Tag Archives: Peristiwa 30 September 1965

Kisah Tiga Jenderal dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (2)

“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana”.

TERDAPAT sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai Pangti ABRI –suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun punya akses langsung dengan Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. Tetapi ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September 1965 selalu ‘tembak langsung’ menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada Yani, dan banyak kali juga tidak.

Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, tetapi masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1 Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada Jenderal Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh Ketua PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.

Ketika Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono serta Letnan Kolonel Urip Widodo.

Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud  menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. Tetapi, agaknya ini justru menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah karena peranannya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong ‘terang benderang’.

Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak termasuk di antara para jenderal yang ‘fasih’ berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno, setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat ‘gelar’ dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yakni sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya ketika ia masih bertugas di Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari di antara kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim menggunakan bahasa Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para jenderal yang juga berbahasa Belanda.

Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai pengecualian, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya ‘betah’ bila hadir dalam pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata Belanda yang tak semua dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.

Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was akan faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”. Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, “Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?”. Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.

Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.

Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar – dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981– adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. “Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada front luas terbuka”. Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan “Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota Tjakrabirawa”. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.

Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa “Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi ‘Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik’. Sedangkan pelajar membagikan stensilan ‘reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas sikap partai politik’…”. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang ‘bermarkas’ dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan ‘balasan’. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.

Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. “Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik”. Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD ‘sengaja’ tak hadir dalam sidang kabinet hari itu dengan alasan sakit.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (1)

“Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”.

TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya.

Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin hubungan yang lebih baik segera setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi hubungan di masa lampau.

Ketiga jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, adalah bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan –dan memang tampaknya tidak menganggapnya sebagai suatu keperluan– dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan Basuki Rachmat ketidakdekatan itu adalah karena memang tidak dekat saja, maka bagi Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang-kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di kemudian hari.

Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan dalam pendobrakan awal dalam nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan Soeharto, sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu terhadap kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang ‘bergolak’ itu. Tetapi pada masa-masa menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok-kelompok asal Sulawesi Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. Sebenarnya, semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan  bahasa campuran Indonesia-Belanda, “Jullie semua sudah dewasa…..”.

Kisah Tiga Jenderal

Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang Peristiwa 30 September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno. Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator adalah Dr Azis Saleh. Sebenarnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada kompetensi keahlian teknis. Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena ‘kebutuhan’ Soekarno untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.

Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966), terdapat setidaknya sembilan orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno, Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar. Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa menteri yang lain, diangkat pula sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.

Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah menyatakan di depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang telah ada. Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno mengurungkan niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud ‘menggeser’ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat ‘pembuangan ke atas’ bagi Ahmad Yani. Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh tokoh NU KH Idham Chalid.

Ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah Panglima Kodam Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makassar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando Mandala. Karena sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin adalah kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen Ahmad Yani yang tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat Letnan Jenderal.

Ketika masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. Tetapi dalam Peristiwa Tiga Selatan, yakni pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yakni Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution. Ketika Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis-habisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata berlangsung berkepanjangan. “Jusuf tak bisa melupakan insiden itu serta kekecewaannya terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan kemudian, mengapa Jusuf lebih senang berhubungan dengan Ahmad Yani, lebih-lebih setelah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun 1962” sebagai KSAD.

Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah Peristiwa 30 September, sepulangnya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober di Peking. Dan ketika terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan –termasuk Waperdam III Chairul Saleh– yang memperoleh informasi versi pemerintah Peking, Brigjen Jusuf mendapat pula versi kedua. Ini membuat dirinya memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke tanah air. Mula-mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu malam. Lalu melintasi perbatasan menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta –route Tokyo-Hongkong-Jakarta– yang menggunakan turbo propeller jet Lockheed Electra yang berbaling-baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).

Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat. Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia bolak balik ke Kostrad, karena ia telah menjadi tim ‘politik’ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini melapor kepada Soekarno tentang kepulangannya dari ibukota RRT, Peking.

Mayor Jenderal Basuki Rachmat, adalah yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu Yani dalam keadaan hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang kerapkali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum Peristiwa 30 September, Soekarno menurut beberapa jenderal berkali-kali menyatakan sedikit ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa Timur. “Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, tetapi saya pernah dengar dari pak Yani dan beberapa jenderal”, demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia, Purwakarta Juli 1968).

