Tag Archives: Universitas Parahyangan

Kisah Hariman Siregar dan Pertarungan Internal Kekuasaan (1)

“Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat. Salah satu kelompok kuat dalam persaingan menuju pertarungan kekuasaan itu adalah kelompok Jenderal Soemitro yang kala itu berada dalam posisi powerful sebagai Panglima Kopkamtib. Kelompok lain adalah kelompok Aspri Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen Sudjono Hoemardani, yang dikenal memiliki kelengkapan barisan intelijen semi formal yang tangguh. Di luar kelompok itu, ada kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang mulai kurang nyaman hubungan batin dan kepentingannya dengan Soeharto”.

SEORANG aktivis mahasiswa tahun 1970-an, Hariman Siregar –yang terkenal dalam kaitan Peristiwa 15 Januari 1974– Rabu 18 Agustus 2010, dianugerahi Sugeng Sarjadi Award bersama tokoh pers Jakob Oetama dan tokoh pendidikan Daoed Joesoef yang pernah menjadi Menteri Pendidikan. Empat nama yang terlibat di sini adalah nama tokoh-tokoh yang menarik. Soegeng Sarjadi sendiri adalah tokoh pergerakan 1966 dari Bandung, yang dikenal sebagai tokoh mahasiswa yang merobek-robek gambar Presiden Soekarno di bulan Agustus 1966 dan memicu aksi aksi anti Soekarno yang lebih terbuka dan lebih terang-terangan.

Jakob Oetama adalah tokoh pers yang bersama PK Oyong (Auwyong Peng Kun) mendirikan Harian Kompas di akhir Juni tahun 1965, yang dikenal sebagai suatu media pers yang sangat moderat. Sedang Daoed Joesoef adalah menteri pencetus NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan mengintrodusir BKK untuk menggantikan DM (Dewan Mahasiswa) setelah masa pendudukan sejumlah kampus oleh tentara, yang dimulai dengan penyerbuan kampus ITB 1978. Pada masanya, Daoed Joesoef, menjadi sasaran kemarahan dan kebencian mahasiswa karena dianggap telah menghancurkan kehidupan kampus dengan kehidupan student governmentnya yang demokratis. Belakangan, agaknya mulai dipahami bahwa kebijakan NKK/BKK adalah jalan tengah dari Daoed Joesoef untuk mencegah penindasan yang lebih jauh dari rezim terhadap kampus yang dianggap senantiasa menjadi sumber perlawanan terhadap kekuasaan.

Dalam gerakan kritis mahasiswa 1970-1974 Hariman Siregar mewakili kelompok Jakarta dalam arus utama kekuatan dan pergerakan mahasiswa Indonesia. Sedang kelompok arus utama lainnya adalah kelompok mahasiswa Bandung yang terutama dtopang oleh tiga kampus terkemuka, ITB-Universitas Padjadjaran-Universitas Parahyangan. Berbeda dengan mahasiswa Bandung, agaknya mahasiswa-mahasiswa Jakarta pada tahun 1970-an menghadapi berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Satu hal yang nyata, masih amat kuatnya pengaruh organisasi-organisasi ekstra universiter di dalam tubuh student government intra kampus, melanjutkan suasana politisasi kampus 1960-1965. Ini membuat situasi pergerakan atas nama kampus menjadi lebih rumit. Setiap organisasi ekstra melalui perpanjangan tangannya masing-masing bergerak sendiri-sendiri untuk memanfaatkan gerakan-gerakan atas nama kampus untuk kepentingan induknya masing-masing –baik induk organisasi maupun induk kelompok politik ataupun kelompok-kelompok dalam tubuh kekuasaan. Di kampus-kampus Jakarta terlihat misalnya betapa HMI yang punya tujuan dan agenda kepentingan atau agenda politik sendiri, begitu kuat percobaannya mewarnai gerakan mahasiswa untuk kepentingan spesifiknya. Sementara di beberapa kampus spesifik lainnya, dominasi organisasi ekstra lainnya juga tidak ketinggalan melakukan hal yang sama.

Dalam konteks pergolakan intra kampus, tak syak lagi yang paling tidak sepi masalah adalah Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Terpilihnya Hariman Siregar, mahasiswa Fakultas Kedokteran, sebagai Ketua Umum DM merupakan pertama kalinya untuk jangka waktu panjang bahwa DM dipimpin oleh non HMI. Tapi naiknya, Hariman Siregar tidak terlepas dari topangan kedekatannya pada awalnya dengan kelompok politik Tanah Abang (di bawah pengawasan kelompok Ali Moertopo) –yang oleh Hariman sendiri diakui dan disebutkan sebagai topangan Golkar. Pada masa sebelumnya, Hariadi Darmawan yang HMI dan sekaligus seorang perwira AD, juga memimpin DM UI dan amat berpengaruh, satu dan lain hal juga terkait dengan topangan kelompok Ali Moertopo.

Tapi setelah menjadi Ketua Umum DM UI Hariman Siregar dianggap mulai melenceng dari garis Tanah Abang, kemudian dianggap dekat dengan GDUI (Group Diskusi Universitas Indonesia) dan kelompok PSI yang reperesentasinya di kampus antara lain dikaitkan dengan aktivis di Fakultas Ekonomi Sjahrir dari Somal dan Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Hariman dicurigai terkait dengan kelompok berkonotasi PSI itu, apalagi Hariman kemudian memang menjadi menantu Prof Sarbini Somawinata yang dikenal sebagai ekonom beraliran PSI garis keras. Selain itu Hariman dianggap melakukan pengkhianatan ketika menyerahkan posisi Sekjen DMUI kepada Judil Herry yang HMI dan bukannya kepada tokoh mahasiswa yang dikehendaki Tanah Abang.

Dan tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan. Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri. Selain itu, sepanjang pengetahuan kelompok Tanah Abang, Hariman beberapa kali mengatakan Soeharto sudah perlu diganti dan penggantinya adalah Jenderal Soemitro. Hariman di belakang hari berkali-kali menyangkal adanya hubungan khusus dengan Jenderal Soemitro ini. Bantahan Hariman ini sebenarnya dalam beberapa titik tertentu sejajar dengan suatu informasi internal di lingkungan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, bahwa di mata Soemitro maupun Sutopo Juwono hingga saat-saat terakhir  Hariman Siregar bagaimanapun disimpulkan ada dalam pengaruh Ali Moertopo. Pertama, secara historis Hariman terpilih sebagai Ketua Umum DM UI karena dukungan Tanah Abang. Kedua, sikapnya yang banyak mengeritik strategi pembangunan para teknokrat, dianggap segaris dengan Ali Moertopo. Namun, Ali Moertopo pernah direpotkan oleh sikap dan kritik-kritik Hariman terhadap teknokrat ini.

Suatu ketika Presiden Soeharto –yang tampaknya berdasarkan beberapa laporan yang masuk padanya juga menganggap Hariman ada dalam pengaruh dan binaan Ali Moertopo– meminta Ali untuk menegur Hariman agar menghentikan serangan-serangan terhadap strategi pembangunan yang dilontarkan para teknokrat, karena bagi Soeharto menyerang strategi pembangunan sama artinya dengan menentang GBHN. Ali diminta mempersuasi Hariman memperlunak kritik-kritiknya, kalau memang tidak bisa menghentikannya, menjadi kritik terhadap ‘pelaksanaan’ dan bukan terhadap ‘strategi’.

Maka kelompok Tanah Abang lalu sibuk mencari Hariman, namun gagal karena Hariman menghindari mereka. Satu dan lain sebab kenapa Hariman tetap dianggap dalam kawasan pengaruh Ali Moertopo, tak lain karena beberapa ‘operator’ Ali Moertopo sendiri beberapa kali mengklaim dalam laporan-laporannya ke atasan bahwa mereka berhasil ‘mempengaruhi’ dan ‘membina’ Hariman. Tapi sebenarnya yang berkomunikasi dengan Hariman adalah Dr Midian Sirait yang menangani koordinasi Pemuda-Mahasiswa-Cendekiawan (Pemacen) di DPP Golkar, dan tampaknya hubungan itu bisa berjalan baik untuk beberapa waktu. Suatu waktu, tugas komunikasi itu dialihkan kepada David Napitupulu, tetapi tugas itu banyak di’recok’i oleh yang lain di lingkungan kelompok Tanah Abang. Menurut Dr Midian Sirait, Hariman Siregar pernah menyatakan ketidak senangannya terhadap ‘peralihan’ ini.

Tanggal 28 Desember 1973, 10 fungsionaris DM UI mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Hariman Siregar. Sepuluh orang itu dengan jelas diidentifikasi kedekatannya dan merupakan bagian dari kelompok Tanah Abang. Mereka adalah Postdam Hutasoit, Leo Tomasoa, Togar Hutabarat, Arifin Simanjuntak, Agus Napitupulu, Saman Sitorus, Tisnaya Irawan Kartakusuma, Ria Rumata Aritonang, Max Rusni dan Sarwoko (Meskipun nama yang disebut terakhir ini disebutkan sebenarnya tidak turut serta dalam mosi tidak percaya itu. Hariman sendiri menyebutkan jumlah mereka hanya 8 orang, karena 2 lainnya tidak ikut mosi, termasuk Sarwoko). Sebelum melancarkan mosi tidak percaya diberitakan fungsionaris DM UI sempat mengadakan rapat di rumah seorang Letnan Kolonel yang kebetulan adalah ajudan Jenderal Ali Moertopo.

Dewan Mahasiswa UI kelompok Hariman membawa persoalan mosi tidak percaya ke dalam kategori hambatan perjuangan melawan ketidakbenaran dalam tubuh kekuasaan. “Tentu saja, setiap perjuangan tidak luput dari risiko dan hambatan”, demikian DM UI menanggapi. “Setiap gerakan sosial betapapun ukurannya, di samping melahirkan pahlawan-pahlawan, juga tak kurang banyaknya menghasilkan pengkhianat-pengkhianat: cecunguk-cecunguk murah, kaki tangan bayaran, oportunis-oportunis bernaluri rendah dan sebangsanya. Mahasiswa bukanlah politikus profesional, bahkan tidak memiliki pengalaman berpolitik sama sekali. Kita hanyalah mahasiswa dan bagian dari generasi muda Indonesia belaka. Tetapi kita cukup sadar dan dewasa untuk memahami dan mengerti praktek-praktek kotor cecunguk-cecunguk kaki tangan bayaran yang ingin mengacau itu. Dengan berbagai latar belakang, antara lain uang, ambisi pribadi, dengki dan iri hati, sikap petualangan, persaingan popularitas, beberapa gelintir anak muda dan mahasiswa menyerahkan dirinya menjadi kaki tangan golongan-golongan yang merasa terancam kedudukannya akibat kritik-kritik terbuka dan tajam yang diarahkan oleh mahasiswa selama ini”.

Dalam mosi tidak percaya, mereka mendakwa bahwa “kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM UI tidak pernah dibicarakan secara formal dalam lingkungan institusi Dewan Mahasiswa UI secara keseluruhan. Mereka menuding “Kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM UI telah menjurus kepada kegiatan-kegiatan pribadi dan di luar keputusan-keputusan rapat kerja DM UI Nopember 1973 sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Kegiatan-kegiatan tersebut mereka anggap sudah bertendensi pengkhianatan terhadap hasil-hasil perjuangan alma mater Universitas Indonesia yang sudah dimulai sejak Oktober 1965. Mereka menuduh seluruh perbuatan Hariman Siregar adalah perbuatan manipulasi yang dalam bahasa plakat yang ditempelkan mengiringi mosi “didalangi dari belakang oleh partai tertentu”. Leo Tomasoa mempertegas tuduhan terakhir ini tanpa menyebut partai mana yang dimaksudkan. Hariman mereka sebutkan bermuka seribu, diktator kecil yang telah menjual Universitas Indonesia. Namun tak satu pun tuduhan dari kelompok mosi ini berani menyebutkan adanya hubungan Hariman dengan kelompok Jenderal Soemitro. Hariman sendiri membantah hubungannya dengan partai mana pun kecuali Golkar melalui koordinasi Pemacen yang diakuinya membantu mengorbitkannya menjadi Ketua Umum DM UI.

Adalah menarik bahwa bersamaan dengan radikalisasi mahasiswa Jakarta pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat. Salah satu kelompok kuat dalam persaingan menuju pertarungan kekuasaan itu adalah kelompok Jenderal Soemitro yang kala itu berada dalam posisi powerful sebagai Panglima Kopkamtib. Kelompok lain adalah kelompok Aspri Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen Sudjono Hoemardani, yang dikenal memiliki kelengkapan barisan intelijen semi formal yang tangguh. Di luar kelompok itu, ada kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang mulai kurang nyaman hubungan batin dan kepentingannya dengan Soeharto. Ketiga kelompok ini, per saat itu sudah tak bisa dikatakan sebagai kawan strategis yang bisa dijamin kesetiaannya terhadap Soeharto. Di sekitar kelompok-kelompok itu bertebaran pula sejumlah jenderal dan tokoh yang tak begitu ‘jelas’ namun senantiasa cermat menghitung arah angin.

Berlanjut ke Bagian 2

Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (3)

“Penanganan yang sangat represif dan militeristik ini, menjadi luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik”. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’.

