Tag Archives: KPK

Antara Bergurau dan Berbohong: Tak Perlu Batas Moral

“Setidaknya dalam satu hal, para pengelola negara/pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia, lebih ‘beruntung’ daripada ‘kolega’nya di Jepang, yaitu dalam hal ‘kelonggaran’ tanggungjawab”. “Juga, lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang”.

Sebuah boneka kayu bernama Pinokio –tokoh dalam dongeng anak-anak karya Carlo Lorenzini yang lahir dan mati di Florence, Italia, abad 19– mendapat roh kehidupan berkat doa Gepetto sang tukang kayu pembuatnya yang mendambakan seorang anak. Pada awal kehidupannya, Pinokio menjadi seorang ‘anak’ yang agak nakal, suka bercanda dan bergurau dengan cara keterlaluan. Berbohong menjadi salah satu sifat buruknya yang utama. Namun, mudah untuk mengetahui kapan Pinokio melakukan kebohongan, karena setiap kali ia berbohong, hidungnya memanjang. Semakin ia berbohong, semakin panjang hidungnya. Hanya dengan berbuat kebaikan, hidungnya bisa berangsur kembali memendek.

Seorang anggota Kabinet Pemerintahan PM Naoto Kan di Jepang, Menteri Kehakiman Minoru Yanagida, 14 November yang lalu bergurau keterlaluan. Dalam suatu pertemuan di Hiroshima, ia bercerita bagaimana caranya ia ‘mengelak’ di parlemen bila ia tak bisa menjawab sebuah pertanyaan. Dirinya, demikian katanya, hanya perlu mengingat dua kalimat sebagai jurus menghadapi pertanyaan anggota parlemen yang sulit dijawab. Pertama, “Saya tak mau berkomentar untuk kasus-kasus tertentu”, dan yang kedua, “Kami sudah bertindak sesuai hukum dan bukti yang ada”. Anggota-anggota parlemen menganggap bahwa dengan gurauan itu, sang menteri telah meremehkan tugas-tugas sebagai Menteri Kehakiman dan tentunya juga meremehkan para anggota parlemen. Akhirnya, Minoru Yanagida, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai ‘pertanggungjawaban’ moral. Penjaga Pojok Harian Kompas, Mang Usil, lalu mengomentari, “Gara-gara bergurau, Menkeh Jepang mundur. Di Indonesia, menteri bergurau atau bekerja, mirip, tuh!”.

BERBICARA atas nama Presiden menanggapi apakah KPK perlu ikut menangani Kasus Mafia Hukum/Pajak Gayus Tambunan, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyatakan “Sistem sudah bekerja dan kepolisian akan menyelesaikan kasus ini secara baik, sesuai peraturan yang berlaku” (Kompas 24/11). Ada dua hal yang ‘terjadi’ di sini. Pertama, kalimat sang juru bicara, mengingatkan pada salah satu kalimat ‘pamungkas’ Minoru Yanagida, yang mirip sifat baku dan kegunaannya. Kalimat-kalimat jawaban pejabat Indonesia selama ini, terutama dari kalangan penegak hukum, memiliki format yang sama, seperti: “Sudah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku”, “Kami sudah bertindak sesuai koridor hukum yang ada” atau kalimat-kalimat mengelak yang sejenisnya. Sedikit lebih ‘kreatif’ dibanding kalimat yang sering diucapkan (para) menteri zaman Soeharto, “Sesuai petunjuk bapak Presiden….”. Kedua, pernyataan Presiden yang disampaikan melalui Aldrin Pasha, meski tidak dinyatakan langsung ke titik sasaran, cenderung menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak begitu berkenan KPK ikut menangani kasus Gayus Tambunan. Tapi, tentu soal sikap Presiden ini masih harus diikuti dan dilihat lebih jauh, termasuk melalui ‘bahasa tubuh’ dan tindakan-tindakan sang Presiden di masa mendatang ini.

SETIDAKNYA dalam satu hal, para pengelola negara/pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia, lebih ‘beruntung’ daripada ‘kolega’nya di Jepang, yaitu dalam hal ‘kelonggaran’ tanggungjawab. Seakan tak diperlukan semacam batas moral. Tak perlu mundur bila mengucapkan kata-kata keliru atau terlalu penuh gurauan. Minta maafpun tak perlu. Dengan nyaman seorang tokoh pemerintahan dan anggota DPR bisa mengatakan bahwa ramainya mal-mal dan supermarket dengan pengunjung menjadi indikator kemajuan ekonomi. Bisa ‘memarahi’ rakyat, agar jangan berumah di tepi pantai atau di pulau bila takut kena Tsunami. Bisa mengatakan ada sejumlah bukti rekaman untuk suatu kepentingan rekayasa, tapi pada saatnya di pengadilan tak mampu menunjukkan bukti-bukti itu. Di Jepang, bila ada sesuatu yang tidak beres atau tak berlangsung semestinya di kawasan tanggungjawabnya, seorang menteri akan mengundurkan diri. Bila ada krisis keuangan, Menteri Keuangan mengundurkan diri. Bila ada kecelakaan kereta api, Menteri Perhubungan meletakkan jabatan. Di Indonesia, setiap bulan pun terjadi kecelakaan kereta api, hanya masinis atau tukang sinyal dan penjaga perlintasan kereta yang dihukum. Isu-isu praktek mafia hukum di tubuh kepolisian hanya bisa menyentuh sampai pangkat tertinggi Komisaris Polisi, tak bisa lebih tinggi lagi meskipun sejumlah nama jenderal disebut-sebutkan. Dua pegawai pajak terbongkar permainannya yang bernilai ratusan milyar, tak perlu menggoyahkan Dirjen Pajak. Dan sebagainya, yang tak perlu lagi diceritakan ulang, selain karena sudah terlalu banyak, juga sudah menjadi pengetahuan umum.

Juga, lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang. Jadi, tidak kasat mata terlihat. Beberapa dari mereka bisa saja terasakan oleh publik telah berbohong, tetapi tak bisa diapa-apakan, karena mekanisme defensif maupun mekanisme ‘perlindungan’ konspirasi mereka lebih kuat daripada mekanisme ‘kontrol’ publik. Sekaligus tak terhalang suatu batas moral lagi. Perhatikan saja, bagaimana pola reaksi mereka –para tokoh kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif serta tokoh-tokoh partai– bilamana sedang menjadi tertuduh dalam berbagai kasus, entah dalam kaitan mafia hukum, mafia pajak, kepemilikan rekening tak wajar, gratifikasi, suap, rekayasa, politik uang, manipulasi angka pemilihan umum dan sebagainya. Bersikeras, beralasan 1001, kadang-kadang mengancam balik, melaporkan balik, mengerahkan massa tandingan dan sebagainya, dan seterusnya.

SEBAGAI penutup, inilah cetusan hati seorang ibu kalangan menengah yang kini berusia 65: “Dalam pemilihan yang lalu, saya sudah memilih tokoh yang betul-betul saya pikir terbaik di antara yang pernah ada. Ternyata saya salah pilih juga. Jadi, kalau umur saya panjang, saya tak mau memilih siapa pun lagi dalam pemilihan yang akan datang, sehebat apapun pencitraannya…”. Kita belum tahu kini, berapa banyak anggota masyarakat –tua atau muda, dari berbagai kalangan– yang bersikap seperti ini nanti…..

Timur Pradopo Dalam Kancah Kerusuhan 1998 (4)

“Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinga. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa,..”. “Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi”.

Timur Pradopo dan SBY. DALAM rangka pengamanan Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum MPR Maret 1998, melalui suatu perintah operasi dari Panglima ABRI, untuk ibukota Jakarta, dibentuk Komando Operasi Jaya (Koops Jaya). Menurut Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Hamami Nata di depan TGPF (28 Agustus 1998), “Koops Jaya ini khusus untuk mengamankan kampanye, pasca kampanye, pemilu, pasca pemilu, Sidang Umum MPR, sampai berakhir akhir Juni 1998. Panglimanya adalah Pangdam selaku Pangkoop Jaya, dan wakilnya adalah adalah Kapolda, sebagai Wapangkoop Jaya”. Dalam skala kecil, pengamanan diserahkan kepada Polri, tetapi tetap di-back-up Koops Jaya sebagai lapis kedua. “Tetapi ketika eskalasi sudah cukup besar, penanganan langsung ke tangan Pangdam sebagai Pangkoop Jaya”.

Menambahkan penjelasan Mayjen Hamami Nata tentang Komando Pengendalian di ibukota itu, Kapolres Jakbar Letnan Kolonel Timur Pradopo, memaparkan bahwa sebagai penjabaran kesatuan wilayah, “ada yang namanya Komando Pelaksana Operasi, dengan Komandan Kodim sebagai Dankolaops, dan Kapolres sebagai Wadankolaops”. Pengamanan di wilayah Jakarta Barat, dari Koops ada sekitar 7 SSK, dan dari Polres Jakarta Barat 8 SSK, yang seluruhnya sebanyak 4000 orang.

Adakah kedekatan khusus Letnan Kolonel Timur Pradopo, dengan salah satu faksi tertentu dalam tubuh militer yang ada dalam political game di tahun 1998 itu? Kalau ada, dengan faksi atau kelompok kepentingan yang mana, kelompok Jenderal Wiranto atau kelompok Letnan Jenderal Prabowo Subianto? Atau suatu kelompok lain di luar itu? Sejauh ini, hal itu tak terdeteksi. Tetapi sejauh yang dapat dicatat dalam tali temali peristiwa politik di tahun 1998 itu, para pimpinan Polri, khususnya Jenderal Dibyo Widodo merasa sangat berang karena menganggap dikorbankan oleh pimpinan ABRI Jenderal Wiranto demi kehati-hatiannya –untuk tidak menyebutkannya sebagai tanda kegentaran– menghadapi manuver-manuver Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Pola kerusuhan by design pada bulan Mei 1998 ini bisa dibandingkan dengan pola kerusuhan yang diciptakan dalam Peristiwa 15 Januari 1974, saat setidaknya dua kelompok militer dan politik –kelompok Jenderal Soemitro dan kelompok Jenderal Ali Moertopo serta kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro cs– ‘bertarung’ dalam suatu political game. Dalam permainan itu, mahasiswa Jakarta terposisikan sebagai ujung tombak permainan –untuk tidak menyebutnya dijadikan pion percaturan politik dan kekuasaan– yang kemudian di’korban’kan, sementara Jenderal Soeharto pada babak akhir menjadi pemenang sesungguhnya.

Dalam opini, tersangka kuat para penembak mahasiswa dalam insiden Trisakti 12 Mei 1998 adalah pasukan penyusup yang berasal dari kelompok di bawah pengaruh Letnan Jenderal Prabowo. Motifnya, menciptakan kadar kerusuhan luar biasa dengan kategori situasi darurat agar Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi pembentukan lembaga pengamanan dengan wewenang ekstra. Tetapi dalam konteks teori konspirasi, bukan mustahil para penembak mahasiswa itu justru dari kelompok tentara lainnya, yang berkepentingan terciptanya martir di kalangan mahasiswa untuk memicu suhu situasi yang bisa membuka pintu kejatuhan Soeharto. Atau memang sekedar insiden sederhana, dilakukan salah satu satuan polisi di bawah komando Letnan Kolonel Timur Pradopo, yang katakanlah tanpa motif politik tetapi karena faktor emosi. Namun, karena di satu pihak tidak ada dorongan kuat untuk suatu pengungkapan tuntas atas peristiwa, dan pada pihak lain kelompok-kelompok kekuatan yang ada memang berkepentingan untuk menutup tabir peristiwa, maka siapa sebenarnya pembunuh para mahasiswa itu tidak pernah betul-betul bisa terungkap. Tinggallah sejumlah perwira polisi berpangkat rendah sebagai kambing hitam yang tergiring ke depan Mahkamah Militer. Protes Jenderal Dibyo Widodo terhadap dikorbankannya Polri, membawa sang jenderal pada akhir karirnya di kepolisian.