Selain itu, kenyataan bahwa ia berkali-kali bertemu Nasution pada bulan-bulan terakhir itu, menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti misalnya Mayjen Ibrahim Adjie dan Brigjen Jusuf. Tetapi, sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak punya kemampuan prima membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang telah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu batalion, yakni Batalion 530 bahkan turut serta dalam Gerakan 30 September. Tegasnya, ia berada di lingkungan yang abu-abu. Tentang Batalion 530, suatu kali di tahun 1968, Basuki hanya mengatakan, “yang sudah lewat, sudahlah”.

Berlanjut ke Bagian 2

Politik Keadilan atau Politik Kebenaran?

Mengatasi  Masa Lampau Dalam Perspektif Baru

oleh Marzuki Darusman*

SATU persoalan yang selalu kita hadapi dari waktu ke waktu –selama lebih dari dua pertiga masa Indonesia merdeka– sebagai satu bangsa, adalah soal masa lampau yang belum dijangkau oleh sejarah yang benar. Masa lampau Indonesia itu kerapkali bagaikan duri yang tertanam dalam daging, tak pernah diupayakan sungguh-sungguh untuk dicabut keluar. Luka luar seakan telah sembuh dan seringkali sakitnya tak begitu terasa, namun ada saatnya tiba-tiba rasa perih muncul ketika kulit diatas luka berduri yang tersembunyi itu terbentur. Dan tak hanya ada satu luka seperti itu, karena terdapat beberapa duri lainnya yang tersebar di bawah permukaan kulit.

Orientasi sejarah dan kesejarahan Indonesia, hingga sejauh ini masih selalu berpusat kepada nation building atau pembangunan bangsa. Walau sudah cukup liberal, benang merahnya tetap adalah untuk membangkitkan patriotisme –dalam pengertian sempit maupun dalam pengertian yang lebih luas. Karena itu, di situ tercipta kendala sehingga kita tidak mendapatkan suatu sejarah yang membuka ufuk ke depan. Karenanya, tidak ada pelajaran yang berhasil ditarik dari sejarah masa lampau. Yang mampu disimpulkan hanyalah langkah-langkah pencegahan untuk tidak terulangnya peristiwa. Ini agak berbeda arti dengan menarik pelajaran.

Jadi, seluruh effort politik kita selama ini hanya ditujukan untuk mencegah. Hal serupa juga tercermin dalam dunia hukum, yang melahirkan hukum yang juga bertujuan pencegahan dengan menggunakan cara represif, yang berdaya guna untuk sekedar tidak terulangnya suatu perbuatan pelanggaran hukum. Hukum kita lalu hanya berfungsi untuk melakukan penghukuman setelah perkara terjadi.

Kebenaran sepenuhnya dengan keadilan sebanyak-banyaknya. Sifat pencegahan ini juga lalu menjadi bagian dari ideologi. Didapatkanlah sekarang, penyempitan cara berpikir. Mental bangsa disempitkan dengan beberapa norma kehidupan yang hampir sepenuhnya diarahkan hanya kepada mencegah terulangnya kembali suatu peristiwa buruk, lalu selebihnya diisi dengan tindakan dan perilaku represif. Sedangkan dalam kehidupan normal, sebetulnya segala hal harus dimungkinkan dinilai dari segi akibatnya dan dari segi cara sesuatu aspirasi atau cita-cita itu dilaksanakan –apakah dengan kekerasan atau tidak dengan kekerasan.

Kita kini memang cenderung berpikir dan bersikap kaku, karena untuk menangani soal-soal masa lampau, terutama yang menyangkut akibat dari kekerasan kolektif, sebenarnya ada beberapa pengetahuan yang diperlukan untuk bisa mendudukkan perkara pada tempatnya. Kita agak kaku, tidak memiliki cukup motivasi ataupun sumber daya pikiran untuk melakukan dan mengambil konsep-konsep yang digunakan oleh bangsa-bangsa lain untuk menghadapi masa lalu mereka. Kita masih kaku dalam penggunaan beberapa instrumen inkonvensional di luar pengadilan misalnya, dengan segala perangkat sisi hukum, karena kelihatannya orientasi kita adalah penekanan kepada aspek keadilan terhadap kekerasan kolektif yang terjadi, tapi tidak pada aspek kebenarannya. Politik hukum kita dalam menghadapi kekerasan masa lampau senantiasa menempatkan tujuan keadilan penuh dengan kebenaran sebanyak-banyaknya. Semestinya, kebenaran sepenuhnya dengan keadilan sebanyak-banyaknya.