DENGAN memberi judgement bahwa gerakan mahasiswa menjelang dan pada awal tahun 1974 adalah bagian dari konspirasi dan makar, dan setelah itu kalangan kekuasaan lalu menjalankan penanganan-penanganan dengan treatment konspirasi –yang berlanjut lagi dalam penanganan selanjutnya terhadap gerakan-gerakan mahasiswa berikutnya– kalangan kekuasaan telah menggiring para mahasiswa ke suatu lubang kesimpulan bahwa kalangan kekuasaan itu tak cukup hanya dikoreksi, tetapi harus diganti. Maka sesudah 1974, hingga 1978, terlihat bahwa mahasiswa, khususnya di Bandung, sampai kepada tuntutan-tuntutan untuk mengganti Soeharto. Dan demi mematahkan gerakan dan tuntutan untuk menurunkan serta mengganti Soeharto yang makin gencar dilancarkan para mahasiswa Bandung generasi pasca 1974 itu, rezim Soeharto memilih suatu jalan kekerasan dengan kadar tinggi yang belum pernah dilakukan sebelumnya – bahkan di zaman Soekarno-Orde Lama sekalipun, betapapun diktatornya mereka digambarkan oleh Soeharto dan Orde Baru-nya.

Pada bulan Januari 1978 menuju bulan Pebruari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan DM ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Sebab musabab utama pastilah karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama. Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya –dihitung dari periode MPR/DPR hasil Pemilihan Umum 1971– dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978. Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978’. Penguasa segera melarang secara resmi Buku Putih tersebut. Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.

Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung. DM ITB lalu menyerukan suatu mogok kuliah melalui “Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis’ (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.

Pers yang banyak memberi tempat dalam pemberitaannya mengenai pergolakan kampus ikut mendapat ‘gempuran’ kemarahan rezim Soeharto. Titik paling sensitif yang menyangkut kekuasaannya telah tersentuh oleh mahasiswa, dan pers dianggap ikut memberi angin dengan memberi tempat dalam kolom-kolom pemberitaannya bagi gerakan-gerakan mahasiswa itu. Sekaligus tujuh suratkabar harian di ibukota dikenakan tindakan pemberhentian terbit pada 25 Januari 1978. Dan keesokan harinya, dalam suatu ‘pertempuran’ tersendiri untuk menjaga agar eksistensi mereka tidak diputus untuk selama-lamanya para pemimpin redaksi dari 7 media itu terpaksa menjalankan taktik ‘mengibarkan’ bendera putih. Dalam satu surat bersama yang ditujukan kepada Presiden Soeharto mereka menyampaikan semacam permintaan maaf namun tanpa menggunakan satu pun kata maaf di dalam surat mereka itu.

“Kami dapat memahami tindakan yang diambil oleh Kopkamtib tersebut dalam rangka mencegah berlarut-larutnya keadaan yang dapat mengganggu stabilitas nasional yang dinamis, yang kami sadari bersama juga menjadi tanggung jawab pers dan setiap lembaga masyarakat lainnya. Dengan kesadaran rasa tanggung jawab yang demikian itu maka kami bertekad untuk selalu mengadakan introspeksi dan mawas diri, yang juga menjadi kewajiban setiap warga negara, lembaga masyarakat dan pemerintah sesuai dengan anjuran Bapak Presiden”, tulis mereka dalam surat. “Atas dasar itu maka kami mengharapkan kiranya Bapak Presiden berkenan memberi kesempatan agar suratkabar-suratkabar tersebut diijinkan terbit kembali dengan mengindahkan, memenuhi dan menjalankan segala ketentuan-ketentuan sebagaimana telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan-ketentuan lainnya. Dalam menilai sesuatu keadaan, baik yang berbentuk ulasan maupun berita, kami akan berusaha menahan diri sesuai dengan azas pers bebas dan bertanggungjawab”. Para penandatangan surat adalah Jacob Oetama (Kompas), Soebagio Pr (Sinar Harapan), R.P. Hendro (The Indonesia Times), Tribuana Said (Merdeka), HM  Said Budairy (Pelita), Charly T. Siahaan (Sinar Pagi) dan HS Abiyasa (Pos Sore). Di bawah tanda tangan mereka tercantum tanda tangan dua orang yang menyetujui yakni Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Harmoko dan Ketua SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) Djamal Ali SH.

Permohonan untuk terbit kembali dikabulkan beberapa waktu kemudian. Para pemimpin suratkabar ini berada dalam suasana dilematis. Di satu sisi mereka memikirkan fungsi-fungsi idealistik dari pers berdasarkan keadilan dan kebenaran, tapi di sisi lain mereka pun memikirkan nasib ratusan karyawan mereka serta kelangsungan eksistensi mereka sebagai media pers. Memang benar juga, bahwa bilamana seluruh pers yang dibreidel itu –tujuh media– akan dimatikan untuk seterusnya, dunia pers Indonesia akan mengalami kehilangan dan kekosongan yang panjang. Tapi bagi seorang wartawan muda seperti Jus Soemadipraja, surat permohonan kepada Soeharto yang dilayangkan para seniornya itu, amat mengusik hati nurani. Baginya, para pemimpin redaksi itu seakan mengakui telah melanggar sendiri kode etik jurnalistik Indonesia, dan telah melakukan pula segala rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, “dan dengan demikian telah menghukum diri sendiri”. Jus yang semula adalah wartawan Harian Indonesia Raya yang dibreidel empat tahun sebelumnya segera setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dan kemudian diterima Jacob Oetama sebagai wartawan Harian Kompas, karena tak dapat mendamaikan hal itu “dengan bisikan hati nurani”nya, saat itu memilih untuk mengundurkan diri dari dunia kewartawanan.

Kampus ITB pada hari-hari terakhir Januari 1978 itu dipenuhi poster, dan mahasiswa betul-betul mogok kuliah. Mahasiswa memasang spanduk yang bertuliskan “Turunkan Soeharto !”. Lalu DM ITB mengeluarkan suatu deklarasi yang menyatakan tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, tepat di akhir Januari 1978. Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan. Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan. Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus. Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya. Telah tercipta Luka Ketiga dalam hubungan tentara dan kekuasaan dengan mahasiswa.

Rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja, menduduki beberapa kampus utama di Bandung yakni ITB, Universitas Padjadjaran dan IKIP serta ‘pengawasan’ terhadap kampus-kampus lainnya. Pendudukan dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan. Merupakan ironi bahwa peristiwa ini terjadi di wilayah Kodam Siliwangi yang perwira-perwiranya dari waktu ke waktu secara historis memiliki kedekatan dengan mahasiswa. Panglima Siliwangi saat itu, Mayjen Himawan Sutanto, rupanya tak berkutik menghadapi perintah Jakarta. Saat pecahnya Peristiwa Malari 1974 di Jakarta tentara juga ‘memasuki’ kampus, namun itu berlangsung hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda.

Inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Baru-nya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Beberapa tokoh gerakan mahasiswa Angkatan 78 ditangkap dan dipenjarakan, seperti antara lain Heri Akhmadi dan Hindro Tjahjono. Salah satu tokoh lainnya, Rizal Ramli, meloloskan diri dan tidak harus masuk mengalami ‘romantika’ dalam penjara politik. Penanganan yang sangat represif dan militeristik inilah yang kemudian dicatat sebagai luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’. Tapi pada dirinya sendiri, terminologi ini bisa bermakna harus turun tangan mengambil kekuasaan, sesuatu yang sebenarnya ada di luar hakekat, jangkauan kemampuan, dan martabat sebagai satu lapisan kekuatan moral bangsa. Meski berdasar pengalaman paling aktual, pada saat meluncurkan gerakan reformasi, dengan beberapa kelemahan konseptual, gerakan reformasi dan benefitnya telah diambil alih oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dari tangan para mahasiswa untuk tiba pada posisi kekuasaan baru.

(Diolah kembali dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1975, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (6)

“Apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini dengan sadar ‘melakukan’ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‘fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi ‘melawan’ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian…”.

SIKAP Soeharto kemudian berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap Soekarno, justru setelah ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan meningkat dengan pengukuhan suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan sejumlah aktifis generasi muda yang sejak Januari 1966 –bahkan sejak Oktober 1965– sampai Maret 1966 sebenarnya menjadi ujung tombak pergerakan yang sengaja atau tidak telah menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto.

Namun ada situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan generasi muda setelah 11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang-ancang masuk dalam barisan Soeharto –terutama melalui sejumlah jenderal atau jenderal politisi maupun politisi sipil di lingkungan Soeharto– untuk turut serta dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing dengan Soekarno maupun kemudian pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin dalam kelompok ini dapat dimasukkan aktivis-aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen dan Liem Bian Kie yang punya kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan-kawan yang sejak awal berada di lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama-nama seperti Cosmas Batubara –tokoh KAMI yang paling legendaris di tahun 1966– dan Abdul Gafur. Ini semua bisa dihubungkan dengan fakta bahwa ketika Soeharto memilih untuk bersikap lebih taktis, secara diam-diam seperti yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil langkah-langkah di balik layar untuk melakukan tugas yang sulit, yaitu merehabilitasi perekonomian Indonesia yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi.

Untuk tujuan yang lebih pragmatis, “pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer”. Pembersihan dilakukan di dalam tubuh angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang sama dilakukan di semua tingkat birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan aparat sosial politik tentara. Dalam rangka konsolidasi di tubuh angkatan bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul dulu lalu diringkus. Brigjen Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, adalah salah satu contoh dari pola ‘dirangkul lalu diringkus’. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September 1965, pernah mendapat perintah Soekarno untuk menindaki jenderal-jenderal yang tidak loyal, sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama, sebelum akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan di tahun 1968.

Kelompok yang paling cepat meluncur kepada fase mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan segera adalah terutama kelompok mahasiswa di Bandung pada umumnya, yang sejak awal terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga Maret 1966. Secara historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman Nasakom. Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada organisasi-organisasi intra kampus, dengan tiga kampus utama sebagai basis, yakni ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda dengan kampus utama lainnya, yakni IKIP, yang secara tradisional student government-nya tanpa jedah didominasi oleh HMI.

Sementara itu di luar kampus, terdapat kelompok-kelompok mahasiswa yang mempunyai peranan dalam pergerakan mahasiswa. Tetapi yang khas adalah bahwa mereka, meskipun kerap bergerak di luar pagar kampus, tetap mempunyai aspirasi yang sama dan bahkan memperkuat aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di luar malahan juga adalah aktivis intra kampus, namun tidak membawa-bawa nama kelompoknya di luar dalam kegiatannya di kampus sehingga tidak menghadapi resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal adalah kelompok Bangbayang. Lainnya adalah kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman ITB. Di luar itu, ada Rahman Tolleng dan kawan-kawan yang kemudian setelah terbitnya Mingguan Mahasiswa Indonesia (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma menjadi satu kelompok politik tangguh dan dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam sesuai nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini bergabung sejumlah tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari organisasi-organisasi yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai GMNI Osa Usep, serta aktivis mahasiswa independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah) hanya satu-dua yang terselip di sini.

Dalam kelompok Bangbayang terdapat ‘campuran’ aktivis dengan catatan sepak terjang yang beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik penting. Ada tokoh-tokoh seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam kelompok ini yang umumnya adalah mahasiswa ITB adalah Roedianto Ramelan, Anhar Tusin, Fred Hehuwat, Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain-lain. Yang dari Universitas Padjadjaran adalah Parwito Pradotokusumo serta beberapa nama lain. Sampai bertahun-tahun kemudian kelompok Bangbayang ini masih ada dengan nama Persaudaraan Bangbayang dengan ratusan ‘anggota’ yang masih kerap berkomunikasi satu sama lain.

Kelompok ini, melalui beberapa ‘anggota’nya, memiliki persinggungan dengan berbagai kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira militer idealis yang berperan pada masa peralihan Orde Lama-Orde Baru, juga dengan intelijens AD, serta kelompok politik Islam dari Masjumi. Namun dengan segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk dalam kelompok mahasiswa independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki titik singgung dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan karena kebersamaan dalam Peristiwa 10 Mei 1963, mempunyai titik singgung dengan mahasiswa GMNI Ali-Surachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara ‘geografis’ Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam ‘Kasbah’. Anggota kelompok Kasbah ini, umumnya adalah mahasiswa berketurunan Arab –seperti Ridho, mahasiswa Universitas Padjadjaran– dan karena itu mendapat nama Kasbah, suatu wilayah tersohor di ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka adalah anggota HMI dari ‘garis keras’, berbeda dengan aktivis Salman ITB yang adalah Islam ‘independen’ atau anggota HMI beraliran moderat.

Sebagai barisan mahasiswa pergerakan 1966, Bangbayang memiliki berbagai akses kemudahan. Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang banyak berkontribusi kepada gerakan mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh militer konseptor AD (Seminar AD I/II) Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan sebagainya. Hal yang menarik dari kelompok Bangbayang ini adalah terdapatnya semacam pembagian tugas tidak resmi secara internal, yakni kelompok pemikir yang terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih junior. Selain itu ada pula istilah ‘baduy dalam’ dan ‘baduy luar’, seperti yang dituturkan Utaryo Suwanto. Baduy dalam adalah untuk mereka yang tinggal bersama dalam satu rumah di Jalan Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan orangtua Roedianto Ramelan. Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka yang sehari-hari dalam kegiatan bergabung dengan kelompok tersebut, namun bermukim di luar ‘rumah bersama’ di Bangbayang.

