Tag Archives: SBY

Lelucon Dalam Kehidupan Politik Lelucon

“KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan”.

DALAM sebuah catatan keluhan penumpang sebuah perusahaan bus antar propinsi, ada komplain yang berbunyi: “Full AC, Full Music, WC Full”. Ada situasi tertentu dalam kehidupan politik masa kini sering dianalogikan dengan WC, yaitu dalam hal ‘bau’. Kalau seseorang baru masuk ke ruang khusus itu, ia dengan segera bisa mencium betapa tak nyamannya aroma udara di dalamnya. Tetapi setelah berapa lama di dalam, lama-lama bau itu takkan terendus lagi oleh indera penciuman. Banyak orang saat mengamati kehidupan politik dari luar, mengatakan politik itu ‘kotor’ –penuh tipu daya, manipulasi, menghalalkan segala cara sambil mengharamkan sifat-sifat altruistik. Namun begitu seseorang ‘terbawa’ atau membawa diri masuk ke dunia politik, lama-lama yang dianggap ‘kotor’ itu tidak lagi betul-betul kotor dan bahkan pada akhirnya sanggup dikerjakan dengan nyaman tanpa rasa bersalah lagi.

Kehidupan politik Indonesia 2010, selain penuh pertengkaran, juga dipenuhi oleh ejek mengejek, termasuk dalam bentuk lelucon-lelucon sindiran lewat media SMS, Facebook, Twitter dan yang semacamnya. Namun tak kalah sering, kehidupan politik itu sendiri hadir sebagai lelucon yang belum tentu selalu lucu.

KARENA sedang menjadi Presiden, tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk tokoh yang paling sering jadi sorotan joke, sindiran sampai serangan politik. Dari yang agak enak sampai yang sangat tidak enak. Pasti SBY yang disasar ketika beredar luas sms tentang type kepemimpinan yang tidak mampu melakukan action namun hanya bisa acting. Katanya pemerintahan kita sekarang tidak sanggup menegakkan tata tertib melainkan hanya tata tutur.

Ada juga tudingan bahwa dalam soal TKW, pemimpin kita turun tangan, tapi soal Gayus Tambunan, lepas tangan. Lalu dalam soal Mafia Hukum cuci tangan. Ini tentu dihubungkan dengan hasil sidang kabinet beberapa hari lalu yang sangat memperhatikan masalah nasib TKW yang jadi korban penganiayaan di Arab (dan juga Malaysia). Mengenai soal Gayus jalan-jalan sampai ke Bali, Presiden memang menyuruh cari tahu siapa yang meloloskan dan untuk apa Gayus ke Bali, tapi ada pernyataan tambahan bahwa Presiden tidak dapat mencampuri urusan hukum.

Namun, dalam soal Gayus Tambunan yang bebas melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk jalan-jalan nonton ke Bali, tak pelak lagi Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yag dikenal sebagai Ical menjadi sasaran utama. Tampaknya sebagian pers giat mengarahkan bahwa kepergian Gayus ke Bali diatur oleh orang-orang Ical dan untuk bertemu dengan dirinya. Pasti dikaitkan dengan kecurigaan bahwa Ical akan merundingkan soal mafia pajak Gayus yang menyangkut penyelamatan perusahaan-perusahaannya. Padahal, perusahaan-perusahaan besar yang disebut-sebut terlibat skandal Gayus, bukan perusahaan Ical sendirian. Ada puluhan perusahaan yang juga disebut-sebut. Tetapi karena Ical adalah Ketua Umum Golkar, kesempatan emas ini digunakan beberapa politisi partai lain untuk memojokkan Ical. Pasti para politisi itu tahu bahwa keterlibatan Ical dengan Gayus sulit untuk dibuktikan. Bahkan tak mungkin sebagai pemilik perusahaan-perusahaan itu turun tangan sendiri mengurus soal pajak seperti itu. Kalau betul ada kejahatan pajak, pasti para eksekutif perusahaannyalah yang bertanggungjawab secara hukum. Bukan mustahil ‘pemilik’ samasekali tak mengetahui. Terkait pertemuan dengan Gayus di Bali, apakah pengusaha cerdas seperti Ical begitu bodoh turun tangan sendiri bertemu dengan Gayus? Tapi namanya politik, kapan lagi ada kesempatan seempuk ini untuk menghantam Golkar atau Ical pribadi?

Ada yang bilang sejumlah perusahaan besar yang namanya disebut-sebut terlibat, malah ikutan mendorong terjadinya serangan terhadap Aburizal Bakrie, mungkin untuk mengalihkan perhatian. Dalam suatu pertemuan, seorang politisi partai yang sudah disebut-sebut keterlibatannya dengan kasus gratifikasi/suap terkait skandal traveller cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan berapi-api mengomentari kasus Aburizal-Gayus. ‘Mental’nya kuat juga. Dan kemungkinan besar kulitnya juga tebal. Untuk sementara, Ketua Umum Golkar itu harus rela mengurut dada saja. Foto Gayus dengan wig yang tertangkap kamera wartawan berdekatan dengan seorang perempuan berjilbab saat menonton tennis di Bali, disulap. Wajah sang perempuan diganti dengan wajah Aburizal Bakrie. Foto itu beredar luas via HP dan internet. Ada-ada saja.

Seorang politisi lain mengedarkan lelucon, bahwa sejak foto Gayus memakai wig beredar, angka penjualan wig merosot drastis di kalangan kaum perempuan, tetapi meningkat di kalangan waria. WIG juga menjadi akronim bagi berbagai ungkapan yang kebanyakan serba konyol. Mantan anggota Kabinet periode pertama SBY, Fahmi Idris, bahkan membuat sebuah pantun tentang Gayus dan dikutip pers. Dan soal Gayus menangis di depan persidangan pasca Bali Tour, banyak yang bilang, bukan karena menyesali perbuatannya, tetapi menangisi pengeluarannya yang ratusan juta tanpa ada after sales service berupa jaminan keamanan kerahasiaan. Tetapi kejadian sesungguhnya, katanya, adalah Gayus menyesali diri kenapa tidak berhasil memperoleh wig dan topi model Mbah Surip. Menarik perhatian, tetapi lebih sulit dikenali.

KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan. Ada keberhasilan ‘pencerahan’ di dunia perlakonan.

65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia (4)

“Ternyata kemampuan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tidaklah setangguh seperti yang diharapkan rakyat sebelumnya. Ia menjadi ‘besar’ hampir sepenuhnya karena keberhasilan politik pencitraan. Waktunya masih ada, selama empat tahun ke depan, untuk membuktikan diri sesuai atau tidak dengan citra yang berhasil dibangunnya selama beberapa tahun ini. Untuk lima tahun pertama, masih tersedia kata maaf dan rasa pengertian, tapi tidak untuk lima tahun kedua”.

SEJARAH politik kontemporer Indonesia pada akhirnya memang menunjukkan betapa analogi ‘mulut buaya’ dan ‘mulut macan’ pada garis besarnya tidaklah keliru. Bahkan hingga sejauh ini, Indonesia berpengalaman dengan perulangan-perulangan sejarah berupa situasi lepas dari satu pemangsa dan jatuh ke pemangsa lain. Seakan sudah menjadi satu patron nasib yang baku. Setelah lepas dari satu kekuasaan ‘feodal Nusantara’, lalu jatuh ke tangan kaum penjajah. Bebas dari satu penjajahan tapi selanjutnya jatuh ke penjajah lainnya. Bahkan setelah penjajahan asing, pada akhirnya jatu ke ‘penjajahan’ baru justru oleh bangsa sendiri. Lepas dari cengkeraman satu rezim buruk, namun kemudian masuk lagi ke cengkeraman rezim lain yang tak kalah buruknya. Lepas dari satu eksperimen politik yang buruk, terseret lagi dalam satu eksperimen politik lain yang tak kalah buruknya.

Tak butuh rakyat cerdas. Sekedar nasib malang? Tentu ada sebabnya, yang mungkin terutama berasal dari dalam tubuh dan mentalitas bangsa ini sendiri, dan kesalahan dalam mengapresiasi nilai-nilai budaya, tradisi dan agama. Kesalahan atau ketidakmampuan mayoritas bangsa mengapresiasi nilai-nilai itu, tidak berdiri sendiri. Terjadi karena bangsa ini gagal menjadi cerdas dan atau dihambat untuk menjadi cukup cerdas. Para pemimpin –tepatnya para penguasa– negara dari waktu ke waktu, secara bergantian, ‘gagal’ mencerdaskan, yang untuk sebagian karena memang tak mau mencerdaskan bangsa.

Tatkala para pemimpin itu sedang melakukan perjuangan politik untuk mencapai ‘tahta’ kekuasaan negara, mereka merasa membutuhkan pencerdasan bangsa agar bangsa ini mampu ikut mengawal jalannya pengelolaan negara agar berjalan baik dan benar. Namun, serenta sudah berada di puncak kekuasaan, kebutuhan itu hilang. Suara rakyat tak dibutuhkan, karena yang lebih diperlukan dari rakyat adalah kepatuhan. Pengalaman empiris menunjukkan, memerintah dengan cara-cara otoriter lebih ‘mudah’ selama mampu membangun struktur kekuasaan itu dengan kokoh, lengkap dengan aparat represi yang andal (karena bersenjata dan punya otoritas yang kuat secara berlebihan). Lebih ‘mudah’ mengatur rakyat ‘bodoh’ tapi patuh, daripada yang cerdas namun kritis. Sejumlah pemimpin negara telah membuktikan diri sebagai ‘musuh’ kelompok mahasiswa dan kaum cendekiawan. Sistem yang otoriter lebih disenangi banyak kalangan kekuasaan daripada sistem yang demokratis –yang membolehkan keikutsertaan banyak orang dalam jalannya pengelolaan negara. Jadi, apa perlunya mencerdaskan bangsa, biarkanlah itu menjadi sekedar penggambaran cita-cita secara retoris.

Dua presiden pertama Indonesia, adalah dua tokoh yang memulai kekuasaannya dengan bekal idealisme membangun bangsa dan negara. Soekarno ingin membebaskan rakyatnya dari praktek de l’homme par l’homme oleh kolonialisme barat, tetapi kalah oleh tarikan kenikmatan kekuasaan demi kekuasaan daripada altruisme ketika berkuasa. Lalu tergelincir menjadi semacam diktator pada bagian akhir kekuasaannya, 1959-1965, namun harus ‘menderita’ kesakitan politik 425 hari karenanya, dalam suatu proses kejatuhan dihitung dari 11 Januari 1966 hingga selesainya Sidang Istimewa MPRS 12 Maret 1967. Soeharto yang juga memulai kekuasaannya dengan idealisme dan beban moral untuk memulihkan kerusakan sendi-sendi kehidupan bernegara 1959-1965, pun akhirnya tergoda dengan nikmatnya bius kekuasaan demi kekuasaan. Dan kemudan menjalankan lebih dari separuh masa kekuasaannya dengan tangan besi bersarung beludru.

SETELAH Soekarno dan Soeharto, tak lagi ada Presiden Indonesia yang bisa berada di posisi puncak kekuasaan dalam jangka waktu panjang, bahkan sekedar untuk menggenapkan satu periode normal sekalipun. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil merampungkan satu periode normal 5 tahun, dan kini telah menjalani satu tahun pertama dari masa kepresidenannya yang kedua. Semoga ia tak tergoda mencari jalan merubah ‘konvensi’ pasca Soeharto bahwa seorang Presiden Indonesia hanya boleh memerintah sebanyak-banyaknya dua periode, karena belum puas setelah merampungkan masa 5 tahun kedua kepresidenannya. Meskipun hasrat seperti itu, yang bisa diwujudkan melalui suatu amandemen baru terhadap UUD, telah menjadi topik dalam berbagai rumours politik yang dilontarkan terhadap dirinya, banyak doa yang mengiringinya, agar kekuatan moral dari dalam dirinya maupun kriteria-kriteria moral politik yang dituntut publik dari dirinya masih bisa menjadi faktor pencegah. Termasuk dalam cakupan doa ini, adalah adanya pengendalian hasrat dalam konteks pembentukan dinasti, baik itu menyangkut putera-puteranya, isterinya ataupun ipar(-ipar)nya. Pengecualian bisa terjadi, bila ada kualitas tertentu yang mampu menciptakan kelayakan objektif, yang bukan bersumber pada tindakan penokohan artifisial melalui penciptaan situasi berdasar manipulasi dan atau pemanfaatan kekuasaan sebagai incumbent.

