“Diceritakan pula di belakang layar politik, bahwa Nyonya Sarwo Edhie Wibowo –ibu mertua SBY– lah yang termasuk paling ‘tersinggung’ atas perlakuan puteri sulung Soekarno dan suaminya itu, terhadap sang menantu. Ia ini lalu mendorong suami puterinya itu untuk sekalian maju saja sebagai calon presiden menyaingi Megawati Soekarnoputeri”.
DALAM sejarah politik kontemporer Indonesia sejauh ini, agaknya belum ada yang bisa menandingi succes story Susilo Bambang Yudhoyono dalam menggunakan ‘politik’ –dalam tanda kutip– pencitraan sebagai senjata untuk membentuk popularitas guna meraih posisi kepemimpinan negara. Mengandalkan politik pencitraan, Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan Pemilu Presiden secara langsung yang diselenggarakan untuk pertama kalinya di tahun 2004. Dan kendati bukannya samasekali tak pernah menghadapi sejumlah tanda tanya mengenai kualitas kepemimpinan dan kemampuannya yang sebenarnya mengelola kekuasaan pemerintahan negara, dengan senjata politik pencitraan SBY sekali lagi berhasil memenangkan Pemilu Presiden Indonesia untuk kali kedua di tahun 2009. Hanya dalam satu putaran, walau terkesan sedikit ‘dipaksakan’.
Namun kini, di tahun 2010, di tahun pertama masa kepresidenannya yang kedua, kurva popularitas sang Presiden seakan-akan tiba pada satu titik patah di garis menanjak. Ada kecenderungan penurunan, entah bersifat sementara, entah pula akan menjadi awal dari satu proses menukik. Apakah ‘politik’ pencitraan SBY kehabisan baterai atau memang tak ampuh lagi dan dikalahkan berbagai keterpelesetan sikap dan kata dari sang Presiden maupun oleh para pengikutnya tatkala bersentuhan dengan publik? Perilaku para pengikutnya di lingkaran dalam ataupun di lingkaran kedua, juga sangat berpengaruh tapi dengan arah terbalik dalam pencitraan, terutama bila yang tampil itu adalah –meminjam ucapan-ucapan yang mulai terdengar di masyarakat– ‘badut-badut’ politik. Entah ‘membadut’ dengan perkenan sang Presiden dan atau Pembina Partai, entah murni inisiatif akrobatik pribadi tanpa sepengetahuan ataupun tanpa izin.
Terlepas dari itu, ‘politik’ pencitraan itu sendiri bukanlah sebuah alat konstruksi untuk membangun suatu fundamen permanen bagi berdirinya sebuah bangunan kepemimpinan yang sebenarnya apalagi bagi sebuah bangunan kekuasaan. Karena, ‘politik’ pencitraan pada hakekatnya hanyalah pencipta gumpalan busa yang memang bisa membuat sesuatu mengambang, tapi hanya untuk beberapa saat sebelum gelembung-gelembungnya pecah satu persatu. ‘Politik’ pencitraan tak lebih semacam mekanisme hidrolik yang berguna untuk keperluan-keperluan mengangkat ke atas (atau menurunkan) sesuatu dalam momen tertentu saja sesuai kebutuhan sesaat-sesaat. Tak mungkin pencitraan berfungsi terus menerus menopang satu kepemimpinan, apalagi sekedar dengan polesan kata-kata iklan, karena kepemimpinan adalah ‘ketrampilan’ pengelolaan yang secara objektif harus mampu menghasilkan produk-produk nyata dan kasat mata, yang bisa diukur dan dirasakan kegunaannya.
Memang menarik juga bahwa selama enam tahun di puncak kekuasaan negara, SBY tak kenal lelah menggunakan ‘politik’ pencitraan itu untuk mengambang. Tentu saja SBY tak sendirian dalam ‘politik’ pencitraan. Para pemimpin lain, termasuk anggota-anggota lembaga legislatif maupun calon-calon pimpinan daerah yang turut serta dalam Pemilu Kepala Daerah juga pengguna ‘politik’ pencitraan. Mungkin ini semua ibarat deterjen bertemu air, karena sebagian besar masyarakat kita memang masih mudah terpesona oleh buih dan busa kata-kata. Berkali-kali menjadi korban janji para pemimpin tetapi tetap saja percaya kepada janji-janji baru. Tapi memang SBY adalah pengguna terkemuka dalam ‘politik’ pencitraan.
Ketika pada pekan pertama bulan September ini terpublikasikan dua hasil survey dan atau polling pendapat yang menunjukkan adanya penurunan popularitas dan tingkat kepuasan terhadap SBY dan pemerintahannya, dengan angka-angka cukup tinggi meskipun tetap berkisar pada level prosentase di atas 50 persen, mulai beredar rumours politik tentang adanya keinginan untuk mengakhiri sudah kepresiden SBY di tengah jalan sebelum tahun 2014. Bahkan secara terbuka, mantan Wakil Presiden, Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno menganjurkan SBY untuk mundur saja. Survey dan polling itu dilakukan sekitar pertengahan Agustus yang baru lalu. Bila dilakukan setelah Presiden memberikan pernyataan dan gerak tanggap tidak memuaskan dalam kasus insiden penangkapan petugas patroli KKP oleh Polis Diraja Malaysia, mungkin saja angka-angka tingkat ketidakpuasan lebih tinggi lagi.