Pasca Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan ‘struggle from within’). Kelompok Bangbayang ini –setidaknya yang terlihat pada permukaan– memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah politik praktis pasca 1966 dan masuk ke dunia profesional. Mereka antara lain mengintrodusir proyek padi unggul Sukasono di Garut. Cepat mendorong ‘anggota’nya back to campus untuk menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang profesional seperti dunia bisnis dan pemerintahan. Muslimin Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya masuk ke berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian, Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan-perusahaan swasta dan kelak menduduki posisi-posisi cukup penting dan mencapai sukses di tempat-tempat tersebut. Kelompok Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam menerjunkan diri ke medan politik praktis, baik di DPR maupun organisasi politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang adalah Rudianto Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk beberapa waktu melakukan ‘struggle from within’.

Barangkali apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini dengan sadar ‘melakukan’ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‘fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi ‘melawan’ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.

Sikap yang serupa –mengenai Soekarno pasca 11 Maret 1966– dengan kelompok-kelompok mahasiswa Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam Simanjuntak dan kawan-kawan, juga ditunjukkan misalnya oleh orang-orang seperti Soe-Hokgie, Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang lebih terkait dengan aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak dini juga telah terlihat pada tokoh-tokoh seperti Harry Tjan dari Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul Ulama.

Kontingen Mahasiswa Bandung yang telah berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. Tetapi antara 12 Maret hingga saat kepulangannya ke Bandung, mahasiswa-mahasiswa Bandung sempat ikut serta dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu terfokus kepada pembersihan lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang disempurnakan, setelah penangkapan 16 Menteri. Meski tak selalu menyebutkan nama Soekarno secara langsung banyak ‘serangan’ yang dilakukan mereka tertuju kepada berbagai tindakan politik Soekarno. Salah satu kegiatan Kontingen Bandung ini yang menonjol adalah membangun Radio Ampera, yang dilaksanakan oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan-kawan yang berasal dari group Bangbayang. Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat Kontingen Bandung berada selama di Jakarta. Namun ketika ada isu kampus UI akan diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke rumah Ir Omar Tusin –kakak Anhar– selama dua hari untuk kemudian dipindahkan ke rumah Mashuri SH yang letaknya tak jauh dari kediaman Soeharto di Jalan H. Agus Salim.  Keikutsertaan Soe-Hokgie dan kakaknya Soe-Hokdjin –belakangan dikenal dengan nama barunya, Arief Budiman– menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang  sasarannya tajam tertuju kepada Soekarno, telah memberi warna tersendiri dalam pergerakan mahasiswa di Jakarta.

Kegiatan Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur-angsur dipindahkan ke Jawa Tengah (Magelang dan sekitarnya), karena menganggap daerah itu perlu mendapat penjelasan-penjelasan mengenai kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan pemerintahan Soekarno sehingga diperlukan koreksi-koreksi. Belakangan, suatu pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan di Surabaya yang dititipkan pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori Nasution dan kawan-kawan. Pemancar yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh RPKAD, berkekuatan 400 watt yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur hingga pulau Bali. Sejumlah aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan siaran di Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro, Bernard Mangunsong dan kawan-kawan. ‘Penjaga’ tetap pemancar di Magelang ini adalah Tari Pradeksa.

Sementara itu di Bandung terdapat sejumlah pemancar radio yang didirikan dan dikelola oleh para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada pula Radio Mara yang amat terkenal pada masa-masa pergerakan mahasiswa di tahun 1966 dan berfungsi sebagai penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh oleh kelompok mahasiswa seperti Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat Somantri dan kawan-kawan. Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono, kerapkali ikut melakukan siaran dengan menggunakan nama samaran Bang Kalong. Radio itu sampai sekarang masih eksis.

Berlanjut ke Bagian 7

Pers Indonesia: Senjata Perjuangan yang Beralih Menjadi Penanda Kegagalan Sosiologis (2)

“Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965”. “Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani”.

NUSANTARA, meminjam pandangan Clifford Geertz, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception. Merupakan produk dari pengalaman kemalangan sejarah yang panjang: Pertemuan dan persilangan yang hampir tak masuk akal dari perilaku terburuk dari bangsa-bangsa yang datang dengan hasrat penaklukan, mulai dari orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda, bahkan juga dari ‘sesama’ Asia yakni India dan Cina. Juga menjadi tempat persilangan penyebaran agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan kerap dengan pertumpahan darah, penaklukan dan tipu daya, apakah itu Hindu, Budha, Konghucu, maupun Kristen dan juga Islam. Cara penyebaran yang tak damai itu menyisakan dalam jangka panjang dan berulang-ulang suatu rangkaian konflik berdasarkan perbedaan agama. Lalu, pada dua abad terbaru, Indonesia menjadi pula tempat persilangan antara sistem kapitalisme liberal, imperialisme dan komunisme, bahkan juga ideologi-ideologi berdasar agama yang digunakan dalam kehidupan politik yang amat duniawi, bertentangan dengan kesucian ajaran agama-agama itu sendiri. Pertemuan silang ideologi-ideologi ini menciptakan situasi pertarungan politik dengan orientasi kekuasaan semata.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan, para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan.

Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Di mana posisi dan peran Pers Indonesia dan Pers Mahasiswa dalam bingkai peristiwa? Dalam kurun waktu kekuasaan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang, jelas bahwa pers Indonesia ada dalam masa suram. Pers selalu ada dalam ancaman supresi, namun sungguh menarik bahwa sejumlah pelaku pers tetap mencoba mencari celah untuk menyampaikan aspirasi tentang kebebasan bagi rakyat, kendati pada waktu yang sama tak kurang banyaknya kaum opportunis maupun yang menempatkan diri dalam pola penghambaan terhadap kekuasaan.

Sementara itu, ketika berada dalam masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun kekuasaan otoriter Soeharto, harus diakui bahwa mayoritas pelaku pers nasional melakukan pilihan yang paling aman untuk tunduk terhadap kekuasaan dan menempatkan diri sebagai penyalur suara dan kepentingan kekuasaan belaka. Beberapa tokoh pers terkemuka melakukan pembelaan diri dengan terminologi sikap taktis. Hanya terdapat sedikit pengecualian, dan contoh paling terkemuka untuk dua kurun waktu ini adalah tokoh Mochtar Lubis dengan Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya.

Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965. Setiap penerbitan pers diharuskan memiliki induk partai dan atau kekuatan politik. Seterusnya penerbitan-penerbitan pers di daerah harus bergabung pada salah satu induk pers di Jakarta. Karena seluruh partai dalam struktur Nasakom kala itu dapat dikatakan sepenuhnya adalah partai-partai dengan kepribadian lemah karena sikap opportunis para pemimpinnya, maka dengan sendirinya penerbitan pers yang bergabung dengannya tak bisa diharapkan memiliki kepribadian yang jelas. Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia yang secara politis berada di atas angin, partai itu dan organ-organ persnya menjadi sangat agresif dan provokatif. Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani.

Pengamatan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa aktivitas pers mahasiswa senantiasa terkait erat dengan aktivitas pergerakan dan atau perjuangan mahasiswa dari masa ke masa. Mahasiswa yang terbina dalam kebebasan akademis, memiliki ketertarikan kepada kegiatan pers yang merupakan media penyampaian aspirasi dalam pemahaman demokratis. Sementara kalangan kekuasaan dengan kecenderungan otoriteristik memandang pers hanyalah sekedar alat penanaman opini yang efektif. Pergerakan moral mahasiswa –sebagian bagian dari kaum intelektual– maupun aktivisme pers dalam konteks demokrasi memiliki idealisme dan etika dasar yang sama, yaitu kebenaran objektif dalam pengertian universal yang dengan sendirinya juga memperjuangkan keadilan.

Dharma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa sebagai insan akademis ada dalam konteks. Lahir dan terbentuknya IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1950-an banyak terkait dengan perjuangan mahasiswa untuk penegakan demokrasi. Di masa demokrasi terpimpin Soekarno, IPMI menjadi tempat persemaian aktivis pro demokrasi yang resah terhadap gejala kekuasaan yang mengarah kepada bentuk diktatorial. Pada waktu yang sama, banyak aktivis mahasiswa yang melakukan perlawanan bawah tanah terhadap kekuasaan, antara lain dengan menggunakan pamflet dan selebaran gelap yang berisi tulisan-tulisan kritis terhadap cara Soekarno menjalankan kekuasaan. Di tahun 1970-an di Bandung lahir pula BKS Pers MI (Badan Kerja Sama Pers Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah kerjasama penerbitan pers mahasiswa intra maupun ekstra kampus.

Kendati pers mahasiswa juga bisa digeluti oleh beberapa mahasiswa hanya atas dasar minat dan ketertarikan kepada kegiatan jurnalistik, tetapi dalam perjalanan keterlibatan itu akan selalu tampil romantisme atas dasar idealisme seberapa kecilpun kadarnya. Paling tidak, menyalurkan aspirasi untuk mengkritisi keadaan di sekitar dalam berbagai skala. Model ini banyak kita temukan dalam bentuk penerbitan internal di fakultas-fakultas, dan atau di kalangan internal organisasi ekstra-universiter.

Model dengan skala lebih luas adalah penerbitan yang diselenggarakan untuk tingkat universitas. Kampus Universitas Padjadjaran pernah memiliki Gema Padjadjaran pada akhir tahun 1960 hingga awal 1970-an sampai menjelang meletusnya Peristiwa 15 Januari 1974. Kemudian, setelah peristiwa, ada Aspirasi. Keduanya diterbitkan di bawah naungan Dewan Mahasiswa dan atau lembaga mahasiswa internal kampus, dengan supportasi otoritas kampus. Kampus ITB adalah contoh menarik lainnya dalam pers mahasiswa. Kampus ini sejak tahun 1960-an sebelum 1965, dan kemudian pada masa-masa sesudahnya, senantiasa memiliki lembaga-lembaga pers. Ada Berita-berita ITB pada masa pergolakan karena politisasi kampus di masa demokrasi terpimpin, yang terbagi antara kubu mahasiswa intra yang independen dengan kubu mahasiswa onderbouw kekuatan eksternal kampus seperti CGMI, GMNI, Perhimi dan sebagainya. Berita-berita ITB ini berhasil eksis dalam jangka yang amat panjang. Di ITB pernah pula ada Gelora Teknologi, Majalah Kampus, Scientiae. Selain itu, ITB memiliki Liga Film Mahasiswa yang tetap memutar film-film barat pada saat kekuatan politik kiri di masa Soekarno ramai-ramai mengganyang apa yang mereka sebut sebagai film Nekolim. ITB pun memiliki Radio ITB dan sempat ada Pemancar TV di kampus.

Kampus Universitas Gajah Mada di Yogyakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan pers mahasiswa. Sampai kini ada Lembaga Pers yang dikenal sebagai Balairung yang menerbitkan Balkon atau Balairung Koran dan Jurnal yang terbit 1-2 kali setahun dengan kumpulan tulisan tematis. Lembaga pers UGM ini lahir pada masa UGM dipimpin Rektor Prof. Dr Kusnadi Hardjasumantri. Almarhum pada masa mahasiswanya di tahun 1950-an menjadi salah satu pendiri IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) antara lain bersama Emil Salim. Kampus UGM juga memiliki SKM Bulaksumur. Setiap fakultas memiliki penerbitan mahasiswa, seperti halnya dengan Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan, Universitas Indonesia dan berbagai kampus perguruan tinggi di tanah air. Universitas Indonesia juga pernah tercatat sebagai kampus dengan banyak penerbitan pers mahasiswa. Mereka pernah punya Koran Salemba. Karena pemberitaannya, koran mahasiswa itu berkali-kali menghadapi persoalan dengan kalangan kekuasaan masa Soeharto.

Namun yang paling fenomenal dalam kehidupan pers mahasiswa adalah masa pergerakan tahun 1966. Pada tahun 1966 lahir Harian KAMI di Jakarta dan Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan. Berbeda dengan pers kampus, kedua media yang disebut di atas adalah sebuah media yang bergerak sebagai pers umum, namun diasuh oleh sumberdaya manusia yang berasal dari kampus, khususnya kalangan mahasiswa. Selain edisi Jawa Barat, lebih dulu ada Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat dan kemudian edisi Yogyakarta. Akan tetapi dua yang disebut terakhir ini justru tak berusia panjang, sehingga edisi Jawa Barat akhirnya tampil dengan nama Mingguan Mahasiswa Indonesia saja dengan posisi dan kategori pers nasional. Harian KAMI maupun Mingguan Mahasiswa Indonesia memiliki Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Meskipun kedua media itu menyandang nama mahasiswa, media yang diasuh mahasiswa ini menjalani kehidupan pers umum. Beredar secara nasional dengan tiras yang kadangkala bisa menyamai bahkan melampaui media massa nasional yang ada masa itu.

Berlanjut ke Bagian 3

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (8)

“Keturunan arab diuntungkan oleh persamaan agama dengan kebanyakan penduduk. Tapi keturunan cina biasanya lebih luwes dan ulet. Meski, tak urung seringkali ada diantara mereka tercatat sebagai ‘tidak mempunyai nama baik di kalangan kulit putih dan pribumi inlander’. Namun tak ada cara yang sanggup mengutik-ngutik peran mereka yang demikian ‘jlimet’ itu”.

