Tag Archives: SBY

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Aburizal Bakrie

PERJUANGAN Aburizal Bakrie mengejar ‘mandat langit’, cukup berkemungkinan menjadi kisah ‘kemalangan politik’ bagi dirinya maupun bagi partai yang dipimpinnya. Ini terkait dengan berbagai peristiwa ‘kalah’ langkah tokoh-tokoh Golkar di pasar ‘dagang sapi’ politik. Tetapi jangan salah, dengan makin mencuatnya begitu banyak fakta bahwa Pemilihan Umum legislatif yang baru lalu ini ternyata kacau balau luar biasa –karena massivenya perilaku manipulatif para pelaku politik–  maka 50 berbanding 50, secara keseluruhan justru politik Indonesia yang berpeluang berubah menjadi kemalangan dan tragedi kenegaraan sesungguhnya.

Suatu salah penanganan akan menggelindingkan proses delegitimasi menuju ketidak-absahan pemilu, yang berakhir sebagai suatu chaos politik. Belum tentu bisa dibendung. Suatu gelanggang ‘permainan’ (politik) yang penuh ‘penjahat’ (politik) dengan sendirinya akan lebih berkemungkinan sepenuhnya menjadi dunia ’kejahatan’ (politik) sejati. Ini memerlukan suatu ulasan dan analisa tersendiri dalam suatu kesempatan tersendiri.

ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. "Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh."
ARB DAN PRABOWO DALAM TEMPO. “Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh.”

HINGGA hitungan hari menjelang batas pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, 18-20 Mei 2014, baru dua calon Presiden yang mendekati kepastian pencalonannya, yaitu Joko Widodo (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Tapi siapa calon Wakil Presiden dan partai-partai mana yang akan berkoalisi dengan keduanya, meski mulai mengerucut, puncak kerucutnya belum betul-betul lancip. Tawar-menawar di pasar politik belum final. Berkali-kali sudah tiba pada suatu keadaan seakan-akan final, tetapi hanya dalam hitungan hari bahkan hanya dalam hitungan jam, berubah lagi.

Pekan lalu, misalnya, seakan-akan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie (Golkar) segera berkoalisi. Namun, belum lagi jelas siapa yang menjadi Presiden dan siapa menjadi Wakil Presiden, terberitakan bahwa pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (PAN) lah yang lebih mengerucut. Dengan demikian, Aburizal seakan-akan menjadi terkatung-katung. Jangankan menjadi Presiden, kursi Wakil Presiden pun kini menjauh darinya.

Lalu, Jokowi. Dalam berita, Jokowi bukan hanya mendua, tetapi diberitakan punya tiga calon Wakil Presiden. Salah satunya, Muhammad Jusuf Kalla –tokoh yang paling lanjut usianya dalam bursa kepemimpinan nasional kali ini, dan mungkin kandidat tertua sepanjang sejarah politik Indonesia– mantan Wakil Presiden, mantan Calon Presiden dan mantan Ketua Umum Partai Golkar. Secara khusus menyangkut JK, perlu pula dicatat bahwa di internal PDIP bukannya tak ada kekuatiran tentang potensi Wapres JK bertindak ‘melampaui’ Presiden Jokowi kelak. Sama dengan yang pernah dialami SBY 2004-2009. Dua calon lainnya, Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang didukung PKB, dan Abraham Samad yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua KPK. Dengan berita itu, beberapa nama lain yang disebut-sebut sebelumnya, telah tersisih. Misalnya dua purnawirawan jenderal, yakni Ryamisard Ryacudu dan Luhut Binsar Pandjaitan, meski keduanya memenuhi kriteria ‘luar Jawa’ yang disebutkan Jokowi beberapa waktu lalu.

LALU dalam situasi apa Aburizal berada? Pekan lalu, pertemuannya dua kali berturut-turut dengan Prabowo Subianto, menimbulkan spekulasi seakan-akan segera mewujudnya duet ARB dengan Prabowo. Kalau kini spekulasi itu sudah ditenggelamkan oleh suatu spekulasi lain, berarti Aburizal masih ‘sendiri’. Berpasangan dengan Golkar –yang menurut hitungan resmi KPU menempati urutan perolehan suara kedua terbesar, sebesar 18.432.312 suara atau 14,75 persen dari seluruh suara pemilih– tampaknya tidak begitu menarik. Masih kalah daya tariknya dibandingkan Gerindra yang ada di urutan ketiga dengan perolehan 14.760.371 (11,81 persen).

Setidaknya ada empat sebab penting yang menurut kalkulasi partai lain tidak menguntungkan bila berkoalisi dengan Golkar. Pertama, khalayak politik tahu, bahwa walau terlihat solid di etalase kehidupan politik, Golkar sebenarnya rapuh kekompakannya. Setidaknya ada tiga faksi yang dalam banyak hal berbeda ‘kemauan’ di tubuh Golkar, yaitu faksi ARB, faksi Akbar Tandjung dan faksi JK. Ditambah sisa-sisa faksi Golkar putih. Faksi JK sebenarnya adalah suatu faksi yang mirip kembang anggrek yang dulu berhasil dicangkokkan di batang pohon Beringin melalui Munas Golkar Desember 2004 di Denpasar. Anggrek adalah tanaman epifit, memang tidak ‘mengisap’ makanan dari tempat tumpangan, namun menciptakan peluang hidup yang aman di sana. Faksi dengan analogi epifit ini kemudian ditumbuh-suburkan 2004-2009, di masa Jusuf Kalla merangkap jabatan Wakil Presiden RI dengan jabatan Ketua Umum Golkar. Sepanjang catatan Sudharmono SH saat dirinya menjadi Ketua Umum Golkar 1983-1988, Muhammad Jusuf Kalla berada dalam struktur Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 Hal kedua yang membuat Golkar tidak menarik diajak berkoalisi, adalah fakta bahwa elektabilitas figur ARB tidak cukup tinggi. Kalah oleh beberapa tokoh lainnya. Selain itu, pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Golkar, dianggap lebih merupakan hasil faitaccompli internal. Bukan melalui mekanisme konvensional partai tersebut. Tentu tidak aman dan tidak nyaman berkoalisi dan atau berpasangan dengan suatu keluarga besar atau seseorang yang memiliki masalah internal. Apalagi, partai-partai yang ada saat ini pada umumnya sangat mengutamakan faktor keamanan benefit dan keuntungan dari suatu persekutuan, bukan untuk berbagi kesulitan.

Berikutnya, sebagai faktor ketiga, tokoh-tokoh lingkaran terdekat ARB dianggap telah mengisolasi Aburizal dari persentuhan dengan berbagai kelompok lain yang bisa memperkaya visi politik dan kepemimpinannya sebagai Ketua Umum sebuah partai besar. Termasuk mengisolasi Aburizal ‘Ical’ Bakrie dari kelompok teman-teman perjuangannya di masa lampau di Bandung (dan Jakarta) yang banyak di antaranya punya kualitas prima dalam berbagai pergerakan sosial-politik dan profesi. Dan di lain pihak, lingkaran baru itu justru tidak punya kemampuan melakukan manuver politik dengan kualitas yang dibutuhkan sebuah partai sekaliber dan seberpengalaman Golkar yang telah berusia setengah abad. Banyak kalangan di lingkaran ‘baru’  di sekitar ARB disindir sekedar berfungsi sebagai penggembira atau pengiring arak-arakan karnaval saja.

Pilihan Golkar dan ARB beserta lingkaran politiknya untuk tiba-tiba menggunakan isu kejayaan masa lampau Golkar bersama Soeharto, sebagai salah satu bahan kampanye Pemilihan Umum yang baru lalu, menyisakan suatu tanda tanya besar. Kenapa Golkar dan ARB tiba kepada pilihan seperti itu? Padahal, seperti halnya dengan ketokohan Soekarno, rakyat Indonesia masih mendua mengenai ketokohan Soeharto. Butuh waktu lama untuk menjernihkan situasi dengan persepsi mendua terhadap dua tokoh itu. Kedua tokoh tersebut, adalah tokoh besar yang punya jasa besar terhadap bangsa dan negara di zamannya masing-masing, namun jangan dilupakan mereka pun masing-masing punya kekhilafan dan kesalahan besar saat memimpin negara. Dan itu sebabnya mereka diturunkan dari panggung kekuasaan.

Terakhir dan tak kalah pentingnya, peristiwa Lapindo dan penanganan penyelesaiannya yang berkepanjangan, telah menjadi beban yang harus dipikul dalam jangka waktu lama oleh Abrurizal Bakrie. Jika di awal peristiwa Aburizal bertindak cepat memberikan solusi tuntas, persoalannya mungkin lain. Khalayak menilai, bahwa Aburizal harus dipaksa-paksa dulu sebelum memberikan tanggung jawab. Itupun tidak tuntas.

KETIDAKBERHASILAN Partai Golkar untuk mencapai angka tinggi perolehan suara, juga disebabkan ketidakberhasilan menyampaikan hal-hal konseptual yang menawarkan solusi bagi pemecahan berbagai masalah nasional. Dalam bagian tertentu, Golkar melalui sejumlah kadernya justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Misalnya, dalam isu korupsi, tidak sedikit kadernya malahan menjadi sasaran isu korupsi. Tidak beda dengan Partai Demokrat, PKS atau bahkan PDIP sekalipun.

Iklan-iklan televisi yang gencar, tidak banyak menolong. Selain salah arah dan salah konsep, iklan-iklan sosialisasi Golkar maupun ketokohan ARB terlalu banyak mengandung solipsisme. Dalam beriklan dan berkampanye, ARB dan para petinggi Golkar terlalu mendasarkan diri pada “apa yang saya pikir tentang saya”. Mengabaikan “apa yang orang lain pikirkan mengenai saya” dan tidak berusaha mengolah “apa yang saya pikir mengenai pikiran orang lain tentang saya”. Tetapi pembawaan seperti ini bukan monopoli ARB dan para petinggi Golkar saja, melainkan juga menghinggapi sebagian terbesar tokoh yang sedang terobsesi dan mati-matian mengejar ‘mandat langit’ melalui suara rakyat.

PELUANG apa yang tersisa bagi Aburizal Bakrie? Peluang itu hanya bisa datang dengan suatu keajaiban politik, yang bisa tercipta antara lain bila upaya PDIP dan Gerindra mendadak gagal menyusun koalisi untuk menopang Jokowi maupun Prabowo Subianto menuju kursi RI-1. Minimal, gagal menemukan tokoh Wakil Presiden yang tepat untuk diri mereka masing-masing. Elektabilitas Jokowi maupun Prabowo tidak terlalu luar biasa untuk bisa membuat faktor siapa pendamping mereka masing-masing menjadi tidak penting. Pilihan tepat dalam menentukan pendamping, sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap keterpilihan mereka. Keajaiban politik seperti ini, di atas kertas memang tipis, tapi kita tidak bisa menebak ego ipso solus yang diidap para tokoh pimpinan partai yang ada saat ini dan keanehan apa yang bisa diakibatkannya. Contohnya, meskipun sudah menawarkan Mahfud MD, bukannya tak ada hasrat di tubuh PKB untuk memajukan Ketua Umum Muhaimin Iskandar sebagai calon Wakil Presiden. Dalam pada itu, siapa yang bisa mengatakan bahwa PDIP takkan mungkin mendadak mengajukan Puan Maharani misalnya, sebagai Wakil Presiden mendampingi Jokowi demi kelanjutan trah Soekarno?

Setipis-tipisnya peluang, Aburizal Bakrie dan Golkar juga masih mungkin bertemu di satu titik dengan Partai Demokrat yang sama ‘tertinggal’nya dalam tawar menawar di pasar politik ‘dagang sapi’. Partai Demokrat adalah peraih posisi keempat dalam perolehan suara dalam pemungutan suara 9 April yang lalu, 12.728.913 suara (10,19). Digabungkan dengan Golkar, relatif memenuhi syarat untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dua partai ini, banyak persamaannya, termasuk dalam menuai isu dan sorotan. Di tengah menipisnya peluang, menurut berita terbaru, Ical bertemu Jokowi di Pasar Gembrong, Johar Baru Jakarta Pusat, pada hari terakhir menjelang pendeklarasian koalisi bagi calon presiden dari PDIP itu. Ical sedang mencoba membuka satu peluang baru untuk dirinya? Atau memilih menjadi ‘king maker‘ saja bagi tokoh Golkar yang lain untuk kursi RI-2? 

NAMUN, terlepas dari semua itu, keajaiban politik yang sangat tidak diharapkan, tentu adalah terciptanya situasi chaos akibat kegagalan penanganan sengketa dan manipulasi dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Bila tidak hati-hati, itu bisa saja terjadi. (socio-politica.com)

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Prabowo Subianto

HINGGA sejauh ini, memasuki pekan ketiga setelah pemungutan suara pemilihan umum legislatif, terkesan kuat bahwa Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto berbagi peluang fifty-fifty dengan Jokowi untuk memenangkan kursi RI-1. Meskipun, tetap tak tertutup peluang bagi tokoh lainnya yang juga ikut ‘berburu’ mandat di medan yang sama. Apalagi, saat ini kegiatan negosiasi politik –tepatnya, mungkin aksi dagang sapi– untuk mencari pasangan koalisi berlangsung setengah rasional saja. Pertimbangan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara, cenderung dikalahkan oleh semata kalkulasi keuntungan subjektif partai dan kelompok politik masing-masing. Maka pencapaian pasangan Presiden-Wakil Presiden terbaik dan paling ideal –berdasarkan kemampuan dan kualitas tokoh– misalnya, sulit bahkan mustahil tercapai, karena perbedaan subjektivitas (kepentingan sempit) partai-partai pendukung.

LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. "Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya... Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998." (Sumber foto, Tempo)
LETNAN JENDERAL PRABOWO SUBIANTO. “Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya… Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998.” (Sumber foto, Tempo)

            Walau memiliki peluang yang relatif sama, Jokowi dan Prabowo, memiliki perbedaan ketokohan yang diametral berbeda. Prabowo masih cukup beraroma tentara dan tergolong agresif, sementara Jokowi masih ‘cukup Jawa’. Dan ada lagi satu perbedaan yang sangat menonjol di antara keduanya. Bila Prabowo Subianto memiliki begitu banyak ‘sejarah’ –baik yang menguntungkan maupun yang kontroversial dan bisa menjadi beban– maka sebaliknya, Jokowi minim ‘sejarah’ yang diketahui publik. Orang hanya mengetahui bahwa Jokowi pernah menjadi Walikota Solo yang prestasinya sempat diapresiasi oleh sebuah lembaga internasional sebagai salah satu walikota yang termasuk terbaik di dunia.

