Tag Archives: Peristiwa 30 September 1965

Lima Menit dari Istana: Serikat Bunga dan Jan Darmadi

DI TENGAH sorotan yang tajam, sejak tahun 1967 hingga paruh pertama tahun 1970-an, Gubernur DKI yang fenomenal, Ali Sadikin, berhasil menerobos kelangkaan biaya melalui sumber dana dari perjudian dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta. Namun, di sebalik itu Ali tak pernah menghitung berapa biaya sosial dan biaya piskologis yang harus dibayar rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dari usaha judi dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi (Jauw Fok Ju) kelahiran Jakarta tahun 1939 yang mewarisi kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya, Jauw Fuk Sen –pemilik Kasino PIX, Petak Sembilan, Glodok dan Kasino di Jakarta Theatre Jalan MH Thamrin.

Kasino Petak Sembilan jaraknya kurang lebih 9 menit ke Istana Negara, sementara Kasino di Jakarta Theatre berjarak 5 menit dari Istana saat lalu lintas lancar. Kini, secara resmi Jan Darmadi, sudah ‘ada’ di Kompleks Istana, sejak dilantik menjadi salah satu dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo, Senin lalu. Jaraknya menjadi nol kilometer dari Istana di Jalan Merdeka Utara itu. Di atas kertas, secara resmi, Jan Darmadi bukanlah seorang ‘mantan’ kriminal, karena ketika menjadi ‘raja judi’ di masa kegubernuran Ali Sadikin, kasino-kasinonya adalah usaha legal.

EMPAT SERANGKAI MEGA, JOKOWI, KALLA DAN PALOH. "Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem." (Tribunnews, editing)
EMPAT SERANGKAI MEGA, JOKOWI, KALLA DAN PALOH. Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem. (Tribunnews, editing)

Tak urung, keputusan yang diambil Presiden Jokowi, untuk mengangkat mantan raja judi yang kini terbilang sebagai salah satu di antara manusia terkaya di Indonesia itu mengundang sorotan tajam. Dan sorotan moral ini menjadi sorotan kesekian di antara berbagai sorotan yang sedang terarah pada kepemimpinan Presiden RI yang seperti halnya Ali Sadikin, adalah juga mantan Gubernur DKI Jakarta. Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem.

Lima menit dari pusat pemerintahan republik. MERUNUT ke belakang, kita meminjam kembali sebuah paparan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Setidaknya ada tiga kasino besar yang dibangun dan menjadi pencetak uang bagi para cukongnya dan sekaligus menjadi penyumbang besar bagi kas Pemerintah DKI Jakarta Raya di masa Gubernur Ali Sadikin. Satu kasino, Copacabana, terletak di pusat hiburan Taman Impian Jaya Ancol. Satu lainnya, yang dibuka lebih awal pada September 1967 adalah Kasino PIX (Petak Sembilan) di kawasan Glodok yang merupakan jantung Pecinan. Kasino ini menyediakan permainan roulette dan baccarat yang dikombinasi permainan judi China Cap Ji Kie. Dan satu lagi tepat di jantung Ibukota, bersisian dengan Djakarta Theatre di Jalan Muhammad Husni Thamrin, dalam radius tak jauh dari pusat pemerintahan Republik yakni Istana Negara dan gedung-gedung pemerintahan di seputar Monumen Nasional.

Untuk kalangan masyarakat menengah disediakan arena-arena permainan dan perjudian ringan seperti Hailai Ancol, Pacuan Anjing ‘Greyhound’ Senayan dan Pacuan Kuda Pulo Mas. Lalu ada judi mesin Jackpot, yang sering dijuluki ‘si perampok bertangan satu’, yang berhasil menyedot uang masyarakat kalangan menengah Jakarta. Secara keseluruhan itu semua kerap dianggap sebagai satu proses pemiskinan rakyat.

            Dalam berbagai penjelasannya, Ali Sadikin mengatakan pemerintah DKI (Daerah Khusus Ibukota) menggantungkan diri kepada sumber pendapatan dari judi hanya untuk sementara sampai pemerintah pusat bisa memberikan bantuan dana yang cukup, seimbang dengan nilai dan posisi Jakarta sebagai penghasil pendapatan nasional secara keseluruhan. Kasino-kasino katanya akan diawasi dengan ketat dan hanya diperuntukkan bagi keturunan Tionghwa. Dengan perjudian itu, pemerintah DKI akan memberikan keuntungan untuk kepentingan masyarakat, daripada apa yang terjadi selama ini, yakni keuntungan dari perjudian yang hanya dinikmati segelintir cukong judi. Dan hasil pajak perjudian itu akan dipakai untuk rehabilitasi Jakarta.

Dengan ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan Tionghwa, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi China yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan kala itu. Waktu itu kurs dollar Amerika hanya 400-an rupiah.

Retorika memabukkan ‘Serikat Bunga’. “Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak memberi penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang Tionghwa tidaklah tertarik pada permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas China. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang Tionghwa”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam sebuah jurnal di tahun 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, ‘rumah’ bagi aneka ragam permainan yang betul-betul China, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee. Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi maha besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung. Penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tak kalah memikat dibandingkan janji dan retorika politik masa kini di tahun 2000-an. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional China, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar khewan.

Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang ketika itu lebih dari cukup untuk membeli seporsi nasi dan lauknya– dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini sejenis dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih nyata dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Hwa Hwee berkembang di China Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat Tionghwa di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan China dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’ Tartar. Menurut perkiraan, tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya dipakai untuk permainan tersebut. Penggunaan asosiatif khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak.

Tapi pengaruh judi ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan ‘takut’ sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib.

            Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun sebaliknya tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya.

            Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta, juga menjadi tempat membuang duit –karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi  sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Beberapa pejabat BUMN maupun putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan Tionghwa) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.

            Vivere pericoloso. KEMBALI ke Istana, pusat kekuasaan pemerintahan negara di tahun 2015 ini. Mungkinkah, tokoh nomor satu Indonesia per saat ini, Ir Joko Widodo, adalah tokoh yang ‘senang’ ber-vivere-pericoloso – menyerempet-nyerempet bahaya? Atau, apakah model ‘serikat bunga’ politik yang ada disekitar kekuasaannya lah selalu mendorongnya menyerempet bahaya?

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga adalah tokoh yang berkecenderungan menyerempet-nyerempet bahaya, demi dan karena romantika perjuangan. “Karena romantik inilah, kita tidak remuk; karena romantik inilah, kita makin kuat; karena romantik inilah, kita malahan berderap terus..,” ucap Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 di Lapangan Merdeka. Soekarno menamai pidatonya itu, “Tahun Vivere Pericoloso” diringkas Tavip. Kala itu, saat Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggeris, Soekarno menggambarkan bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan bahaya dan seakan terkepung oleh kekuatan neo kolonialisme dan imperialisme dari luar, maupun kaum kontra-revolusioner di dalam negeri. Setahun kemudian, terjadi Peristiwa 30 September 1965. Ia selalu bersikeras, bervivere-pericoloso membela PKI yang dalam anggapan kekuatan politik non-komunis adalah ‘tersangka’ makar di tahun 1965. Dan, Maret 1967, Soekarno jatuh dari kekuasaan. (socio-politica.com)

Para Korban Peristiwa 1965, Mencari Kebenaran Di Antara Dua Sisi

PRAKARSA sejumlah aktivis HAM menayangkan film dokumenter “Senyap” –The Look of Silence– di sejumlah kota, menimbulkan pro kontra akhir tahun 2014 di tengah masyarakat. Beberapa acara penayangan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, dihentikan sepihak oleh sekelompok massa yang kontra, yang antara lain karena menganggap karya sutradara Joshua Oppenheimer itu sebagai “film PKI.” Lembaga Sensor Film (LSF) juga menolak film tersebut diputar untuk umum di bioskop-bioskop.

LSF menganggap film “Senyap” –yang merupakan karya berikut Oppenheimer setelah “Jagal” atau The Act of Killing– secara tersirat mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI dan ajaran komunisme. Ini dikuatirkan LSF dapat menimbulkan ketegangan sosial politik dan melemahkan ketahanan nasional. “Film ini bersumber dari histories recite (sejarah sebagaimana dikisahkan) bukan sebagai histories realite (sejarah sebagaimana yang terjadi). Film ini memperlihatkan anakronisme dari kisah yang dibangun dan merupakan snapshot (fragmen) yang mengandung tujuan tertentu. Karena itu film ini hanya dapat dipertunjukkan untuk kalangan terbatas dan tidak layak untuk konsumsi publik.”

JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. "Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini." (photo download AFP/Getty Images)
JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. “Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini.” (photo download AFP/Getty Images)

Untuk sebagian, alasan LSF mungkin terasa klise, tetapi ada juga benarnya. Peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelum dan sesudah Peristiwa 30 September 1965, hingga kini masih menjadi sumber polarisasi sikap di sebagian terbesar masyarakat. Peristiwa kekerasan di seputar peristiwa itu sendiri, faktanya memang adalah kekerasan balas berbalas yang mencipta suatu malapetaka sosiologis. Dan tak ada pihak yang merasa lebih bersalah daripada pihak yang lain. Fakta politik menunjukkan bahwa pada kurun waktu sebelum dan sesudah tahun 1965 pada hakekatnya terjadi pertarungan politik antara kekuatan politik komunis dengan kekuatan non komunis. Di tengah-tengah, terjepit sebagian besar anggota masyarakat, yang bukan bagian dari keduanya, namun ikut menjadi korban dengan jumlah korban tak kalah besar.

Semua pihak, yang di kiri maupun yang di kanan, tak terkecuali yang di tengah, memelihara ‘dendam’nya sendiri secara berkepanjangan, berdasarkan luka dari penderitaan yang mereka anggap tak kunjung terselesaikan secara adil. Beberapa di antara mereka mencoba menjinakkan rasa perih dalam diri mereka, yang dengan berjalannya waktu berangsur-angsur berhasil. Namun, ada saja faktor ‘baru’ yang ganti berganti muncul membuat luka kembali basah.

Kenapa faktor ‘baru’ atau ‘diperbarui’ itu muncul dan bisa membuat luka kembali basah, tak lain karena belum berhasilnya kebenaran sejati dari peristiwa itu bisa dijelaskan dengan fakta berdasarkan –meminjam terminologi LSF– histories realite. Secara bersama,hingga sejauh ini bangsa ini belum berhasil membentuk suatu Komisi Kebenaran yang terpercaya dan mampu menghadirkan kebenaran sejati dari semua sisi yang bisa menjadi sandaran referensi bersama dalam menilai peristiwa sejarah yang telah dialami. Peristiwa seputar tahun 1965 dan 1966 ini, memiliki skala yang tidak kecil, mengingat jumlah korbannya setidaknya 500.000 orang bahkan kemungkinan besar mencapai angka jutaan. Suatu referensi kebenaran sejati, membantu untuk meredakan kemarahan dalam diri berjuta-juta orang,terutama generasi muda, yang sebagian besar pada hakekatnya adalah warisan ‘sejarah’ melalui penuturan.

POSTER PKI TAHUN 1960. "Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya." (download Monash.Edu)
POSTER PKI TAHUN 1960. “Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.” (download Monash.Edu)

Korban. BERAPA korban dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Pertengahan Desember 1965 Presiden Soekarno membentuk Fact Finding Commission (FFC) untuk mengetahui berapa korban kekerasan kemanusiaan setelah peristiwa. FFC yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno Sosroatmodjo, melaporkan jumlah 80.000 korban. Tetapi salah satu anggota FFC, Menteri Oei Tjoe Tat SH, melaporkan tersendiri perkiraannya kepada Soekarno, dan menyebut angka 500.000-600.000 korban.

Menurut wartawan senior Julius Pour dalam bukunya G30S, Fakta atau Rekayasa (Kata Hasta Pustaka, 2013) “jumlah korban selalu menjadi bahan pergunjingan.” Julius menulis, meski FCC secara resmi telah mengumumkan jumlah korban tewas sekitar 80.000 orang, Rum Aly (Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia) –dalam buku Tititik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, terbit 2006– tidak percaya terhadap angka tersebut. “Perkiraan moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat angka korban tewas yang sudah pernah dia sebutkan.” Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan mengenai seluruh pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi justru dalam rangka usaha menerbitkannya.

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?” Angka 3.000.000 korban disebutkan oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie, antara lain dalam percakapan dengan beberapa Manggala BP7 –salah satu di antaranya, Hatta Albanik MPSi– yaitu saat sang jenderal menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

            Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, lebih jauh mengungkapkan, bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 hingga beberapa tahun berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah ini, terutama terhadap pengikut PKI. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror.

Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia.”

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, suratkabar-suratkabar milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM dalam sebuah percakapan dengan Rum Aly di tahun 1986 –beberapa bulan sebelum almarhum– mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka 80.000 tahanan politik oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan.

Terlepas dari kampanye berlebih-lebihan dari kalangan tentara, memang di masyarakat juga tercipta tumpukan kebencian akibat sepak terjang PKI ketika berada di atas angin antara tahun 1960-1965 dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Tumpukan kebencian tersebut, ditambah berita keterlibatan PKI dalam pembunuhan para jenderal dinihari 1 Oktober 1965, maupun kenangan Peristiwa Madiun 1948, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara –lokasi bagi film “Senyap” dan “Jagal”– maupun Sulawesi Selatan, secara sporadis di Jawa Barat dan aneka peristiwa insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya. Bahkan di kalangan pengikut komunis sendiri terjadi pengkhianatan satu sama lain dengan berbagai motif, termasuk untuk menyelamatkan diri, yang berakibat kematian mereka yang dikhianati. Tentara-tentara kesatuan tertentu yang tadinya diketahui ‘dibina’ PKI pun banyak yang berbalik menjadi algojo dengan kekejaman ekstrim terhadap anggota PKI sendiri.

Pelaku. Siapa sajakah dan seperti apakah para pembunuh dalam peristiwa-peristiwa berdarah ini, dan siapa korban mereka pada tahun-tahun itu? Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para pelaku lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Dalam The Look of Silence para eksekutor Ramli yang dituduh pengikut PKI, juga memperihatkan gejala psikologis serupa.

Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam saat itu, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah. Sedang di Sumatera Utara, menurut film The Act of Killing Oppenheimer para pembunuh adalah anggota organisasi Pemuda Pancasila yang menganggap kaum komunis adalah musuh negara –dan membahayakan Pancasila– yang harus dibasmi.

            Kebenaran. Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini. Dan semuanya itu jelas tak kalah buruknya dengan kebenaran sepihak yang dikedepankan para ‘sejarawan’ tentara di masa lalu yang menumpahkan segala kesalahan sejarah kepada PKI sendirian, tanpa melihat tali temali aksi-reaksi dari segala peristiwa.

Maka, inisiatif lembaga-lembaga masyarakat yang ingin menayangkan film “Senyap”, tidak perlu dilarang. Dan mereka yang ingin menontonnya, pun tentu saja tak perlu dihambat. Namun, sebaliknya LSF yang tidak memberi izin edar untuk umum, pun tak perlu dituduh sebagai bersikap ala orde baru, karena alasan LSF dalam banyak hal cukup masuk akal.

            MENGAPA kita tidak kembali berpikir mengenai suatu Komisi Kebenaran untuk berbagai peristiwa sejarah dengan kandungan kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dan telah membelah rasa kebersamaan dan menghancurkan moral kebenaran sebagai bangsa selama ini? Mulai dari kejahatan kemanusiaan pada dua sisi di seputar Peristiwa 30 September 1965 tentunya. Lalu, Pemberontakan DI/TII, Pelanggaran HAM masa DOM Aceh pada dua sisi pelaku (yakni Militer RI maupun GAM), seputar Peristiwa Mei 1998, tak terkecuali Peristiwa Santa Cruz –meskipun Timtim telah menjadi Timor Leste– sampai Pembunuhan Munir dan beberapa pelanggaran HAM lainnya. Tidak harus pencarian kebenaran selalu berujung pada suatu proses peradilan, karena kebenaran pun berfungsi memudahkan pencapaian rekonsiliasi bangsa. Selain itu, tradisi pencarian kebenaran, akan bersifat mencegah ketidakbenaran lebih lanjut. Terpenting dalam konteks ini, publik mendapat kebenaran sejati dari setiap peristiwa sebagai pedoman terpercaya agar mampu turut serta dalam suatu upaya rekonsiliasi mengutuhkan bangsa dalam semangat keadilan. Kebenaran membawa keadilan. (socio-politica.com)

Sisa PKI dan Keluarga PKI, 49 Tahun Setelah Peristiwa 30 September 1965

WAKTU bergulir 49 tahun lamanya sejak Peristiwa 30 September 1965. Dalam metafora perlukaan, peristiwa tersebut dan berbagai ikutannya, adalah sebuah luka lama yang sebenarnya sudah kering. Hanya saja, luka kering sekalipun, selalu meninggalkan tanda di kulit dan mungkin kenangan traumatisma. Terkait peristiwa yang terjadi tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965 dan kekerasan massive berupa pembunuhan massal yang terjadi selama beberapa waktu setelahnya, meski luka telah kering namun kenangan traumatisma yang mengiringinya tak mudah padam. Paling tidak, sekali dalam setahun pada tanggal yang sama dengan terjadinya peristiwa, rasa sakit itu kembali dibicarakan. Bahkan sekelompok kecil bekas aktivis organisasi-organisasi yang dilarang setelah peristiwa, ikut dalam suatu acara Kamisan ‘korban’ Orde Baru yang selalu dilakukan di depan Istana di Jalan Merdeka Utara.

