Serumpun Dalam Duri: Indonesia-Malaysia (3)

“Para pemimpin tiga negara sekawasan ini rupanya tak berhasil untuk sepakat melihat bahwa apa yang terjadi di salah satu negara, suka atau tidak akan berdampak kepada ketiga negara. Pola dan praktek ekonomi yang lebih cenderung kepada saling menghisap, hanya akan merontokkan salah satu di antaranya dan pada akhirnya bisa ketiganya, kali ini kebetulan Indonesia yang terjungkal duluan”.

Sindrom OKB dan OBK. Indonesia-Malaysia adalah dua diantara beberapa negara di kawasan ini yang 1997-1998 hampir tersungkur total oleh deraan krisis moneter. Tetapi berbeda dengan Indonesia, yang lebih banyak terjerat dengan solusi-solusi pemulihan ala IMF, Malaysia yang memilih cara berbeda lebih cepat berhasil melakukan recovery ekonomi. Selain itu, di samping bergulat secara ekonomis, bangsa Indonesia juga terlibat dengan pertengkaran politik dan persaingan kekuasaan melanjutkan ketegangan politik tahun 1998, yang berlangsung berlarut-larut sehingga akhirnya seakan menjadi tabiat baru dalam berpolitik.

Semenjak keberhasilan dalam recovery ekonomi pasca krisis ekonomi, Malaysia bagaikan Si Bebek Untung –Lucky Duck– yang terus melaju karena kelimpahan rezeki sukses ekonomi. Malaysia menjadi jauh lebih kaya, selapisan elite ekonomi dan kekuasaan di negeri itu makin makmur berkelimpahan harta. Sementara para melayu di Indonesia lebih tercurah perhatiannya kepada ‘perjuangan’ politik –yang kerap tak bisa dibedakan dengan sekedar ‘pertengkaran’ politik– yang idealnya dikatakan untuk mengokohkan demokrasi, para melayu di semenanjung justru ‘berjuang’ meraih keberuntungan ekonomi dan berhasil membuat diri mereka sebagai orang kaya baru di kawasan ini. Kekayaan, terkait dengan dan membawa kekuasaan baru. Pertumbuhan kekayaan yang berhasil mereka raih, digunakan untuk memperkuat posisi mereka di Asia Tenggara dan juga tak lupa memperkuat angkatan bersenjata mereka, di udara maupun di laut. Kalau dulu kekuatan pertahanan mereka jauh di bawah Indonesia di masa Soekarno maupun Soeharto, kini situasinya menjadi terbalik. Pesawat tempur mereka seperti Mig-29 dan Sukhoi, lebih banyak dan lebih lengkap persenjataannya. Kapal perang mereka lebih modern, kapal selam mereka, Scorpene, termasuk produk yang lebih baru dan lebih modern. Karena memiliki anggaran memadai, setiap tahun peralatan perang itu ditambah. Termasuk dengan membeli Panser 6×6 Anoa, kendaraan lapis baja buatan Pindad Indonesia, sebanyak 32 unit akhir 2010. Hanya kuantitas personil Tentara Diraja Malaysia yang belum bisa melebihi Indonesia. Dengan persenjataan yang lebih kuat, nyali Tentara Diraja tampaknya juga ikut terdongkrak melebihi nyali tentara Indonesia, sebagaimana yang terkesankan melalui berbagai momen face to face dalam beberapa insiden perbatasan.