Di Jakarta, orang masih harus menunggu bukti prestasi Jokowi sebagai Gubernur DKI yang baru seumur jagung. Tetapi kedekatan dan pendekatannya terhadap rakyat dalam tempo singkat bisa cukup mempesona, karena dianggap banyak berbeda dengan gaya kepemimpinan (yang menjemukan, menjengkelkan dan mengecewakan) para penguasa selama ini. Namun pesona itu juga sekaligus membangkitkan ekspektasi yang luar biasa tinggi, sehingga juga dibayangi oleh kemungkinan kekecewaan yang juga luar biasa besarnya nanti bila ia salah langkah. Katakanlah, ia berhasil memenangkan ‘mandat langit’ dari rakyat –yang secara retoris digambarkan sebagai penyampai suara Tuhan di bumi– tetapi kemudian tidak bisa segera memenuhi tuntutan ekspektasi rakyat, bisa diperkirakan apa yang terjadi. Mungkin ia akan menghadapi gelombang ‘kemarahan’ yang lebih besar, karena ini merupakan kekecewaan kedua rakyat terhadap pemimpin yang berhasil merangsang ekspektasi tinggi. Belum lagi manuver dari partai politik lainnya, bahkan manuver akrobatik internal partai pendukung utamanya sendiri, PDIP.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pertama pemicu ekspektasi tinggi berkat ‘keberhasilan’ politik pencitraannya. Terhadap periode pertama kepresidenannya, rakyat masih mendua sikap. Tapi terhadap periode keduanya, ia memicu kekecewaan lebih besar. Untuk sebagian, tercermin dari nyaris gagalnya Partai Demokrat mempertahankan eksistensi. Hanya faktor x di tengah pelaksanaan pemilihan umum 2014 ini yang menolong partai tersebut untuk tidak terbanting jauh ke bawah. Apakah faktor x juga akan berhasil menolong partai SBY ini dalam keikutsertaan bermain pada arena pemilihan presiden mendatang ini, merupakan suatu tanda tanya tersendiri yang menarik dan perlu dicermati.

Prabowo dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Di antara ‘beban’ sejarah yang tak mudah dilepas dari pundak Prabowo Subianto, adalah kasus penculikan dan penghilangan aktivis kritis di masa kekuasaan mertuanya, Jenderal Soeharto. Peristiwa itu, sejauh ini masih separuh jelas separuh gelap. Kenyataannya, masih terdapat sejumlah orang yang dianggap diculik atas perintah Jenderal Prabowo Subianto, hingga kini belum jelas keberadaannya. Kemungkinan besar sudah tewas, namun tak pernah ditemukan jasadnya, seperti misalnya Dedi Hamdun suami artis film Eva Arnaz. Para keluarga korban penculikan dan penghilangan orang di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto itu, bisa bersiap-siap untuk acara penguburan kasus kejahatan atas HAM itu, bila Prabowo Subianto yang berhasil menjadi Presiden RI mendatang.

            Upacara ‘penguburan’ yang sama juga akan terjadi untuk upaya pengungkapan teka-teki kejahatan kemanusiaan berupa kekerasan fisik dan perkosaan dalam Peristiwa Mei 1998. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto. Nama mereka, dalam konteks peristiwa tahun 1998 itu, juga sempat disinggung Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan dalam buku biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009).

            Namun, ‘beban’ sejarah yang paling berat, tentu adalah ‘percobaan kudeta’ yang sempat akan dilakukannya terhadap Presiden BJ Habibie masih di hari pertama setelah dilantik sebagai Presiden, 22 Mei 1998. (Baca juga, Indonesia 2014: Dari Anomali ke Anomali, socio-politica.com, March 4, 2014). Sejak Habibie bertambah dekat dengan Soeharto –yang sering dipujinya sebagai SGS, Super Genius Soeharto– ia banyak ‘dimusuhi’ lingkaran Soeharto lainnya, termasuk kalangan arus utama militer. Tetapi Letnan Jenderal Prabowo –menantu Soeharto– justru memberikan dukungan di tengah kelangkaan kepada kehadiran Habibie di lingkaran Soeharto. Untuk ini Prabowo menjadi bagian dari hanya sedikit kalangan jenderal yang bersedia menjalin kedekatan dengan teknolog pesawat terbang itu. Dukungan Prabowo dan sedikit saja dari kalangan jenderal itu, toh cukup memadai untuk keberlangsungan gagasan-gagasan bidang iptek BJ Habibie di tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Lebih dari itu, secara menakjubkan, BJ Habibie yang juga memiliki sayap pendukung utama lainnya, yakni Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bisa memenangkan kesempatan dalam kompetisi calon Wakil Presiden bagi Soeharto untuk masa jabatan 1998-2003.

Semula berita upaya kudeta Mei 1998 dibantah Prabowo, tetapi setelah sekian tahun, mulai diakuinya meskipun sebagian dengan gaya bercanda. Kenapa akhirnya kudeta tak jadi dilakukan? Selain soal perhitungan taktis, agaknya peranan ayahandanya, Professor Soemitro Djojohadikoesoemo, sebagai faktor pencegah amat besar. Begawan ekonomi dengan pengalaman internasional itu pasti tahu betul bahwa bilamana puteranya yang Letnan Jenderal itu melakukan kudeta, ia akan ditolak dan dimusuhi oleh negara-negara barat yang suka atau tidak suka merupakan kekuatan penentu secara global. Dan mungkin saja, tindakan seperti itu bertentangan dengan hati nurani sang professor yang berlatarbelakang politik sosialis ‘kanan’ itu.

KERUSUHAN MEI 1998. "Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto." (foto download)
KERUSUHAN MEI 1998. “Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, yang melakukan penelusuran segera setelah peristiwa terjadi, antara lain memunculkan dugaan keterlibatan Prabowo Subianto dalam rangkaian peristiwa tahun 1998 itu. Bersama Prabowo, beberapa nama lain juga sejauh ini belum formal terungkap peranannya dalam kerusuhan Mei 1998 itu, meski telah disebut-sebut dalam laporan TGPF, yakni Mayor Jenderal (waktu itu) Sjafrie Sjamsuddin dan Jenderal Wiranto.” (foto download)

            Tentu menjadi pertanyaan, apakah seorang yang berlatarbelakang militer agresif, dan pernah mencoba melakukan kudeta, bisa merubah dan membentuk kembali dirinya sebagai seorang Presiden di suatu negara yang berkeinginan membangun supremasi sipil berdasarkan sistem demokrasi? Apalagi dengan belajar dari ketidakberhasilan seorang militer seperti Susilo Bambang Yudhoyono yang untuk berubah menjadi pemimpin sipil memerlukan terlalu banyak kompromi dan persuasi yang  sering salah tempat dan salah waktu?

            Kecemasan BJ Habibie, Mei 1998. Menurut Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Prabowo datang ke Istana pukul 15.00 Jumat 22 Mei 1998, setelah mendengar dari Fanny Habibie –adik kandung BJ Habibie– bahwa dirinya dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Prabowo datang ke Istana mengendarai tiga mobil Landrover bersama 12 orang pengawalnya. “Bagi Prabowo masuk ke Istana tidak menjadi masalah, karena cukup banyak perwira Pasukan Pengamanan Presiden yang mengenal dirinya. Namun pada waktu Prabowo masuk, para petugas agak tegang.” Berdasarkan prosedur, para tamu presiden harus menunggu dulu di lantai dasar, untuk diperiksa dan ‘disterilkan’. Tapi, Prabowo langsung naik lift menuju lantai 4, tanpa ada petugas yang berani mencegahnya.

Mendengar laporan mengenai apa yang dilakukan Prabowo, penasehat militer presiden, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan memberi perintah kepada petugas agar mencegah Prabowo yang bersenjata lengkap masuk ke ruang presiden sebelum dirinya memberi izin. Sintong dengan cepat menganalisis kedatangan Prabowo siang itu, terkait dengan pencopotan dari jabatan Panglima Kostrad. Menurut Sintong, “terdapat tiga kemungkinan; yaitu pertama, Prabowo akan menerima; Kedua, ia akan menawar; Dan ketiga, ia akan menolak perintah.” Padahal, dalam kamus militer sebenarnya hanya ada satu pilihan, yaitu siap melaksanakan perintah. Sintong juga menganggap sangat janggal bila dalam situasi semacam itu Presiden BJ Habibie harus berhadapan dengan Prabowo yang bersenjata lengkap.

Sintong memerintahkan perwira petugas agar meminta dengan sopan dan hormat pada Prabowo untuk menyerahkan senjatanya. Dalam waktu yang sama disiapkan petugas berpakaian preman tapi bersenjata lengkap di lantai 4 untuk menurunkan Prabowo dengan paksa ke lantai dasar seandainya ia menolak menyerahkan senjatanya. Ternyata, Prabowo tidak berkeberatan menyerahkan senjatanya –pistol yang tertambat di kopelrimnya, magasen peluru, pisau rimba dan beberapa peralatan lainnya– kepada petugas.

Baik BJ Habibie maupun Sintong Panjaitan, kelak di kemudian hari menceritakan dalam bukunya masing-masing, apa yang terjadi dan apa yang dibicarakan dalam pertemuan di ruang presiden sore itu. Namun penuturan-penuturan itu tidak cukup lengkap menggambarkan beberapa momen penting yang terjadi, dan bagaimana sesungguhnya BJ Habibie ‘memahami’ dan memaknai esensi insiden itu. Akan tetapi, mungkin tidak banyak diketahui, bahwa hanya dalam hitungan satu atau dua jam sesudahnya Presiden BJ Habibie meminta waktu bertemu di suatu tempat dengan seorang duta besar negara barat (Eropa) yang cukup penting, yang saat itu bertugas di Indonesia.

Dalam pertemuan dengan duta besar itu, BJ Habibie menyampaikan kecemasan-kecemasannya tentang apa yang telah dan mungkin akan dilakukan Letnan Jenderal Prabowo pasca peristiwa sore itu di Istana. Agaknya, BJ Habibie menyampaikan sejumlah curahan hati, serta, katakanlah semacam permintaan terkait keamanan dan keselamatannya. Sang duta besar menangkap adanya kecemasan yang cukup berkadar tinggi dari BJ Habibie, terhadap ancaman yang diucapkan maupun tersirat dari bahasa tubuh Prabowo Subianto kala itu. Sang duta besar bisa memahami dan menganggap pantas bila BJ Habibie sangat cemas setelah pertemuan dengan Prabowo itu.

Tapi bagaimana sesungguhnya, tingkat kecemasan BJ Habibie dan bagaimana ia menilai tingkat potensi bahaya yang ada saat itu, tentu hanya BJ Habibie sendiri yang paling mengetahui. Mungkin BJ Habibie perlu membagi informasi peristiwa 22 Mei 1998 itu, dan bagaimana ia menilai sosok Prabowo Subianto sebagai seorang pemimpin yang kini menjadi salah satu tokoh yang berkemungkinan menjadi seorang Presiden melalui Pemilihan Umum Presiden 9 Juli mendatang. Itu akan menjadi masukan berharga bagi para calon pemilih, terkait masa depan bangsa dan negara ini. Tanpa informasi dan konfirmasi yang lebih lengkap dan terbuka, mungkin publik hanya bisa meraba-raba apa yang dimaksud BJ Habibie dengan kriteria Presiden Indonesia mendatang, yang menurutnya sebaiknya adalah tokoh muda. Apakah BJ Habibie sedang mengisyaratkan suatu bahaya bila tokoh-tokoh ‘senior’  tertentu yang ada saat ini dibiarkan menjadi Presiden, termasuk Prabowo? Prabowo memang masih berpenampilan muda, namun usiaya jelas bukan muda lagi. (socio-politica.com)

*Tulisan ini samasekali tidak terkait dengan tujuan pendiskreditan tokoh. Dasar utama semata-mata menggali informasi yang benar tentang tokoh. Tulisan berikutnya, mengenai tokoh-tokoh lainnya yang sedang disiapkan atau mempersiapkan diri dalam proses mencari ‘mandat langit’ dari rakyat, baik sebagai presiden maupun sebagai wakil presiden.

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (2)

PARTAI Demokrat –yang dideklarasikan kelahirannya 19 Agustus 2001, dan kini menjelang usianya yang ketigabelas– adalah bagaikan bintang yang sebenarnya kecil tetapi sempat ‘sejenak’ bersinar sangat terang di langit yang biru. Sayangnya, mungkin kini sedang berproses menjadi sebuah bintang jatuh, kecuali ada keajaiban politik di tahun 2014 ini. Begitu banyak masalah yang melanda tubuh partai ‘milik’ SBY itu. Mulai dari perilaku korup dan mempan gratifikasi sampai kepada konflik internal –yang satu dan lain sebab diakibatkan pola rekrutmen kader dan kepemimpinan yang terkesan serba dadakan diwarnai model jalan pintas atau loncat pagar.

            Rekrutmen yang melahirkan kaum opportunis. Model jalan pintas dan atau loncat pagar seperti itu membuat sejumlah kader yang tergolong pendiri Partai Demokrat, seperti Sys NS misalnya, terpental keluar. Pola rekrutmen yang sangat terbuka dalam waktu secepat-cepatnya, dengan risiko tingginya heterogenitas, memang menjadi ciri sebuah partai (baru) yang ingin membesar dengan cepat. Partai jenis ini mau tak mau menghindari pola seleksi ketat, bahkan sebaliknya sangat cenderung secara aktif melakukan rekrutmen, khususnya terhadap tokoh-tokoh yang secara instan sudah siap, populer, punya ketokohan, punya jam terbang di organisasi maupun partai lain, atau dianggap sudah punya konstituen memadai.

JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY..... Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus." (download sadandunia)
JENDERAL SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial, muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus ….. Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus.” (download sadandunia)

Kelemahan utama dari suatu pola rekrutmen cepat untuk membesarkan partai, adalah turut masuknya pemburu kepentingan dan bahkan juga kaum opportunis (yang gemar pindah-pindah partai) ataupun politisi luntang-lantung. Kader-kader model seperti inilah yang biasanya menjadi pembuat masalah, karena orientasinya memang kepentingan pribadi bukan kepentingan partai, apalagi kepentingan bangsa dan negara. Kelemahan ini akan lebih diperkuat, karena partai yang ingin bertumbuh cepat, pada waktu memacu diri menyongsong pemilu memiliki kecenderungan abai dan tidak menyempatkan diri melakukan konsolidasi kualitatif.

Selain ketokohan, berlaku pula syarat lain yang tak tertulis, yakni sebaiknya sudah mapan secara ekonomi. Tapi untuk syarat khusus yang terakhir ini, pada umumnya partai gagal dalam eksplorasi maupun pemanfaatan. Para pemilik akumulasi dana, pada awalnya akan menjadi kontributor yang cukup membantu, namun tak diperlukan waktu yang lama membalikkan keadaan, partai dimanfaatkan sebagai alat mengorganisir aksi memulung proyek pemerintah dan fasilitas ekonomi lainnya. Akhirnya menimbulkan masalah. Tapi jangankan tokoh-tokoh tipe seperti ini, tokoh-tokoh hasil rekrutmen karena ketokohan di organisasi atau partai lain, atau memiliki konstituen potensil, pun bisa menjadi sumber masalah. Biasanya, karena mereka gerak cepat dalam positioning di partai barunya, cenderung terjadi friksi dengan kader yang lebih dulu masuk. Walau, untuk partai seusia Partai Demokrat, sebenarnya ‘jam terbang’ para kader relatif beda-beda sedikit saja satu sama lain.

Salah satu tokoh muda yang bergabung dengan Partai Demokrat, tetapi tidak turut serta sebagai pendiri, adalah Andi Alifian Mallarangeng. Tadinya ia berduet dengan Dr Ryas Rasjid memimpin Partai Demokrasi Kebangsaan, pada Pemilihan Umum 1999. Sempat pula menjadi anggota KPU pada pemilu tersebut, sebelum ditarik SBY sebagai salah anggota lingkaran politiknya di pemerintahan dan kemudian di tubuh partai pendukung. Sejumlah ex kader partai lain juga bergabung di Partai Demokrat, seperti Hayono Isman dan Ruhut Sitompul dari lingkungan Partai Golkar. Namun yang lebih banyak bergabung, khususnya ketika partai itu memperlihatkan tanda-tanda akan atau telah bersinar, adalah orang-orang yang sebelumnya tak begitu dikenal sepak terjangnya di dunia politik.

Tapi, paling fenomenal adalah rekrutmen Anas Urbaningrum, Ketua Umum PB HMI1997-1999. Ia tak menyelesaikan periode kerjanya di KPU (dilantik 2001) karena mengundurkan diri 8 Juni 2005. Dan langsung direkrut sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Momen exitnya dari KPU sungguh ‘tepat’, karena tak lama sesudahnya KPU mendapat gempuran dahsyat terkait tindakan curang dengan lekatan penyelewengan dana. Sejumlah komisioner disorot keterlibatannya dalam tindak korupsi dalam jabatan, dan beberapa di antaranya berakhir di penjara. Beberapa lainnya selamat, meski juga disorot tajam. Dalam medan rumor dan isu, rekrutmen Anas oleh Partai Demokrat dihubung-hubungkan dengan jasa tertentu yang diberikannya untuk partai tersebut selaku anggota KPU.

KALAU ada partai yang begitu miripnya dengan Golkar masa Soeharto, itu tak lain adalah Partai Demokrat. Struktur organisasinya boleh dikata menyadur struktur Golkar. Saat Partai Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung meninggalkan pelembagaan dan penamaan Dewan Pembina, justru Partai Demokrat menggunakannya dalam struktur. Bila Ketua Dewan Pembina Golkar adalah Presiden Soeharto, maka Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah menteri asal Partai Demokrat, juga ditempatkan sebagai anggota Dewan Pembina. Kepengurusannya pun menggunakan model Golkar, yaitu DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah).

Tetapi celaka dua belas, sejumlah kader partai itu, terpeleset keliru meniru cara-cara penggalangan dana ala Golkar tempo dulu. Bedanya, bila penggalangan dana Golkar masa lampau lebih tersentralisir dan ketat mencegah kebocoran ke kantong pribadi fungsionaris partai, maka di Partai Demokrat berlangsung lebih ‘leluasa’ dengan berbagai improvisasi tapi rawan bocor. Kerahasiaannya pun lemah, gampang bocor. Satu persatu kader penting partai itu masuk dalam ranah penanganan KPK, mulai dari mantan Bendahara Umum Mohammad Nazaruddin, anggota DPR Angelina Sondakh sampai Ketua Umum Anas Urbaningrum dan anggota Dewan Pembina Andi Mallarangeng. Menyusul, keterlibatan atau penyebutan dugaan keterlibatan dalam berbagai kejahatan keuangan negara dari kadernya yang lain, baik yang di DPP maupun yang di DPR. Cukup banyak nama disebut, mulai dari Johnny Allen Marbun sampai yang terbaru Sutan Bathoegana. Bahkan, terkait erat dengan serial konflik internal, nama Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang lebih dikenal dengan panggilan Ibas dituding terlibat kasus Hambalang dan beberapa kasus lain oleh kelompok Anas Urbaningrum.

Pada serial konflik internal inilah, kepada publik akhirnya tersuguhkan kisah model Brutus yang di satu sisi dianggap pengkhianatan kepada Julius Caesar sang pemimpin. Tapi, di sisi lain juga bisa dianggap tindakan untuk mengakhiri penyimpangan kekuasaan sang pemimpin yang dilakukan oleh ‘anak-politik’nya sendiri. Penggunaan nama Brutus dalam konotasi “pengkhianatan”, dipinjam dari sejarah Roma klasik terkait peristiwa pembunuhan keroyokan ‘ides March’ tahun 44 sebelum Masehi oleh para Senator Roma terhadap Julius Caesar, pemimpin Republik Roma kala itu.

Menurut Theodor Mommsen, Julius Caesar –lahir 13 Juli SM, tewas 15 Maret 44 SM– adalah seorang negarawan tiada banding, creative genius satu-satunya yang dilahirkan Roma dan yang terakhir dari dunia lama. Saat terjun dalam kemiliteran, ia berhasil mengandalkan kegeniusannya untuk memecahkan berbagai masalah, kendati ia sebenarnya tak sempat terlatih secara profesional sebagai militer, karena sampai usia pertengahan tak tertarik kepada dunia kemiliteran. Saat terjun ke dunia politik –dan menjadi Konsul Roma– dihadapkan kenyataan harus berbagi dalam kekuasaan dengan para senator, diam-diam ia menjalankan berbagai upaya pelemahan Senat. Dan itu menjadi mudah karena sebagian terbesar senator kala itu sangat korup dan gampang disuap. Berikutnya, dengan memanfaatkan kaum berduit ia menjalankan politik uang, ‘membeli’ para hakim, dewan juri, sejumlah pemuka masyarakat berpengaruh, dan legiun-legiun militer. Tahun 45 SM ia menduduki posisi Konsul Ketiga dan pada tahun 44 SM diresmikan sebagai Diktator Abadi, atau penguasa seumur hidup. Tapi pada Maret tahun 44 SM itu ia tewas oleh belati Brutus dan kerumunan para senator lainnya.

Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 1998, 20 Mei, 14 menteri dari kabinet terakhir Soeharto –Ginandjar Kartasasmita dan kawan-kawan– melalui suatu pertemuan di Gedung Bappenas menghasilkan satu surat untuk disampaikan kepada Presiden, yang menyatakan menolak ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto. Dari sudut pandang Presiden Soeharto, apa yang dilakukan para menteri itu adalah perilaku para Brutus. Pastilah Jenderal Soeharto merasa terlukai oleh mereka yang untuk sebagian terbesar justru adalah orang-orang yang di’besar’kannya. Pada hari-hari itu memang Soeharto bertubi-tubi di’luka’i oleh sejumlah ‘anak’ politik dan kekuasaannya. Berturut-turut oleh Harmoko, Jenderal Wiranto dan BJ Habibie. (Baca juga, ‘Konspirasi’ Mei 1998: Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Soeharto; socio-politica.com, May 30, 2012).

Saat Presiden Soekarno dijatuhkan dalam suatu proses panjang tahun 1966-1967, adalah Jenderal AH Nasution dan Jenderal Soeharto serta sejumlah jenderal lainnya, berperan bagaikan para Brutus. Tentu, menurut perspektif Soekarno dan para pengikutnya. Dalam proses kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid, Kepala Polri Jenderal Bimantoro, Poros Tengah Amien Rais dan kawan-kawan, tokoh militer seperti Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bersama-sama ‘balik badan’ meninggalkan dirinya. Banyak di antara yang balik badan itu kemudian diakomodir Presiden berikutnya Megawati Soekarnoputeri. Pada umumnya, semua Presiden Indonesia sama-sama pernah mengalami ditinggalkan oleh orang atau kelompok yang pernah diberinya kesempatan bersama dalam pemerintahan, justru saat berada pada momen kritis akhir riwayat kepresidenan mereka. Meski, tak selalu disebabkan sikap opportunis dari mereka yang balik badan. Kelemahan dan kegagalan kepemimpinan maupun ‘ketidaksetiaan’ seorang tokoh pemimpin atau Presiden terhadap mereka yang dipimpinnya dalam menjalankan pemerintahan, di sisi lain juga bisa menjadi penyebab terjadinya ‘pengkhianatan’.

Dikelilingi para Brutus agaknya sudah merupakan salah satu ‘suratan nasib’ para Presiden di Indonesia. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dalam pengecualian nasib. Dalam suatu ‘diskursus’ melalui jaringan komunikasi di media sosial (kompasiana), muncul pandangan bahwa menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya yang ganti berganti melahirkan kebijakan-kebijakan atau pernyataan kontroversial dan melakukan kebohongan publik maupun manipulasi kekuasaan, pada hakekatnya adalah para Brutus di sekitar Presiden SBY. Kalau kriteria tersebut yang digunakan, jumlah para Brutus itu tidak sedikit. Baik dalam pemerintahan koalisi maupun di tubuh partai pendukung SBY.

Di tubuh Partai Demokrat, tak syak lagi, dari sudut pandang kelompok ‘loyalis’ SBY, apa yang dilakukan Anas Urbaningrum dan sejumlah kader pendukungnya –khususnya yang ber-almamater-kan HMI– adalah perilaku para Brutus. Tapi tentu, dari kelompok loyalis Anas ada ‘definisi’ dan terminologi yang berbeda. Saat Anas digusur keluar dari Partai Demokrat dan kemudian terseret dalam kasus Hambalang serta kasus berkategori korupsi lainnya, ada lontaran tentang keberadaan para Sengkuni di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pewayangan, hanya Prabu Suyudono yang menggunakan Sengkuni sebagai penasehat.

Per saat ini, tak henti-hentinya Anas dan kelompok pendukungnya melancarkan serangan tentang keterlibatan sejumlah kader partai maupun kalangan peripher SBY –khususnya Ibas sang putera– dalam berbagai korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Publik memperlihatkan tanda-tanda percaya terhadap apa yang dilontarkan Anas dan kawan-kawan, sekalipun pada sisi lain terdapat kesangsian kuat terhadap ‘kebersihan’ Anas –yang dengan poker face nyaris sempurna selalu tampil menjawab penuh ketenangan.

PUBLIK menanti kelanjutan lakon Brutus dan Julius Caesar –belati siapa yang lebih dulu menancap– maupun lakon Sengkuni dan Suyudono di tahun 2014 ini. (socio-politica.com).

Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1)

KENDATI memiliki banyak perbedaan kualitatif kepemimpinan, dalam sejarah perjalanan politik dan kekuasaan, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sejumlah persamaan dengan Jenderal Soeharto. Kedua tokoh tersebut, sama-sama bermasalah dalam jalannya kekuasaan dengan Presiden pendahulu mereka. Dan ketika berada di tampuk kekuasaan, mereka memiliki pengalaman mirip, harus menghadapi para ‘Brutus’ di sekitar dirinya dalam kekuasaan mereka. Belati para ‘Brutus’ berhasil menancap di tubuh Jenderal Soeharto, sementara para ‘Brutus’ di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mulai mengayunkan belati-belati mereka. Ini sedang menjadi cerita aktual masa kini. Mungkin saja akan memberi luka dan perdarahan, dalam masa-masa akhir kekuasaannya maupun pasca kepresidenannya nanti.

SBY DALAM COVER FEER. "Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009."
SBY DALAM COVER FEER. “Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009.”

Jenderal Soeharto ‘bermasalah’ dengan Presiden Soekarno sejak 30 September menuju 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan semi suksesi melalui Sidang Istimewa 7-11 Maret 1966 lalu suksesi sepenuhnya pada Sidang Umum IV MPRS Maret 1967. Melalui Sidang Umum IV itu, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pd Presiden, setelah mandat Soekarno dicabut sepenuhnya oleh MPRS.

Abdurrahman Wahid dan Megawati. Sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut bermasalah dengan dua presiden yang pernah menjadi atasannya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri. Tanggal 1 Juni 2001 ia didesak mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dari jabatan Menko Politik-Sosial-Keamanan, karena perbedaan penafsiran tentang keadaan darurat terkait konflik politik Presiden dengan DPR per saat itu. Menko Polsoskam itu menolak mengambil langkah-langkah khusus penertiban dan keamanan serta penegakan hukum dalam rangka Maklumat Presiden 28 Mei 2001. Dalam situasi konflik kala itu Dekrit Presiden –yang antara lain bertujuan membubarkan DPR– tak berhasil dilaksanakan karena tak adanya dukungan penuh dari institusi-institusi yang memiliki ‘kekuatan pemaksa’ seperti kepolisian dan para pimpinan militer. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro menolak menyerahkan posisi pimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kapolri baru.

Dekrit Abdurrahman Wahid 2001 berbeda ‘nasib sejarah’ dengan Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno yang selain didukung sejumlah partai politik besar, juga terutama ‘didukung’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.

Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono juga kemudian bermasalah dengan Presiden Megawati –pengganti Abdurrahman Wahid– yang telah mengangkatnya sebagai Menko Politik dan Keamanan 10 Agustus 2001. Pada tahun ketiga dalam jabatan tersebut, ia merasa tak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sekitar waktu yang sama, suami Megawati, Taufiq Kiemas berkali-kali melontarkan ucapan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap dirinya. Lebih dari satu kali ia tak lagi diundang ikut dalam rapat kabinet. Akhirnya, 11 Maret 2004 ia mengundurkan diri. Tetapi sebelum ‘meninggalkan’ Mega, sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono telah lebih dulu mempersiapkan ‘jalan baru’ dalam politik dan kekuasaan bagi dirinya. Lahirnya Partai Demokrat, merupakan bagian dari ‘jalan baru’ itu.

Semula, menurut cerita belakang layar yang banyak menjadi bahan perbincangan kalangan politik kala itu, pernah ada upaya menampilkan Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Tetapi Taufiq Kiemas –berdasarkan beberapa informasi yang diterimanya– meyakini Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam memiliki rencana sendiri menuju kursi nomor satu, dan tidak ingin sekedar menjadi orang nomor dua. Kecaman-kecaman Taufiq Kiemas yang mengalir setelah itu ke alamat Susilo Bambang Yudhoyono ditambah koinsidensi sikap ‘keras’ dan ‘dingin’ yang ditunjukkan Megawati, menimbulkan kesan penganiayaan politik terhadap figur sang jenderal. Citra teraniaya –seperti yang pernah dialami Megawati puteri sulung Soekarno dari rezim Soeharto dan terbukti menuai simpati dan dukungan publik– ternyata juga berhasil mengangkat simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono.

TAHUN 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal dengan akronim SBY, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri. Padahal, dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya di tahun yang sama, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, bukan peraih suara terbanyak. Sementara Muhammad Jusuf Kalla kala itu belum menjadi Ketua Umum Golkar dan Partai Golkar sendiri oleh Akbar Tandjung –Ketua Umum saat itu– diarahkan pada pilihan mendukung Megawati Soekarnoputeri. Untuk pilihan itu, Akbar harus berpisah jalan dengan beberapa rekannya yang juga menjadi tokoh teras DPP Golkar yang sama-sama mengelola ‘Golkar Baru’ pasca Soeharto, seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman.

Setelah meraih kursi Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, berhasil mengambil alih kepemimpinan Golkar melalui Musyawarah Nasional di Nusa Dua Bali, 19 Desember 2004. Meski Jusuf Kalla –seperti dikatakan Sudharmono SH– pernah berpaling ke PPP, kaum pragmatis di Golkar yang gamang bila tak terkait dengan tokoh yang punya jabatan tinggi dalam kekuasaan pemerintahan, tetap memilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2004-2009. Hampir semua tokoh yang pernah dipentalkan Akbar dari DPP sebelumnya, seperti Fahmi Idris, Burhanuddin Napitupulu dan beberapa lainnya terakomodasi dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla. Hanya Marzuki Darusman yang tak ikut.

Walau Marzuki sempat berbenturan dan beda paham dengan Akbar, sebaliknya ia tak sepenuh hati terhadap penokohan Jusuf Kalla di Golkar. Selama Munas di Nusa Dua itu, Marzuki yang juga berada di Bali sempat berkomunikasi dengan Akbar. Marzuki kala itu bahkan tampaknya masih ikut mengusahakan supaya Akbar Tandjung berlanjut sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bukan yang lain-lain –Wiranto, atau Jusuf Kalla. Munas Golkar di Nusa Dua, Desember 2004 –yang penuh aroma politik uang, tawar menawar dilakukan via sms, dan merupakan salah satu di antara perilaku politik yang terburuk dan vulgar di antara event serupa di tubuh Golkar– menghasilkan resultante DPP Golkar di bawah Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla.

MELALUI beberapa orang, agaknya Marzuki Darusman sempat mengalami jalinan komunikasi dengan SBY yang baru memenangkan kursi nomor 1 Republik Indonesia. Ini ada historinya. Bersama Fahmi dan lain-lain, dalam Pilpres 2004, Marzuki Darusman menolak pilihan politik Akbar Tandjung untuk membawa Golkar mendukung Megawati Soekarnoputeri. Dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya baru saja Golkar menggariskan kepada para kadernya untuk menempatkan PDIP sebagai saingan utama, tetapi hanya beberapa bulan setelahnya disuruh berbalik mendukung Mega dan PDIP. Sesuatu yang agaknya menurut Marzuki secara moral tak benar, walau bisa saja memenuhi kepentingan pragmatis dalam kehidupan politik yang opportunistik. Marzuki cenderung agar Golkar berjalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat SBY sebagai presiden baru mulai menghubungi para tokoh untuk diajak ikut dalam kabinetnya, dikabarkan Marzuki Darusman termasuk yang ditemui awal. Kuat dugaan kala itu bahwa SBY akan mengajak Marzuki bergabung, seperti halnya Fahmi Idris kemudian. Dalam kenyataan, Fahmi Idris ikut dalam kabinet pertama SBY, dan Marzuki tidak. Mungkin ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diceritakan suatu waktu, dikaitkan dengan selera SBY terhadap tokoh-tokoh yang diajaknya masuk kabinet. Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009. Tapi dalam pemilihan presiden berikutnya mereka tak melanjutkan duet, malahan bersaing.

Demi mayoritas kerja. Sebagai pemenang Pemilihan Presiden, Pemerintahan SBY yang tak punya mayoritas kerja di DPR membutuhkan koalisi, karena partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dianggap partai pendatang baru yang cukup cemerlang, kenyataannya hanya memiliki 56 dari 550 kursi DPR hasil Pemilu 2004. Partai Demokrat berada di urutan ke-4 di bawah Partai Golkar (127 kursi), PDIP (109 kursi) dan PPP (58 kursi). Hanya unggul sedikit dari PAN (53 kursi), PKB (52 kursi) dan PKS (45 kursi). Itulah sebabnya, demi mayoritas kerja dan keamanan jalannya pemerintahannya, dalam penyusunan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan kompromi, membagi kursi kabinet kepada sejumlah partai. Dalam keadaan seperti itu, ia berada di ruang pilihan sempit, tak bisa menjadikan aspek kualitatif sebagai faktor dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hak prerogatifnya terpaksa ‘dibagikan’ kepada partai-partai koalisi.

Dengan demikian, sejak awal memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa sepenuhnya mengharap loyalitas utuh, karena para menterinya untuk sebagian besar punya kesetiaan yang siap sewaktu-waktu mendua. Dan situasi itu berlanjut ke dalam masa kepresidenannya yang kedua, karena tak mampu keluar dari pola kompromi. Meski mengalami kenaikan perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, tetap saja Partai Demokrat tak bisa mencapai angka mayoritas kerja. Raihan suara mayoritas dalam Pemilihan Umum memang cenderung menjadi suatu kemustahilan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem banyak partai, the art of negotiation dalam pengertian yang dinamis, konstruktif dan beretika merupakan kebutuhan melekat. Tapi malang, pengalaman empiris menunjukkan betapa kebanyakan politisi Indonesia terbukti lebih pandai bersekongkol daripada berkompromi secara wajar dan terhormat.

Apakah situasi kesetiaan mendua dalam kabinet SBY, sewaktu-waktu bisa melahirkan perilaku mirip Brutus, merupakan pertanyaan tersendiri. Sejauh ini yang pernah terjadi, ada menteri dan mantan menteri yang menyatakan kekecewaan kepada sang Presiden. Dalam posisi dan kompetensi sebagai ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra (tokoh PBB), pernah mempersoalkan kekeliruan administratif Presiden terkait keberlanjutan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tahun 2009 bersamaan dengan pembentukan kabinet baru. Belum merupakan perilaku Brutus yang sesungguhnya. Namun, sedikit di luar perkiraan, para Brutus justru kemudian lahir di tubuh partai pendukung utama Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2 

Para Pemimpin Asia (Indonesia) Dalam Bayang-bayang Mistik

ADA cerita mistik dalam buku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, “Selalu Ada Pilihan” (Penerbit Buku Kompas, 2014) yang diluncurkan Jumat pekan lalu.

            SBY menulis, bahwa sekitar 2009, menjelang Pemilihan Presiden 2009, pada suatu Minggu pagi, Kristiani Herawati isterinya sedang membaca majalah di ruang keluarga. “Sedang saya beraktivitas di ruang perpustakaan.” Tiba-tiba sang isteri berteriak dan memanggil-manggil. “Saya segera berlari ke ruang tengah untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata ada asap hitam tebal dan berputar-putar di langit-langit dan di tengah ruangan itu. Asap hitam itu bergerak ke timur seperti ingin menerobos ke kamar saya.” Lalu, “Saya ajak mereka semua membaca surat Al-Fatihah. Saya sendiri melengkapinya dengan doa penolak bala dan kejahatan. Saya juga minta untuk menutup pintu kamar saya, dan sebaliknya membuka semua pintu yang ada. Apa yang terjadi, asap tebal yang berputar-putar itu bak ditiup angin yang kuat bergegas keluar dari rumah saya.” Akhirnya SBY bersama keluarga selamat dari peristiwa yang tergambarkan sebagai suatu serangan ilmu hitam yang misterius itu.

BUKU SBY 'SELALU ADA PILIHAN'. "Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)
BUKU SBY ‘SELALU ADA PILIHAN’. “Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)

Pilihan cerita mistis ini terdapat pada halaman 262 dari buku  yang seluruhnya  terdiri 807 halaman itu. Dan tentu ada pilihan bagi para pembaca: boleh percaya boleh tidak.

            EMPAT puluh empat tahun lalu, 9 November 1970, Majalah Time menulis, “Banyak pemimpin Asia yang sungguh sophisticated dan terdidik baik, akan tetapi pemimpin-pemimpin Asia itu acapkali melangkah satu tindak ke belakang ke alam metafisik, berhubungan dengan para peramal, menjalankan praktek ‘kebatinan’, berdukun dan sebagainya.” Time menyebut nama Jenderal Soeharto sebagai salah satu di antara nama dalam deretan pemimpin Asia yang ‘bergaul’ dengan dunia mistis itu.

            “Suatu waktu, saat Presiden Soeharto akan melakukan perjalanan ke luar negeri, ia terlebih dahulu menjalankan suatu ritual khusus. Soalnya, seorang dukun Indonesia meramalkan terjadinya suatu bencana yang akan menimpa negeri ini pada akhir 1970.” Lalu beberapa ekor kerbau disembelih, dipenggal hingga kepala khewan-khewan itu terlepas dari tubuh. Satu kepala ditanam di ujung timur pulau Jawa, dan satu kepala lainnya lagi ditanam di ujung barat Jawa. Dan sebegitu jauh hingga bulan November tahun itu belum ada bencana datang menimpa.

            Di negara-negara Asia seperti Indonesia, yang masyarakatnya masih kuat berpegang kepada tradisi-tradisi lama, tulis Time, bantuan dukun –atau bomoh di Malaysia– menenteramkan hati masyarakat. Pada saat yang sama, dalam hal tertentu pengaruh dukun pun juga memberi para pemimpin negeri itu perasaan lebih terjamin. Tepatnya, merasa memperoleh tambahan kekuatan batin.

            “Jenderal Soeharto seorang yang pragmatis. Tapi ia juga adalah seorang yang tumbuh di tengah Muslim, Hindu dan animisme di Jawa Tengah. Ia seringkali merancang strategi bersama kawan-kawan militernya di lapangan golf, mendengarkan pendapat ahli-ahli ekonomi yang baru pulang dari Amerika, dan mendengarkan berbagai laporan melalui tape recorder. Tetapi sebaliknya, Soeharto juga percaya kepada penasehat-penasehat spiritualnya. Semenjak masa mudanya, ia sudah berguru kepada guru mistik yang terkenal, Raden Mas Darjatmo, yang merangkap sekaligus sebagai dukun, ahli kebatinan dan ‘guru’. Soeharto biasanya mencari dukun ‘sepuh’nya itu bila berkunjung ke kampung halamannya di Wonogiri.”

            “Setelah meletusnya Peristiwa 30 September 1965, Jenderal Soeharto memimpin gerakan melawan rezim Soekarno, atas nasehat seorang dukun.” Dan atas nasehat seorang dukun lainnya, Soeharto tidak melakukan tindakan keras terhadap aksi-aksi mahasiswa di tahun 1970, melainkan memilih melakukan pertemuan beberapa kali untuk bertukar pikiran, hingga suasana mendingin. Aksi-aksi mahasiswa saat itu terfokus sebagai gerakan-gerakan anti korupsi.

            Dr Midian Sirait menuturkan dalam bukunya, ‘Revitalisasi Pancasila’ (Kata Hasta Pustaka, 2009), dalam suatu kunjungan ke Banten, pagi-pagi 10 Maret 1971, Presiden Soeharto “berenang melawan arus sungai Cisimeut yang cukup deras di wilayah Badui Banten dalam suatu semangat ritual Jawa.” Dinihari, Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Witono, memberitahu seluruh anggota rombongan agar tak mendekat ke tempat dilakukannya ritual itu. “Dalam bahasa yang simbolistik, khas Jawa, ditunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Soeharto tak gentar menghadapi semua persoalan, dengan melawan arus sekalipun.”

            Adapula cerita bahwa menurut Jenderal Soedjono Hoemardani –Aspri Presiden yang dikenal lekat dengan dunia spiritual– telah dilakukan sejumlah ritual di beberapa penjuru Nusantara yang dianggap tempat yang tepat untuk menanamkan paku-paku kekuasaan bagi Soeharto. Soedjono mengatakan, masa ‘melebihi’ seorang raja bagi Soeharto, akan berlangsung lama.

            Tapi Soeharto bukan satu-satunya pemimpin Indonesia yang ada dalam bayang-bayang mistik. Sejumlah tokoh pemimpin Indonesia lainnya, termasuk Soekarno dan Abdurrahman Wahid, masing-masing punya cerita dan penggambaran yang terkait mistik. Soekarno dimitoskan salah seorang kekasih Nyi Loro Kidul penguasa ‘Laut Selatan’. Sedang Abdurrahman dituturkan pernah melaksanakan ritual larungan di Pantai Selatan. Selain itu ia pernah menyebutkan bisa mengerahkan barisan jin untuk membantu dirinya.