Sejarah Indonesia pun adalah sejarah keadilan, bukan sejarah kebenaran. Ini menjadi kendala bagi kita dalam berkiprah untuk beranjak meninggalkan kemandegan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibiarkan berlarut-larut, merupakan salah satu contoh, sehingga akhirnya mengalami cedera dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sebelum diresmikan. Tidak ada kemauan politik dan tidak ada suatu dorongan atau input untuk berbuat bagi peristiwa masa lampau. Kekerasan masa lampau yang dibiarkan itu, karenanya kemudian cenderung melahirkan kekerasan baru dalam bentuk sikap masyarakat yang sifatnya menentang, mempertanyakan legitimasi pemerintahan dan sebagainya. Sehingga, pemerintah pun pada akhirnya mengalami kerumitan dalam memerintah secara normal. Persoalan tidak selesai-selesai. Seolah-olah kita mau membiarkan problema masa lampau yang berupa kekerasan oleh satu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat yang lain, ditutup oleh jangka masa sejalan dengan berlalunya waktu.

Pengalaman masa lampau semua bangsa –termasuk Amerika Serikat yang begitu demokratis, seperti misalnya perlakuan kulit putih terhadap kulit hitam dan kulit merah– banyak yang kerap menghantui kembali karena tidak pernah diselesaikan melalui cara kesejarahan. Kita juga memiliki pengalaman dan permasalahan yang tak berbeda, mulai dari masalah DI-TII tahun 50-60an, masalah komunis tahun 1948 dan 1965, serta peristiwa-peristiwa kekerasan tahun 1998. Terakhir, terjadi lagi satu ‘kecelakaan’, ketika Ketua DPR tidak mau lagi menangani kasus Trisakti 1998. Semua peristiwa kekerasan masa lampau itu tak mungkin ditangani secara sambil lalu. Kecelakaan-kecelakaan politik masa lampau itu harus dikumpulkan dan diselesaikan dengan satu cara yang terukur, katakanlah misalnya dengan proses rekonsiliasi. Memang belum tentu berhasil, tetapi takkan ada dampak politik yang terus menerus dari peristiwa-peristiwa politik lepasan, seperti kasus pembunuhan Munir, atau nanti apa lagi. Sikap membiarkan persoalan dengan harapan akan ditelan waktu dengan sendirinya, ternyata telah menciptakan rantai masa lampau yang membelenggu.

Sepanjang sejarah dan atau konteks sejarah, sebagai basis mungkin kita perlu melakukan suatu kesepakatan dengan publik. Permasalahan terdekat mungkin menyangkut masalah kekerasan Orde Baru. Lalu lebih ke belakang lagi adalah masalah kekerasan Orde Lama dan kekerasan PKI. Tetapi sayangnya, referensi kita sangat tumpul, karena kita tidak terlatih untuk berpikir secara kemanusiaan. Bingkai luar dari sikap dengan referensi tumpul seperti itu adalah pembalasan, lalu mereda menuju kepasrahan dan kemudian pengampunan sebagai bentuk akhirnya.

Tampaknya untuk penyelesaian kesejarahan ini, kita harus mencari bentuk politik kebenaran di antara dua tipe yang ada. Selama ini, dengan politik keadilan, bentuk penyelesaiannya adalah kesediaan untuk tidak lagi melakukan balas dendam berkelanjutan yang mengarah kepada pelupaan. Pelupaan adalah lanjutan dari pengampunan. Sebab, dengan melupakan, dianggap tidak mempermasalahkan lagi. Tetapi masalahnya, orang hanya bisa melupakan dan mengampuni kalau ada pihak yang memberi ampunan dan ada pihak yang meminta maaf. Dalam kaitan masalah PKI, ini semua tidak bisa dilakukan lagi. Siapa yang berhak mengampuni dan siapa yang harus memintaa maaf. Manusia dan institusi dari zaman itu hampir semuanya telah uzur dan berlalu atau berubah karena tertelan waktu.

