Category Archives: Intermezzo

Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

TANPA kedatangan ‘utusan setan’ sekalipun, segala jenis setan memang sudah ada di negeri kita ini. Solid dan terkonsolidasi. Kalau ada yang meneriakkan tentang ‘utusan setan’, tak lain karena seperti maling, setan pun bisa menggunakan taktik ‘setan teriak setan’. Paling cerdik dan culas di antara segala setan yang gentayangan di negeri ini, adalah setan yang menjadi mahaguru ilmu korupsi. Para manusia yang menjadi murid-muridnya –dan telah bermutasi sebagai setan korupsi– telah ikut mengisi sejarah Indonesia merdeka selama 66 tahun lebih. Tentang ‘utusan setan’, sekedar sebagai intermezzo, baca juga sebuah tulisan lain di blog ini, 28 Mei 2012. (https://sociopolitica.wordpress.com/2012/05/28/lady-gaga-semua-setan-juga-sudah-ada-di-sini/).

WAJAH SANG SETAN. “Tapi memang, setan bisa berbisik di mana saja dan kepada siapa pun juga”. (Download: 123RF)

Tentu operasi setan tak hanya terjadi di Indonesia. Penulis perempuan dengan jam terbang lebih 30 tahun, Bethany McLean, dan kolumnis bisnis Joe Nocera, 2010 menulis buku “All The Devils Are Here” (Penguin Book). Seperti tercermin pada subjudulnya, buku itu membuka kedok sejumlah tokoh dan lembaga internasional yang telah membangkrutkan dunia, melalui skandal keuangan maupun kebijakan. Beberapa nama di antaranya, tidak asing, atau setidaknya diketahui pernah bersentuhan dengan Indonesia.

Namun, dengan atau tanpa persentuhan dengan luar pun, para pelaku korupsi di Indonesia sudah cukup dahsyat. Dan sewaktu-waktu bisa membangkrutkan keuangan negara, sekaligus membangkrutkan moral bangsa.

Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi misalnya, bisa menjadi komoditi kejahatan. BBM bersubsidi diselundupkan ke beberapa negara sekitar yang harga jual BBM-nya lebih tinggi. Bukan rahasia bahwa ikan dan kekayaan laut Indonesia lainnya, selalu dijarah habis-habisan oleh nelayan negara tetangga yang terorganisir, karena kelemahan kebijakan kelautan maupun lemahnya pengawasan dari TNI-AL yang kapalnya kurang banyak. Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri, mengutip data FAO tahun 2008, menyebutkan 1 juta ton Continue reading Indonesia, Seluruh Setan Memang Ada di Sini….

Lady Gaga, Semua ‘Setan’ Juga Sudah Ada Di Sini

SEBUAH poster menggunakan sebutan “Lady Setan Gaga”, dipampangkan oleh para pengunjuk rasa dalam sebuah demo menentang rencana kedatangan penyanyi unik dan eksentrik asal Amerika itu ke Jakarta. Diberitakan pula, seraya menyebut Lady Gaga sebagai “pembawa pesan setan”, seorang tokoh FPI mengancam akan mengerahkan ribuan massanya untuk mencegat pesawat Lady Gaga di bandar udara. Ini rupanya mau meniru apa yang dilakukan komunitas masyarakat Suku Dayak di Palangka Raya Kalimantan Tengah beberapa bulan lalu, tatkala berhasil mencegat dan ‘mengusir’ sejumlah tokoh FPI kembali ke Jakarta, di Bandara Tjilik Riwut. Seperti juga yang dialami dua pimpinan utama DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan Ibas Baskoro Yudhoyono, yang dicegat di bandara Ternate Maluku Utara oleh massa internal partainya sendiri.

LADY GAGA. “Kalau polisi saja bisa dibuat gentar –meski itu disangkal para perwira Polri– apalagi Lady Gaga. Penyanyi yang bernama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta itu membatalkan datang ke Indonesia, karena merasa keamanannya takkan bisa dijamin polisi Indonesia. Kalau sudah begitu, tentu apa boleh buat, walau sejumlah fans Lady Gaga mengatakan tak gentar dan siap menghadapi bila FPI mencoba mewujudkan ancamannya mengacau konser Lady Gaga”. (Foto Reuters).

Penolakan FPI (Front Pembela Islam) terhadap Lady Gaga, ditemani oleh beberapa organisasi massa Islam yang dikategorikan kelompok radikal, seperti Hizbut Tahrir (HT) dan Forum Umat Islam (FUI). Jadi, meskipun selama ini FPI hanya bisa membuktikan pengerahan massa dalam skala ratusan orang, mungkin sekali ini bersama Hizbut Tahrir dan FUI, pengerahan itu bisa mencapai sekitar 1000 orang. Organisasi-organisasi radikal ini, sebenarnya hanyalah minoritas di kalangan umat Islam Indonesia, yang secara kuantitatif tak bisa dibandingkan dengan misalnya NU dan organisasi-organisasi sayapnya yang punya jutaan anggota. Akan tetapi, karena suara FPI dan kawan-kawan sangat vokal, galak, dan perilakunya sering ekstrim penuh kekerasan, maka banyak juga kalangan di masyarakat yang cemas terhadap kehadiran mereka. Semacam angstpsychose begitu, atau paling tidak, menang gertak. Jangankan masyarakat, polisi saja pun seringkali seperti ‘takut’ menghadapi mereka, dan tentu saja ini ada cerita belakang layarnya. (Lebih jauh tentang FPI, baca: sociopolitica.wordpress.com/2012/01/11/fpi-dengan-laskar-paramiliter-menentukan-otoritas-sendiri-1/)

DALAM kasus konser Lady Gaga ini, FPI dan kawan-kawan kembali berhasil menggertak dan ‘menang’ karenanya. Polisi dibuatnya seakan maju-mundur, dan terkesan takkan mampu menjamin Continue reading Lady Gaga, Semua ‘Setan’ Juga Sudah Ada Di Sini

Akhirnya Iblis Memohon ‘Pensiun Dini’…..*

SUATU ketika, Iblis maju ke hadapan Tuhan, memohon agar dibebastugaskan dari pekerjaan menggoda manusia.

Tuhan menjawab, “Engkau ingin pensiun?… Bukankah engkau sendiri yang dulukala meminta untuk selalu menggoda manusia?”.

SETAN IBLIS DI TUBUH MANUSIA. “…sekarang kelakuan manusia sudah melebihi iblis”. (repro).

Dengan muka tertunduk, Iblis berkata dengan lirih, “Ampun ya Allah…. Amit-amit, sekarang kelakuan manusia sudah melebihi iblis. Hamba kuatir, nanti justru hamba yang tergoda oleh manusia…”. Terdiam sejenak, menelan ludah, Iblis melanjutkan, “Makanya hamba minta pensiun dini saja. Manusia berzina, yang enak dia, tapi yang disalahkan hamba. Manusia korupsi, dia yang menikmati, katanya digoda oleh hamba. Dan yang paling sedih, setiap musim haji ke Makkah, hamba dilempari batu oleh berjuta-juta manusia di Mina, padahal yang melempari itu, sebagian murid hamba…  Ongkos naik hajinya saja belum tentu halal…”.

“Oooh….. “, ‘keluh’ Tuhan.

Malaikat yang juga hadir, dan dari tadi diam saja, ikut bicara dengan nada prihatin, “Tapi…. tak kalah menyedihkan, banyak manusia jaim yang seringkali berlagak suci sehingga dielu-elukan bagaikan malaikat, ditempatkan sebagai pemimpin bangsa dan masyarakat atau badan pemberantasan korupsi, tetapi sebenarnya adalah murid-murid ranking teratas dari rekanku sang Iblis…..”.

