CATATAN empirik Indonesia merdeka pasca Perang Kemerdekaan 1945-1949, menunjukkan betapa sejumlah duri yang tumbuh dan bersemayam dalam daging di tubuh bangsa ini, tak kunjung berhasil dibersihkan. Maka, tubuh bangsa ini senantiasa didera kesakitan dan demam sepanjang waktu. Duri terbanyak adalah perilaku korupsi yang tak terlepas dan bahkan berakar kuat pada kekeliruan memahami dan menjalankan kekuasaan negara. Duri korupsi itu, dicabut satu, tumbuh sepuluh. Dicabut sepuluh tumbuh seratus. Dan karena tak pernah berhasil dicabut seratus, duri-duri itu dengan ‘bebas’ bertumbuh menjadi seribu. Tapi angka-angka ini bukan sebuah statistik, melainkan sebuah metafora, untuk menunjukkan bahwa langkah pemberantasan korupsi selalu kalah oleh laju pertumbuhan tindakan korupsi. Karena, sementara pemberantasan korupsi berjalan dalam pola deret hitung dengan bilangan penambah yang kecil, dalam waktu yang sama perilaku korupsi justru berganda dalam pola deret ukur.
KARIKATUR IRONI PEMBERANTASAN KORUPSI OLEH TPK TAHUN 1968. “Pendongkrakan harga itu terlalu fantastis dan berani. Keberanian, khususnya keberanian melanggar hukum, biasanya muncul, bila sesuatu perbuatan dilakukan bersama-sama. Terlihat, dalam kasus-kasus seperti tersebut di atas selalu terselip, sesuatu yang seolah-olah adalah ‘operasi penyelamatan para jenderal’. Kalau ada yang perlu dikorbankan, cukup perwira menengah atau perwira pertama saja”. Karikatur Harjadi S, 1968.
Selain bertumbuh secara kuantitatif, ditandai merasuknya korupsi ke dalam berbagai bagian dari tubuh bangsa ini, bukan hanya di kalangan kekuasaan tetapi juga merasuk dalam berbagai bentuk ke tengah masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan, korupsi juga mengalami pertumbuhan kualitatif. Korupsi lama kelamaan menjadi suatu bentuk kekuasaan tersendiri, bukan kekuatan biasa yang sekedar mampu melawan, melainkan juga menjadi kekuatan yang dianalisa sanggup melakukan serangan balik. Benturan keras yang dialami KPK hari-hari ini dalam penanganan kasus korupsi dalam pengadaan alat simulasi ujian SIM Korlantas (Korps Lalu Lintas) Mabes Polri, tampaknya perlu diamati dalam kacamata analisa tersebut di atas. Begitu pula, kasus yang menimpa Ketua KPK periode lalu, Antasari Azhar, yang diadili dengan tuduhan keterlibatan pembunuhan saat KPK sedang giat menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kalangan kekuasaan, perlu dicermati kembali untuk menemukan apakah di sini sedang terjadi semacam serangan balik kekuatan korup.
PEMBERANTASAN korupsi, tampaknya sudah tiba di batas akhir pengharapan. Tak perlu lagi mengharapkan terlalu banyak pada rezim pemerintahan ini, mengenai penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Bahkan mungkin juga akan demikian, terhadap rezim yang akan datang, karena sepanjang yang bisa diamati di antara tokoh-tokoh yang disebutkan namanya saat ini sebagai kandidat presiden berikutnya, tak ada yang betul-betul bebas dari percikan lumpur korupsi masa lampau. Dan hanya keajaiban yang bisa membukakan jalan bagi tokoh-tokoh bersih masuk memimpin negara. Tapi itupun masih penuh tanda tanya, karena secara tradisional pengelolaan negara dan politik sejauh ini terlanjur penuh dengan manusia yang terbiasa dengan permainan kotor.
MACAN LESU. “KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Dan macan yang sebenarnya belum terlalu tua tapi sudah berperilaku uzur ini hanya mampu menerkam ternak kampung, tidak bisa mengejar khewan-khewan korupsi yang gesit dan kuat berkelompok”. (download koprol.com)
Dua keputusan terakhir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terhadap Muhammad Nazaruddin dan Nunun Nurbaiti, memperlihatkan indikasi betapa kuatnya usaha melokalisir perkara korupsi agar tidak bisa merambah seluas-luasnya ke pelaku-pelaku kejahatan yang lebih di atas. Majelis Hakim perkara Nazaruddin, merasa perlu membuat pagar pengaman bagi Anas Urbaningrum, meskipun namanya disebut-sebut oleh begitu banyak saksi. Sementara itu, Majelis Hakim perkara Nunun Nurbaiti, membatasi perkara menjadi masalah gratifikasi, bukan penyuapan yang ancaman hukumannya lebih tinggi. Para anggota DPR yang terlibat dan telah diadili sebelumnya –dengan hukuman yang serba ringan– agaknya secara bersama berhasil menyajikan kesaksian-kesaksian yang mematahkan tuduhan bahwa mereka disuap untuk memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan DGS Bank Indonesia.
Tercatat bahwa sejak berdirinya KPK dan kemudian Pengadilan Tipikor, vonnis-vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa koruptor ringan-ringan saja, antara 1 tahun 3 bulan sampai 3 tahun. Rata-ratanya Cuma 2 tahun 6 bulan. Tetapi sekali-kali ada juga yang sedikit lebih tinggi, 4 sampai 5 tahun, sehingga malah menimbulkan ‘keheranan’ apa ada yang salah dalam negosiasi?
Secara menyeluruh, dalam ruang dan waktu yang sama, kita melihat betapa KPK yang sangat diharapkan masyarakat sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, ternyata begitu kedodoran. KPK bukan hanya tak mampu menghadapi gempuran eksternal, tetapi juga dirundung berbagai masalah internal (kuantitatif maupun kualitatif) yang membuat dirinya lemah dan berjalan beringsut bagai macan uzur. Continue reading Pemberantasan Korupsi: Sudah Tiba di Batas Akhir Pengharapan (?)→
PREMANISME sama dibutuhkannya oleh kalangan kekuasaan, seperti halnya korupsi, yang juga merupakan kebutuhan dalam konteks mengumpulkan dana untuk biaya politik. Kaum preman dibutuhkan oleh kalangan kekuasaan yang macchiavellis sebagai tangan gelap. Baik sebagai orang perorang, kelompok kecil maupun dalam bentuk kerumunan massal. Profesi preman juga terbuka bagi oknum militer, selain terbuka untuk kalangan umum yang sulit mengambil peran sosial dalam medan kehidupan lainnya. Penggunaan preman misalnya, terjadi dalam skenario konspirasi dalam kasus Antasari Azhar. Dalam kasus ini, institusi formal bekerja sejajar dengan institusi informal. Begitu pula, tatkala penguasa ingin membendung gerakan kritis mahasiswa 1998-2000, yang melahirkan Peristiwa Semanggi I dan II, institusi informal semacam Pam Swakarsa dibiarkan bekerja paralel dengan tujuan penguasa. Dari Pam Swakarsa ini kemudian lahir sejumlah ormas yang kemudian dikenal sebagai pelaku berbagai peristiwa anarkis hingga kini. Mirip ‘Kavaleri Bornu’ dari Sudan abad 16-17, pasukan berkuda yang memiliki kekuatan pembasmi dan mampu menjelajah seluruh penjuru gurun Afrika Utara untuk membasmi berdasarkan pesanan para raja penguasa. Preman sejati.
KAVALERI BORNU. “Dari Pam Swakarsa ini kemudian lahir sejumlah ormas yang kemudian dikenal sebagai pelaku berbagai peristiwa anarkis hingga kini. Mirip ‘Kavaleri Bornu’ dari Sudan abad 16-17, pasukan berkuda yang memiliki kekuatan pembasmi dan mampu menjelajah seluruh penjuru gurun Afrika Utara untuk membasmi berdasarkan pesanan para raja penguasa. Preman sejati”. Gambar repro.
Dalam insiden Sodong dan Mesuji, pengusaha-pengusaha perkebunan sawit, mengerahkan centeng dengan penamaan Pam Swakarsa. Kelompok inilah yang terlibat dalam peristiwa gorok-menggorok dengan massa sekitar perkebunan, yang marah. Di berbagai daerah, seperti di Makassar dan Jakarta misalnya, Polri seringkali ‘menggunakan’ atau setidaknya ‘membiarkan’ sekelompok anggota masyarakat untuk melakukan aksi anarki kontra anarki untuk meredam aksi mahasiswa. Berkali-kali, massa mahasiswa berhasil dipukul balik ke kampusnya oleh barisan massa dari kalangan masyarakat, bukan oleh satuan polisi. Bila ditelusuri, ditemukan bahwa tokoh-tokoh preman berperan dalam memprovokasi dan menggerakkan massa kontra itu.