Bila diasumsikan bahwa kader PKI –sebagai partai yang paling terlibat dalam G30S– termuda kala peristiwa terjadi berusia 17 tahun, maka kini mereka telah berusia 66 tahun. Dan jika digunakan ukuran bahwa seorang kader pantas dianggap matang pada usia 21 tahun, bila kader itu masih hidup, paling tidak ia sudah berusia 70 tahun saat ini. Bisa diperkirakan bahwa kader PKI yang lebih senior, mayoritas telah meninggal dunia. Kalau pun masih hidup, sudah terlalu tua. Dan, semestinya juga telah berproses secara bathiniah menjadi manusia yang semakin arif, sehingga takkan membiarkan dirinya memelihara dendam politik secara berkepanjangan. Tetapi seberapa lama suatu rasa sakit yang traumatis bisa membekas dan seberapa lama suatu dendam politik berlangsung, hanya mereka yang bersangkutan yang lebih mengetahui.

JOKOWI DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTERI. "Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan oarang-orang anti militer." (foto download)
JOKOWI DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTERI. “Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan oarang-orang anti militer.” (foto download)

TERHADAP pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, banyak keluarga korban, begitu juga ribuan bekas tahanan politik, menuntut pemerintah menyampaikan permintaan maaf. Beberapa di antaranya disertai permintaan rehabilitasi PKI, terkait posisi terlarang  yang dikenakan terhadap partai tersebut.

Dalam batas aspek kemanusiaan, banyak pihak dalam masyarakat yang bisa memahami pengajuan tuntutan permintaan maaf maupun rehabilitasi sosial bagi korban peristiwa. Tetapi bilamana tuntutan itu meluas melampaui batas aspek kemanusiaan tersebut, katakanlah sudah menjadi tuntutan politik, akan muncul penolakan. Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut. Misalnya, pernah dirampas tanahnya oleh massa Barisan Tani Indonesia –organisasi sayap PKI– atau dihujat agamanya oleh PKI dan mengalami kekerasan melalui aksi sepihak Pemuda Rakyat. Orientasi utama masyarakat Indonesia selama ini, untuk sebagian besar memang adalah pada aspek keadilan. Karenanya, masyarakat juga cenderung merasa sebagai korban dalam berbagai peristiwa.

Dengan orientasi keadilan seperti itu, dalam kaitan Peristiwa 30 September 1965, semua pihak merasa sah menegakkan keadilan dengan melakukan pembalasan dendam. Terhadap apa yang telah dilakukan PKI sebelum peristiwa, maka para anggotanya –terlibat langsung atau tidak dalam rangkaian peristiwa– harus membayar ‘mahal’ dengan menerima pembalasan yang berpuluh-puluh kali lipat dari apa yang telah dilakukan. Dan mesti dicatat, jangankan mereka yang terdaftar atau nyata adalah anggota PKI dan organisasi sayapnya, terdapat banyak anggota masyarakat yang tak tahu menahu mengenai partai tersebut, ikut menjadi korban ‘pembalasan’ dalam suatu malapetaka sosiologis yang dahsyat. Dan pada gilirannya, akan juga menuntut keadilan.

Kita kutip suatu penggalan pengantar dalam buku Simtom Politik Tahun 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (Editor OC Kaligis dan Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2007). Dengan orientasi utama kepada aspek keadilan, yang menimbulkan rasa dirinya juga adalah korban, “bagi masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 september 1965 terjadi.” Lalu, “pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara.” Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak.

Dalam realita, relatif keadaan tersebut yang terjadi di masyarakat. Banyak ex PKI dan atau keluarganya dalam beberapa tahun ini, khususnya pasca Soeharto, hidup berdampingan secara layak dalam masyarakat.

UNJUK RASA 2014 TOLAK KOMUNISME DAN PKI. "Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut." (foto download)
UNJUK RASA 2014 TOLAK KOMUNISME DAN PKI. “Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut.” (foto download)

BERIKUT ini sedikit catatan ringan.

Dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati, yang di tahun 1965 baru berusia 7 tahun, menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” di tahun 2002. Tak ada akibat berarti yang menimpa dirinya. Dalam suatu wawancara televisi, Lativi (yang kini telah pindah kepemilikan dan berganti nama) ia mengaku memang orangtuanya adalah anggota PKI dan cukup mengalami banyak penderitaan hidup yang berat karena stigmatisasi. Tapi kini ia bebas bergerak di masyarakat dan selama beberapa tahun menjadi anggota DPR dari PDIP.

Ikrar Nusa Bakti pengamat LIPI, juga putera anggota organisasi terlarang. Dibesarkan oleh pamannya seorang perwira tinggi militer. Praktis tak pernah terkena gangguan stigmatisasi. Ia pun menjalani hidupnya sebagai seorang akademisi yang bebas berpendapat. Pandangannya umumnya jernih dan argumentatif. Tidak kiri. Hanya dalam masa-masa pemilihan presiden yang baru lalu Ikrar cukup berpihak, yakni kepada pasangan Jokowi-JK. Tapi itu tidak mencederai intelektualitasnya, dibanding beberapa akademisi dan kaum cendekiawan lainnya yang tak segan terjun dalam kancah prostitusi intelektual saat itu.

 Sejarawan Asvi Warman Adam, malahan lebih kiri orientasinya dibanding Ikrar. Asvi banyak meluncurkan tulisan dan pendapat untuk mematahkan versi militer Indonesia di bawah Jenderal Soeharto, tentang Peristiwa 30 September 1965 serta kejahatan kemanusiaan yang menjadi ikutannya. Akan tetapi, versi dan penafsiran sejarah yang dipaparkannya seringkali terasa tak kalah manipulatifnya dengan yang menjadi versi militer Orde Baru masa Soeharto. Agaknya ia tidak merasa harus cermat menggali berbagai sisi untuk mencari kebenaran sejarah.

Ilham Aidit, putera pemimpin PKI Dipa Nusantara Aidit, diam-diam bisa menyelesaikan pendidikan tingginya sebagai seorang arsitek di Universitas Parahyangan Bandung. Pasca Soeharto ia sudah bebas tampil di berbagai forum menyampaikan pendapat berbeda dan berbagai kecaman, termasuk mengenai masalah PKI dan Peristiwa 30 September 1965.  

Dan berikut ini, sebuah catatan yang sedikit lebih ‘berat’.

Dalam masa-masa menjelang Pemilihan Presiden yang baru lalu, Joko Widodo digempur dengan isu bahwa orang tuanya terindikasi PKI. Isu ini meluncur dari Obor Rakyat dan dikutip oleh berbagai media. Kubu pesaing menyangkal sebagai sumber isu. Kalau isu ini betul diluncurkan kubu pesaing, pasti ini suatu kebodohan. Tapi yang lebih mungkin, isu ini adalah hasil kerja orang-orang dengan pengalaman intelejen dan nantinya akan diketahui juga siapa dan apa tujuan sebenarnya.

Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan orang-orang anti militer. Maka di bulan Juni, massa PDIP menyeruduk kantor tvOne di Yogyakarta dan di Pulogadung Jakarta.

Reaksi Jokowi dan PDIP ini sedikit mengherankan juga. Apakah memang Jokowi dan para petinggi PDIP masih melihat PKI sesuai sudut pandang di masa Orde Baru bahwa PKI adalah  stigma yang harus dihindari? Bukankah PDIP selama ini memang membuka diri bagi mereka para penderita stigmatisasi terkait PKI? Ada Ribka Tjiptaning di sana, ada juga eks tokoh PRD Budiman Sudyatmiko yang diberi label PKI muda oleh kalangan tentara. Dan harus diakui sepanjang yang bisa diamati, mereka yang di masa lampau adalah pengikut atau simpatisan PKI, sejak awal memang berkecenderungan menjadikan PDI dan atau PDIP sebagai pilihan untuk bernaung. Dari pemilu ke pemilu secara empiris diketahui bahwa sebagian suara untuk PDIP berasal dari simpatisan eks PKI. Mayoritas simpatisan eks PKI memang menempatkan PDIP sebagai pilihan pertama, dan hanya beberapa lainnya yang memilih partai lain, seperti misalnya Golkar. Dalam perkembangan terbaru, bekas anggota PKI dan keluarganya kini legal sejajar dengan warga negara yang lain, dan sudah sama memiliki hak politik. Lalu kenapa PDIP harus merasa terhina? Bukankah dengan demikian, mungkin ke depan massa eks simpatisan PKI dan keturunan mereka akan mencatat bahwa PDIP –seperti halnya dengan partai yang lain– ternyata  telah menggunakan standar ganda kepada diri mereka?

Kegamangan PDIP kembali terlihat dalam pokok masalah larangan ajaran komunisme. Salah seorang anggota tim sukses Jokowi-JK, yakni Dr Musda Mulia menjelang pemilihan presiden mengungkapkan bahwa bila menang, Jokowi-JK akan mengupayakan penghapusan Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pelarangan paham komunisme di Indonesia. Dengan cepat hal itu dibantah oleh Jusuf Kalla –seorang aktivis gerakan tahun 1966– dan Jokowi sendiri. Tetapi belakangan lagi, bulan Agustus lalu, bekas aktivis anti Soeharto yang menjadi anggota DPR-RI antar waktu menggantikan Taufiq Kiemas di Fraksi PDIP, Bambang Beathor Suryadi, menegaskan akan memperjuangkan penghapusan Tap MPRS pelarangan ajaran komunisme itu. Dan untuk itu ia akan mengajak kader-kader PDIP yang lain untuk bersama memperjuangkannya.