            Soeharto menurut Time lebih lanjut, pun bukan satu-satunya pemimpin Asia yang hidup dalam bayang-bayang mistik. Para peramal mempunyai peranan menentukan di Thailand. Di tahun 1950an seorang pendeta Budha mengatakan kepada PM Thanom Kittikachorn bahwa ia ini akan menjadi Perdana Menteri sebanyak tiga kali. Terbukti bahwa Thanom memang bisa memasuki masa ketiga jabatan Perdana Menteri Thailand. Time juga memaparkan betapa elite militer Thailand sangat mempercayai ramalan-ramalan para astrolog dalam setiap gerakan militer mereka kala menghadapi gangguan keamanan yang banyak terjadi di wilayah perbatasan. “Raja Bhumibol Adulyadey adalah seorang raja yang modern. Meskipun begitu, ia tak pernah melakukan perjalanan bila para peramalnya belum menentukan waktu yang tepat bagi perjalanannya itu.”

            Malaysia adalah juga negeri yang tak kalah penuh dengan kisah mistik. “Untuk menangkal hujan agar jangan turun di saat ada perayaan, diperlukan bantuan seorang bomoh. Banyak pejabat pemerintah  yang membeli ‘air suci’ –holy water– dari para ahli kebatinan dengan harapan cepat naik pangkat. Menteri Tenaga Kerja Malaysia Tun V.T. Sambanthan secara tetap berembug dengan pendeta-pendeta Hindu untuk menentukan hari terbaik meresmikan suatu proyek baru.”

            Perdana Menteri Kamboja Lol Nol, diceritakan juga mempunyai ‘penasehat’, seorang pendeta bernama Mam Prum Moni. Seorang anggota National Assembly menyebutkan “Dia adalah orang yang paling penting bagi Jenderal Lon Nol.” Meskipun dengan kadar lebih rendah, Presiden Marcos dari Filipina juga percaya pada astrologi atau ilmu kebatinan (medium). Hanya PM Singapura Lee Kuan Yew yang menunjukkan perbedaan. Ia sama sekali menolak metafisika, menolak kekuasaan alam gaib.

            Adakah perubahan, khususnya di Indonesia, setelah empat puluh empat tahun, di saat alam pikiran manusia tentunya harus dan memang semestinya menjadi lebih rasional dan lebih modern? Pers melaporkan, bahwa menjelang proses pencalonan legislatif menyongsong Pemilihan Umum 2014 sejumlah orang mengalir ke tempat-tempat keramat untuk mencari berkah. Para dukun –dengan nama lebih keren, paranormal– juga sedang mengalami booming dalam ‘penjualan’ jasa. Tarifnya bisa fantastis, mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Terjadi pembodohan oleh orang yang sebenarnya ‘bodoh’ tapi cerdik, terhadap orang yang seharusnya ‘pandai’ tapi bodoh.

Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” Namun pada sisi lain, ia toh mengaku sebenarnya ragu-ragu menceritakan kejadian tersebut “karena bisa dituduh sebagai pemimpin yang tidak rasional atau bahkan dianggap percaya takhayul.” (socio-politica.com)

Cerita 1998 Jenderal Wiranto

PERISTIWA Mei 1998 sudah berlalu 15 tahun lebih. Namun ingatan tentang peristiwa itu masih cukup melekat dalam memori banyak orang. Selain itu, tersedia banyak catatan mengenai lika-liku jalannya ‘permainan’ di panggung politik kekuasaan maupun beberapa peristiwa belakang layar kala itu. Jadi, bilamana ada narasi yang dianggap berbelok, kemungkinan besar akan ada penyampaian koreksi dari mereka yang menjadi pelaku sejarah atau dari mereka yang mencatat peristiwa tahun 1998 tersebut.

            Ketika menulis tentang Kerusuhan Mei 1998 dalam konteks perbandingan dengan apa yang dialami Mesir saat ini, di Harian Kompas (1/8), Jenderal Purnawirawan Wiranto –yang saat peristiwa menjabat sebagai Menteri Hankam/Panglima ABRI– mendapat koreksi pelurusan. Aktivis mahasiswa 1998, Adian Napitupulu yang adalah Sekjen Perhimpunan Nasional  Aktivis 1998, menganggap Wiranto memberi semacam kesimpulan sesat yang jelas menuding mahasiswa sebagai pemicu kerusuhan dan penjarahan pada Mei 1998. “Padahal, fakta-fakta lapangan serta investigasi Komnas HAM menunjukkan rusuh Mei 1998 terjadi seperti dikomandoi, sistematis, terorganisasi, dilakukan orang-orang yang terampil dan kebal hukum.”

TRUK MILITER DALAM KERUSUHAN MEI 1998. "Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini." (foto download)
TRUK MILITER DALAM KERUSUHAN MEI 1998. “Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini.” (foto download)

            Situasi Mesir saat ini –setelah kejatuhan Presiden Mursi– menurut Wiranto pernah dialami Indonesia. “Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran di pelbagai kota yang menuntut mundur Presiden Soeharto. Konsentrasi ratusan ribu orang mengepung Ibu Kota. Kejadian bermula tanggal 13 Mei 1998, tatkala mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta tengah berkabung lantaran empat rekannya meninggal tertembak apara kepolisian saat berunjuk rasa pada 12 Mei 1998.”

            “Sebagian mahasiswa ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman. Iring-iringan kemudian menimbulkan konsentrasi massa di beberapa lokasi. Tanpa ada yang mengomando, konsentrasi massa pun bergerak. Situasi ini diikuti kelompok kerumunan lain sehingga terjadilah pergerakan massa di banyak lokasi. Dimulai dari kawasan Jalan Kiyai Tapa, Grogol, lalu Jalan Daan Mogot dan Jalan S. Parman, makin lama, kerumunan orang meluas. Mereka tak hanya bergerak, tetapi juga merusak dan menjarah.” Adian Napitupulu dalam tanggapannya, 3 Agustus, menyanggah Wiranto. “Peristiwa di depan Universitas Trisakti sehari setelah penembakan mahasiswa Trisakti jadi bukti tidak ada relevansi antara aksi mahasiswa tanggal 13 Mei 1998 dan kerusuhan Mei 1998. Ribuan mahasiswa dari beberapa kampus terkonsentrasi di Trisakti. Saat itu massa tidak bisa keluar dari Trisakti karena penjagaan sangat ketat. Kelompok massa berpakaian preman di luar kampus Trisakti justru membakar truk sampah. Anehnya, aparat tidak berusaha mencegah pembakaran, tetapi justru menembaki mahasiswa yang terkonsentrasi di lapangan parkir Trisakti dengan peluru karet, peluru hampa, dan gas air mata.”

Keesokan harinya, 14 Mei 1998, menurut Wiranto “kerusuhan merembet ke wilayah sekeliling Jakarta. Perusakan, penjarahan, dan pembakaran juga terjadi di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selaku Panglima ABRI saat itu, saya berinisiatif menggelar rapar luar biasa yang melibatkan unsur polisi, TNI, Panglima Komando Utama ABRI, dan Gubernur DKI.”

“Jika dipelajari,” kata Adian Napitupulu tentang menyebarnya kerusuhan 14 Mei itu, “ada beberapa kesamaan pola dan sebaran kerusuhan –seperti di Jakarta, Solo, Medan, dan Palembang: Keserentakan, kecepatan, dan ketrampilan para perusuh, bisa disimpulkan bahwa pelaku kerusuhan orang-orang yang terlatih dan kebal hukum. Hal itu karena hingga hari ini tidak ada yang ditangkap lalu disidangkan. Semua pelaku kerusuhan, penjarahan, hingga hari ini masih bebas berkeliaran di sekitar kita.” Bahkan, lebih dari yang dikuatirkan Adian, sejumlah ‘pelaku’ tingkat tinggi, antara lain dengan kategori auctor intellectualis maupun pelaku konspirasi dalam rangkaian peristiwa tersebut, kini justru ada dalam beberapa posisi penting kekuasaan negara ataupun kekuasaan politik.

Pergumulan elite politik. Sementara itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Komnas HAM untuk Peristiwa Mei 1998, menyimpulkan sebab pokok peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok, yakni proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elite politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Peristiwa kerusuhan itu adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti penculikan yang sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan intelijen yang tidak dapat diawasi secara efektif. Disusul kekerasan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan mahasiswa di Trisakti, dianggap TGPF yang diketuai Marzuki Darusman SH, sebagai penciptaan faktor martir untuk menjadi triggering factor.

Dari fakta di lapangan, menurut TGPF, terdapat tiga pola kerusuhan. Paling dominan adalah kerusuhan yang terjadi karena kesengajaan. Unsur kesengajaan lebih besar, dengan kondisi objektif yang sudah tercipta. Dalam pola ini diduga kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sayangnya banyak mata rantai yang dihilangkan, baik bukti-bukti ataupun informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antara elite dengan aras massa. Dalam testimoni di depan TGPF banyak jenderal yang memberi jawaban berbelit-belit dan ngalor ngidul. Tampak sengaja. Pangab Jenderal Wiranto sendiri kala itu menolak untuk dimintai keterangan/testimoni.

“Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik sebagai massa aktif maupun provokator untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan. Kesimpulan ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. Mereka mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu.” TGPF menyoroti beberapa nama dalam kaitan kerusuhan Mei 1998 ini, antara lain Letnan Jenderal Prabowo Subianto (kini terjun dalam kepartaian) dan Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin (kini Wakil Menteri Pertahanan), selain Jenderal Wiranto.

 Jenderal Wiranto, dalam tulisannya, mengaku langsung meminta Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya untuk mengomando dan mengendalikan langsung di lapangan. “Pasukan dari Jawa Timur, Kostrad, dan Marinir ikut saya perintahkan menjaga keamanan Ibu Kota. Hanya dalam tempo tiga hari sejak kerusuhan meletus, situasi dapat dikuasai aparat keamanan. Pada tanggal 15 Mei 1998, kondisi Ibu Kota dan sekitarnya berangsur pulih.”

            Wiranto mengatakan, “Saya tak bermaksud memamerkan keberhasilan meredam situasi huru-hara di Jakarta pada saat itu. Sama sekali tak benar jika TNI membiarkan kondisi rusuh dan penjarahan saat itu. Jika memang TNI melakukan pembiaran, mustahil kerusuhan itu bisa terkendali dalam tiga hari.”

            Penilaian Wiranto atas diri dan keberhasilannya dalam menghadapi Peristiwa Mei 1998 ini, berbeda dengan opini publik pada umumnya. Dalam buku biografi Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan, “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Hendro Subroto, 2009), diceritakan bahwa saat kerusuhan pecah di Jakarta, Sintong berusaha menghubungi sejumlah jenderal teras. Tetapi, mengalami kesulitan, karena hampir semua perwira tinggi teras ABRI sedang tidak berada di Jakarta.

Catatan menyebutkan, bahwa pada tanggal  14 Mei 1998 Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tetap berangkat ke Malang Jawa Timur untuk bertindak sebagai inspektur upacara dalam upacara serah terima tanggung jawab PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad. Timbul tanda tanya besar dalam diri Sintong Pandjaitan. Sangat tidak masuk akal, mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang? “Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsjat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan. Tetapi kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional.”  

            Pada bagian lain tulisannya, Jenderal Wiranto menyebutkan satu perbedaan lain antara militer Mesir dengan militer Indonesia. Di Mesir meski tanpa mandat, militer mengambil alih kekuasaan. Di Indonesia, militer memilih tetap menjaga kelangsungan kehidupan yang demokratis. “Pada tanggal 18 Mei1998, tiga hari sebelum mengundurkan diri, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 yang mengangkat Menhankam/Panglima ABRI sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.” Inti dari Inpres itu, menurut pemahaman Wiranto, adalah memberi kewenangan kepada Panglima ABRI menentukan kebijakan nasional menghadapi krisis, mengambil langkah langkah secepatnya untuk mencegah dan meniadakan penyebab atau peristiwa yang mengakibatkan gangguan nasional, serta meminta para menteri dan pemimpin lembaga pusat serta daerah membantu tugas Panglima ABRI.

            SBY pun bertanya: Ambil alih? Lebih jauh Wiranto memaparkan, kondisi sangat kritis, Indonesia diambang perang saudara, salah melangkah bisa membawa kehancuran total. Wajarlah kalau Kassospol saat itu Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono bertanya, “Apakah Panglima akan mengambil alih?” Menurut Wiranto, atas pertanyaan itu, dirinya menjawab, “Tidak! Mari kita antar proses pergantian pemerintahan secara konstitusional.” Wiranto lalu memberi catatan, “Bagi saya demokrasi adalah jalan terbaik. Tidak ada alasan untuk membangun otoritarianisme dan kediktatoran. Pengambilalihan kekuasaan atau kudeta bagi saya merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Kudeta juga berarti mengabaikan hak rakyat dalam pemilu.”

            Bagi Letjen Sintong Pandjaitan, sikap Wiranto dalam kaitan Inpres 16 itu bagaimanapun adalah sikap yang tidak jelas. Mengapa ia tidak melaksanakan? “Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi tetapi karena hal itu merupakan subordinasi, maka selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari.” Bahkan, menurut Sintong, setelah menolak perintah Panglima Tertinggi ABRI, pada saat itu juga Jenderal Wiranto harus langsung mengundurkan diri.

            Tetapi sebenarnya mengapa Jenderal Wiranto tidak melaksanakan Inpres 16? Melalui tulisan pada 1 Agustus 2013 itu, Wiranto memberikan alasan-alasannya –untuk kesekian kalinya. Tetapi, jawaban sang jenderal itu, terasa terlalu diidealisir. Karena menjadi pertanyaan, andaikan pun Wiranto ingin mengambil peran kekuasaan yang besar itu, apakah ia memiliki kemampuan kualitatif yang memadai untuk peran tersebut? Selain itu, situasi objektif yang ada per 1998, sangat tak mendukung bagi suatu peristiwa ulangan ala Super Semar. Tubuh ABRI dan kekuasaan kala itu sangat terfragmentasi. Ada begitu banyak kaum Brutus di sekeliling Soeharto. Dan pada waktu yang sama, banyak unsur yang menentukan di masyarakat pun sudah berada pada titik jenuh untuk bisa menerima sekali lagi kehadiran pelaksanaan kekuasaan ala militer. (socio-politica.com

FPI Sebagai ‘Duri Dalam Daging’ di Tubuh Bangsa

DENGAN berbagai aksi kekerasan yang dilakukannya selama ini, Front Pembela Islam (FPI) telah mengokohkan posisinya sebagai ‘duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini. Sekaligus, dengan demikian, meminjam pendapat Ratna Sarumpaet tokoh perempuan aktivis, FPI kini sudah menjadi salah satu public enemy terkemuka di Indonesia. Kamis 18 Juli yang lalu, FPI kembali melakukan sweeping terhadap apa yang mereka anggap sebagai kemaksiatan di tengah masyarakat di Sukorejo Kendal. Tetapi, sekali ini, mereka ‘kena-batu’nya, masyarakat setempat melawan dan menyerang balik konvoi anggota FPI.