Penyelesaian hukum dan cara-cara konstitusi serta kenegaraan pun terlalu terlambat untuk menyelesaikan peristiwa yang telah berlalu empat puluh lima tahun lamanya ini. Seyogyanya, penyelesaian hukum dijalankan secara tuntas tak lama setelah peristiwa terjadi, tetapi kita mengetahui bersama bahwa per situasional –apalagi dengan suasana emosional saat itu– hal tersebut tak mungkin dilakukan dengan baik. Memang telah berlangsung sejumlah peradilan melalui sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) yang dimulai tak lebih dari setahun setelah peristiwa. Tetapi adalah fakta bahwa peradilan melalui Mahmillub ini tak pernah mendapatkan pengakuan yang luas sebagai bentuk penyelesaian. Apalagi, Mahmillub tidak tuntas mengadili semua pihak yang dianggap terlibat. Beberapa tokoh PKI yang dianggap bertanggungjawab telah mengalami eksekusi mati atau ditahan berkepanjangan yang semuanya tanpa proses peradilan. Soekarno yang kala itu menjadi Presiden, dituduh terlibat peristiwa, namun tidak pernah diadili, satu dan lain hal karena tali temali yang rumit dengan sikap khas budaya Jawa mikul dhuwur mendhem jero. Terlepas dari itu, sejak awal Mahmillub menjalankan proses peradilan pasca Peristiwa 30 September 1965, institusi itu berada dalam bayangan opini sebagai institusi pembalasan yang terkendali. Seakan-akan memenuhi keadilan dalam suatu proses yang legal formal, tetapi tidak sepenuhnya bisa mewakili kebenaran. Situasi dan opini yang dihadapi institusi tersebut dapat dianalogikan dengan pengadilan-pengadilan masa Stalin yang mengadili dan menghukum kaum anti revolusi dan kaum reaksioner.

Di tengah situasi seolah-olah dihadapkan kepada alternatif pengampunan dan pelupaan dengan meninggalkan perspektif pembalasan, tampaknya lebih tepat untuk memilih politik kebenaran untuk menyelesaikan persoalan masa lampau. Satu-satunya penyelesaian yang tepat dilakukan dalam kerangka politik kebenaran tak lain adalah menggali kebenaran sejarah melalui penulisan sejarah secara baik dan benar. Kegunaannya tidak untuk masa lampau melainkan untuk menciptakan babak baru ke masa depan di mana kita semua yang masih hidup mampu memetik pelajaran, sekali ini, agar masa lampau tidak lagi menjadi beban yang menghambat totalitas kita sebagai bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan yang secara eskalatif menjadi makin berat.

Politik kebebasan menghadapi kehampaan. Politik kebenaran yang semestinya menjadi pilihan kita, penting untuk diimbangi dengan politik kebebasan atau kemerdekaan. Sekaligus ini berarti kita meninggalkan politik yang ideologistis, karena ideologi selalu diklaim sebagai kebenaran itu sendiri sehingga terjadi kemandegan. Politik kebenaran dan politik kemerdekaan, layak untuk menjadi obsesi dalam modernisasi kehidupan politik dan kehidupan berbangsa bernegara di masa depan. Politik yang melindungi kebebasan adalah penting. Sementara kebebasan itu sendiri adalah kebebasan yang dibatasi oleh hukum dalam demokrasi. Bila kita ingin melawan komunisme – betapapun ideologi itu telah surut dalam beberapa dekade terakhir ini– berarti kita harus mampu melahirkan bentuk-bentuk yang lebih baik, bukannya yang lebih buruk atau sama buruknya. Sejauh ini kita hanya berhasil secara fisik melawan PKI dan komunisme di tahun 1965, untuk sebagian melawan kekerasan keji dengan kekerasan yang di sana-sini tak jarang secara kualitatif sama buruknya. Tetapi setelah itu, kita ternyata gagal memenangkan esensi masalah, yakni mengatasi kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan dalam kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dengan pengatasnamaan rakyat, agama dan norma-norma Pancasila.