SEKALI lagi, luka dari Peristiwa 30 September 1965, adalah sebuah luka yang telah kering. Teori bahwa waktu akan menghapus segala luka politik dan luka sosiologis, seakan-akan hampir menjadi benar. Hanya saja, ketika ia selalu diangkat kembali sebagai isu dan senjata politik seperti yang terjadi dalam ajang Pemilihan Presiden 2014 yang baru lalu, luka itu seakan-akan basah kembali. Artinya, alternatif pengampunan dan pelupaan dengan meninggalkan perspektif pembalasan, yang biasanya mengikuti hasil ‘politik’ keadilan di masyarakat, tidak menyelesaikan banyak konflik sejarah.

Bekas Jaksa Agung RI yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis masalah HAM, Marzuki Darusman, sejak beberapa tahun lalu menyarankan untuk memilih politik kebenaran. Satu-satunya penyelesaian yang tepat dilakukan dalam kerangka politik kebenaran, menurut Marzuki, tak lain adalah menggali kebenaran sejarah melalui penulisan sejarah secara baik dan benar. “Kegunaannya tidak untuk masa lampau melainkan untuk menciptakan babak baru ke masa depan di mana kita semua yang masih hidup mampu menarik pelajaran, agar masa lampau tidak lagi menjadi beban yang menghambat totalitas kita sebagai bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan yang secara eskalatif menjadi makin berat.” Selain itu, ia juga pernah ikut menggagas pembentukan semacam Komisi Kebenaran mengenai berbagai konflik horizontal yang pernah dihadapi bangsa ini. Komisi ini akan bisa menyelidiki dan mencatatkan temuannya sebagai suatu dokumentasi tentang kebenaran suatu peristiwa. Berguna untuk menangkal manipulasi sejarah. Sebenarnya, bukannya upaya semacam ini tak pernah dilakukan. Beberapa tahun lalu ada upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tapi, Mahkamah Konstitusi mematahkannya.

Pembentukan suatu Komisi Kebenaran perlu dipikirkan kembali. Bukan hanya untuk Peristiwa 30 September 1965, tapi untuk berbagai masalah bangsa lainnya, lama atau baru. Tak terkecuali mencari kebenaran tentang berbagai kecurangan laten yang senantiasa mengiringi setiap pemilihan umum dan pemilihan presiden di Indonesia….. (rum aly/socio-politica.com)

Persoalan Stigma Prabowo Subianto dan Para Jenderal Lainnya (2)

KENAPA mereka yang disebutkan diculik –pihak militer pelaku menggunakan istilah ‘mengambil’– itu keberadaannya bisa bertebaran di berbagai penjuru tanah air? Diduga, setelah dilepaskan (dibebaskan), pada masa jabatan Mayor Jenderal Muchdi sebagai Danjen Kopassus, mereka ‘trauma’ dan merasa perlu bersembunyi.

Tatkala dimintai keterangan oleh TGPF 12 Oktober 1998, KSAD Letnan Jenderal Subagyo HS, menyebutkan ‘pengambilan’ terhadap Andi Arief cs karena Prabowo dan para perwiranya menganggap mereka membuat rencana-rencana melakukan pemboman dan telah terbukti di Tanahtinggi. Mereka yang dianggap merencanakan dan terlibat sebagai pelaku pemboman antara lain Aan Rusdianto, Nezar Patria, Raharjo Waluyo Jati dan Mugianto selain Andi Arief. KSAD menyebut pula sejumlah nama di luar yang terkait dengan pemboman, yakni anggota-anggota PRD seperti Desmond Mahesa (aktivis kegiatan HAM bersama LBH masa Buyung Nasution), Pius Lustrilanang (pendiri kelompok ‘Siaga’ setelah Peritiwa 27 Juli 1996), dan Feisol Reza, serta Haryanto Taslam (aktivis mahasiswa pro Mega, yang pernah bergabung di PDIP). Mereka ini ‘diambil’ karena diduga merencanakan akan membuat sejumlah kekacauan.

PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. "Satu dan lain hal, tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.  Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma." (foto tempo)
PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. “Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.
Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma.” (foto tempo)

Di luar yang disebutkan Subagyo HS, di antara yang ‘diambil’ ada juga nama Deddy Hamdun. Kevin O’Rourke dalam bukunya Reformasi (2002), menyebut Deddy sebagai bos preman yang ‘bekerja’ untuk PPP dalam Pemilihan Umum Mei 1977. Ada pula nama Wiji Thukul, penyair dan aktivis buruh, yang menghilang sejak Agustus 1996. Joko Widodo mengaku bahwa ia kenal baik dengan Wiji Thukul, dan itu sebabnya antara lain mengapa ia berkeinginan ada penanganan terhadap yang disebut sebagai ‘penghilangan paksa’ itu. Prabowo Subianto mengakui adanya ‘pengambilan’ terhadap 6 orang sebagaimana yang dilaporkan PDI kepada Komnas HAM.

Menjadi pertanyaan yang perlu ditelusuri, apakah ‘penghilangan paksa’ lainnya –ada yang menyebut jumlah korban 13, sedang LBH menyebut angka 14– juga dilakukan tim dari Kopassus, karena ada informasi di sekitar tahun 1998, bahwa ‘pengambilan’ juga dilakukan berbagai instansi keamanan lainnya. Apa yang disebutkan terakhir ini jarang dipersoalkan, karena perhatian lebih tertuju kepada figur Prabowo Subianto. Masa-masa sebelum 1998, harus diakui, memang kuat ditandai dengan berbagai macam tindakan represif kalangan penguasa cq ABRI. Para jenderal maupun perwira lainnya dari masa itu –begitu pula tokoh sipil dari masa yang sama– kini bertebaran di dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi menuju 9 Juli 2014. Kehadiran mereka di gelanggang politik saat ini memberi aroma menyengat yang khas masa represif dan masa intrik sebelum 1998.

TERKAIT Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH, merekomendasikan beberapa hal berikut. “Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peranan Letnan Jenderal Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.” Dalam pertemuan 14 Mei itu tercatat kehadiran beberapa tokoh terkemuka, seperti Adnan Buyung Nasution SH, Fahmi Idris dan Setiawan Djody.

TGPF juga merekomendasikan “Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan. Dalam kerangka ini Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam kasus penculikan, Letnan Jenderal Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke Pengadilan Militer. Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.”

TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik Indonesia waktu itu. Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan tentang begitu banyaknya keterlibatan berbagai pihak dalam peristiwa kerusuhan, mulai dari preman lokal hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI. Kelompok-kelompok dalam ABRI tersebut mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. “Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggung jawab untuk itu.”

Tentu, mau tak mau, ini terarah kepada pimpinan ABRI kala itu. Di tingkat nasional Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan di tingkat ibukota Jakarta Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Sintong Pandjaitan menuturkan, kala itu seolah-olah ada rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo. Kalau Wiranto mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada persaingan antara Wiranto dan Prabowo, karena ia seorang jenderal berbintang empat, menurut Sintong, itu boleh saja. Dalam kasus kerusuhan Peristiwa Mei 1998, terdapat silang pendapat antara Prabowo dan Wiranto. Prabowo berkata, “Kenapa Wiranto ke Jawa Timur?” Menurut Sintong dalam aturan tentara, sebenarnya Prabowo, Panglima Kostrad, tidak boleh menilai secara terbuka terhadap Wiranto, Panglima ABRI yang menjadi atasannya.

Bisa dicatat dan harus diakui, meroketnya karir militer Prabowo Subianto yang kebetulan adalah menantu Jenderal Soeharto sang penguasa puncak sebelum 1998, memang menimbulkan banyak persoalan, termasuk ‘kecemburuan’ di kalangan perwira. Berbagai pengungkapan masa lampau Prabowo, termasuk pembocoran dokumen kesimpulan badan ad-hoc Dewan Kehormatan Perwira mungkin tak bisa dilepaskan begitu saja dari rivalitas dan sentimen masa lampau itu. Prabowo Subianto adalah satu-satunya perwira tinggi yang diajukan ke DKP di tahun 1998, padahal ada begitu banyaknya perwira tinggi lainnya yang pantas untuk juga diajukan ke DKP kala itu.

TGPF telah meminta keterangan/kesaksian sepuluh pejabat terkait yang bertanggung jawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Mereka adalah Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Gubernur DKI Mayjen TNI Sutyoso, Ka BIA Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, Dankormar Mayjen (Mar) Soeharto, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Fahmi Idris, Kastaf Kodam Jaya Brigjen TNI Sudi Silalahi, Asops Kodam Jaya Kol Inf Tri Tamtomo dan KASAD Jenderal TNI Subagyo HS. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, tak bersedia memenuhi panggilan untuk memberi keterangan. Penolakan Jenderal Wiranto ini jelas menimbulkan tanda tanya, baik tentang diri dan keterlibatannya dalam pertarungan politik saat itu maupun tentang kebenaran sesungguhnya tentang peristiwa sekitar 1998 tersebut.