EVAKUASI MASSA FPI DI MASJID KAUMAN SUKAREJO, KENDAL. "Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?" (foto indonesiamedia)
EVAKUASI MASSA FPI DI MASJID KAUMAN SUKAREJO, KENDAL. “Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?” (foto indonesiamedia)

Panik mendapat serangan balik dari massa rakyat, saat melarikan diri ada kendaraan yang digunakan anggota FPI itu berturut-turut menabrak setidaknya dua sepeda motor –satu di antaranya dikendarai sepasang suami isteri. Sang isteri tewas, suaminya luka-luka. Masih ada korban lain yang luka-luka, termasuk seorang polisi yang sedang bertugas.  Tiga mobil yang dikendarai anggota FPI dirusak, salah satu di antaranya dibakar. Sebelumnya tatkala mengisi bensin di SPBU, anggota FPI bersikap semena-mena dan tak mau membayar. Adanya serangan balik massa rakyat ini, menjadi dalih para pimpinan FPI bahwa justru merekalah yang menjadi korban kekerasan saat melakukan monitoring damai.

Dalam suatu diskusi TV, Wakil Sekjen FPI mencoba menciptakan opini bahwa dalam peristiwa di Sukorejo Kendal itu mereka berhadapan dengan masyarakat pendukung maksiat. Lebih jauh dari itu, menghadapi kecaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kegiatan sweeping FPI, Ketua Umum FPI Habib Rizieq membalas dengan kata-kata penghinaan kepada sang Presiden. Rizieq mengatakan SBY ternyata bukan seorang negarawan yang cermat dan teliti dalam menyoroti berita, tapi hanya seorang pecundang yang suka menyebar fitnah dan bungkam terhadap maksiat.

”Seorang Presiden muslim yang menyebar fitnah dan membiarkan maksiat, ditambah lagi melindungi Ahmadiyah dan aneka mega skandal korupsi, sangatlah mencederai ajaran Islam,” ujar Rizieq. Ini merupakan ucapan balasan terhadap beberapa penilaian SBY yang mengarah kepada FPI. Presiden berkata (21/7), “Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan pengrusakan. Sangat jelas kalau ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan Islam justru memalukan agama Islam.” Dengan tudingan pecundang ini, berarti sudah kesekian kalinya Rizieq mengeluarkan kata-kata menantang terhadap Presiden. Sebelumnya, Rizieq pernah mengancam akan mengobarkan gerakan menggulingkan Presiden SBY dalam konteks kasus Ahmadiyah.

Sebenarnya ada perangkat peraturan yang tadinya bisa digunakan menjerat tindakan dan ucapan penghinaan terhadap Presiden RI. Tapi Mahkamah Konstitusi di masa Mahfud MD sudah menghapus pasal-pasal penghinaan presiden itu dalam suatu judicial review –entah ini suatu jasa entah suatu blunder untuk kebutuhan saat ini. Maka, menjadi lebih sulit kini untuk melakukan penindakan dalam kasus-kasus penghinaan presiden. Apalagi di kala para penegak hukum kita memang kurang kemauan, kurang kemampuan dan tidak punya kreativitas –dalam pengertian positif– mengoptimalkan peraturan-peraturan hukum. Terlepas dari sikap kritis kita terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dalam kedudukannya selaku Presiden RI, bagaimanapun juga tak pantas untuk terbiasa melakukan penghinaan-penghinaan kasar yang mengarah kepada pribadi, semacam kata ‘pecundang’ dan sejenisnya. Kita bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan  maupun kelemahan kepemimpinan Presiden SBY secara objektif, tapi kita tak berhak dan tak pantas menghina dengan kata-kata dan cara-cara tak beradab.

Hingga sejauh ini belum semua kalangan di Indonesia bisa dianggap betul-betul siap untuk menjalankan demokrasi dengan baik dan benar. Kebebasan menyatakan pendapat dan mengeritik misalnya, masih sering disalahartikan sebagai kebebasan mencaci maki orang lain. Hampir semua organisasi politik dan organisasi masyarakat di Indonesia saat ini memiliki jagoan-jagoan caci maki dan insinuasi. Bukannya malah bersungguh-sungguh melakukan pendidikan politik yang bermoral. Rupanya orang-orang tipe seperti ini sengaja dipelihara sebagai pasukan pengganggu di garis depan pertempuran politik kepentingan. Sebagaimana manusia tipe pemburu dana dengan segala cara, pun dipelihara. Bahkan ada organisasi yang secara khusus didisain dari awal dan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas pengganggu dan provokasi.

FPI adalah sebuah organisasi dengan sejarah khusus. Ia terbentuk sebagai bagian dari Pam Swakarsa di masa transisi pasca lengsernya Jenderal Soeharto dari kekuasaan di tahun 1998. Pam Swakarsa dibentuk pada masa BJ Habibie berjuang mencari legitimasi baru demi kelanjutan kekuasaannya. Jenderal Wiranto tercatat sebagai salah satu tokoh pemrakarsa. Pam Swakarsa didisain sebagai kekuatan untuk melawan gerakan-gerakan mahasiswa kala itu. Massa yang bertugas melakukan counter attack terhadap barisan mahasiswa itu, sempat merenggut nyawa sejumlah mahasiswa melalui rangkaian kekerasan dalam Peristiwa Semanggi. Ketika para jenderal dan operator politik kekuasaan mulai tak sanggup memelihara dan membiayai sejumlah kelompok dalam Pam Swakarsa, kendali operasi juga mulai kendor. Beberapa kelompok mencoba melanjutkan eksistensi dengan mengorganisir diri dan mencari sumber pemberi dana lainnya. Salah satu kelompok yang berhasil eksis, dengan berbagai cara, adalah FPI.

FPI yang kini dipimpin Habib Rizieq itu, memiliki rekam jejak kekerasan yang cukup panjang. Ada Peristiwa Monas, ada peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah. Paling banyak, peristiwa-peristiwa main hakim sendiri, antara lain melalui aksi-aksi sweeping terhadap tempat-tempat hiburan, termasuk tempat-tempat bilyar yang sebenarnya adalah tempat rekreasi biasa. Melakukan razia terhadap toko-toko yang menjual minuman beralkohol, tanpa peduli apakah toko-toko itu punya izin menjual atau tidak. Ada penyerangan dan pengrusakan gedung Kementerian Dalam Negeri, ada pula penyerangan terhadap kegiatan seni. Semuanya, selalu dengan pengatasnamaan agama. Katanya untuk membasmi kemungkaran, namun dilakukan dengan cara-cara yang menurut tokoh Pemuda Ansor Nusron Wahid justru juga mungkar. Terbaru adalah peristiwa Sukorejo di Kendal. Ada pula insiden penyiraman air teh ke sosiolog Thamrin Amal Tamagola oleh tokoh FPI Munarman dalam suatu wawancara live di tvOne bulan lalu.

Pengatasnamaan agama oleh FPI selalu dilakukan tanpa ragu, sehingga menurut Ratna Sarumpaet terkesan seolah hanya merekalah yang beragama. Mereka seakan memonopoli kebenaran Tuhan. Mereka tak hanya mengambilalih fungsi polisi, tetapi juga seakan ingin mengambilalih hak prerogatif Dia yang di atas dalam konteks kebenaran.

Banyak tuntutan dari masyarakat agar FPI dibubarkan saja. Dan tampaknya tuntutan itu akan membesar dari waktu ke waktu. Benar, bila dikatakan bahwa kini FPI telah menjadi salah satu public enemy. Tetapi setiap kali dikecam melanggar hukum, FPI berargumentasi bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah perbuatan oknum. Padahal dalam kenyataan, tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi selalu dilakukan beramai-ramai dan massive, seraya membawa atribut dan bendera organisasi. Mana mungkin kalau aksi itu tidak terstruktur dan tak terencana? Atau apakah memang FPI itu adalah sebuah organisasi oknum massal, bukan sebuah ormas sebagaimana pengertian yang umum maupun menurut definisi undang-undang?

Kepolisian diharapkan bisa tegas menindaki FPI maupun organisasi-organisasi dengan perilaku sejenis. Bagi Polri, ini juga merupakan kesempatan untuk membuktikan kepada publik bahwa rumor yang menyebutkan FPI adalah ‘peliharaan’ sejumlah oknum jenderal polisi, dalam suatu ‘symbiose mutualistis’ yang negatif, adalah tidak benar.

Jika Presiden bersungguh-sungguh ingin menangani dan mengakhiri kekerasan-kekerasan ala FPI, ia harus mengingatkan lagi agar Kapolri mengambil tindakan tegas sesuai perintah sebelumnya. ‘Duri dalam daging’ di tubuh bangsa ini, bagaimanapun harus dicabut. Begitu pula organisasi-organisasi dengan pola perilaku sejenis, dengan pengatasnamaan apa pun. Membubarkan organisasi-organisasi yang terbiasa dengan pola kekerasan, apalagi yang mengarah premanisme, bukanlah suatu tindakan represif yang anti demokrasi. Malah, penindakan organisasi anarkistis, justru menyelamatkan dan membersihkan demokrasi. Kalau Kapolri tak sanggup menjalankan perintah tersebut, ganti saja dengan yang lebih berani dan mampu. (socio-politica.com)

 

Susilo Bambang Yudhoyono Beyond Soeharto (2)

PADA masa-masa awal kekuasaannya, baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono harus ‘rela’ berbagi dengan orang ataupun kelompok-kelompok yang memiliki andil dalam mengantar mereka ke puncak kekuasaan. Pun harus ‘rela’ berbagi dan berkompromi dengan unsur-unsur lain yang menjadi faktor dalam penyusunan kekuasaan negara.

Setelah kejatuhan Soekarno, Jenderal Soeharto harus melakukan sharing dalam kekuasaan pengendalian negara, dengan tokoh-tokoh lain yang ikut berjasa menumbangkan Soekarno, seperti Jenderal AH Nasution serta sejumlah tokoh kuat lainnya di tubuh Angkatan Darat. Harus pula memperhitungkan panglima-panglima angkatan lainnya, yakni Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Dalam batas tertentu melakukan sharing dengan kelompok mahasiswa dan kalangan cendekiawan perguruan tinggi yang menjadi salah satu ujung tombak dan pelopor dalam gerakan menurunkan Soekarno. Sebagaimana ia juga harus membagi konsesi dengan partai-partai politik dari struktur politik Nasakom minus PKI. Bahkan, pada akhirnya berkompromi dengan unsur-unsur PNI yang untuk sebagian masih merupakan para Soekarnois sejati pendukung utama Soekarno di masa peralihan kekuasaan 1965-1967.

SBY MELAYAT SOEHARTO. "Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya." (download sfgate)
SBY MELAYAT SOEHARTO. “Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya.” (download sfgate)

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jenderal Soeharto berhasil menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh alternatif bagi kekuasaannya dan pada waktu yang sama berhasil ‘menundukkan’ berbagai institusi dan kekuatan sosial-politik –termasuk ABRI secara keseluruhan– melalui pengelolaan kelemahan manusiawi para pemimpin institusi tersebut.

Susilo Bambang Yudhoyono maju ke Pemilihan Presiden 2004 dengan dukungan partai yang hanya menduduki peringkat ke-5 dalam Pemilu Legislatif 2004 yakni Partai Demokrat dengan raihan suara 7,45 persen. Di atas Partai Demokrat ada 4 partai peraih suara terbanyak, berturut-turut Partai Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen), PKB (10,57 persen) dan PPP (8,15 persen). Tetapi Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung partai dengan suara medium hampir minim itu diuntungkan oleh berhasilnya penggambaran dirinya sebagai korban penganiayaan politik oleh kekuasaan. Peristiwanya sendiri adalah bahwa beberapa kali Presiden Megawati tak mengajak lagi Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti rapat kabinet berdasarkan ketidaksenangan pribadi dan ketidaksenangan sang suami, Taufiq Kiemas. Ketidaksenangan itu ditunjukkan setelah diketahui SBY ‘mempersiapkan’ diri sebagai calon Presiden. SBY dianggap ‘main belakang’ padahal tadinya siap berpasangan dengan Mega sebagai Wakil Presiden.

Dan, tak kalah pentingnya, kemenangan SBY tertolong oleh masalah internal Golkar yang terjadi  ketika Jenderal Wiranto –yang punya ganjalan sejarah masa lampau– muncul sebagai calon presiden setelah memenangkan konvensi Golkar. Dengan Wiranto sebagai calon presiden, Golkar tak berhasil menggerakkan mesin partai secara penuh sehingga gagal sejak putaran pertama. Wiranto menuding Golkar bekerja setengah hati mendukungnya. Berikutnya, pada putaran kedua, dua tokoh utama Golkar Fahmi Idris dan Marzuki Darusman berbeda pendapat dengan Akbar Tandjung yang ingin mengalihkan dukungan Golkar ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Bahkan ada perjanjian koalisi pra putaran kedua itu. Padahal pada putaran pertama, Akbar Tandjung diketahui menganjurkan gerakan Asal Bukan Mega (ABM). Menurut perhitungan analitis, tak kurang dari 76 persen pendukung Golkar memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Khusus di Sulawesi Selatan, daerah kelahiran Jusuf Kalla, SBY memperoleh kemenangan terbesar yakni 92 persen.

            Faktor lain yang mendorong kemenangan SBY adalah keberhasilan kompromi belakang layar dengan beberapa partai politik Islam untuk memberi dukungan dengan janji dan konsesi dalam kekuasaan mendatang.