Terlepas dari bisa dimanfaatkannya amandemen UUD sebagai pintu masuk ke kursi kepresidenan lebih dari dua kali, UUD hasil amandemen dalam bentuk dan isinya yang sekarang pada sisi lain merupakan dilema bagi para Presiden di masa sekarang dan di masa mendatang khususnya, dan pemerintahan sebagai lembaga  eksekutif pada umumnya. Masalahnya bukan terutama karena UUD hasil amandemen itu telah membatasi dengan ketat kekuasaan Presiden dalam sistem presidensial yang masih dianut, tetapi karena DPR yang adalah lembaga legislatif telah mendapat sejumlah wewenang baru yang untuk sebagian sudah masuk ke wewenang lembaga eksekutif. Sesudah trauma dengan dua kekuasaan masa Soekarno dan Soeharto yang terlalu kuat, kekuasaan para presiden kini diredusir sebanyak-banyaknya dan dialihkan ke legislatif, sehingga seakan-akan terjadi semacam kudeta terhadap kekuasaan eksekutif melalui jalur amandemen UUD.

Perubahan titik berat kekuasaan. Berikut ini kita mengutip dua point penggambaran Prof Dr Bagir Manan SH –mantan Ketua Mahkamah Agung– tentang perkembangan praktek ketatanegaraan setelah amandemen UUD 1945. Menurut Bagir Manan dalam pidato ilmiah pada Dies Natalis ke-53 Universitas Padjadjaran (21 September 2010), telah terjadi pergeseran kekuasaan dari Presiden ke DPR yang tidak sekedar menciptakan checks and balances, melainkan perubahan dari executive heavy menjadi legislative heavy.

Pertama, hak-hak parlementer yang dilekatkan kepada DPR, sangat mempengaruhi hubungan Presiden dengan DPR. Hak interpelasi, hak angket, dijadikan instrumen untuk ‘mengganggu’ penyelenggaraan pemerintah, bahkan dipergunakan untuk menyandera Presiden sampai-sampai menuju pada pemakzulan. Akibatnya, hubungan antara Presiden tidak terutama untuk menuju pencapaian tujuan bernegara, tetapi lebih sebagai power struggle untuk mendemonstrasikan keunggulan menuju berbagai akomodasi politik belaka. Keadaan menjadi lebih rumit, karena lemahnya parliamentary maturity. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “Presiden senantiasa dalam keadaan tersandera (political hostage) oleh kekuatan-kekuatan politik”.

Kedua, pengaruh kepada susunan pemerintahan. Calon Presiden terutama diusulkan partai yang memiliki wakil di DPR. Karena tidak ada partai yang memiliki kursi mayoritas mutlak, calon Presiden (dan Wakil Presiden) memerlukan dukungan lebih dari satu partai. Salah satu konsekuensi dukungan adalah kesediaan calon Presiden untuk berbagi kekuasaan dengan partai atau partai-partai pendukung, antara lain penempatan menteri-menteri sebagai wakil partai. “Sesuatu yang lazim dalam sistem parlementer, tetapi tidak lazim, bahkan tidak dikenal dalam sistem presidensil, seperti yang dikehendaki UUD 1945 (Pasal 4 ayat 1)”. “Presiden SBY secara resmi menyebut pemerintahannya sebagai pemerintahan koalisi atau kabinet koalisi. Secara konstitusional, susunan pemerintahan semacam ini –apalagi dengan sebutan koalisi– merupakan suatu constitutional anomaly. Meskipun kabinet ini tidak dapat dijatuhkan DPR, tetapi melekat berbagai penyakit dan kelemahan koalisi, seperti serba kompromi, tidak integrated, dan jadi arena koehandel (dagang sapi). Akibatnya pemerintahan tidak dapat berjalan maksimum, karena adanya kemungkinan rongrongan dari partai anggota koalisi”.

Alhasil, menurut Bagir Manan lebih jauh, apabila sebelum perubahan UUD 1945, disinyalir eksekutih terlalu kuat (too strong) dan DPR terlalu lemah (too weak), sekarang sebaliknya eksekutif lemah (weak executive) sedangkan DPR terlalu kuat (too strong). “Bukan itu tujuan checks and balances. Konsep checks and balances, dimaksudkan agar tidak ada yang too strong atau too weak. Melainkan berimbang”. Pengalaman pada dua masa kekuasaan lampau, di bawah Soekarno dan Soeharto, eksekutif yang terlalu kuat membawa kepada kediktaturan atau pemerintahan otoriter. Sebaliknya eksekutif yang lemah mengakibatkan pemerintahan yang tidak efektif. Kedua-duanya, “sama-sama akan mengakibatkan cita-cita mewujudkan kesejahteraan umum, kemakmuran, dan keadilan sosial makin jauh dari kenyataan”.

Berapa kuat dan berapa jauh DPR kita sekarang ini menerobos keluar jalur ketatanegaraan yang lazim dan wajar? DPR menerobos ke fungsi-fungsi lain di luar fungsi legislatif, sementara tugas membentuk undang-undang seakan terabaikan dan berjalan lamban tidak produktif. “Sebagian besar waktu dipergunakan untuk fungsi pengawasan dalam rapat-rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas kebijakan dan peristiwa-peristiwa yang semata-mata fungsi pemerintah, bukan fungsi parlemen. Bahkan terjadi pula keikutsertaan pada fungsi yang semestinya sebagai fungsi penegakan hukum, seperti pelaksanaan pemberantasa korupsi, atau peristiwa-peristiwa hukum lain”. Dalam bidang pemerintahan, “keikutsertaan DPR lebih intensif, sampai ikut dalam fungsi administrasi negara, seperti turut serta dalam masalah pertanahan, perubahan peruntukan lahan (perubahan fungsi hutan), pembentukan kabupaten, kota atau provinsi baru, pengangkatan jabatan-jabatan di bawah fungsi dan tanggung jawab Presiden seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri dan lain-lain”. Demikian pula “penerapan hak anggaran (hak budget), yaitu ikut serta menentukan anggaran yang semestinya hanya menjadi fungsi administrasi negara. Hak anggaran tidak lagi terbatas pada politik pendapatan dan belanja (beleid van ongvangsten en uitgaven), yang berkaitan dengan aspek manfaat (doelmatigheid) dan benar menurut hukum (rechtmatigheid), melainkan sampai perjalanan pelaksanaan (budget implementation). Sesuatu yang berlebihan”.

Lebih lanjut, kita juga ingin meminjam kesimpulan Bagir Manan, bahwa susunan pemerintahan yang ada sekarang, selain sangat nyata tidak sesuai dengan konsepsi UUD 1945, juga dapat dikatakan suatu sistem tanpa atau di luar sistem. “Kalau kabinet yang ada sekarang dianggap lamban atau terkesan seolah-olah penuh perhitungan, dapat dimengerti, karena senyatanya kepemimpinan tidak di satu tangan. Selain Presiden, jalannya pemerintahan sangat ditentukan oleh partai-partai pendukung dan pertarungan kekuasaan yang tidak henti-henti di dalam maupun di luar DPR, termasuk upaya mendapat berbagai konsesi dari Presiden (Pemerintah)”. Mungkin bisa ditambahkan bahwa keadaan menjadi lebih parah, karena ternyata kemampuan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tidaklah setangguh seperti yang diharapkan rakyat sebelumnya. Ia menjadi ‘besar’ hampir sepenuhnya karena keberhasilan politik pencitraan. Waktunya masih ada, selama empat tahun ke depan, untuk membuktikan diri sesuai atau tidak dengan citra yang berhasil dibangunnya selama beberapa tahun ini. Untuk lima tahun pertama, masih tersedia kata maaf dan rasa pengertian, tapi tidak untuk lima tahun kedua.

Amandemen kembali. Namun, di luar itu, dengan mengenyampingkan kekuatiran bahwa suatu amandemen kembali terhadap hasil amandemen UUD 1945 di awal masa pasca Soeharto, bisa digunakan untuk merubah ketentuan masa jabatan Presiden maksimal dua kali, secara objektif dapat dikatakan perlunya suatu amandemen kembali untuk betul-betul menyempurnakan UUD kita. Banyak yang harus diluruskan kembali termasuk mengenai posisi bagian pembukaan dalam naskah asli yang mengandung butir-butir Pancasila.

Tetapi barangkali, amandemen ulang itu tak bisa dilakukan semata oleh para anggota lembaga-lembaga legislatif kita, dengan cara-cara fait accompli seperti pada proses amandemen yang lalu, tanpa melibatkan masyarakat melalui pintu partisipasi yang luas, terutama keikutsertaan kalangan akademisi. Dan setelah ditemukan bentuk penyempurnaan kembali sesuai semangat para pendiri bangsa di awal kemerdekaan, dan secara kualitatif bisa dipertanggungjawabkan, agaknya suatu mekanisme referendum perlu dihidupkan lagi untuk mencegah UUD dirubah-rubah dengan begitu mudah berdasarkan selera dan kepentingan politik sesaat seperti yang telah terjadi.

Satu Lagi Drama SBY: Pembatalan ‘Last Hour’ Kunjungan ke Belanda

“Namun, apapun alasan sebenarnya dari pembatalan itu, segelintir orang yang mengaku RMS itu telah ‘memenangkan’ dan menikmati publikasi di hadapan publik Belanda dan publik internasional. RMS yang sudah sayup-sayup eksistensinya, dan seringkali dianggap bagai duri dalam daging bagi pemerintah dan masyarakat Belanda, kini kembali diperhatikan”.

MENGACU kepada etika diplomasi, tatakrama maupun hukum internasional, tentu sangat tak mungkin seorang Presiden dari suatu negara yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke suatu negara lain bisa ditangkap dengan alasan apapun. Sang tamu memiliki kekebalan atau imunitas berdasarkan konvensi internasional dan atau hukum internasional. Jadi seandainya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa siang (5/10) tidak membatalkan keberangkatannya ke Belanda, ia takkan ditangkap di sana. Kecuali pihak Belanda –eksekutif, legislatif dan judikatif– memang satu dalam seribu sengaja melanggar hukum dan etika internasional untuk suatu maksud tertentu yang tidak wajar, dengan segala risikonya. Tetapi apa untungnya bagi pemerintah Belanda?

Walaupun, misalnya, pengadilan Belanda sebagai lembaga judikatif yang mandiri mengabulkan tuntutan hukum kelompok RMS dan menyatakan Presiden RI itu bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM yang dituduhkan RMS, tetap saja takkan terjadi penangkapan. Pemerintah Belanda sendiri, yang sekarang ini tidak lagi mengakui dan tidak lagi memanjakan kelompok separatis RMS seperti halnya di masa lampau, telah menjamin keamanan Presiden SBY bila berkunjung. Pengadilan Belanda sebagai lembaga judikatif yang independen dari pengaruh eksekutif maupun legislatif, juga takkan mungkin mengeluarkan perintah penangkapan terhadap seorang kepala negara lain yang sedang berkunjung, karena tak dimungkinkan oleh hukum Belanda. Selain itu, tak mudah pula bagi Pengadilan Belanda mengabulkan suatu permohonan/tuntutan berkategori spekulatif dari elemen semacam kelompok RMS, karena independensi mereka mencakup pula aspek bebas pengaruh politik. Pada sisi Indonesia sementara itu, kalau dalam penanganan sisa-sisa RMS tahun-tahun belakangan ini, ada kesangsian internal di kalangan penegak hukum dan keamanan bahwa dalam penanganan itu (termasuk penahanan terhadap puluhan pengikut RMS) memang terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM, semacam guilty feeling begitu, barulah perlu cemas. Apa Presiden SBY pernah menerima laporan-laporan tentang tindakan-tindakan beraroma pelanggaran HAM, termasuk dalam penanganan berbagai masalah di Irian Barat (Papua)?