Perlu dicermati, apakah dalam menghadapi massa mahasiswa, buruh dan kelompok masyarakat lainnya yang melakukan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, khususnya pada hari-hari mendatang ini, penguasa juga akan menggunakan pemeran-pemeran belakang layar dengan pola premanisme? Continue reading Satu Nusa Satu Bangsa (Beda ‘Bahasa’) Bersama Preman (2)→
ADEGAN pada foto plesetan ilustrasi tulisan ini –yang memperlihatkan Anas Urbaningrum memohon maaf lahir batin kepada Muhammad Nazaruddin pada lebaran yang lalu– takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding. Nazaruddin siap sumpah pocong untuk kebenaran tuduhannya mengenai keterlibatan Anas dalam kasus Wisma Atlet dan Proyek Hambalang, serta politik uang dalam memenangkan kursi Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrat yang lalu di Bandung. Sebaliknya, Anas menuduh mantan bendahara partainya itu mengoceh dan memfitnah, dan siap digantung di Monas bila terbukti dirinya korupsi serupiah saja dalam kasus Hambalang.
ANAS URBANINGRUM DAN MUHAMMAD NAZARUDDIN. Dulu, gambar plesetan ini beredar di dunia maya, terutama melalui BBM. Diberi teks “Akhirnya Anas mengakui kesalahannya”. Tapi peristiwa ini “takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding”. Ada yang siap digantung di Monas, ada yang berani sumpah pocong.
Kasus Nazaruddin ini bisa saja secara sistematis selesai dalam tempo tertentu, saat Nazaruddin dihukum dan setelah itu ‘ditutup’ terus jalan lanjutan proses hukumnya seperti yang terjadi dalam kasus Antasari Azhar. Tetapi bisa juga menggelinding terus menumbangkan satu persatu tokoh-tokoh yang namanya muncul dalam rangkaian kasus korupsi yang pintu masuknya terbuka melalui ‘ocehan’ Nazaruddin, bilamana publik mampu mengawal proses. Hanya saja, ini butuh waktu.
Karena begitu banyaknya nama yang disebut terlibat, menurut salah seorang Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, “mungkin perlu waktu 10 tahun untuk menyelesaikan semua kasusnya”. Angka 10 tahun ini bisa masuk akal, bukan semata karena kuantita tokoh yang disebut-sebut namanya, melainkan juga karena kualita tertentu dari kasus-kasus ini maupun ‘kualitas’ posisi dari tokoh-tokoh tersebut dalam kekuasaan sehingga mempunyai kemampuan menghadang, bahkan memporak-porandakan KPK.
Sepanjang yang bisa diikuti dari jalannya pengungkapan yang tersajikan sejauh ini, terlihat bahwa korupsi-korupsi yang dilakukan belakangan ini jauh lebih sistemik dari korupsi gaya lama. Dulu, para koruptor ‘merampok’ dari proyek-proyek pembangunan berjalan, sementara korupsi-korupsi terbaru saat ini, proyek yang akan ‘dirampok’ itu sudah lebih dulu dirancang lalu dimasukkan ke dalam APBN maupun khususnya APBN-P. Dulu, di masa Soeharto, para pelaku korupsi besar ‘dibatasi’ kuantitanya, sementara pelaku serabutan tak henti-hentinya ditindak dan dibasmi, antara lain melalui Opstib di bawah Laksamana Soedomo.
Kala itu kelompok politik utama pendukung kekuasaan, tak perlu melakukan improvisasi pencarian dana, karena Dewan Pembina telah memenuhi kebutuhan dana sepenuhnya. Kini, kuantitatif lebih massal dan atau berjamaah. Kualitatif, partai-partai yang mendapat distribusi kekuasaan dan peran dalam pemerintahan, menjadi pusat penghimpunan dana politik, yang dengan sendirinya koruptif. Dan secara menyeluruh, korupsi terjadi di segala lini dan tingkat, dari pusat hingga daerah dalam berbagai bentuk dan improvisasi.
Bagaimana dengan kasus-kasus yang muncul karena pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin? Melihat begitu luasnya perambahan kasus-kasus tersebut, yang terjadi di lintas kementerian, dan sejauh ini disebutkan bukan hanya dengan pelaku-pelaku dari kalangan Partai Demokrat, melainkan lintas partai, memang mustahil kalau hanya Nazaruddin sendirian yang melakukannya. Mesti ada kekuasaan dan kekuatan besar berada di belakang mantan bendahara Partai Demokrat itu, sehingga ia bisa begitu perkasa ‘merebut’ proyek-proyek triliunan rupiah.
Sepuluh tahun? Masuk akal. Hanya saja, terlalu lama. Persoalannya dua tiga tahun lagi penyakit korupsi –bukan hanya yang seputar Nazaruddin– akan makin membesar daya rusaknya, akan makin berat dalam 5 tahun dan mungkin dalam 10 tahun sudah berhasil ‘membubarkan’ republik ini. Entah karena bangkrut, entah karena diinterupsi revolusi sosial yang kemungkinan besar kalap, kacau dan anarkis.
TENTU mustahil untuk menggantung Anas Urbaningrum –Ketua Umum DPP Partai Demokrat– di Monas, sekalipun ia nanti terbukti pernah menikmati satu rupiah dari kasus Hambalang. Hukum gantung tak dikenal di Indonesia, apalagi di Monas yang menjadi pusat wilayah simbol negara. Dan kalaupun ia ternyata terlibat dalam kasus percaloan proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Sentul City, seperti yang ditudingkan Muhammad Nazaruddin ‘mantan’ koleganya di DPP partai penguasa itu, maka nominalnya takkan hanya serupiah melainkan dalam skala miliaran rupiah.
Tetapi kenapa untuk menepis tudingan-tudingan Nazaruddin, Anas harus ‘melibatkan’ Monas dengan mengatakan “Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas”? Sehingga, seorang pengamat politik, Hanta Yudha, sampai berspekulasi dengan satu analisa bahwa sebenarnya Anas justru sedang mengirim pesan ke seberang sana Monas. Di seberang sana Monas, berkantor Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
MONAS.”…sebenarnya Anas justru sedang mengirim pesan ke seberang sana Monas. Di seberang sana Monas, berkantor Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono”. (foto download).
Apa makna pesan Anas sebenarnya? Dalam penafsiran awam di tengah publik –yang mungkin berbeda dengan analisa Hanta Yudha– Anas sedang mengingatkan agar SBY jangan membiarkan dirinya terpojok sendirian dan harus turun tangan menyelamatkan dirinya. Bagaimana bisa Anas memaksa Ketua Dewan Pembinanya turun tangan melakukan penyelamatan? Beberapa pengamat menyebutkan, karena Anas punya sejumlah kartu truf. Jadi, Anas sebenarnya masih cukup kuat dan bisa menyelamatkan diri. Kalau tidak diselamatkan, deretan domino akan rubuh secara berantai? Sementara itu, beberapa lama setelah tertangkap, Nazaruddin pernah mengatakan bahwa bila kasus-kasus yang diketahuinya dibuka semua, bisa “bubar republik ini”.
Untuk membuktikan apa yang dikatakannya, Nazaruddin langkah demi langkah, mulai membuka cerita tentang berbagai kasus permainan dengan sasaran uang negara. Nama demi nama disebutkan. Anas Urbaningrum dan beberapa tokoh Partai Demokrat yang lain, menyebutnya sebagai ocehan belaka. Maka Anas menasehati “KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot”. Tokoh Partai Demokrat lainnya, Gede Pasek Suardika, menyamakan Nazaruddin sebagai celeng hutan yang terluka dan kalap menabrak ke sana kemari. Ada ungkapan yang sebenarnya bisa dipinjam Pasek untuk ini, yakni membabi-buta.