Kemajuan ekonomi dan kelimpahan finansial Malaysia, membuat mereka bisa membeli bank di Indonesia (CIMB Niaga), membuka sejumlah perkebunan sawit di Indonesia sambil menjual mobil-mobil berbagai type buatan mereka yang bermerek Proton di sini. Sementara itu, selain berbelanja harian di Singapura, sejumlah orang kaya Indonesia –yang sebenarnya sangat minoritas di tengah lautan akar rumput yang miskin– juga rutin membelanjakan uangnya di Kuala Lumpur dan membuang-buang duit mereka di Genting Highland. Sebaliknya, adakah yang Indonesia peroleh dari Malaysia? Ada. Cukong-cukong kayu mengalirkan duit untuk para pelaku illegal logging serta petugas-petugas yang mempan suap di Indonesia. Malaysia juga memberi ‘devisa’ melalui apa yang di Indonesia disebut sebagai ‘pahlawan devisa’, yakni para TKI/TKW resmi maupun illegal. Tak jarang pula Malaysia ‘mengirim’ kembali ke Indonesia para TKI/TKW yang mati sebagai korban penganiayaan atau mereka yang cacad lahir maupun batin karena dianiaya dan diperkosa tanpa kemampuan pemerintah Indonesia membela mereka. Suka atau tidak suka, sebagai konsekuensi kebijakan mencari devisa melalui TKI/TKW, kita harus menerima semacam dampak sosial-psikologis, yaitu bahwa bagi sebagian orang Malaysia, bangsa dari negeri tetangga mereka ini berharkat dan bermatabat sebagai bangsa kuli dan pembantu. Dan last but not least, Malaysia telah menghibahkan kepada kita tokoh-tokoh teroris semacam Dr Azahari dan Noordin M. Top.

DARI sudut pandang yang sedikit sentimentil, banyak pihak yang mengamati perkembangan hubungan Indonesia-Malaysia dari waktu ke waktu, memang melihat adanya eskalasi sikap dan perilaku saudara serumpun dari semenanjung Malaya itu, terutama pada satu dasawarsa terakhir ini. Apa yang ditulis di atas sekedar contoh kecil di antara banyak contoh, namun sudah cukup memperlihatkan bahwa memang saudara serumpun dari semenanjung dan bagian utara Kalimantan ini, sedang berada dalam sindrom OKB (Orang Kaya Baru) dan OBK (Orang Baru Kuasa). Pada saat yang sama, sejumlah orang di Indonesia yang tak tahan lagi dengan berbagai ulah orang Melayu semenanjung dari negeri jiran itu, mulai dari berbagai klaim hasil cipta karya dan budaya, keberhasilan klaim Malaysia atas Sipadan-Ligitan, sampai dengan yang terakhir penangkapan tiga petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di wilayah perairan sendiri, cenderung masuk ke kawasan sindrom amok. Menjadi bangsa yang serba ‘sakit hati’ dan terluka harga dirinya. Sebagian berdemo di depan Kedutaan Besar Malaysia, membakar bendera negara itu dan melempari gedung kedutaan dengan tinja manusia. Suatu tindakan yang bagi kita sekalipun patut dianggap keluar batas etika. Sebagian lainnya lagi, termasuk Kepala Pusat Penerangan AD, tak tahan lagi dan langsung menyatakan siap berperang melawan Malaysia. Tapi entah gentar atau entah apa, Menteri Infokom Tiffatul Sembiring, sudah mengingatkan dengan ‘bocoran’ melalui twitter bahwa pernah dilakukan simulasi kalau kita berperang dengan Malaysia, biayanya mencapai sekitar 30 triliun rupiah per bulan.

Dibakar bendera negaranya dan dilempari tinja gedung kedutaannya, sejumlah orang Malaysia, tak terkecuali pers dan para petinggi negaranya, menjadi berang juga dan balik melontarkan berbagai komentar balasan yang tak kalah tajam dan keras. PM Malaysia Najib Tun Razak –putera mantan PM Malaysia Tun Abdul Razak yang semasa hidupnya mengakui berdarah Bugis dan sangat bersahabat dengan Indonesia di zamannya– bukannya menjawab nota protes Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan balik mengultimatum agar Pemerintah Indonesia menertibkan demo-demo anti Malaysia di Jakarta dan kota-kota lainnya. Suatu sikap yang cukup arogan. Namun, terlepas dari itu, terlihat bahwa para pemimpin Malaysia memang lebih berani menggertak daripada para pemimpin Indonesia. Mungkin mereka penganut teori klasik bahwa kekuatan angkatan perang adalah senjata ampuh dalam ‘diplomasi’ hubungan antar negara. Bandingkan Menlu Malaysia Anifah Aman yang lebih fors dengan Menlu RI Marty Natalegawa yang lemah lembut. Bandingkan pula PM Malaysia Najib Tun Razak yang banyak menggertak dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih memilih diam dan bersikap sangat santun tanpa gertakan –dan pekan depan barangkali saja akan curhat mengeluhkan hubungan Indonesia-Malaysia yang memburuk beserta segala dampak sosial-ekonominya. Jangan lupa membandingkan ‘keberanian’ (tepatnya, kesembronoan) Menteri KKP Fadel Muhammad dan jajarannya yang mengintrodusir patroli tanpa senjata dan atau tanpa kawalan Polisi Perairan, dengan nyali dan arogansi Polisi Diraja Malaysia untuk membuang tembakan menggertak lalu menangkap 3 petugas KKP.