Sepanjang penuturan SBY sendiri pembatalan (atau sekedar penundaan?) keberangkatannya in last hour, bukan karena takut demo atau takut ancaman terhadap keamanan dirinya, melainkan demi kehormatan bangsa. Presiden berang, karena bertepatan dengan kedatangannya (6-8 Oktober) Pengadilan di Belanda menggelar sidang berdasarkan tuntutan yang diajukan sekelompok kecil warganegara Belanda dan elemen RMS, mengenai sejumlah pelanggaran HAM aparat keamanan Indonesia di Maluku dan Papua. Tokoh RMS Wim Sopacua mengaku mengajukan tuntutan itu, termasuk permohonan penangkapan, tapi tak meyakini kemungkinan dikabulkannya suatu penangkapan terhadap Presiden Indonesia. Di tahun 1985, sejumlah warganegara Belanda juga pernah mengajukan tuntutan penangkapan terhadap Presiden Bush bertepatan dengan kedatangan Presiden AS itu ke Belanda. Tuntutan itu ditolak. Ternyata, pada persidangan Rabu pagi 6 Oktober ini, Pengadilan Belanda juga menolak tuntutan untuk menahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kala berkunjung ke Belanda. Tetapi meskipun tuntutan itu ditolak, setidaknya RMS telah memperoleh suatu panggung internasional dengan keputusan pembatalan kunjung SBY ke Belanda in last hour. Kini, RMS kembali mendapat perhatian yang luas dari masyarakat Belanda dan masyarakat internasional, mengenai eksistensi RMS serta ungkapan mereka bahwa di Indonesia telah terjadi pelanggaran HAM di Maluku dan Papua.

Kenapa Presiden SBY harus berang oleh sesuatu yang berawal dari ulah segelintir keturunan Maluku yang separatis, yang di Belanda sendiri, nyaris tak dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya? “Yang tidak bisa saya terima adalah ketika Presiden RI berkunjung ke Den Haag atas undangan Ratu Belanda dan PM Belanda, saat itu digelar sebuah pengadilan yang antara lain untuk menuntut ditangkapnya Presiden RI”, ujar SBY kepada pers di Halim Perdanakusuma. “Sesuatu yang menyinggung harga diri bangsa Indonesia”. Perlu dicatat bahwa rencana kunjungan ke Belanda itu berdasarkan undangan Ratu Beatrix yang disampaikan dua tahun lalu, yang dianggap masih berlaku, meski belum pernah diperbaharui kembali oleh pihak Belanda.

KALAU kita mencoba menganalisis, tampaknya Presiden berang terutama karena pemerintah Belanda tidak mencegah Pengadilan untuk tidak menyidangkan tuntutan itu bertepatan dengan kedatangannya ke Belanda atau paling tidak menunda ke waktu sesudahnya. Tentu saja, berlebih-lebihan mengharap pemerintah Belanda di bawah PM Jan Peter Balkenende mengintervensi Pengadilan. Kalau di Indonesia, maaf, barangkali masih ada kemungkinan semua “bisa diatur”. Tetapi terlepas dari itu, bisakah nanti pemerintah mencegah kelompok die hard politik Islam misalnya, agar tidak berdemonstrasi saat Presiden AS Barrack Obama berkunjung ke Indonesia?

Pembatalan in last hour itu sendiri, tak bisa dihindari, memang telah menimbulkan kesan terlalu dramatis. Maka bisa dipahami bila beberapa pengamat mengatakan apa yang dilakukan SBY ini terlalu berlebihan. Beberapa yang lain menyebutkan ini sebagai blunder atau kegagalan diplomasi. Meski SBY mengedepankan alasan kehormatan bangsa, orang tetap cenderung menganggap SBY kena ‘gertak’ RMS dan gentar menghadapi apa yang akan dihadapinya di Belanda bila tetap datang. Namun, apapun alasan sebenarnya dari pembatalan itu, segelintir orang yang mengaku RMS itu telah ‘memenangkan’ dan menikmati publikasi di hadapan publik Belanda dan publik internasional. RMS yang sudah sayup-sayup eksistensinya, dan seringkali dianggap bagai duri dalam daging bagi pemerintah dan masyarakat Belanda, kini kembali diperhatikan.

Situasinya akan sangat berbeda bila pembatalan dilakukan lebih awal, setidaknya dalam hitungan hari disertai alasan dan atau argumentasi yang lebih ‘cerdas’, bukan dalam hitungan jam atau menit yang terkesan darurat. Manuver kelompok RMS itu sendiri bukan sesuatu yang mendadak, dan sebenarnya sudah terbaca sebelumnya melalui pemberitaan pers Belanda, meski tidak menyolok dan beberapa di antaranya bersifat sambil lalu saja. Tentunya, bila Presiden akan berkunjung ke suatu negara, Kementerian Luar Negeri dan intelejen negara, sudah lebih dulu bekerja mengumpulkan informasi dan menganalisa situasi dan segala kemungkinan. Termasuk mempelajari pengalaman Presiden Soeharto saat berkunjung ke Belanda September 1970 yang sempat didahului peristiwa pendudukan Wisma Duta RI oleh sekelompok RMS. Dan bilamana hasil analisa menunjukkan ada sesuatu yang berpotensi tak menguntungkan atau membahayakan, Menteri Luar Negeri dan Intelejen bisa memberikan saran penundaan kunjungan jika dianggap masalah tak bisa diatasi, yang sejauh mungkin menghindari kesan dramatis atau dramatisasi. Tetapi nyatanya, suatu drama(tisasi) terjadi. Pertanyaannya, apa saja kerja Kementerian Luar Negeri dan Intelejen kita?

Lingkaran Dalam Presiden, Mungkin Bukan Lagi Sekedar Kekhilafan

“Timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu”. “Reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Agaknya telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu”.

DALAM hiruk pikuk polemik pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi 22 September 2010 tentang keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supandji, pendapat advokat senior Adnan Buyung Nasution dapat dijadikan dasar jalan tengah untuk menghentikan silang sengketa yang bukan saja tidak produktif tetapi sudah cenderung ‘destruktif’. Walau menilai putusan MK itu tidak tepat, menurut Buyung, demi menghormati azas negara hukum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera menerbitkan Keputusan Presiden menetapkan Jaksa Agung baru. “Bisa tetap Hendarman Supandji atau orang lain”. Sebagai ahli hukum pemerintah dalam proses persidangan MK untuk kasus tersebut, Buyung sendiri menganggap Jaksa Agung bukan menteri, sesuai UU No. 39 tahun 2009 tentang Kementerian Negara. “Namun Presiden sebaiknya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi itu untuk memberikan keteladanan”. (Kompas, 25 September 2010).

Seperti biasa, Presiden lamban memberikan tanggapan dan tindakan. Barulah pada hari Sabtu 25 September ini, melalui Menteri Sekertaris Negara diumumkan keputusan presiden memberhentikan dengan hormat Hendarman Supandji dari jabatan Jaksa Agung dan menetapkan Wakil Jaksa Agung Darmono untuk melanjutkan selaku pelaksana tugas Jaksa Agung. Meskipun sedikit terlambat, bagaimanapun juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekali ini telah bertindak baik dan benar. Namun, tentu saja, seperti dikatakan Buyung Nasution, ini merupakan pelajaran mahal ke depan untuk bangsa ini.

Sebelumnya dalam dua hari ‘tanpa kepastian’, adalah Menteri Sekertaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus bidang Hukum Denny Indrayana yang lebih dulu tampil memberikan tanggapan, namun terkesan lebih berupa bagian dari suatu mekanisme defensif mereka berdua daripada berbicara untuk dan atas nama Presiden. Bahkan, pernyataan mereka serta Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar,  selain agak ‘mengecilkan’ juga terasa mengandung ‘perlawanan’ terhadap Keputusan MK yang diambil dalam sidang uji materi berdasarkan pengajuan Yusril Ihza Mahendra. Mekanisme defensif itu tampil mungkin karena memang mereka, sebagai lingkaran dalam Presiden, sedikit banyaknya ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya situasi Jaksa Agung tanpa SK pengangkatan baru untuk masa kepresidenan kedua SBY. Menurut pengamat dan praktisi hukum Refly Harun, “Ketika anggota-anggota kabinet lainnya diberhentikan dengan Keputusan Presiden Nomor 83/P tahun 2009, Hendarman dikecualikan karena pemikiran Istana pada waktu itu Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Hendarman terus menjabat dengan bekal keppres tahun 2007. Presiden tidak lagi mengeluarkan keppres baru”. Tapi, bisa juga, itu terjadi bukan berdasar suatu pemikiran, karena cukup kuat indikasi bahwa itu semua terjadi karena ‘lupa’ atau ‘lalai’ saja, bahkan bukan mustahil karena out of capability, mengingat bahwa selama ini telah terjadi begitu banyak kesalahan di Sekretariat Negara ataupun di kalangan staf lingkaran dalam Presiden.

Merupakan catatan bersama, telah terjadi kelambanan dan ketidakrapihan administrasi di lingkungan Sekretariat Negara dan Kepresidenan. Sejumlah institusi penegakan hukum mengeluhkan banyaknya keterlambatan surat izin Presiden untuk pemeriksaan pejabat negara dalam berbagai kasus dugaan korupsi. Jadwal penggantian pimpinan beberapa lembaga, seperti yang pernah dialami Komisi Yudisial, terulur karena terlambatnya surat-surat resmi yang harus ditandatangani Presiden. Dalam kaitan Komisi Yudisial, Presiden sampai harus mengeluarkan keppres memperpanjang masa jabatan komisi tersebut, yang menurut beberapa ahli hukum tatanegara merupakan pelanggaran konstitusi dan merupakan preseden berbahaya. Ada pula lembaga yang pimpinannya sudah memasuki usia pensiun, tetapi belum ditunjuk penggantinya, karena Keppres yang dibutuhkan belum kunjung datang. Belum lagi, salah atur protokoler. Kepala BKPM yang baru ‘ketinggalan’ tidak ikut dilantik saat Kabinet Indonesia Bersatu II sudah dilantik, namun terdaftar dalam rombongan Presiden dalam kunjungan Presiden ke LN beberapa hari kemudian. Seorang Wakil Menteri sudah diumumkan pengangkatannya, namun tak kunjung dilantik, untuk akhirnya secara tiba-tiba seorang lain diangkat dan dilantik sebagai Wakil Menteri. Kasus Anggito Abimanyu di Kementerian Keuangan. Nasib serupa, dialami dr Fahmi Idris, yang batal dilantik sebagai Wakil Menteri Kesehatan.

Sebelumnya, seorang calon Menteri Kesehatan sudah menjalani seluruh prosedur, termasuk test kesehatan, urung diangkat dan tiba-tiba yang dilantik seorang lainnya lagi sebagai Menteri Kesehatan. Sang calon menteri, Nila Moeloek, dianggap tak mampu bekerja dalam tekanan berdasarkan test psikiatri MMPI (Minnesota Multi Phasic Inventory). Padahal ia seorang ahli bedah mata yang sudah terbukti kecermatan dan kemampuannya bekerja dalam tekanan. Test MMPI itu sendiri, yang pertama kali dipakai terhadap prajurit-prajurit pada Perang Dunia I, selama bertahun-tahun tidak digunakan lagi di negara asalnya karena dianggap kurang akurat, dan bila digunakan, mutlak harus didampingi dengan test psikologi lainnya.

Dan last but not least, salah atur antrian pada acara open house Presiden di Istana saat lebaran lalu, telah mengambil korban jiwa seorang pengunjung. Bukankah sudah berkali-kali menjadi pengalaman di masyarakat bahwa suatu acara dengan adanya iming-iming pembagian uang –entah itu pembagian zakat, entah pembagian uang untuk maksud lainnya– akan selalu mengundang jubelan orang dan sangat riskan? Perlu pengaturan yang tidak asal-asalan.