Bagaimana dengan Letnan Kolonel Timur Pradopo yang menjadi pemegang komando lapangan saat para mahasiswa itu tertembak? Menurut urutan logika, bila Timur Pradopo harus ditindaki dalam konteks peristiwa Mei 1998, maka banyak tokoh yang posisinya berada pada urutan-urutan di atas dirinya, dan lebih kontroversial perannya dalam peristiwa, yang harus terlebih dulu dimintai pertanggungjawaban. Dan sebagaimana sejumlah tokoh militer pada posisi ‘penting’ pada bingkai peristiwa, yang bisa melanjutkan menapak karir ke jenjang lebih tinggi, Timur Pradopo pun bisa mengalir karirnya. Setelah Peristiwa 1998, kita bisa melihat, hanya Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan beberapa orang dekatnya seperti antara lain Mayor Jenderal Zacky Makarim, yang tersingkir dari barisan elite militer.

DUABELAS tahun setelah peristiwa tahun 1998 berlalu, Timur Pradopo berhasil meniti karir dengan baik, dan kini per 22 Oktober 2010, telah mencapai posisi puncak Kepolisian RI, sebagai Kapolri dengan pangkat Jenderal penuh. Kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri, di saat beberapa jenderal polisi lainnya yang senior, lebih banyak disebut-sebut dalam ‘bursa’ pencalonan? Dua di antaranya, Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, bahkan seakan-akan tinggal melangkah ke kursi nomor satu di Trunojoyo.

Adakah persentuhan antara Timur Pradopo sebagai Kapolres Jakarta Barat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pusaran Peristiwa Mei 1998? Saat SU MPR berlangsung, Maret 1998, Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono yang di tahun sebelumnya menjabat Pangdam Sriwijaya, menjadi Ketua Fraksi ABRI di MPR. Setelah itu ia diangkat sebagai Kepala Staf Teritorial ABRI. Sebelumnya jabatan Kaster disebut sebagai Kasospol ABRI. Setelah dwifungsi ABRI ditinggalkan, dianggap tak perlu lagi ada jabatan dalam organisasi ABRI untuk menangani masalah sospol. Tak ada catatan tentang persentuhan Timur dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konteks peristiwa Mei 1998. Tetapi diketahui bahwa saat Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono menjelang mengakhiri masa tugasnya sebagai Komandan Kontingen Garuda XIV yang tergabung dalam United Nation Protection Forces di Bosnia-Herzegovina (November 1995 – April 1996), ke dalam pasukannya bergabung 40 perwira Polri yang baru tiba dari tanah air. Tiga di antara perwira itu adalah Mayor Polisi Timur Pradopo, Mayor Ito Sumardi dan Mayor Wahyono. Mengutip Koordinator Indonesia Police Watch Neta S. Pane, Tempo menyebut ketiga perwira yang kini berpangkat Komisaris Jenderal itu sebagai Geng Bosnia di Trunojoyo.

Sejumlah hutang kewajiban. Bagaimanapun, kini Jenderal Timur Pradopo, sudah menjadi orang nomor satu Polri. Banyak ‘hutang’ kewajiban Polri yang kini menantinya. Semoga beban masa lampau tidak menjadi halangan bagi dirinya memimpin Polri untuk membayar hutang-hutang itu. Termasuk beban sejarah Polri berupa sejumlah kasus lama yang untuk sebagian sudah kadaluarsa, seperti: Siapa pelaku sebenarnya kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning tahun 1970 dan pembunuhan wartawan Udin (Sjarifuddin), di Yogyakarta. Siapa pembunuh sebenarnya peragawati Dietje yang sempat dikaitkan dengan keluarga tokoh puncak kekuasaan dan sederet kasus lama lainnya?

Dan yang terbaru, tentu saja, bagaimana sebenarnya liku-liku konspirasi pembunuhan yang kini menempatkan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai terhukum menurut lembaga-lembaga peradilan seluruh tingkat? Apa dan bagaimana sebenarnya kasus Bank Century –yang menjadi hutang bersama Polri, KPK dan Kejaksaan– yang di latar belakangnya dibayangi skandal keuangan berbau politik? Bagaimana tindak lanjut atas informasi hasil tiupan peluit Komjen Susno Duadji? Katakanlah memang Susno adalah ‘maling teriak maling’ –setidaknya menerima suap 500 juta rupiah menurut apa yang disebut dalam keputusan pengadilan terhadap Sjahril Djohan– tetapi bagaimana dengan para maling yang diteriakinya, apa tidak ditindaklanjuti? Bagaimana dengan pertanyaan tentang ‘rekening gendut’ sejumlah perwira Polri, apakah tidak perlu dicari jawaban sebenarnya? Bagaimana dengan pembunuhan aktivis Kontras, Munir, ada korban, ada pelaksana pemberi racun, tetapi siapa dan di mana orang-orang yang menyuruhnya? Bagaimana dengan pelaku penganiayaan Tama Langkun yang mempersoalkan rekening gendut perwira Polri? Bagaimana pengungkapan lanjut kasus Mafia Hukum dan Mafia Pajak Gayus Tambunan dan tali temalinya di tubuh kepolisian, kejaksaan dan badan peradilan?

Tak kalah penting, belajar dari Insiden Trisakti, Kerusuhan 1998, Insiden Semanggi I dan II yang dihadapi langsung oleh Timur Pradopo, Kapolri baru ini ‘terhutang’ kewajiban untuk membenahi Polri agar terhindar dari cara-cara militeristik berupa kekerasan berlebihan yang cenderung melanggar HAM dalam berbagai penindakan gerakan-gerakan unjuk rasa serta kegiatan kritis lainnya dalam bingkai idealisme demokrasi.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (4)

“Pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto”. “Suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang cukup fantastis”. “Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune”.

SEMESTINYA, dengan memiliki angka kemenangan mutlak satu putaran sebesar 60,8 persen –berdasarkan perolehan 73.874.105 suara pemilih– Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepresidenannya yang kedua tak perlu lagi memelihara sikap serba ragu menjalankan kebijakan-kebijakannya selaku Presiden dalam suatu sistem presidensial penuh. Kenyataannya, sejak awal SBY seakan lebih larut dalam pola permainan politik parlementer yang berhasil diciptakan partai-partai di parlemen. Apakah karena partai pendukung utamanya, Partai Demokrat, yang kendati melonjak tiga kali perolehan suaranya dalam pemilihan umum legislatif 2009, dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen, tetap saja tidak bisa membentuk mayoritas kerja di DPR? Apalagi sebelum memasuki Pilpres 2009, SBY sudah melakukan kompromi-kompromi dengan sejumlah partai politik Islam demi mewujudkan obsesi menang satu putaran.

Mungkin juga, obsesi itu tercampur aduk dengan rasa takut kalah bila ‘koalisi’ yang terbentuk memusat di sekitar Megawati/PDIP atau Jusuf Kalla/Partai Golkar, ditambah kehadiran dua tokoh yang juga berlatarbelakang militer, Prabowo Subianto dan Wiranto. Tetapi SBY diuntungkan oleh situasi, seperti kuatnya subjektivitas 4 tokoh pesaing, khususnya Megawati Soekarnoputeri dan Muhammad Jusuf Kalla. Bagaimana kalau dua tokoh itu tampil sebagai pasangan Capres-Cawapres dan bersamaan dengan itu kedua tokoh berlatar belakang militer tersebut bergabung dengan membuang sementara keinginan menjadi tokoh nomor dua apalagi tokoh nomor satu, mengingat rekam jejak masa lampau mereka yang bermasalah, dan mencukupkan diri dengan menduduki posisi penting di kabinet?  Selain itu bukankah mereka semua pada hakekatnya banyak memiliki dasar-dasar tujuan dan ‘ideologi’ yang hampir serupa?

Di atas kertas, bila semua partai politik dengan pengatasnamaan Islam, memiliki karakter yang kuat sepadan dengan ideal-ideal yang mereka canangkan selama ini, ‘koalisi’ yang tercipta dengan Partai Demokrat, sebenarnya jauh lebih musykil. Tetapi, sekali lagi SBY diuntungkan, karena pragmatisme demi porsi kekuasaan sedang kuat-kuatnya melanda elite partai-partai tersebut. Bagaimana kita bisa membayangkan sebelumnya, PKS yang tadinya dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid dengan satu citra keteguhan yang spesifik, bisa tiba-tiba berubah sedemikian lentur di bawah Tiffatul Sembiring. Bagaimana bisa membayangkan elite baru PKB Muhaimin Iskandar cs harus menyingkirkan Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh senior lainnya sebelum bisa leluasa menjadi sangat pragmatis demi sejumlah positioning pribadi. Dan bagaimana pula bisa membayangkan PAN yang identik dengan citra playmaker ala Amien Rais, kini sekedar menjadi salah satu tulang punggung pelayanan politik penguasa baru?

Apa yang sesungguhnya dikuatirkan? Namun, terlepas dari semua yang dipaparkan di atas, tetap menjadi tanda tanya besar, kenapa sebagai pemegang mandat dari 60 persen lebih suara rakyat, SBY senantiasa memperlihatkan sejumlah perilaku terkesan gentar terhadap berbagai hal dan berbagai pihak. SBY tak hanya lemah terhadap partai-partai ‘koalisi’ pendukungnya –termasuk Partai Golkar yang menjadi anggota setelah Pemilu Pilpres– tetapi juga kepada pimpinan-pimpinan sejumlah institusi yang bekerja di bawah kewenangannya. Bisa disebut dua contoh, seperti yang terkesan kuat di mata publik, yakni terhadap Jaksa Agung dan terutama Kepala Polri.

Ketika kedua tokoh penegakan hukum itu dan institusinya ramai dikecam karena dianggap melakukan penyimpangan tugas, SBY cenderung tak berbuat satu apapun, menindaki atau setidaknya menegur, melainkan beberapa kali justru ikut ‘mengeluh’ seperti layaknya anggota masyarakat biasa. Pengungkapan tentang adanya mafia hukum di tubuh Polri –dan demikian pula di Kejaksaan Agung– melalui cetusan whistle blower Susno Duadji dibiarkan ‘berjalan’ sendiri sebagai masalah internal Polri dan tidak dicermati kemungkinan bahwa cetusan itu mengandung kebenaran tentang kebobrokan di tubuh Polri. Bahwa mungkin saja Susno benar adalah ‘maling teriak maling’, tetapi yang diteriaki sebagai maling kan perlu juga ditelusuri? Karena yang berteriak adalah seorang jenderal polisi mengenai sejumlah jenderal polisi lainnya, jangan dibiarkan polisi juga yang memeriksanya. Mana mungkin ada hasilnya selain pengaburan masalah? Dan mana dorongan dari Presiden sebagai atasan para jenderal itu, agar ada pengusutan tuntas dan cepat sebelum terjadi hapus-menghapus jejak? Tidak ada. Satu lagi momentum untuk membersihkan Polri yang sudah tidak dipercayai mayoritas masyarakat, dengan demikian terlewatkan.

Soal rekening ‘gendut’ perwira Polri, juga terlewatkan begitu saja melalui suatu proses internal. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya muncul kesimpulan-kesimpulan yang sukses menunjukkan bahwa tak ada yang tidak beres dalam persoalan rekening para perwira itu. Ini juga mengingatkan kita kembali pada kasus beberapa tahun lalu tentang rekening fantastis seorang jenderal polisi yang nilainya satu triliun rupiah lebih, yang pada akhirnya juga tenggelam begitu saja. Persoalan yang sama, juga terjadi di lingkungan Kejaksaan Agung. Betul dan mungkinkah dalam kasus Arthalita Suryani dan jaksa Urip, permainan hanya melibatkan kedua orang itu sebagai duet? Mana orkestra lengkapnya dan mana dirigennya? Apakah begitu cintanya Arthalita kepada Syamsu Nursalim sehingga menggunakan uangnya sendiri untuk menyuap dalam rangka penyelamatan sang konglomerat? Padahal dalam momen yang sama terjadi dua peristiwa: Ada yang menyuap seorang jaksa, dan ada satu tim jaksa yang memutuskan suatu keputusan yang seakan ‘menghapus’ dosa kejahatan keuangan Syamsu Nursalim.

