BISA saja dianggap terlalu dini, bila dalam tempo kurang lebih hanya 40 hari, sudah ada kritik tajam yang mengandung indikasi kegagalan awal dalam cara memerintah Presiden Jokowi. Tetapi di lain pihak, juga sudah tidak pada tempatnya bila ada yang masih bertahan menaruh harapan terlalu besar dan berlebih-lebihan terhadap peluang keberhasilan pemerintahan sang presiden bersama wakilnya. Retorika dengan penggambaran ala kisah seribu satu malam, bahwa Jokowi adalah pemimpin baru pembawa harapan masa depan Indonesia, barangkali sudah harus ditinggalkan. Berbagai upaya pencitraan dengan aneka perilaku ‘yang penting asal berbeda’ untuk menarik perhatian pers dan publik, tak usah lagi dilanjutkan, baik oleh Jokowi maupun oleh para menteri kabinetnya.
Dari arah internal, menampilkan sikap realistis –dengan meninggalkan politik-politikan yang akrobatis– merupakan kebutuhan dalam memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Sementara itu, dari arah eksternal diperlukan sikap kritis dan analisis objektif sebagai pengganti perilaku politicking. Ini perlu diingatkan, karena dari dua kutub politik, selama sebulan lebih ini masih saja selalu tampil gaya berpolitik yang sarat pengutamaan kepentingan kelompok. Suatu keadaan yang membuat kehidupan politik makin hari kian compang-camping. Dari polarisasi politik yang terjadi, lahir berbagai manuver dengan alas argumentasi yang seringkali tak masuk akal. Semua menggunakan retorika demi rakyat dan demokrasi, namun pada hakekatnya hanyalah permainan kepentingan dan perebutan jengkal demi jengkal area kekuasaan dalam konteks berburu benefit.

Politik yang sudah busuk, dengan demikian menjadi makin busuk dan baunya menebar ke mana-mana. Bahwa situasi politik compang-camping itu hingga sejauh ini belum meledak sebagai suatu bencana pertikaian massal di tengah masyarakat, tak lain karena masih adanya beberapa politisi di semua kubu yang masih belum tergerus habis akal sehatnya di tengah dominannya politik emosional dan penuh kerakusan. Tapi untuk seberapa lama akal sehat sebagai kekuatan minor bisa bertahan di tengah kerumunan buas political animals?
MENJADI benar jika sebelum ini dikatakan bahwa dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden-wakil presiden yang baru lalu, untuk kesekian kalinya bangsa ini memang kembali terperosok ke dalam situasi pilihan the bad among the worst. Dan, result yang dicapai dengan sendirinya bukan kategori terbaik, apapula konon pemimpin berkualitas sedikit nabi atau sedikit malaikat. Padahal dalam situasi bangsa yang secara sosiologis sedang mengalami paralisis seperti yang sudah dialami beberapa dekade, secara teoritis justru dibutuhkan kepemimpinan yang mendekati kualitas malaikat: berkarakter mulia, cerdas, berkemampuan tinggi dan sedikit memiliki pembawaan yang bermujizat. Kalau tak mungkin, paling tidak bukan manusia yang sekedar dielu-elukan karena pesona sesaat, baik oleh pers maupun publik –kekasih hati pers dan masyarakat– untuk akhirnya mematahkan ekspektasi yang terlanjur meninggi. Tapi faktanya, telah beberapa kali tokoh seperti itu justru muncul dalam sejarah kekuasaan kontemporer Indonesia.
Joko Widodo muncul dan ‘dibesarkan’ oleh suatu situasi antitesis terhadap model ketokohan ala Susilo Bambang Yudhoyono atau Soeharto yang dalam perjalananan sejarah terbawa ke atas ke tingkat kelas elite. Jokowi yang terkesan masih ndeso, baik sosok maupun karakternya, sehingga terkesan sebagai replika sosok akar rumput, akhirnya dipilih oleh rakyat pemegang suara, dengan keunggulan tipis atas tokoh lainnya, Prabowo Subianto yang dianggap dari kelas elite. Majalah Time dalam cover-storynya bulan lalu, menyebut Jokowi sebagai presiden pertama Indonesia yang berasal dari kalangan bukan elite. Meski, Jokowi yang seorang insinyur, paling tidak selama dua belas tahun terakhir sebenarnya sudah menapak menjadi bagian dari elite kekuasaan, sebagai Walikota Solo dan kemudian sebagai Gubernur DKI. Namun wajah ndesonya yang tidak ber-‘evolusi’ dan gaya pendekatan kerakyatannya yang ‘menawan’ hati banyak orang, menolong membuat dirinya tetap ditempatkan oleh khalayak di luar kelompok pemimpin dengan gaya elitis.