Tuhan pun diam saja, tak lanjut bertanya di negeri-negeri mana saja gerangan semua itu terjadi. Beliau sudah lebih tahu….

 Rapat Koordinasi Para Jin dan Mahluk Halus Jasa Pesugihan

            RESAH karena makin meningkatnya penipuan dan ingkar janji manusia terhadap mereka, maka para jin dan mahluk halus penyedia jasa pesugihan se-Indonesia menyelenggarakan rapat koordinasi nasional untuk membahasnya.

Penipuan-penipuan itu umumnya menyangkut pemalsuan tumbal dan sesajen: darah manusia diganti darah kambing atau darah ayam, tumbal bayi menggunakan hasil traficking, penggunaan kemenyan palsu (sebenarnya obat nyamuk bakar), kembang plastik diaku kembang tujuh rupa, ayam potong dihitamkan dengan semir rambut seakan-akan ayam cemani hitam asli, pemalsuan tali pocong dan sebagainya, ditambah penggunaan dukun korup.

Setelah mendengar berbagai laporan di rapat itu, pemimpin sidang rakornas, menukas, “Lho.. kan gampang. Jalankan saja eksekusi sesuai perjanjian pesugihan?!”.

“Tapi, manusia menggunakan ‘pengacara-pengacara’ pinter….”, salah satu mahluk halus menjawab.

“Kan pengacaranya juga manusia, bisa kalian tindaki dengan gampang?”.

“Nah, itu dia soalnya, pak ketua..”, jawab peserta rakor lainnya. “Para pengacara itu mempraktekkan kebiasaannya di dunia manusia, menyogok oknum penguasa di kalangan ‘bangsa’ kita sebagai centeng untuk menghambat penindakan dan eksekusi…”.

Akhirnya, rapat koordinator memutuskan, menunda dulu penindakan kepada manusia-manusia yang ingkar janji, dan mendahulukan pembersihan internal di kalangan jin dan mahluk halus penyelenggara jasa pesugihan. Dan untuk keperluan itu, dibentuk Komite Etik dan Kehormatan.

*Cerita-cerita humor ini beredar di lintas sms.

‘The Singing Cop’ Norman Kamaru

ADA ‘The Singing General’ Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden kita, ada pula ‘The Singing Cop’ Norman Kamaru, anggota Brimob di Gorontalo yang berpangkat Brigadir Polisi Satu. Beda generasi, beda pangkat dan jabatan, tapi sama-sama senang menyanyi. Selera juga sedikit beda. Sang Jenderal sering menyanyikan lagu-lagu citptaan Zamrud dan kemudian lagu-lagu ciptaannya sendiri, bahkan sudah ada CD rekamannya. Kegemaran SBY untuk menyanyi bisa diterima masyarakat sebagai sisi yang menyenangkan dari sang Presien. Sementara itu sang Briptu senang mendendangkan lagu-lagu India yang membuat orang senang.

 

Video lipsync-nya menggunakan lagu Shahrukh Khan, Chaiyya-chaiyya sambil duduk-joget di bangku di pos penjagaan markas kesatuannya, yang ada di jaringan youtube ramai diakses sehingga ia mendadak populer bak selebriti. Publik pada umumnya menerima penampilan polisi muda ini di youtube sebagai intermezzo yang menyenangkan dan sama sekali tak mempersoalkannya sebagai seorang polisi yang tak beres. Atasan-atasan langsungnya di kesatuannya juga hanya mencukupkan diri dengan teguran biasa.

Tapi, para atasan di tingkat lebih tinggi, termasuk di Mabes Polri, rupanya tak cukup punya selera humor untuk menerimanya. Langsung ada pernyataan yang menilainya indisipliner dan dinyatakan akan dikenakan sanksi. Rupanya para petinggi Polri sedang ada dalam suasana tegang terkait citra kepolisian. Padahal, apa yang dilakukan Norman Kamaru justru menampilkan sisi lain dari wajah polisi, yakni sisi manusiawi yang tidak sangar, sehingga tak perlu menjadikan polisi sebagai sesuatu yang ditakuti. Takkan menurunkan kewibawaan polisi. Kewibawaan polisi dan rasa percaya kepada polisi justru terganggu oleh kegagalan menuntaskan berbagai kasus ‘besar’ yang menjadi perhatian masyarakat, terutama yang melibatkan nama beberapa perwira polisi sendiri.

Pers pun langsung ramai memberitakan ancaman sanksi yang dihadapi Norman Kamaru, bukan hanya pers Indonesia. Strait Times yang menyebut Norman Kamaru sebagai The Dancing Cop itu, memberitakan bahwa sang polisi muda itu terancam hukuman dari atasan. Sementara itu sambil menayangkan rekaman video yang diunduh dari youtube sejumlah televisi menampilkan pendapat-pendapat yang memberi dukungan agar jangan sampai Norman dikenakan sanksi, dihukum atau bahkan dipecat dari kepolisian. Program dukungan untuk Norman Kamaru di Face Book mengalir dan segera mencapai angka ribuan.

Kenapa publik memprotes dan menolak bila Briptu Norman akan ditindak? Sederhana saja. Meskipun apa yang dilakukan polisi muda ini ‘mungkin’ –di antara tanda kutip– saja melanggar disiplin, tapi pelanggaran itu betul-betul hanya bagaikan sebutir pasir di antara begitu banyak kesalahan besar yang pernah terjadi di tubuh kepolisian. Dan pembiaran terhadap kesalahan-kesalahan besar itu sungguh menyakitkan hati orang banyak. Masyarakat pasti menginginkan itu lebih dulu ditindak sebelum menindak Briptu Norman. Publik selalu mempertanyakan bagaimana dengan kelanjutan kasus rekening gendut perwira Polri? Bagaimana dengan pengungkapan Komjen Susno Duadji tentang beberapa nama jenderal yang terlibat dalam permainan sekitar kasus Gayus Tambunan. Bagaimana dengan berita-berita keterkaitan oknum dalam jaringan mafia hukum, makelar kasus, keterlibatan dalam masalah narkoba, rekayasa kasus, sampai salah tangkap dan berbagai kasus kekerasan terhadap pelaku-pelaku kejahatan kecil?

Mendaur Ulang ‘Sampah’ Dari ‘Pinggir Jalan’

MENGHADAPI tsunami pemberitaan bocoran WikiLeaks melalui pers Australia, para menteri dan lingkaran dalam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha dengan keras menciptakan opini ke tengah publik bahwa informasi itu berkategori ‘sampah’ yang dipungut dari ‘pinggir jalan’. Tetapi tentu saja cukup menarik, bahwa ‘sampah’ dari ‘pinggir jalan’ itu berhasil membuat sejumlah menteri dan kalangan lingkaran dalam itu, maupun tokoh-tokoh yang disebut namanya oleh The Age dan The Sydney Morning Herald, terlihat ‘panik’.

Tercampur sedikit gaya ‘akrobatik’ yang lazim dilakukan di lingkungan istana penguasa-penguasa di mana-mana di dunia ini dari masa ke masa, orang-orang lingkaran dalam itu, seakan berlomba meluapkan ‘emosi’ dengan kata-kata yang cenderung berkonotasi vulgar, semacam “iseng”, “murahan”, “ngawur” sampai “sampah” dan sebagainya. Tak sia-sia, karena Presiden sendiri akhirnya mengucapkan terima kasih atas “beberapa komentar” itu. “Tapi, saya pandang sudah cukup”.

