMI –dan dengan sendirinya juga mahasiswa– sebagai pemenang. Ada prosedur, ada protokol, ada upacara, ada hirarki, pokoknya ada ‘birokrasi’ organisasi”.

Dengan anggapan diri sebagai pemenang, setiap organisasi mahasiswa yang tergabung di dalamnya, mulai mengambil ancang-ancang untuk memperjelas posisi dan peranannya dalam KAMI Bandung. ”Mulai muncul gejala tuntutan pembagian peranan. Mulai pula kelihatan munculnya pengelompokan di antara ormas-ormas mahasiswa dalam versi baru”. Dengan nada tajam penuh kecaman, Hasjroel mengatakan “tanpa disadari KAMI sudah muncul sebagai kekuatan masyarakat yang ikut ‘berkuasa’ atau setidak-tidaknya memiliki pengaruh sebagaimana alat-alat kekuasaan yang lainnya. Keadaan atau gejala itu sangat jauh berbeda dari situasi yang dihadapi pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika mahasiswa Bandung yang anti komunis melancarkan aksi pertama kalinya. Waktu itu, setiap pimpinan mahasiswa saling menunjuk rekannya yang lain untuk tampil memimpin aksi mengganyang PKI. Bahkan banyak dari mereka dengan berbagai alasan takut-takut dan menunda atau bahkan tidak mau menandatangani pernyataan yang menolak Dewan Revolusi tanggal 1 Oktober 1965 ketika Letnan Kolonel Untung mengumumkannya melalui siaran Radio Republik Indonesia”.

Kembalinya Kontingen Bandung dari Jakarta, pasca Peristiwa 11 Maret 1966, seakan mengikuti ‘naluri’ saja, karena memang tampaknya pergerakan berdasarkan idealisme semata pun telah berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan keyakinan sebagai gerakan moral dan bukan gerakan politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa dengan cepat beralih kepada gerakan-gerakan kemasyarakatan seperti gerakan anti korupsi. Bahwa mahasiswa-mahasiswa Bandung dengan ciri gerakan moral ini seterusnya terlibat pula dalam gerakan ‘menjatuhkan’ Soekarno hingga setahun ke depan, agaknya tak bisa dilepaskan dari sikap perlawanan terhadap ketidakadilan, sikap a demokratis dan otoriter dari kekuasaan Soekarno. Tidak dalam konotasi politik untuk memperjuangkan tegaknya kekuasaan Soeharto. Tapi menurut Erna, hingga sejauh itu, mahasiswa memang masih menaruh kepercayaan kepada tentara terutama yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti HR Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Agaknya kala itu mayoritas mahasiswa belum melihat adanya ‘detail’ yang berbeda dalam tubuh tentara, bahwa tidak seluruh perwira tentara seperti ketiga tokoh yang mereka kagumi saat itu.

Merupakan pula kenyataan kemudian pada sisi yang lain, setelah lahirnya Surat Perintah 11 Maret, tahap idealisme memang telah bergeser memasuki tahap yang lebih pragmatis menyangkut posisi kekuasaan. Secara umum setelah itu memang praktis gerakan-gerakan fisik yang bermakna idealisme mulai menyurut untuk pada saatnya nanti akan berakhir, yang sekaligus menandai surut dan berakhirnya KAMI. Pergerakan-pergerakan yang terjadi kemudian, kalaupun melibatkan mahasiswa atau generasi muda, sudah dalam konotasi berbeda, yakni lebih cenderung kepada kepentingan politik praktis, terutama ekstra universiter yang mengikuti ideologi organisasi induknya. Atau setidaknya, telah terbalut dengan kepentingan politik praktis dalam rangka penentuan akhir posisi dalam kekuasaan negara. Bahkan di lingkungan HMI yang semestinya lebih independen, terlihat kecenderungan ‘mencari’ induk politik, yang nampaknya waktu itu akan terpenuhi dengan mulai munculnya kabar tentang adanya keinginan menghidupkan kembali Masjumi yang dibubarkan Soekarno pada era Nasakom.