MESKIPUN sudah diterbitkan suatu keputusan Presiden yang menunjukkan ketaatan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, tak mudah menghilangkan kesangsian yang muncul terhadap kapabilitas Menteri Sekertaris Negara dan para Staf Kepresidenan. Misalnya, jangan-jangan di Sekretariat Negara atau di lingkaran dalam Presiden memang tidak ada ahli hukum pidana dan tatanegara yang mumpuni. Atau lebih luas lagi, tidak dimiliki profesional atau para ahli mengenai administrasi negara dan atau pengelolaan pemerintahan secara menyeluruh, mengingat banyaknya kesalahan seperti dicontohkan di atas. Dan dengan demikian tak ada jaminan bahwa kesalahan-kesalahan baru takkan terulang lagi. Lama-lama bila kadar kesalahan makin tinggi dan makin intensif, bisa muncul pertanyaan, apa bukannya sang Presiden sendiri yang memang tidak sepenuhnya kapabel dan tidak memiliki pemahaman masalah yang mendalam? Lebih jauh, timbul kesangsian, bahwa ternyata untuk kesekian kalinya sepanjang pengalaman 65 tahun sebagai negara dan bangsa merdeka, kita belum juga berada di tangan yang tepat, baik dan benar. Sementara sebagai satu bangsa, kita pun harus mengakui, bahwa kita sendiri menjadi bagian dari masyarakat yang sedang mengalami sakit lahir batin karena kegagalan pembangunan sosiologis dari waktu ke waktu. Jadi, keadaan semakin parah.

TERLEPAS dari itu semua, meski masih merupakan kaitan rangkaian peristiwa, reaksi sejumlah petinggi Kejaksaan Agung yang umumnya adalah Jaksa Agung Muda, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan pernyataan Ketua MK Mahfud MD, sangat menarik untuk disimak. Terlihat bahwa kalangan Kejaksaan Agung sangat reaktif terhadap apa yang tampaknya mereka anggap intervensi terhadap lembaga yang kini dipimpin oleh seorang Jaksa Agung karier itu. Dikaitkan dengan pernyataan Persatuan Jaksa (Persaja) Indonesia yang tidak menginginkan seorang Jaksa Agung yang berasal dari eksternal lembaga itu, reaksi para petinggi Kejaksaan Agung itu memperlihatkan resistensi terhadap semua kemungkinan yang bisa menguak ‘ketertutupan’ Kejaksaan Agung selama beberapa tahun terakhir ini. Terbaca bahwa telah tercipta semacam status quo di tubuh institusi tersebut, yang berdasar kepada kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu, yang selama ini menjadi hambatan bagi institusi itu untuk tampil sebagai penegak hukum yang tangguh dan bersih seperti yang menjadi dambaan masyarakat.

Presiden sebagai penentu dalam penetapan siapa yang harus menjadi Jaksa Agung, harus cermat membaca situasi, bila ingin mereformasi Kejaksaan Agung menjadi institusi yang ideal. Dan, juga jangan lupa lebih memperbaiki lagi kualitas  manusia yang ada di lingkaran dalam kekuasaannya, tak terkecuali Sekretariat Negara. Pada akhirnya, tanggungjawab atas segala kesalahan di lingkaran dalam itu bagaimanapun juga pada instansi terakhir ada di pundak sang Presiden.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (4)

“Pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto”. “Suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang cukup fantastis”. “Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune”.

SEMESTINYA, dengan memiliki angka kemenangan mutlak satu putaran sebesar 60,8 persen –berdasarkan perolehan 73.874.105 suara pemilih– Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepresidenannya yang kedua tak perlu lagi memelihara sikap serba ragu menjalankan kebijakan-kebijakannya selaku Presiden dalam suatu sistem presidensial penuh. Kenyataannya, sejak awal SBY seakan lebih larut dalam pola permainan politik parlementer yang berhasil diciptakan partai-partai di parlemen. Apakah karena partai pendukung utamanya, Partai Demokrat, yang kendati melonjak tiga kali perolehan suaranya dalam pemilihan umum legislatif 2009, dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen, tetap saja tidak bisa membentuk mayoritas kerja di DPR? Apalagi sebelum memasuki Pilpres 2009, SBY sudah melakukan kompromi-kompromi dengan sejumlah partai politik Islam demi mewujudkan obsesi menang satu putaran.

Mungkin juga, obsesi itu tercampur aduk dengan rasa takut kalah bila ‘koalisi’ yang terbentuk memusat di sekitar Megawati/PDIP atau Jusuf Kalla/Partai Golkar, ditambah kehadiran dua tokoh yang juga berlatarbelakang militer, Prabowo Subianto dan Wiranto. Tetapi SBY diuntungkan oleh situasi, seperti kuatnya subjektivitas 4 tokoh pesaing, khususnya Megawati Soekarnoputeri dan Muhammad Jusuf Kalla. Bagaimana kalau dua tokoh itu tampil sebagai pasangan Capres-Cawapres dan bersamaan dengan itu kedua tokoh berlatar belakang militer tersebut bergabung dengan membuang sementara keinginan menjadi tokoh nomor dua apalagi tokoh nomor satu, mengingat rekam jejak masa lampau mereka yang bermasalah, dan mencukupkan diri dengan menduduki posisi penting di kabinet?  Selain itu bukankah mereka semua pada hakekatnya banyak memiliki dasar-dasar tujuan dan ‘ideologi’ yang hampir serupa?

Di atas kertas, bila semua partai politik dengan pengatasnamaan Islam, memiliki karakter yang kuat sepadan dengan ideal-ideal yang mereka canangkan selama ini, ‘koalisi’ yang tercipta dengan Partai Demokrat, sebenarnya jauh lebih musykil. Tetapi, sekali lagi SBY diuntungkan, karena pragmatisme demi porsi kekuasaan sedang kuat-kuatnya melanda elite partai-partai tersebut. Bagaimana kita bisa membayangkan sebelumnya, PKS yang tadinya dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid dengan satu citra keteguhan yang spesifik, bisa tiba-tiba berubah sedemikian lentur di bawah Tiffatul Sembiring. Bagaimana bisa membayangkan elite baru PKB Muhaimin Iskandar cs harus menyingkirkan Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh senior lainnya sebelum bisa leluasa menjadi sangat pragmatis demi sejumlah positioning pribadi. Dan bagaimana pula bisa membayangkan PAN yang identik dengan citra playmaker ala Amien Rais, kini sekedar menjadi salah satu tulang punggung pelayanan politik penguasa baru?

Apa yang sesungguhnya dikuatirkan? Namun, terlepas dari semua yang dipaparkan di atas, tetap menjadi tanda tanya besar, kenapa sebagai pemegang mandat dari 60 persen lebih suara rakyat, SBY senantiasa memperlihatkan sejumlah perilaku terkesan gentar terhadap berbagai hal dan berbagai pihak. SBY tak hanya lemah terhadap partai-partai ‘koalisi’ pendukungnya –termasuk Partai Golkar yang menjadi anggota setelah Pemilu Pilpres– tetapi juga kepada pimpinan-pimpinan sejumlah institusi yang bekerja di bawah kewenangannya. Bisa disebut dua contoh, seperti yang terkesan kuat di mata publik, yakni terhadap Jaksa Agung dan terutama Kepala Polri.

Ketika kedua tokoh penegakan hukum itu dan institusinya ramai dikecam karena dianggap melakukan penyimpangan tugas, SBY cenderung tak berbuat satu apapun, menindaki atau setidaknya menegur, melainkan beberapa kali justru ikut ‘mengeluh’ seperti layaknya anggota masyarakat biasa. Pengungkapan tentang adanya mafia hukum di tubuh Polri –dan demikian pula di Kejaksaan Agung– melalui cetusan whistle blower Susno Duadji dibiarkan ‘berjalan’ sendiri sebagai masalah internal Polri dan tidak dicermati kemungkinan bahwa cetusan itu mengandung kebenaran tentang kebobrokan di tubuh Polri. Bahwa mungkin saja Susno benar adalah ‘maling teriak maling’, tetapi yang diteriaki sebagai maling kan perlu juga ditelusuri? Karena yang berteriak adalah seorang jenderal polisi mengenai sejumlah jenderal polisi lainnya, jangan dibiarkan polisi juga yang memeriksanya. Mana mungkin ada hasilnya selain pengaburan masalah? Dan mana dorongan dari Presiden sebagai atasan para jenderal itu, agar ada pengusutan tuntas dan cepat sebelum terjadi hapus-menghapus jejak? Tidak ada. Satu lagi momentum untuk membersihkan Polri yang sudah tidak dipercayai mayoritas masyarakat, dengan demikian terlewatkan.

Soal rekening ‘gendut’ perwira Polri, juga terlewatkan begitu saja melalui suatu proses internal. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya muncul kesimpulan-kesimpulan yang sukses menunjukkan bahwa tak ada yang tidak beres dalam persoalan rekening para perwira itu. Ini juga mengingatkan kita kembali pada kasus beberapa tahun lalu tentang rekening fantastis seorang jenderal polisi yang nilainya satu triliun rupiah lebih, yang pada akhirnya juga tenggelam begitu saja. Persoalan yang sama, juga terjadi di lingkungan Kejaksaan Agung. Betul dan mungkinkah dalam kasus Arthalita Suryani dan jaksa Urip, permainan hanya melibatkan kedua orang itu sebagai duet? Mana orkestra lengkapnya dan mana dirigennya? Apakah begitu cintanya Arthalita kepada Syamsu Nursalim sehingga menggunakan uangnya sendiri untuk menyuap dalam rangka penyelamatan sang konglomerat? Padahal dalam momen yang sama terjadi dua peristiwa: Ada yang menyuap seorang jaksa, dan ada satu tim jaksa yang memutuskan suatu keputusan yang seakan ‘menghapus’ dosa kejahatan keuangan Syamsu Nursalim.

Dalam kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Samad Bibit Riyanto dan Chandra M. Hamzah, Presiden menggunakan Tim 8 untuk maju ke depan, lalu pada akhirnya sekedar ‘menghimbau’ agar Polri dan Kejaksaan Agung memperhatikan rekomendasi tim tersebut. Tidak mengherankan bila Tim 8 Adnan Buyung Nasution cs harus seakan melampaui panggilan tugasnya ‘bersitegang urat leher’ dengan Polri dan Kejagung, karena begitu samar-samarnya apa yang menjadi kehendak Presiden SBY yang sebenarnya dalam penyelesaian masalah. Hanya satu pesan yang bisa ditangkap, bahwa Presiden lebih suka bila kasus kriminalisasi KPK itu diselesaikan di luar jalur pengadilan, namun disertai embel-embel perangkai bahwa dengan itu bukan berarti Presiden ingin melakukan intervensi. Polri dan Kejagung menang dalam berpacu dengan waktu, sehingga kasus tersebut ‘berhasil’ di-P21-kan. Ibarat ikan yang sudah dicemplungkan ke panci penggorengan, pilihannya hanyalah digoreng cukup setengah matang seadanya atau digoreng garing sekalian sampai selesai. Kejaksaan Agung memilih jalan ‘setengah’, ikan yang sudah setengah garing diangkat dari panci dan dinyatakan penggorengan tidak dilanjutkan. Dikeluarkan SKPP dengan mencantum alasan tak lazim yaitu menambahkan alasan penghentian karena pertimbangan sosiologis, yang mudah untuk ditorpedo. Nyatanya, SKPP itu di pra-peradilankan dan ‘dikalahkan’ di Pengadilan. Ikannya dengan demikian, pindah ke panci penggorengan lain. Kini kasus itu baru mendekati tahap akhir dari suatu perjalanan hukum yang panjang, menanti hasil proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

Para jurubicara dan staf khusus Presiden berulang kali mencoba menjawab setiap ada tudingan, bahwa SBY bukannya lemah atau takut menegur Kapolri dan Jaksa Agung, melainkan karena tidak mau melakukan intervensi terhadap suatu proses hukum. Melakukan intervensi kekuasaan terhadap suatu proses hukum yang berjalan baik dan benar memang merupakan pelanggaran. Tetapi itu tidak berarti seorang Presiden tak boleh menegur bawahannya dan mengambil tindakan-tindakan bila melihat ada tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Setidaknya Presiden bisa bertanya mengapa ada kejanggalan dalam penanganan penegakan hukum, sehingga mendapat sorotan masyarakat misalnya, tanpa perlu mencampuri materi suatu perkara yang berada dalam wilayah posisi independen penyidik kepolisian dan jaksa penuntut. Polri dan Kejaksaan (Agung), adalah termasuk dalam lembaga eksekutif, berbeda dengan lembaga-lembaga peradilan yang merupakan lembaga judikatif. Tak mungkin Presiden dan para ahli hukum di sekitarnya tak memahami perbedaan intervensi terhadap aspek juridis dengan ‘intervensi’ atasan terhadap bawahan yang tak menjalankan kinerjanya dengan baik.