Terkonfirmasi dengan pengetahuan publik.

Kalau dikatakan bahwa informasi dari bocoran WikiLeaks itu adalah sampah yang dipungut dari pinggir jalan, maka rekonstruksi humornya adalah bahwa para diplomat AS kurang hati-hati ketika berjalan menenteng map di pinggir Jalan Merdeka Utara, kemudian tercecer sebagai sampah, lalu dipungut atau bagaimana, sehingga akhirnya isi map itu tiba ke tangan Julian Assange sang pemulung.

Pertanyaannya, kapankah informasi itu menjadi sampah? Apakah sejak awal, ketika para diplomat AS itu mengolah informasi dari sumber dan data berkategori sampah dengan cara pemulung sampah, atau dalam proses di tengah saat berada di tangan WikiLeaks atau di tangan The Age dan The Herald, atau ‘bermutasi’ ketika masuk ke dalam persepsi para pejabat lingkaran dalam Istana? Ataukah, tak kalah mungkinnya, apa yang dilaporkan para diplomat itu melalui kawat ke Washington memang adalah perilaku perbuatan yang memang berkategori sampah yang tak beda jenis dengan kriminal pinggir jalan?

Tidak mudah untuk menentukan di bagian manakah dari rantai persoalan ini tumpukan sampah berada. Dengan solidaritas nasionalisme yang tradisional, berlaku prinsip right or wrong my country. Tapi dengan sudut pandang baru dan rasional, kemungkinan besar tak semua dari kita mau menjadi pembela yang membabi buta bagi ketidakbenaran yang dilakukan bangsa sendiri. Pengalaman mengajarkan bahwa bangsa sendiri pun bisa menjadi penghisap ‘darah’ bangsanya sendiri saat mabuk kekuasaan. Walau sebaliknya, kita pun tak mau menjadi bagian dari perbuatan fitnah atau character assassination seperti yang dikeluhkan Presiden SBY terjadi atas dirinya.

JALAN yang paling tepat, mungkin adalah meminta klarifikasi dan jawaban yang tegas dari Pemerintah AS dan atau Kedutaan Besar AS di Jakarta, apakah informasi yang berasal dari bocoran kawat diplomatik itu benar atau tidak benar. Bukan sekedar kata penyesalan Duta Besar Scott Allan Marciel, tanpa menolak atau membenarkan tuduhan yang terkandung dalam kawat yang bocor itu.

Secara internal, di dalam negeri, rakyat berhak meminta kebenaran. Harus diakui bahwa apa yang menjadi bahan pemberitaan The Age maupun The Herald saling terkonfirmasi dengan apa yang didengar dan telah menjadi pengetahuan publik selama ini mengenai: SBY, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Taufik Kiemas, campur tangan belakang layar kekuasaan dalam hukum, kedekatan pengusaha seperti Tommy Winata ataupun yang lainnya dengan kekuasaan, sampai ke ‘legenda’ Sembilan Naga. Para penegak hukum dan kekuatan pengawasan publik, harus mencari kepastian tentang kebenaran atau ketidakbenaran persoalan. Setelah memperoleh kebenaran, rakyat berhak memperoleh keadilan, bebas dari berbagai perilaku sampah yang langsung atau tidak langsung menjadi sumber kesengsaraan rakyat terbanyak.

Dan, karena kita terlanjur berbicara mengenai sampah, ada baiknya institusi-institusi penegak hukum kita, khususnya KPK yang menjadi tumpuan harapan dalam kategori the bad among the worst, mengurai sampah-sampah itu. Mendaur ulang, untuk memusnahkan bakteri-bakteri yang merugikan dan sebaliknya membiarkan bahkan mengakselerasi bakteri-bakteri pembusuk bekerja untuk menghancurkan sampah-sampah itu. Dengan tetap berpegang kepada azas praduga tak bersalah, KPK bisa menjadikan data bocoran kawat diplomatik itu sebagai informasi atau indikasi awal untuk memulai suatu penyelidikan terhadap nama-nama maupun kasus dan peristiwa yang ada dalam bocoran kawat diplomatik itu. Apalagi, cerita-cerita itu sudah lama berada di ranah publik dalam beberapa tahun ini.

Pergaulan Bebas Manusia dengan Jin

SAMBIL menunggu bagaimana akhir kisah reshuffle kabinet (jadi atau tidak) dan lanjutan lakon perombakan tubuh koalisi SBY maupun perombakan PSSI, serta mengira-ngira seberapa sakitnya nanti akibat kenaikan BBM, adanya baiknya kita mengikuti cerita intermezzo mengenai pergaulan atau interaksi manusia dengan jin. Mungkin bisa menghibur, bila mengetahui apa-apa saja hasil koalisi kehidupan manusia dan jin selama ini.

RIBUAN abad ‘hidup’ berdampingan, meski berbeda dimensi, tak bisa dihindari bahwa manusia dan jin pada akhirnya saling bertukar referensi. Manusia bisa meniru jin, dan sebaliknya jin juga bisa meniru manusia, lahir-batin. Konon pula, tak jarang manusia bersekutu dengan jin sebagai perorangan, bahkan dengan skala lebih besar dalam bentuk koalisi. Masih ingat ‘berita’ humor beberapa tahun lalu, tentang Gus Dur yang katanya akan mengerahkan barisan jin untuk menghadapi barisan manusia pengganggunya?

Dalam beberapa majalah mistik dan misteri, yang sempat menjamur di awal masa reformasi dan masih ada hingga sekarang, tidak sulit menemukan iklan-iklan penawaran untuk membeli atau menyewa jin lelaki atau jin perempuan. Kegunaannya macam-macam, apa saja, karena dalam hubungan manusia dengan jin tak dikenal kesetaraan, konon pula kesetaraan gender. Jin perempuan bisa ‘digunakan’ sekehendaknya oleh sang majikan lelaki, karena jangankan terhadap jin perempuan, terhadap manusia perempuan pun banyak kaum lelaki  bertindak semena-mena. Jin perempuan yang sedikit beruntung, bisa dinikahi secara siri maupun mu’thah. Dan dalam versi cerita yang tak masuk akal, katanya bisa lahir sejumlah anak dari hasil perkawinan antar mahluk lintas dimensi itu.

Salah seorang tokoh global yang legendaris, Aladdin, termasyhur karena memiliki lampu ajaib berpenunggu jin. Dengan menggosok-gosok lampu ajaib, sang jin akan hadir menyembah dengan takzim seraya menanyakan dengan gaya customer service sejati, “Apa yang bisa saya bantu, tuan?”. Dengan bermodal lampu, Aladdin berhasil mengumpulkan harta dan properti sebanyak-banyaknya, bahkan bisa mempersunting puteri sultan penguasa negeri. Manusia Indonesia masa kini, berhasil meng’adopsi’ metode Aladdin: Berjuang habis-habisan meraih posisi dalam kekuasaan negara dan menjadikan jabatannya sebagai lampu Aladdin. Para pejabat itu bisa memfungsikan para pengusaha yang berkepentingan dengan dirinya sebagai para jin, yang akan mempersembahkan uang dan harta, cukup dengan isyarat menggosok-gosokan ibu jari dengan telunjuk. Tentu, bisa juga terjadi yang sebaliknya, para konglomerat yang berperan sebagai Aladin. Dengan melambai-lambaikan tumpukan rupiah atau valuta asing (seringkali cukup dengan cawat alias cek lawatan atau travel cheque), oknum pejabat, penegak hukum sampai anggota parlemen, bisa tunduk bagaikan jin untuk memenuhi keinginan sanga konglomerat. Uang memang telah menjadi mantera kehidupan dan dalam dunia politik bisa lebih ampuh dari orasi genius manapun.