Kala itu, kekuasaan di Indonesia seolah-olah memiliki matahari kembar yang menciptakan dualisme. Di satu pihak ada Soekarno yang oleh para pendukungnya ingin tetap dipertahankan untuk kemudian dikembalikan ke posisi semula. Para pendukung ini tidak punya bayangan apapun tentang kekuasaan tanpa Soekarno. Soekarno tanpa kekuasaan mutlak menjadi pengalaman baru yang menakutkan mereka. PNI yang terbelah pun seakan kembali mulai menyatu dalam kepentingan bersama mempertahankan Soekarno, dengan PNI Osa-Usep sebagai pembawa bendera karena diterima oleh mahasiswa anti Soekarno dan partai-partai bukan kiri. Pada pihak lain sejumlah kaum intelektual di Jakarta, terlepas dari suka atau tidak suka secara pribadi kepada Soeharto, melihat kehadiran Soeharto sebagai suatu peluang untuk suatu perubahan, tepatnya pembaharuan tata kekuasaan negara. Soeharto yang dianggap muncul sebagai fenomena dari  historical by accident adalah realitas objektif dan alternatif satu-satunya untuk saat itu bila berbicara tentang perubahan kekuasaan. Memang masih ada figur Jenderal AH Nasution, tetapi momentum demi momentum yang lepas sejak 1 Oktober 1965 hingga Maret 1966, menjauhkannya dari peluang. Apalagi, pada waktu bersamaan, di  sekeliling Soeharto telah muncul dengan cepat suatu lingkaran kuat yang semakin mengental dengan tujuan akhir menjadikan Soeharto sebagai pemimpin nasional berikutnya setelah Soekarno, cepat atau lambat.

Posisi Soeharto dalam kaitan keinginan kaum intelektual yang ingin menginginkan pembaharuan kekuasaan, maupun dalam kaitan keinginan lingkaran politik di sekitar Soeharto, adalah sebagai objek atau alat. Tetapi sebaliknya Soeharto juga memperalat mereka yang menginginkan perubahan itu, untuk mewujudkan keinginannya sendiri yang telah tumbuh, baik dari hasrat pribadinya secara manusiawi, maupun karena penciptaan situasi dan kondisi yang cukup cerdik dari lingkaran politik sekelilingnya.

Terlihat bahwa sejumlah kelompok mahasiswa yang tadinya merupakan satu kesatuan besar –lintas asal ideologis maupun sebagai campuran gerakan intra kampus dan ekstra kampus– berangsur-angsur kembali ke sarangnya masing-masing. Organisasi ekstra kembali ke partai induk ideologisnya, sementara mahasiswa intra kembali ke dalam kehidupan yang lebih memperhatikan dan terkait dengan kampusnya. Sementara itu, di antara kutub-kutub arus balik itu terdapat sejumlah kelompok mahasiswa non ideologis, serta sejumlah cendekiawan yang lebih senior, yang untuk sebagian disebut kelompok independen yang berasal dari berbagai sumber, terjun ke suatu pergulatan baru untuk merombak dan memperbaharui struktur politik lama. Dalam satu garis logika dan konsistensi, pertama-tama dengan sendirinya berarti mengakhiri kekuasaan Soekarno sebagai representan utama struktur politik lama. Tahap berikutnya, tentu saja menyangkut pembaharuan kehidupan kepartaian. Justru dilemanya, adalah bahwa dalam rangka kepentingan mengakhiri kekuasaan Soekarno, sebagian kekuatan partai itu dibutuhkan sebagai faktor, terutama dari sudut kepentingan Soeharto. Tetapi suatu toleransi untuk memberi peranan kepada partai-partai ideologis dari struktur lama itu, pada akhirnya hanya akan menghasilkan sekedar penggantian pemegang peranan di panggung politik dan tidak menciptakan suatu sistim dan praktek politik baru yang rasional. Sekedar mengganti pelaku di atas panggung untuk permainan buruk yang sama.