            Seluruh bahan dan dokumentasi serta Laporan Akhir TGPF telah diserahterimakan kepada pemerintah melalui Menteri Kehakiman. Dengan demikian, sejak penyerahan itu, segala hak, kewajiban dan tanggung jawab TGPF berakhir. Tetapi bisa dicatat bahwa pemerintah tidak pernah menindaklanjuti temuan TGPF itu secara pantas.

            Stigma dan Komisi Kebenaran. Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.

Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma. Jenderal Hendro Priyono misalnya, selalu dikaitkan dengan Peristiwa Talangsari Lampung. Jenderal Sutyoso dan sedikit banyaknya juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, selalu dilekatkan dengan Peristiwa Penyerbuan Kantor DPP PDIP 27 Juli 1996. Begitu pula dalam Peristiwa Semanggi I dan II, nama sejumlah petinggi militer dan polisi maupun tokoh-tokoh sipil selalu dikaitkan, sampai kepada kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.

Tidak tuntasnya pencarian kebenaran peristiwa, akan bersisi dua. Di satu pihak akan menciptakan stigmatisasi berkepanjangan meskipun misalnya yang dilekati stigma itu tidak sepenuhnya bersalah. Dan, pada sisi lain sebaliknya bisa berarti tertutupinya sejumlah kesalahan dalam suatu peristiwa –bila itu memang benar terjadi. Dalam sudut pandang dan catatan sejarah, ‘kebenaran’ pun akan tiba ke khalayak turun temurun dalam dua wajah sehingga membingungkan dan mungkin menyebabkan pembelahan berkepanjangan dalam masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 bisa menjadi contoh. Apakah peristiwa tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan melihat keras dan tegasnya tindakan aparat keamanan terhadap kelompok sipil? Tetapi sebaliknya, bisa dipertanyakan, pilihan apa yang bisa diambil aparat keamanan menghadapi penyerbuan bersenjata ke markas Kodim yang dilakukan sekelompok besar massa bersenjata?

Bila diurut ke belakang, bangsa ini bersama-sama juga tak berhasil menemukan kebenaran sejati terhadap sejumlah peristiwa besar lainnya, seperti Peristiwa 30 September 1965 dengan segala eksesnya. Hingga kini, peristiwa itu masih selalu menjadi bahan polemik dan pertengkaran, apalagi saat dimunculkannya berbagai versi artifisial yang menggelapkan beberapa bagian kebenaran sejarah. Baik dalam konteks mekanisme defensif dalam rangka membela diri maupun dalam lingkup motivasi balas dendam politik. Hal yang sama untuk Pemberontakan GAM yang menginginkan Aceh Merdeka terlepas dari NKRI. Juga untuk berbagai peristiwa SARA –benturan antar suku, rasialisme, perusakan rumah ibadah– di sejumlah daerah, seperti kasus-kasus tergolong baru berupa penyerangan kelompok Ahmadiyah maupun Syiah.

DALAM suatu debat televisi, tim hukum kelompok Prabowo-Hatta Rajasa, melalui Prof Dr Muladi mengetengahkan gagasan pembentukan suatu Komisi Kebenaran untuk menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Sebaliknya, meskipun tidak menyebutkan istilah Komisi Kebenaran, tak kurang dari Jokowi sendiri yang menjanjikan penanganan serius masalah pelanggaran HAM masa lampau di Indonesia. Pada waktunya, publik harus menagih janji-janji ini, sehingga suatu Komisi Kebenaran mewujud –meski Mahkamah Konstitusi pernah mematahkan pembentukan suatu komisi semacam ini. Selain menagih, bila Komisi Kebenaran terbentuk, katakanlah setelah terpilihnya presiden baru, siapa pun yang terpilih, publik harus mengawal agar Komisi Kebenaran yang terdiri dari unsur-unsur terpercaya di masyarakat, akademisi dan kalangan pemerintah, bekerja sungguh-sungguh menemukan kebenaran sebagai jalan menuju keadilan. Peristiwa apa pun, dan siapa pun yang pernah bermasalah –entah ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan sosial maupun di luar itu– harus menjadi sasaran penelusuran kebenaran.  

Hasil penelusuran tidak harus selalu berujung kepada peradilan. Karena, ia bisa juga dilakukan untuk kepentingan rekonsiliasi (seperti di Afrika Selatan), permintaan maaf  terbuka dari pelaku, atau paling tidak menghasilkan suatu dokumen negara tentang kebenaran suatu peristiwa sebagai pegangan bersama (seperti di Jerman setelah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur). Dan, tak kalah pentingnya, menghindarkan dan mengakhiri penggelapan sejarah yang menyesatkan hati nurani bangsa. (socio-politica.com).

Soekarno, September 1966 (1)

Dedication of Life. Saya adalah manusia biasa. Saya tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saja tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Jiwa pengabdian inilah yang mendjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal-hidup dalam seluruh gerak hidupku. Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia, dan manfaat.” Soekarno, 10 September 1966.

            PADA September 1966, Soekarno sedang memasuki senja kekuasaannya. Masa kekuasaan Presiden Soekarno dalam suatu hitungan mundur sejak itu, enam bulan lagi akan berakhir. Karena, pada 12 Maret 1967 Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) mengeluarkan Ketetapan No. 33 yang mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari tangannya. Dalam masa hitung mundur itulah Soekarno membuat catatan yang oleh putera-puterinya kemudian diperkenalkan sebagai Dedication of Life, yang selama tahun-tahun terakhir ini senantiasa dibacakan dalam berbagai acara kesempatan penting Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan seperti misalnya pada Rakernas yang baru lalu.

KARIKATUR SOEKARNO DALAM KESENDIRIAN, 1966. "Memang, menjadi sesuatu yang menarik, bahwa bila Soekarno menuangkan kata hati itu di senja kekuasaannya dalam negara, maka bagi Jokowi itu adalah ibarat mantera pembuka untuk mulai menapak perjalanan menuju RI-1, kursi yang pernah diduduki ayahanda Megawati maupun oleh Megawati sendiri." (Karikatur T. Sutanto, 1966)
KARIKATUR SOEKARNO DALAM KESENDIRIAN, 1966. “Memang, menjadi sesuatu yang menarik, bahwa bila Soekarno menuangkan kata hati itu di senja kekuasaannya dalam negara, maka bagi Jokowi itu adalah ibarat mantera pembuka untuk mulai menapak perjalanan menuju RI-1, kursi yang pernah diduduki ayahanda Megawati maupun oleh Megawati sendiri.” (Karikatur Harjadi, 1967)

            Bagi mereka yang berada di lingkaran luar pagar wilayah politik PDIP, keberadaan catatan renungan Soekarno di masa senja kekuasaannya itu, samasekali di luar lingkar pengetahuan. Namun setelah kader PDIP Joko Widodo yang populer dikenal sebagai Jokowi tampil membacakannya atas perintah Megawati Soekarnoputeri, dalam acara pembukaan Rakernas PDIP di Ancol Jakarta pekan lalu, teks Dedication of Life itu mendadak masyhur. Bahkan, sengaja atau tidak, tercipta suasana penuh isyarat dan simbol, bahwa penugasan Jokowi oleh Megawati untuk membacakan Dedication of Life bagaikan rapal mantera bagi Jokowi. 

            Memang, menjadi sesuatu yang menarik, bahwa bila Soekarno menuangkan kata hati itu di senja kekuasaannya dalam negara, maka bagi Jokowi itu adalah ibarat mantera pembuka untuk mulai menapak perjalanan menuju RI-1, kursi yang pernah diduduki ayahanda Megawati maupun oleh Megawati sendiri. Soal apakah mantera itu memang (akan) sakti mandraguna, itu soal lain yang akan dibahas pada bagian lain. Dan bahwa apakah mantera itu yang dibutuhkan Jokowi bila ingin menapak ke atas dalam kepemimpinan negara, dengan meloncati saja tahap uji pembuktian diri sebagai Gubernur DKI yang betul-betul berhasil, itu pun soal tersendiri yang perlu dibahas lanjut.

            GERAKAN mahasiswa, pemuda dan pelajar serta sejumlah kelompok lainnya dalam masyarakat, yang secara langsung menuntut Soekarno turun dari kekuasaannya menunjukkan isyarat penguatan terutama di bulan September 1966. Pada pertengahan Agustus sebelumnya di Bandung terjadi penyobekan gambar Soekarno yang kemudian diikuti oleh penurunan gambar Soekarno di berbagai tempat, termasuk di instansi-instansi pemerintahan. Penyobekan gambar Soekarno oleh seorang tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Bandung itu, menjadi bagian dari reaksi spontan terhadap pidato kenegaraan Soekarno 17 Agustus 1966, Djas Merah (Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) yang dianggap tetap membela kaum komunis. Dengan pembelaan itu, Soekarno lalu makin diindikasikan sebagai dalang dari Peristiwa 30 September 1965 yang terjadi setahun sebelumnya.