SEHARI setelah peristiwa, pada tanggal 6 Agustus, BKS DM/SM se Bandung berkumpul dan bersidang membahas peristiwa tersebut. Pertemuan yang dihadiri oleh Dewan-dewan dan Senat-senat mahasiswa itu –antara lain dari Universitas Padjadjaran,  Universitas Parahyangan,  Institut Teknologi Bandung, Institut Agama Islam Negeri, Akademi Geologi dan Pertambangan dan AIN– menghasilkan suatu pernyataan yang keras dengan pendekatan yang jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan penguasa. Perlu dicatat, sejak bagian awal tahun 1973 ini, di lingkungan Dewan-dewan Mahasiswa dan Senat-senat mahasiswa ini telah terjadi banyak pergantian yang memunculkan wajah baru dengan aspirasi intra yang amat kuat serta lebih vokal. Maka pernyataan-pernyataan mereka umumnya tajam dan keras. Dua perguruan tinggi Bandung yang terkemuka Universitas Padjadjaran dan ITB misalnya, Dewan Mahasiswa-nya telah mengalami pembaharuan. DM Universitas Padjadjaran dipimpin oleh Ketua Umum Hatta Albanik, mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan tahun 1967, berkacamata minus dengan ucapan-ucapan yang sangat sering tajam dan keras. Sedang DM-ITB dipimpin oleh Muslim Tampubolon yang dalam kepengurusannya diperkuat oleh aktivis-aktivis yang dinamis seperti Komaruddin, Kemal Taruc dan Hafiz Sawawi.

Seraya menyerukan harapan kepada masyarakat agar menanggapi segala kondisi dan situasi yang ada secara obyektif dan rasional dan menghindarkan hal-hal yang berdasarkan emosi semata, BKS DM/SM se Bandung melancarkan kecaman-kecaman keras ke alamat penguasa. “Betapa pun juga haruslah disadari bahwa peristiwa 5 Agustus 1973 adalah merupakan refleksi dan ledakan yang tidak terlepas dari kondisi sosial yang melingkupi masyarakat dan bangsa Indonesia”. Kondisi dan situasi sosial tersebut membawa masyarakat pada suatu posisi yang memaksanya mengambil sikap yang teredam tanpa suatu penyaluran yang memuaskan. “Kondisi dan situasi masyarakat yang berada dalam taraf pembangunan, dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang menunjukkan adanya kepincangan-kepincangan yang digambarkan dalam bentuk sikap, tindak dan situasi kontradiktif yang menyentuh rasa keadilan sosial masyarakat”.

Kenyataan itu, menurut para mahasiswa tersebut, “di satu pihak menunjukkan bahwa lapisan terbesar masyarakat luas masih berada dalam keadaan hidup yang prihatin, di lain pihak lapisan kecil yang menjadi ‘penikmat’ hasil-hasil pembangunan, menunjukkan penampilan rasa mewah yang berkelebihan dalam sikap hidup yang tidak menggambarkan rasa senasib sebangsa. Adalah patut disesalkan bahwa sikap-sikap negatif yang dipertontonkan secara menyolok tersebut, dinilai seolah sebagai suatu kewajaran yang di’angin’i oleh kalangan penguasa tertentu. “Adalah sangat disesalkan pula bahwa jurang sosial yang semakin melebar ini, secara sadar atau tidak, kurang memperoleh pemahaman dan perhatian yang intensif. Jelaslah bahwa betapa pun juga kondisi dan situasi ini akan lebih memburuk bilamana kondisi tersebut di atas tidak segera memperoleh perhatian-perhatian yang wajar dalam penanggulangannya”. Lalu BKS DM/SM menegaskan, “Dalam kerangka ini, sudahlah jelas bahwa diperlukan langkah-langkah tindakan korektif ke dalam, terhadap kebijaksanaan penguasa sendiri, sehingga mampu menggambarkan wajah simpatik yang menunjukkan adanya kesungguhan akan usaha perbaikan yang dilakukan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Kepada wakil-wakil rakyat para mahasiswa menyerukan untuk berfungsi sebagaimana mestinya untuk dapat menyalurkan segala kehendak rakyat.

PMKRI cabang Bandung memperkuat tudingan BKS DM/SM kepada kalangan kekuasaan, dengan menyatakan “Masih kurang adanya kepemimpinan yang berorientasi pada pembangunan sosial”. PMKRI menganggap Peristiwa 5 Agustus 1973 adalah pencerminan dan akibat dari terdapatnya ketidak adilan sosial di masyarakat. Organisasi mahasiswa extra ini yang dikenal sebagai organisasi yang sebagian anggotanya berasal dari warganegara keturunan ini, tanpa segan-segan melakukan koreksi dan kritik kepada kalangan etnis cina sebagai salah satu unsur dalam masyarakat yang kerap ikut mempertajam kesenjangan sosial yang ada. PMKRI mengecam perilaku sementara pengusaha yang kebetulan keturunan cina yang masih bersifat monopolistis, kapitalistis dan bersikap eksklusif6).

Terhadap Peristiwa 5 Agustus 1973, banyak pihak yang mengasosiasikannya dengan peristiwa sepuluh tahun sebelumnya di Bandung juga, 10 Mei 1963, yang dianggap peristiwa rasial karena korbannya adalah keturunan cina. Namun bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia, Peristiwa 5 Agustus ini menurut hakekatnya titik beratnya bukanlah semata peristiwa rasial melainkan jalin berjalinnya berbagai masalah sosial. “Peristiwa ini seperti yang dapat dibaca dari keadaan, harus diakui ada kaitannya dengan penderitaan masyarakat yang pada waktu-waktu belakangan ini memang makin memberat”. Agaknya itu membangun sikap agresif, sehingga hanya dengan sebuah insiden, ekornya jadi luar biasa. Bahwa sasaran kemarahan terutama tertuju kepada warga negara Indonesia yang kebetulan keturunan cina, sehingga warna rasialisme menyolok dalam peristiwa ini, agaknya tak lain karena dalam tata masyarakat kita golongan ini adalah mata rantai ‘terlemah’ di segala segi terkecuali dalam segi ekonomi dan keuangan.

“Hal lain yang amat penting untuk diperhatikan adalah sasaran kemarahan di tanggal 5 Agustus itu”. Selain beberapa pabrik tekstil besar yang ikut jadi sasaran, juga showroom PT Astra dan PT Permorin yang memajang beberapa mobil baru. “Bahkan tempat perbelanjaan Sarinah di jalan Braga yang nyata-nyata adalah milik negara”. Ini semua menunjukkan, sesuai dengan psikologi massa, bahwa setiap kali terjadi huru-hara, sasaran akan gampang meluas dan melampaui  batasan-batasan. Gejala ingin merusakkan apa yang tampak mentereng –lampu-lampu reklame sebagai lambang, mobil-mobil mentereng, termasuk beberapa yang milik bukan keturunan cina, barang-barang luks seperti televisi dan sebagainya– cukup terlihat selama beberapa jam sepanjang berlangsungnya huru-hara. Bagaimana pun menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia, dari sudut hukum peristiwa itu tidak bisa dibenarkan “karena kita nyata-nyata tak menghendaki anarki”, maka harus ada penyelesaian secara hukum. Tapi diingatkan untuk mengambil pelajaran, “kita tidak cukup dengan sekedar memerangi symptom, sebab musababnya sendiri harus diperangi”.

Kalau PKI hanya terkena getah dengan sekedar tudingan dalam kata-kata para penguasa, termasuk dari Presiden Soeharto, maka beberapa tokoh AMS (Angkatan Muda Siliwangi) justru terkena langsung dan dikenakan penahanan dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 5 Agustus 1973. Beberapa tokoh pimpinan AMS di tingkat distrik Bandung-Cimahi ditangkap di bulan September. Koran-koran ibukota bahkan sempat memberitakan penangkapan terhadap pengurusnya di tingkat pusat.  Tak kurang dari Ketua Umum AMS Tjetje Hidajat Padmadinata sendiri yang diberitakan terkena penahanan dan harus mendekam dalam tahanan Laksus Kopkamtibda di Kodam Siliwangi. Berita itu ternyata keliru. Tapi bahwa memang ada tokoh-tokoh pimpinan organisasi tersebut ditangkap, dibenarkan sendiri oleh Panglima Siliwangi Mayjen Wahyu Hagono. Namun, “sampai sekarang saya masih menganggap sebagai oknum, belum organisasi yang terlibat dalam Peristiwa 5 Agustus”. Wakil Ketua Umum AMS Tatto Prajamanggala membantah adanya penahanan Ketua Umum AMS, melainkan sejumlah tokoh AMS sebagai perorangan dan memberikan jaminan bahwa “AMS tidak terlibat secara organisatoris dalam peristiwa itu”.  Menurut Tatto, kalau secara organisatoris AMS dianggap terlibat, maka “pemimpin-pemimpinnyalah yang harus ditangkap”.

Meski Mingguan Mahasiswa Indonesia tidak selalu disenangi oleh beberapa kalangan pimpinan AMS, namun mingguan itu menampilkan pembelaan-pembelaan yang kuat dengan mengeritik penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh AMS, termasuk pada saat pers lain sudah memilih untuk ‘diam’.

Ethnosentrisme dan Prasangka Sosial

SAMPAI bagian-bagian awal tahun 1970-an telah terlihat betapa prasangka sosial menjadi sumber dari banyak masalah, mulai dari kecemburuan ekonomi hingga kepada terjadi kerusuhan-kerusuhan yang berbau rasial. Memang, yang lebih menonjol adalah yang terkait dengan etnis cina, tetapi sesungguhnya masalah juga muncul dengan etnis lain seperti etnis keturunan arab, disamping yang terkait masalah kesukuan. Semua itu digolongkan sebagai faktor-faktor des-integrasi. Perbedaan-perbedaan itu lebih menajam tatkala makin terasa mulai terjadi pelebaran jurang sosial antara kaum kaya baru di masyarakat dengan rakyat banyak yang masih tertinggal dalam kemiskinan.

Semua ini satu dan lain hal berakar dalam sejarah. Sebuah tulisan yang dirangkum oleh salah seorang kontributor tetap Mingguan Mahasiswa Indonesia, Syamsir Alam, bersama redaksi, mencoba memaparkannya sebagai referensi pada edisi tanggal 24 September 1972.

Pada tahun 1855, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah undang-undang sipil di tanah jajahannya dan dikenallah istilah ‘Vreemde Oosterlingen’. Hindia Belanda adalah sebuah negeri yang makmur, maka kepentingan ekonomi dan politik Belanda harus diperkuat, terutama setelah terjadinya berbagai pemberontakan melawan usaha penjajahan mereka. Setelah Gubernur Jenderal Van den Bosch berkuasa undang-undang sipil baru dilemparkan sebagai alat menentukan status dan posisi penduduk yang menempati bumi Indonesia. Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda sangat memerlukan peran orang-orang Tionghwa atau Cina dan Arab sebagai perantara kepentingannya terhadap penduduk-penduduk pribumi. Oleh karena itu kedudukan mereka ditingkatkan oleh Belanda sebagai “kelas menengah”, sementara orang-orang kulit putih berada di puncak atas. Vreemde Oosterlingen berarti orang Timur Asing yang berdiri di lapisan tengah. Yang besar peranannya dalam kelompok Timur Asing ini adalah keturunan cina, sedang keturunan arab di tempat berikutnya. Pada lapisan bawah adalah penduduk pribumi yang disebut kaum inlander, yang bergerak pada lapangan kehidupan agraris dengan kebudayaan agraris mereka dan tentu saja dengan kemampuan entrepreneurs yang lemah pula.

Bila posisi orang-orang keturunan cina di tahun 1855 itu telah menanjak sedemikian rupa, ini bukanlah tanpa perjuangan yang penuh susah payah. Pada tahun 1740 jumlah mereka di Batavia atau Jakarta saja telah mencapai 80.000 kepala dan masih menganut agama Kong Hu Cu dengan klenteng-klenteng mereka yang indah dan megah. Sebelum 1740, mereka sudah menguasai perdagangan gula. Gautier Schouten (1638-1704) menulis “Mereka adalah orang-orang yang aneh dan mirip orang-orang Yahudi”. Dan kecemasan orang-orang Belanda pun mulai semenjak tahu bahwa mereka itu bisa sangat ‘memusingkan’. Gubernur Jenderal Valckenir waktu itu berusaha mengirim orang-orang cina ini ke Ceylon untuk dijadikan buruh di sana. Tapi ketika beberapa kapal telah diberangkatkan, di kalangan orang-orang cina itu terdengar desas-desus bahwa kawan-kawan mereka ternyata dibuang ke laut. Semenjak itu kegelisahan memuncak diantara mereka, lalu mereka berkumpul untuk mengadakan suatu pemberontakan. Namun malang, pemerintah Belanda ternyata telah siap untuk membersihkan Batavia dari orang-orang cina, dengan cara paksa sekalipun, yang berakhir dengan pembunuhan massal yang mengerikan di tahun 1740. Ratusan orang cina menggeletak tanpa nyawa.