Pada sisi sebaliknya, memang kita tidak berhasil menciptakan alternatif tata kehidupan yang lebih baik. Kekuasaan pemerintahan dan bentuk-bentuk kekuasaan lain di tengah masyarakat, yang kita bentuk, cenderung tidak berguna dan tidak berkemampuan penuh menciptakan alternatif tersebut. Kekuasaan-kekuasaan yang terbentuk sepenuhnya diabdikan untuk tujuan dan kepentingan-kepentingan yang sempit saja. Ini terjadi karena kekuasaan-kekuasaan itu sendiri tidak terbentuk oleh dan tidak bersumber pada norma-norma demokrasi modern yang telah kita letakkan sebagai cita-cita dalam perjalanan ke masa depan. Kekuasaan-kekuasaan yang tercipta, adalah dari sumber-sumber yang berasal dari kemampuan dalam menggunakan kekerasan, tipu daya untuk dan dalam kekayaan (semacam merkantilisme) serta kekerabatan yang berakar pada sistem nilai feodalisme klasik dari Timur yang memperoleh perkuatan oleh sistem nilai warisan kolonial. Sementara itu, di lapisan tengah dan bawah masyarakat tidak berhasil ditanamkan satu patriotisme baru yang tidak terbatas kepada pengertian fisik menjaga kedaulatan negara kesatuan belaka, melainkan meluas dalam bentuk bela negara lainnya yang ditunjang kemampuan profesional keilmuan dan teknologi serta wawasan-wawasan keimanan yang lebih tercerahkan dan kemanusiaan yang universal. Kehampaaan situasi tanpa kekuasaan dengan makna baru dan kehampaan karena keterbatasan profesionalisme serta wawasan baru, menyebabkan kita senantiasa hanya bisa bermain pada dataran yang penuh sindrom dan symptom belaka, yang tak menghasilkan apa-apa selain kesukaran demi kesukaran dari waktu ke waktu.

*Dr Marzuki Darusman SH, aktivis mahasiswa 1966 hingga 1970-an.  Jaksa Agung RI, pasca Soeharto.

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.

SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan pada PKI.

Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. “Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir 1965.

Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa.

Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi menurut Clifford Geertz. Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.

Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan Siliwangi.

Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.

Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan Soekarno?

Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang jenderal meninggal.

Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban salah tangkap.

Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.

-Diolah kembali dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (4)

”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.

Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.

Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.

Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’. Rumah tokoh-tokoh PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman, yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.

Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina. Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.

Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah satunya adalah Harian Marhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak ‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.

Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar.

Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.

Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses ‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.

Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan-pemaparan berikut ini.

PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan  Sulawesi Selatan memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni– maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.

Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya –karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak. Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan.

Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah, tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan hormat dari lingkungannya.

Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.

Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah, perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperangan melawan Belanda.

Adalah karena kepopuleran PNI dan organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI.

Berlanjut ke Bagian 5

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (2)

“Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. ‘Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya’, kata Sjahrul. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar”.

Setelah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan oleh Soekarno, berangkar ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut dalam percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan dengan kehadiran Aidit di Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial. Faktanya memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang cukup kuat. PKI di wilayah itu yang ‘dominan’ dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode Nasakom –dan hanya diimbangi oleh PNI– setelah Peristiwa 30 September merasa dihadapkan kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dulu membantai atau dibantai. Dan karena itu, pada sisi sebaliknya pada kelompok non-komunis juga berlaku pilihan serupa.

Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat dikatakan suasana dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan penelitian itu, massa PKI juga sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang ada di kantor kecamatan.

Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang PKI menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa, kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan situasi balas dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik.

Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima Pasukan Komando Armada I di Surabaya, adalah karena faktor emosional semata akibat jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang terjadi. Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu adalah dengan tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian sebaliknya, menjadi korban pembunuhan oleh orang-orang PKI– maka keterlibatan anggota-anggota KKO ini sempat menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi pula di Jawa Timur.

Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian Letnan Jenderal) Hartono ‘kebetulan’ juga banyak tampil dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh lagi dengan konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat pasca 30 September. Letnan Jenderal Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang dianggapnya terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai Angkatan Darat, adalah sikap ‘pembangkangan’ dan politik-politikan sejumlah jenderal terhadap Presiden Soekarno. “Dulu saya memang tidak setuju Soekarno diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi. Kita adalah tentara, dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela”.

Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal Hartono sendiri, menjadi tragis di kemudian hari. Setelah Soeharto menjadi Presiden, untuk beberapa bulan Hartono tetap ‘dibiarkan’menjadi Panglima KKO. Setelah itu, ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu ketika sedang berada di Jakarta, ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di salah satu ruangan. Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat kemudian ia ditemukan tewas karena luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono kemudian disimpulkan secara resmi tewas karena bunuh diri.

Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu sempat datang menengok ke kediaman Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan sengaja. Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, kasus kematian Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang tak ‘terungkapkan’.

Ketika gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis makin meningkat dan makin banyak pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di kalangan kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala puluhan ribu, tetapi mengingat panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus ribuan khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.

Keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan penculikan dan pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang anggota Banser tertawan, lalu ‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap ‘darah dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.

Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang  dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.

Kisah ‘pembantaian’ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga ‘mengakumulasi’kan sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika sewa menyewa itu dihentikan. 250 massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota BTI dengan mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.

Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya. Tetapi suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September, kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk beritanya ke Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa di Bali. Tapi pada bulan berikutnya mulai muncul ‘hasutan’, terutama dari tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam, seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.

Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal-soal ideologis, meskipun perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten antara pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya adalah pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30 September, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif.

Berlanjut ke Bagian 3

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (1)

“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”.

LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.

Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.

Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.

Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi,  menyusul pula rentetan pembunuhan massal –siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.

Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?

Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga tersembuhkan.

Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.

Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.

Fase berdarah babak kedua

RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama  di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.

Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.

Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang umumnya adalah warga PNI.

Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa lama.

Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”. Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah menjalani latihan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (3)

“Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern”.

SEBELUM lontaran gagasan mengenai Angkatan Kelima, lebih awal di bulan Januari 1965 itu Soebandrio melontarkan semacam teka-teki politik yang mengundang bermacam tafsir, karena menyodorkan insinuasi akan terjadinya suatu persilangan jalan politik. Senin 4 Januari, Soebandrio menyampaikan semacam ‘perkiraan’ politik, dan dikutip pers menyatakan bahwa “dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi di mana kawan seperjuangan akan menjadi lawan”. Apa yang sekarang revolusioner, ujar sang Wakil Perdana Menteri I, akan menjadi kontra revolusi dan reaksioner. ”Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi dan comrades in arms”.

Karena Soebandrio adalah juga membawahi Badan Pusat Intelejen yang sehari-hari dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, tentu saja pernyataannya menjadi perhatian dan bahan spekulasi tentang apa sebenarnya yang telah dan akan terjadi, apalagi ia menyampaikannya dengan suatu gaya yang dramatis tentang akan adanya pisah jalan sekaligus situasi konfrontatif. “Jangan terkejut, apabila saya katakan  bahwa mungkin  dalam tahun 1965 ini  kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan karena tak bisa lagi mengikuti jalannya revolusi”, lanjutnya. “Menghadapi kemungkinan ini, kita sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi revolusi kita tak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa kita lakukan demi keselamatan revolusi kita”, seraya mengingatkan pula bahwa revolusi kita belum selesai.

Bila penggunaan istilah ‘comrades in arms’ adalah dalam konteks kelaziman hubungan di antara golongan kiri, semestinya yang dimaksud adalah kawan seperjuangan satu ideologi. Tapi bilamana ‘comrades in arms’ digunakan di sini secara artifisial dan sekedar basa-basi, dengan segera dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksudkan adalah kalangan tentara yang tak berhaluan kiri, baik kelompok Jenderal Abdul Harris Nasution maupun kelompok Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada awalnya dinyatakan sebagai ‘tangan kanan’ –rechter hand–  Soekarno. Dan karena Soebandrio selama beberapa lama dikenal sebagai ‘tangan kiri’ Soekarno dalam politik dan kekuasaan, maka pernyataan itu dianggap datang dari Soekarno sendiri yang kala itu makin condong ke kiri.

Belakangan, setelah terjadinya peristiwa di akhir September 1965, semua itu dikaitkan sebagai isyarat dini dari Soekarno tentang suatu rencana pembersihan antas Angkatan Darat. Perlu dicatat, di akhir 1964 dan awal 1965 itu, BPI sudah mulai mencium adanya kegiatan sejumlah perwira Angkatan Darat menjalankan misi khusus untuk menghentikan konfrontasi terhadap Malaysia. Lebih dari itu, pada sekitar waktu yang sama BPI menyampaikan pula semacam pra-analisa untuk kalangan terbatas secara internal, yang dibahas di tingkat pimpinan, tentang kemungkinan telah berkembangnya satu rencana di kalangan perwira Angkatan Darat yang berkonotasi pengambilalihan kekuasaan.