Nazaruddin nampaknya memang terluka, merasa akan dikorbankan sendirian. Maka ia menggapai-gapai kian kemari. Ia lalu menyebutkan serentetan nama dalam libatan mempermainkan uang negara: Mulai dari Angelina Sondakh, Mirwan Amir sampai Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang adalah kawan separtai dan I Wayan Koster dari PDIP. Menyusul, Didi Irawadi dan terbaru Gede Pasek Suardika. Lalu, merembet pula ke tokoh Golkar, Azis Syamsuddin yang namanya disebutkan oleh Mindo Rosalina Manullang dalam kaitan proyek di Kejaksaan Agung. Dalam ruang dan waktu yang sama, terkait atau tidak terkait Nazaruddin, sejumlah nama tokoh Partai Demokrat pun berada dalam sorotan pers dalam tali temali berbagai kasus, yakni Ahmad Mubarok, Sutan Bathugana maupun Johnny Allen Marbun yang belum juga tertuntaskan masalahnya. Tapi jangankan mereka, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pun tak luput dari sorotan, seperti misalnya yang pernah dilansir oleh dua koran Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald, selain sorotan melalui berbagai rumor politik. Sorotan-sorotan terhadap diri dan partainya sungguh merepotkan SBY. “Tragis bagi bangsa ini, presidennya lebih dari dua tahun tidak mengurus rakyat tetapi hanya sibuk bela diri, keluarga, kelompok dan partainya”, ujar Chris Siner Key Timu. Tokoh kritis terhadap kekuasaan ini, memberi nasehat, “Adalah tidak patut menyimpan sampah, karena seharusnya dicampakkan”.
Terhadap sorotan dan serangan-serangan ke arah Partai Demokrat dan para tokohnya ini, belakangan para petinggi partai mulai gencar memberikan jawaban-jawaban. Tetapi, dibolak-balik, jawaban-jawaban itu tak cukup berhasil meyakinkan publik, karena miskin argumentasi yang masuk akal. Sebaliknya, meskipun pada mulanya penyampaian-penyampaian Nazaruddin kerapkali dikategorikan sebagai sampah atau ocehan belaka, namun dengan berjalannya waktu, banyak juga yang masuk akal dan mampu mengkonfirmasi persepsi publik selama ini mengenai korupsi di kalangan kekuasaan. Nyatanya pula, meskipun penanganan KPK beringsut-ingsut bagaikan keong, toh akhirnya bisa ditetapkan lebih dari satu tersangka. ‘Ocehan’ Nazaruddin mulai juga ada buktinya. Ada asap, dan mulai ada apinya.
NAMUN agaknya terdapat sejumlah persoalan baru, berupa munculnya kejanggalan-kejanggalan dalam penanganan kasus Nazaruddin maupun pengembangan lanjut dari kasus-kasus berkaitan. Ini terjadi di segala tingkat, mulai dari proses penyidikan di KPK (khususnya di masa kepemimpinan KPK jilid 2) hingga proses persidangan di Pengadilan Tipikor. Mungkin saja kita –dan publik pada umumnya– terbawa sikap apriori, tetapi tidak salah rasanya kalau mengatakan bahwa sekali ini KPK tak bekerja cukup tuntas, banyak yang tak di’kejar’ dalam upaya pengungkapan fakta, untuk tidak menyebutnya ada yang ditutup-tutupi. Penasehat hukum Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea sampai mendefinitifkan bahwa KPK –khususnya di masa setahun kepemimpinan Busyro Muqoddas plus Chandra Hamzah cs– dikendalikan oleh kekuatan ‘luar’ KPK. Tak bisa tidak, yang dimaksudkan adalah penguasa incumbent dan partai penguasa. Kejanggalan-kejanggalan yang sama terlihat pada cara kerja LPSK dan dalam persidangan Pengadilan Tipikor. Terkesan para hakim aktif membatasi bilamana tanya jawab dalam persidangan mengarah ke tokoh-tokoh kekuasaan. Tadinya publik berharap, ada ‘bonus’ ekstra berupa bukti-bukti baru dihasilkan persidangan ini yang akan bisa meringankan tugas KPK nantinya bila memang diinginkan penuntasan pembongkaran kasus suap yang dibayang-bayangi dengan kuat oleh aroma politik ini. Ternyata tidak. Persidangan ini mengingatkan publik kepada persidangan kasus Antasari Azhar yang juga terasa serba penuh ‘pengaturan’.
Bisa diperkirakan, betapa peradilan ini sudah jelas tujuan khususnya. Mungkin nanti, Angelina Sondakh akan menjadi terdakwa terakhir yang akan digiring ke pengadilan. Itupun belum tentu bisa terjadi. Kecuali ada kawalan yang kuat dari publik anti korupsi. Sembilan dari sepuluh kemungkinan, Anas Urbaningrum takkan pernah sampai ke depan meja hijau Pengadilan Tipikor. Diperiksa di KPK pun belum tentu bisa kejadian, meski KPK melalui jurubicaranya Johan Budi (14/3) ‘menjanjikan’ Anas akan diperiksa dalam kasus Hambalang. Ada analisa, sulit menyentuh Anas, tanpa menyentuh lebih jauh ke atas. Bukankah bisa bubar republik ini, bila Monas-Istana Complex tak berhasil dijaga citra ‘keasrian’nya?
Adalah sebaliknya, bila citra penguasa diganggu secara langsung, akan mudah ada penangkapan polisi, seperti yang dialami 6 mahasiswa BEM dari Bandung Rabu 14 Maret ini yang karena emosi, ‘membalikkan’ dan ‘membiarkan’ gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jatuh berantakan di Gedung DPR, saat menyampaikan Trituma (Tiga Tuntutan Mahasiswa). Mahasiswa kecewa kepada Wakil Ketua DPR-RI Pramono Anung yang tak menyetujui tuntutan ketiga “turunkan SBY sekarang juga, turunkan Budiono sekarang juga”.
MOHAMMAD NAZARUDDIN yang tertangkap di Cartagena Kolombia dan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusumah Jakarta Sabtu malam, saat ini mungkin tepat disebut The Man Who Knew Too Much. Sebenarnya, sebutan ini dipinjam dari sebuah judul film yang beredar di Indonesia awal tahun 1960-an sebelum ada pemboikotan film-film Amerika di masa Soekarno. Bintang ternama James Stewart memerankan tokoh utama dalam film itu yang dikejar-kejar karena terlalu banyak tahu mengenai suatu kejahatan. Dengan pengungkapan-pengungkapan kebobrokan di tubuh Partai Demokrat dan di dalam pemerintahan yang dilontarkannya selama masa buronan, membuat Nazaruddin terkesan sebagai the man who knew too much, karena keterlibatannya dalam banyak hal yang berbau kejahatan keuangan, sehingga sekaligus menjadi the most wanted bagi kalangan tertentu dalam kekuasaan politik dan kekuasaan negara.
Di negara yang kotor, orang yang tahu terlalu banyak tentang kejahatan kekuasaan, akan dieliminasi. Bagi pemerintahan dan aparat penegakan hukum yang lurus, orang yang banyak tahu tentang kejahatan terutama karena ia terlibat secara dekat di dalamnya, sekuat tenaga akan diupayakan bersedia menjadi whistle blower agar keterangan-keterangannya bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan. Tetapi pertanyaannya kini, apakah pemerintah dan aparat penegakan hukum kita termasuk kategori lurus atau bukan? Sudah bertahun-tahun publik berada dalam suasana penuh ketidakpercayaan kepada pemerintah maupun penegak hukum, dan menduga kuat betapa berbagai kasus korupsi dan kejahatan atas keuangan negara telah direkayasa habis-habisan. Tak lain karena kekuatan korup dan penyalahguna kekuasaan justru telah bersarang di tubuh kekuasaan, sebagai hasil kerja mekanisme rekrutmen politik dan kekuasaan yang bersendikan politik uang. Bahkan KPK yang tadinya merupakan harapan terakhir dalam upaya pemberantasan korupsi, kini mulai disangsikan oleh sebagian publik.
Meski publik pun mulai menyangsikan KPK, di tengah masyarakat masih terdapat benang merah pemikiran yang sehat, bahwa sebagai lembaga KPK harus tetap dipertahankan. Gagasan membubarkan KPK yang dilontarkan oleh Marzuki Alie –Ketua DPR-RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat– dianggap pikiran sesat dan menyuarakan kepentingan kaum korup, setidaknya untuk menyelamatkan Partai Demokrat yang sudah kerasukan setan korupsi secara dalam. Kalau ada perorangan dalam KPK yang menyalahgunakan kekuasaannya, harus segera diangkat keluar, bukan dengan mengeliminasi lembaganya. Bila lembaga-lembaga peradilan, kejaksaan dan kepolisian untuk suatu jangka yang panjang telah membuktikan dirinya bersih dan berfungsi baik sebagaimana harusnya, barulah bisa dipertimbangkan untuk meminta KPK mengakhiri tugas dan kehadirannya. Namun tampaknya, masih akan lama sekali situasi itu bisa tercapai, untuk tidak mengatakan bahwa justru KPK masih terseok-seok dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Dan karena pemberantasan korupsi bukan semata soal penindakan, melainkan juga soal prevensi di hulu masalah, maka di sini faktor kualitas kepemimpinan nasional lah yang sebenarnya menjadi syarat utama. Tapi bagaimana kalau perjalanan para tokoh menuju kepemimpinan nasional justru selalui diwarnai oleh proses yang sarat dengan praktek politik uang? Pemimpin macam apa yang bisa diharapkan?