Lalu, pertanyaannya, kenapa Presiden begitu ‘lemah’ sehingga seringkali bahkan dianggap agak ‘gentar’, khususnya terhadap Polri/Kapolri. Apakah karena Presiden punya sejumlah titik lemah di hadapan Polri/Kapolri, yang tidak kita ketahui entah apa? Apakah titik lemah itu, misalnya, semacam jasa yang pernah diberikan Polri/Kapolri dalam kasus tuduhan money politics dan atau kecurangan perolehan suara salah satu putera Presiden, Baskoro, dalam Pemilu Legislatif yang lalu. Pertanyaan yang sama dengan sikap serba sungkan SBY terhadap partai-partai, padahal ia pemenang mutlak dengan angka 60,8 persen. Atau apakah sumber kegentaran itu adalah terkait keabsahan yang diragukan tentang kemenangan 60 persen dalam Pilpres yang menurut seorang mantan perwira intelejens militer seperti disebutkan dimuka, sebenarnya hanyalah 21-22 persen? Artinya, bila informasi itu terbukti benar, pemilihan umum presiden yang lalu, harus berlangsung dalam dua putaran, dan entah pasangan yang mana seharusnya tersingkir dari gelanggang. Kendati saat ini percakapan politik tentang permasalahan tersebut, belum mencuat ke tengah publik secara terbuka, ada baiknya bila ada klarifikasi lebih dini, untuk menjawab segala pertanyaan. Tak mungkin Presiden belum mengetahui informasi tentang hal itu. Tapi pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto.

Namun, terlepas dari adanya informasi tentang angka 60 persen yang diragukan itu, suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang berkategori cukup fantastis, untuk seorang yang sepopuler SBY sekalipun. Kenaikan suara untuk Partai Demokrat dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen di tahun 2009, suatu kenaikan dalam kelipatan tiga, pun cukup mencengangkan. Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune. Dan, memang kini tak diragukan lagi bahwa sejumlah kemenangan dengan angka tinggi pada beberapa pemilihan umum masa lampau memang adalah hasil dari satu rekayasa ke rekayasa lainnya.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (3)

“DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu”.

Tagihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. BILA pemberantasan korupsi disebutkan sebagai hutang moral kepada rakyat, tentu saja surat tagihan terbesar harus dialamatkan kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang berkuasa. Terutama, karena dalam beberapa tahun pertama masa kekuasaannya SBY amat banyak memanfaatkan retorika pemberantasan korupsi dalam politik pencitraannya. SBY juga sangat diuntungkan oleh kehadiran KPK, sebuah lembaga baru pemberantasan korupsi dengan sederet wewenang ekstra.

Beberapa ‘jurubicara’ politik SBY dari Partai Demokrat seringkali mendengung-dengungkan bahwa SBY lah Presiden yang misalnya paling banyak menandatangani surat izin pemeriksaan atas sejumlah pejabat –seperti gubernur dan bupati– yang menjadi tersangka perkara korupsi. Tetapi bersamaan dengan itu, terdapat tak sedikit keluhan dari kalangan instansi penegakan hukum, tentang kelambanan birokrasi kepresidenan dalam menangani proses surat izin tersebut. Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada maupun data dalam pemberitaan pers, terlihat bahwa intensitas rata-rata penanganan perkara korupsi besar masa kepresidenan SBY yang sudah berlangsung 6 tahun, masih kalah oleh masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya berlangsung dua tahun lebih. Namun secara menyeluruh kuantitas penanganan di masa SBY yang berdurasi 6 tahun tentu saja lebih besar. Di masa Abdurrahman Wahid penanganan perkara korupsi yang berdurasi dua tahun lebih, sepenuhnya dilakukan Kejaksaan Agung. Sedang di masa Susilo Bambang Yudhoyono peranan pemberantasan korupsi dilakukan terutama oleh KPK dan hanya sedikit oleh Kejaksaan Agung maupun Polri.

Penanganan korupsi di tingkat pengadilan pada masa Abdurrahman Wahid sangat terkendala dan merupakan fakta mencengangkan betapa sejumlah pengadilan justru menjadi kuburan bagi perkara-perkara korupsi. Sinergi KPK dengan Pengadilan Tipikor di masa SBY, dalam pada itu, menghasilkan penuntasan perkara korupsi yang lebih baik, walau angka rata-rata vonnis yang dijatuhkan pun hanyalah kurang lebih 2,5 tahun. Namun sebaliknya, sangat menonjol betapa pemerintahan SBY sangat royal dengan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Dengan segala remisi, pada umumnya para narapidana korupsi hanya menjalani setengah masa hukuman. Belum dihitung, berbagai cuti rekayasa, dengan berbagai alasan, entah berobat atau apa. Dengan demikian para koruptor sepertinya mendekam di penjara dalam tempo singkat saja yang ibaratnya hanya seumur jagung. Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, termasuk salah seorang narapidana korupsi yang menikmati masa sesingkat tanam jagung oleh akumulasi berbagai remisi.

Presiden SBY belum lama ini juga menciptakan satu preseden –sehingga menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan penegakan hukum– berupa pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi, bekas Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, dengan alasan kemanusiaan, karena menurut dokter, yang bersangkutan menderita sakit permanen. Ini meniru alasan almarhum Presiden Soeharto yang bisa lolos dari proses peradilan karena alasan sakit permanen. Kalau suatu ketika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menyembuhkan penyakit yang oleh sejumlah dokter berani disimpulkan sebagai sakit permanen –sementara para ulama meyakini bahwa semua penyakit bisa disembuhkan bila Allah menghendaki– tentu saja Syaukani akan digugurkan grasinya. Semoga Allah juga bermurah hati memulihkan ingatan orang-orang yang mendadak hilang ingatan tatkala terungkap keterlibatannya dalam perbuatan korupsi dan suap menyuap.

Meski harus diakui bahwa citra positif pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi sangat terangkat oleh sepak terjang KPK, terutama di masa lembaga itu ditangani oleh Antasari Azhar dan kawan-kawan, adalah pula di masa itu KPK justru mengalami hantaman dan penganiayaan dahsyat. Mungkin hanya suatu kebetulan, tetapi awal masa hantaman dan penganiayaan terhadap KPK, hampir bertepatan waktu dengan penanganan kasus Aulia Pohan dan kawan-kawan serta mulai disebut-sebutnya kasus Bank Century. Kedua kasus ini sangat dihubungkan dengan kalangan kekuasaan negara. Kasus Aulia Pohan dikaitkan, karena ia adalah besan Presiden. Sedang kasus Bank Century dianalisis terkait erat dengan effort penggalian dana untuk kepentingan biaya pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden. Dalam versi rumours di bawah permukaan, istana sangat kecewa dan marah terhadap sikap tak tahu diri Antasari Azhar dan kawan-kawan yang ‘berani-berani’nya menindaki Aulia Pohan. Tetapi pada permukaan, SBY menjaga sikap untuk tidak mencampuri apalagi intervensi dalam kasus perkara korupsi Aulia Pohan, sehingga tak terlihat adanya suatu situasi tarik menarik sehebat yang kemudian terjadi dalam kasus Bank Century.

Dalam satu analisa dan versi yang ekstrim, kasus Bank Century tergambarkan sebagai suatu kejahatan terhadap keuangan negara yang terkait dengan kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam kekuasaan negara. Dan yang dimaksud dengan kelompok tertentu di sini, adalah mereka yang sedang ikut memperjuangkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kali dan kali ini berpasangan dengan Dr Budiono sebagai Wakil Presiden. Momentum ketika Bank Century sedang mengalami krisis likuiditas karena manipulasi internal, dimanfaatkan oleh sejumlah petinggi Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk memberi bank tersebut posisi berpotensi memberi dampak sistemik yang membahayakan dunia perbankan Indonesia dan karenanya tak boleh tidak harus diselamatkan dengan mekanisme bail-out.

Entah sekedar suatu kebetulan, tetapi sungguh menarik bahwa Dr Budiono –yang kemudian diproyeksi sebagai calon Wakil Presiden– sudah lebih dulu diposisikan sebagai Gubenur Bank Indonesia setelah melepaskan jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai Gubernur Bank Indonesia, Dr Budiono menjadi kunci lahirnya kebijakan bail-out untuk Bank Century. Ada analisa bahwa sebenarnya dampak sistemik yang digambarkan adalah terlalu dibesar-besarkan secara artifisial, sekedar sebagai alasan bisa mengeluarkan dana talangan. Setelah dana talangan keluar –nyatanya kemudian mencapai 6,7 triliun rupiah– sebagian akan dialihkan sebagai dana politik yang diyakini bisa berangsur-angsur ‘dikembalikan’ dalam jangka waktu tertentu, yang sangat dimungkinkan bila kendali kekuasaan negara tetap ada di tangan. Bank Century sendiri akan diambil-alih dan disehatkan kembali melalui suatu program penyelamatan yang telah dirancang. Dan sangat diyakini bahwa penyehatan kembali itu bisa berhasil terkait dengan tingkat kemampuan teknis yang sudah disiapkan, selain bahwa kerusakan internal bank tersebut sudah terkalkulasi baik dan memang tidak separah yang digambarkan. Analoginya, bisul digambarkan sebagai tumor ganas.

Suka atau tidak, karena analisa dan versi ekstrim seperti itu telah menjadi bahan pembicaraan khalayak pada level tertentu, tentu saja harus ada jawaban berupa penuntasan penyelidikan dan penyidikan serta proses hukum lanjut terhadap kasus Bank Century. KPK yang tadinya mulai mempersoalkan keanehan di Bank Century dan telah menggerakan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan semacam audit investigasi yang menghasilkan penemuan sejumlah indikator ketidakberesan, kini dipertanyakan. Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla tatkala bertemu dengan Ketua Umum Golkar Ir Aburizal Bakrie dan sejumlah tokoh Golkar lainnya di hari kedua lebaran kemarin ini, mempertanyakan tenggelamnya kasus itu setelah KPK mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti adanya aspek korupsi dalam kasus tersebut. Terlepas dari ada tidaknya yang mempertanyakan, memang merupakan kenyataan bahwa pasca mengalami gempuran, KPK mendadak berubah bagai macan yang sudah tanggal seluruh gigi dan taringnya serta tumpul cakarnya. Betapa tidak, mantan ketuanya, Antasari Azhar masih mendekam dalam penjara menunggu kasasi dalam suatu kasus pembunuhan Drs Nasruddin Zulkarnain yang kebenarannya hingga kini masih menjadi kontroversi, sementara dua wakil ketuanya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih terkatung-katung proses hukumnya karena tuduhan menerima suap Anggoro-Anggodo.

Setelah terbentur-bentur, kini KPK sekedar main pinggir dengan menangani kasus-kasus yang tidak begitu ‘membahayakan’ diri, yakni memilih tersangka-sangka yang tidak punya hubungan langsung dengan titik sentral kekuasaan. Pilihan cenderung beralih kepada tersangka-tersangka yang secara politik berseberangan dengan pusat kekuasaan, seperti Panda Nababan dan kawan-kawan atau Paskah Suzetta yang sudah mantan menteri seperti halnya Bachtiar Chamsyah. Pada waktu yang sama, tokoh Partai Demokrat Allen Marbun belum ditindaklanjuti kasusnya. Dan yang paling menimbulkan pertanyaan, tentu saja adalah mengendapnya kasus Bank Century. Tampaknya para pimpinan KPK selain sudah tak bergigi dan tumpul cakarnya juga sekaligus mirip macan yang dipegang ekornya.

Keraguan terhadap angka 60 persen. DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Konon, bersumber pada seorang mantan tokoh intelejen militer, yang tentu saja kebenarannya masih harus diusut dan ditelusuri lanjut, karena masih menyerupai pantulan bola liar, angka kemenangan yang sebenarnya hanyalah sekitar 21-22 persen.

Berlanjut ke Bagian 4.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (2)

“Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu”.