Tatkala Aidit melontarkan tuntutan mengenai Angkatan Kelima dan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah kalangan tentara lainnya memberi reaksi penolakan, yang mulanya bernada diplomatis sebelum menjadi keras sehingga disebut Soekarno sebagai sikap ‘koppig’, perkiraan awal tahun Soebandrio seakan mendapatkan pembenarannya. Silang kata mengenai Angkatan Kelima berlangsung eskalatif, selama berbulan-bulan. Pada bulan kelima 1965, isu dan polemik keras mengenai Angkatan Kelima, tambah menajam karena muncul lagi satu isu baru menyangkut ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist tentang suatu konspirasi Barat dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Bahwa di tubuh Angkatan Darat ada sebuah Dewan Djenderal yang merencanakan suatu pengambilalihan dari tangan Soekarno. Dua pokok soal, Angkatan Kelima dan Dewan Jenderal, menyebabkan terjadi pemanasan politik dan penajaman perseteruan politik menjadi pertarungan politik dan kekuasaan yang sebenarnya di dalam tubuh segitiga kekuasaan.

Dalam kasus ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal, Angkatan Darat ditempatkan dalam posisi tertuduh dalam serangan gencar oleh Soebandrio dan PKI, sebagai perencana suatu usaha pengambilalihan kekuasaan. Tetapi di  tahun sebelumnya, 1964, PKI lah yang menjadi tertuduh selaku perencana suatu perebutan kekuasaan negara. Sebuah ‘dokumen’ rahasia berisi Rencana 4 Tahun PKI yang berisi pokok perjuangan PKI yang menuju perebutan kekuasaan, ‘ditemukan’ pada awal tahun tersebut. Dalam suatu pertemuan di Istana Bogor, di depan Soekarno, adalah tokoh Partai Murba (Musyawarah Rakyat Berjuang) yang juga adalah Waperdam III Chairul Saleh yang mengungkapkannya. Soekarno yang mendengar laporan itu, langsung menanyakannya secara terbuka kepada Aidit. Dengan sengit, seraya menoleh ke arah Chairul, Aidit membantahnya sebagai dokumen palsu, yang dimaksudkan untuk memfitnah PKI.

Dalam salah satu versi peristiwa, dalam rapat di Istana Bogor itu, yang dipercaya kebenarannya, terjadi debat sengit antara Chairul dengan Aidit. “Itu dokumen palsu !”, kata Aidit keras. Tak kalah kerasnya, Chairul membentak “Kalau dokumen ini dikatakan palsu, tunjukkan mana aslinya !”, supaya bisa diperbandingkan. Ketika Aidit hendak mendebat lagi, Chairul maju dengan cepat dan melayangkan satu pukulan ke bagian wajah Aidit. Soekarno yang berada tak jauh dari mereka, segera melerainya lalu mendamaikan keduanya. Para peserta rapat, di bawah arahan Soekarno lalu melahirkan ‘Deklarasi Bogor’ untuk mengakhiri dan mencegah persoalan berlanjut.

Tetapi agaknya, PKI tetap menyimpan dendam dan melancarkan serangan politik dengan menyebutkan pimpinan Murba sebagai “penyebar dokumen palsu” dan “tukang fitnah”. Berikutnya, serangan itu meningkat dengan aksi-aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran Murba. Pada akhirnya Murba memang betul-betul dibubarkan oleh Soekarno, 21 September 1965. Namun, dalam salah satu rapat menjelang Peristiwa 30 September 1965, setahun lebih setelah insiden di Istana Bogor, ketika Sjam Kamaruzzaman mengusulkan kepada Aidit, agar menculik Chairul Saleh dan eks Wakil Presiden Mohammad Hatta, Aidit dengan wajah tampak heran balik bertanya, “Untuk apa ?”. Sjam memberi alasan, bahwa kedua orang itu, khususnya Hatta, sering berhubungan dengan Jenderal Nasution, dan banyak tahu mengenai Dewan Jenderal dari sang Jenderal, sehingga dari keduanya bisa dikorek keterangan mengenai hal itu. Aidit menolak menculik Hatta maupun Chairul Saleh, tokoh yang pernah bermasalah dengannya di tahun sebelumnya (Pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan Mahmilub 1968 di Gedung Merdeka Bandung). Pembubaran Murba hanya sembilan hari menjelang 30 September sejauh perkembangan yang terjadi tidaklah menyebabkan Chairul Saleh tergeser dari posisinya di kabinet maupun dari sisi Soekarno dan ikut bersama sang pemimpin memasuki tahun 1966 yang bergolak. 