SETIDAKNYA hingga dua hari pertama setibanya Mohammad Nazaruddin di Jakarta, sebagian besar masyarakat masih diliputi kesangsian tentang kelanjutan penanganan Nazaruddin dalam konteks pengungkapan-pengungkapan yang dilontarkannya mengenai mafia anggaran negara dan mafia politik kekuasaan. Karena meski pengungkapan-pengungkapan itu masih perlu diperkuat dengan bukti-bukti dan atau setidaknya masih perlu ditelusuri lanjut kebenarannya, ia telah dicerna masyarakat karena seakan-akan telah mengkonfirmasi pola korupsi yang selama ini menjadi pengetahuan masyarakat. Sikap gagap dan gugup maupun beberapa kebohongan yang dpertunjukkan sejumlah petinggi Partai Demokrat tatkala memberi reaksi terhadap tuduhan-tuduhan Nazaruddin, hanya menambah keyakinan publik bahwa memang ada yang tidak beres di tubuh partai penguasa itu. Selain itu, beberapa proyek APBN yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan publik, ternyata benar-benar ada dan tidak bisa dibantah: Selain proyek Wisma Atlet di Palembang, dan kasus-kasus di Kementerian Diknas dan Nakertrans, juga ada proyek Hambalang di Sentul Jawa Barat, serta proyek pabrik vaksin flu burung yang berskala triliunan rupiah. Dan ternyata memang untuk sebagian prosesnya tidak normal, tanpa tender terbuka. Orang pun bertanya-tanya, apakah proyek gedung baru DPR yang juga berskala triliun tadinya termasuk di dalamnya, dan ada seberapa banyak proyek-proyek semacam itu yang hingga kini masih tersembunyi dari pengetahuan publik?
Kekuatiran paling menonjol dari masyarakat, apakah kasus tudingan-tudingan mantan Bendahara Partai Demokrat itu, akan diselesaikan dalam suatu rekayasa untuk melokalisir persoalan sehingga tak menyentuh terlalu jauh ke dalam pusat kekuasaan. Masyarakat memiliki sejumlah trauma, betapa sejumlah whistle blower maupun mereka yang mungkin termasuk dalam deretan the men who knew too much, telah dibungkam dengan berbagai cara, mulai dari sekedar negosiasi biasa, gertakan, dijebloskan dalam penjara, dicederai dan bahkan mungkin dihilangkan nyawanya. Aktivis HAM Munir, mati diracun. Antasari Azhar dijebloskan dalam penjara melalui tuduhan pembunuhan dan peradilan rekayasa. Aktivis LSM Tama S. Langkun dicegat dan dianiaya yang diduga dalam kaitan kasus rekening gendut perwira polisi. Komjen Polisi Susno Duadji, diungkit dosa-dosa lamanya lalu diadili, sementara ungkapan-ungkapannya tak pernah ditindaklanjuti. Kasus Gayus Tambunan berputar-putar di seputar bagian kasus yang remeh temeh, sementara siapa pengusaha-pengusaha yang memberi fee besar-besaran dalam praktek mafia perpajakan tak pernah ditelusuri sampai tuntas. Kasus Bank Century diperlambat proses hukumnya, sehingga mantan Menkeu Sri Mulyani tersudut pada posisi marginal sebagai semacam kambing hitam sementara tabir permainan sesungguhnya di balik itu tak pernah dibuka.
MICHAEL MENUFANDU DAN MOHAMMAD NAZARUDDIN. Gambar berdua ini muncul di berbagai media dan internet, dengan teks jenaka ‘Sohiib…’. Penanganan yang “…berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral, telah menimbulkan syak wasangka yang serius”.
Banyak yang sangsi, dan meramalkan bahwa akhir lakon Nazaruddin takkan berbeda dengan permainan sebelumnya. Cara penanganan oleh Michael Menufandu Dubes RI di Bogota, proses penjemputannya dan perjalanan panjangnya dengan pesawat carter sampai kepada penahanannya di Mako Brimob, berlangsung serba tertutup dan tak melibatkan unsur-unsur netral dari masyarakat, telah menimbulkan syak wasangka yang serius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang berjanji menjaga ‘keselamatan’ dan takkan mengintervensi atau merekayasa kasus ini, namun kita sama-sama tahu bahwa kini sang presiden tidak lagi sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat. Nazaruddin mungkin berhasil dijinakkan, dinegosiasi atau dibuat hilang keberaniannya, untuk akhirnya menjadi sekedar ayam sayur. Tetapi keajaiban mungkin saja terjadi, dan itu bukan mustahil, bahwa bila publik bersikeras mengawal dengan ketat penanganan kasus Nazaruddin, dan bila KPK ingin menyelamatkan reputasinya, kasus Nazaruddin betul-betul menjadi pintu masuk bagi suatu pembersihan tubuh kekuasaan yang berkelanjutan.
BILA sebelum ini, mantan Bendahara Partai Demokrat Mohammad Nazaruddin, melontarkan cerita-ceritanya melalui Black Berry Messenger (BBM), maka pekan ini ia meningkat memberikan ‘testimoni’ melalui wawancara telepon dengan sejumlah stasiun televisi Indonesia. Suaranya terdengar jelas, tak disangsikan lagi bahwa memang ia yang berbicara, bukan orang lain. Lebih ‘terbuktikan’ daripada sekedar melalui komunikasi BBM. Dan seorang ahli psikologi forensik memberikan penilaian –berdasarkan antara lain analisa tekanan suara pada bagian tertentu, misalnya saat menyebutkan nama– yang pada intinya adalah bahwa sebagian besar penyampaian Nazaruddin bukanlah pengungkapan yang artifisial, sehingga cukup bisa dipertimbangkan sebagai bahan informasi untuk mencari kebenaran.
Adalah keliru, bila kita yang berada di luar lingkaran kepentingan Partai Demokrat, untuk ikut meremehkan atau ‘mengecilkan’ isi pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin tentang sepak terjang sejumlah tokoh dalam mempermainkan uang negara dan menggunakannya untuk kepentingan politik uang di dalam dan di luar partainya. Sebagai warganegara kita berkepentingan negara ini bersih dari segala perilaku menyimpang penyelenggara negara maupun partai pendukungnya. Sebelum Nazaruddin mengungkapkan cerita-ceritanya pun pola permainan yang dibeberkannya bukan cerita asing bagi publik. Tiupan peluit Nazaruddin yang kini ramai-ramai dipojokkan oleh ‘bekas’ teman-teman separtai dan sepermainan, hanyalah mengkonfirmasi apa yang sudah diduga bahkan diketahui publik.
Dugaan-dugaan tentang adanya yang tidak beres di belakang keberhasilan Partai Demokrat mendongkrak suaranya hampir tiga kali lipat dari satu pemilu ke pemilu lainnya, sudah ada di kepala kita semua. Kita sama-sama menyaksikan adanya manipulasi-manipulasi DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang menguntungkan partai tertentu. Kita juga telah mencermati ‘bahasa tubuh’ sejumlah petinggi KPU, yang antara lain sangat cenderung mendekat-dekatkan diri kepada Presiden SBY. Kita juga sama-sama mengetahui, bahwa beberapa tokoh KPU, yakni Anas Urbaningrum dan kemudian Andi Nurpati direkrut menjadi petinggi Partai Demokrat melalui jalan bebas hambatan seakan balas jasa.
Begitu pula, kemenangan SBY dalam Pemilihan Presiden 2009, yang 60,8 persen, terlalu bagus untuk menjadi suatu kenyataan dalam satu sistem multi partai. Kemenangan tinggi dalam satu putaran itu bahkan seakan sudah dipastikan sebelum pemilihan umum itu sendiri berlangsung. Semua orang juga tahu tentang begitu banyaknya kecurangan dilakukan oleh berbagai pihak, tak terkecuali kubu sang pemenang, tetapi semua itu tak bisa diapa-apakan karena peraturan yang ada memang hanya menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk pengajuan keberatan. Dan begitu tenggat waktu habis, habis pula kesempatan formal menurut undang-undang untuk menggugat kebenaran hasil pemilihan umum. Adanya sinyalemen tentang kecurangan dan atau manipulasi angka hasil pemilu hanya menjadi catatan yang tak berarti apa-apa lagi, hangus. Kecuali bila dilanjutkan sebagai gugatan moral demi kebenaran. Tapi moral, keadilan dan kebenaran kan sudah lama sekarat di negeri bernama Indonesia ini? Sekarang, ketiganya sedang terbaring lemah di pembaringan dalam bangsal unit gawat darurat.