Dalam kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Samad Bibit Riyanto dan Chandra M. Hamzah, Presiden menggunakan Tim 8 untuk maju ke depan, lalu pada akhirnya sekedar ‘menghimbau’ agar Polri dan Kejaksaan Agung memperhatikan rekomendasi tim tersebut. Tidak mengherankan bila Tim 8 Adnan Buyung Nasution cs harus seakan melampaui panggilan tugasnya ‘bersitegang urat leher’ dengan Polri dan Kejagung, karena begitu samar-samarnya apa yang menjadi kehendak Presiden SBY yang sebenarnya dalam penyelesaian masalah. Hanya satu pesan yang bisa ditangkap, bahwa Presiden lebih suka bila kasus kriminalisasi KPK itu diselesaikan di luar jalur pengadilan, namun disertai embel-embel perangkai bahwa dengan itu bukan berarti Presiden ingin melakukan intervensi. Polri dan Kejagung menang dalam berpacu dengan waktu, sehingga kasus tersebut ‘berhasil’ di-P21-kan. Ibarat ikan yang sudah dicemplungkan ke panci penggorengan, pilihannya hanyalah digoreng cukup setengah matang seadanya atau digoreng garing sekalian sampai selesai. Kejaksaan Agung memilih jalan ‘setengah’, ikan yang sudah setengah garing diangkat dari panci dan dinyatakan penggorengan tidak dilanjutkan. Dikeluarkan SKPP dengan mencantum alasan tak lazim yaitu menambahkan alasan penghentian karena pertimbangan sosiologis, yang mudah untuk ditorpedo. Nyatanya, SKPP itu di pra-peradilankan dan ‘dikalahkan’ di Pengadilan. Ikannya dengan demikian, pindah ke panci penggorengan lain. Kini kasus itu baru mendekati tahap akhir dari suatu perjalanan hukum yang panjang, menanti hasil proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

Para jurubicara dan staf khusus Presiden berulang kali mencoba menjawab setiap ada tudingan, bahwa SBY bukannya lemah atau takut menegur Kapolri dan Jaksa Agung, melainkan karena tidak mau melakukan intervensi terhadap suatu proses hukum. Melakukan intervensi kekuasaan terhadap suatu proses hukum yang berjalan baik dan benar memang merupakan pelanggaran. Tetapi itu tidak berarti seorang Presiden tak boleh menegur bawahannya dan mengambil tindakan-tindakan bila melihat ada tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Setidaknya Presiden bisa bertanya mengapa ada kejanggalan dalam penanganan penegakan hukum, sehingga mendapat sorotan masyarakat misalnya, tanpa perlu mencampuri materi suatu perkara yang berada dalam wilayah posisi independen penyidik kepolisian dan jaksa penuntut. Polri dan Kejaksaan (Agung), adalah termasuk dalam lembaga eksekutif, berbeda dengan lembaga-lembaga peradilan yang merupakan lembaga judikatif. Tak mungkin Presiden dan para ahli hukum di sekitarnya tak memahami perbedaan intervensi terhadap aspek juridis dengan ‘intervensi’ atasan terhadap bawahan yang tak menjalankan kinerjanya dengan baik.

Lalu, pertanyaannya, kenapa Presiden begitu ‘lemah’ sehingga seringkali bahkan dianggap agak ‘gentar’, khususnya terhadap Polri/Kapolri. Apakah karena Presiden punya sejumlah titik lemah di hadapan Polri/Kapolri, yang tidak kita ketahui entah apa? Apakah titik lemah itu, misalnya, semacam jasa yang pernah diberikan Polri/Kapolri dalam kasus tuduhan money politics dan atau kecurangan perolehan suara salah satu putera Presiden, Baskoro, dalam Pemilu Legislatif yang lalu. Pertanyaan yang sama dengan sikap serba sungkan SBY terhadap partai-partai, padahal ia pemenang mutlak dengan angka 60,8 persen. Atau apakah sumber kegentaran itu adalah terkait keabsahan yang diragukan tentang kemenangan 60 persen dalam Pilpres yang menurut seorang mantan perwira intelejens militer seperti disebutkan dimuka, sebenarnya hanyalah 21-22 persen? Artinya, bila informasi itu terbukti benar, pemilihan umum presiden yang lalu, harus berlangsung dalam dua putaran, dan entah pasangan yang mana seharusnya tersingkir dari gelanggang. Kendati saat ini percakapan politik tentang permasalahan tersebut, belum mencuat ke tengah publik secara terbuka, ada baiknya bila ada klarifikasi lebih dini, untuk menjawab segala pertanyaan. Tak mungkin Presiden belum mengetahui informasi tentang hal itu. Tapi pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto.

Namun, terlepas dari adanya informasi tentang angka 60 persen yang diragukan itu, suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang berkategori cukup fantastis, untuk seorang yang sepopuler SBY sekalipun. Kenaikan suara untuk Partai Demokrat dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen di tahun 2009, suatu kenaikan dalam kelipatan tiga, pun cukup mencengangkan. Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune. Dan, memang kini tak diragukan lagi bahwa sejumlah kemenangan dengan angka tinggi pada beberapa pemilihan umum masa lampau memang adalah hasil dari satu rekayasa ke rekayasa lainnya.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (3)

“DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu”.

Tagihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. BILA pemberantasan korupsi disebutkan sebagai hutang moral kepada rakyat, tentu saja surat tagihan terbesar harus dialamatkan kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang berkuasa. Terutama, karena dalam beberapa tahun pertama masa kekuasaannya SBY amat banyak memanfaatkan retorika pemberantasan korupsi dalam politik pencitraannya. SBY juga sangat diuntungkan oleh kehadiran KPK, sebuah lembaga baru pemberantasan korupsi dengan sederet wewenang ekstra.

Beberapa ‘jurubicara’ politik SBY dari Partai Demokrat seringkali mendengung-dengungkan bahwa SBY lah Presiden yang misalnya paling banyak menandatangani surat izin pemeriksaan atas sejumlah pejabat –seperti gubernur dan bupati– yang menjadi tersangka perkara korupsi. Tetapi bersamaan dengan itu, terdapat tak sedikit keluhan dari kalangan instansi penegakan hukum, tentang kelambanan birokrasi kepresidenan dalam menangani proses surat izin tersebut. Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada maupun data dalam pemberitaan pers, terlihat bahwa intensitas rata-rata penanganan perkara korupsi besar masa kepresidenan SBY yang sudah berlangsung 6 tahun, masih kalah oleh masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya berlangsung dua tahun lebih. Namun secara menyeluruh kuantitas penanganan di masa SBY yang berdurasi 6 tahun tentu saja lebih besar. Di masa Abdurrahman Wahid penanganan perkara korupsi yang berdurasi dua tahun lebih, sepenuhnya dilakukan Kejaksaan Agung. Sedang di masa Susilo Bambang Yudhoyono peranan pemberantasan korupsi dilakukan terutama oleh KPK dan hanya sedikit oleh Kejaksaan Agung maupun Polri.

Penanganan korupsi di tingkat pengadilan pada masa Abdurrahman Wahid sangat terkendala dan merupakan fakta mencengangkan betapa sejumlah pengadilan justru menjadi kuburan bagi perkara-perkara korupsi. Sinergi KPK dengan Pengadilan Tipikor di masa SBY, dalam pada itu, menghasilkan penuntasan perkara korupsi yang lebih baik, walau angka rata-rata vonnis yang dijatuhkan pun hanyalah kurang lebih 2,5 tahun. Namun sebaliknya, sangat menonjol betapa pemerintahan SBY sangat royal dengan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Dengan segala remisi, pada umumnya para narapidana korupsi hanya menjalani setengah masa hukuman. Belum dihitung, berbagai cuti rekayasa, dengan berbagai alasan, entah berobat atau apa. Dengan demikian para koruptor sepertinya mendekam di penjara dalam tempo singkat saja yang ibaratnya hanya seumur jagung. Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, termasuk salah seorang narapidana korupsi yang menikmati masa sesingkat tanam jagung oleh akumulasi berbagai remisi.

Presiden SBY belum lama ini juga menciptakan satu preseden –sehingga menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan penegakan hukum– berupa pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi, bekas Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, dengan alasan kemanusiaan, karena menurut dokter, yang bersangkutan menderita sakit permanen. Ini meniru alasan almarhum Presiden Soeharto yang bisa lolos dari proses peradilan karena alasan sakit permanen. Kalau suatu ketika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menyembuhkan penyakit yang oleh sejumlah dokter berani disimpulkan sebagai sakit permanen –sementara para ulama meyakini bahwa semua penyakit bisa disembuhkan bila Allah menghendaki– tentu saja Syaukani akan digugurkan grasinya. Semoga Allah juga bermurah hati memulihkan ingatan orang-orang yang mendadak hilang ingatan tatkala terungkap keterlibatannya dalam perbuatan korupsi dan suap menyuap.

Meski harus diakui bahwa citra positif pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi sangat terangkat oleh sepak terjang KPK, terutama di masa lembaga itu ditangani oleh Antasari Azhar dan kawan-kawan, adalah pula di masa itu KPK justru mengalami hantaman dan penganiayaan dahsyat. Mungkin hanya suatu kebetulan, tetapi awal masa hantaman dan penganiayaan terhadap KPK, hampir bertepatan waktu dengan penanganan kasus Aulia Pohan dan kawan-kawan serta mulai disebut-sebutnya kasus Bank Century. Kedua kasus ini sangat dihubungkan dengan kalangan kekuasaan negara. Kasus Aulia Pohan dikaitkan, karena ia adalah besan Presiden. Sedang kasus Bank Century dianalisis terkait erat dengan effort penggalian dana untuk kepentingan biaya pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden. Dalam versi rumours di bawah permukaan, istana sangat kecewa dan marah terhadap sikap tak tahu diri Antasari Azhar dan kawan-kawan yang ‘berani-berani’nya menindaki Aulia Pohan. Tetapi pada permukaan, SBY menjaga sikap untuk tidak mencampuri apalagi intervensi dalam kasus perkara korupsi Aulia Pohan, sehingga tak terlihat adanya suatu situasi tarik menarik sehebat yang kemudian terjadi dalam kasus Bank Century.

Dalam satu analisa dan versi yang ekstrim, kasus Bank Century tergambarkan sebagai suatu kejahatan terhadap keuangan negara yang terkait dengan kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam kekuasaan negara. Dan yang dimaksud dengan kelompok tertentu di sini, adalah mereka yang sedang ikut memperjuangkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kali dan kali ini berpasangan dengan Dr Budiono sebagai Wakil Presiden. Momentum ketika Bank Century sedang mengalami krisis likuiditas karena manipulasi internal, dimanfaatkan oleh sejumlah petinggi Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk memberi bank tersebut posisi berpotensi memberi dampak sistemik yang membahayakan dunia perbankan Indonesia dan karenanya tak boleh tidak harus diselamatkan dengan mekanisme bail-out.

Entah sekedar suatu kebetulan, tetapi sungguh menarik bahwa Dr Budiono –yang kemudian diproyeksi sebagai calon Wakil Presiden– sudah lebih dulu diposisikan sebagai Gubenur Bank Indonesia setelah melepaskan jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai Gubernur Bank Indonesia, Dr Budiono menjadi kunci lahirnya kebijakan bail-out untuk Bank Century. Ada analisa bahwa sebenarnya dampak sistemik yang digambarkan adalah terlalu dibesar-besarkan secara artifisial, sekedar sebagai alasan bisa mengeluarkan dana talangan. Setelah dana talangan keluar –nyatanya kemudian mencapai 6,7 triliun rupiah– sebagian akan dialihkan sebagai dana politik yang diyakini bisa berangsur-angsur ‘dikembalikan’ dalam jangka waktu tertentu, yang sangat dimungkinkan bila kendali kekuasaan negara tetap ada di tangan. Bank Century sendiri akan diambil-alih dan disehatkan kembali melalui suatu program penyelamatan yang telah dirancang. Dan sangat diyakini bahwa penyehatan kembali itu bisa berhasil terkait dengan tingkat kemampuan teknis yang sudah disiapkan, selain bahwa kerusakan internal bank tersebut sudah terkalkulasi baik dan memang tidak separah yang digambarkan. Analoginya, bisul digambarkan sebagai tumor ganas.