            Penyobekan dan penurunan gambar Soekarno itu sendiri menimbulkan reaksi balasan berupa tindakan kekerasan terhadap mahasiswa dan pelajar oleh Barisan Soekarno –yang terutama terdiri dari massa PNI Ali-Surachman– yang ditamengi oleh sejumlah anggota PGT AURI. Seorang mahasiswa bernama Julius Usman tewas ditembak di depan kampus Universitas Parahyangan Jalan Merdeka Bandung, dalam insiden yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa 19 Agustus 1966 itu. Barisan Soekarno adalah sebuah front yang dibentuk atas perintah Presiden Soekarno di tahun 1966 untuk mengimbangi kemunculan mahasiswa dan pelajar yang melakukan demonstrasi di tahun itu. Biaya awal pembentukan Barisan Soekarno itu adalah 210 ribu rupiah baru (kala itu) yang setara dengan 210 juta rupiah lama.

            Tanggal 11 September 1966, sejumlah cendekiawan yang bergabung dalam Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia dari Bandung dan Jakarta, mengajukan tuntutan agar Bung Karno diadili di depan Mahkamah Militer Luar Biasa. Para cendekiawan ini menyatakan Presiden Soekarno merupakan sumber dan penanggung jawab segala penyelewengan dalam pemerintahan kala itu. Presiden Soekarno bertanggung jawab terhadap berkembangnya PKI di Indonesia dengan ide Nasakom. Kebobrokan ekonomi yang diciptakan Soekarno dengan ide Nasakom menyebabkan PKI menguasai kehidupan politik sehingga pada prakteknya pemerintahan Republik Indonesia berjalan menurut konsepsi PKI menuju diktatur proletariat yang melahirkan Peristiwa 30 September 1965.

Diwakili oleh seorang tokoh GMNI, Achmad Sjukrie Suaidy, dari internal kelompok Marhaenis pada September 1966 itu muncul kecaman keras, bahwa sebenarnya Bung Karno telah mengkhianati Marhaenisme yang telah diajarkannya sendiri. Entah karena tuduhan itu mengandung kebenaran, atau entah karena massa Marhaenis dalam tubuh PNI sedang melakukan tiarap politik pasca Peristiwa 19 Agustus 1966, saat itu tak ada sanggahan terhadap Sjukrie Suaidy.

            Meskipun baru sekitar enam bulan kemudian kekuasaan Soekarno akan berakhir, seorang cendekiawan muda, Aldy Anwar –yang sehari-hari selalu tampil dengan pakaian putih-putih dan peci ala Bung Karno– telah lebih dulu memberi kesimpulan tentang nasib akhir Soekarno melalui sebuah tulisannya di akhir September 1966. “Bung Karno Telah Tiada”. Dimuat pada sebuah media generasi muda terkemuka kala itu, ‘Mahasiswa Indonesia’ di Bandung.

            Putera seorang dokter yang praktis hidup putih sampai akhir hayatnya ini menulis: Bung Karno, pemimpin pergerakan  kebangsaan Indonesia, proklamator kemerdekaan Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang pertama dan satu-satunya sampai sekarang, sudah tidak ada lagi. Bung Karno, lambang persatuan, kemerdekaan dan kemercusuaran Indonesia; Bung Karno penganjur dan pejuang anti kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, liberalisme dan feodalisme; Bung Karno, pemimpin ummat Islam, pemimpin bangsa-bangsa Asia-Afrika dan Pembangun Dunia Baru, sudah tidak ada lagi di antara kita. Bung Karno, Bapak Marhaen yang menulis “Indonesia Menggugat”, “Mencapai Indonesia Merdeka” dan “Sarinah”, telah tiada. Bung Karno, yang karena jasa-jasanya telah diabadikan namanya pada Soekarnopura, Puncak Soekarno, Gelora Bung Karno, Jembatan Bung Karno, Menara Bung Karno dan Universitas Bung Karno; Bung Karno, pemimpin serba Agung yang dicintai, diikuti dan dijunjung-junjung rakyat, benar-benar telah tiada.

            Lebih lanjut, melalui suatu uraian yang untuk sebagian berupa kilas balik, Aldy Anwar menulis di akhir September 1965, sebagai berikut ini.

            HATI siapa yang tak akan terharu. Empat puluh tahun Bung Karno begitu populer, begitu berkuasa dan begitu diagung-agungkan, tiba-tiba saja kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Bung Karno telah tiada. Tiada lagi Bung Karno yang 40 tahun lamanya didengarkan pidato-pidatonya di rapat-rapat raksasa, yang tulisan-tulisannya memenuhi suratkabar-suratkabar dan majalah-majalah, yang suaranya mendengung-dengung di radio dan televisi, yang ajaran-ajarannya dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” dan “Tubapi” mengajarkan kita bahwa Revolusi belum selesai, Indonesia mercusuar dunia dan rakyat tidak lapar.

            Benarkah Bung Karno telah tiada lagi? Ada di antara kita yang masih ragu-ragu dan belum mau menerima kenyataan pahit, tetapi fakta-fakta berbicara sendiri. Bung Karno benar-benar sudah tidak ada lagi! Bagaimana mungkin sampai terjadi semua ini? Marilah kita menengok kembali ke sejarah 40 tahun terakhir ini.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2         

Dari Kegagalan Politik Sipil Lahir Peran Militer

PERUBAHAN kekuasaan model Mesir saat ini, dengan segala kekacauan ikutannya bukan suatu hal yang mustahil terjadi di Indonesia, entah besok entah kapan. Dari kegagalan politik kaum sipil, saat mengelola kekuasaan pasca Hosni Moubarak, tercipta peluang dan alasan bagi militer Mesir untuk mengambil alih kekuasaan negara. Tindakan Presiden Mursi yang terburu-buru mengubah konstitusi Mesir dengan acuan syariat Islam mendorong militer yang menempatkan diri sebagai pengawal konstitusi untuk bertindak. Segala unsur yang ada, yang hampir serupa dengan Mesir, sesungguhnya telah terpenuhi di Indonesia, khususnya terkait kegagalan kaum sipil Indonesia mengelola kehidupan politik dan kekuasaan negara selama beberapa tahun terakhir pasca rezim militer Jenderal Soeharto.

Kegagalan kaum sipil belakangan ini direpresentasikan secara jelas oleh partai-partai politik yang korup maupun organisasi-organisasi massa yang berperilaku anarkistis dengan segala pengatasnamaan. Tak kalah pentingnya, mirip dengan Mesir, meskipun dengan kadar lebih rendah upaya beberapa daerah di Indonesia untuk menerapkan syariat Islam, beberapa tahun terakhir cukup mengemuka. NAD misalnya, kini sudah sepenuhnya diatur berdasarkan syariat Islam. Juga perlu dicermati adalah kurikulum pendidikan baru yang diintrodusir Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, sarat dengan semangat menjalankan syariat agama. Pada saatnya, ini akan menjadi kontroversi baru di tengah kehidupan bangsa yang majemuk ini.

            Terlepas dari masalah syariat Islam, kegagalan utama partai-partai politik Indonesia saat ini, tanpa kecuali, adalah kuatnya mereka menganut politik kepentingan pribadi dan golongan, melebihi kepentingan bangsa dan negara. Seringkali –untuk tidak menyebutnya selalu– semua itu dilakukan dengan berbagai pengatasnamaan, baik agama maupun ideologi. Suatu keadaan yang mulai menggejala sejak awal kemerdekaan, khususnya setelah 1950 dan makin menguat dalam Indonesia merdeka, lalu mewaris secara tetap hingga kini.

            Politik kepentingan pribadi, kelompok dan golongan di tubuh partai-partai yang ada saat ini, secara empiris terbukti selalu bergandengan dengan perilaku korup. Baik korupsi untuk dana kegiatan politik partai maupun untuk memperkaya pribadi-pribadi pimpinan partai. Belakangan, mereka yang disebut terakhir ini, lebih dominan dan melahirkan ‘orang-orang kaya baru’ di tubuh partai dengan segala eksesnya. Maka kembalilah situasi kebutuhan ala zaman feodal di antara kaum patriarkis partai: tahta, harta dan wanita. Tak kalah ironis, kaum perempuan yang terjun dalam politik dan atau kepartaian, seringkali ikut terjebak dalam alam pikiran yang dibangun kaum patriarkis dalam perebutan tahta dan harta. Tak jarang ada yang tak segan-segan mempertaruhkan ‘kehormatan’ yang tertinggi sebagai perempuan, secara seksual.

            Partai politik mana yang tak terisi dengan manusia-manusia yang pernah disebut-sebut namanya –besar atau sedikit– dalam kasus-kasus korupsi dan permainan uang ? Tak sedikit partai politik, lama atau baru, tidak cermat dalam melakukan rekrutmen untuk partai mereka. Tokoh-tokoh yang pernah menjadi bintang pemberitaan dan dugaan korupsi di masa lampau, diterima dengan senang hati ke dalam partai. Entah ia seorang konglomerat dengan sejarah bisnis abu-abu, entah perorangan yang pernah mengeruk uang dalam jumlah besar melalui bisnis kolusi fasilitas yang pasti tak bersih, entah mantan menteri yang kaya secara menakjubkan, entah bintang premanisme dan sebagainya. Banyak yang ‘tembak langsung’ ke posisi penting, semata-mata karena yang bersangkutan membawa kebutuhan politik yang dianggap ‘terpenting’ saat ini, yakni uang.