BERBAGAI kelemahan yang tampil dalam pengelolaan pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dalam dua setengah tahun masa kekuasaannya, menjadi berkah pada momentum kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan Megawati dikonotasikan dengan berbagai tindakan tidak cerdas dan serba tak memberi harapan. Sejumlah BUMN yang strategis dan beberapa asset lainnya, meminjam bahasa rakyat sehari-hari, habis dijualin. Hasilnya juga tidak besar-besar amat, yakni US$ 533 juta. Dan meminjam lagi gerutu di masyarakat, pemerintahan Megawati yang katanya untuk wong cilik ternyata malah untuk kepentingan wong licik.

Pemberantasan korupsi dengan intensitas tinggi yang ditangani dua Jaksa Agung (tiga bila Marsillam Simanjuntak juga dicatat) di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, anjlog mendadak di masa Megawati Soekarnoputeri. Di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman –terlepas dari perbedaan apresiasi antara masyarakat dengan kalangan politik tertentu– sel-sel di rumah tahanan Kejaksaan Agung selalu penuh dengan tersangka korupsi. Sementara tampilnya Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung sempat makin mempertinggi harapan masyarakat, meskipun sayangnya masa jabatan Lopa berlangsung begitu singkat karena meninggal mendadak di Saudi Arabia, sehingga belum sempat menunjukkan prestasi gebrakan. Situasi kontras terjadi di masa Megawati, sel-sel rumah tahanan Kejagung nyaris selalu kosong. Jaksa Agung MA Rahman malah lebih direpotkan dan tersita waktunya untuk menangkis serangan-serangan terhadap integritas pribadinya.

Megawati juga menciptakan gap komunikasi yang lebar dengan kelompok generasi muda, khususnya kelompok mahasiswa. Mengenai Megawati, kita perlu meminjam sebuah pemaparan dalam buku Menyilang Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) berikut ini. Selama berkuasa, Megawati memperlihatkan kecenderungan sikap anti intelektual yang mengkhawatirkan. Praktis ia tak punya akses komunikasi yang berarti –dan memang ia tidak berusaha menjalinnya– dengan kalangan perguruan tinggi, dengan kalangan cendekiawan maupun mahasiswa. Kelompok mahasiswa menjadi salah satu kekuatan utama penentangnya. Padahal, ia tiba ke posisinya dalam kekuasaan, sama sekali tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang membuat Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila Megawati memiliki trauma dengan mahasiswa –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan kekuasaan Soekarno sang ayahanda– maka semestinya ia memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Tetapi trauma terhadap tentara itu tampaknya tidak dimilikinya. Ia bahkan memberi banyak konsesi terhadap tentara ‘masa kini’ –yang menjauhkan pemerintahannya dari citra pemerintahan sipil yang ideal sebagaimana yang awalnya diharapkan dari PDIP– dan pada waktu bersamaan ia kelihatannya tetap traumatis terhadap mahasiswa ‘masa kini’. Apakah persoalan pokoknya adalah bahwa Megawati tidak menyukai gaya kritik ala mahasiswa? Sementara sebaliknya tentara ‘masa kini’ tak pernah mengeritiknya dan malahan aktif melakukan pendekatan pada dirinya. Mungkin juga, pada dasarnya, seperti halnya dengan Soekarno di masa-masa terakhir kekuasaannya, Megawati memang tidak menyukai kritik.

SBY, jalan tengah. TATKALA Susilo Bambang Yudhoyono tampil dan maju ke Pemilihan Umum Presiden 2004 ia sudah tercitrakan dengan baik di tengah publik yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada kepemimpinan nasional. Abdurrahman Wahid kandas, Megawati menciptakan anti klimaks. Dua tokoh sipil –tiga, bila BJ Habibie ikut dihitung– dianggap gagal memimpin negara di saat ekspektasi masyarakat sedang tinggi. Kendati masih bisa diperdebatkan, sebuah kesimpulan tercipta, bahwa kalangan sipil tetap belum siap memimpin negara. Meskipun trauma terhadap kepemimpinan nasional berlatar belakang militer ala Soeharto masih cukup kuat, sebagian orang toh kembali menoleh kepada tokoh-tokoh berlatarbelakang militer. Jenderal Wiranto coba tampil, tetapi beban dari sejarah masa lampaunya di masa Soehartodan sesudahnya, terlalu berat. Dan menjadi pertanyaan, sebagai orang yang berlatar belakang militer kental, mampukah ia menyesuaikan diri dalam pergaulan politik civil society dalam konteks supremasi sipil yang merupakan tuntutan keadaan? Sementara itu, tokoh-tokoh sipil dari partai semacam Hamzah Haz, bahkan Amien Rais, tak berhasil meraih kepercayaan publik. Amien Rais yang sempat berkibar di awal reformasi, sebenarnya adalah tokoh sipil paling berpeluang. Tetapi, pernyataannya yang terlalu banyak –untuk tidak mengatakannya berlebih-lebihan dan kontroversial– dan sering tergesa-gesa hingga dinilai gegabah, justru menimbulkan kesangsian: Ke arah mana ia mau membawa negeri ini?

Jalan tengah ditemukan pada diri Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal staf yang banyak berkecimpung menangani bidang sospol, sangat minim kiprahnya dalam tugas lapangan yang biasanya sarat pengalaman kekerasan, pelanggaran HAM dan benturan dengan sipil. Malah, sebaliknya, dua kali mengalami penganiayaan politik di dua masa pemimpin sipil, padahal ia termasuk kategori militer santun yang tak terbiasa berbicara dengan bedil. Ia pun berlatar belakang akademis memadai –doktor dari Institut Pertanian Bogor– dengan tutur bahasa Indonesia yang baik dan bertatakrama. Berbicara mengenai demokrasi secara memadai, meski ada juga yang merasa ia agak snob dalam kehidupan dan langgam akademisnya. Belum pernah ketahuan keterlibatannya dengan korupsi, menantu seorang jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang dicintai rakyat pada masanya. Baru sekarang ini, punya rumah pribadi yang besar, di Puri Cikeas. Keadaan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 itu masih sesuai betul dengan apa yang pernah dikatakan oleh Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo saat menjadi Gubernur Akabri kepada para Taruna di tahun 1973, “Kalau kau mau menumpuk kekayaan, lebih baik kau keluar dan tanggalkan baju hijau”. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono adalah Taruna tingkat akhir yang akan lulus tahun itu dan kebetulan menjadi Komandan Taruna. Kalau ada sedikit pertanyaan dalam rekam jejak Susilo Bambang Yudhoyono, maka itu adalah ‘kehadiran’nya sebagai Kastaf Kodam Jaya di ‘lapangan’ saat terjadi Peristiwa 27 Juli, penyerbuan kantor DPP PDI, setahun sebelum berakhirnya masa kekuasaan Soeharto Mei 1998. Tapi untuk ini, Jenderal Sutiyoso atasannya saat itu, sudah memberikan pembelaaan mati-matian bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tak terlibat dan karenanya tak perlu ikut bertanggungjawab.

Seraya menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai The Populist General, majalah internasional yang cukup terkemuka Far Eastern Economic Review, Juli 2004, mencoba mencatat dan mengurai Why Indonesians Think This Man Can Save Their Country. Menurut media tersebut, Sang Jenderal mendominasi opini dalam berbagai jajak pendapat menjelang Pemilihan Umum Presiden yang untuk pertama kali akan dilakukan secara langsung itu. Jenderal yang meminta pensiun lebih awal ini, menikmati dukungan yang luas, yang nanti terlihat melebihi dukungan yang diperoleh oleh partai pendukung utamanya, Partai Demokrat yang baru berkiprah di tahun 2004 itu. Para pemilih sangat concern terhadap pengendalian inflasi, perbaikan perpajakan, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan kriminal dan korupsi. Dan para pemilih sangat berharap sang pemenang akan mampu menjawab itu semua segera dan untuk jangka panjang memperbaiki perekonomian secara keseluruhan.

Susilo Bambang Yudhoyono ada di urutan teratas dalam perspektif pengharapan itu. Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sementara itu, mengatakan bahwa prioritas kebijakan ekonominya adalah penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan membangun kembali infrastruktur. Rachmat Witoelar, bekas Sekjen Golkar yang menjadi salah seorang pemimpin informal kampanye SBY, mengatakan “Kita akan berusaha menjadi lebih populist”. Dan, akan berupaya “mencitrakan secara kuat SBY sebagai presiden milik rakyat, bukan presiden milik partai”. Adalah Rachmat Witoelar ini yang berperan utama untuk menyandingkan SBY dengan Muhammad Jusuf Kalla, seorang pengusaha terkemuka dari Sulawesi Selatan, sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden di tahun 2004 itu. Setelah berhasil menjadi Wakil Presiden, kelak Jusuf Kalla bisa merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009 mengalahkan Akbar Tandjung. Tak lain karena Golkar memang masih didominasi oleh kaum ‘pragmatis’, yang gamang bila berada di luar lingkaran kekuasaan.

Adalah menarik bahwa bila diperiksa kembali, banyak calon yang maju dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004, pada mulanya tak terlalu intens menyinggung masalah pemberantasan korupsi, bahkan ada yang menyentuhnya dalam kadar yang amat minim. Namun karena ada umpan arus bawah yang kuat dari publik, isu pemberantasan korupsi itu naik kadarnya dalam kampanye-kampanye. Tetapi sejauh yang bisa dicatat tak pernah ada suatu konsep yang kuat, jelas dan rinci, mengenai apa dan bagaimana pemberantasan korupsi itu akan dilakukan. Ucapan-ucapan yang ada hampir sepenuhnya ada dalam kemasan retorika belaka, sampai melimpah ruah. Barangkali karena itulah kemudian, setelah pemilihan umum usai, dalam kenyataan pemberantasan korupsi pun tercecer ke sana ke mari. Namun dalam klaim, semua pihak, baik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan, seakan berlomba. Faktanya, KPK misalnya terseok-seok oleh berbagai gempuran, Polri dan Kejaksaan Agung maupun Badan-badan Peradilan seakan tak tersentuh untuk bisa dibenahi. Partai yang berkuasa dalam pemerintahan maupun yang ‘berkuasa’ di parlemen, sama-sama berhutang moral kepada rakyat dalam pemberantasan korupsi serta penegakan hukum dan keadilan.

Berlanjut ke Bagian 3

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (1)

“Diceritakan pula di belakang layar politik, bahwa Nyonya Sarwo Edhie Wibowo –ibu mertua SBY– lah yang termasuk paling ‘tersinggung’ atas perlakuan puteri sulung Soekarno dan suaminya itu, terhadap sang menantu. Ia ini lalu mendorong suami puterinya itu untuk sekalian maju saja sebagai calon presiden menyaingi Megawati Soekarnoputeri”.

DALAM sejarah politik kontemporer Indonesia sejauh ini, agaknya belum ada yang bisa menandingi succes story Susilo Bambang Yudhoyono dalam menggunakan ‘politik’ –dalam tanda kutip– pencitraan sebagai senjata untuk membentuk popularitas guna meraih posisi kepemimpinan negara. Mengandalkan politik pencitraan, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan Pemilu Presiden secara langsung yang diselenggarakan untuk pertama kalinya di tahun 2004. Dan kendati bukannya samasekali tak pernah menghadapi sejumlah tanda tanya mengenai kualitas kepemimpinan dan kemampuannya yang sebenarnya mengelola kekuasaan pemerintahan negara, dengan senjata politik pencitraan SBY sekali lagi berhasil memenangkan Pemilu Presiden Indonesia untuk kali kedua di tahun 2009. Hanya dalam satu putaran, walau terkesan sedikit ‘dipaksakan’.

Namun kini, di tahun 2010, di tahun pertama masa kepresidenannya yang kedua, kurva popularitas sang Presiden seakan-akan tiba pada satu titik patah di garis menanjak. Ada kecenderungan penurunan, entah bersifat sementara, entah pula akan menjadi awal dari satu proses menukik. Apakah ‘politik’ pencitraan SBY kehabisan baterai atau memang tak ampuh lagi dan dikalahkan berbagai keterpelesetan sikap dan kata dari sang Presiden maupun oleh para pengikutnya tatkala bersentuhan dengan publik? Perilaku para pengikutnya di lingkaran dalam ataupun di lingkaran kedua, juga sangat berpengaruh tapi dengan arah terbalik dalam pencitraan, terutama bila yang tampil itu adalah –meminjam ucapan-ucapan yang mulai terdengar di masyarakat– ‘badut-badut’ politik. Entah ‘membadut’ dengan perkenan sang Presiden dan atau Pembina Partai, entah murni inisiatif akrobatik pribadi tanpa sepengetahuan ataupun tanpa izin.