TAPI tahukah anda bahwa sifat jin dan manusia seringkali makin sulit dibedakan? Tak lain karena agaknya telah terjadi pertukaran referensi dan bahkan bisa menjadi pertukaran kebudayaan. Ada jin kafir, ada jin tidak kafir, ada yang beraliran benar, ada yang beraliran sesat, persis penggolongan yang diintrodusir oleh manusia ketika melakukan pengkategorian berdasarkan penafsirannya yang keliru tentang manusia lain dalam kehidupan beragama. Meski ada pengkategorian seperti itu, jarang dipersoalkan mengenai penggambaran penampilan dan cara berpakaian para jin. Jin lelaki, selalu berpakaian ala wilayah Laut Tengah, rapih, bersurban atau botak berkuncir, dada depan terbuka karena hanya memakai rompi, celana ala Sinbad dengan terompah runcing. Sementara itu jin perempuan berpenampilan sensual tak kalah dengan penari tari perut Mesir dan pasti rupawan serta bertubuh indah. Kaum lelaki di belahan dunia manapun, boleh dibilang tak pernah memprotes penampilan jin perempuan seperti ini yang telah terpateri di memori milyaran manusia lelaki dari masa ke masa. Pendek kata, jin adalah mahluk yang selalu menjaga penampilan, untuk menjaga imagenya, semacam mahluk jaim begitu.

JIN MEMPERSEMBAHKAN UPETI. Para jin masa kini juga sudah mulai berani memanipulasi statuta dan standar etika mereka. Namun, sehebat-hebatnya jin, manusia lebih kreatif. (Free sources).

Soal karakter, manusia dan jin saling mempengaruhi. Kadangkala manusia memang berperilaku ala Aladdin, tetapi seringkali tak keberatan berperilaku bagaikan jin pengabdi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Menurut statuta asli dari para jin, mahluk dimensi lain ini tak boleh membangkang perintah majikan, apapun kelakuan sang majikan, tak boleh mengkhianati koalisi dengan manusia, tak boleh korupsi, menerima suap atau tindakan memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan kemampuan magic-nya.

Tetapi rupanya, para jin masa kini juga sudah mulai berani memanipulasi statuta dan standar etika mereka. Mungkin meniru apa yang terjadi di PSSI. Menurut versi sebuah iklan rokok yang sering ditayangkan di televisi, sudah ada jin bermental korup. Suatu ketika seorang wajib pajak menghadap seorang petugas pajak yang berpenampilan ala Gayus dan coba dimintai uang pelicin untuk jasa penyelesaian urusannya. Dengan kesal ia keluar dari kantor itu sambil menendang-nendang benda-benda yang ada di depannya. Tanpa sengaja ia menendang lampu ajaib dan muncullah jin lampu, “Kuberi satu permintaan…”. Dengan penuh emosi sang manusia mencerocos, “korupsi, suap…. semua hilang dari muka bumi!”. “Bisa diatur”, kata sang jin, tapi sambil menggosok-gosokan ibu jari dan telunjuknya, ia lalu berbisik, “Uang ne.. piro?”.

Namun, sehebat-hebatnya jin, manusia lebih kreatif. Menurut Iqbal (1932) manusia sudah bisa membentuk ‘parlemen setan’. Sebelumnya, bahkan manusia telah membunuh Tuhan. Kata Nietzsche, “Tuhan telah mati” dalam jiwa manusia modern. Manusia Indonesia pun mampu memanipulasi bukan hanya jin, tetapi juga berbagai mahluk dimensi lainnya. Sejumlah oknum mampu menciptakan ‘biaya siluman’ untuk memperkaya diri maupun kelompok kepentingan dan kelompok politiknya. Gaya siluman pun bisa diterapkan dalam praktek politik untuk menyebar intrik, insinuasi, paling tidak menjadi pembisik gelap tokoh-tokoh pemimpin politik dan negara. Sekelompok manusia lain bisa memasukkan karakter vampir dan palasik ke dalam praktek ekonomi dan sosial yang pada hakekatnya menghisap darah rakyat habis-habisan. Dan bila saatnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, di depan hukum misalnya, manusia bisa ‘menghilang’ bagaikan mahluk halus entah ke mana. Belum lagi para narapidana korupsi yang dengan mantera ‘khusus’ bisa menghilang dari sel penjara sekehendaknya, khususnya di malam hari. Tumbal manusia menjadi bagian dari ritual penyimpangan penegakan hukum dan penindasan politik. Bahkan ada kelompok manusia yang sanggup berperilaku setan atau iblis sambil mengatasnamakan agama.

Puncak dari segalanya, yang sebenarnya paling menakutkan, adalah manusia yang telah sampai kepada tingkat kemampuan menampilkan diri dengan wajah dan kata-kata bagaikan malaikat, namun seluruh tubuhnya pada hakekatnya sepenuhnya iblis. Kita terpesona oleh pencitraan, lalu terkecoh, menaruh harapan penuh, menyerahkan diri kepada perlindungannya yang sebenarnya adalah cengkeraman, tetapi kita tak tahu apa yang akan menimpa diri kita pada akhirnya.

Manusia memang lebih cerdik. Tak lupa, mohon maaf, bila ternyata intermezzo ini malah tidak menghibur.

Menunggu Hari Ke-sembilan, Setelah Delapan Hari Yang ‘Meletihkan’ Bersama SBY

SELAMA delapan hari, 1 sampai 8 Maret 2011, perhatian publik, suka atau tidak, tertuju kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia. Dan lagi-lagi SBY menghidangkan suatu akhir yang berupa anti klimaks. Terkecuali, bila pada hari ke-sembilan, 9 Maret 2011 ini –mengingat bahwa angka 9 adalah angka istimewa baginya– ia tiba-tiba membuat kejutan, semisal tetap melakukan reshuffle kabinet, kendati telah mencapai kesepakatan ‘baru’ dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie 8 Maret sore. Dan kalau itu terjadi, kemungkinan besar tumbalnya tak lain PKS sendirian tanpa Golkar. PKS dikeluarkan dari koalisi, dan menteri-menterinya meninggalkan kabinet. Itu pun kalau memang SBY cukup berani. Gerindra bisa berharap-harap cemas untuk bisa masuk dalam kekuasaan pemerintahan.

Dengan bahasa tubuh yang mencerminkan kegusaran, Selasa sore 1 Maret di Istana Presiden, didampingi Wakil Presiden Budiono, kepada pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dengan mimik serius dan dibuat dingin, “jika memang ada partai politik yang tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama saya dulu, tentu partai politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi”. Dengan segera orang menterjemahkan bahwa partai-partai yang dimaksud itu tak lain adalah Partai Golkar dan PKS yang ikut aktif mengusung pelaksanaan hak angket mengenai Mafia Perpajakan di DPR pekan lalu.

Terutama bersumber dari tokoh-tokoh Partai Demokrat, isu reshuffle kabinet menggelinding. Dan karena Partai Golkar maupun PKS memiliki representasi yang yang cukup besar di kabinet, maka ‘antrian’ masuk kabinet itu pun cukup panjang. Gerindra yang fraksinya di DPR tidak ikutan mendukung hak angket mengenai mafia perpajakan, disebut-sebut akan menempatkan kader-kadernya di kabinet. Gerindra agaknya mengincar setidaknya dua kursi yang dalam kaitan potensi sumber dana amat menjanjikan, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.