ABRI VERSUS POLITISI SIPIL. "Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan." (Karikatur T. Sutanto 1967)
ABRI VERSUS POLITISI SIPIL. “Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan.” (Karikatur T. Sutanto 1967)

SELAIN negara-negara Amerika Latin, Indonesia adalah negara yang memiliki pengalaman sejarah munculnya peran militer dalam kekuasaan negara karena lemahnya kelompok politik sipil. Menjelang akhir 1950an, setelah melalui rangkaian panjang perbedaan pendapat selama bertahun-tahun dengan para politisi sipil, para pemimpin Angkatan Darat Indonesia muncul dengan kecaman-kecaman yang lebih keras terhadap partai-partai politik Indonesia. Para pemimpin militer, Jenderal AH Nasution dan kawan-kawan, menilai para politisi sipil adalah kelompok orang yang miskin konsep namun banyak kemauan. Dalam beberapa kesempatan, para pimpinan militer ini menuntut agar parlemen dibubarkan saja. Militer menganggap parlemen seringkali terlalu jauh mencampuri masalah internal tentara. Para politisi sipil dicurigai tentara telah berkonspirasi untuk memojokkan dan melemahkan tentara, serta memposisikan tentara sekedar sebagai alat kekuasaan sipil. Tentara menuding banyak politisi sipil di parlemen sebagai orang-orang yang tak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagian lainnya lagi bahkan berasal dari unsur-unsur federalis dan separatis yang memecah belah negara kesatuan RI.

Keinginan tentara itu akhirnya bertemu dengan keinginan Presiden Soekarno yang ingin mengembalikan kekuasaan presidensial ke tangannya dari kekuasaan parlementer sepanjang tahun 1950an. Soekarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945 dan membubarkan parlemen hasil Pemilihan Umum 1955. Secara sukarela maupun terpaksa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 22 Juli 1959 menyatakan kesediaan mereka untuk terus bekerja dan dilantik oleh Soekarno sebagai anggota DPR berdasarkan UUD 1945.

Meskipun menjadi pendukung penting bagi Dekrit 5 Juli 1959, tentara tidak sendirian dalam berbagi kekuasaan dengan Presiden Soekarno. Ada kaki lain yang mendapat porsi, yakni PKI dan PNI. Lalu, masih ada partai ideologi Islam dan Kristen/Katolik sebagai figuran. Partai-partai berideologi agama ini yang secara relatif menjadi lebih lemah setelah Dekrit 5 Juli, disusun oleh Soekarno sebagai unsur A(agama) ke dalam tatanan Nasakom. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lebih terorganisir dengan baik, menjadi unsur Kom (komunis) yang berjaya. Sementara itu PNI yang memang merupakan ‘milik’ Soekarno, dominan sebagai unsur Nas (nasional) yang mengatasi sejumlah partai nasional kecil seperti IPKI. Dengan tatanan ini, serta konsep Manipol Usdek, Soekarno menciptakan kekuasaan sipil yang kokoh setidaknya untuk 5 tahun. Tetapi begitu rivalitas antar unsur Nas-A-Kom meningkat, terutama oleh agresifitas PKI dengan senjata gerakan massa, kekuasaan sipil Soekarno yang mengandalkan politik perimbangan kekuatan ini berangsur-angsur mewujud sebagai kegagalan sipil. Puncaknya adalah konflik berdarah Peristiwa 30 September 1965.

PEMBUNUHAN sejumlah jenderal teras Angkatan Darat dan seorang perwira pertama di ibukota, serta dua perwira menengah di Yogyakarta, memicu ‘kemarahan’ Angkatan Darat. Dengan alasan terjadi pengkhianatan oleh Gerakan 30 September, Panglima Kostrad Mayor Jenderal bergerak melakukan operasi penumpasan. Disusul pembasmian terhadap Partai Komunis Indonesia dan kelompok politik kiri lainnya. Sikap bersikeras Soekarno yang tak mau membubarkan PKI yang dianggap perancang Gerakan 30 September, menjadi pemicu gerakan generasi muda untuk menjatuhkan dirinya. Berakhir dengan kejatuhan Soekarno melalui Sidang Istimewa MPRS tahun 1967. Lahir satu rezim kekuasaan baru di bawah Jenderal Soeharto yang memberi tempat dan beberapa peran bagi tokoh sipil, namun pada hakekatnya Soeharto dan para jenderalnya lah yang menentukan kendali negara.

Konsep dwifungsi ABRI yang menempatkan militer Indonesia dalam dua fungsi, yakni fungsi pertahanan keamanan sekaligus fungsi sosial politik, pada awal pasca Soekarno dianggap sebagai solusi yang tepat di masa transisi. Dengan fungsi sosial politik perwira-perwira tentara yang dianggap lebih berkualitas, mengingat mereka berasal dari kelompok yang faktual paling terorganisir per saat itu, mendapat legitimasi untuk mengisi posisi sipil yang dianggap lemah. Partai-partai politik Nasakom minus PKI pasca Soekarno cenderung tak dipercayai karena telah ‘membuktikan’ diri lemah, tak mampu dan hanya bisa membeo di masa Soekarno. Demi seciprat bagian kekuasaan dan tetesan kenikmatan dari kekuasaan itu. Dari partai-partai tak berkepribadian seperti itu relatif tak mungkin lahir tokoh-tokoh berkualitas.

Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan. Suatu waktu, bagi generasi baru perlu juga dihidangkan daftar nama kelompok penikmat kekuasaan ini, sekedar sebagai catatan untuk diketahui.

Sejalan dengan bertambahnya usia kekuasaan Soeharto, makin terlihat bahwa konsep dwifungsi ABRI yang tadinya cukup ideal dan bisa menjadi solusi transisi, bermutasi menjadi senjata mempertahankan posisi tentara dalam kekuasaan negara di segala tingkat dengan segala kenikmatannya. Sejumlah generasi baru ABRI makin mempersepsi konsep dwifungsi sebagai konsep warisan kekuasaan belaka, bukan dalam konteks pembangunan politik. Faktor tanggungjawab bagi bangsa dan negara makin tertinggal dan terlupakan. Meminjam pendapat kelompok pembaharu dari Bandung pertengahan 1960an hingga awal tahun 1970an, fungsi sospol ABRI bukan suatu fungsi permanen. Bila keadaan membutuhkan ia bisa dijalankan secara penuh, namun sebaliknya ia bisa ditekan hingga titik nol sejalan dengan terbangunnya pemerintahan yang makin demokratis dalam suatu negara dengan produktivitas tinggi. Pada saat itu semestinya penggunaan fungsi hankam menjadi lebih optimal digunakan untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara, serta menjaga keutuhan wilayah. Karena, dasar utama dari eksistensi negara adalah bagaimana membuat kedaulatan ada di tangan rakyat dalam satu sistem bernegara yang baik.

INDONESIA dalam 15 tahun terakhir ini –dengan penamaan retoris ‘masa reformasi’– menampilkan fakta kelompok sipil dan atau partai-partai politik yang secara bersama memiliki kekuasaan besar dan luas. Namun, masing-masing dengan porsi kecil sehingga tak ada yang mampu menciptakan mayoritas kerja di parlemen. Sebenarnya, ini sesuai dengan suasana traumatis yang diderita akibat pengalaman masa lampau, yaitu situasi alergi terhadap kekuasaan mayoritas dan serba kuat. Namun nyatanya, situasi banyak partai yang ‘sesuai’ dengan hasrat ‘biar kecil asal jadi raja’ di kelompok kecil sekalipun, yang diidap kebanyakan manusia Indonesia, ternyata tidak pas dan tak berguna dalam praktek politik. Banyaknya ‘raja-raja kecil’ justru hanya melahirkan persekongkolan-persekongkolan kekuasaan. Ibarat koalisi preman pasar, yang bersatu agar lebih kuat, namun setiap saat bisa tawuran ketika ada yang mulai serakah ingin mendapat porsi rezeki lebih banyak.

Rakyat yang jenuh dengan segala pertengkaran politik, perlombaan korupsi di kalangan kekuasaan, kelemahan kepemimpinan negara dan kepemimpinan sosial, mulai merindukan kembali pemimpin yang kuat seperti Jenderal Soeharto. Segala keburukan di masa Soeharto –korupsi, kolusi, nepotisme dan kekerasan terhadap kemanusiaan– mulai terhapus dari ingatan. Mirip kerinduan buta kalangan akar rumput terhadap masa kolonial yang disebut zaman normal, tatkala mengalami masa sulit ekonomi pada dua dekade awal masa kemerdekaan.