Sadar atau tidak sadar, tak bisa dihindari bahwa gagasan pembaharuan politik dengan konotasi pertama-tama mengganti Soekarno, dalam banyak hal berimpit dalam suatu wilayah abu-abu antara idealisme gagasan kaum intelektual dengan strategi penyusunan kekuasaan dari kelompok politik Soeharto yang terdiri dari campuran tentara dan cendekiawan sipil. Tetapi kelompok non ideologis yang independen pada akhirnya lebih banyak berjalan sejajar dengan sejumlah perwira militer anti komunis yang digolongkan sebagai kelompok perwira idealis atau kelompok perwira intelektual. Termasuk paling menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi. Perwira idealis lainnya adalah Mayjen Kemal Idris dan Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Tak ada jenderal lain yang begitu dekat dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie dan HR Dharsono misalnya melebihi popularitas Soeharto saat itu, apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan taktis menghadapi Soekarno sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Kepopuleran tiga jenderal ini kemudian juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali.

Bagi para mahasiswa yang sangat dinamis dan menghendaki perubahan cepat, sikap alonalon waton klakon dan mikul dhuwur mendhem jero Soeharto seringkali tak bisa dipahami. Dalam banyak hal perwira-perwira intelektual ini berbeda gaya dengan Soeharto dalam menghadapi Soekarno. Kelompok idealis ini lebih to the point dalam menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Soekarno dan tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk mengganti Soekarno secepatnya. Terminologi yang mereka gunakan lebih lugas, jarang mengangkat istilah-istilah dari perbendaharaan tradisional, khususnya dari khasanah kultur Jawa. Mereka menggunakan kata-kata yang tegas dan dinamis seperti pendobrakan, pengikisan, diikuti terminologi yang mencerminkan keinginan akan perubahan seperti perombakan atau restrukturisasi dan pembaharuan total, terhadap sistem dan struktur politik misalnya. Pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan keinginan mengganti Soekarno bukan hal yang tabu untuk diucapkan.

Sebaliknya, Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat-rapat keinginannya mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga tahu bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu momentum demi momentum telah membuka peluang-peluang untuk itu bagi dirinya. Kerap kali Soeharto berbasa-basi menyatakan bahwa ia tak punya ambisi, tetapi melalui kata-kata bersayap tak jarang pula ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia adalah seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak setelah yakin mengenai apa yang akan dicapainya. Tak mudah ia tergoda menerkam setiap peluang yang muncul.

(Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006)

Pers Indonesia: Senjata Perjuangan yang Beralih Menjadi Penanda Kegagalan Sosiologis (1)

Pers Indonesia telah menjalani satu perjalanan panjang yang lebih tua dari usia Indonesia Merdeka. Menjelang kemerdekaan, pers menjadi senjata perjuangan. Dalam masa kekuasaan otoriter bangsa sendiri, menjadi bagian dalam gerakan kritis mahasiswa. Dan pada tahun-tahun terakhir hingga 2010 ini, ketika mencapai kebebasan pers terbaik yang pernah dinikmati sepanjang sejarah Indonesia hingga sejauh ini, sebagian pelaku pers justru berubah wujud menjadi penikmat kebebasan yang kadangkala terjerumus dalam perilaku bebas tapi otoriter dan zalim. Sekaligus menjadi etalase penanda kegagalan sosiologis Indonesia. Untuk menyambut Hari Pers Nasional 9 Februari,  berikut ini adalah catatan Rum Aly, Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia 1971-1974. Mingguan generasi muda itu terbit pertama kali 19 Juni 1966 sebagai edisi Jawa Barat, didirikan oleh Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Ryandi AS dan kawan-kawan aktivis pergerakan tahun 1966 dari Bandung.