Sementara itu, masuk-tidaknya kader PDIP ke dalam koalisi dan kabinet, menjadi cerita tersendiri yang setengah absurd. Konon SBY menawarkan, dan Taufik Kiemas bersama puterinya, Puan Maharani ‘menyambut’ dan terlibat sejumlah pertemuan, baik dengan Hatta Rajasa maupun SBY sendiri. Suami Megawati Soekarnoputeri ini memang sejak lama memang tak menutup-nutupi ambisinya masuk ke dalam kekuasaan negara dengan cara dan kompromi apapun. Untuk dirinya, Taufik telah meraih kursi Ketua MPR walau ketika telah duduk di sana, berkali-kali ia menampilkan kegamangan dan kecanggungan. Tapi 9 dari 10 kemungkinan, sang penentu, Megawati Soekarnoputeri, akan tetap tak mau berjalan bersama SBY, melanjutkan kisah kesumat lama.

ENTAH pentas politik dengan lakon pembersihan koalisi dan reshuffle kabinet ini akan berakhir dengan suatu anti klimaks sebagai bagian dari politik gertak sambal, entah justru dengan suatu kejutan di hari ke-sembilan, akan segera kita ketahui. Tapi apapun itu, lagi-lagi kita dihidangi perilaku politik konyol, yang nyata-nyata memperlihatkan dikedepankannya politik kepentingan di atas segalanya. Pertunjukan politik semacam ini telah cukup meletihkan publik, tidak produktif, mengganggu fokus dari hal-hal yang lebih penting, dan lakon seperti ini adalah untuk kesekian kalinya selama beberapa tahun ini. Padahal, sudah terlalu banyak hal-hal meletihkan ditumpahkan ke pundak rakyat, mulai dari masalah korupsi, kegagalan penegakan hukum, kegagalan pelayanan kesehatan, kegagalan bidang ketenagakerjaan dan penyediaan lapangan hidup, kegagalan pemerataan pendidikan, sampai ke soal-soal ‘kecil’ seperti yang dicatat pada kisah di bagian penutup berikut ini.

GAJAH TAMAN SAFARI. Ke Taman Safari menamai anak gajah, ke Istana Cipanas untuk reuni Angkatan 1973 Akabri. Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, dan berkunjung di hari lain ke Taman Safari?

Akhir pekan kemarin ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan berkunjung ke Taman Safari di jalur wisata Puncak (Cisarua) untuk menamai anak gajah yang baru lahir dan ke Istana Cipanas untuk acara reuni dengan Angkatan 1973 Akabri –angkatannya tempo dulu sewaktu menjadi Taruna. Daerah-daerah tersebut dikenal sebagai daerah rawan macet setiap akhir pekan. Tanpa kehadiran Presiden menggunakan jalur itu pun kemacetan selalu terjadi. Dan kemarin, ketika rombongan Presiden ikut menggunakan jalur tersebut, lalu lintas lumpuh total, berlipat-lipat kali dari kemacetan biasanya. Sejumlah pengguna lain, terjebak tak bisa bergerak selama belasan jam. Meletihkan. Kenapa risiko seperti ini tak pernah mau diperhitungkan oleh protokol dan pengamanan Presiden, dan tidak dimasukkan sebagai bagian tenggang rasa seorang pemimpin kepada rakyatnya? Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, atau berkunjung di hari lain ke Taman Safari?

‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (2)

Despotisme ala PSSI. Tak salah lagi, PSSI di bawah Nurdin Khalid –yang di masa jabatan keduanya sebagai Ketua Umum didampingi eks aktivis 1966 Nugraha Besoes sebagai Sekertaris Jenderal– kini telah menjelma menjadi semacam laboratorium despotisme alias memimpin dan memerintah dengan sewenang-wenang. Nurdin Khalid yang kini namanya sering di’pleset’kan di dunia maya sebagai Nurdin Khadafy Khalid, adalah lulusan Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Makassar.

Baru lulus, Nurdin yang tampaknya enggan menjadi guru (sebagaimana harusnya lulusan IKIP) menerima tawaran menjadi pengurus KUD (Koperasi Unit Desa) di pedalaman Sulawesi Selatan. Rupanya Nurdin kuat juga tekanan adrenalinnya, sehingga ia cepat menapak ke atas dan akhirnya menjadi Ketua INKUD. Bertepatan waktu dengan kehadiran BPPC Tommy Soeharto yang menguasai perdagangan cengkeh. Kerjasama BPPC dengan INKUD antara lain memberi hasil akhir bagi pribadi Nurdin sebagai milyarder rupiah. Tetapi posisi di induk koperasi itu juga membawa Nurdin Khalid ke pengelolaan komoditi bahan pokok lain seperti minyak goreng yang membawa Nurdin ke balik jeruji sel penjara. Menurut kabar, masih ada proses penanganan perkara korupsi lainnya yang sedang menunggu Nurdin Khalid.

MENGHINDARI SOCIAL CONTROL. “Kalau anda menduduki jabatan publik… perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri” (Karikatur Harjadi S, 1967)

Sama-sama pernah (dan masih) berkiprah di Golkar, Nugraha Besoes yang pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Mahawarman di Bandung (Universitas Padjadjaran) masih memiliki satu-dua perbedaan dengan Nurdin Khalid. Nugraha Besoes masih lebih ‘miskin’ dari Nurdin Khalid, tetapi Nunu belum punya catatan hitam dunia hukum sebagai pelaku pidana korupsi. Selain itu, Nunu pasti lebih banyak ‘bergaul’ dengan kalangan aktivis yang menentang kekuasaan dan kekuatan anti demokrasi di masa lampau, zaman Nunu masih muda belia. Kini, tampaknya Nugraha Besoes terbawa bersama Nurdin ke alam despotisme, dan telah menjadikan organisasi olahraga PSSI sebagai laboratorium praktek. Entah juga orang kaya seperti Nirwan Bakrie. Tak boleh tidak, kehadiran tiga nama ini, telah membuat nama organisasi politik, Golkar, terbawa-bawa dan pada gilirannya membawa nuansa politik ke dalam PSSI. Apalagi, Nurdin Khalid sendiri pernah mengatakan bahwa prestasi PSSI adalah prestasi Golkar. Padahal, belum tentu Golkar diuntungkan dengan kasus-kasus PSSI, malah bisa sebaliknya. Bodoh betul, bila Golkar membiarkan nama partai dibawa-bawa, apalagi merestui.

Mungkin tak perlu diceritakan ulang di sini, tetapi terlihat kini betapa PSSI telah menjadi ajang despotisme, cara-cara memanipulasi statuta dihalalkan, pertanggungjawaban keuangan yang tidak jelas, tempat praktek orang-orang yang ngotot mempertahankan kedudukan dengan berbagai cara. Statuta FIFA yang menyebutkan syarat pimpinan organisasi yang ‘tak pernah terlibat’ pidana, dipelintir menjadi ‘tidak sedang’ menghadapi atau menjalani pidana. Oleh pers, PSSI tergambarkan sebagai sarang manipulasi uang dan suap menyuap, intrik, praktek money politics, korupsi APBD dan mungkin juga APBN, dan lain sebagainya.

Nurdin mungkin sudah dari awal mendisain dirinya untuk mengoptimalkan setiap kesempatan dan ‘kekuasaan’ menjadi benefit dengan segala cara. Tapi apakah kesempatan dan kekuasaan –di lingkup manapun kekuasaan itu, besar atau kecil– juga berhasil merubah orang-orang seperti Nugraha Besoes atau Dipo Alam? Bisa saja orang mengalami perubahan, bukan hanya Nunu atau Dipo, apalagi bila pernah mengalami pengalaman traumatik, dengan kalangan kekuasaan di masa lampau misalnya, dan merespon trauma itu secara keliru.