Banyak diantara mereka kemudian melarikan diri ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka mengadakan kerjasama dengan raja Solo dan Yogya untuk menentang Belanda. Pada 1742 peristiwa yang mengerikan itu berakhir. Orang-orang cina kembali meluaskan dan mengambil posisi di bidang perdagangan. Bersamaan dengan itu pendatang-pendatang baru mengalir lagi dari Kanton, Hakka, Fuking, Hainan, Shanghai maupun Kwangsi dan Yunan, kedatangan mereka di negeri ini benar-benar tanpa modal yang cukup. Tapi berkat usaha mereka yang keras pada akhirnya mereka mendapatkan kegiatan hidup dan tingkat kehidupan yang menyenangkan. Sejak itu mereka terus berjaya dan berhasil memaksa Belanda untuk lebih kompromistis. Pada tahun 1811 William Daendels (sewaktu Belanda dikuasai Perancis) misalnya telah mempercayakan seluruh Besuki yang kaya dengan tebu, tembakau, kopi dan beras, kepada seorang Kapitan Cina dari Surabaya. Sejak permulaan abad ke-19 Jakarta, Cirebon, Semarang, dan Surabaya sudah merupakan pusat bisnis mereka yang utama. Dari sana mereka mengendalikan perdagangannya ke daerah-daerah lain. Sewaktu Gubernur Jenderal Inggeris Thomas Stamford Raffles memerintah Jawa tahun 1811-1816, ia menggelindingkan kultuurstelsel dimana semua pajak harus dibayar dengan uang. Petani-petani Jawa yang biasanya menyimpan barang-barang non produktif sebagai tumbal kekayaan mereka, tidak mempunyai uang cukup. Dalam kebingungan, mereka menjual tanah-tanah mereka kepada orang-orang cina yang lebih kuat modalnya. Ketika kultuurstelsel dicabut, rentenir-rentenir cina telah merajalela.

Sewaktu Belanda kembali berkuasa di Indonesia, Belanda memikirkan cara baru untuk memperkecil peran orang-orang cina. Tetapi usahawan-usahawan cina itu sudah berpengaruh luas. Jumlah orang cina pada tahun 1830 hingga 1855 telah mencapai 150.000 di pulau Jawa saja dan masyarakat mereka telah terjalin demikian kuat dengan tradisi yang tak mudah dijebol. Undang-undang sipil yang dikeluarkan pada tahun 1855 sebenarnya adalah bukti bahwa pemerintah Belanda memerlukan orang-orang cina dan arab sebagai “Perantara kepentingan mereka”. Orang-orang kulit putih tidak bisa langsung berurusan dengan kehidupan pribumi yang penuh lumpur dan keringat. Hanya orang-orang cina dan arab lah yang sanggup. Maka diberikanlah pada mereka status sosial sebagai Vreemde Oosterlingen yang mapan. Dan ternyata mereka memang bisa bergaul secara bebas dengan pribumi, menguasai bahasa daerah dan beberapa ada yang mampu berasimilasi.

Keturunan arab diuntungkan oleh persamaan agama dengan kebanyakan penduduk. Tapi keturunan cina biasanya lebih luwes dan ulet. Meski, tak urung seringkali ada diantara mereka tercatat sebagai “tidak mempunyai nama baik di kalangan kulit putih dan pribumi inlander”. Namun tak ada cara yang sanggup mengutik-ngutik peran mereka yang demikian ‘jlimet’ itu. Malahan justru pada tahun 1892, orang-orang cina mulai menguasai industri-industri batik dan mulai menjadikan banyak orang-orang pribumi sebagai ‘kuli-kuli’ mereka yang patuh. Bahkan mereka telah dicatat di abad ke-19 itu, berhasil menggantikan peran raja-raja dan bupati-bupati Jawa di sepanjang pesisir yang sebelumnya menguasai perekonomian di abad-abad 14 dan 15. Pada beberapa tempat lain sejumlah keturunan arab juga berhasil masuk dan menguasai industri batik.

Berlanjut ke Bagian 9

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (16)

“Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan”. “Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaannya berlanjut”.

DENGAN terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, sengaja atau tidak Jenderal Soeharto menemukan satu momentum untuk ‘meringankan’ beban perseteruan dalam tubuh kekuasaan yang dipimpinnya. Mula-mula ia melakukan reorganisasi Kopkamtib dengan mengambil alih langsung jabatan Panglima Kopkamtib. Dengan demikian, Jenderal Soemitro tinggal menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI. Sementara itu, Laksamana Soedomo diangkat menjadi Kepala Staf Kopkamtib. Agaknya Presiden Soeharto tidak terlalu sulit memberhentikan Soemitro dari jabatan Panglima Kopkamtib –suatu jabatan yang menurut guyonan politik saat itu punya wewenang menangkap siapa saja kapan saja, termasuk Presiden Soeharto– karena pada tanggal 17 Januari pagi setelah PM Tanaka meninggalkan Istana dengan helikopter, Jenderal Soemitro menghadap dan menyatakan “Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu izinkan saya mengundurkan diri”. Soemitro mengaku gagal mengatasi keadaan. Dan meskipun secara spontan saat itu Soeharto memberi jawaban bahwa mengundurkan diri tidak memecahkan masalah, dan menyebutkan bahwa yang salah bukan hanya Soemitro, toh beberapa hari kemudian Soeharto melepaskan jabatan Pangkopkamtib itu dari Soemitro.

Sepanjang yang dapat direka ulang dari peristiwa pagi itu, setelah Jenderal Soemitro meninggalkan Istana, Ali Moertopo yang juga berada di Istana waktu itu, di ruang belakang, menghadap Soeharto hanya dalam selang beberapa waktu. Ali Moertopo memberi beberapa pertimbangan berkaitan dengan jabatan Kopkamtib. Namun adalah ‘menarik’ bahwa pada sekitar waktu yang bersamaan dengan reorganisasi Kopkamtib, Presiden Soeharto juga memutuskan menghapuskan jabatan Aspri yang disandang Ali Moertopo dan beberapa lainnya. Ini adalah ‘deal’ Ali kepada Soeharto, bahwa jabatan Aspri bisa dihapus bersamaan penggantian Pangkopkamtib. Jabatan Kepala Bakin yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono –yang dianggap orang dekat Jenderal Soemitro– dilepas dan diserahkan kepada Mayjen Yoga Soegama yang ditarik dari pos perwakilan di PBB. Sutopo diangkat menjadi Duta Besar RI di Belanda. Bagi Yoga, ini adalah kedua kalinya memimpin Bakin, karena sebelumnya jabatan itu pun pernah dipangkunya.

Adapun Jenderal Soemitro, beberapa waktu kemudian dipanggil dan dipersuasi Presiden untuk menjadi Duta Besar RI di Washington, tetapi ditolak oleh Soemitro. Soeharto membuka pembicaraan dengan terlebih dahulu membuka kembali laporan tentang Ramadi yang mengaitkan nama Soemitro. “Saya minta Mitro mengalah sementara”, ujar Soeharto sebagaimana dituturkan Soemitro sendiri, “Saya minta keikhlasan Mitro untuk sementara jadi Duta Besar di Washington”. Pada waktu-waktu berikutnya, secara sistimatis Soemitro yang kerap temperamental ‘dipancing’ emosinya. Dan melalui suatu pertemuan dengan Jenderal Maraden Panggabean yang membicarakan masalah-masalah privasinya yang sensitif –antara lain dengan penggunaan kata ‘kelainan’ terhadap perilaku tertentu  dalam kehidupan privasi sang jenderal– akhirnya Soemitro secara emosional memutuskan membuat surat singkat pengunduran diri dari jabatannya yang terakhir di kemiliteran, yakni Wakil Panglima ABRI. Garis karirnya pun praktis patah, berakhir dalam usianya yang relatif masih cukup muda.

Ali Moertopo sendiri, setelah peristiwa 15 Januari 1974, tampaknya tetap berkiprah dengan peranan-peranan memadai dalam kekuasaan. Secara pribadi ia memang memiliki tingkat kualitas tertentu yang prima. Namun seiring dengan berjalannya waktu, seakan-akan suatu proses dialektis, faktor-faktor baru juga muncul dalam tubuh kekuasaan di sekitar Soeharto, dan dalam kaitan ini nama Sudharmono SH patut untuk disebut. Dalam tubuh Golkar misalnya, selain jalur A, jalur B juga menjadi faktor. Dalam tubuh tentara, muncul pula perwira-perwira yang berkonotasi lebih Islami, yang dalam kancah politik dikenal sebagai proses ‘penghijauan’ di tubuh ABRI.

Presiden Soeharto juga menarik representasi tokoh dalam kabinet-kabinetnya dari berbagai sumber dan latar belakang. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam minor reshuffle untuk mengisi jabatan-jabatan kosong dalam kabinet, antara lain muncul Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja SH yang tadinya Rektor Universitas Padjadjaran, menjadi Menteri Kehakiman. Sementara itu, mantan Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) kabinet peralihan Soekarno 1964-1966 Dr Sjarif Thajeb ditarik dari pos Duta Besar di Washington dan dinaikkan kembali ke ‘panggung’ dalam negeri sebagai Menteri P&K –dan segera saja muncul dengan rumusan-rumusan pembinaan kampus yang esensinya penuh pembatasan kendati tidak diakui demikian. “Harus diingat”, ujarnya, “kegiatan mahasiswa itu banyak sekali, bukan hanya bidang politik saja”. Dengan sedikit naif ia bertanya-tanya tentang ‘keberadaan’ KAMI –yang ikut dibentuknya pada tahun 1966– seraya menyesalkan kenapa wadah itu tidak dipertahankan agar bisa berperanan positif sesuai keadaan saat itu.

Ali Moertopo dalam pada itu baru masuk pada Kabinet berikutnya, sebagai Menteri Penerangan. Namun akumulasi tokoh-tokoh baru yang direkrut dari waktu ke waktu oleh Presiden Soeharto sedikit banyaknya lebih memperkecil rentang pengaruh Ali Moertopo, begitu juga yang lainnya di sekitar Soeharto, sehingga tak ada kekuatan yang betul-betul dominan lagi di sisi Soeharto. Jenderal Soeharto sungguh semakin efektif dalam menata kekuasaan. Tapi sepanjang Ali Moertopo hidup, tak ada yang bisa betul-betul menepikan peranannya –yang luar biasa dan amat fenomenal– secara signifikan. Hanya jantungnya yang pada akhirnya lebih cepat ‘kalah dan menyerah’ sesuai kehendakNya.

Gerakan-gerakan mahasiswa 1970 hingga akhir 1973 dan awal 1974, meskipun berada dalam suatu ruang dan waktu yang sama dengan perseteruan dalam tubuh kekuasaan, pada hakekatnya adalah suatu gerakan berdiri sendiri. Lahir dari suatu idealisme dan sikap kritis, meskipun juga tidak selalu sepenuhnya bersih dari perorangan-perorangan yang terimbas oleh kepentingan-kepentingan sendiri. Setiap kelompok kekuasaan yang berseteru, selalu mencoba menempatkan atau menggunakan perorangan-perorangan untuk menjalankan kepentingannya sendiri dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, dunia mahasiswa kerap lebih rentan, terutama karena masih cukup kuatnya dominasi dan pengaruh organisasi-organisasi ekstra kampus dalam tubuh student government-nya, sehingga agak lebih mudah disusupi. Maka akhir dari gerakan mahasiswa Jakarta saat itu pun lebih ‘tragis’. Dalam hal ini, kampus-kampus Bandung menunjukkan perbedaan secara kualitatif.

Mahasiswa Bandung yang berhasil menjalankan konsep back to campus dan menegakkan proses demokratis yang kuat dalam pembentukan student government mereka –terutama di kampus-kampus utama dan besar– berhasil membendung politisasi ke dalam kampus tanpa menutup pintu bagi keinginan mengembangkan pikiran dan hak politik. Sebagai hasil akhirnya mereka memperoleh suatu kemampuan melakukan gerakan kritis yang berwawasan politik luas yang tepat untuk kepentingan masyarakat dalam menghadapi hasrat dan subjektivitas kekuasaan yang tidak wajar. Dalam menjalankan gerakan kritis bersama, bisa saja dikenali adanya perorangan yang terkait dengan organisasi ekstra tertentu, organisasi politik tertentu, kelompok kekuasaan tertentu, bahkan satu-dua orang yang diidentifikasi terkait dengan kalangan intelijen sekalipun, tapi tidak pernah ditemukan suatu keputusan bersama yang terkontaminasi karenanya. Tradisi berpikir secara akademis membuat mereka tiba pada keputusan-keputusan yang logis dan relevan terhadap apa yang mereka ingin capai. Dengan demikian, output keputusan mereka tentang rencana-rencana dan tujuan-tujuan, senantiasa berada dalam batasan gerakan kritis yang lebih murni. Itulah pula sebabnya mereka menjadi sangat peka terhadap situasi pada awal 1974 dan tiba pada keputusan untuk tidak turut ke Jakarta menyambut Tanaka dan tidak turut pada gerakan-gerakan lainnya di Jakarta dan memilih bentuk-bentuk gerakan mereka sendiri di Bandung. Mahasiswa Jakarta melakukan hal berbeda, atau setidak-tidaknya tidak bisa menghindarkan diri dari gerakan-gerakan yang ternyata kemudian diletakkan dalam satu bingkai skenario yang pada akhirnya merugikan gerakan mahasiswa secara keseluruhan –meskipun ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh.