DALAM wawancara teleponnya yang terbaru dengan beberapa stasiun televisi dan media cetak, Nazaruddin mengungkapkan bahwa Kongres Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan Bandung yang lalu bergelimang moneypolitic. Calon Ketua Umum Anas Urbaningrum berhasil menyawer dana dari mana-mana yang jumlahnya mencapai hampir US$ 20 juta. Menjelang Kongres, dengan sebuah mobil box, sekitar 50 miliar rupiah dibawa dari Jakarta dan disimpan di salah satu kamar Hotel Aston, untuk persediaan menopang keperluan memenangkan Anas Urbaningrum. Cerita ini menarik, karena pada saat kongres itu berlangsung beberapa sumber lain bercerita tentang besarnya akumulasi uang yang menumpuk dan beredar di sekitar arena pemilihan. Bukan hanya kubu Anas yang menyediakan dana besar, melainkan setiap kubu pada dasarnya melakukan persiapan serupa. Bahwa ada dana yang dibawa ke Bandung saat itu, terkonfirmasi pula melalui keterangan seorang staf Nazaruddin yang mengakui membawa uang dalam jumlah besar dari Jakarta.
Apa yang terjadi di Partai Demokrat ini, mengingatkan kita pada cerita yang sama, tentang beredarnya dana besar dalam Munas Golkar di Pakanbaru yang menghasilkan Ketua Umum Aburizal Bakrie. Hal yang sama, lima tahun sebelumnya, dalam Munas Golkar di Nusa Dua Bali, saat Jusuf Kalla memenangkan kursi Ketua Umum Golkar. Dua peristiwa dengan dua partai berbeda, telah saling mengkonfirmasi mengenai telah terjadinya politik uang dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.
MELALUI wawancara telepon itu, Nazaruddin juga melontarkan tuduhan tentang tidak bersihnya KPK dari ‘para maling’. Ia menyebut nama Chandra Hamzah, yang pernah juga dituduh dalam kasus suap terkait perkara Anggoro dan Anggodo Wijaya. Nazaruddin mengatakan Chandra Hamzah melakukan deal dengan Anas Urbaningrum, akan didukung untuk menjadi pimpinan KPK lagi (bersama Ade Rahardja) dengan syarat KPK tidak mengutik-utik Anas dan Angelina Sondakh dalam rentetan kasus yang mencuat belakangan ini. Nazaruddin mengaku punya bukti rekaman CCTV yang bisa membuktikan adanya pertemuan itu. Reaksi beberapa pimpinan KPK terhadap tudingan Nazaruddin, tidak cukup positif sekali ini. Ada kecenderungan mekanisme defensif para pimpinan KPK ini lebih mengedepan, sehingga memerlukan untuk menyerang balik bahwa Nazaruddin tak bisa dipercaya. Bagaimana kalau tudingan Nazaruddin kali ini ada benarnya? Kenapa KPK tak memilih saja untuk segera melakukan penyelidikan ke dalam dirinya? Apapun hasilnya, tetap saja baik bagi KPK. Kalau ada yang kotor, KPK bisa membersihkan diri dan layak tetap dipercaya. Kalau tak terbukti, orang akan semakin yakin terhadap kebersihan KPK, sehingga memilih akan selalu menempatkan diri bersama KPK setiap kali ada upaya memojokkan KPK.
Publik pasti lebih percaya kepada KPK. Tapi itu tak harus membuat kita menganggap KPK itu terdiri dari para malaikat yang tak pernah salah. Jadi kita semua harus lebih tanggap setiap kali ada tudingan tentang ketidakbersihan KPK. Kita harus segera mencari tahu dan dibuat tahu bahwa tudingan itu benar atau tidak. Barangkali begitu cara kita semua untuk menjaga lembaga yang menjadi harapan sisa dalam pemberantasan korupsi. Adalah sangat dangkal ucapan salah seorang pimpinan KPK yang mengatakan tak ada gunanya untuk menanggapi nyanyian ‘kosong’. KPK jangan mengikuti jalan pikiran penjaga malam yang malas. Saat ada anjing menggonggong atau angsa menguik gaduh di tengah malam, yang mungkin saja karena ada maling sedang menyelinap, sang penjaga malam malas memeriksa. Pagi-pagi baru ‘menyesal’ karena ternyata ada yang kemalingan.
KPK itu kini memiliki tim psikologi forensik yang punya metode dan kemampuan cukup prima dalam memeriksa saksi atau tersangka. KPK memiliki bukan hanya wewenang yang super, penyadapan dan sebagainya, tetapi juga sejumlah kelengkapan lain yang di atas rata-rata dibandingkan lembaga penegakan hukum lainnya. Dan yang terpenting di atas segalanya, ia mendapat dukungan kuat dan kepercayaan yang masih begitu besarnya dari sebagian terbesar masyarakat. Sepantasnya KPK mulai bergerak. Nazaruddin meniupkan asap, cari apinya. Rambah saja, dan tak usah membebani diri dengan pikiran-pikiran berbau politik.
Entah bagaimana caranya, KPK harus yang lebih dulu menemukan Nazaruddin. Bila Nazaruddin jatuh ke tangan yang salah, di luar KPK, sudah bisa diramalkan bagaimana akhir dari cerita. Bukankah kita sudah punya pengalaman pahit dengan sejumlah whistlerblower atau setidaknya orang-orang yang bisa sekaligus menjadi whistleblower, seperti Antasari Azhar, Susno Duadji dan Gayus Tambunan, bahkan juga Anggodo Wijaya, yang semuanya jatuh ke tangan yang salah? Semestinya mereka bisa digiring membantu pengungkapan sejumlah kasus besar lainnya di tubuh kekuasaan, tetapi kini berhasil terbungkamkan. Banyak cerita gelap lalu bisa menjadi gelap selamanya.
RANGKAIAN fakta empiris kebuntuan penuntasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, dari waktu ke waktu, sesungguhnya telah mengukuhkan negeri ini sebagai suatu Republik Korupsi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok korupsi. Karena korupsi belakangan ini makin melibatkan begitu banyak orang, dilakukan secara berjamaah, dan pada umumnya sulit untuk diungkap tuntas karena begitu luasnya persekongkolan yang bisa saling menutupi, maka jaringan korupsi seringkali dianalogikan dengan khewan laut bernama gurita.
Media massa seringkali menggunakan istilah menggurita bagi korupsi yang makin meluas, merambah ke mana-mana secara sistemik dan seringkali terorganisir. Peristiwa terbaru yang kuat beraroma korupsi, menyangkut mantan bendahara Partai Demokrat, dilukiskan sebagai “kasus Nazaruddin makin menggurita”, ketika makin banyak nama yang disebut-sebut keterlibatannya dalam kasus itu. Dr George Junus Adicondro, telah dua kali meminjam nama mahluk laut bertangan (tentakel) banyak ini, untuk dipakai sebagai judul dua bukunya: Membongkar Gurita Cikeas (2010) dan Cikeas Makin Menggurita (2011). Bila berukuran kecil, mahluk laut bertangan banyak itu, dikenal sebagai cumi-cumi yang merupakan santapan yang lezat di restoran seafood. Junus Adicondro yang melalui masa SMA di kota pantai Makassar sampai menjelang pertengahan tahun 1960-an, kemungkinan besar juga senang menyantap cumi-cumi yang lezat.
GURITA RAKSASA. “Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya”. (Source: download).
Saat menyelamatkan diri dari lawan, cumi-cumi maupun gurita kecil akan menyemprotkan ‘tinta’ sebagai kamuflase. Tapi bila berukuran besar, ia berbalik ditakuti mahluk laut lainnya, bahkan dihindari oleh para nelayan, dan disebut sebagai gurita atau octopus. Ada beberapa jenis di antaranya yang ukurannya amat besar dengan kemampuan dahsyat meringkus mangsa dengan belitan tentakelnya yang terkoordinasi, sebelum dihisap sebagai santapan. Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya. Tak pernah ada whistle blower yang bisa selamat menunaikan niat membuka kasus atau pertobatan, melainkan sang pengganggu itulah yang lebih dulu dijerat dan dimasukkan kerangkeng. Para penegak hukum yang masih punya integritas, dibujuk untuk tutup mata, dan bila masih tak mempan rayuan, akan dikriminalisasi sampai tersudut.