Selain ultimatum Najib Razak, sejumlah tokoh negeri jiran itu juga memberikan penilaian bahwa demonstrasi-demonstrasi di Indonesia itu dilakukan oleh para pendemo bayaran. Agaknya, sudah menjadi pengetahuan umum negara lain bahwa banyak pelaku demo di Indonesia ini adalah kelompok bayaran, dan ‘fakta’ itu dipakai untuk menyudutkan kita. Terlepas dari kaitan insiden tangkap menangkap Indonesia-Malaysia ini, merupakan fenomena yang harus diakui betapa senjata demonstrasi (unjuk rasa) sebagai alat demokrasi mulai turun pamor. Bukan hanya karena sebagian pengerahan demonstrasi berdasarkan kekuatan uang oleh pihak sponsor yang berkepentingan, melainkan karena ia sudah diobral habis sebagai senjata demokrasi sehari-hari, padahal demo semestinya hanyalah digunakan pada suatu klimaks kebuntuan hubungan antara rakyat dengan penguasa. Meminjam istilah moneter, sudah sejak lama mekanisme unjuk rasa ini mengalami inflasi, bahkan bila ia dianalogikan sebagai uang ia adalah ibarat uang palsu, dan sudah beredar dalam transaksi politik dagang sapi dalam kehidupan politik Indonesia ini.

Kegagalan para pemimpin. KITA bisa melihat bahwa hubungan Indonesia-Malaysia, setelah pengalaman pahit dari situasi nyaris perang pada masa konfrontasi 1963-1965, bukannya tak diupayakan oleh para pemimpin kedua bangsa. Masih di tahun 1966, dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto, 11 Agustus di Pejambon, Menteri Utama/Menteri Luar Negeri RI Adam Malik mewakili Pemerintah Indonesia dan Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Tun Abdul Razak mewakili pemerintah Malaysia, menandatangani bersama persetujuan untuk menormalisasi hubungan kedua negara. Persetujuan didasarkan pada hasil Persetujuan Bangkok (29 Mei – 1 Juni 1966) yang intinya kesepakatan memulihkan kembali hubungan diplomatik dan menghentikan tindakan-tindakan permusuhan. Namun terlihat dari awal bahwa pada masa-masa selanjutnya tak cukup kuat upaya untuk meningkatkan hubungan baik itu dari sekedar suasana retorika menjadi suatu situasi hubungan objektif yang lebih nyata. Kebersamaan dalam Asean juga tak membuat hubungan Indonesia dan Malaysia secara kualitatif lebih baik dari sekedar suasana retorika seperti penegasan selaku dua bangsa yang serumpun dan memiliki suatu hubungan kesejarahan masa lampau. Upaya asimilasi bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tak berlanjut, dan terhenti sekedar pada keberhasilan menyatukan dua bahasa dalam satu pedoman ejaan yang sama. Hubungan ekonomi yang terjadi antara Indonesia-Malaysia lebih beraroma hubungan pola kapitalistik yang eksploitatif daripada penampilan pola kerjasama untuk kepentingan perkuatan bersama dalam satu kawasan ekonomi. Hal yang sama terjadi dalam hubungan ekonomi Indonesia-Singapura, yang cenderung bersituasi hisap-menghisap saja dengan kita sebagai pihak yang lebih banyak terhisap..