Suka atau tidak, karena analisa dan versi ekstrim seperti itu telah menjadi bahan pembicaraan khalayak pada level tertentu, tentu saja harus ada jawaban berupa penuntasan penyelidikan dan penyidikan serta proses hukum lanjut terhadap kasus Bank Century. KPK yang tadinya mulai mempersoalkan keanehan di Bank Century dan telah menggerakan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan semacam audit investigasi yang menghasilkan penemuan sejumlah indikator ketidakberesan, kini dipertanyakan. Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla tatkala bertemu dengan Ketua Umum Golkar Ir Aburizal Bakrie dan sejumlah tokoh Golkar lainnya di hari kedua lebaran kemarin ini, mempertanyakan tenggelamnya kasus itu setelah KPK mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti adanya aspek korupsi dalam kasus tersebut. Terlepas dari ada tidaknya yang mempertanyakan, memang merupakan kenyataan bahwa pasca mengalami gempuran, KPK mendadak berubah bagai macan yang sudah tanggal seluruh gigi dan taringnya serta tumpul cakarnya. Betapa tidak, mantan ketuanya, Antasari Azhar masih mendekam dalam penjara menunggu kasasi dalam suatu kasus pembunuhan Drs Nasruddin Zulkarnain yang kebenarannya hingga kini masih menjadi kontroversi, sementara dua wakil ketuanya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih terkatung-katung proses hukumnya karena tuduhan menerima suap Anggoro-Anggodo.

Setelah terbentur-bentur, kini KPK sekedar main pinggir dengan menangani kasus-kasus yang tidak begitu ‘membahayakan’ diri, yakni memilih tersangka-sangka yang tidak punya hubungan langsung dengan titik sentral kekuasaan. Pilihan cenderung beralih kepada tersangka-tersangka yang secara politik berseberangan dengan pusat kekuasaan, seperti Panda Nababan dan kawan-kawan atau Paskah Suzetta yang sudah mantan menteri seperti halnya Bachtiar Chamsyah. Pada waktu yang sama, tokoh Partai Demokrat Allen Marbun belum ditindaklanjuti kasusnya. Dan yang paling menimbulkan pertanyaan, tentu saja adalah mengendapnya kasus Bank Century. Tampaknya para pimpinan KPK selain sudah tak bergigi dan tumpul cakarnya juga sekaligus mirip macan yang dipegang ekornya.

Keraguan terhadap angka 60 persen. DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Konon, bersumber pada seorang mantan tokoh intelejen militer, yang tentu saja kebenarannya masih harus diusut dan ditelusuri lanjut, karena masih menyerupai pantulan bola liar, angka kemenangan yang sebenarnya hanyalah sekitar 21-22 persen.

Berlanjut ke Bagian 4.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (2)

“Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu”.

BERBAGAI kelemahan yang tampil dalam pengelolaan pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dalam dua setengah tahun masa kekuasaannya, menjadi berkah pada momentum kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan Megawati dikonotasikan dengan berbagai tindakan tidak cerdas dan serba tak memberi harapan. Sejumlah BUMN yang strategis dan beberapa asset lainnya, meminjam bahasa rakyat sehari-hari, habis dijualin. Hasilnya juga tidak besar-besar amat, yakni US$ 533 juta. Dan meminjam lagi gerutu di masyarakat, pemerintahan Megawati yang katanya untuk wong cilik ternyata malah untuk kepentingan wong licik.

Pemberantasan korupsi dengan intensitas tinggi yang ditangani dua Jaksa Agung (tiga bila Marsillam Simanjuntak juga dicatat) di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, anjlog mendadak di masa Megawati Soekarnoputeri. Di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman –terlepas dari perbedaan apresiasi antara masyarakat dengan kalangan politik tertentu– sel-sel di rumah tahanan Kejaksaan Agung selalu penuh dengan tersangka korupsi. Sementara tampilnya Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung sempat makin mempertinggi harapan masyarakat, meskipun sayangnya masa jabatan Lopa berlangsung begitu singkat karena meninggal mendadak di Saudi Arabia, sehingga belum sempat menunjukkan prestasi gebrakan. Situasi kontras terjadi di masa Megawati, sel-sel rumah tahanan Kejagung nyaris selalu kosong. Jaksa Agung MA Rahman malah lebih direpotkan dan tersita waktunya untuk menangkis serangan-serangan terhadap integritas pribadinya.

Megawati juga menciptakan gap komunikasi yang lebar dengan kelompok generasi muda, khususnya kelompok mahasiswa. Mengenai Megawati, kita perlu meminjam sebuah pemaparan dalam buku Menyilang Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) berikut ini. Selama berkuasa, Megawati memperlihatkan kecenderungan sikap anti intelektual yang mengkhawatirkan. Praktis ia tak punya akses komunikasi yang berarti –dan memang ia tidak berusaha menjalinnya– dengan kalangan perguruan tinggi, dengan kalangan cendekiawan maupun mahasiswa. Kelompok mahasiswa menjadi salah satu kekuatan utama penentangnya. Padahal, ia tiba ke posisinya dalam kekuasaan, sama sekali tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang membuat Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila Megawati memiliki trauma dengan mahasiswa –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan kekuasaan Soekarno sang ayahanda– maka semestinya ia memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Tetapi trauma terhadap tentara itu tampaknya tidak dimilikinya. Ia bahkan memberi banyak konsesi terhadap tentara ‘masa kini’ –yang menjauhkan pemerintahannya dari citra pemerintahan sipil yang ideal sebagaimana yang awalnya diharapkan dari PDIP– dan pada waktu bersamaan ia kelihatannya tetap traumatis terhadap mahasiswa ‘masa kini’. Apakah persoalan pokoknya adalah bahwa Megawati tidak menyukai gaya kritik ala mahasiswa? Sementara sebaliknya tentara ‘masa kini’ tak pernah mengeritiknya dan malahan aktif melakukan pendekatan pada dirinya. Mungkin juga, pada dasarnya, seperti halnya dengan Soekarno di masa-masa terakhir kekuasaannya, Megawati memang tidak menyukai kritik.

SBY, jalan tengah. TATKALA Susilo Bambang Yudhoyono tampil dan maju ke Pemilihan Umum Presiden 2004 ia sudah tercitrakan dengan baik di tengah publik yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada kepemimpinan nasional. Abdurrahman Wahid kandas, Megawati menciptakan anti klimaks. Dua tokoh sipil –tiga, bila BJ Habibie ikut dihitung– dianggap gagal memimpin negara di saat ekspektasi masyarakat sedang tinggi. Kendati masih bisa diperdebatkan, sebuah kesimpulan tercipta, bahwa kalangan sipil tetap belum siap memimpin negara. Meskipun trauma terhadap kepemimpinan nasional berlatar belakang militer ala Soeharto masih cukup kuat, sebagian orang toh kembali menoleh kepada tokoh-tokoh berlatarbelakang militer. Jenderal Wiranto coba tampil, tetapi beban dari sejarah masa lampaunya di masa Soehartodan sesudahnya, terlalu berat. Dan menjadi pertanyaan, sebagai orang yang berlatar belakang militer kental, mampukah ia menyesuaikan diri dalam pergaulan politik civil society dalam konteks supremasi sipil yang merupakan tuntutan keadaan? Sementara itu, tokoh-tokoh sipil dari partai semacam Hamzah Haz, bahkan Amien Rais, tak berhasil meraih kepercayaan publik. Amien Rais yang sempat berkibar di awal reformasi, sebenarnya adalah tokoh sipil paling berpeluang. Tetapi, pernyataannya yang terlalu banyak –untuk tidak mengatakannya berlebih-lebihan dan kontroversial– dan sering tergesa-gesa hingga dinilai gegabah, justru menimbulkan kesangsian: Ke arah mana ia mau membawa negeri ini?

Jalan tengah ditemukan pada diri Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal staf yang banyak berkecimpung menangani bidang sospol, sangat minim kiprahnya dalam tugas lapangan yang biasanya sarat pengalaman kekerasan, pelanggaran HAM dan benturan dengan sipil. Malah, sebaliknya, dua kali mengalami penganiayaan politik di dua masa pemimpin sipil, padahal ia termasuk kategori militer santun yang tak terbiasa berbicara dengan bedil. Ia pun berlatar belakang akademis memadai –doktor dari Institut Pertanian Bogor– dengan tutur bahasa Indonesia yang baik dan bertatakrama. Berbicara mengenai demokrasi secara memadai, meski ada juga yang merasa ia agak snob dalam kehidupan dan langgam akademisnya. Belum pernah ketahuan keterlibatannya dengan korupsi, menantu seorang jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang dicintai rakyat pada masanya. Baru sekarang ini, punya rumah pribadi yang besar, di Puri Cikeas. Keadaan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 itu masih sesuai betul dengan apa yang pernah dikatakan oleh Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo saat menjadi Gubernur Akabri kepada para Taruna di tahun 1973, “Kalau kau mau menumpuk kekayaan, lebih baik kau keluar dan tanggalkan baju hijau”. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono adalah Taruna tingkat akhir yang akan lulus tahun itu dan kebetulan menjadi Komandan Taruna. Kalau ada sedikit pertanyaan dalam rekam jejak Susilo Bambang Yudhoyono, maka itu adalah ‘kehadiran’nya sebagai Kastaf Kodam Jaya di ‘lapangan’ saat terjadi Peristiwa 27 Juli, penyerbuan kantor DPP PDI, setahun sebelum berakhirnya masa kekuasaan Soeharto Mei 1998. Tapi untuk ini, Jenderal Sutiyoso atasannya saat itu, sudah memberikan pembelaaan mati-matian bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tak terlibat dan karenanya tak perlu ikut bertanggungjawab.

Seraya menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai The Populist General, majalah internasional yang cukup terkemuka Far Eastern Economic Review, Juli 2004, mencoba mencatat dan mengurai Why Indonesians Think This Man Can Save Their Country. Menurut media tersebut, Sang Jenderal mendominasi opini dalam berbagai jajak pendapat menjelang Pemilihan Umum Presiden yang untuk pertama kali akan dilakukan secara langsung itu. Jenderal yang meminta pensiun lebih awal ini, menikmati dukungan yang luas, yang nanti terlihat melebihi dukungan yang diperoleh oleh partai pendukung utamanya, Partai Demokrat yang baru berkiprah di tahun 2004 itu. Para pemilih sangat concern terhadap pengendalian inflasi, perbaikan perpajakan, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan kriminal dan korupsi. Dan para pemilih sangat berharap sang pemenang akan mampu menjawab itu semua segera dan untuk jangka panjang memperbaiki perekonomian secara keseluruhan.

Susilo Bambang Yudhoyono ada di urutan teratas dalam perspektif pengharapan itu. Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sementara itu, mengatakan bahwa prioritas kebijakan ekonominya adalah penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan membangun kembali infrastruktur. Rachmat Witoelar, bekas Sekjen Golkar yang menjadi salah seorang pemimpin informal kampanye SBY, mengatakan “Kita akan berusaha menjadi lebih populist”. Dan, akan berupaya “mencitrakan secara kuat SBY sebagai presiden milik rakyat, bukan presiden milik partai”. Adalah Rachmat Witoelar ini yang berperan utama untuk menyandingkan SBY dengan Muhammad Jusuf Kalla, seorang pengusaha terkemuka dari Sulawesi Selatan, sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden di tahun 2004 itu. Setelah berhasil menjadi Wakil Presiden, kelak Jusuf Kalla bisa merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009 mengalahkan Akbar Tandjung. Tak lain karena Golkar memang masih didominasi oleh kaum ‘pragmatis’, yang gamang bila berada di luar lingkaran kekuasaan.