Anarki. Ini semua –boikot Dipo, drama hak angket DPR, maupun kisruh PSSI– terjadi ketika masyarakat belum sempat pulih nafasnya karena baru saja disuguhi tindakan anarki dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama di Cikeusik dan kota kabupaten Temanggung. Diwarnai tantangan dan ancaman FPI untuk menggulingkan Presiden SBY, dan pada sisi sebaliknya perintah SBY kepada para bawahannya mencari jalan untuk bisa membubarkan organisasi-organisasi massa yang seringkali melakukan kekerasan dan anarki tak lagi terdengar kabar lanjutnya. Bagaikan semangkuk sup, kini sudah dingin dan sebentar lagi akan basi. Tinggal menunggu organisasi-organisasi anarkis itu kembali melakukan aksi, karena menghitung bahwa 9 dari 10 kemungkinan pemerintah takkan berani bertindak, sebagaimana telah terbukti dengan ‘uji coba’ selama ini. Kapolri Timur Pradopo mengatakan bahwa wewenang pembubaran ormas ada di tangan Menteri Dalam Negeri. Tetapi Mendagri Gamawan Fauzi memperlihatkan sikap ‘bingung’, dalam kaitan FPI misalnya, ia mengatakan bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.

Akan tetapi terlepas dari itu, pelajaran anarki dan kesewenang-wenangan, seringkali juga datang dari aparat kekuasaan sendiri. Perhatikan saja keganasan satuan Polri dalam beberapa peristiwa tatkala menghadapi unjuk rasa. Dalam pada itu, Satpol PP yang berada di bawah kendali komando jajaran Kementerian Dalam Negeri di berbagai daerah, tak kalah dalam menunjukkan sikap anarki dan keganasan tatkala ‘menumpas’ para pedagang kaki lima, para gelandangan, pelacur dan waria maupun kalangan akar rumput lainnya yang barangkali mereka anggap sekedar sebagai sampah masyarakat. Belum lagi kalau memang betul bahwa ada sejumlah organisasi massa di pusat maupun di daerah, yang biasa melakukan tindakan anarki, justru adalah ‘peliharaan’ oknum-oknum kekuasaan politik dan pemerintahan sendiri. Misalnya, bila di suatu daerah ada pengusaha tempat hiburan ‘lalai’ membayar upeti, maka ormas tertentu dikerahkan melakukan ‘razia’ atau ‘sweeping’, untuk bikin kapok sehingga nanti takkan berani lagi melalaikan kewajiban setoran khusus.

Dalam segi tertentu, sekedar sebagai contoh, sikap Sekertaris Kabinet yang memerintahkan boikot kepada dua stasiun TV dan satu media cetak, juga bernuansa anarkis. Padahal, ada begitu banyak pilihan cara yang layak, misalnya melalui jalan hukum. Satu dua kali, sebagian anggota DPR juga memberi pelajaran anarki melalui pertengkaran vulgar, saling teriak, saling ejek, dorong mendorong, bahkan ada anggota yang pernah mendatangi anggota lainnya dengan sikap ancang-ancang memukul, yang kesemuanya terjadi dalam persidangan yang disiarkan langsung oleh media televisi. Belum pelontaran kata-kata dengan meminjam nama-nama khewan di kebun binatang maupun khewan peliharaan di rumah. Mereka pikir masyarakat yang menonton ulah mereka tidak perlu dihormati lagi?

Kalau anda menduduki jabatan publik –di lembaga eksekutif, legislatif, judikatif maupun institusi masyarakat– perbuatan dan perkataan anda harus memperhitungkan pikiran, etika dan rasa kepantasan publik serta memahami tanggungjawab berdasarkan nilai-nilai kebenaran umum. Jangan berbuat dan berbicara semata-mata sesuai kehendak anda sendiri (intentio auctoris). Kalau anda tak sudi dengan pembatasan moral dan etika seperti itu, segera berhenti dari jabatan publik yang sedang anda duduki saat ini.

‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (1)

BEBERAPA hari terakhir publik dibuat ‘kenyang’ dengan ‘campur sari’ arogansi dan sikap otoriter, praktek despotisme serta keriuhan playgroup politik yang merupakan sambungan episode sinetron penegakan hukum yang absurd serta lakon anarki di desa maupun di kota. Semua asli buatan Indonesia, sehingga tak perlu dikenakan kenaikan bea masuk impor.

Dipo Alam. Agak di luar dugaan, suatu serangan kepada pers nasional tiba-tiba datang dari Sekertaris Kabinet Dr Dipo Alam yang dikenal sebagai aktivis mahasiswa tahun 1970an dan pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI). Ia mengirim surat instruksi ke berbagai institusi pemerintah dan negara di tingkat pusat maupun di daerah, untuk memboikot dua stasiun TV dan sebuah media cetak yang dianggap selalu menjelek-jelekkan pemerintah. Salah satu bagian dari boikot adalah takkan diberi iklan-iklan pemerintah. Jangan salah, iklan-iklan pemerintah beberapa tahun belakangan ini memang cukup booming, saat hampir semua menteri, gubernur, bupati, walikota dan berbagai institusi pemerintah dan negara yang lain, seakan berlomba memasang iklan pencitraan secara intensif, pagi, siang atau malam. Tapi yang paling esensial adalah menutup pemberian informasi dari sumber pemerintah kepada ketiga media itu.

Entah siapa yang lebih rugi nanti dengan pemboikotan. Buktinya, baru saja menyampaikan aksi boikotnya itu, sang Sekertaris Kabinet sudah menuai kecaman sebagai pejabat arogan, otoriter, bergaya Orde Baru Soeharto, melanggar dua undang-undang tentang pers dan hak informasi publik, dan sebagainya. Ketua MK bahkan mengatakan takkan mengikuti ‘instruksi’ boikot itu. Bahkan, ada tokoh yang menyebutnya kekanak-kanakan, sedang tokoh lainnya mengatakannya justru ‘bodoh’. Tentu Dipo Alam yang doktor dan eks aktivis mahasiswa itu, tidak betul-betul bodoh, meskipun tindakannya yang satu ini memang bisa dikategorikan ‘bodoh’. Lagi pula masak sih, mantan aktivis mahasiswa yang konon pernah mengikuti gerakan-gerakan kritis bisa punya alam pikiran sebegitu naif, otoriter dan se-arogan itu dalam menanggapi pers?

Bagaimana kalau cetusan boikotnya itu adalah bagian dari upaya pengalihan isu dari isu-isu lebih penting yang arahnya bisa membahayakan kepentingan lebih besar dari kalangan kekuasaan saat ini? Kalau ini tujuannya, ia justru berhasil bertindak cerdik meskipun terkesan menempatkan diri sebagai bumper. Akan tetapi menjadi bumper bagi tokoh puncak kekuasaan dalam situasi seperti sekarang ini –yang kata orang juga sudah kembali full berbau ABS seperti di masa lampau akibat kuatnya persaingan pribadi di seputar sang pemimpin– justru bisa saja menjadi suatu prestasi tersendiri yang akan membuahkan berkah tersendiri pula, yang entah apa.