Bagaimana dengan hubungan antar manusia kedua bangsa secara sosiologis? Agaknya pemimpin kedua bangsa memang telah gagal mempertemukan hati nurani kedua bangsa, meskipun serumpun dan berasal dari nenek moyang yang sama. Pertama, karena para pemimpin kedua bangsa memang tak mewarisi rasa kebersamaan yang memadai dan patut untuk dipelihara di antara kedua bangsa. Dari Indonesia, hanya Adam Malik yang mungkin memiliki rasa yang cukup sentimentil dan romantis tentang persahabatan kedua negara, dan di Malaysia mungkin hanya Tun Abdul Razak almarhum dan sedikit banyaknya juga Mahathir Muhammad. Adapun Soeharto, tak mudah diselami lubuk hatinya yang paling dalam, meski harus diakui semasa ia berkuasa, Indonesia jarang di’kurangajari’ oleh para pemimpin Malaysia maupun Singapura, khususnya oleh Lee Kuan Yew. Kedua, para pemimpin kedua bangsa, tampaknya juga gagal membangun karakter bangsanya sebagai bangsa yang cukup beretika. Sejumlah sindrom melayu yang negatif seperti arogan bila sedang jaya, sok pamer, dan sebaliknya penuh kedengkian bila gagal dan kalah, gampang anarkis dan amok bila tersudut, dan sebagainya, agaknya tak berhasil disembuhkan.

Bahwa suka atau tidak, manusia Malaysia, Indonesia dan Singapura, harus ‘bergaul’ dan atau berinteraksi karena begitu rapatnya posisi geografis ketiga negara, memang betul. Tetapi pergaulan atau interaksi yang terjadi adalah terutama dalam konteks interaksi ekonomi yang sangat bernuansa rivalitas –lebih dari sekedar persaingan biasa yang sehat– membuat hubungan antar manusia ketiga negara lebih berorientasi kepada kalkulasi untung rugi. Berbeda bila pemimpin ketiga negara berhasil membangun hubungan kebudayaan dan kemanusiaan yang memadai. Manusia dari kalangan akar rumput Indonesia mengalir sebagai tenaga kerja kasar ke Malaysia maupun Singapura. Pemerintah Indonesia hanya menghitung aspek devisanya dan tak pernah bersungguh-sungguh menciptakan barisan tenaga kerja yang berkualitas dan mampu menjaga kehormatannya sebagai manusia melainkan sekedar ‘komoditi’ ekspor dengan kualitas tak jelas. Karena, di Malaysia (seperti halnya dengan di negara-negara Timur Tengah) masih cukup kuat keberadaan nilai-nilai ‘feodalistik’, maka tenaga kerja itu diletakkan pada status dan strata ‘khadam’. Sementara di Singapura yang sangat bisnis oriented, tenaga kerja tak terdidik dengan sendirinya berada pada kelas kegunaan ekonomi terbawah dan tentunya hanya patut mendapat perlakuan kelas bawah juga.

Para pemimpin tiga negara sekawasan ini rupanya tak berhasil untuk sepakat melihat bahwa apa yang terjadi di salah satu negara, suka atau tidak akan berdampak kepada ketiga negara. Pola dan praktek ekonomi yang lebih cenderung kepada saling menghisap, hanya akan merontokkan salah satu di antaranya dan pada akhirnya bisa ketiganya, kali ini kebetulan Indonesia yang terjungkal duluan. Malaysia dan Singapura pun bukannya tak punya andil dalam terciptanya kesulitan ekonomi Indonesia selama ini, semisal terlalu banyaknya laba yang dipungut Singapura sebagai perantara dalam berbagai perdagangan komoditi dari dan ke Indonesia, atau kejahatan sejumlah pengusaha Malaysia yang mengorganisir illegal logging di Indonesia, untuk sekedar menyebut contoh. Jadi bila mereka menampung sejumlah TKI/TKW mungkin dapat disebut sebagai bagian dari social responsibility mereka terhadap kerusakan ekonomi yang terjadi di negara tetangga yang pada hakekatnya mereka pun ikut andil. Selain itu, mereka memang membutuhkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam industri dan kebutuhan jasa lainnya. Kenapa tidak belajar untuk saling menghargai dan bukannya lebih menonjolkan pola majikan-kuli yang sangat kapitalistik?

Demikianlah kehidupan bersama Indonesia dan Malaysia, serumpun dalam duri.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s