Professor Kusnadi Hardjasumantri almarhum, mantan Rektor Universitas Gajah Mada, kurang lebih pernah mengatakan andaikata mahasiswa Jakarta –Hariman Siregar dan kawan-kawan– lebih membatasi diri dengan gerakan kritis murni dan tidak terlalu jauh ‘membiarkan’ diri masuk ke dalam pertarungan internal kekuasaan yang terjadi, sehingga terperangkap ke dalam bingkai makar, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan. Padahal gerakan-gerakan kritis mahasiswa yang terukur dalam situasi hampir zero seperti itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai katalisator kuat menuju kejatuhan Soeharto.

Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaanya berlanjut. Semenetara itu, para mahasiswa mendadak menemukan diri mereka dalam posisi mencengangkan sebagai pencetus kerusuhan sosial dan bahkan turut serta sebagai pelaku makar dalam opini yang berhasil diciptakan by design oleh salah satu faksi dalam pertarungan internal. Jenderal Soeharto yang sebenarnya sudah berada dalam posisi pelik, diuntungkan dan mendapat kesempatan melakukan konsolidasi. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, penguasa menjadi lebih keras dan mendapat ‘alasan’ melakukan rangkaian tindakan supresi ke kampus-kampus perguruan tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Sementara itu pers kritis pun sudah dilenyapkan setelah peristiwa.

Gerakan mahasiswa Bandung, bagaimanapun ikut terpengaruh. Tak ada tokoh mahasiswa dari kampus Bandung yang dikenakan tahanan. Hanya memang beberapa dari mereka mengalami pemeriksaan-pemeriksaan dan klarifikasi baik di Laksusda –di POM ABRI yang dipimpin Kolonel Samallo– maupun instansi lainnya. Salah satu rangkaian pemeriksaan untuk dimintai keterangan adalah yang dilakukan di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat hingga beberapa waktu kemudian setelah Peristiwa 15 Januari di Jakarta. Tetapi pertanyaan-pertanyaan, seperti misalnya yang dialami Denny Kailimang dari DM Universitas Parahyangan yang diperiksa bersama Budiono Kusumohamidjojo, lebih banyak diarahkan kepada beberapa tokoh senior yang ikut ditangkap di Jakarta. Paling banyak yang coba dikorek adalah mengenai Rahman Tolleng dan Adnan Buyung Nasution, yang ditangkap di Jakarta dan agaknya dipersiapkan untuk jadi tertuduh. Antara lain ditanyakan apakah peranan mereka ada dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Bandung, apa ucapan-ucapan yang pernah mereka lontarkan dan sebagainya. Umumnya, dijawab secara samar dan tidak memuaskan pemeriksa, karena para mahasiswa pun telah menganalisa apa tujuan pemeriksaan. Sepertinya penyelidikan dan penyidikan terhadap mahasiswa Bandung seluruhnya terbentur. Para penyelidik dan penyidik hanya mampu memperoleh data-data sebatas ‘bukti-bukti’ intelejen namun itu bukan ‘bukti-bukti’ hukum yang cukup.

Namun, apapun yang terjadi, student government yang ada di kampus-kampus Bandung tak terputus –dan memang tidak ada alasan kuat bagi penguasa untuk begitu saja menghentikannya. Larangan kegiatan politik di kampus-kampus yang dikeluarkan Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Pimpinan Kopkamtib di Jakarta, memang meredakan sejenak kegiatan dan menghalangi gerakan kritis mahasiswa Bandung. Dalam larangan itu dirumuskan kegiatan-kegiatan yang tak diperbolehkan, seperti demonstrasi, pawai alegoris, apel, rapat, rapat umum, pernyataan lisan atau tulisan, seminar, diskusi, kuliah, kuliah umum dan sebagainya.

Menanggapi aneka pembatasan sebagaimana yang dicantumkan dalam radiogram Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Kopkamtib, beberapa Dewan Mahasiswa –di antaranya DM Universitas Padjadjaran– malah sekalian meminta Pimpinan-pimpinan Perguruan Tinggi untuk menutup Lembaga-lembaga Perguruan Tinggi, “sampai dicabutnya kembali seluruh keputusan-keputusan yang bertentangan dengan azas kehidupan Demokrasi Perguruan Tinggi seperti tercermin dalam Surat Telegram Laksusda Jabar”. Lalu, menginstruksikan seluruh mahasiswa untuk menghentikan seluruh kegiatan-kegiatan akademis, sampai ada pengumuman kembali. Nyatanya, larangan penguasa itu hanya memiliki daya laku yang ringkas. Dan para mahasiswa tetap melakukan apa yang mereka rasa perlu dilakukan, meskipun dengan berbagai cara dan improvisasi baru. Student government di kampus-kampus Bandung pun tetap berjalan.

Maka pada saat-saat berikutnya tetap ada sesuatu yang terestafetkan. Tradisi perlawanan kritis mahasiswa Bandung memang tak berakhir di tahun 1974. Babak-babak baru muncul, hingga saatnya terjadi Peristiwa 1978, tatkala tentara menduduki kampus-kampus Bandung dan akhirnya tercatat sebagai Luka Ketiga dalam hubungan mahasiswa dan kekuasaan.

-Diolah dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Penerbit Buku Kompas, 2004.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Berlanjut ke Bagian 15

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (13)

“Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

PADA saat-saat berikutnya, dengan kombinasi tindakan-tindakan keras dengan cara bujuk rayu, sejumlah kerusuhan di berbagai tempat berhasil diredakan. Meski, sampai Rabu petang, di sana sini masih ada juga pencegatan-pencegatan dan pembakaran kendaraan bermotor dilakukan oleh sekelompok massa. Hingga sepanjang hari Rabu, rangkaian penangkapan dilakukan terus menerus dalam frekuensi yang besar. Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar yang siang harinya mengadakan konperensi pers bersama Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono, petang harinya diberitakan menyerahkan diri kepada Laksus Kopkamtibda. Tetapi istilah menyerahkan diri ini dibantah oleh Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Tidak benar Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar menyerahkan diri kepada Kopkamtib, demikian penjelasan mereka. Yang benar adalah bahwa kedatangan Hariman Siregar untuk menemui Wapangkopkamtib Soedomo atas anjuran dan jaminan Gubernur DKI Ali Sadikin. Tapi bantahan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini beberapa waktu sesudahnya (18 Januari) dinyatakan oleh mereka sendiri sebagai dicabut kembali.

Apapun kejadiannya, faktanya Hariman Siregar kemudian ditahan. Dan malam harinya menjelang tutup siaran TVRI, Hariman muncul di layar TV milik negara itu menyerukan kepada mahasiswa dan pelajar untuk tenang dan waspada dan tidak ikut aksi-aksi perusakan. Ia membacakan pernyataan Dewan Mahasiswa dan Senat-senat Mahasiswa UI yang menegaskan “tidak membenarkan cara-cara perusakan”.

Tentang peranan Ali Sadikin di seputar Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro belakangan mengungkap bahwa setelah ia kembali ke kantor usai menghambat demonstran dari arah Selatan menuju Monas, ia menerima laporan bahwa Gubernur Ali Sadikin waktu itu ada di kampus. Ia meminta Ali Sadikin datang, dan menegur “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus ?”. Ali Sadikin memang adalah seorang perwira Korps Komando Angkatan Laut –kini disebut Korps Marinir– dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Soedomo, namun tak tahu apa dibicarakan mereka kemudian. “Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro di kemudian hari. Adalah menarik bahwa sebelum peristiwa 15 Januari 1974, tak jarang para pimpinan mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. “Lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak”, kata beberapa dari mereka.

Keinginan menjadi ‘incoming leader’ memang secara diam-diam menjadi obsesi beberapa tokoh dalam kekuasaan waktu itu. Setidaknya ada tiga nama pada deretan atas dalam daftar tokoh yang punya obsesi seperti itu: Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Ali Sadikin dan Jenderal Soemitro sendiri. Beberapa diantaranya memang amat serius, kendati pun secara terbuka mereka menyembunyikan hasrat itu rapat-rapat. Di lingkungan Ali Moertopo, ada semacam keyakinan bahwa Jenderal Soeharto mau tak mau pada waktunya harus melepaskan kursi Presiden dalam satu periode atau paling lambat dua periode lagi, yakni 1978 atau 1983. Alternatif terkuat –dan harus diupayakan diwujudkan– sebagai ‘the next’ adalah Ali Moertopo. Maka kemunculan Jenderal Soemitro dengan ‘pola kepemimpinan nasional baru’nya menjadi persoalan yang harus dihadapi.

Selama dua hari kerusuhan, 15-16 Januari 1974, tercatat 9 orang meninggal dan 23 orang luka parah maupun ringan, menurut angka-angka resmi. Berdasarkan keterangan saksi-saksi mata, jumlah korban yang jatuh sebenarnya jauh lebih banyak, terutama di antara mereka yang dikategorikan kaum perusuh yang memanfaatkan situasi. Banyak dari mereka yang dianggap perusuh langsung ditembak di lokasi peristiwa.

Tetapi terlihat, betapa kalangan penguasa lebih mengutamakan memberikan keterangan mengenai kerugian materil yang diderita daripada angka-angka yang menyangkut nyawa manusia. Menurut Gubernur Ali Sadikin, 269 mobil terbakar, 253 mobil rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung dibakar dan 113 dirusak, 5 bangunan industri rusak berat maupun ringan. Sedang menurut Menteri Pertahanan Keamanan Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan Sidang Pleno DPR-RI Senin 21 Januari, 807 mobil terbakar atau rusak, 187 sepeda motor dibakar, 160 kilogram emas dirampok disamping kerusakan gedung-gedung dan bangunan. Korban jiwa diakui 11 orang dan jumlah yang luka-luka tidak bisa diperincikan.

Garis sikap yang tak patah

MENANGGAPI apa yang terjadi di Jakarta sejak 14 hingga 15 Januari 1974, mahasiswa Bandung tidak menunjukkan garis sikap yang patah. Dewan-dewan dan Senat-senat Mahasiswa se-Bandung, karena pertimbangan tersendiri yang berkaitan dengan adanya gelagat penunggangan oleh pihak non kampus terhadap gerakan mahasiswa dan kemungkinan adanya skenario khusus permainan kekuasaan, tidak jadi ke Jakarta menyambut Tanaka. Sebagai gantinya mereka merencanakan turun ke jalan pada 14 Januari di Bandung untuk melancarkan gerakan protes. Selain itu, pada saat-saat terakhir para pimpinan 13 DM/SM Bandung memutuskan untuk menolak menghadiri pertemuan dialog dengan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta Rabu siang 16 Januari, sesuatu yang diusahakan oleh Pangkopkamtib dan telah disetujui oleh Tanaka.

Namun, turun ke jalan 14 Januari juga batal dilaksanakan oleh para mahasiswa Bandung. Mereka melangsungkan “Apel Berkabung” dengan kedatangan Tanaka, sebagai pengganti turun ke jalan. Pembatalan turun ke jalan antara lain sebagai isyarat mahasiswa Bandung menghormati Divisi Siliwangi, karena pada hari itu ada serah terima jabatan Panglima Siliwangi kepada pejabat baru Mayjen Aang Kunaefi. “Bagaimana pun juga, kami tetap menghormati Siliwangi”, ujar Sekjen DM Universitas Padjadjaran Tjupriono Priatna mewakili para mahasiswa. Dalam apel yang berlangsung dalam hujan rintik-rintik di kampus Dipati Ukur Universitas Padjadjaran itu, mahasiswa mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Mereka mengibarkan pula bendera hitam yang di bagian tengahnya terdapat sebuah tanda tanya, mendampingi bendera Merah Putih. Tak kurang dari 20 DM/SM se Bandung menghadiri apel duka.

Arjuna dari DM Universitas Padjadjaran membacakan naskah “Berita Duka untuk Indonesia”. Hari ini tanggal 14 Januari 1974, Perdana Menteri Tanaka dari Jepang akan datang ke Indonesia. “Kita kecewa karena pihak penguasa lebih mementingkan menyambut Tanaka dengan melupakan bagaimana besar perasaan tak puas masyarakat terhadap peranan pengusaha Jepang dalam kolaborasinya dengan ‘penjual-penjual’ bangsa Indonesia”. Mahasiswa menyimpulkan bahwa penguasa memang makin menomorduakan perhatian terhadap usaha-usaha kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Muslim Tampubolon dari ITB menyatakan hukum bukan semakin tegak, keadilan sosial hampir tak terasa ada, “karenanya sekarang kita perlu memperjuangkan penurunan harga dan menghilangkan ekspansi ekonomi dari Jepang”. Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran yang juga tampil berbicara, menegaskan “Penundaan turun ke jalan bukan berarti perjuangan mahasiswa telah mengendur, tetapi justru mahasiswa tahu dan harus menghormati norma-norma yang terdapat di masyarakat”. Menurutnya, “mahasiswa bergerak dengan akal dan perhitungan, dan mencoba membuang emosi yang tidak-tidak”. Turun ke jalan bukanlah satu-satunya cara mencapai tujuan.