Ada beberapa contoh bisa diberikan untuk memperlihatkan kekuatan persekongkolan pelaku korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Komjen Polisi Susno Duadji yang berani mengungkap borok di institusinya, lebih dulu masuk penjara melalui rekayasa dengan mengungkit dosa-dosa lamanya. Antasari Azhar, yang sebagai Ketua KPK diperkirakan mengetahui sejumlah dosa politik masa pemilu dan kejahatan keuangan kalangan kekuasaan, kini mendekam dalam penjara melalui tuduhan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang diskenariokan berlatar belakang cinta segitiga dengan perempuan muda bernama Rani. Ironisnya, itu justru terjadi setelah Antasari mengadukan nasibnya kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kalau begitu, ‘bodoh’ betul jaksa senior ini, setelah melaporkan kepada Kepala Polri tentang teror SMS Nasruddin, malah kemudian memerintahkan ‘pembunuhan’ Nasruddin. ‘Gugatan’ Jusuf Supendi dari PKS yang mengungkap cerita permainan dana politik para petinggi partainya yang muda-muda, terkait pencalonan Adang Daradjatun sebagai Gubernur DKI, tak terdengar kelanjutannya lagi. Bahkan kasus Gayus Tambunan tampaknya cenderung kembali ke posisi fenomena gunung es mafia perpajakan. Kasus rekening gendut perwira tinggi Polri ditamatkan melalui alasan akan terjadi pelanggaran undang-undang bila data rekening tersebut diungkap kepada publik.
ADAPUN Cikeas –yang disebut makin menggurita– sebenarnya hanyalah nama sebuah tempat di Kabupaten Bogor, terletak antara Jakarta dan kota Bogor, namun menjadi masyhur karena dipilih Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tempat membangun kediaman pribadinya yang luas di atas area yang juga luas. Seperti halnya almarhum Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono juga memilih untuk tidak berkediaman di Istana Merdeka. Setelah menjadi Presiden, Soeharto membeli sejumlah rumah di Jalan Cendana untuk diri maupun anak-anaknya. Menyusul, dibeli pula beberapa rumah di Jalan Jusuf Adiwinata persis di belakang jalan Cendana –antara lain rumah milik Siti Hardianti Rukmana dan Hutomo Mandala Putera– sehingga rumah-rumah itu saling memunggungi dan mudah untuk saling mengunjungi lewat jalan belakang. Dua di antara rumah-rumah di Jalan Cendana digabung menjadi satu untuk kediaman Soeharto dan Siti Suhartinah Soeharto, dan sering disebut sebagai Istana Cendana. Sementara itu, rumah SBY di Puri Cikeas, belum sampai disebut Istana Cikeas. Tapi nama Puri Cikeas itu sendiri, kebetulan mirip-mirip dengan penamaan bagi sebuah istana.
Nama dan terminologi Cikeas maupun Gurita, pada hakekatnya merupakan pengertian yang berdiri sendiri. Tetapi ketika kedua nama itu digabungkan dalam serangkaian tuduhan, tersirat pengertian baru yang terkait korupsi kalangan kekuasaan negara dan politik. Tuduhan adanya korupsi dan penyimpangan oleh kalangan kekuasaan, tercipta melalui terungkapnya sejumlah kasus, dan menciptakan kesimpulan tersendiri dalam opini publik. Ketika dua koran Australia, The Age dan Herald, menurunkan tulisan tentang korupsi rezim Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijawab dengan bantahan yang tak meyakinkan, kesimpulan publik tentang kekuasaan yang korup, makin terkonfirmasi. Mencuatnya berbagai kasus belakangan ini, yang melibatkan mantan bendahara Partai Demokrat dan merembet sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan petinggi pemerintahan, disusul keterlibatan kader Partai Demokrat Andi Nurpati dalam dugaan serangkaian kecurangan Pemilu, menjadi konfirmasi terbaru tentang kotornya rezim kekuasaan saat ini. Bukan hanya korup, tapi kemungkinan besar memenangkan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden melalui kecurangan.
Dengan kesimpulan seperti itu, banyak pihak yang sampai kepada kesimpulan, bahwa rezim ini harus dihentikan sebelum betul-betul membangkrutkan negara. SBY dan Budiono sekaligus. Kenapa Budiono juga? Karena menurut arah pengungkapan terbaru kasus Bank Century, Budiono yang kala itu menjadi Gubernur BI, beserta sejumlah petinggi BI, sangat kuat keterlibatannya dalam pemberian bailout bank tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani difaitaccompli dengan data artifisial sehingga menyetujui dana talangan yang kemudian dibengkakkan para petinggi BI, lalu di’pinjam’ sebagai dana politik. Tapi menurunkan paksa Presiden dan Wakil Presiden dengan cara inkonstitusional apalagi dengan anarki, hanya akan menciptakan masalah baru yang belum tentu mampu dipikul oleh bangsa ini. Tentara akan naik lagi mengulangi sejarah lampau, seperti dicemaskan Ikrar Nusa Bhakti dan sejumlah pengamat lainnya. Atau, bisa jadi kaum militan anarkis yang didukung oleh partai-partai politik oportunis yang akan naik. Sebaliknya, membiarkan rezim berlanjut hingga 2014, kemungkinan besar akan membuat bangsa dan negara ini betul-betul bangkrut seperti dikuatirkan Jenderal Purn. Sayidiman Suryohadiprojo. Beberapa unsur mahasiswa intra kampus yang tergabung dalam BEM –yang akan melakukan pertemuan nasional menjelang akhir Juli ini di Bandung– kelihatannya memiliki tawaran jalan tengah. Menganjurkan Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pengunduran diri, agar bisa disusun pemerintahan baru sesuai mekanisme yang terdapat dalam konstitusi. Bila tidak, mahasiswa akan mengajukan tuntutan agar SBY diadili untuk kesalahan-kesalahan yang telah terjadi selama ini yang bisa berlanjut dengan impeachment atau pemakzulan.
Namun terlepas dari itu semua, cara-cara konstitusional saat ini memiliki titik yang sangat lemah, yakni sistem kepartaian yang begitu buruk. Tak satupun partai politik saat ini bisa dipercaya. Partai-partai yang ada adalah partai-partai dengan para pemimpin yang opportunis. Tak ada partai yang betul-betul bersih dari permainan dana politik dan taktik politik kotor. Semua partai telah mengkontribusikan politisi-politisi korup. Mereka adalah bagian dari pembentuk gurita korupsi di dalam tubuh Republik Korupsi ini. Tolong disebutkan partai mana yang tokoh-tokohnya tak pernah bermasalah –besar atau kecil– hukum: PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, PDIP ataupun Gerindra dan Hanura selain Partai Demokrat sendiri? Apakah penyelesaian-penyelesaian konstitusional bisa dipercayakan di tangan partai-partai yang tidak bersih ini? Kalaupun penyelesaian konstitusional terjadi, bagaimanapun diperlukan pengawalan yang kuat terhadap tindak-tanduk politik partai.
TAPI apapun yang akan terjadi, sikap kenegarawanan semua pihak, akan sangat menentukan keselamatan bangsa dan negara ini.
PENGUNGKAPAN’ adanya ‘peran’ belakang layar seorang petinggi partai kalangan penguasa melalui Rosalina Manurung dalam penyuapan Sekertaris Menteri Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam oleh pengusaha Mohammad El Idris, kalau betul, memperkuat gambaran bahwa peranan perencanaan dan pelaksanaan mobilisasi dana politik kini memang makin beralih ke tangan para petinggi partai politik. Untuk kasus ini, pagi-pagi anggota DPR Ruhut Sitompul sudah membantah keterlibatan Bendahara Partai Demokrat.
Tapi terlepas dari itu, adanya seorang petinggi partai menyuruh antar pengusaha pergi melakukan suap kepada pejabat, itu adalah ‘kreativitas’ baru dalam suatu pola baru. Dalam pola lama, di masa kekuasaan Soeharto, tokoh-tokoh dalam pemerintahan melakukan penghimpunan dana melalui berbagai cara, yang tentunya dengan menggunakan kekuasaan, lalu secara terencana dan terpusat disuntikkan ke partai sebagai dana politik untuk memelihara kekuasaan. Tak ada partai dan kekuatan politik masa itu, yang tak kebagian jatah dana politik, meski berbeda urutan dalam jumlah. Dana-dana dari sumber lainnya, terutama dari kalangan pengusaha, yang pada umumnya juga tak terlepas dari peran perorangan dalam kekuasaan, hanyalah menjadi pelengkap yang biasanya dijadikan ‘uang saku’ pribadi para pimpinan partai.