Angket Pajak. Karena publik sejak beberapa lama ini disuguhi kisah penanganan mafia pajak Gayus Tambunan dan kawan-kawan yang tak jelas hingga tak kunjung terselesaikan, maka ketika ada gagasan penggunaan hak angket DPR untuk masalah perpajakan, maka menurut logika awam di tengah publik, mayoritas anggota DPR akan menyambut dan mendukung. Ternyata, tidak. Dengan referensi pola saat menghadapi skandal Bank Century, saat Partai Demokrat dan kawan-kawan kalah suara, kaum awam menyambut dan merasa gagasan angket mafia perpajakan ini akan lolos di paripurna DPR. Apalagi, selama ini tak ada kekuatan politik yang tidak menggunakan retorika anti mafia pajak. Nyatanya, rencana penggunaan hak angket pajak itu tidak lolos, meskipun hanya kalah tipis, selisih 2 suara, di Paripurna DPR Selasa 22 Februari 2011.

Kunci ‘kekalahan’ penggunaan hak angket ada pada partainya Prabowo Subianto, Gerindra. Pimpinan partai dan fraksi Gerindra menggunakan alasan tidak mendukung usulan hak angket karena tidak ingin dijadikan alat tawar menawar kepentingan politik partai lain (Partai Golkar). “Usulan hak angket itu lebih merupakan manuver partai tertentu dan kami tidak ingin menari di atas kepentingan partai lain”, ujar Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Sikap Gerindra ini dibayangi oleh cerita belakang layar tentang adanya tawaran kursi kabinet dari SBY, serta analisa adanya ‘kecemasan’ beberapa pimpinan partai dan penyandang dana partai bahwa angket pajak ini bisa menggelinding sebagai bola liar yang akan menerpa seluruh pengemplang pajak dari waktu ke waktu.

Kata orang, tak ada pengusaha yang tak pernah terlibat permainan dan manipulasi pajak. Para pengusaha dan ‘mantan’ pelaku korupsi adalah dua di antara beberapa unsur pelaku money politics selama ini di Indonesia yang bekerjasama dengan sejumlah politisi yang hanya berorientasi kekuasaan. Mereka membentuk jaringan kekuatan yang akan saling melindungi dan saling memanfaatkan. Tak heran kalau 300 triliun rupiah per tahun lolos dan hanya 700 trilun rupiah yang masuk kas negara. Angka dosa bernilai 300 triliun itu sangat-sangat kuat untuk menggoyahkan iman, dan menjadi alasan yang luar biasa kuat untuk memacu gerakan penolakan sumber bola salju.

Menarik bahwa, ‘kemenangan’ anti penggunaan hak angket pajak itu disambut meriah dengan tepuk tangan dan jingkrak ala anak-anak Playgroup, lebih ‘lucu’ dari taman kanak-kanak. Sebelumnya, paripurna ini sempat dimeriahkan oleh Ruhut Sitompul dengan lakon ‘Poltak’ ber’orasi’ mengkili-kili lawan. ‘Poltak’ yang adalah maskot Partai Demokrat ini sempat menyebut-nyebut Akbar Tandjung sebagai guru politik semasa di Golkar sebelum menyeberang ke Partai Demokrat. Pimpinan sidang, Marzuki Alie yang tahun lalu termasyhur dengan logika tsunami Mentawai-nya, yang selalu mengingatkan batas waktu bicara pada anggota-anggota DPR yang tak separtai, kali ini memberi bonus waktu yang panjang bagi Ruhut ‘Poltak’ Sitompul menjalankan lakonnya.

Tak kalah seru adalah pertarungan perebutan posisi Ketua Umum PSSI yang penuh tipu daya kepentingan dan despotisme.

Berlanjut ke Bagian 2

Secuil Kisah Perempuan Dalam Tali Temali Kejahatan Kekuasaan

“Bila berkuasa, selalu masih banyak kaum lelaki yang rupanya memilih menerapkan ‘pegangan’ cita-cita kaum lelaki masa lampau: Harta, tahta, curiga (keris), kukila (burung) dan wanita”. “Masih banyakkah kaum lelaki dalam kekuasaan –entah dalam kaitan kekuasaan negara dan pemerintahan ataupun bentuk kekuasaan sosial, ekonomi atau kekuasaan dengan pengatasnamaan agama– saat ini yang tetap berpegang kepada standar cita-cita yang lima itu? Lima ‘tujuan hidup’ itu mudah menggelincirkan kepada kebohongan sebagai ‘ideologi’. Bukan hanya 9 tambah 9 kebohongan, tetapi kebohongan dalam deret hitung ataupun deret kali”.

PAGI-PAGI di hari Kamis 27 Januari 2011 pengacara senior OC Kaligis sudah menggerutu di depan gerbang LP khusus Wanita Tanggerang. Ia sedang menunggu ‘kepastian’ pembebasan bersyarat bagi kliennya, Arthalita Suryani, yang menurut perhitungannya tepat telah menjalani dua pertiga masa hukumannya hari ini. Artinya, Arthalita sudah memenuhi syarat undang-undang untuk memperoleh pembebasan bersyarat itu. Hukum itu harus pasti, ujarnya, kalau hari ini ya harus hari ini. Ternyata pembebasan Arthalita masih tertunda. OC Kaligis juga menepis kritik bahwa pembebasan Arthalita melukai hati rakyat. Kenapa pembebasan Aulia Pohan –besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Nyonya Ani Yudhoyono– tidak seribut ini, demikian Kaligis. “Apa Arthalita harus ganti nama jadi Pohan?”.

Terlepas dari ‘protes’ Kaligis, memang setiap kali ada seorang narapidana pelaku korupsi atau skandal penyuapan kalangan kekuasaan dibebaskan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukuman, pasti disambut dengan pernyataan-pernyataan tentang dilukainya hati rakyat. Memang melukai. Kaligis salah kalau mengatakan tidak ada yang dilukai. Keadilan dilukai. Tetapi, ‘belati’ yang menjadi alat peluka itu, tak pernah terlalu dipersoalkan. ‘Belati’ yang ada dalam genggaman para petinggi kementerian bidang hukum itu, sudah bertahun-tahun digunakan untuk melukai hati dan rasa keadilan rakyat. Entah berapa ratus sudah koruptor yang berhasil menikmati kebebasannya lebih awal karena ketentuan undang-undang tentang pembebasan bersyarat itu, dan hingga beberapa tahun ke depan, ribuan lainnya akan mendapat kenikmatan yang sama. Belum tibakah saatnya –tanpa mengenyampingkan prinsip bahwa hukuman bukanlah semata alat balas dendam– untuk lebih memperberat syarat pembebasan bersyarat itu, misalnya dengan merubahnya menjadi 4/5 atau 9/10 masa menjalani hukuman, bukan 2/3? Begitu pula, hadiah remisi dan semacamnya bagi para pelaku korupsi, syaratnya diperketat.

ARTHALITA adalah salah satu fenomena menarik tentang keterlibatan perempuan dengan peran khas dalam karut marut kegelapan penegakan hukum di Indonesia. Untuk beberapa saat Arthalita sempat berhasil menunjukkan hegemoninya terhadap sejumlah kaum lelaki yang berada dalam posisi penegak hukum. Dan ‘membeli’ mereka. Ini berbeda dengan posisi kaum perempuan pada umumnya yang hingga kini masih berada dalam posisi ketidaksetaraan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk untuk mencicipi equal treatment dalam hukum atau sekedar ‘perlindungan’ memadai dalam undang-undang perkawinan. Kaum perempuan selama ini, terutama di kalangan akar rumput, lebih banyak menempati posisi korban berbagai kejahatan sekaligus korban ketidakadilan penegak hukum (kasus kakao Nenek Minah dan kasus sejenis lainnya, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, perkosaan gadis Sum Kuning 1970, dan berbagai kasus masa lampau lainnya).