Tatkala pada waktu yang bersamaan gerakan mahasiswa di Jakarta ‘dijerumuskan’ ke dalam perangkap dan skenario gerakan makar, mahasiswa Bandung tidak terbawa arus untuk melontarkan kecaman apalagi kutukan terhadap kerusuhan yang terjadi di Jakarta dengan menyudutkan posisi mahasiswa dalam Peristiwa. Pada saat tersiar berita pecahnya peristiwa 15 Januari di Jakarta, mahasiswa Bandung segera mengeluarkan seruan bersama. “Berita terakhir yang dapat diperoleh menyatakan bahwa Jakarta dalam situasi yang dapat mengancam keselamatan negara dan bangsa. Dikhawatirkan adanya ekses-ekses yang dapat membawa pengaruh buruk bagi rakyat Indonesia. Maka dengan ini kami, Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung menyatakan kepada seluruh mahasiswa agar: 1. Tetap tenang dan waspada serta dapat menilai situasi secara akademis. 2. Tidak bertindak sendiri-sendiri dan terus mengikuti perkembangan keadaan melalui kampusnya masing-masing (DM-SM masing-masing). Seruan ini agar menjadi perhatian kita semua dengan mengingat kecintaan kepada Negara dan Bangsa”. Seruan itu ditandatangani oleh wakil 12 DM/SM se Bandung, yakni Muslim Tampubolon (DM-ITB), Hatta Albanik (DM Universitas Padjadjaran), Budiono (DM Universitas Parahyangan), Roy Pradana (DM Universitas Kristen Maranatha), Muddin Said (DM-IKIP), Eddy Suparminto (SM Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Pulung Peranginangin (SM Akademi Tekstil Berdikari), Rahman Abbas (SM Akademi Geologi dan Pertambangan), Rizal Asri (DM Institut Teknologi Tekstil), Dedeng Z (DM Universitas Islam Bandung), Y. Lase (SM Akper) dan Jance Andreas (SM National Hotel Institute).

Keesokan harinya, Badan Kerja Sama DM/SM se Bandung kembali mengeluarkan pernyataan.“Gerakan-gerakan mahasiswa yang berlangsung hingga saat ini masih berada dalam garis yang menampilkan aspirasi masyarakat luas”, demikian mereka nyatakan dengan tegas pada tanggal 16 Januari 1974. Dengan sikap kritis yang tetap jelas dan tegas terhadap kalangan kekuasaan, mereka menguraikan pokok masalah sejak awal. “Kondisi dan perkembangan hidup kemasyarakatan saat ini, menunjukkan perlunya perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh dari seluruh lapisan masyarakat untuk tetap tegaknya kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Betapa pun juga perkembangan kondisi dan situasi ini, bermula dari timbulnya keresahan-keresahan di dalam masyarakat yang juga melanda dan kemudian direfleksikan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

Merasa gerakan mahasiswa masih berada pada garis aspirasi masyarakat, BKS DM/SM se Bandung ini menyatakan lebih jauh bahwa perkembangan dari gerakan-gerakan mahasiswa hingga saat itu, 16 Januari 1974, menunjukkan semakin melebarnya partisipasi masyarakat luas, “Konsekwensi lanjut dari keadaan ini berkembang hingga sampai pada suatu titik yang memprihatinkan, sudah seharusnyalah ditanggapi dalam proporsinya yang wajar. Adalah merupakan kewajiban dari setiap lapisan masyarakat untuk dalam ikut sertanya, tetap berusaha membela panji-panji suci kemurnian gerakan mahasiswa yang diarahkan pada tujuan perjuangan kehidupan masyarakat banyak. Suatu tindakan yang mencoba memancing sikap keras mahasiswa, haruslah dinilai sebagai sikap yang sama sekali tidak bijaksana, apalagi jika hal itu dilakukan oleh pihak penguasa”.

Berlanjut ke Bagian 14

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (8)

Doa yang tak lazim….“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.  “Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

Setidaknya masih terjadi dua pertemuan besar mahasiswa pada pekan pertama Januari 1974 itu. Satu di kampus Universitas Indonesia dalam bentuk malam tirakatan menyambut Tahun Baru 1974. Satunya lagi, Rabu 9 Januari di kampus Universitas Padjadjaran dalam suatu kegiatan yang disebut ‘apel berjemur diri’ hanya dua hari sebelum pertemuan mahasiswa dengan Presiden Soeharto.

Dalam malam tirakatan di kampus Universitas Indonesia, Salemba, para mahasiswa menampilkan ekspresi keprihatinan dan kegelisahan yang makin mendalam. “Kami mengajak semua yang hadir untuk merasakan keprihatinan pada malam ini”, ujar Gurmilang Kartasasmita dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, tatkala memulai acara sebagai tuan rumah. Ajakan ini mendapat sambutan dari DM-DM yang hadir, dari Jakarta maupun Bandung. “Mahasiswa resah karena peka terhadap sekitarnya. Kami resah karena ada yang tidak normal. Mudah-mudahan malam prihatin ini bisa menggugah bapak-bapak kita”, kata Hermansyah dari Universitas Muhammadiyah. “Saya merasa bahagia karena generasi muda sepakat untuk prihatin akan penderitaan rakyat, yang berarti generasi muda cukup mempunyai pandangan yang jauh ke depan”, sambung Ketua DM Universitas Trisakti yang menilai keadaan saat itu tak sesuai lagi dengan cita-cita kemerdekaan. Namun lebih dari sekedar keprihatinan, Ketua DM Universitas Atmajaya Jakarta, Lopez, mempertanyakan “Kita telah melihat kegelisahan-kegelisahan dan keprihatinan, lalu apa kelanjutan dari keprihatinan itu ? Kita menuntut perbaikan, kita bukan menganjurkan sekedar keprihatinan karena keprihatinan memang sudah ada di dada kita masing-masing. Dengan segala koreksi kita akan mengisi keprihatinan”.

Lalu Hatta Albanik, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran dari Bandung, mempertajam pernyataan-pernyataan sebelumnya, “Segelintir manusia telah memanfaatkan kebodohan masyarakat. Mereka tidak ingat bahwa negeri ini ditegakkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Terlalu sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata bagaimana penderitaan bangsa kita, dan apa yang harus kita perbuat. Tapi satu hal yang pasti, kita harus berbuat ! Malam ini merupakan satu pencetusan, satu obor perjuangan yang membakar negeri ini !”. Ucapannya yang retorik itu mendapat sambutan meriah dari hadirin.

Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi tuan rumah malam tirakatan itu menyampaikan pidato pernyataan diri yang dibacakan oleh Ketua Umum Hariman Siregar. “Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah untuk membuat rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda untuk memikirkan masa kini dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian rakyat untuk menyuarakan diri”. Beban itu, menurut DM-UI adalah beban bersama. “Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan yang ditimbulkan himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga kebisuan akibat feodalisme yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan anti partisipasi. Artinya, kita harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu”.

Menggambarkan realita aktual saat itu, DM-UI menyebutkan “Ketidakadilan dan pengangguran semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu. Ini disebabkan bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dari sumber-sumber ekonomi dengan kekuatan politik dalam bentuk populer berupa kerja sama antara kelompok-kelompok cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat yang tidak jenderal atau tidak cina, tidak menikmati pembangunan ekonomi, seperti sekarang ini”. Alternatif pembangunan yang terbuka, adalah menyadarkan jenderal-jenderal dan cina-cina kembali menjadi warga negara biasa seperti sebagian terbesar rakyat. “Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus ditempuh!”.

Seraya menyerukan agar mahasiswa berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapatnya, DM-UI melalui Hariman kali ini memperluas wilayah himbauannya ke wilayah luar mahasiswa. “Kepada tukang beca, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan di kota-kota, untuk bergerak menuntut kesejahteraan sosial. Kepada warga negara Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang”.

Seruan yang disampaikan Hariman dan menembus ke luar batas kawasan mahasiswa ini kelak mendapat terjemahan tersendiri dalam laporan-laporan intelejen dan analisa kalangan kekuasaan, sebagai sesuatu ajakan konspirasi yang menuju makar. Apalagi, dalam malam tirakatan di Salemba itu, hadir unsur-unsur luar kampus seperti antara lain wakil buruh dari Tanjung Priok yang bernama Salim Kadar. Dalam pertemuan itu, Salim Kadar dengan nada berapi-api menyatakan “Buruh pelabuhan Tanjung Priok menyatakan solidaritas atas perjuangan saudara-saudara ! Saya harap agar api perjuangan tahun 1966 tetap jadi prinsip. Bagi kami tidak ada yang lain selain mendukung perjuangan saudara-saudara !”.

Meskipun sebelumnya telah pernah berlangsung pertemuan bersama antar Dewan Mahasiswa beberapa kota, seperti misalnya di ITB di bulan Desember 1973, masih terdapat kekurangyakinan akan kebersamaan dalam aspirasi yang sama antara para mahasiswa. Masalahnya, sebelum ini gerakan-gerakan berbagai Dewan Mahasiswa lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, pada akhir tahun 1973 memasuki 1974 dewan mahasiswa antar kota tampak berusaha mendekatkan diri satu sama lain. Dalam acara tirakatan itu, Charles Mangun dari Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung menyatakan “Saya hanya ingin mengemukakan pentingnya persatuan, bukan hanya satu kepentingan. Idealisme hanya bisa dilaksanakan kalau kita mendekati rakyat”. Ketua DM Akademi Tekstil Berdikari dari Bandung menyatakan keinginan serupa. “Kami merasa ikut terpanggil untuk berjuang”, ujarnya. “Dulu di zaman Orde Lama tangan kita dibelenggu oleh KOTI (Komando Operasi Tertinggi), dan sekarang di zaman Orde Baru pikiran kita coba dibelenggu. Di sini ada yang identik antara KOTI dengan Kopkamtib”. Di tengah tepuk tangan riuh yang menyambut ucapan itu, ia meneruskan dengan tuntutan “Hendaknya Kopkamtib dibubarkan ! Mari, kita tidak perlu takut kepada Kopkamtib ! Mari kita bersatu padu”. Lebih jauh ia bahkan menggugat eksistensi Surat Perintah 11 Maret yang disebutnya sebagai “surat yang tidak bernomor”.

Membaca tanda-tanda kebersamaan yang membayang malam itu, Rektor UI Mahar Mardjono lalu berkata “Saya melihat bahwa kehadiran mahasiswa luar Jakarta malam ini menunjukkan kekompakan di kalangan mahasiswa. Hendaknya mahasiswa jangan sampai terpecah-pecah oleh kekuatan apapun”.

Tetapi, nyatanya pertemuan menyambut tahun 1974 di Salemba itu, merupakan pertemuan terakhir yang dihadiri bersama oleh dewan-dewan mahasiswa antar kota, sebelum pada akhirnya para mahasiswa dari 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi beberapa kota se Indonesia bertemu Presiden Soeharto 11 Januari di Bina Graha.

Bersamaan dengan malam tirakatan di UI, mahasiswa Yogyakarta –Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri– juga menyelenggarakan malam tirakatan menyambut 1974 dalam gerimis. Lulusan Fakultas Sastra Gajah Mada, Mochtar Pabottingi, malam itu membacakan empat doa tidak lazim yang berisi permohonan “kutuk dan nista’.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada orang barbar yang telah memperkosa Sum Kuning, yang telah mengakibatkan kematian Rene Coenraad dan kepada semua yang sengaja menyebarkan kemaksiatan dengan kekuatan di tanah air kami yang tercinta”.

“Tetapi ya Tuhan kami, lindungilah dan berikanlah kekuatan abadiMu kepada para pemimpin kami dari angkatan tua maupun angkatan muda dan kepada semua yang ikhlas, jujur dan penuh bakti dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan”.

Dan di Bandung, 9 Januari 1974 hanya dua hari sebelum pertemuan dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, mahasiswa se Bandung mengadakan apel berjemur diri di kampus Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur. Dalam apel tersebut mahasiswa membakar dua boneka besar, yang satu bernama Tanaka yang menggambarkan PM Jepang Kakuei Tanaka yang akan berkunjung ke Indonesia tanggal 14 Januari. Boneka yang lainnya dikalungi papan nama ‘Makelar Penjual Bangsa’ dengan tambahan tulisan besar “Dulu Haji Peking. Sekarang Haji Tokyo”. Meskipun nama asli sang boneka pribumi tidak dituliskan semua orang tahu bahwa yang dituju tak lain adalah Aspri Presiden. Apalagi beberapa poster yang terpampang telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara ini akan dijual segera dan salesmannya  adalah Soedjono Hoemardani dengan salah satu pembelinya adalah Tanaka. “Tanaka tengok tanah jajahan atau tengok kawan lama (Soejono H)”, bunyi poster lainnya memperjelas.  “Pembakaran ini bukan mencerminkan kebuasan kita, bukan pula kanibalisme”, para mahasiswa memberi penjelasan. “Kami tak benci orangnya, tapi perbuatannya”. Dan apel di tengah siang hari yang terik ini, menurut pengantar acara untuk menunjukkan bahwa mahasiswa juga ikut merasakan apa yang dirasakan rakyat sekarang. “Hari ini kita berkabung mengenai situasi negara dan penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam minggu ini ‘pembeli’ negara ini akan datang”. Iwan Abdurrahman –pimpinan group pencinta lagu dari Universitas Padjadjaran– menggambarkan pertemuan hari itu dalam lagu: “Tuhan, ini kami berkumpul, merenungkan arti hidup kami yang terisi sedikit niat bakti. Bagi sesama yang sedang dalam kegelapan” pada bait pertama. Diakhiri dengan “Tabahkan hatimu. Tuhan selalu dekatmu. Sinar terang akan datang, bagi orang yang tabah”.