Adalah menarik bahwa bila diperiksa kembali, banyak calon yang maju dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004, pada mulanya tak terlalu intens menyinggung masalah pemberantasan korupsi, bahkan ada yang menyentuhnya dalam kadar yang amat minim. Namun karena ada umpan arus bawah yang kuat dari publik, isu pemberantasan korupsi itu naik kadarnya dalam kampanye-kampanye. Tetapi sejauh yang bisa dicatat tak pernah ada suatu konsep yang kuat, jelas dan rinci, mengenai apa dan bagaimana pemberantasan korupsi itu akan dilakukan. Ucapan-ucapan yang ada hampir sepenuhnya ada dalam kemasan retorika belaka, sampai melimpah ruah. Barangkali karena itulah kemudian, setelah pemilihan umum usai, dalam kenyataan pemberantasan korupsi pun tercecer ke sana ke mari. Namun dalam klaim, semua pihak, baik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan, seakan berlomba. Faktanya, KPK misalnya terseok-seok oleh berbagai gempuran, Polri dan Kejaksaan Agung maupun Badan-badan Peradilan seakan tak tersentuh untuk bisa dibenahi. Partai yang berkuasa dalam pemerintahan maupun yang ‘berkuasa’ di parlemen, sama-sama berhutang moral kepada rakyat dalam pemberantasan korupsi serta penegakan hukum dan keadilan.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah-kisah Uji Kelayakan yang Tak Selalu Layak

“Sang menteri tersenyum, “Kalau anda tak bisa menjawab, biasakanlah minta petunjuk atasan”. “Meski pernah juga mengeluhkan mengenai membanjirnya aplikasi masuk kabinet, sampai-sampai ada yang mencoba menggunakan jalur mertua, kelihatannya Presiden ‘gamang’ juga menentukan kabinetnya sendirian”.

“Lanjutan cerita menjadi tidak layak, satu persatu anggota DPR yang terlibat dalam proses pemilihan itu ditangkap KPK dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Kini sebagian dari mereka sudah mendekam dalam penjara karena terbukti menerima suap untuk memenangkan sang deputi senior. Namun sumber mata air kucuran dana tetap tak tersentuh hingga kini”.

HARI-hari ini sedang berlangsung uji kelayakan tahap akhir terhadap sejumlah tokoh dalam rangka mencari seorang calon pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) guna mengisi kekosongan sepeninggal Antasari Azhar. Tes psikologi sudah rampung, dan akan dilanjutkan dengan wawancara untuk penentuan final. Salah seorang anggota panitia penyaringan uji kelayakan calon pimpinan KPK ini, Todung Mulya Lubis, mengatakan meskipun sudah cukup puas dengan beberapa tokoh yang lolos memasuki tahap akhir, tapi tetap merasa rindu kehadiran beberapa nama tokoh yang sesungguhnya sangat layak, namun sayangnya tidak mengikuti seleksi.

Tokoh-tokoh berkualitas dengan reputasi yang sangat layak, biasanya cenderung tidak berminat mengikuti pola rekrutmen yang berbau job seeking seperti yang dilakukan saat ini. Tanpa mengecilkan nama-nama seperti Bambang Widjajanto atau Jimmly Asshidiqie misalnya, memang harus diakui bahwa pendaftar seleksi pimpinan KPK ini dibanjiri oleh banyak nama yang mungkin saja sulit dipertanggungjawabkan kredibilitas atau rekam jejaknya atau setidaknya betul sekedar ‘pencari kerja’. Meskipun KPK sedang dilanda ‘angin puting beliung’, peminat tak surut juga.

MEMANG hampir seluruh jabatan di republik ini kini harus diperoleh melalui uji kelayakan. Posisi-posisi pucuk pimpinan pemerintahan negara, seperti Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur dan Bupati, punya cara uji kelayakan tersendiri yang sudah jelas yaitu pemilihan umum. Begitu pula posisi-posisi wakil rakyat. Sementara itu jabatan-jabatan pada berbagai Komisi dan atau lembaga ad-hoc lainnya melalui uji kelayakan yang lebih dikenal sebagai fit and proper test, sama halnya dengan jabatan Gubernur atau Deputi Gubernur Bank Indonesia. Untuk fit and proper test kelas atas, pengujian finalnya dilakukan oleh Komisi atau Kepanitiaan DPR sebelum mendapat pengesahan Presiden. Uji kelayakan di DPR bukannya tanpa masalah dan keluhan. Seringkali ‘penguji’ kelayakan lebih cetek ilmu dan wawasannya. Seorang akademisi yang pernah mengikuti uji kelayakan di DPR, kena ‘batu’nya. Kepadanya diajukan suatu pertanyaan yang keliru dan di luar konteks karena ada salah persepsi. Saat mencoba meluruskan mis-persepsi sang anggota, sang akademisi malah di’bentak’, “Jangan mengajari saya. Bagaimana saudara bisa diloloskan, kalau saudara tidak menguasai masalah!”. Hah? Agaknya, kadung menjadi penguji dengan segala kewenangannya, banyak anggota DPR terpaksa ambil posisi ‘sok pintar’.

Cara-cara rekrutment yang lebih ‘canggih’ dan sekaligus lebih ‘rumit’ masa kini merupakan kesepakatan Pemerintah dan DPR pasca reformasi. Cara ini diharapkan menghasilkan para pemangku tugas yang lebih berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan serta memenuhi syarat kualitatif demokratis, tidak bertumpu kepada sekedar selera seorang penguasa. Presiden makin terbatas hak prerogatifnya, yakni sebatas dalam penyusunan kabinet. Sistem pemerintahan yang dianut tetap saja bernama sistem presidensial, tetapi dengan setting makin besarnya kekuasaan DPR, maka aroma sistem parlementer tercium dengan kuat. DPR sampai-sampai ‘memiliki’ beberapa wewenang eksekutif. Dengan demikian kepada kita terhidang gado-gado sistem presidensial semi parlementer. Ilmu tatanegara yang diajarkan di sekolah-sekolah suatu waktu barangkali perlu direvisi.

MESKI tetap sepenuhnya memegang hak prerogatif dalam penyusunan kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedikit berbagi ‘wewenang’ kepada lingkaran terdekatnya dalam kekuasaan. Meski pernah juga mengeluhkan mengenai membanjirnya aplikasi masuk kabinet, sampai-sampai ada yang mencoba menggunakan jalur mertua, kelihatannya Presiden ‘gamang’ juga menentukan kabinetnya sendirian. Pimpinan partai diajak rembug –istilah politik praktisnya, negosiasi– dalam penempatan kader di kabinet. Selain itu, beberapa orang di lingkaran dekatnya, cukup didengar pendapatnya. Konon beberapa lobby politik bisa menghasilkan goal. Wewenang tim dokter terkesan tak kalah ‘penting’nya. Istimewanya, semua calon menteri ternyata lolos tes kesehatan, kecuali calon menteri kesehatan Nila Moeloek yang justru adalah seorang dokter. Konon, Nila Moeloek tidak lulus test psikologi. Sebenarnya, yang disebut tes psikologi itu di sini adalah MMPI (Minnesota Multi Phasic Inventory). Tetapi MMPI itu sebenarnya lebih merupakan test psikiatri dan bukan tes psikologi. Metode ini diintrodusir oleh Minnesota University dan digunakan untuk menguji ketahanan mental prajurit-prajurit Amerika yang akan diterjunkan ke kancah Perang Dunia I (1914-1918) di Eropah, terhadap tekanan situasi. Tes ini sudah out of date bahkan sudah ditinggalkan penggunaannya di negeri asal setidaknya sejak dua puluh tahun yang lalu, karena beberapa kali dalam hal tertentu cenderung tak akurat. Kalau tetap digunakan, MMPI harus disertai penggunaan metode tes psikologi lainnya sebagai pembanding. Apakah Nila Moeloek korban dari kekeliruan MMPI?

BAGAIMANA Presiden Soeharto menguji calon-calon menterinya? Tak banyak diceritakan karena minimnya bocoran informasi. Tetapi kata orang yang pernah berada di lingkarannya, Soeharto betul-betul menjalankan hak prerogatifnya, meskipun sesekali mau juga mendengar ‘bisikan’. Karena minimnya informasi tentang seleksi ala Soeharto, maka yang lebih banyak beredar adalah humor rumor.

Suatu ketika saat ingin mencari siapa calon Wakil Presiden pendampingnya, Soeharto memanggil tiga orang jenderal. Kepada calon pertama ia bertanya, berapakah 2+2? Dengan pasti sang calon yang dikenal sebagai seorang jenderal yang tegas, menjawab 4. “Betul 4?”, tanya Soeharto lagi. Ya, betul pak, 4. Soeharto hanya manggut-manggut. Calon kedua, juga ditanya, berapa 2+2? Lama berpikir, sang calon akhirnya menjawab, kalau tak salah 4, pak. “Betul 4, bukan 5?”. Eh, jawab sang jenderal lagi, barangkali juga 5 pak. Soeharto juga hanya manggut-manggut. Tiba giliran calon ketiga,  Soeharto menanyakan berapa 2+2? Dengan cepat dan sopan, sang jenderal menjawab “Terserah bapak saja”. Calon ketiga terpilih.

Usai dilantik sebagai presiden untuk kesekian kalinya, Soeharto lalu melakukan uji kelayakan terhadap salah seorang calon menterinya. “Ayah saya bernama Karto, kakak saya bernama Bejo dan adik perempuan saya bernama Inem. Nah, siapakah anak ayah saya yang satunya lagi?”. Sang calon menteri berkeringat dingin, dan akhirnya menjawab, “Maaf, pak, saya tidak tahu, bapak tidak menyebutnya tadi. Mohon petunjuk pak”. “Bodoh betul orang ini”, kata Soeharto dalam hati. Tapi untuk pos menteri yang satu ini kebetulan tidak dibutuhkan kecerdasan, yang penting selalu mau minta petunjuk, Soeharto lalu memilihnya menduduki pos itu.

Setelah menjadi menteri, dibutuhkan memilih Sekjen dan Dirjen baru di departemennya. Maka ia juga melakukan uji coba terhadap beberapa calon. Meniru cara Presiden menguji, kepada salah satu calon, sang menteri mengajukan pertanyaan, seratus persen copy paste, “Ayah saya bernama Karto, kakak saya bernama Bejo dan adik perempuan saya bernama Inem. Nah, siapakah anak ayah saya yang satunya lagi?”. Dengan cepat calon eselom satu itu menjawab, “Anak itu adalah bapak sendiri”(seraya menyebut nama sang menteri). “Hah, anda salah besar. Jawaban yang benar adalah Pak Harto”, ujar sang menteri tersenyum. “Kalau anda tak bisa menjawab, biasakanlah minta petunjuk atasan”.

DALAM uji kelayakan Gubernur BI ataupun Deputi Senior Gubernur, dalam suatu pengertian lain, logika 2+2 sama dengan 4, juga tak selalu berlaku. Seorang calon Gubernur BI bisa saja menjadi sasaran kritik, kecaman dan tudingan terlibat suatu skandal, tetapi pada saat yang tepat, DPR justru berhasil memutuskan untuk memilih sang calon untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia yang baru. Dalam suatu pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, bisa mendadak satu calon tertentu mendapat dukungan serentak dari berbagai fraksi berbeda dan terpilih secara signifikan. Hanya saja lanjutan cerita menjadi tidak layak, satu persatu anggota DPR yang terlibat dalam proses pemilihan itu ditangkap KPK dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Kini sebagian dari mereka sudah mendekam dalam penjara karena terbukti menerima suap untuk memenangkan sang deputi senior. Namun sumber mata air kucuran dana tetap tak tersentuh hingga kini.

Babi, Monyet dan Kawan-kawan

“Perilaku manusia meniru-niru khewan dalam kehidupan politik dan penggunaan politik uang, mampu merubah jalannya demokrasi dan nantinya dengan sendirinya akan merubah jalannya sejarah politik Indonesia. Konon, menurut rumor alias kabar burung yang bersumber dari kalangan internal, beberapa partai politik besar telah mengalami lakon ala topeng monyet. Dalam beberapa Munas atau Kongres Partai, peta dukungan dalam pemilihan Ketua Umum bisa berubah dengan cepat, saat penawaran baru yang lebih tinggi dalam rangka money politics masuk ke para pemberi suara”.

SAMPUL depan edisi akhir Juni 2010 Majalah Berita Mingguan Tempo yang secara karikatural memperlihatkan seorang perwira polisi bersama tiga celengan babi, menjadi alasan bagi pimpinan Polri menuduh Majalah Tempo mempersamakan Polisi dengan Babi. Itulah yang kemudian disebutkan sebagai penghinaan terhadap institusi penegak hukum itu. Tetapi dengan suatu apresiasi yang ‘lurus’, gambar karikatural itu sebenarnya sama sekali tidak tepat ditafsirkan mempersamakan Polisi dengan Babi. Semua orang juga rasanya bisa tahu bahwa yang digambarkan di situ bukan babi, tapi celengan babi. Dan itu sesuai dengan judul laporan utama, Rekening Gendut Perwira Polisi, yang isinya melaporkan adanya ‘tabungan’ sejumlah perwira menengah dan jenderal polisi yang disimpan dalam beberapa rekening dengan angka ‘gemuk’ bernilai puluhan miliar rupiah.