TIKUS KORUPSI DAN UMPAN KURSI. “Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi”. Karikatur, Kompasiana.
Di masa pasca Soeharto, pola penghimpunan dana politik untuk sebagian mirip dengan cara-cara masa kehidupan politik sistem parlementer tahun limapuluhan, dan untuk sebagian lainnya agak serabutan. Dalam masa pemerintahan sistem parlementer, di masa kepresidenan Soekarno sebelum Demokrasi Terpimpin, partai-partai ‘besar’ memiliki menterinya masing-masing di kabinet. Lewat menteri-menteri itu, dana politik digali. Ketika Masjumi dan PSI menempatkan menteri di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, sebagai contoh, lahir pengusaha-pengusaha akten-tas, karena keluar masuk kementerian dengan membawa tas kepit (akten–tas) untuk mengurus lisensi-lisensi. Lisensi-lisensi perdagangan ini bukannya dikelola sendiri, melainkan dijual kepada para pedagang, dan menghasilkan dana pribadi maupun dana politik. Sementara itu PNI menggali dana dari Kementerian Dalam Negeri yang mereka dominasi turun temurun. Tentara yang mulai ikut berpolitik, memperoleh dana melalui pengelolaan berbagai BUMN hasil nasionalisasi, mulai dari bidang perminyakan (Pertamin-Permina yang menjadi cikal bakal Pertamina) sampai kepada bidang perdagangan.
Selain meniru pola masa parlementer, cara penggalian dana politik pasca Soeharto juga berlangsung dengan cara serabutan. Beberapa cara masa Soeharto masih digunakan, dan sebagian lainnya lagi memanfaatkan dana-dana hasil korupsi yang ada di tangan tokoh-tokoh eks kekuasaan Soeharto. Beberapa eks tokoh pemerintahan Soeharto misalnya direkrut oleh partai-partai lama maupun oleh mereka yang mendirikan partai-partai baru. Beberapa mantan menteri, terutama yang kaya-kaya, tampil sebagai tokoh partai.
Dana keluarga Cendana juga menjadi salah satu incaran favorit. Diterima dengan terang-terangan maupun dengan cara diam-diam. Dengan persuasi dan negosiasi, maupun dengan sedikit mengancam. Serombongan orang yang disebutkan sebagai suruhan Presiden Abdurrahman Wahid, antara lain Yenni Wahid, Saefullah Jusuf dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menemui Siti Hardiyanti Rukmana. Ada dua versi tentang tujuan pertemuan itu: Pertama, tidak dengan tujuan ideal, terkait dana politik. Kedua, dengan tujuan ideal agar keluarga Cendana mengembalikan harta-harta ‘hasil korupsi’ ke negara. Menurut penuturan Mbak Tutut (nama panggilan puteri sulung Soeharto itu) kepada mantan Wakil Presiden RI Sudharmono SH saat berkunjung ke Jalan Senopati, sehari atau dua hari setelahnya, permintaan utusan Abdurrahman Wahid itu kurang lebih dijawab, “Harta yang mana?”. Waktu itu, Rum Aly, yang mendampingi Sudharmono mengajukan usul, kalau keluarga Cendana tidak percaya kepada orang-orang pemerintah, sebaiknya menyalurkan langsung saja dana-dananya ke masyarakat yang makin melarat akibat pertengkaran politik yang terjadi. Juga dijawab, kurang lebih, “Harta yang mana?”. Dan kepada Sudharmono, Mbak Tutut mengatakan, “Kami tidak punya harta yang banyak, pak e”. Sudharmono SH hanya terhenyak diam di kursinya. Rum Aly menginformasikan hal itu kepada Marzuki Darusman, Jaksa Agung waktu itu, untuk memperoleh konfirmasi adanya pertemuan di Cendana itu. Tapi beberapa waktu kemudian, berita tentang utusan ke Cendana itu telah merebak melalui media massa.
KASUS penjualan BUMN strategis oleh Menteri BUMN Laksamana Sukardi di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, agaknya tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana partai. Begitu pula penjualan tanker baru Pertamina. Tapi semua itu, tidak mendapat kejelasan lanjut karena kasus-kasus itu tak pernah betul-betul dituntaskan. Partai-partai tampaknya telah terlibat korupsi dalam rangka penghimpunan dana politik, secara struktural. Beberapa contoh bisa ditunjukkan, meskipun semuanya, lagi-lagi belum dituntaskan: Kasus suap dengan travellercheques terhadap Panda Nababan cs dari PDIP dan Paskah Suzetta cs dari Partai Golkar dalam kaitan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Kasus ekspor fiktif senilai USD 22,5 oleh Misbakhum dari PKS dan kasus tudingan tokoh PKS Jusuf Supendi kepada tokoh PKS Anis Matta yang mengantongi secara pribadi 10 milyar rupiah dari dana Pemilihan Gubernur DKI sebesar 70 milyar rupiah yang diserahkan mantan Wakapolri Adang Daradjatun kepada para pimpinan PKS. Kasus korupsi dalam pengadaan sarung, mesin jahit dan impor sapi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah oleh tokoh PPP Bachtiar Chamsyah saat menjabat Menteri Sosial. Mungkin juga nantinya bisa ditemukan bahwa kasus Bank Century tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana politik, yang semuanya berlangsung struktural. Di belakang ‘rekayasa’ kasus Antasari Azhar, kemungkinan besar terdapat kasus-kasus kejahatan keuangan besar dengan motif kepentingan dana politik yang perlu ditutupi dengan eliminasi sang Ketua KPK. Satu contoh lain, adalah yang dituliskan Ikrar Nusa Bhakti di Harian Kompas (29 April 2011) “kasus pengadaan rel kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang senilai Rp. 44,5 milyar”. Belakangan, menurut professor riset dari LIPI itu, kasus itu dipertanyakan karena dinilai kemahalan. “Kasus ini menyangkut nama Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan berbesanan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”. Kalau benar ada yang tak beres, repot juga. Masa seluruh besan SBY, Aulia Pohan dan Hatta Rajasa (yang juga Ketua Umum PAN), harus bermasalah?
Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi. Adapun istilah zona merah ini terasosiasikan dengan wilayah lampu merah perdagangan jasa seksual di beberapa negara ekonomi maju. Tapi bila legalisasi transaksi di wilayah lampu merah itu masih bisa diperdebatkan apakah melanggar hukum atau tidak, maka transaksi di zona merah korupsi tak perlu diperdebatkan lagi, ia adalah kejahatan besar yang harus dibasmi.
DALAM berdemokrasi, selalu disebutkan “dari, oleh dan untuk rakyat”. Tapi dalam praktek politik dan kekuasaan, rakyat sebagai totalitas pemilik kedaulatan, tak selalu hadir. Saat legitimasi diperlukan, rakyat menjadi kebutuhan pokok. Namun saat legitimasi untuk berkuasa sudah diperoleh oleh segelintir orang, atas nama demokrasi dan dengan bantuan sistem demokrasi, seringkali rakyat tidak diperlukan lagi, kecuali sebagai rakyat dalam pengertian kumpulan manusia yang dikuasai dan diperintah. Setiap lima tahun sekali partisipasi rakyat Indonesia diminta, dan bila perlu dimobilisasi melalui pemilihan umum, untuk mengambil keputusan siapa dan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan selama lima tahun mendatang, dan siapa-siapa pula yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat menyandang nama ‘wakil rakyat’.
Usai pemilihan umum, setelah semua berada pada posisi formalnya masing-masing, di belakang layar cenderung diupayakan agar sebisa mungkin, partisipasi rakyat dalam berbagai pengambilan keputusan diminimalkan saja. Permainan sudah berubah, rakyat tak perlu ikutan lagi.
Ketua DPR-RI Marzuki Alie yang sedang asyik dan sibuk mempertahankan rencana pembangunan gedung baru DPR yang berbiaya 1,1 triliun rupiah, dikutip pers mengatakan: “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru DPR. Orang-orang elite saja, orang-orang pintar, yang bisa diajak membicarakan masalah itu. Kalau rakyat biasa dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya” (Kompas, 2 April 2011). Sang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, lebih lanjut mengatakan, “Rakyat biasa dari hari ke hari, yang penting perutnya berisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai”. Jalan pikiran sang Ketua DPR ini agak naif dan sebenarnya tak pantas diucapkan, apalagi dijadikan prinsip. Kalau kalimat ini dipinjam untuk cara memperlakukan kerbau, kalimatnya bisa berbunyi, “Kerbau dari hari ke hari, yang penting perutnya kenyang dengan rumput, kerja membajak sawah, ada kandang, dilatih untuk tunduk dan jinak, selesai”. Jelas, rakyat bukan kerbau, jangan menempatkan dan memperlakukannya sebagai kerbau. Demokrasi telah menempatkan suara dan kehendak rakyat sebagai dasar utama, dan tentu saja tersedia cara yang pantas dan elegan untuk mendengar aspirasi atau pendapat rakyat: Mulai dari berbagai jajak pendapat, pengamatan lapangan (yang lebih berguna dari mode studi banding ke luar negeri), dengar pendapat dengan berbagai unsur dalam masyarakat, hingga pada mekanisme referendum.