PERJALANAN dan kehadiran pers di Indonesia adalah suatu sejarah yang telah melintasi lima abad berbeda, sejak pertengahan abad ke-17 hingga abad ke-21 saat ini. Seperti halnya perjalanan sejarah bangsa ini, pers –dalam pengertian media cetak yang dipublikasikan ke khalayak– di Indonesia juga melewati sejumlah babak pengalaman sejarah bangsa ini. Babak-babak itu adalah: masa panjang kolonialisme Belanda, masa bangkitnya paham kebangsaan, masa pendudukan balatentara Jepang, babak perang kemerdekaan, babak awal masa kemerdekaan dengan kehidupan politik yang liberalistik, masa otoriter Soekarno 1959-1965, masa otoriter Soeharto, dan masa pasca Soeharto yang lebih sering disebut masa reformasi..

Perlu untuk melihat apa yang terjadi pada abad-abad tersebut dalam konteks perjalanan sejarah manusia-manusia penghuni pulau-pulau Nusantara ini dalam usaha mewujudkan diri sebagai satu bangsa yang bersatu dan menuju kemerdekaan. Dan kemudian melihat titik singgungnya dengan peran atau pendayagunaan pers di dalam dinamika tersebut. Untuk itu kita akan meminjam sejumlah pemaparan sejarawan Anhar Gonggong (Referensi tema dalam buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006).

Menurut Anhar, sejak awal kedatangan dan penguasaan kolonial Belanda di Nusantara –yang kemudian mereka sebut Nederlandsch-indie– praktis VOC dan penguasa pemerintahan kolonial Belanda harus senantiasa menghadapi berbagai bentuk perlawanan para pemimpin dan rakyat Nusantara di pelbagai wilayah. Perlawanan yang disebut Belanda sebagai pemberontakan itu, berlangsung sepanjang abad 17, 18 dan 19, seperti misalnya Perang Gowa atau Perang Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, Perang Pattimura di Maluku, Perang Banjar, Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di bagian tengah Pulau Jawa dan berbagai perang lainnya. “Tentu saja perang itu terjadi karena pelbagai alasan yang melatarinya, yang berinti pada penentangan cara pemerintah kolonialis Belanda yang tidak adil, memiskinkan serta ‘merusak’ tatanan nilai-nilai kehidupan bersama mereka. Tetapi perlawanan-perlawanan itu –yang dilihat dari cara dan strategi perlawanannya tepat untuk disebutkan sebagai strategi otot– semuanya kalah dalam arti ditaklukkan secara fisik pula oleh kekuatan bersenjata pemerintah kolonial Belanda”. Meski mengalami kekalahan, para penentang dalam abad-abad yang lampau itu tetap dihargai. “Walaupun mereka belum berjuang untuk ‘perumusan diri sebagai satu bangsa’ yang juga tidak untuk merdeka, bagaimanapun juga perlawanan mereka adalah bagian sejarah anak negeri yang kini menjadi bangsa-negara Indonesia”.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan yang sangat penting artinya, yaitu tampilnya sejumlah warga terdidik dan tercerahkan ke gelanggang serangkaian perlawanan perjuangan menentang penjajahan. Mereka yang umumnya adalah kaum muda –lulusan pendidikan tinggi, mahasiswa dan kaum muda terpelajar lainnya– menetap di kota-kota dan telah mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang telah dibuka oleh pemerintah Belanda di Nederlandschindie. Kaum terdidik dan telah tercerahkan ini kemudian melakukan perubahan dalam cara, serta menjalankan strategi perlawanan yang berbeda dengan yang telah dilakukan para pendahulunya. “Warga terdidik-tercerahkan ini melakukan penentangan-perlawanan dengan menggunakan strategi rasional, strategi otak dengan senjata yang tentu saja bukan dengan kelewang dan bedil, melainkan senjata organisasi, ideologi, media massa dan dialog”. Di sini, kita melihat mulai masuknya pers sebagai alat pencapaian idealisme perjuangan.