Mungkin saja negara ini kini masih ‘beruntung’. Meski kegagalan politik sudah merupakan suatu kenyataan, dan makin akan membesar dari hari ke hari, pada saat yang sama unsur militer juga sedang mengalami krisis kualitas kepemimpinan. Bila tak terjadi situasi yang sangat luarbiasa, takkan ada yang berani melakukan perubahan kekuasaan yang radikal. Tapi bila tak ada perubahan, kita semua akan tetap menderita bersamaan dengan makin merajalelanya korupsi dan ketidakadilan serta makin maraknya kekerasan antar sesama karena perbedaan suku, etnis, agama, sekte dan pilihan partai…. (socio-politica.com).

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

PETA situasi politik Bali di tahun 1965 lebih unik. Sebelum Peristiwa 30 September 1965, terdapat dua kekuatan politik yang sangat mencuat pengaruhnya di daerah tersebut. Pertama, PNI. Kedua, PKI. Di Bali, kekuatan lain di luar keduanya, nyaris tak ada artinya. Tetapi keduanya terlibat dalam rivalitas yang ketat dan tajam di provinsi tersebut. Padahal di tingkat nasional, khususnya di ibukota negara, kedua partai tersebut dianggap duet yang menjadi andalan Soekarno dalam kehidupan politik berdasarkan Nasakom. PKI dan PNI selalu dielu-elukan Soekarno sebagai dua kekuatan terpercaya dalam revolusi Indonesia.

PRESIDEN SOEKARNO DI DEPAN MASSA PKI, SENAYAN 1965. “Selain membela PKI sebagai salah unsur dalam konsep Nasakom ciptaannya, di sisi lain ia terkesan ‘mengecilkan’ peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965 dinihari sebagai hanya riak kecil dalam samudera revolusi. Sikap politiknya ini memicu dan memberi jalan kepada Jenderal Soeharto dan para perwira pengikutnya untuk mengembangkan lanjut hasrat untuk masuk lebih dalam ke gelanggang kekuasaan. Bila Soekarno ‘membekukan’ PKI, Jenderal Soeharto dan kawan-kawan akan kehilangan alasan untuk bertindak terlalu jauh”. (foto asiafinest).

Dalam suatu jangka watu yang panjang PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat pada umumnya menjadi pendukung PNI, sehingga berkat pengaruh mereka PNI memiliki massa pendukung yang besar di Bali. Namun dalam kehidupan sosial sehari-hari perlahan tapi pasti makin tercipta celah-celah kesenjangan. Rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani, adalah petani dengan kepemilikan tanah yang kecil, bahkan ada yang kemudian tidak memiliki tanah sama sekali. Selama puluhan tahun, sebenarnya terdapat tradisi harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dan petani, melalui sistem bagi hasil yang untuk jangka waktu yang lama diterima sebagai suatu keadaan yang adil. Bilamana terjadi perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan pada umumnya selalu berhasil sebagai media penyelesaian damai. Meskipun tak selalu penyelesaian itu bisa sepenuhnya memuaskan, khususnya bagi kalangan bawah.

PKI muncul memanfaatkan celah-celah kesenjangan sosial yang ada. Partai tersebut melakukan pendekatan kepada para petani dan golongan bawah lainnya, dan ‘mengajarkan’ untuk mulai menuntut lebih Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (2)

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

‘KEGIGIHAN’ Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia dari waktu ke waktu, dalam banyak hal sebenarnya layak diapresiasi. Namun, ketika lembaga itu menjadi tidak cermat dan tergelincir menjadi sangat subyektif dan terkesan melakukan perpihakan berkadar tinggi dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, lembaga tersebut saatnya untuk dipertanyakan. Apakah lembaga tersebut, khususnya, pada periode yang baru lalu terdiri dari sekumpulan manusia jujur dan punya integritas serta kapabilitas untuk menangani persoalan HAM di Indonesia? Dan bagaimana pula di masa mendatang ini?

JENDERAL SOEHARTO DI LUBANG BUAYA 6 OKTOBER 1965. “Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta”. Foto AP.

Beberapa hari yang lalu, rekomendasi dan laporan penyelidikan Komnas HAM periode 2007-2012 tentang kejahatan HAM dalam Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Laporan mengenai Penembakan Misterius 1982-1985 dituangkan dalam sebuah ringkasan eksekutif 12 Juli 2012 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Ad Hoc Josep Adi Prasetyo. Sementara laporan 23 Juli 2012 mengenai pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966 ditandangani Ketua Tim Ad Hoc Nur Kholis SH, MH. Komisioner yang disebut terakhir ini, ikut terpilih kembali sebagai anggota Komnas HAM 2012-2017. Belum kita ketahui, apakah serta merta 13 komisioner baru periode 2012-2017 secara keseluruhan akan melanjutkan kesimpulan dan rekomendasi 23 Juli 2012 sebagai sikap yang Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (5)

LATAR belakang ketiga inilah –yakni adanya pembasmian awal pengikut PKI oleh DI/TII– yang membuat PKI tak pernah berkesempatan menanam benih kebencian di pedalaman Jawa Barat melalui aksi-aksi sepihaknya seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya. Karena tak menabur banyak benih angin kebencian, maka PKI Jawa Barat pun tak perlu menuai badai pembalasan besar-besaran. Selain itu, PKI dan perwira militer yang dipengaruhi komunis di Jawa Barat, tak melakukan tindakan yang sama dengan yang mereka lakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. PKI Jawa Barat dan pendukung militernya tidak membentuk Dewan Revolusi secara provokatif, dan juga tak melakukan aksi kekerasan dan gerakan bersenjata pada hari-hari pertama setelah Peristiwa 30 September 1965.

KARIKATUR SOEKARNO KE LUBANG BUAYA HALIM. “Apalagi, pada 1 Oktober ia justru memilih ke Halim Perdanakusuma: Bertemu Laksamana Udara Omar Dhani, Brigjen Soepardjo dan berkomunikasi dengan DN Aidit dari sana, sementara DN Aidit sendiri meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah dengan pesawat AURI dari pangkalan itu. Ini semua adalah bibit awal dari akumulasi ketidakpercayaan”. (Karikatur Harijadi S, 1966)

Selain itu, cepatnya mahasiswa dan pelajar, khususnya di Bandung, bergerak merebut dan menduduki markas-markas PKI dan mantel-mantel organisasinya, sadar atau tidak telah mengkanalisir kemarahan masyarakat non PKI atas Peristiwa 30 September 1965 dalam gerakan-gerakan yang lebih terarah. Gerakan-gerakan anti PKI di Jawa Barat, menjadi gerakan yang sepantasnya saja, tanpa banyak ekses di luar batas kemanusiaan seperti halnya yang terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Hal ini pernah diakui Mayor Jenderal HR Dharsono, kepada sejumlah tokoh kesatuan aksi di Jawa Barat, saat masih menjabat sebagai Panglima Kodam VI (waktu itu) Siliwangi.

Bila di Jawa Tengah dan Jawa Timur konflik di akar rumput antara PKI-Non PKI berdasarkan dendam lama berlangsung berlarut-larut dan bertele-tele, maka di Jawa Barat pola konflik dengan cepat beralih ke masalah lebih mendasar tentang pengelolaan negara. Isu anti PKI beralih kepada yang dianggap menjadi pokok masalah bagi terciptanya pertentangan di masyarakat, Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (5)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (2)

BERDASARKAN ukuran kualitas keburukan peristiwanya, Peristiwa 30 September 1965, merupakan salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia. Sepanjang lima tahun sebelum peristiwa puncak itu terjadi, kehidupan politik Indonesia ditandai pelibatan massa dalam aksi-aksi sepihak dan penggunaan kekerasan secara intensif dengan kadar yang luar biasa tinggi. Saat peristiwa terjadi enam jenderal, dua perwira menengah dan satu perwira pertama dibunuh. Dan setelah puncak peristiwa, berbulan-bulan lamanya terjadi malapetaka sosiologis dalam bentuk saling bantai yang menurut perkiraan moderat menelan 1 juta korban jiwa. Bahkan bila mengikuti angka yang pernah disebut Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, mungkin saja peristiwa itu menelan korban 3 juta orang.

KOLONEL SARWO EDHIE WIBOWO. Terminologi membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat yang digunakan Jenderal Sunardi DM, amat menarik. Apakah rakyat melakukan ‘perlawanan’ atau ikut melakukan ‘pembasmian’ PKI? Pada waktunya, kedua terminologi ini memiliki masing-masing kebenarannya sendiri. Ini penting dalam konteks menemukan peranan sesungguhnya yang dijalankan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD yang dipimpinnya, saat berada dan bertugas di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun kemudian di Bali. Apakah sesuai dengan tuduhan yang belakangan ini dilontarkan terhadap dirinya atau sebaliknya? (foto ipphos)

Peristiwa 1965 itu didahului oleh suatu masa selama 5 tahun yang merupakan masa penumpukan dendam sosial dan politik. Pada masa itu, bahkan sejak sebelumnya, PKI telah menunjukkan diri kepada rakyat Indonesia sebagai satu partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Masih menurut buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, kala itu kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, belum terlupakan. “Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (2)