Kini, Joko Widodo sudah lebih banyak berada dalam model penampilan yang rapih dan perfect. Mengenakan setelan jas atau pun baju batik yang cantik motifnya, dan bagus jahitannya. Selain perubahan gaya berbusana, ‘sayup-sayup’ terasa terjadi pula suatu perubahan lain. Garis dan ‘tarikan’ wajahnya sekarang sedikit lebih sering tegang kencang. Tutur bahasanya pun lebih kerap ketus. Memaknai secara positif, tentu saja terkesan lebih powerful. Tetapi kita belum tahu persis, apakah mungkin lebih bagus begitu, daripada tidak jelas dan terkesan sebagai kalimat yang lahir dari keraguan dan ketidaktegasan?
Geram soal kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia, Selasa 18 November di Istana Negara, Jokowi dikutip pers mengatakan, “Nggak usah tangkap-tangkap, langsung saja tenggelamkan. Tenggelamkan 10 atau 20 kapal, nanti baru orang mikir.” Menteri Luar Negeri Indonesia merasa perlu ‘merasionalkan’ kalimat presiden tersebut, bahwa pemahamannya terkait dengan law enforcement. Padahal dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, sesuai perundang-undangan yang ada, solusi pintas seperti itu sangat debatable. Tak urung, merasa negaranya terkena pernyataan keras Jokowi, Utusan Malaysia –media milik partai penguasa negara tetangga itu– menyebut Presiden Indonesia itu angkuh dan memilih pendekatan konfrontasi.
Dalam kasus lain, terkait politisi Senayan, kepada pers Presiden Jokowi mengakui memang memerintahkan Sekertaris Kabinet mengeluarkan edaran melarang para menterinya memenuhi panggilan rapat dengar pendapat di DPR. “Baru sebulan kerja dipanggil-panggil. Apa sih?!” Tapi sebenarnya, jangankan sebulan, menurut perundang-undangan yang ada, baru sehari pun bila ada tindakan dan kebijakan yang memerlukan kontrol parlemen, DPR bisa mengundang pemerintah untuk dimintai penjelasan. Apalagi sekarang ini, Presiden baru saja melakukan tindakan pengurangan subsidi BBM yang sangat terkait dengan kepentingan rakyat. Maka, pasti tidak salah bila lembaga dengan fungsi kontrol maupun masyarakat sendiri, membutuhkan kejelasan dan argumentasi, misalnya kenapa harga BBM tertentu ‘naik’ dua ribu rupiah. Kenapa kebijakan tersebut diambil saat harga minyak mentah di pasar internasional justru sedang menurun. Dan kenapa tidak mendahulukan ‘pembersihan’ permainan kotor perdagangan minyak, yang untuk sementara ini disebut praktek mafia migas, yang pasti besar pengaruhnya dalam perhitungan harga pokok BBM?
Bahwa secara internal DPR masih punya masalah, tidak kuat sebagai alasan menghindari keberadaan DPR dengan segala hak dan kewenangannya. Kecuali ada hal luar biasa yang membuat DPR patut diragukan keabsahannya.
APAKAH garis wajah yang cenderung sedikit lebih kencang dan lontaran kalimat-kalimat ketus, merupakan indikasi bahwa sang presiden baru itu kini sudah banyak menghadapi situasi penuh tekanan? Hal ini mungkin perlu dikonfirmasikan kepada ahli perilaku. Sewaktu menjalani pemeriksaan kesehatan saat mencalonkan diri sebagai presiden, tentunya Joko Widodo juga menjalani tes MMPI –Minnesota Multi Phasic Inventory– yang biasanya disertai berbagai tes psikologi lainnya. Salah satu aspek yang diukur dalam tes kejiwaan itu adalah tingkat kemampuan bekerja dalam tekanan. Untuk jabatan publik, tes kemampuan seperti ini tentu penting. Bukan hanya untuk calon presiden dan wakil presiden, tetapi semestinya juga untuk para calon menteri. Namun sepertinya, tes kesehatan dan tes kejiwaan itu tidak dilakukan terhadap para calon menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Tidak bisa dipungkiri, meski baru sekitar 40 hari berada di posisi puncak kekuasaan negara, Jokowi telah harus berhadapan dengan situasi politik penuh tekanan. Sebetulnya, wajar saja. Mana ada posisi tinggi tanpa tantangan dan tekanan? Tapi yang dialami Jokowi mungkin sedikit melebihi apa yang pernah dialami para presiden pendahulunya di masa-masa awal jabatan mereka. Barangkali ini merupakan konsekuensi dari ekspektasi terlampau tinggi yang harus dipikulnya, sementara kemenangannya dalam pemilihan presiden yang lalu, relatif tipis. Ditambah lagi, kemenangan itu tidak disertai keberhasilan koalisi partai pendukungnya mencapai mayoritas kerja yang memadai di parlemen. Terkesan bahwa dengan situasi ini di satu pihak dan terdapatnya keterbatasan kualitatif dalam ketokohannya di pihak lain, bisa dan bahkan mungkin telah menyebabkan semacam kepanikan di bawah sadar dalam kaitan masa depan pemerintahannya. Dan agaknya di sini sikap ‘rapopo’ atau nothing to lose menipis.