Organisasi yang dianggap terbentuk paling awal ialah Boedi Oetomo yang dibentuk 20 Mei 1908. Terpicu oleh kelahiran Boedi Oetomo, secara berangsur lahirlah sejumlah organisasi dengan dasar dan tujuannya masing-masing.

Sejalan dengan pembentukan organisasi-organisasi itu, kaum pergerakan ini pun mengenal ideologi perjuangan mereka. Setiap organisasi mempunyai landasan-anutan ideologi tertentu seperti Nasionalisme, Islamisme, Marxis-Komunisme, Sosialis-Demokrat, Nasionalis-Marhaenis dan lain-lain. Organisasi-organisasi itu di antaranya adalah Indische Partij, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia Raya (Parindra) dan lain sebagainya.

Dengan terbentuknya organisasi-organisasi itu, perlawanan memasuki Periode Pergerakan Nasional 1908-1942. Pena dan media massa menjadi senjata perlawanan perjuangan dalam periode sejarah Indonesia modern tersebut. Gagasan tentang perumusan diri, persatuan dan ‘menjadi Indonesia’ disebarkan melalui tulisan di media-media massa. Kegiatan penulisan meluas dengan cepat dalam periode itu. Berdasarkan data dari M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia, pada tahun 1918 telah terbit kurang lebih 40 suratkabar, sebagian besar berbahasa Indonesia; Tahun 1925 terbit sekitar 200 suratkabar dan pada 1928 terbit kurang lebih 400 harian, mingguan dan bulanan. Dalam periode pergerakan nasional itu, para pemimpin tampil sebagai penulis untuk menyebarkan gagasan-gagasannya ke tengah-tengah masyarakat bangsanya melalui media massanya masing-masing. Salah seorang di antaranya, Soekarno, dalam zaman penuh gagasan itu, melontarkan ide menciptakan persatuan di antara kekuatan-kekuatan golongan nasionalis dengan kekuatan Islamis dan Marxis-Komunis. Gagasan itu dikemukakannya melalui artikel yang dituliskannya dalam majalah Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926 tatkala ia masih berusia 25 tahun. Di dalam perkembangannya kemudian setelah ia masuk ke dalam kekuasaan negara di masa Indonesia merdeka, khususnya dalam periode demokrasi terpimpin 1959-1965 gagasan itu kembali dirumuskan dan menjadi ‘ideologi’ utama dengan penamaan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis).

Selain dengan pena, dialog juga menjadi salah satu senjata perjuangan dalam pergerakan nasional. Banyak yang tercapai melalui dialog di antara para pemimpin bangsa dalam merumuskan diri sebagai satu bangsa yang bersatu dan akan berjuang menjadi satu bangsa merdeka. Namun sayangnya, selain keberhasilan perumusan untuk bersatu, dalam periode itu pula tercipta satu per satu titik-titik perbedaan yang tak sempat dituntaskan sehingga tak sedikit di antaranya yang kelak di kemudian hari menjadi batu sandung bagi proses mempertahankan persatuan bangsa justru setelah Indonesia merdeka.

Pertemuan kecerdasan dengan ilmu komunikasi, dan pertemuan fungsi pers dengan demokrasi. Tentu merupakan suatu hal yang menarik ditelaah, kenapa setelah hampir dua setengah abad ‘mengenal’ dunia pers untuk pertama kali, barulah manusia di Nusantara ini mampu menggunakannya sebagai senjata perjuangan menghadapi kaum penjajah.