Sindrom para korban dan wahyu kekuasaan. TATKALA muncul untuk melangkah pertama kali ke gelanggang kontestasi kekuasaan, SBY memiliki satu modal situasional yang amat berharga –dan sangat ampuh dalam situasi psikologis masyarakat pasca kekuasaan Soeharto, yang amat sensitif dan sangat cenderung bersimpati kepada para korban penganiayaan politik. Cerita bahwa Susilo Bambang Yudhoyono sedang teraniaya, padahal ia orang baik, santun dan lurus sejarah hidupnya, bagaikan suatu kekuatan magis yang memberikan dampak luar biasa. Simpati mengalir dari mayoritas masyarakat yang hidupnya memang penuh pengalaman pahit sebagai korban kekuasaan dari waktu ke waktu. Modal situasional yang sama pernah jatuh ke telapak tangan Megawati Soekarnoputeri, bagaikan kunci pembuka pintu wahyu kekuasaan, setelah tercitrakan sebagai tokoh korban penindasan Soeharto dan para jenderalnya. Dalam hal Susilo Bambang Yudhoyono, ‘penganiayaan’ politik itu justru datang dari korban ‘penganiayaan’ politik dari episode politik sebelumnya.
Kisah ‘penganiayaan’ politik yang dialami SBY, yang di bawah pemerintahan Megawati adalah Menko Politik dan Keamanan, sampai ke publik sebagai satu melodrama yang mengharukan. Tergambarkan betapa SBY mengalami tekanan tirani kata-kata yang berkali-kali dilontarkan secara terbuka oleh Taufiq Kiemas suami sang Presiden. Disusul pengucilan oleh Megawati sang Presiden, dengan cara tidak diajak lagi dalam beberapa rapat kabinet, sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kabinet. Namun sesungguhnya kisah putus hubungan ini menarik, karena sebelum Taufiq Kiemas mulai ‘mencerca’ SBY, justru pernah ada percobaan untuk bersanding antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004. SBY siap dan agaknya memang telah mempersiapkan diri menjadi Wakil Presiden mendampingi Mega. Kurang lebih SBY sudah menganggap bahwa itulah yang terbaik dan tertinggi yang bisa dicapainya per saat itu dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
SBY yang di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid juga menduduki posisi Menteri Politik dan Keamanan, adalah satu di antara 7 menteri yang terlibat dalam inisiatif ‘mendamaikan’ ketidakcocokan politik antara Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri semasa mereka berdua menjadi pimpinan negara. Tetapi usaha itu tak berhasil (Lihat, 65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia, juga di blog sociopolitica ini, Agustus 2010). Menjelang kejatuhan Abdurrahman Wahid, hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Abdurrahman Wahid memburuk yang berakhir dengan terlontarnya jenderal berbintang tiga ini dari barisan kekuasaan Abdurrahman Wahid. Posisi Menteri Polkam yang ditinggalkan diisi oleh jenderal bintang tiga lainnya, Agum Gumelar, yang semula menjabat Menteri Perhubungan. Tampaknya ‘terbuangnya’ SBY dari lingkaran Abdurrahman Wahid ini membuat hubungan SBY lebih dekat dengan Megawati yang kala itu adalah Wakil Presiden. Tatkala kemudian Abdurrahman Wahid turun dari kursi kepresidenan karena impeachment setelah mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan Golkar, Megawati naik menjadi Presiden didampingi Hamzah Haz. Susilo bambang Yudhoyono direkrut kembali ke dalam kekuasaan pemerintahan oleh Megawati Soekarnoputeri dengan posisi yang sama dengan sebelumnya.
Taufiq Kiemas dikabarkan pada dasarnya tak menyetujui SBY sebagai calon alternatif pendamping Mega. Ketika akhirnya Megawati pun ikut memperlakukan SBY secara tak nyaman karena beberapa sebab, patahlah sudah rencana tampil bersama dalam Pemilihan Umum 2004. Agaknya ada berita yang sampai ke Taufiq Kiemas, dan kemudian lanjut ke Megawati, bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tak hanya sekedar berkeinginan menjadi Wakil Presiden, namun sebenarnya mengincar posisi lebih tinggi, sebagai Presiden Republik Indonesia. Jadi, kalau begini, tentu sudah lain ceritanya bagi puteri dan menantu Soekarno itu.
Diceritakan pula di belakang layar politik, bahwa Nyonya Sarwo Edhie Wibowo –ibu mertua SBY– lah yang termasuk paling ‘tersinggung’ atas perlakuan puteri sulung Soekarno dan suaminya itu, terhadap sang menantu. Ia ini lalu mendorong suami puterinya itu untuk sekalian maju saja sebagai calon presiden menyaingi Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden tahun 2004. Tiga puluh sembilan tahun sebelumnya, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, guru dan ayah mertua Susilo Bambang Yudhoyono, tampil sebagai pemimpin operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965 yang berlanjut menjadi proses penumbangan kekuasaan Soekarno.
Berlanjut ke Bagian 2