            Adalah karena basis dukungan utamanya melalui Partai Demokrat begitu kecilnya, yakni 7,45 persen (menghasilkan 57 kursi DPR) sementara pada pemilihan presiden putaran kedua memperoleh 60,62 persen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencari kompensasi untuk rasa aman dengan melakukan koalisi bersama pemilik kursi lainnya di DPR. Dengan sendirinya ia harus berbagi kursi kabinet pemerintahannya dengan partai-partai anggota koalisi. Sesuatu yang berlanjut untuk periode kedua kepresidenannya, karena kendati Partai Demokrat memperoleh kenaikan perolehan suara, tetap saja tak sanggup menciptakan mayoritas kerja di DPR seperti halnya Presiden Soeharto dengan Golkar dan ABRI di masa lampau.

            Dalam mencari sekutu kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih mengedepankan perhitungan taktis dan kuantitas kekuatan massa yang dimiliki para sekutu, daripada pertimbangan persamaan pemikiran strategis. Tak mengherankan, perlahan namun pasti SBY berangsur-angsur ditinggalkan atau sebaliknya menanggalkan kawan-kawan strategis, termasuk di tubuh partainya sendiri. Sebaliknya, koalisinya makin kuat diwarnai pragmatisme kekuasaan demi kekuasaan, yang pada waktunya tercerminkan secara nyata oleh maraknya perilaku korupsi di tubuh kekuasaan. Seakan-akan semua yang berniat melakukan korupsi sejak awal, terkumpul di seluruh lingkaran kekuasaannya.

Dengan koalisi, tak mungkin SBY menerapkan sistem pemerintahan presidensial walau konstitusi menyebutkan demikian dan ia sendiri sangat menghendaki porsi pengambilan keputusan sebanyak-banyaknya di tangannya. Partai-partai politik berhasil menciptakan dominasi praktik sistem parlementer –yang untuk sebagian dijalankan oleh partai-partai sekutunya sendiri– yang sehari-hari serba menempatkan sang Presiden di sudut-sudut kekuasaan dalam konteks pengambilan keputusan. Apalagi sang Presiden sendiri memang memiliki sejumlah kelemahan dalam watak kepemimpinannya. Bersamaan dengan itu, ia pun tak punya keberanian menegakkan sistem pemerintahan presidensial kendati berturut-turut dalam dua kali pemilihan presiden menjadi peraih suara mayoritas di atas 60 persen. Ditambah otonomi daerah yang diterapkan terburu-buru pasca Soeharto, lengkaplah sudah fakta ‘kemalangan’ kekuasaan sang Presiden. Tak mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengendalikan kekuasaan secara penuh seperti halnya Jenderal Soeharto.

MENCATAT akumulasi keluhan dari masa ke masa, tersimpulkan bahwa kisah bangsa Indonesia dengan 6 presidennya sepanjang 68 tahun ini, seringkali bagai tragi komedi. Kita pernah punya Soekarno yang mampu mendongkrak rasa bangga kita di panggung sandiwara dunia, namun setidaknya dalam lima tahun terakhir kekuasaannya lebih banyak membiarkan perut sebagian terbesar rakyatnya keroncongan. Kita pernah punya Jenderal Soeharto yang berhasil membuat sebagian terbesar dari kita berkecukupan dengan beras, tetapi tak mampu membagi dengan baik keadilan sosial-ekonomi dan politik. Kita punya BJ Habibie yang mencoba memberi kita demokrasi dan jalan pikiran imitasi barat namun tak mampu tercerna karena rakyatnya belum berhasil disembuhkan dari trauma akumulatif masa Soekarno dan Soeharto. Lalu punya Abdurrahman Wahid yang banyak gagasan baru dan inkonvensional, namun tak punya kesehatan fisik yang menunjang dan waktu yang cukup untuk mewujudkannya, serta terlalu mempan bisikan. Punya Megawati, yang sedikit bicara sekaligus sedikit berbuat. Dan akhirnya, punya Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih lamban dari bayangan(citra)nya sendiri.

Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya. Mampu dan kuat menjalankan tugas-tugas eksekutifnya, mampu mengendalikan aparat-aparat negara di bawahnya agar optimal. Berada dalam hubungan fungsional yang wajar dengan lembaga-lembaga legislatif maupun judikatif sesuai esensi fungsi dan tugas masing-masing.

ENAM Presiden Indonesia, sama-sama tak berhasil menyembuhkan faktor-faktor disintegrasi dalam tubuh bangsa yang bhinneka ini. Faktor disintegrasi itu berkecambah dan tumbuh dari nilai-nilai yang diwariskan feodalisme dan kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun, yang tetap menjadi masalah aktual hingga kini. Soekarno mencoba meredamnya dengan kemahiran retorika dan Soeharto meredamnya dengan represi militer. Tapi kedua-duanya hanya berhasil membuatnya tersembunyi di bawah permukaan, karena kedua-duanya tak berhasil mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Tiga Presiden Indonesia lainnya –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– berkuasa dalam masa yang terlalu ringkas untuk bisa menghasilkan sesuatu. Lagi pula, waktu mereka habis terkuras dalam pertengkaran politik demi kekuasaan pasca Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono, lebih punya peluang waktu, namun terhenti pada sebatas ucapan-ucapan bagus –sebagai ciri khas kepemimpinannya yang lemah tapi mengutamakan pencitraan.

Kasus-kasus Aceh, Papua, Poso dan Ambon, adalah bisul-bisul yang timbul tenggelam di bagian belakang tubuh bangsa ini. Belum tersembuhkan akar-akar penyakitnya untuk jangka panjang melalui keberhasilan pencerdasan bangsa. Tak juga ada keberhasilan menyembuhkan luka dan nanahnya, melalui penegakan hukum dan konsep pertahanan-keamanan yang baik dan benar. Terutama karena, penegakan hukum itu sendiri sedang bermasalah dan sakit, sementara konsep cemerlang takkan mungkin lahir dari manusia-manusia yang pragmatis semata dan bermasalah dengan dirinya sendiri lahir-batin.

KENAPA kemarin ini banyak kelompok yang masih punya integritas, mengeritik dan menganggap belum saatnya Susilo Bambang Yudhoyono menerima World Statesman Award, tak lain karena faktanya ia memang belum berhasil berbuat sesuatu yang berharga dan luar biasa dalam menghadapi perilaku intoleran dalam kehidupan beragama. Dan, apalagi, dalam konteks penegakan HAM secara keseluruhan. Hanya kelompok akrobatik –yang ada udang interest di balik batu politik– yang bersikap sebaliknya.

Tetapi acara penganugerahan sebagai negarawan dunia tersebut telah terjadi. Ada yang memberi, dan ada yang menerima award itu dengan senang hati. Entah ini kecelakaan atau bukan, waktu jugalah yang akan membuktikan. Untuk sementara, anggaplah ini tiruan dari sistem pra bayar yang kini menjadi kelaziman para provider jasa. Anugerahnya lebih dulu, pembuktiannya belakangan. Rakyat Indonesia dengan demikian patut menunggu pembuktian dari janji-janji ’baru’ yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat menerima award tersebut di Amerika sana. (socio-politica.com)

Susilo Bambang Yudhoyono Beyond Soeharto (1)

HINGGA detik-detik terakhir keberangkatannya ke New York USA, melalui Swedia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap bersikeras untuk menerima World Statesman Award dari The Appeal of Conscience Foundation. Ia menganggap lembaga yang dipimpin dan didirikan oleh Rabbi Jahudi Arthur Schneier itu, kredibel. Rabbi Schneier juga adalah pemimpin sinagoga (gereja) Jahudi di Park East Manhattan.

Pers, Senin (27/5) mengutip Presiden mengatakan, “Kalau sebuah lembaga yang kredibel melakukan pengamatan saksama di Indonesia dari berbagai aspek, lalu memberikan penghargaan kepada bangsa kita melalui presiden, tentu tak boleh melihatnya secara tidak baik.” Justru harus berterimakasih, katanya, karena dunia mengamati. Khusus dalam konteks kehidupan beragama, menurut Presiden “patut diapresiasi meski harus diakui masih banyak masalah terkait kerukunan beragama.”

SBY MASA AKABRI, PENABUH GNDERANG. "Karena ABRI memang ingin terus menerus mengendalikan kekuasaan negara, dan makin menyempurnakannya, tentu saja generasi muda yang dididik di Akabri dipersiapkan sebagai pewaris kekuasaan. Komposisi kurikulum Akabri kala itu, terdiri dari 75 persen akademis dan 25 persen kemiliteran. Ini menimbulkan penilaian bahwa memang ABRI mempersiapkan kader-kader yang di samping menguasai ilmu kemiliteran, menguasai pula berbagai aspek yang akan dibutuhkan dalam tugas-tugas non militer. Tegasnya, ada pembekalan untuk menjalankan fungsi sosial-politik dalam kadar tinggi selain fungsi pertahanan keamanan." (repro)
SBY MASA AKABRI, PENABUH GENDERANG. “Karena ABRI memang ingin terus menerus mengendalikan kekuasaan negara, dan makin menyempurnakannya, tentu saja generasi muda yang dididik di Akabri dipersiapkan sebagai pewaris kekuasaan. Komposisi kurikulum Akabri kala itu, terdiri dari 75 persen akademis dan 25 persen kemiliteran. Ini menimbulkan penilaian bahwa memang ABRI mempersiapkan kader-kader yang di samping menguasai ilmu kemiliteran, menguasai pula berbagai aspek yang akan dibutuhkan dalam tugas-tugas non militer. Tegasnya, ada pembekalan untuk menjalankan fungsi sosial-politik dalam kadar tinggi selain fungsi pertahanan keamanan.” (repro)

            Terlihat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sisi sebaliknya, mengabaikan kritik sejumlah tokoh intelektual dan pemuka dalam negeri –made in Indonesia– yang tak kalah kredibel dan pasti lebih mengenal dan lebih memahami lika-liku kenyataan di negeri kita ini. Mereka ini, yang telah teruji integritasnya, tak mengamati Indonesia dari depan etalase, tetapi tepat berada di punggung etalase. Kita mencatat beberapa nama yang mengkritisi dan mengingatkan apa yang terjadi di balik kegemerlapan etalase Indonesia, seperti Buya Syafii Maarif, Romo Franz Magnis-Suseno, Adnan Buyung Nasution, selain sejumlah tokoh lain yang berkecimpung sebagai penggiat HAM maupun pengamat dan kalangan perguruan tinggi. Selain itu, sebuah petisi telah ditujukan kepada Rabbi Arthur Schneier agar membatalkan rencana pemberian award kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga pekan ketiga Mei 2013, petisi telah ditandatangani oleh tak kurang dari 1700 orang dari Australia, Belanda, Jepang dan beberapa negara lainnya, selain dari Indonesia dan Amerika Serikat sendiri.

            Kita tentu juga mencatat komentar-komentar akrobatik yang mendukung dan mendorong SBY menerima award negarawan dunia seperti itu, antara lain Sekertaris Kabinet Dipo Alam yang menuding Romo Franz dangkal, para juru bicara dan staf khusus Presiden semacam Julian Aldrin Pasha dan Daniel Sparingga, serta Dubes RI di AS Dino Patti Djalal. Tetapi mereka ini, tugas dan kepentingannya memang sepenuhnya mau tak mau harus diabdikan kepada sang Presiden selama in charge.

            Namun terlepas dari pro-kontra, fakta adalah fakta. Kenyataan yang terjadi di Indonesia dalam konteks kerukunan beragama –bahkan dalam keadilan, kesetaraan dan kerukunan bangsa secara keseluruhan– jauh dari pantas untuk menjadikan pemimpin negara ini berkategori world statesman. Karena, apa yang telah pemimpin itu perbuat hingga sejauh ini, belum berarti dibandingkan besarnya problema bangsa yang sedang dihadapi.

            Asisten professor dalam hubungan internasional di Boston University, Jeremy Menchik, yang berkesempatan mengamati Indonesia dari dekat di tahun 2009-2010, menilai pilihan The Appeal of Conscience Foundation kali ini janggal dan keliru. Lembaga itu mempunyai misi untuk mendukung toleransi beragama dan penghargaan kepada hak azasi manusia, sementara di Indonesia terjadi sejumlah fakta sebaliknya. (Selengkapnya baca ‘New York Rabbi’s Awful Award’, socio-politica.com). Salah satu kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebutkan Jeremy adalah mengangkat seorang politisi partai ideologi Islam sebagai menteri –yang dimaksud adalah Menteri Agama Suryadharma Ali dari PPP– yang senantiasa mempersalahkan minoritas Kristen yang seringkali teraniaya dan tak henti-hentinya menyerukan agar sekte-sekte muslim heterodox dilarang.

            “Akibatnya, tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas telah meningkat drastis dan dramatis selama delapan tahun ia menjabat menteri. Sejumlah gereja Kristen di Jawa Barat dan Sumatera Utara dipaksa untuk tutup melalui kebijakan diskriminatif dalam pemberian izin membangun. Minoritas Muslim Syiah diusir dari rumah mereka oleh kelompok Islam militan yang mengubah mereka menjadi pengungsi di wilayah-wilayah yang tadinya merupakan wilayah kehidupan damai selama beberapa dekade. Paling mencemaskan adalah ‘kampanye’ kekerasan selama 10 tahun terakhir terhadap sekte Muslim heterodoks Ahmadiyah. Kelompok ‘vigilante’ militan telah menghancurkan rumah-rumah kaum Ahmadiyah, membakar masjid mereka, mengusir dan membunuh mereka dengan ‘persetujuan’ diam-diam dan kadang-kadang langsung dari pemerintah.”

                BAGAIMANAPUN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berangkat untuk menyongsong suatu award baru yang nampaknya sangat dibutuhkannya lahir-batin untuk bukti pengakuan sebagai salah satu pemimpin dunia. Bukankah selama bertahun-tahun dalam dua periode kepresidenannya ini ia merasa de facto telah mendapat tempat duduk di berbagai forum ‘terhormat’ di antara negara-negara maju? Perjanjian dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki tak memberinya nobel perdamaian, melainkan hanya menghadirkan bendera nasional cikal bakal negara Aceh Merdeka. Justru mediator perdamaian itu, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia (1994-2000) yang mendapat hadiah Nobel Perdamaian di tahun 2008. Kenapa harus melepaskan World Statesman Award, bila itu mungkin saja bisa membawanya ke kursi semisal sebagai Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa?