Penerbitan pers pertama di Nusantara, di kota Batavia, adalah pada tahun 1676, berupa suatu berkala bernama Kort Bericht Europa (Warta Singkat Eropa). Pada masa-masa berikutnya menyusul berbagai jenis penerbitan berkala lainnya, majalah dan akhirnya koran pertama yang terbit di Batavia, Bataviasche Koloniale Courant pada tahun 1810. Karena penerbitan-penerbitan itu berbahasa Belanda, ia menjadi asing bagi mereka yang disebut kaum ‘pribumi’. Selain itu, isinya juga mengutamakan catatan-catatan situasi yang menjadi kebutuhan masyarakat Belanda sendiri, khususnya untuk kepentingan penguasa Belanda, apalagi memang media-media pers itu hingga seberapa lama hanya boleh diterbitkan oleh pemerintah. Sejak tahun 1836, swasta Belanda, atau partikulir, mulai diizinkan ikut mengelola penerbitan dengan berbagai persyaratan ketat. Sempat juga terjadi gejala yang membuat gerah pemerintah kolonial saat beberapa media mulai menurunkan tulisan yang bersifat kritik antar pejabat, tatkala berlaku semacam sistem ‘otonomi daerah’ dalam pemerintahan kolonial.

Sebuah koran dari pemerintah untuk ‘pribumi’ Indonesia muncul bulan Maret 1855 dengan menggunakan bahasa Jawa, Bromartani di Surakarta. Meskipun demikian, tetap saja tidak menjangkau kalangan akar rumput, melainkan hanya ditujukan kepada kaum priyayi Jawa yang mengabdi dalam tata kekuasaan kolonial. Kesempatan untuk terbitnya suatu media dari ‘pribumi’ untuk ‘pribumi’ akhirnya muncul di tahun 1903, bernama Medan Prijaji dengan Pemimpin Redaksi Raden Mas Tirto Adisoerjo. Mula-mula terbit di Bandung sebelum berpindah ke Jakarta. Koran pribumi ini mencantumkan semboyan “Orgaan bagi Bangsa jang terperintah di Hindia Olanda, tempat memboeka soearanja”. Koran ini lebih dulu terbit dari yang kemudian diterbitkan Boedi Oetomo. Dalam konteks idealisme dan kesadaran sebagai bangsa terjajah yang harus merubah nasib, Medan Prijaji, merupakan tonggak ancang-ancang bagi kelahiran pers perjuangan kebangsaan beberapa tahun kemudian.

Bahwa dibutuhkan dua abad lebih sebelum ‘pribumi’ terjun ke dunia pers, selain karena pemerintah kolonial Belanda memang tak membuka kesempatan untuk itu, juga tak lain terutama karena tak dimilikinya kesempatan untuk mencerdaskan diri di kalangan pribumi. Barulah setelah dijalankannya etische-politiek, yang membuka kesempatan terbatas bagi kalangan atas pribumi, secara berangsur-angsur muncul lapisan kaum terdidik dan tercerahkan. Produk-produk pertama hasil terbukanya kesempatan pendidikan itu mulai terasa kehadirannya pada awal abad 20, dan dengan segera menunjukkan dampak berupa bangkitnya kesadaran sebagai satu bangsa yang pada saatnya harus memerdekakan diri. Telah terjadi pertemuan antara kecerdasan dan ilmu komunikasi. Sekaligus, pers Indonesia menemukan satu identitas dari suatu latar belakang historis sebagai pers perjuangan. Dalam penamaan itu semestinya terkandung prinsip kebenaran sebagai sumber keadilan bagi rakyat banyak, dan penempatan diri sebagai kekuatan pembaharuan dan pencerahan.

Dalam perkembangannya kemudian dalam paruh pertama abad ke-20, tumbuh persepsi dan atau keyakinan pentingnya posisi pers dalam kehidupan demokrasi. Pers diyakini merupakan kekuatan keempat dalam demokrasi selain tiga kekuatan lain, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif. Sebagai pilar demokrasi, keempatnya bekerja dalam satu sistem yang memiliki hubungan saling mengawasi. Keempatnya secara normatif bekerja untuk kepentingan rakyat sebagai dasar dari eksistensi demokrasi.

Sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi itu, dengan sendirinya pers berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, tanpa sistem kontrol yang baik segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Berlanjut ke Bagian 2