Survey LSI –salah satu lembaga yang banyak ‘berjasa’ mendongkrak citra elektabilitas Jokowi di awal ketokohannya– pekan lalu, menyebutkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap dirinya turun ke tingkat di bawah 50 persen. Dan, kurang dari separuh kalangan pemilihnya dalam pilpres yang lalu yang masih bertahan mempercayai ketokohannya. Artinya, basis kepercayaan terhadap dirinya kini pada kisaran 25 persen pemilih saja? Salah satu penyebab yang disebutkan adalah terkait kebijakannya mengenai penghapusan subsidi BBM. Tapi bisa dianalisis bahwa itu bukan satu-satunya penyebab kemerosotan popularitasnya. Banyak penyebab tergerusnya tingkat kepercayaan terhadap ketokohannya yang bisa diperkirakan, antara lain makin banyaknya janji kampanye lainnya yang ternyata tidak dipenuhi, di samping janji tidak menaikkan harga BBM. Misalnya, kabinet yang ternyata tidak ramping, tidak betul-betul terisi dengan profesional yang kualitasnya meyakinkan, dan besarnya porsi kue untuk unsur parpol dan sebagainya.
Beberapa media yang di masa kampanye menjadi pendukung Jokowi, sebagian besar mulai berbalik mengeritiknya. Hanya Harian Kompas dan Metro TV yang terlihat masih gigih mencoba bertahan melanjutkan harapan terhadap kepemimpinannya. Bisa teraba pula suatu keadaan bertambahnya kekecewaan di kalangan (bekas) pendukungnya, yang tidak memperoleh ‘imbalan’ yang diharapkan, walau dulu secara retorik mengatakan mendukung tanpa pamrih. Muncul kelompok kecewa yang sering diolok-olok dengan ‘salam gigit jari’. ‘Pendukung’ non partai yang dulu ibaratnya rela bergerak cukup dengan ‘nasi bungkus’, kini mulai mengalami iritasi di hati karena tak ada kelanjutan berupa ‘nasi bungkus plus’. Malah, harus gigit jari juga karena masa distribusi ‘nasi bungkus’ itu pun sendiri sudah berakhir. Tetapi tentu bukan hanya Jokowi tokoh terpilih yang mengalami sasaran kekecewaan pasca kemenangan, Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mengalaminya. Semua juga pasti memahami, mana mungkin memuaskan semua pihak. Tetapi persoalannya, bagaimana kalau yang merasa lebih berkeringat, harus kalah ‘benefit’nya oleh yang kurang atau tidak berkeringat sama sekali. Tapi, itulah politik kan?
LUAR dalam Jokowi menghadapi situasi compang-camping. Inilah ujian untuk ketokohannya. Kalau ternyata kecerdasannya (atau kecerdikannya?) dan kapabilitasnya secara kualitatif kurang memadai seperti yang tercitrakan, sehingga tak mampu membenahi semua yang compang-camping, dalam tempo paling lama dua tahun, mungkin ia harus berakhir. Mudah-mudahan untuk kemungkinan yang satu ini, tulisan ini salah. Karena, jangan lupa, berdasarkan pengalaman empiris yang ada, posisi tinggi terbukti mampu mendorong orang menjadi cerdik menemukan jalan. Dan bisa bertahan dua kali lima tahun. Sayangnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, kecerdikan jenis ini cenderung terjadi tidak dalam konotasi yang ideal. (socio-politica.com)