Jadi, bisa dipastikan, yang tidak disenangi oleh para petinggi Polri, adalah pengungkapan keberadaan rekening-rekening itu, yang disebutkan tak wajar karena, angka-angkanya terlalu fantastis bila dibandingkan dengan gaji para jenderal sekalipun. Angka-angka fantastis itu menjadi satu keanehan tersendiri. Dan bahwa Polri hingga sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda keinginan menindaklanjuti subtansi masalah, yakni kejanggalan keberadaan dan angka rekening-rekening tersebut, tetapi sebaliknya malah mengutamakan rencana penuntutan atas ‘penghinaan’ serta mengusut sumber berita, merupakan keanehan lainnya lagi.

Apa boleh buat, untuk kesekian kalinya, nama khewan kembali diseret-seret dalam kontroversi politik dan kepentingan antar manusia. Kali ini, babi, yang dagingnya diharamkan bagi penganut agama ‘mayoritas’ di Indonesia. Sejauh ini, bagi rakyat lapisan bawah, yang lebih populer adalah kisah takhyul pesugihan babi ngepet. Jalan pintas menuju kekayaan. Masyarakat bawah praktis tak punya peluang memperkaya diri dengan menerima suap dan merekayasa perkara demi uang.

BEBERAPA bulan yang lalu, nama khewan pedaging lainnya, kerbau, juga sempat masuk sebagai berita politik. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menunjukkan kegusaran ketika kerbau dituntun para pengunjuk rasa terkait skandal Bank Century. Presiden menyebutkan kehadiran sang kerbau –yang selalu dianggap khewan dungu– telah disalah-digunakan menyindir dirinya tambun dan lamban. Padahal, tubuh sang presiden tak gemuk-gemuk amat, kecuali bila dibandingkan dengan masa-masa menjadi Taruna Akabri seperti yang terlihat dalam foto-foto album lama. Akhirnya, kepolisian mengeluarkan seruan agar para pengunjuk rasa tidak membawa khewan kala berdemonstrasi.

Nama khewan memang sudah lama meramaikan kehidupan politik di Indonesia. Para demonstran gerakan kritis sering menghadiahkan ayam (sayur) kepada para anggota DPR yang dianggap tidak punya keberanian dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, dalam satu-dua tahun belakangan, giliran sejumlah anggota badan perwakilan rakyat itu yang kerapkali –entah sadar entah tidak– banyak memetik nama-nama dari perbendaharaan kata yang sering digunakan di kebun binatang, sebagai bagian dari debat kusir politik.

DALAM pergaulan manusia, demikian pula dalam kehidupan sosial-politik tempo dulu maupun kini, mereka yang bersikap oportunis disebut ular berkepala dunia. Mereka yang emosi karena dikritik tajam, dianggap berkelakuan bagai cacing kepanasan. Pernah pula pada masa tertentu anggota-anggota DPR yang kerjanya hanya menurut kemauan penguasa dianggap hanya bisa mem-bebek, dan mereka yang selalu meniru-niru ucapan para pemimpin disebut mem-beo. Di masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, bermunculan sejumlah politisi bunglon yang sanggup menyesuaikan warna dengan siapapun, atau politisi yang mampu menyesuaikan diri, mengembik di kandang kambing dan melenguh di kandang sapi. Ada pula politisi muka badak yang tak kenal malu, pandai menjilat ke atas tapi menginjak ke bawah. Dan ada juga politisi yang bersikap malu-malu kucing, pura-pura tidak mau tapi bila ada kesempatan tak segan-segan menyambar ikan di meja, tak terkecuali milik majikannya. Para pemimpin

Nama khewan-khewan gagah dan cerdik, sampai yang bodoh-bodoh juga banyak digunakan. PNI dan partai-partai Marhaenis turunannya menggunakan lambang banteng yang siap menanduk. PDI-P menggunakan tanda gambar banteng yang lebih gemuk dan bermoncong putih. Sementara partai ‘sempalan’nya menggunakan gambar sketsa banteng yang hampir abstrak. Di zaman pergerakan kebangsaan, Ir Soekarno pendiri PNI sering dijuluki singa podium, bukan banteng podium. Adam Malik yang lincah dalam manuver politik dan bersilat kata, digelari si kancil. Kaum kolonial Belanda dituding kerap menggunakan politik divide et impera dan atau politik adu domba. Tapi jangan salah, di masa Indonesia merdeka, kerapkali politik adu domba ataupun politik adu jangkrik yang berisik, juga dijalankan. Rakyat banyak cenderung hanya dijadikan kambing congek atau kelinci percobaan. Lapisan tertentu masyarakat dijadikan sapi perahan politik atau kepentingan ekonomi. Sebagian lainnya lagi diformat bagaikan anjing-anjing Pavlov. Bagaimana mungkin dengan keadaan seperti itu Indonesia menjadi macan Asia seperti yang dulu diramal-ramalkan?

Penguasa politik dan ekonomi menjadi serigala pemangsa. Massa rakyat maupun organisasi massa dan organisasi politik dijadikan sekedar kuda tunggangan politik menuju kekuasaan. Partai-partai yang kuat membagi amplop atau nasi bungkus plus air mineral setiap kampanye, mampu mengumpulkan massa yang menyemut. Dalam rangka mencuci tangan atas kekeliruannya, para penguasa senang mencari kambing hitam. Bila sedang tak punya solusi untuk satu permasalahan, para petinggi pemerintah atau petinggi partai memilih untuk bersikap pura-pura bagai kura-kura dalam perahu. Soal anggota KPU tak boleh jadi pengurus partai, masakan yang bersangkutan maupun partai yang merekrutnya tak paham undang-undang? Para penguasa juga merekrut ‘profesional’ yang tekun mendengarkan dan trampil mengumandangkan his master voice. Tempo dulu ada label gramafon His Master Voice yang menggunakan maskot anjing yang duduk dengan santun mendengar. Pada masa Soekarno dan Soeharto, para anggota badan perwakilan rakyat akan duduk dengan santun mendengar bila para penguasa tertinggi itu sedang berpidato, namun bertepuk tangan meriah pada bagian-bagian tertentu. Di zaman Presiden Habibie dan Megawati, para pendengar berkurang kesantunannya, ada yang ngobrol dan ada pula yang malah tertidur saat pidato berlangsung. Di zaman Abdurrahman Wahid, banyak ger-geran, maklum sang presiden suka melontarkan banyolan. Kebiasaan ngobrol dan tertidur, keterusan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi kebiasaan itu mereda dengan drastis, karena suatu kali sang presiden menegur keras mereka yang tertidur saat ia sedang berpidato.

Untuk mencari dana politik maupun memperkaya diri banyak kalangan penguasa menjadi tikus-tikus yang menggerogoti keuangan negara. Kaum koruptor dibagi atas yang kelas kakap yang jarang diciduk dan kelas teri yang lebih gampang ditindaki. Kenapa? Karena yang koruptor kelas berat biasanya licin bagai belut. Apalagi kalau mereka sudah menggurita, siapa yang bisa melawan? Koruptor kecil-kecilan mudah dijebloskan ke kandang macan alias sel tahanan, tetapi kelas gurita, tersentuh pun tidak. Bila toh ada yang apes, takkan masuk kandang macan itu melainkan masuk kamar prodeo fasilitas bintang lima. Lembaga pemberantas korupsi, KPK, nasibnya timbul tenggelam, diincar tidak hanya oleh jaringan koruptor tetapi juga oleh sesama penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Seberapa besar kekuatan KPK? Jenderal Polisi Susno Duadji, yang kini dijadikan tersangka kasus Arwana setelah meniup peluit, dulu mengibaratkan KPK bagaikan cicak melawan buaya dibandingkan Polri.

Pendek kata, kehidupan politik kita seakan dipenuhi binatang politik dan kehidupan ekonomi kita sesak oleh binatang ekonomi. Penguasa dan partai politik sudah jamak terlibat politik dagang sapi, misalnya dalam menentukan porsi dalam kabinet dan jabatan empuk lainnya. Ada akademisi yang sampai emosi mengatakan bahwa kehidupan kita kini dipenuhi monyet-monyet.

SEBAGAI kisah penutup, adalah mengenai monyet-monyet penghibur di Bandung. Bila memasuki kota Bandung, terutama di akhir pekan atau pada masa-masa libur panjang, kemungkinan besar para pengunjung akan terjebak macet dengan kategori ‘padat merayap’. Tapi ada kelompok-kelompok topeng monyet di trotoar tepi jalan atau di median jalan, yang bisa sedikit menghibur untuk mengurangi kekesalan. Kalau dulu-dulu, lakon para monyet itu hanyalah unjuk kebolehan meniru ibu-ibu membawa keranjang seakan-akan ke pasar, pandai memakai payung, atau sekali-sekali menarik gerobak bagai pemulung, maka kini ada lakon-lakon baru. Bila dilontari uang kertas lewat jendela mobil, sang monyet akan segera memungutnya lalu mengembangkan lebar-lebar uang itu dan menaruhnya di jidat sambil memberi hormat. Makin besar satuan nilai uangnya, makin lama dan makin takzim sang monyet memberi hormat. Monye-monyet itu rupanya sudah kenal betul nilai uang. Bagaimana kalau uang receh? Recehan seribu atau limaratus masih cukup dihargai, tetapi sekilas saja ditempel ke jidat. Dan bagaimana kalau recehan dua ratus atau seratus? Sering-sering tidak lagi ditempelkan ke jidat tapi langsung diberikan ke pawang. Kalau recehan 50 rupiah? Ada yang cerita, sang monyet tidak menggubris, bahkan pernah ada yang memungut lalu melemparkan kembali recehan itu ke mobil sang ‘donatur’. Pelit ah, kata sang monyet (barangkali)…… Pasti monyet-monyet itu sudah mengalami pendidikan politik (uang) ala manusia. Mereka meniru manusia yang sudah lebih dulu meniru perilaku monyet, sehingga tak heran bila akhirnya muncul, maaf, terminologi monyet politik.

Perilaku manusia meniru-niru khewan dalam kehidupan politik dan penggunaan politik uang, mampu merubah jalannya demokrasi dan nantinya dengan sendirinya akan merubah jalannya sejarah politik Indonesia. Konon, menurut rumor alias kabar burung yang bersumber dari kalangan internal, beberapa partai politik besar telah mengalami lakon ala topeng monyet. Dalam beberapa Munas atau Kongres Partai, peta dukungan dalam pemilihan Ketua Umum bisa berubah dengan cepat, saat penawaran baru yang lebih tinggi dalam rangka money politics masuk ke para pemberi suara. Sejumlah kandidat yang tadinya dijagokan, bisa rontok oleh praktek topeng monyet dalam konteks politik uang tersebut. Beberapa tahun lalu, penawaran lazimnya dilakukan via sms. Kini mungkin, caranya sedikit dirubah, karena komunikasi via telepon genggam sudah lebih mudah dilacak.

Kisah ‘Rekening Gendut’ Para Perwira Polri

“ADANYA sejumlah rekening dengan isi yang fantastis seperti itu, sampai dengan puluhan miliar, bila terbukti kebenarannya, tak bisa tidak, menjadi indikator yang memperkuat opini bahwa memang ada keterlibatan sejumlah perwira kepolisian dalam permainan kotor mafia hukum. Dan sikap institusi yang tak pernah menindaklanjutinya, menunjukkan bahwa jaringan mafia hukum itu kuat cengkeramannya di tubuh kepolisian”.

IBARAT memberi kado ulang tahun, Majalah Berita Mingguan Tempo, dalam edisi akhir Juni 2010 menurunkan laporan utama tentang Rekening Gendut Perwira Polisi. Tetapi Kepolisian RI yang 1 Juli ini merayakan Hari Bhayangkara, kurang bahagia menerima kado majalah berita terkemuka dan relatif punya reputasi cukup bisa dipercaya pemberitaannya tersebut. Reaksi yang ditunjukkan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Edward Aritonang, seperti yang terlihat dalam tayangan televisi, mencerminkan kegusaran dengan beberapa jawaban yang di sana sini terasa emosional.

Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang tidak menanggapi substansi masalah menyangkut besaran-besaran angka dalam rekening para perwira Polri yang diungkap dalam laporan utama tersebut. Pembawa suara Mabes Polri ini, justru lebih mempersoalkan berbagai hal samping. Sang jenderal misalnya mempersoalkan siapa sumber berita. Apakah dari PPATK ataukah sumber lain dari internal Polri yang pernah mendapat data PPATK. Dan karena data analisis dan transaksi perbankan itu disebutkan sebagai rahasia negara maka pembocorannya merupakan pelanggaran hukum.

Hadirnya gambar celengan babi di sampul majalah, juga menjadi persoalan. Celengan babi tentunya dimaksudkan sebagai simbol rekening yang isinya berjumlah besar, tetapi Edward Aritonang atas nama 400 ribu lebih anggota polisi se-Indonesia menafsirkannya sebagai penghinaan karena menyamakan polisi sebagai babi. Banyak anggota yang merasa terhina, katanya. Semoga saja penafsiran sang jenderal terhadap gambar sampul yang karikatural itu tidak akan diterima oleh para anggota Polri dengan pikiran dan emosi sempit sebagaimana layaknya menerima hasutan. Pantas berharap begitu, karena Polri adalah penegak hukum, maka tentunya pilihannya hanya satu, yakni penyelesaian hukum.

DARI jawaban Kepala Divisi Humas Polri ini, terlihat bahwa Polri –kecuali ada desakan sangat kuat dari publik atau teguran Presiden– tak akan melakukan tindak lanjut menelesuri kebenaran berita rekening janggal para perwira Polri itu. Mereka akan lebih mengutamakan mencari kesalahan samping, seperti siapa yang membocorkan rahasia negara agar bisa ditindak sekalian bersama Majalah Tempo. Mereka juga akan lebih mengedepankan aspek pencemaran atau penghinaan terhadap institusi Polri. Ini sudah merupakan pola reaksi Polri sejauh ini terhadap berbagai kasus, yang menyangkut kepentingan para perwiranya. Susno Duadji, meskipun ia juga adalah seorang perwira tinggi Polri, didulukan untuk ditindak begitu ia menjadi whistle blower dalam kasus mafia perpajakan dan mafia hukum di tubuh kepolisian.

Tentang adanya rekening-rekening sejumlah perwira Polri yang janggal dengan transaksi-transaksi yang mencurigakan, bukan hal atau peristiwa baru. Beberapa tahun silam, pernah tersiar berita tentang adanya rekening seorang mantan Kepala Polri, yang mencapai angka 1,3 triliun rupiah. Lalu pada tahun 2005 ada juga berita mengenai apa yang disebut rekening jumbo 15 perwira tinggi Polri. Presiden SBY pernah meminta Kapolri Jenderal Sutanto menindaklanjuti, tetapi tak pernah jelas bagaimana kelanjutannya. Begitu pula tentang rekening seorang perwira tinggi yang berisi 95 miliar rupiah, tak ada tindak lanjutnya. Polri selalu mencukupkan diri dengan penjelasan formal tentang tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum terkait dengan rekening-rekening itu. Dan kini, sekali lagi melalui Majalah Tempo dan pengaduan ICW kepada KPK, kasus rekening janggal dengan angka fantastis milik para petinggi Polri, muncul ke khalayak. Dan sama dengan sebelumnya, tak ada tanda bahwa institusi tersebut akan melakukan pengusutan terhadap para perwira pemilik rekening tersebut. Malah ada kecenderungan membiaskan perkara ke arah lain. Padahal, kepemilikan rekening-rekening gemuk yang tak masuk akal untuk ukuran seorang jenderal sekali pun, bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap kekotoran yang ada di tubuh Polri, bila memang institusi itu berniat baik membersihkan diri.

Berapa besar gaji seorang perwira tinggi polisi, apalagi perwira menengah, sehingga rekeningnya bisa berisi miliaran rupiah sampai angka puluhan, ratusan bahkan triliunan? Keberuntungan yang luar biasa? “Behind every great fortune“, kata Mario Puzo penulis buku tentang mafia The Godfather, “there is a crime”. Apa yang ada di benak anda, bila anda mengetahui seorang perwira kepolisian memiliki miliaran, apalagi puluhan miliar rupiah, di dalam rekening mereka?

ADANYA sejumlah rekening dengan isi yang fantastis seperti itu, sampai dengan puluhan miliar, bila terbukti kebenarannya, tak bisa tidak, menjadi indikator yang memperkuat opini bahwa memang ada keterlibatan sejumlah perwira kepolisian dalam permainan kotor mafia hukum. Dan sikap institusi yang tak pernah menindaklanjutinya, menunjukkan bahwa jaringan mafia hukum itu kuat cengkeramannya di tubuh kepolisian.

Dalam Kerumunan Setan

“TERHADAP semua situasi itu, masih banyak orang yang naif dan masih penuh mengharap Presiden SBY akan bisa mengatasi. Tapi dari waktu ke waktu SBY membuktikan sebaliknya, bahwa dirinya tak sepenuhnya bisa diharapkan”.

SALAH satu tokoh Petisi 50 –kelompok kritis di masa kekuasaan Soeharto– Chris Siner Key Timu bercerita bahwa suatu ketika di tahun 1992 ia pernah bertemu sejarawan dari Universitas Indonesia, Ong Hok Ham, yang kini sudah almarhum. Kepada Chris Siner, Ong Hok Ham bertanya, “Kalau Petisi 50 mau ganti Soeharto, siapa orangnya?”. Chris menjawab, “Mencari yang sejahat Soeharto, sulit. Tapi kalau yang kurang jahat, banyak”. Lalu Ong Hok Ham mengingatkan kepada tokoh Petisi 50 ini, bahwa ada kemungkinan setelah Soeharto justru akan muncul yang lebih jahat.

Sampai kini, Chris Siner, barangkali masih bertanya-tanya yang mana yang sudah masuk kategori yang ‘lebih jahat’. Sejauh ini, sudah ada setidaknya empat tokoh yang menjadi Presiden Republik Indonesia. “Saya teringat tahun 2004”, tutur Chris Siner, “saya dengar SBY di’citra’kan kepada para pendukungnya di Nusa Tenggara Timur sebagai Susilo Bersama Yesus”. Chris yang saat itu berada di Kupang spontan berkomentar dalam suatu nada setengah doa, yang intinya mengingatkan jangan sampai terjadi Setan Bersama Yudhoyono. Dan kini, semoga belum terlambat untuk menyampaikan doa tambahan, agar prediksi Ong Hok Ham bahwa setelah Soeharto akan muncul yang lebih jahat tak sampai terwujud. Meski, sebenarnya saat ini cukup alasan untuk kuatir bahwa kehadiran ‘setan’ makin terasa dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial sehari-hari, tak terkecuali di sana-sini di dalam kekuasaan negara.

DALAM ajaran agama-agama, manusia selalu diingatkan untuk berhati-hati terhadap setan. Setan menjadi simbol kejahatan. Dan bahwa setan senantiasa ada di sekitar manusia, menunaikan perjanjian Iblis denganNya untuk menjalankan tugas menggoda manusia agar berada sejauh mungkin dari kebaikan. Sebagai penganjur kejahatan, setan sebagai satgas pelaksana pemberantasan kebaikan berdasarkan otoritas iblis kerapkali mampu mengolah bagian paling gelap dalam hati dan pikiran manusia, sehingga memiliki karakter dan perilaku setan dan bahkan menjadi setan itu sendiri. Setan di dunia nyata, adalah sebagian dari manusia itu sendiri. Setan tak henti-hentinya merekrut manusia ke dalam Partai Iblis. Sehingga, kerumunannya makin besar. Suatu waktu kita tak cukup hanya berkata, setan ada di antara kita, melainkan kitalah yang berada di dalam kerumunan setan.

TERLEPAS dari analogi terkait setan, merupakan fenomena bahwa semakin hari kehidupan politik dan pelaksanaan kekuasaan di Indonesia, maupun kehidupan sosial sehari-hari, makin dipenuhi aneka keburukan yang bersumber pada perilaku para manusia yang melakonkan peran-perannya secara sesat. Dengan sendirinya logika sesat pun lebih banyak dipergunakan daripada akal sehat.

Penggunaan retorika yang tak nalar, bahkan logika sesat, makin mendominasi kehidupan politik. Seringkali kehidupan politik penuh dengan debat kusir yang tak ada lagi ujung pangkalnya, sehingga kehidupan politik cenderung tak pernah berhasil menciptakan solusi, melainkan hanya kompromi-kompromi kepentingan hasil adu gertak dan tekan menekan. Etika, dedikasi apalagi idealisme, hampir tak dikenali lagi dalam kehidupan politik, sehingga politik bertambah tak berharga dalam makna positif. Gugatan-gugatan yang mencoba mengungkap adanya kecurangan dalam berbagai pemilihan umum yang lalu, senantiasa terbentur. Mana mungkin menemukan kebenaran tentang adanya kecurangan dalam waktu yang sangat dibatasi dan dilakukan tergesa-gesa? Ada yang pernah melaporkan kecurangan manipulasi suara, tetapi ternyata sang pelapor yang akhirnya ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Kasus Bank Century, apa sudah dicukupkan dengan pengunduran diri Sri Mulyani yang kemudian hijrah ke World Bank?

Penegakan hukum tak kalah jungkir balik. Filosofi dasar hukum sebagai sarana pencapaian keadilan demi kebenaran, terdorong jauh ke belakang oleh kepentingan yang pragmatis atas nama dan retorika kepastian hukum. Sementara kepastian hukum itu sendiri diartikan secara sempit semata-mata sebagai kepastian peraturan dan undang-undang. Sungguh malang, dunia perundang-undangan kita merupakan salah satu kelemahan utama sepanjang sejarah Indonesia merdeka, karena ia adalah produk dari kemampuan legislasi yang secara kualitatif juga lemah. Ciri perundang-undangan di Indonesia adalah senantiasa memiliki celah-celah yang bisa digunakan secara salah. Kepastian hukum apa yang bisa dicapai dengan sekumpulan undang-undang yang serba lemah? Kita lalu menyaksikan fenomena betapa subur praktek buruk terjadi dalam penegakan hukum. Tak sedikit pelaku kejahatan –terutama kejahatan keuangan negara dan atau korupsi– mampu lolos dari jerat hukum karena kemampuan manipulatif para pengacara hitam yang bekerja bersama para penegak hukum tertentu yang bisa dibeli, baik polisi, jaksa maupun hakim. Sebaliknya, begitu banyak orang yang bisa dijebloskan ke dalam penjara melalui rekayasa dan konspirasi. Aktivis HAM Munir nyata-nyata tewas karena diracun, tetapi tak pernah jelas siapa-siapa saja pelaku dan perencana kejahatannya. Apa Munir yang sengaja menenggak sendiri racun? Gayus Tambunan diketahui telah mengeluarkan uang suap belasan milyar rupiah, nama-nama penerima pun telah disebutkan, tetapi yang ditindaki terbatas. Terlalu banyak contoh untuk disebut satu persatu.

Kehidupan sosial kemasyarakatan juga porak poranda. Sistem nilai tentang mana yang benar mana yang salah pun sudah jungkir balik. Sejumlah orang yang dikenal sebagai pemuka agama atau guru spiritual, terlibat peristiwa-peristiwa pelecehan seksual, tanpa sepenuhnya terjangkau oleh penegakan hukum. Sementara yang lainnya, mengambil peran sebagai hakim moral bagi manusia yang lain, tetapi dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan yang melanggar hukum. Ketika dibuka pendaftaran untuk mencari pimpinan baru untuk KPK, tidak sedikit di antara yang mendaftar menurut pengetahuan publik adalah tokoh-tokoh yang integritas dan reputasinya dalam kaitan pemberantasan korupsi sangat diragukan. Sementara itu, secara faktual KPK sendiri babak belur dihajar dengan berbagai cara, mulai dari yang kasar sampai kepada konspirasi yang cerdik dan sistematis.