Terlepas dari itu, ‘politik’ pencitraan itu sendiri bukanlah sebuah alat konstruksi untuk membangun suatu fundamen permanen bagi berdirinya sebuah bangunan kepemimpinan yang sebenarnya apalagi bagi sebuah bangunan kekuasaan. Karena, ‘politik’ pencitraan pada hakekatnya hanyalah pencipta gumpalan busa yang memang bisa membuat sesuatu mengambang, tapi hanya untuk beberapa saat sebelum gelembung-gelembungnya pecah satu persatu. ‘Politik’ pencitraan tak lebih semacam mekanisme hidrolik yang berguna untuk keperluan-keperluan mengangkat ke atas (atau menurunkan) sesuatu dalam momen tertentu saja sesuai kebutuhan sesaat-sesaat. Tak mungkin pencitraan berfungsi terus menerus menopang satu kepemimpinan, apalagi sekedar dengan polesan kata-kata iklan, karena kepemimpinan adalah ‘ketrampilan’ pengelolaan yang secara objektif harus mampu menghasilkan produk-produk nyata dan kasat mata, yang bisa diukur dan dirasakan kegunaannya.

Memang menarik juga bahwa selama enam tahun di puncak kekuasaan negara, SBY tak kenal lelah menggunakan ‘politik’ pencitraan itu untuk mengambang. Tentu saja SBY tak sendirian dalam ‘politik’ pencitraan. Para pemimpin lain, termasuk anggota-anggota lembaga legislatif maupun calon-calon pimpinan daerah yang turut serta dalam Pemilu Kepala Daerah juga pengguna ‘politik’ pencitraan. Mungkin ini semua ibarat deterjen bertemu air, karena sebagian besar masyarakat kita memang masih mudah terpesona oleh buih dan busa kata-kata. Berkali-kali menjadi korban janji para pemimpin tetapi tetap saja percaya kepada janji-janji baru. Tapi memang SBY adalah pengguna terkemuka dalam ‘politik’ pencitraan.

Ketika pada pekan pertama bulan September ini terpublikasikan dua hasil survey dan atau polling pendapat yang menunjukkan adanya penurunan popularitas dan tingkat kepuasan terhadap SBY dan pemerintahannya, dengan angka-angka cukup tinggi meskipun tetap berkisar pada level prosentase di atas 50 persen, mulai beredar rumours politik tentang adanya keinginan untuk mengakhiri sudah kepresiden SBY di tengah jalan sebelum tahun 2014. Bahkan secara terbuka, mantan Wakil Presiden, Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno menganjurkan SBY untuk mundur saja. Survey dan polling itu dilakukan sekitar pertengahan Agustus yang baru lalu. Bila dilakukan setelah Presiden memberikan pernyataan dan gerak tanggap tidak memuaskan dalam kasus insiden penangkapan petugas patroli KKP oleh Polis Diraja Malaysia, mungkin saja angka-angka tingkat ketidakpuasan lebih tinggi lagi.

Sindrom para korban dan wahyu kekuasaan. TATKALA muncul untuk melangkah pertama kali ke gelanggang kontestasi kekuasaan, SBY memiliki satu modal situasional yang amat berharga –dan sangat ampuh dalam situasi psikologis masyarakat pasca kekuasaan Soeharto, yang amat sensitif dan sangat cenderung bersimpati kepada para korban penganiayaan politik. Cerita bahwa Susilo Bambang Yudhoyono sedang teraniaya, padahal ia orang baik, santun dan lurus sejarah hidupnya, bagaikan suatu kekuatan magis yang memberikan dampak luar biasa. Simpati mengalir dari mayoritas masyarakat yang hidupnya memang penuh pengalaman pahit sebagai korban kekuasaan dari waktu ke waktu. Modal situasional yang sama pernah jatuh ke telapak tangan Megawati Soekarnoputeri, bagaikan kunci pembuka pintu wahyu kekuasaan, setelah tercitrakan sebagai tokoh korban penindasan Soeharto dan para jenderalnya. Dalam hal Susilo Bambang Yudhoyono, ‘penganiayaan’ politik itu justru datang dari korban ‘penganiayaan’ politik dari episode politik sebelumnya.

Kisah ‘penganiayaan’ politik yang dialami SBY, yang di bawah pemerintahan Megawati adalah Menko Politik dan Keamanan, sampai ke publik sebagai satu melodrama yang mengharukan. Tergambarkan betapa SBY mengalami tekanan tirani kata-kata yang berkali-kali dilontarkan secara terbuka oleh Taufiq Kiemas suami sang Presiden. Disusul pengucilan oleh Megawati sang Presiden, dengan cara tidak diajak lagi dalam beberapa rapat kabinet, sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kabinet. Namun sesungguhnya kisah putus hubungan ini menarik, karena sebelum Taufiq Kiemas mulai ‘mencerca’ SBY, justru pernah ada percobaan untuk bersanding antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004. SBY siap dan agaknya memang telah mempersiapkan diri menjadi Wakil Presiden mendampingi Mega. Kurang lebih SBY sudah menganggap bahwa itulah yang terbaik dan tertinggi yang bisa dicapainya per saat itu dalam kehidupan politik dan pemerintahan.

SBY yang di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid juga menduduki posisi Menteri Politik dan Keamanan, adalah satu di antara 7 menteri yang terlibat dalam inisiatif ‘mendamaikan’ ketidakcocokan politik antara Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri semasa mereka berdua menjadi pimpinan negara. Tetapi usaha itu tak berhasil (Lihat, 65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia, juga di blog sociopolitica ini, Agustus 2010). Menjelang kejatuhan Abdurrahman Wahid, hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Abdurrahman Wahid memburuk yang berakhir dengan terlontarnya jenderal berbintang tiga ini dari barisan kekuasaan Abdurrahman Wahid. Posisi Menteri Polkam yang ditinggalkan diisi oleh jenderal bintang tiga lainnya, Agum Gumelar, yang semula menjabat Menteri Perhubungan. Tampaknya ‘terbuangnya’ SBY dari lingkaran Abdurrahman Wahid ini membuat hubungan SBY lebih dekat dengan Megawati yang kala itu adalah Wakil Presiden. Tatkala kemudian Abdurrahman Wahid turun dari kursi kepresidenan karena impeachment setelah mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan Golkar, Megawati naik menjadi Presiden didampingi Hamzah Haz. Susilo bambang Yudhoyono direkrut kembali ke dalam kekuasaan pemerintahan oleh Megawati Soekarnoputeri dengan posisi yang sama dengan sebelumnya.

Taufiq Kiemas dikabarkan pada dasarnya tak menyetujui SBY sebagai calon alternatif pendamping Mega. Ketika akhirnya Megawati pun ikut memperlakukan SBY secara tak nyaman karena beberapa sebab, patahlah sudah rencana tampil bersama dalam Pemilihan Umum 2004. Agaknya ada berita yang sampai ke Taufiq Kiemas, dan kemudian lanjut ke Megawati, bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tak hanya sekedar berkeinginan menjadi Wakil Presiden, namun sebenarnya mengincar posisi lebih tinggi, sebagai Presiden Republik Indonesia. Jadi, kalau begini, tentu sudah lain ceritanya bagi puteri dan menantu Soekarno itu.

Diceritakan pula di belakang layar politik, bahwa Nyonya Sarwo Edhie Wibowo –ibu mertua SBY– lah yang termasuk paling ‘tersinggung’ atas perlakuan puteri sulung Soekarno dan suaminya itu, terhadap sang menantu. Ia ini lalu mendorong suami puterinya itu untuk sekalian maju saja sebagai calon presiden menyaingi Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden tahun 2004. Tiga puluh sembilan tahun sebelumnya, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, guru dan ayah mertua Susilo Bambang Yudhoyono, tampil sebagai pemimpin operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965 yang berlanjut menjadi proses penumbangan kekuasaan Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 2

Partai Politik dan Perombakan Struktur Politik di Indonesia (1)

Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. Kita bina partai yang masih baik.

SETELAH sebelas tahun berada dalam sistem multi partai pada kehidupan politik yang hiruk pikuk, kini para pelaku politik di Indonesia seakan gerah sendiri. Beberapa waktu belakangan ini muncul gagasan-gagasan untuk menyederhanakan jumlah partai. Dimulai dengan wacana meningkatkan ambang batas electoral threshold, dari 2,5 persen pada pemilu yang lalu menjadi 5 persen di waktu mendatang, disusul beberapa gagasan penyederhanaan jumlah partai. PAN melontarkan gagasan Konfederasi Partai dengan mengajak sejumlah partai yang tak berhasil memperoleh kursi di DPR. Pada sekitar waktu yang sama, Partai Golkar menggagas fusi antar partai. Dan terbaru, wacana Partai Demokrat untuk melakukan asimilasi di antara sejumlah partai. Partai yang memperoleh suara terbanyak kesatu dalam Pemilihan Umum yang baru lalu itu menyampaikan ajakan berasimilasi kepada beberapa partai non kursi DPR, dan tentu saja berada di luar Sekertariat Gabungan Partai Koalisi.

Dari puluhan partai politik yang ikut Pemilihan Umum 2009 yang lalu, hanya 9 partai yang berhasil memperoleh kursi DPR. Tak ada pemenang mutlak yang mampu memiliki mayoritas kerja di DPR, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan ‘takut’ memerintah tanpa kompromi dengan partai-partai lain di luar Partai Demokrat. Lima partai –Partai Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP– bergabung dengan Partai Demokrat dalam suatu koalisi dengan harapan pemerintahan SBY memperoleh satu mayoritas kerja di DPR. Situasi kompromis dan pemilu DPR tanpa peraih suara mayoritas ini memberi aroma rasa parlementer dalam kekuasaan negara, meski secara formal dinyatakan bahwa yang kita anut adalah sistem kekuasaan presidensil.

Dalam pemilihan-pemilihan umum lainnya pasca Soeharto di tahun 1999 (diikuti 48 peserta) dan 2004 (diikuti 24 peserta), juga selalu hanya sedikit yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Dan setiap kali akan dilaksanakan pemilihan umum, selalu bermunculan ratusan partai, namun sebagian terbesar tak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum.

Memang ada ketentuan electoral threshold, yang menggugurkan partai-partai yang tak memenuhi ketentuan minimal perolehan suara, namun setiap pemilu akan diselenggarakan tak ‘kapok-kapoknya’ orang mendirikan partai baru lagi yang untuk sebagian sebenarnya adalah hasil sulapan atau daur ulang dari partai-partai pemilu sebelumnya. Semangat untuk berpisah lalu berdiri sendiri memang menggebu. Tak beda dengan semangat untuk membuat propinsi atau kabupaten baru. Asal ada perbedaan ‘etnis’ dan atau kesukuan ataupun alasan lain untuk membedakan diri, sudah cukup menjadi alasan mendirikan propinsi atau kabupaten baru. Untuk proses itu dipilih nama yang bagus, yakni ‘pemekaran’, bak kembang saja, meskipun tak semua daerah hasil pemekaran itu berhasil semerbak mewangi. Jangankan daerah hasil pemekaran, propinsi atau kabupaten asli saja, banyak yang mengalami kemunduran dan atau kegagalan di berbagai sektor. Tetapi terlepas dari itu, sedikitnya telah terpenuhilah hasrat jangka pendek ‘biar kecil asal jadi raja’ di kalangan penggagas atau pemrakarsa daerah pemekaran.

Fakta empiris menunjukkan bahwa di banyak negara yang demokrasinya berjalan baik, jumlah partai cenderung lebih sederhana, sehingga demokrasi menjadi lebih efektif dan efisien. Di Amerika Serikat hanya ada dua partai besar dan meskipun tak pernah ada larangan adanya partai lain di luar yang dua itu, tetapi rakyat pemilih membuka ‘peluang’ hanya bagi dua partai yang berbeda bukan berdasarkan ideologi politik melainkan berdasarkan keunggulan program.