Pernyataan-pernyataan dalam apel berjemur ini termasuk paling tajam dan langsung ke sasaran tujuan. Kritik pedas disampaikan bukan hanya kepada kalangan kekuasaan di Jakarta, tetapi juga kepada Gubernur Jawa Barat (Solichin GP) dan Walikota Bandung (Otje Djundjunan). Bahwa melontarkan kritik dan kecaman seperti itu mungkin saja memberi akibat tertentu, sudah lebih awal dinyatakan oleh salah satu Ketua DM Universitas Padjadjaran, Hidayat Wirahadikusumah. “Sekarang kita bicara di sini, siapa tahu besok lusa kita ditangkap”, ujarnya, “namun kalau toh sampai mati, kota Bandung akan dipenuhi orang yang mengantar mayat saya”. Pembicara dari DM IKIP Bandung menegaskan “Generasi muda sekarang pun harus berjiwa patriot”.

Berlanjut ke Bagian 9

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (6)

“Disaat pucuk-pucuk pemerintahan kita senantiasa mengingatkan untuk hidup prihatin –guna menenggang perasaan rakyat banyak yang pada umumnya bertingkat penghidupan ekonomi rendah– dan bahkan selalu mendengung-dengungkan keadilan sebagai ethos, justru disaat itu pula di tubuh pemerintah terdapat sejumlah orang yang dengan semena-mena mempertontonkan lakon-lakon menusuk perasaan”. “Bukan hanya dari segi perbedaan tingkat kekayaan yang menyolok, tapi segi cara untuk mencapai kekayaan itu secara berlebih-lebihan dan tak wajar”.

Antara Jurang Sosial dan Keresahan Sosial

SETELAH terputus oleh jeda karena maraknya aksi protes krisis beras hingga menjelang akhir tahun 1972, pada bulan-bulan awal tahun 1973 sorotan terhadap praktek precukongan tetap bergulir. Bersamaan dengan mulai diadilinya kasus penyelundupan mobil Robby Cahyadi, menggelinding aneka polemik tentang praktek ‘penguasa jadi pengusaha’, serta sejumlah kritik-kritik yang memperingatkan makin melebarnya jurang sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Akan tetapi selama berbulan-bulan hingga Juli 1973, kritik-kritik ‘berhasil’ diredam oleh penguasa antara lain melalui berbagai gertakan dan kata-kata keras Kopkamtib, terutama dalam menghadapi Sidang Umum MPR Maret 1973 yang akan mengokohkan kembali kedudukan Soeharto dalam kekuasaan negara. Sikap ketat dan keras itu berkelanjutan hingga akhir Juli dan awal Agustus.

Menjelang perpindahan tahun, beberapa hari sebelum masuk ke tahun 1973, adalah Presiden Soeharto, berkali-kali di beberapa tempat, yang menanggapi berbagai kritik tentang ketidakadilan dengan mengatakan “Hanyalah mimpi, omong kosong dan menipu diri sendiri jika ada pemimpin yang menggembar-gemborkan masyarakat adil  dan makmur harus dilaksanakan sekarang juga”. Lalu kapan? Presiden menjawab “Kita baru akan mengecap masyarakat adil dan makmur jika kita sampai pada tahap industri yang didukung oleh pertanian”. Pernyataan Presiden itu semula amat mencengangkan.

Waktu itu, terbit sedikit tanda tanya, tingkat kemakmuran yang bagaimana, keadilan yang bagaimana yang sesungguhnya dimaksudkan Presiden Soeharto, sehingga bila ada yang mengatakan masyarakat adil makmur harus dilaksanakan sekarang juga, dianggap sebagai mimpi, omong kosong, menipu diri? Tapi dalam pidato kenegaraan tiga setengah jam sebelum akhir tahun melalui TVRI, Soeharto sedikit ‘memperjelas’ atau tepatnya ‘memperbaiki’ pernyataan-pernyataannya terdahulu. Dalam pidato itu Presiden menyatakan bahwa dalam pembangunan ekonomi sudah harus terwujud pula pembagian yang makin merata dari hasil pertumbuhan tersebut. Tegasnya, keadilan sudah harus diterapkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia menulis (7 Januari 1973), “Sekaligus ucapan ini menjernihkan duduk perkara, bahwa menurut penghayatan terakhir dari Presiden, cita-cita masyarakat adil makmur adalah pula sebuah azas, atau mungkin pula dapat disebut suatu way of life yang sejauh mungkin sudah harus diterapkan dalam segala tingkat kemakmuran yang telah dicapai”.

Dengan pengertian demikian, akan ‘terbuka mata’ untuk mengakui berlakunya semacam ironi. “Disaat pucuk-pucuk pemerintahan kita senantiasa mengingatkan untuk hidup prihatin –guna menenggang perasaan rakyat banyak yang pada umumnya bertingkat penghidupan ekonomi rendah– dan bahkan selalu mendengung-dengungkan keadilan sebagai ethos, justru disaat itu pula di tubuh pemerintah terdapat sejumlah orang yang dengan semena-mena mempertontonkan lakon-lakon menusuk perasaan”. Bukan hanya dari segi perbedaan tingkat kekayaan yang menyolok, tapi segi cara untuk mencapai kekayaan itu secara berlebih-lebihan dan tak wajar. Seandainya pula pada waktu yang sama masyarakat masih melihat adanya tindakan-tindakan terhadap yang tak wajar itu dalam kadar yang paling kurang adalah setimpal, maka masih ada sekedar pelipur lara yang berdaya untuk menahan laju frustrasi. “Justru di sinilah neraca miring”. Malahan, jika dari kalangan masyarakat terlalu banyak kritik dan protes terlontar maka kemarahanlah dan dampratanlah balasnya. Masih untung jika tidak segera dikaitkan dengan subversi dan yang semacamnya, digolongkan sebagai setan yang harus ditumpas, paling kurang dimatikan sama sekali semangatnya.

Adalah menarik bahwa sepekan lebih kemudian, Fraksi Karya Pembangunan di DPR melontarkan kecaman dalam pemandangan umum RAPBN melalui Ketua Fraksi Sugiharto. Fraksi Karya menyerukan agar praktek-praktek perangkapan jabatan negara dengan jabatan komersial segera diberantas. Menurut Fraksi tersebut, pola rangkap itu merupakan sumber dari korupsi, penyelewengan, disamping menurunkan wibawa pemerintah. Keterlibatan unsur-unsur pemerintahan langsung atau tidak langsung, secara perseorangan maupun instansi ke dalam kegiatan dunia usaha dikonstatir telah mengakibatkan gejala-gejala etatisme dan monopoli. Paling sedikit, berupa etatisme atau monopoli terselubung.

Dalam pada itu seorang yang berusia lanjut bernama Harbani yang menyebut dirinya sendiri sebagai ‘orang tua, sudah tak berguna’ datang ke Mingguan Mahasiswa Indonesia menyampaikan kekecewaan-kekecewaannya atas apa yang didengar dan dilihatnya pada masa-masa terakhir ini. Pak Harbani yang lebih tua dari angkatan ’45 mengatakan yang disebut-sebut koruptor itu sejenis dengan pencuri, perampok, penggedor, hanya beda tempatnya. Koruptor adanya di instansi-instansi pemerintahan. Sedang pencuri, perampok, penggedor, adanya dalam masyarakat umum. Nilai pribadi-pribadi koruptor-koruptor itu lebih rendah daripada pencuri, perampok, penggedor, penjambret. Mengapa lebih rendah? Terutama karena koruptor-koruptor itu mengkorup ‘kekayaan’ orang-orang miskin, sedang pencuri, perampok, penggedor, penjambret itu memilih korban orang kaya. Sang orang tua itu juga menggambarkan adanya kaum muda yang berasal dari keluarga-keluarga yang kurang atau tidak diasuh, dibimbing, dibina budi pekerti utama, terpengaruh oleh masyarakat penuh dengan koruptor-koruptor, penyelewengan-penyelewengan, penyelundupan, pemalsuan-pemalsuan dan segala sesuatu yang mengandung maksiat ini. Berarti anak-anak muda itu dijadikan korban. Sebenarnya melalui penyampaiannya di awal tahun 1973 itu sang orang tua bernama Harbani tersebut sedang mengingatkan terciptanya satu ‘bom waktu’ untuk masa depan.

Bagaikan menumpuk sekam, ganti berganti muncul pernyataan-pernyataan tidak puas dan berbagai tanda keresahan. Sepertinya estimate akhir tahun Bakin tentang akan meningkatnya keresahan di masyarakat dan akan adanya sedikit kegoncangan sedang mencari jalan untuk mewujud. Di hari Kamis 11 Januari 1973, satu delegasi yang membawakan suara 4 Dewan Mahasiswa Bandung –ITB, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP– menuju Jakarta untuk menyampaikan pernyataan keresahan kepada DPR-RI, Kepala Kepolisian RI dan Menteri Penertiban Aparatur Negara Emil Salim. Sebagian dari sumber keresahan masih terkait dengan peristiwa-peristiwa yang tersisa dari tahun 1972. Ternyata, mereka hanya berhasil bertemu dengan pimpinan DPR. Kepada pers, 4 DM itu, yang untuk sebagian tokoh-tokohnya baru terpilih untuk periode 1973, menyatakan salah satu yang akan disampaikan adalah mengenai pembersihan aparatur negara. “Ini merupakan faktor penting, agar tidak terjadi lagi kasus-kasus penyimpangan seperti masalah Miniatur Indonesia Indah dan masalah salah urus beras”. Faktor lain yang menjadi sorotan adalah masalah kepastian hukum.

Kisah kesewenang-wenangan aparat dan para petugas pemerintah juga dapat diangkat dengan satu contoh dari Nganjuk. Mingguan Mahasiswa Indonesia awal Agustus melaporkan bahwa di sekitar lereng dan kaki Gunung Wilis, kecamatan Brebeg dan Sawahan yang termasuk kawasan kabupaten Nganjuk program Keluarga Berencana (KB) telah dijalankan secara tidak terpuji dan menakutkan rakyat. Para petugas KB mendatangi rumah-rumah penduduk dengan kawalan petugas-petugas berbaju hijau. Lalu mereka memaksa rakyat tani di sana untuk menjalankan Keluarga Berencana, baik dengan spiral maupun alat KB lainnya. Untuk melengkapi penderitaan dan penindasan, dengan pola yang serupa, petugas-petugas BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang dibentuk untuk membantu petani telah berubah juga menjadi monster baru di pedesaan. Petugas-petugas BUUD melakukan praktek beli paksa terhadap padi rakyat. Petugas Koramil, Polisi, Camat, Lurah dan Hansip bersama petugas BUUD datang beramai-ramai menggeledah rumah-rumah petani, memeriksa lumbung-lumbung. Bila mereka menemukan padi di dalam lumbung, dengan paksa mereka membelinya dengan harga di bawah pasaran. Jika pada waktu itu harga pasaran adalah Rp.32,50 per kilogram maka BUUD membeli hanya dengan harga Rp.26 per kilogram. Itu pun pembayarannya dilakukan dalam bentuk nota bon yang baru 15 hari kemudian bisa dicairkan. Para petugas itu menciptakan pula suatu peraturan baru. Bahwa barangsiapa memiliki padi lebih dari 1000 kilogram harus lapor ke kecamatan setiap minggu. Pemilik padi harus mempertanggungjawabkan jika jumlah padi mereka ternyata berkurang. Yang lebih parah ialah apa yang terjadi di sebelah utara kota Nganjuk yang tandus. Di sana petugas tidak mempedulikan apakah 1000 kilogram atau lebih atau kurang, pokoknya ada padi di lumbung petani diharuskan menjualnya ke BUUD. Petani-petani yang gemetaran melihat petugas pembeli datang dengan kawalan baju hijau dan camat yang galak, tak berdaya lagi. Padi mereka serahkan tanpa syarat lagi. Bisa diperkirakan bahwa nantinya akan terjadi keengganan petani untuk menanam padi lagi karena menghasilkan lebih banyak padi hanya akan mengundang celaka.

Dalam pada itu semangat mempercantik dan memperindah kota yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, ternyata juga tak kurang ‘memakan’ korban kalangan masyarakat kecil, seperti misalnya pedagang kaki lima. Memang betul seringkali para pedagang kaki lima itu sangat tidak tertib, tetapi dalam beberapa kasus penindakan para petugas sangat di luar batas manusiawi. Romo YB Mangunwijaya, seorang insinyur yang mengajar di Arsitektur Universitas Gajah Mada, mengomentari penyelesaian pedagang kaki lima dengan mengatakan “Mereka harus ditertibkan dan diberi konsekuensi tapi jangan diusir. Pengusiran terhadap mereka biasanya bahkan mendorong adanya anarki”.

Mengamati gejala di berbagai kota, terlihat bahwa berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan, tujuan ‘membersihkan’ kota dari mereka yang kerap dikategorikan sampah masyarakat, lebih dominan daripada hasrat memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila. Dalam beberapa segi, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, tulis mingguan tersebut, yang dilakukan adalah melikwidir manusianya, bukannya sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya  takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Memang ada kenaikan GNP (Gross National Product) karena beberapa jenis ekspor meningkat. Tapi apa yang telah dicapai itu tak meresap dikenyam oleh mayoritas rakyat. “Salah satu sebabnya ialah bahwa tak sedikit kebijaksanaan elitis dijalankan oleh pemerintah yang lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”.

Kemungkinan apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya.  Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.

Berlanjut ke Bagian 7