NICCHOLO MACHIAVELLI. “Kumpulan taktik dalam ‘kitab hitam’ Machiavelli yang memperkuat jalan kekuasaan Shan Yang memang adalah tipu daya lama yang sudah berusia ratusan tahun, tetapi masih selalu dipraktekkan dalam perjalanan menuju kekuasaan hingga kini, tak terkecuali di Indonesia”.
Sang Ketua DPR yang beberapa waktu lalu ucapannya tentang rakyat dan tsunami Mentawai sempat menghebohkan, sekali lagi berbicara tanpa retorika, berhasil mengungkapkan isi hati kalangan kekuasaan yang sebenarnya, tentang rakyat dan bagaimana memperlakukannya. Sekali ini bahasa verbal sejajar dengan bahasa tubuh dan tindakan. Barangkali, sekaligus memperlihatkan bahwa memang betul rakyat kita belum berhasil dicerdaskan –karena mereka yang berkuasa atas nama rakyat, dari waktu ke waktu, memang tak pernah bersungguh-sungguh mencerdaskan bangsa– sehingga tidak perlu diajak berpartisipasi. Padahal menurut bahasa retorika yang banyak diobral dalam setiap kampanye politik lima tahunan dan dalam kata-kata kosong sehari-hari, rakyat perlu diberi pendidikan politik. Betul kata Niccholo Machiavelli dan Shan Yang, kekuatan negara dan ‘kekuatan’ rakyat adalah suatu keseimbanga terbalik. Negara harus pintar, rakyat harus bodoh.
Tentu bisa terasa berlebihan menggunakan bingkai referensi Machiavelli bagi ucapan sang Ketua DPR, yang terlontar keluar entah karena lugu, entah karena naif, atau memang begitulah sikap dan pemahamannya yang sebenarnya tentang rakyat. Namun terlepas dari itu, cukup merisaukan bahwa dengan kadar rendah ataupun kadar tinggi, pola perilaku Machiavellis –seperti tujuan menghalalkan cara, menjadi jahat agar sukses, mengkerdilkan rakyat, praktek kotor mematikan pesaing dalam kompetisi, pengerahan massa sebagai kekuatan penekanan mencapai tujuan, praktek kekuasaan untuk kekuasaan– menjadi fenomena sehari-hari dalam berbagai praktek kehidupan kemasyarakatan, bukan hanya dalam kehidupan politik dan kekuasaan. Perhatikan saja berbagai peristiwa di Indonesia belakangan ini, dari yang kecil-kecil sampai yang besar: Bom buku untuk teror dan berbagai peristiwa untuk pengalihan isu; Manipulasi statuta dalam persaingan di tubuh PSSI; Jalan pintas memperoleh uang yang dilakukan seorang staf CityBank dan jalan pintas ala Gayus Tambunan; Pejabat dan petugas LP yang mengorganisir perdagangan narkoba bagi narapidana; Rekening gendut perwira Polri; Berbagai skenario memperlemah KPK; Penanganan dan rekayasa dalam kasus Susno Duadji maupun kasus Antasari Azhar untuk menutupi kejahatan lain; Penghambatan pengungkapan kasus Bank Century dan berbagai kasus kejahatan keuangan yang di belakangnya tercium aroma kepentingan dana politik kekuasaan; Praktek money politics dan manipulasi suara dalam Pemilihan Umum nasional maupun Pilkada; hingga yang terbaru, yakni skenario pelemahan undang-undang tindak pidana korupsi.
TAPI apakah sebenarnya Machiavellisme dan siapakah Machiavelli itu? Niccholo Machiavelli (1469-1527), adalah seorang politikus dan negarawan Italia, pengarang buku Il Principe (ThePrince, Sang Raja atau Sang Pangeran), sebuah buku tentang bagaimana politik kekuasaan dijalankan. Ia memandang negara sebagai organisasi kekuasaan, dan memerintah sebagai teknik memupuk dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun sebelumnya orang sudah mengenal politik kekuasaan yang mempergunakan cara dan tipu muslihat yang kotor, tetapi dianggap barulah Machiavelli yang merumuskannya secara sistimatis, sehingga politik kekuasaan yang kotor sering disebut Machiavelli-isme.
Machiavelli, menurut kepustakaan lama yang diangkat dari sebuah media perjuangan mahasiswa tahun 1966, hidup dalam situasi Italia yang terpecah belah dalam negara-negara kecil, dikoyak-koyak oleh perang saudara dan diancam oleh serangan dari luar. Terdorong oleh keadaan tersebut, Machiavelli mencita-citakan kehormatan dan kesejahteraan bangsa Italia, dan untuk itu ditulisnya Il Principe, semula dalam bentuk surat kepada Lorenzo, putera dari Piero di Medici yang memerintah Kerajaan Florence pada waktu itu.
Menurut Machiavelli, amat besar perbedaan antara cara orang seharusnya hidup dan cara orang hidup sebenarnya. Di lingkungan orang-orang jahat, pasti orang-orang baik akan binasa, sehingga seorang raja harus belajar supaya tidak menjadi orang baik. Seorang raja harus mempunyai sifat-sifat kancil dan harimau; harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi harimau untuk mengejutkan serigala. Pada pokoknya Machiavelli mencoba memberikan petunjuk bagaimana mempertahankan dan menggunakan kekuasaan dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan penipuan dan kekerasan, bila perlu demi keselamatan negara boleh mengesampingkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Bagi Machiavelli berlaku the end justified the means, tujuan menghalalkan cara.
Buah pikiran Machiavelli mirip sekali dengan buah pikiran Shang Yang dari Tiongkok yang lebih tua usianya. Shang Yang membeda-bedakan antara negara dan rakyat, kekuatan negara dan kekuatan rakyat. Ia membeda-bedakan kedua hal itu sedemikian rupa, sehingga ia melihat kedua kekuatan sebagai suatu keseimbangan terbalik. Apabila negara kuat dan berkuasa, maka rakyat harus lemah dan miskin; sebaliknya bila rakyat dijadikan kaya dan kuat, maka negara menjadi lemah. Maka tujuan tunggal, demikian Shang Yang, terletak dalam membuat negara berkuasa, yaitu dengan menyusun tentara yang kuat dan teratur, tidak mewah dan bersedia untuk menghadapi bahaya-bahaya.
Perbedaan antara Machiavelli dan Shang Yang hanyalah bahwa Machiavelli masih menetapkan tujuan bagi penggunaan kekuasaan itu yakni kehormatan dan kebahagiaan orang-orang Italia, sedangkan bagi Shang Yang tujuannya adalah kekuasaan organisasi pemerintahan itu sendiri, kekuasaan untuk kekuasaan. Tetapi bagaimanapun juga, kedua-duanya bertentangan dengan kemanusiaan, keadilan dan demokrasi. Baik filsafat “kekuasaan untuk kekuasaan” maupun filsafat “tujuan menentukan cara” adalah bertentangan dengan peradaban manusia yang demokratis.
KUMPULAN taktik dalam ‘kitab hitam’ Machiaveli yang memperkuat jalan kekuasaan Shan Yang memang adalah tipu daya lama yang sudah berusia ratusan tahun, tetapi masih selalu dipraktekkan dalam perjalanan menuju kekuasaan hingga kini, tak terkecuali di Indonesia. Kita melihat bahwa dalam konstruksi pemahamannya sejauh ini, dalam konteks Indonesia, adakalanya rakyat memang dibutuhkan, namun lebih banyak masa lagi rakyat tak dibutuhkan kehadirannya. Kenapa ‘ilmu hitam’ itu bisa demikian bertahan untuk tidak menyebutnya cenderung abadi? Tak lain karena ia mewakili bagian terburuk dan paling gelap yang tetap ‘terpelihara’ dalam sanubari manusia –terutama di tubuh bangsa yang mengalami kegagalan pembangunan sosiologis serta kegagalan pencerdasan dan penanaman etika– yakni hawa nafsu kekuasaan untuk penaklukan. Hanya bisa diredam dengan kecerdasan etis.