Dan di Indonesia, belajar dari pengalaman Pemilihan Umum 1955 yang demokratis namun kurang efisien dan efektif, sejumlah kaum pembaharu senantiasa muncul dengan gagasan kepartaian yang sederhana secara kuantitatif namun memiliki tampilan tinggi secara kualitatif. Upaya itu kerap disebut sebagai pembaharuan politik dan bahkan pasca Soekarno disebut sebagai perombakan struktur politik. Gerakan perjuangan perombakan struktur politik –yang tak terlepas dari proses pembaharuan Indonesia pasca Soekarno– telah mempertemukan sejumlah orang yang kepalanya penuh ‘angan-angan’ idealistik di suatu jalur yang sebenarnya kerap melawan arus.

MENURUT catatan Dr Midian Sirait, sepanjang pengenalan terhadap orang-orang yang menjadi pelaku dalam kehidupan politik Indonesia, terdapat beberapa hal yang agaknya terluputkan, yakni mereka –para pelaku politik itu– kurang melihat struktur dan sistem politik yang akan dituju. Di antara para tokoh dalam sejarah politik, Bung Karno banyak dikagumi. Ia selalu menyebutkan, kita harus mengadakan revolusi. Dan revolusi ia sebutkan sebagai suatu inspirasi raksasa dalam sejarah yang merubah situasi. Inspirasi itu sendiri, kata Bung Karno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. “Saya kagum, walau tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, bagaimana proses sadar dan bawah sadar itu bertemu? Bung Karno sendiri tak pernah memberikan penjelasannya, sebagaimana iapun tak pernah menjelaskan struktur dan sistem yang akan dituju melalui pengobaran revolusi”.

Bung Karno semakin terbenam dalam ‘proses’ mengambil kekuasaan untuk dirinya. Pemusatan kekuasaan di Indonesia di satu tangan, seperti yang dilakukan Soekarno di tahun 1959-1965, sudah menghilangkan sistem yang natural. Kehidupan manusia terkesan hampir sepenuhnya tidak mengikuti kodrat dan proses alam, di dalam mana ia harus memiliki harga diri, mempunyai kehidupan sejahtera, memiliki hak berbicara mengutarakan pikiran; Dalam lingkup yang didefinisikan sebagai demokrasi. Dari sudut harkat kemanusiaan ini saja, terlihat betapa telah terjadi perubahan besar karena pemusatan kekuasaan yang dilakukan Soekarno, apalagi ketika PKI yang menganut ideologi totaliter bergabung bersama sebagai ‘pendukung’ Soekarno. Falsafah komunisme bersandar pada dialektika ‘kekuatan lawan kekuatan’, berpegang pada pendekatan material dalam materialisme dengan alur tesis, antitesis dan sintesis.

Sebagai reaksi terhadap Soekarno, banyak pemikiran segar kaum intelektual untuk pembaharuan muncul dengan berbagai cara, termasuk yang didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan yang separuh bawah tanah. Dari situ terlihat betapa kuat keinginan agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Dengan lebih tegas kemudian disebutkan bahwa pembaharuan itu sebagai upaya perombakan struktur politik. Sejumlah mahasiswa juga turut serta di dalamnya. Bendera yang dikibarkan gerakan itu adalah perombakan struktur politik, dan berlangsung hingga beberapa lama hingga masa-masa awal kekuasaan Soeharto yang naik menggantikan Soekarno di tahun 1967.

Tetapi menurut Dr Midian Sirait lebih lanjut, sesungguhnya pada sisi lain terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik menghadapi hambatan-hambatan. Hambatan itu antara lain datang dari kalangan partai-partai ideologis, dan di kemudian hari pun kerap harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang memiliki arus pemikiran yang berbeda –padahal pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada di masa rezim terdahulu. Tentu harus dicari jalan keluar. Salah satunya adalah penyelenggaraan bersama –oleh KASI, ITB, Seskoad dan Siliwangi– suatu simposium pembaharuan, 10 hingga 12 Pebruari 1968 di Bumi Sangkuriang, Bandung. Peserta diskusi antara lain Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir.

Jangan membakar belukar

Mulanya para tokoh ini bertanya kepada penyelenggaran, “Kenapa kami diundang?”. Penyelenggara menjawab, “Bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno”. Mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara terlebih dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.

IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi”.

Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi”. Mendengar ini, seorang tokoh militer, Jenderal Tjakradipura, langsung marah, ia bilang: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara”.

TB Simatupang yang juga seorang tokoh militer terkemuka di masa lampau, mengatakan: “Prosesnya harus dalam satu tekanan tombol”. Ia mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. Ia ini mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. “Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama”.

Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti dulu-dulu, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai”, katanya. Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral. Ia menggunakan istilah netral dan tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral – “ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. “Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik”. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik”.

Berlanjut ke Bagian 2

Tatkala Presiden Melintasi Jalan

“Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan “plus Royaliste que le roiyang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat. Rapor mereka, merah semua.

“Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga”.

MENJADI pengalaman banyak orang di sekitar ibukota, setiap kali rombongan Presiden usai melintas, baik di jalan bebas hambatan Jagorawi maupun di jalan-jalan ibukota, kemacetan lalu lintas terjadi. Jalan-jalan yang kebetulan memang sedang macet akan semakin macet, sementara yang sedang padat akan bertambah padat dan segera mengalami kemacetan. Saat Presiden dan rombongannya yang selalu berbentuk konvoi panjang, sudah tiba di tujuan, pengguna jalan lainnya yang tadi dilewati masih terseok-seok merayap bersama kendaraannya, paling tidak selama satu jam. Paling kurang, ini terjadi dua kali dalam sehari di hari kerja, dan sering-sering lebih dari itu manakala Presiden banyak melakukan kegiatan di luar Istana. Kota-kota lain hanya akan mengalaminya sekali-sekali saat Presiden berkunjung.

Semua juga pasti masih ingat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawali masa kepresidenannya yang pertama lebih dari lima tahun yang lampau dengan sebuah insiden lalu lintas di mulut jalan masuk ke jalur utama tol Jagorawi, beberapa menit setelah meninggalkan kediamannya di Puri Cikeas. Terjadi tabrakan beruntun yang mengambil korban, karena mobil pengawal menghentikan mendadak kendaraan yang datang dari arah Bogor. Saat itu, publik mengeritik keteledoran petugas yang bersikap ceroboh dan menggampangkan, menghentikan arus kendaraan dengan mendadak, tidak lebih awal demi memperhitungkan keselamatan pengguna jalan lain. Suatu sikap yang sadar atau tidak bersumber pada arogansi karena merasa ‘berkuasa’.

Kini, ada sebuah kisah baru. Tidak menggemparkan seperti pengalaman pertama, tetapi cukup layak untuk diperhatikan. Seorang wartawan, bernama Hendra NS, menulis sebuah surat pembaca di Harian Kompas, Jumat 16 Juli 2010. Kita kutip di bawah ini.

“Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya –juga mayoritas pengguna jalan itu– memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal”, tulis sang wartawan. “Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri. Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan”.

Dituliskan lebih lanjut bahwa sang Patwal di depan turun dan menghajar kap mobil sang wartawan, memukul spion mobil sampai terlipat, dan dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?”. Lalu disusul serentetan intimidasi dalam suatu dialog yang tak kondusif selama sekitar 10 menit. “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”, omel sang Patwal. Saat rombongan  SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan sang penulis surat pembaca yang terbengong-bengong.

Sebagai penutup suratnya, sang wartawan menghimbau, “Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga”.

Perasaan ‘sengsara’ setiap kali berpapasan atau dilewati iring-iringan panjang rombongan Presiden, tampaknya diderita banyak pengguna jalan lainnya, dan menjadi salah satu sumber keluhan. Belum lagi dengan rombongan Wakil Presiden dan para VIP lainnya. Tapi yang paling panjang memang rombongan Presiden, dengan rute yang juga panjang dari Cikeas, sebagian Tol Jagorawi, tol dalam kota sampai Istana. Tanpa ‘gangguan’ iring-iringan VVIP seperti itu, rute itu sudah luar biasa padat, apalagi bila ditingkahi oleh ‘peminggiran’ paksa. Paling menderita tentu saja para penumpang kendaraan umum seperti bus kota yang berjejal-jejal kepanasan di pagi hari sekali pun. Sebuah keluhan pernah tercetus, “Presiden lewat saja, kita yang harus tersiksa. Apa Presiden tidak tahu ya?”

Jika Presiden tidak berniat pindah tinggal ke Istana Merdeka, seperti yang diusulkan sang penulis surat pembaca, apakah tidak sebaiknya Presiden mencari pemecahan lain yang intinya adalah untuk menarik ‘saham’nya dari kemacetan lalu lintas setiap hari? Kenapa Presiden, misalnya, tidak menggunakan helikopter saja dari Cikeas-Istana pergi-pulang? Biayanya pasti tidak ‘sebesar’ dengan ‘biaya sosial’ dan ‘biaya psikologis’ yang harus dibayar rakyat dua kali dalam sehari.

Di masa lampau, keluhan serupa tak banyak dilontarkan publik terhadap Presiden Soeharto. Hanya sesekali ada iringan panjang, yakni bila mengantar tamu negara. Setiap hari, pergi dan pulang kerja, ke dan dari Bina Graha, iringan mobil Presiden, yang jumlahnya sedikit saja, sudah termasuk ambulans, cenderung berjalan senyap. Hanya lampu merah di atap mobil pengawal terdepan yang berputar tanpa sirene. Rutenya juga pendek, Bina Graha, Merdeka Utara, Merdeka Timur depan Stasiun Gambir, Patung Pak Tani, Menteng Raya, Cut Meutia, Ratulangi, Cendana dan sebaliknya. Dan biasanya, pilihan waktunya agak bertepatan dengan saat lalu lintas tidak terlalu padat. Bukannya iring-iringan rombongan Presiden kala itu tak pernah bermasalah. Pada tahun 1986 di Bali, sekeluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan seorang anak tewas tersambar mobil rombongan saat menyeberang jalan sewaktu iringan agak terputus. Beritanya berhasil diredam dan tak pernah disiarkan. Di pantai Barat Aceh lain lagi, mungkin di tahun 1986 juga, hanya sekitar lima belas menit sebelum rombongan Presiden melintas menuju Meulaboh, seekor harimau menyeberang jalan sambil menyeret tubuh manusia yang mungkin adalah hasil terkamannya pada dini hari beberapa jam sebelumnya. Para petugas segera menghalau dan mengejar sang harimau serta ‘membersihkan’ jalan.

MENGAKHIRI catatan ini, kita mengutip sekali lagi dua pengibaratan terkait raja dan kekuasaan, yang pernah dituturkan dua cendekiawan, MT Zen dan Harry Tjan Silalahi. Mungkin bisa dipakai untuk menjawab tentang seluk beluk arogansi para petugas negara dan pertanyaan di bus kota “Apa Presiden tidak tahu ya…?” .

Dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis menjelang akhir abad 18, angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew ! ” – ….. jika Baginda Raja mengetahui. Demikian juga di Rusia lebih dari seratus tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada. “…. if the Czar only knew !”. Jadi nyatalah di sini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. “Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang ?”. Tetapi sayang ! …. Sayang sekali ! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka….. Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan para bangsawan menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelier bersama seribu bidadari. Demikian antara lain MT Zen dalam “Kubunuh Baginda Raja” (1966).

Wujud kepercayaan kepada Raja yang dilahirkan melalui kalimat “if the King only knew”, kerap lahir dalam bentuk lain berupa anggapan yang terkandung dalam ungkapan yang pernah dikutip Harry Tjan Silalahi, “plus Royaliste que le roi” yang berarti bahwa “anak buah raja sering berlagak melebihi sang raja sendiri”. Tapi sejarah menunjukkan pula, seringkali memang sang Raja –atau sang Pemimpin– sendiri lah yang merupakan sumber masalah dan bencana. Apalagi bilamana sikap feodal masih dominan melajur dalam kekuasaan dan masyarakat. Rapor mereka, merah semua.