Para pelaku pidana pemerkosaan atas perempuan, sekedar sebagai salah satu contoh, begitu sulit dan rumit untuk bisa dihukum setimpal. Salah satu kesulitan, adalah keterbatasan dan mudah terhapusnya alat bukti oleh waktu dan tidak mencukupinya saksi bagi kejahatan yang umumnya dilakukan di tempat tertutup ini. Padahal, dalam pada itu sang korban telah melalui berbagai penderitaan lahir-batin dalam proses pengusutan, pemeriksaan hingga peradilan kasus itu sendiri. Seorang perempuan korban perkosaan, sampai menangis tersedu-sedu, tak tahan mendengar pertanyaan seorang penyidik (pria, karena tak selalu tersedianya penyidik perempuan), “Masuk berapa senti?”, “Besar nggak punya dia?”, “Berapa kali keluar-masuk”, “Spermanya keluar nggak?”, “Kamu merasa enak nggak?”. Mungkin berapa pertanyaan itu relevan, tapi sedikit saja nada bertanya itu keliru, atau diajukan sambil tersenyum-senyum, saksi korban akan merasa tersakiti. Tak jarang pula pengaduan perempuan mengenai pelecehan seksual atau perkosaan atas dirinya, membalik menjadi tuntutan pencemaran nama baik oleh sang pelaku. Lihat saja beberapa kasus a susila yang dilakukan beberapa lelaki anggota DPR-RI, pejabat/penegak hukum atau pengacara ternama, yang pernah terjadi.

Arthalita tidak sendirian, masih ada Miranda Goeltom ex Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan Nyonya Nurbaiti Adang Daradjatun, yang sama-sama hingga sejauh ini menjadi untouchable women di depan hukum. Mungkin karena mereka kalangan atas –satu lagi faktor yang menjadi gap dalam equal treatment– sehingga lebih sulit tersentuh? Bandingkan dengan kasus-kasus perempuan kalangan akar rumput yang dengan mudah dibekuk, ditahan, di’adil’i dan dihukum. Khusus mengenai Arthalita, bisa ditambahkan catatan bahwa selain sempat ‘menundukkan’ kaum lelaki, pada hakekatnya ia pada akhirnya menjadi korban ‘sendirian’, karena kecuali Jaksa Urip, petinggi-petinggi Kejaksaan Agung yang disebut-sebut namanya tidaklah tersentuh. Begitu pula Syamsu Nursalim, untuk siapa ia ‘bekerja’ dan melakukan ‘petualangan hukum’, pun tak tersentuh lagi dalam posisi menikmati hasil jasa Arthalita.

Cerita tentang ‘jasa’ Arthalita, mengingatkan kita kepada kisah ‘jasa’ peragawati Dietje di pertengahan 1980-an. Jasanya digunakan, menurut jalan cerita belakang layar kala itu, oleh seorang ex petinggi militer yang terjun ke dunia usaha, untuk menyenangkan menantu seorang tokoh kekuasaan yang sangat penting. Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’ pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku, diadili dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya sebelum akhirnya dilepaskan tanpa kejelasan lanjut. Cerita lama ini agaknya belum dilupakan, meski sudah kadaluarsa secara hukum. Najwa Shihab pengasuh acara Mata Najwa akan mengangkatnya dalam salah satu siaran Metro TV pekan ini.

Kisah ‘kadaluarsa’ lainnya yang menyangkut perempuan sebagai korban dalam kancah penyalahgunaan kekuasaan, dialami seorang perempuan berdarah indo-belanda pada pertengahan tahun 1960-an. Suami sang perempuan, seorang petinggi institusi penegak hukum di Jakarta, dituduh memiliki keterlibatan dengan kaum kiri sebelum terjadinya peristiwa bulan September 1965. Sang petinggi hukum itu ditangkap oleh penguasa militer. Tuduhan itu sendiri tak pernah dibuktikan di pengadilan. Sang isteri dipaksa oleh seorang petinggi militer bidang keamanan dan ketertiban yang sangat berkuasa waktu itu –maaf, bukan Jenderal Soeharto– untuk ‘menyerahkan’ diri bila ingin menyelamatkan suaminya. Akhirnya sang perempuan, yang rupawan dan masih berusia cukup muda kala itu, menyerah dan dijadikan oleh sang jenderal sebagai isteri muda, selain untuk menyelamatkan suami juga karena rasa takut. Apakah sang perempuan yang masih hidup hingga kini, suatu waktu akan membuat testimoni? Mungkin tak ada lagi manfaat hukumnya, namun bisa menjadi catatan referensi tentang kejahatan dalam tubuh kekuasaan.

Satu cerita lain, mengenai puteri seorang jenderal purnawirawan yang pernah menjadi panglima teritorial. Suatu hari ia menitipkan puterinya yang akan bersekolah di suatu negara Eropah, kepada seorang jenderal kenalannya yang kala itu masih menjadi sebagai pejabat tinggi negara non militer yang kebetulan akan melakukan kunjungan ke Eropah. Tetapi yang dititipi menyalahgunakan kepercayaan sang ayah, tergoda untuk melakukan kejahatan seksual dengan tipu daya terhadap anak perempuan itu. Ketika sang jenderal purnawirawan mendapat pengaduan dari puterinya, ia pergi melaporkan kejahatan itu kepada Presiden Soeharto. Nyatanya sang presiden tak melakukan tindakan yang berarti, sehingga terkesan melindungi bawahannya. Perkara itu sendiri tak berhasil diselesaikan melalui jalur hukum, yang menunjukkan betapa kekuasaan bisa dipakai menundukkan hukum. Sang jenderal purnawirawan akhirnya tercatat ikut dalam gerakan anti Soeharto, sebagai pelampiasan, bersama sejumlah jenderal dan tokoh barisan sakit hati lainnya.

Tiga kisah di atas, mengambil korban di kalangan atas juga, namun esensi kejahatannya sama saja. Pertanyaannya, bagaimana dengan kalangan yang lebih di bawah? Ada ratusan, mungkin ribuan kasus dari masa ke masa. Kalau tidak terlalu vulgar, suatu waktu mungkin bisa diceritakan, bila ada relevansinya untuk suatu pembahasan.

SEBENARNYA, bila ditelusuri masih akan ditemukan banyak kisah serupa. Bila berkuasa, selalu masih banyak (kaum lelaki) yang rupanya memilih menerapkan ‘pegangan’ cita-cita kaum lelaki masa lampau: Harta, tahta, curiga (keris), kukila (burung) dan wanita. Harta membawa kepada perilaku korupsi, tahta merupakan bagian dari obsesi karena mabuk kekuasaan, keris sebagai lambang siap bertarung dengan senjata dan kekerasan, kukila melambangkan keinginan bersantai-santai untuk kesenangan diri pribadi, dan wanita (di luar isteri) sebagai bagian dari kumpulan kesenangan dan benefit lainnya untuk melengkapi kenikmatan kekuasaan. Masih banyakkah kaum lelaki dalam kekuasaan –entah dalam kaitan kekuasaan negara dan pemerintahan ataupun bentuk kekuasaan sosial, ekonomi atau kekuasaan dengan pengatasnamaan agama– saat ini yang tetap berpegang kepada standar cita-cita yang lima itu? Lima ‘tujuan hidup’ itu mudah menggelincirkan kepada kebohongan sebagai ‘ideologi’. Bukan hanya 9 tambah 9 kebohongan, tetapi kebohongan dalam deret hitung ataupun deret kali.