TERHADAP semua situasi itu, masih banyak orang yang naif dan masih penuh mengharap Presiden SBY akan bisa mengatasi. Tapi dari waktu ke waktu SBY membuktikan sebaliknya, bahwa dirinya tak sepenuhnya bisa diharapkan. Apakah ungkapan setengah doa Chris Siner Key Timu, agar tidak terjadi setan bersama sang pemimpin, akan terkabul? Sehingga dengan demikian, prediksi almarhum Ong Hok Ham hendaknya tidak perlu terjadi.

Tatkala Kebenaran Berubah Menjadi Zat Asing di Tangan Para Psikopat

“BEGITU banyak kebenaran diingkari, begitu banyak sikap anti sosial, tak bermoral dan tak bertanggungjawab yang telah terjadi di antara manusia-manusia ‘penting’ dalam pengendalian kehidupan bernegara, dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat maupun dalam penegakan hukum. Rasa keadilan hampir musnah karena kebenaran menjadi zat langka dan sedikit lagi punah. Apakah negara ini sudah menjadi negara kaum psikopat?”.

KEBENARAN kini telah berubah menjadi sejenis zat asing, yang nyaris sama sekali tak dikenali lagi, baik dalam kehidupan politik dan dunia penegakan hukum, maupun bahkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Meskipun kata kebenaran masih selalu ada dalam berbagai retorika, ia sudah merupakan zat asing yang diketahui tetapi tidak dikenali dan tidak dipahami lagi. Kini terminologi itu, dalam pengertiannya yang asli, mungkin hanya ada dalam buku-buku lama. Menurut pemaknaan lama dalam literatur, terutama buku-buku filsafat, kebenaran adalah dasar utama etika keilahian, yang menjadi sumber keadilan. Tanpa kebenaran tak mungkin ada keadilan.

Setiap keputusan hakim di pengadilan-pengadilan Indonesia, dimulai dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber segala kebenaran, dengan sendirinya setiap keadilan yang dihasilkan oleh badan-badan peradilan adalah berdasarkan kebenaran yang bersumber pada etika keilahian. Ternyata, kata ‘demi keadilan’ itu tidak dengan sendirinya merupakan jaminan bahwa apa yang tertera di bawahnya dalam surat putusan para hakim itu benar.

Sebagai manusia, seorang hakim mungkin saja khilaf dalam membaca kebenaran sehingga juga keliru dalam menetapkan keadilan. Itu sebabnya, digunakan sistem majelis yang beranggotakan setidaknya tiga orang hakim, dengan harapan para hakim bisa saling mengingatkan untuk menghindarkan kekhilafan. Begitu juga tim pemeriksa atau penyidik di kepolisian dan tim jaksa penuntut, diharapkan bisa saling mengingatkan untuk mencegah kekhilafan dalam membaca kebenaran. Begitu seharusnya, menurut norma.

Seorang jaksa senior yang sudah almarhum, pernah menceritakan pengalaman-pengalamannya yang menarik tatkala bertugas di beberapa daerah Indonesia pada tahun 1950-an. Polisi dan jaksa kala itu boleh dikatakan tak pernah menggunakan kekerasan dalam menggali pengakuan jujur dari para terperiksa. Mereka yang disangka melakukan pembunuhan umumnya tidak berbelit-belit, tetapi dengan sportif mengakui ia membunuh dan apa alasannya untuk membunuh. Ini terutama terjadi di beberapa daerah tertentu di wilayah Timur Indonesia, di mana banyak terjadi peristiwa pembunuhan karena alasan kehormatan pribadi. Pencuri dengan cepat mengakui perbuatannya. Mereka yang melakukan penggelapan uang di kantornya –semacam perbuatan korupsi– tak berputar-putar menyangkal, tetapi langsung mengakui kekhilafannya. Tentu saja sesekali ada pengecualian, tetapi umumnya para pelaku pelanggaran hukum itu, memberikan pengakuan, cukup dengan tatapan mata yang tajam para penegak hukum. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan pelanggaran hukum. Masih ada mekanisme yang masih sanggup mengatur bekerjanya nilai kebenaran dalam diri mereka. Seorang pejabat tinggi yang di tahun 1950-an itu tergelincir melakukan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalannya. Tak perlu mengajukan argumentasi telah dipolitisasi, dizalimi dan mengalami character assasination, yang merupakan argumentasi standar para koruptor masa kini.

Masih menurut penuturan jaksa senior itu, di tahun 1954 ada seorang jaksa bidang ekonomi di sebuah kota pantai, maju menghadap ke atasannya untuk mengakui khilaf telah menerima suap dari seorang pelaku pelanggaran ‘penimbunan tekstil’ dan minta ditindaki. Pengakuan itu terpicu semata-mata karena ada seorang rekannya sesama jaksa yang bertamu, berkomentar tentang satu set kursi baru di ruang tamunya: “Wah, meubel ini saya tahu mahal sekali harganya”.

NAMUN itu semua hanyalah sebuah cerita ‘zaman purba’, yang telah berlalu lebih dari setengah abad. Sekarang, mana ada pejabat yang merasa malu bila memiliki 2-3 mobil berderet di halamannya? Tak pernah ada pejabat, termasuk kalangan penegak hukum, yang datang ke ‘bilik pengakuan’ semata karena punya satu rumah mewah dan tanah sekian hektar. Jangankan hanya itu, seorang mantan petinggi hukum yang pernah dikabarkan punya rekening berisi lebih dari 1 triliun rupiah, merasa tak terusik, dan hanya para mantan anak buahnya yang menyibukkan diri melakukan pekerjaan bantah membantah.

Apakah zat yang bernama kebenaran telah menjadi asing bagi para hakim yang memutus perkara Antasari Azhar di pengadilan tingkat pertama dan banding, yang tak sedikitpun mencoba mencerna kejanggalan-kejanggalan yang terasa hadir dalam proses persidangan, dan hanya memilih hal-hal yang bisa menjadi topangan bagi keinginan menghukum? Apakah zat itu tak lagi dikenali oleh hakim yang membebaskan Gayus Tambunan dalam pengadilan pertama, sehingga membebaskan sang terdakwa yang kini akhirnya diselidiki lebih lanjut kasusnya? Bagaimana hakim yang memutus dan memenangkan pra peradilan yang diajukan Anggodo Wijoyo, memahami zat kebenaran?

Kenapa bisa para pengacara mampu mengajari para koruptor yang dibelanya agar pandai menyangkal dengan berbagai kebohongan, berpura-pura sakit untuk mengelak proses hukum, sementara sejumlah dokter yang sebenarnya terikat etika kedokteran juga mau menjadi alat kebohongan? Kenapa bisa sejumlah pengacara ‘mengajari’ para artis kliennya untuk menyangkal sebagai pelaku dalam video sex, sementara publik yang biasa menonton mereka dalam berbagai tayangan di televisi, sepenuhnya telah mengenali mereka sebagai pelaku? Serendah apakah penilaian mereka terhadap kemampuan publik sehingga menganggap bisa mendikte opini publik seenaknya dengan memberi ‘kebenaran’ palsu? Seakan-akan publik itu hanya sekumpulan kerbau bodoh yang menyerahkan dirinya digiring begitu saja oleh sang gembala. Masih bisakah kita meyakini kemampuan para perwira kepolisian kita dalam mengenali zat kebenaran, sehingga tidak bersikap pilih-pilih tebu dalam menangani berbagai kasus atau bahkan memanipulasi kebenaran itu sendiri? Ketika menangani Susno Duadji, dengan cepat polisi tiba pada keputusan untuk menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka, sementara sangat lamban dan begitu berhati-hatinya mereka menarik kesimpulan dalam kasus artis-artis cantik jelita bintang video yang menghebohkan? Kenapa polisi lebih percaya kepada kesaksian Sjahril Djohan, Gayus Tambunan cs daripada kesaksian Susno Duadji? Dan kenapa mereka cepat mengiyakan kesaksian yang memberatkan Susno, dan pada waktu yang sama mengelakkan tuduhan dan kesaksian yang memberatkan sejumlah jenderal polisi lainnya? Kenapa ada kesan bahwa terdapat begitu banyak di antara para penegak hukum kita, dari polisi, jaksa, pengacara hingga hakim yang memilih bersikap jauh lebih baik kepada para pihak yang lebih punya potensi dana?

Kalau memang benar para penegak hukum kita berkecenderungan kuat untuk selalu lebih berpihak kepada yang memiliki dana besar, memiliki ketenaran dan kecantikan, serta mereka yang memiliki koneksi-koneksi kekuasaan, itu hanya memperkuat bahwa memang terjadi pewarisan ciri ‘kenikmatan kekuasaan’ dalam sistem nilai kaum feodal di masa lampau, yang mengutamakan gelimangan harta, kesenangan kepada kukila (burung) maupun wanita sebagai objek hiburan dan memiliki curiga (keris) sebagai lambang kekuatan kekuasaan. Di masa lampau, kesenangan akan kenikmatan kekuasaan itu, tidak ditutup-tutupi dan menjadi kelemahan utama para pelaku kekuasaan.

Para pemegang kekuasaan di masa lampau, menciptakan sendiri kebenarannya, dan tak ada persoalan dengan seperti apa para kawula dan rakyat jelata menilai dan memandang perilaku mereka. Opini akar rumput memang tidak ada harganya dalam struktur feodalistik. Banyak persamaannya dengan perilaku para pemegang kekuasaan dalam beberapa episode Indonesia masa merdeka, hingga kini. Senang kepada harta sehingga tak segan melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mengoleksi burung dan memiliki wanita tambahan untuk menyenangkan diri. Dan tak letih-letihnya mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Tak sedikit kalangan kekuasaan negara dan kekuasaan politik, yang sehari-hari sekilas berperilaku normal saja, tetapi pada waktu yang sama sebenarnya sedang menderita ‘sakit’ dalam karakter. Bila mengalami serangan, mereka menangkis dengan serangan balik, ‘maling teriak maling’, mengalami politisasi dan character assassination. Para pengguna idiom character assassination tatkala sedang mengalami kritikan tajam dan kecaman atas tindakannya hingga ke tudingan korupsi dan semacamnya itu, sebenarnya mengalami proses kematian karakter dengan sumber internal dari dirinya sendiri. Bukan dari luar.

Kita melihat betapa selama ini sejumlah orang yang berada di dalam kekuasaan negara –baik kekuasaan pemerintahan, kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan sosial kemasyarakatan– berkecenderungan mengalami sejumlah kemerosotan dalam karakter. Mengalami erosi dan penumpulan hati nurani, kemerosotan rasa kemanusiaan, kehilangan rasa keadilan, kehilangan tata krama atau sopan santun, kehilangan kejujuran serta ketulusan hati dan rasa tanggung jawab. Para pejabat dan para politisi sama pandainya dalam berbohong meremehkan publik. Dengan sejumlah kehilangan dan kemerosotan itu, pada hakekatnya seseorang telah berubah menjadi satu pribadi psikopatik. Sepenuhnya watak dan perilaku mereka menjadi anti sosial, tak bermoral, tak bertanggungjawab dan seringkali bahkan sudah kriminal. Pribadi-pribadi psikopat ini bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tapi tidak memperdulikannya lagi, tak mau lagi mengenali kebenaran, dan tak mau memikirkan akibat-akibat perbuatannya.

BEGITU banyak kebenaran diingkari, begitu banyak sikap anti sosial, tak bermoral dan tak bertanggungjawab yang telah terjadi di antara manusia-manusia ‘penting’ dalam pengendalian kehidupan bernegara, dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat maupun dalam penegakan hukum. Rasa keadilan hampir musnah karena kebenaran menjadi zat langka dan sedikit lagi punah. Apakah negara ini sudah menjadi negara kaum psikopat?

Tak lupa, mohon maaf, bila dalam tulisan ini terasa adanya kekurangberanian menyebutkan nama-nama sebagai contoh kehadiran kaum psikopat. Mohon dipahami bahwa keberanian pun telah merosot. Jenderal dan Ketua serta para Pimpinan KPK saja, bisa dengan gampang ditangkap…..