            Tetapi, apakah ia memang memiliki kualitas world statesman? Sebelumnya, pertanyaannya adalah apakah ia telah menjadi seorang pemimpin Indonesia yang baik dan pantas dibanggakan bangsa ini? Mari menelusuri sebuah catatan domestik.

DI ANTARA enam tokoh yang pernah menduduki kursi RI-1, tak ada yang memiliki begitu banyak kemiripan satu dengan yang lain, selain Jenderal Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Meski sedikit berbeda generasi, keduanya sama-sama memiliki latar belakang militer, yang hidup dan dibesarkan oleh dwifungsi ABRI. Bila Soeharto berperan dalam membesarkan dwifungsi ABRI dalam konteks kekuasaan, maka Susilo Bambang Yudhoyono merupakan generasi baru ABRI yang berhasil mewarisi kekuasaan dengan bersandar kepada pembentukan diri dalam masa-masa puncak penerapan konsep tersebut. Dan sungguh menarik, pewarisan tersebut terjadi justru ketika penerapan konsep dwifungsi itu sendiri dalam praktika kekuasaan negara sedang berada pada titik nol, setelah kejatuhan Jenderal Soeharto Mei 1998.

            Surut ke catatan lama, dua puluh lima tahun sebelum itu, 27 April 1973, di kampus Akabri Magelang diselenggarakan diskusi bertopik “Membina Hubungan Generasi Muda Militer dan Non Militer”. Tuan rumah pertemuan adalah para Taruna Akabri. Diskusi diikuti para Taruna seluruh angkatan, serta 301 mahasiswa putera dan puteri dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Trisakti Jakarta. Komandan Taruna kala itu adalah Sersan Mayor Taruna Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam diskusi yang moderatornya adalah Prabowo Djamal Ali mahasiswa Ekonomi Unpad, lebih banyak mahasiswa non militer yang angkat bicara dibanding mahasiswa militer. Sebaliknya, lebih banyak Taruna yang memilih diam, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono. Namun setidaknya ada 3 Taruna yang menonjol dan aktif berbicara, yaitu Prabowo Subianto, Agus Wirahadikusumah dan Erich Hikmat. “Kurangnya spontanitas Taruna,” ujar Gubernur Akabri waktu itu, Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, “adalah karena hati-hati, ingat akan Peristiwa tahun 1970 di ITB.”

            Pada tahun 1973 itu kuat asumsi di kalangan sipil –termasuk kalangan mahasiswa– bahwa militer (ABRI) berniat untuk senantiasa melanggengkan kekuasaannya. Terlihat waktu itu betapa kalangan militer masuk mendominasi pemerintahan dengan menduduki posisi-posisi yang tadinya diduduki kaum sipil seperti jabatan menteri, gubernur, bupati, walikota, bahkan camat dan lurah. Kalangan militer pun masuk ke dalam posisi-posisi kepemimpinan sosial. Karena ABRI memang ingin terus menerus mengendalikan kekuasaan negara, dan makin menyempurnakannya, tentu saja generasi muda yang dididik di Akabri dipersiapkan sebagai pewaris kekuasaan. Komposisi kurikulum Akabri kala itu, terdiri dari 75 persen akademis dan 25 persen kemiliteran. Ini menimbulkan penilaian bahwa memang ABRI mempersiapkan kader-kader yang di samping menguasai ilmu kemiliteran, menguasai pula berbagai aspek yang akan dibutuhkan dalam tugas-tugas non militer. Tegasnya, ada pembekalan untuk menjalankan fungsi sosial-politik dalam kadar tinggi selain fungsi pertahanan keamanan.

“Akibat adanya perbedaan-perbedaan selama ini, timbul pertanyaan siapakah di antara kita yang berhak menjadi pemimpin,” kata Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik dalam diskusi. “Dalam masyarakat kita yang feodalistis, pemimpin lah yang menentukan masyarakat.” Menurut Taruna Erich Hikmat –yang belakangan sebagai perwira militer sempat bertugas dalam posisi sipil pada perwakilan Indonesia di luar negeri– yang diperlukan adalah pimpinan yang qualified, tidak soal apakah ia ABRI atau bukan, tetapi atas pilihan rakyat.

TIGAPULUH satu tahun setelah kelulusannya selaku Alumni Akabri 1973, Susilo Bambang Yudhoyono menapak ke puncak kekuasaan negara melalui cara dan metode sipil sesuai ‘kondisi dan situasi’ tahun 2004 dengan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik utamanya. Majalah Far Eastern Economic Review (September 30, 2004) menyambut kemenangan SBY di tahun 2004 dengan cover story “High Hopes, Indonesians Vote For Strong Leadership”. Namun, harapan tinggal harapan. Dalam menjalankan kekuasaannya, selama hampir 9 tahun hingga kini, tak lari jauh dari akar pembentukan dirinya Susilo Bambang Yudhoyono banyak menggunakan cara dan metode  menyerupai Soeharto. Dengan catatan, ada perbedaan kualitatif, khususnya menyangkut solidity maupun solvability dari kekuasaan tersebut.

Baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berkecenderungan untuk meletakkan pengambilan keputusan di tangannya sendiri. Bedanya, keputusan Soeharto sangat kuat daya paksanya, khususnya kepada para bawahan, sedang Susilo Bambang Yudhoyono sebaliknya, jauh lebih lemah. Perbedaan zaman atau periode kekuasaan mereka mungkin mempengaruhi, tetapi pada hakekatnya ini lebih berhubungan dengan persoalan kepemimpinan. Hasrat para pemimpin bisa sama, tetapi pencapaian belum tentu juga sama.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (3)

ADA yang mengatakan lahirnya GAM di bulan terakhir tahun 1976 –dipelopori Tengku Hasan Tiro– salah satunya adalah akibat akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang menolak hasrat pengaturan Aceh berdasarkan syariat Islam. Penyebab lain, karena kekecewaan terhadap ketidakadilan pemerintah pusat dalam hal berbagi hasil kekayaan alam di daerah itu.

            Syariat Islam, alasan susulan yang dilekatkan. Alasan terkait syariat Islam, tak sepenuhnya benar. Alasan syariat Islam, menurut pengalaman empiris selalu menjadi alasan yang dilekatkan kemudian. Pemberontakan DI/TII, mulai dari yang dilakukan SM Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan dan Daud Beureueh di Aceh, cetusannya bukan dimulai karena soal keyakinan agama secara prinsipil. Selalu dimulai dari kekecewaan pribadi, yang lalu berkobar menjadi perlawanan dan kemudian dipilihkan tema agama. Keempat tokoh ini pada awalnya adalah bagian dari elite kekuasaan yang lalu marah saat tersisih dalam kancah persaingan.

HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. "Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM." (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)
HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. “Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM.” (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)

SM Kartosuwirjo kecewa dalam persaingan perebutan posisi ‘kemiliteran’ di Jawa Barat. Kahar Muzakkar yang pada mulanya adalah seorang Kolonel dalam tentara perjuangan kecewa ketika usai menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) di Sulawesi Selatan tidak diangkat sebagai panglima militer setempat yang semula dijanjikan padanya. Pada awal masuk hutan, ia nyaris memilih komunisme sebagai ideologi perjuangan karena pengaruh rekan-rekan militernya semasa di Jawa Tengah. Baru beberapa lama kemudian Kahar lalu menyatakan diri bergabung dengan NII dan DI/TII.

Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan mulanya adalah Letnan TNI sebelum menyatakan diri bergabung dengan DI/TII, karena suatu kekecewaan pribadi.

Daud Beureueh yang menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh 1948-1951, yang banyak berjasa di masa perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan sebelum penyerahan kedaulatan, belakangan disisihkan pemerintah pusat. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, “ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis –sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner– tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan.” Posisi Gubernur Sumatera Utara diserahkan kepada seorang tokoh lain yang jasa perjuangannya jauh kalah pantas dari Daud Beureueh.

Juga menurut Taufik Abdullah, meskipun Daud Beureueh menginginkan alternatif lain bagi Aceh, misalnya dengan kekhususan menjalankan syariat Islam, tak pernah ia bersikap separatis memisahkan diri dari NKRI. Ini berbeda dengan Tengku Hasan Tiro yang menyatakan diri sebagai penerus perjuangan Daud Beuereuh, tetapi di lain pihak melalui GAM ingin memisahkan Aceh dari NKRI.

Tokoh GAM Hasan Tiro tak lama setelah proklamasi, atas rekomendasi Daud Beureueh mendapat beasiswa pemerintah di masa PM Syafruddin Prawiranegara kuliah di UII Yogyakarta dan lulus 1949. Lalu berkesempatan melanjutkan kuliah di Universitas Columbia AS. Dan setelah mencapai gelar doktornya bekerja di Kedutaan Besar RI di AS.

Dengan alasan tak puas terhadap pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo, Hasan Tiro pulang ke Aceh bergabung dengan perlawanan DI/TII Aceh sejak 1953 yang dipimpin Daud. Tapi ketika pada bulan Mei 1962 Daud Beureueh ‘turun gunung’, Hasan Tiro meninggalkan Aceh kembali ke Amerika. Dalam buku biografinya “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro”, ia mengidealisir masa hidupnya di luar negeri sebagai masa pengasingan. Di luar negeri ia banyak menjalankan kegiatan hidup sebagai business man.

Dua belas tahun setelah Daud Beureueh turun gunung, ia datang ke Aceh untuk berbisnis. Kepada Gubernur Aceh Muzakkir Walad, ia mengajukan permohonan agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan kilang gas LNG Arun. Tapi ia harus kecewa karena pemerintahan Soeharto telah menyerahkan proyek itu kepada Perusahaan AS Bechtel Incorporation. Kegagalan menggoalkan bisnisnya ini digambarkannya sebagai suatu bukti bahwa pemerintahan Jakarta memang tak betul-betul mau memberikan otonomi kepada orang Aceh untuk ikut ‘membangun’ –tepatnya, menikmati kekayaan alam– Aceh. Sebenarnya, cukup naif bila Hasan Tiro menempatkan dirinya sebagai representasi dalam mengukur keadilan bagi Aceh.

Terlepas dari betapa korup rezim-rezim di Indonesia saat mengelola kekayaan alam, dalam hal rezeki pembangunan Aceh, ada begitu banyak tokoh dan kelompok pengusaha Aceh yang ikut mengambil peran dan mendapat kesempatan. Hanya saja, itu kebetulan bukan Hasan Tiro. Andaikan kalangan penguasa negara kala itu punya cenayang yang prima, mungkin ia menasehatkan agar permintaan Hasan Tiro dikabulkan dan jalan sejarah menjadi lain. Tentu saja, akan menjadi kukuh suatu tradisi, kalau ingin mendapat perhatian dan pembagian rezeki dari kalangan kekuasaan, melawan-lawanlah dalam kadar tertentu. Tapi bila kebablasan, lain lagi hasil akhirnya.

Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM –suatu hal yang pada waktunya perlu juga dibahas.

Mulai dari Soeharto yang menggunakan operasi militer yang berlebihan dan penuh ekses; BJ Habibie yang tergesa-gesa minta maaf kepada rakyat Aceh –sebenarnya kepada GAM– dan menjanjikan penarikan mundur 4000 personil TNI, mirip dengan kekeliruannya di Timtim yang menghasilkan referendum dengan Indonesia sebagai pihak yang kalah; Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais yang menyetujui referendum Aceh dengan kemungkinan senasib dengan referendum Timor Timur; Sampai Megawati yang menyetujui UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan sejumlah konsesi bagi GAM tanpa mendalami kesungguhan GAM untuk suatu perdamaian; Lalu, pasangan SBY-Jusuf Kalla, yang memberi banyak angka kemenangan bagi GAM dalam Perjanjian Helsinki, karena beberapa obsesi. Dari sekitar 57 point dan subpoint yang ada sebagai butir-butir kesepakatan Perjanjian Helsinki 2005 (mengenai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, HAM, amnesti dan reintegrasi, serta pengaturan keamanan), 40 point/subpoint memanjakan GAM dan hanya 17 yang menguntungkan pemerintah Indonesia.

Dimana-mana juga memang tak adil. UNTUK penyebab yang kedua terkait ketidakadilan yang menyebabkan alasan bagi lahirnya GAM, pertanyaannya adalah daerah mana di Indonesia ini yang samasekali tak pernah mengalami ketidakadilan pemerintah pusat, sepanjang masa Indonesia merdeka?

Bahkan Ali Sadikin tatkala menjadi Gubernur DKI, pun tak henti-hentinya mengecam sikap kurang perhatian pemerintah pusat terhadap Jakarta, sehingga harus menggali dana inkonvensional dari legalisasi aneka bentuk perjudian di ibukota. Antara lain karena perilaku korup di kalangan pemerintahan pusat, memang harus diakui banyak sikap tak adil dan lalai mengurus negara telah bermunculan. Akan tetapi selalu ada sejumlah daerah di Indonesia ini yang tidak seberuntung beberapa daerah lainnya dalam hal kepemilikan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang secara kualitatif memadai. Daerah-daerah seperti ini harus dibantu dengan distribusi silang. Lalu apa yang terjadi bila daerah-daerah kaya enggan berbagi? Apakah daerah-daerah miskin, yang dianggap beban itu, dilepaskan saja dari Republik Indonesia ini?

Tak ada pilihan, selain kita bersama-sama memperjuangkan bagaimana negara ini tak dibiarkan dikuasai para bandit yang masuk ke dalam kekuasaan. Tepatnya, barangkali kini, bagaimana bersama-sama membuang keluar bandit-bandit korup itu dari pemerintahan negara. Itu masalah kita bersama yang harus diperjuangkan, tetapi bukan dengan melakukan pemberontakan separatis, ala GAM ataupun OPM.

NAMUN, di atas segalanya, karena Perjanjian Helsinki sudah merupakan fakta sejarah, tak ada pilihan lain selain bahwa pemerintah harus lebih tegas mengawal agar perjanjian tersebut dipatuhi semua pihak. Bila pemerintah gagal melakukan kawalan, itu hanya akan melukai hati rakyat Indonesia lainnya yang bukan pengikut atau simpatisan GAM.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)