Kasus ‘dokumen rahasia’ Rencana 4 Tahun PKI 1964 untuk pengambilalihan kekuasaan politik dan negara, ‘penemuan’ dokumen Gilchrist beserta isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan dari Soekarno, gagasan pembentukan Angkatan Kelima yang didahului ramalan Soebandrio tentang perpisahan dengan comrade in arms yang akan berubah dari kawan seperjuangan menjadi lawan, berpadu dalam akumulasi tanda pergeseran tingkat situasi.

Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua puluh tahun Indonesia merdeka, telah terjadi setidaknya delapan pemberontakan berskala cukup besar, terdiri dari satu pemberontakan komunis di Madiun, empat pemberontakan DI-TII di empat daerah, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Artinya, satu pemberontakan setiap dua setengah tahun. Selain itu, tak kurang dari sepuluh pemberontakan atau insiden skala lebih kecil juga terjadi dalam kurun waktu tersebut, ditambah sepuluh pemberontakan atau benturan dan peristiwa berdarah lainnya di antara sesama bangsa sendiri maupun upaya pemisahan diri yang semuanya terkait dengan provokasi Belanda. Secara keseluruhan, ini berarti ada dua atau tiga peristiwa per tahun, hingga saat itu. Sungguh meletihkan.

Dan akan terjadi satu lagi, di saat tingkat pertarungan politik dan kekuasaan sekali lagi melangkah memasuki wilayah konspirasi: Peristiwa 30 September 1965. Selesai.

Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.

Dalam Kancah Politik Kekerasan (3)

“Bersamaan dengan itu, perilaku ‘premanisme’ justru marak dengan jalinan-jalinan rumit dari dan ke dalam dunia politik maupun kekuasaan, yang amat terasa sebagai penderitaan baru bagi masyarakat dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial sehari-hari”. Mereka yang pernah menyaksikan aksi-aksi massa PKI 1960-1965 akan sukar menemukan perbedaan dengan apa yang dihidangkan melalui gerakan massa masa kini”.

KEKERASAN besar ketiga yang dilakukan PKI adalah penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat serta beberapa perwira menengah di Jakarta –lalu di Jawa Tengah-Yogya– pada 30 September tengah malam menuju 1 Oktober 1965. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa 30 September 1965. Meskipun terdapat upaya keras untuk menampilkan peristiwa ini sebagai pergolakan internal Angkatan Darat, tapi sejauh ini fakta dan bukti yang ada memperlihatkan adanya keterlibatan sejumlah pimpinan PKI dalam Gerakan 30 September 1965. Akan tetapi di lain pihak, harus pula diakui bahwa peristiwa itu sendiri merupakan puncak pertarungan politik yang terutama berlangsung setidaknya sejak tahun 1959 antara kelompok komunis di satu kutub dengan tentara pada kutub yang lain, dengan spektrum keterlibatan unsur-unsur lainnya dalam struktur Nasakom. Apa dan bagaimana peristiwa tersebut, dapat diikuti dan diperbandingkan satu sama lain melalui sejumlah tulisan berikut dalam blog sosiopolitica ini.

Namun terlepas dari masih adanya perbedaan nuansa dalam memandang peristiwa tanggal 30 September 1965, satu hal dapat disimpulkan bahwa dalam perilaku politiknya, PKI senantiasa menggunakan cara-cara kekerasan –mulai dari agitasi, provokasi, gerakan massa yang menekan lawan politik hingga kepada kekerasan-kekerasan fisik berdarah. Ini berkaitan erat dengan sifat dasar dari ideologi yang mereka anut, yang telah mengalami perkembangan dari Marxisme yang filosofis untuk kemudian dipertajam sebagai komunisme ala Lenin-Stalin maupun komunisme ala Mao. Dengan ideologi ini, mereka senantiasa berpretensi untuk memperjuangkan rakyat, bahkan membalaskan dendam rakyat yang tertindas oleh kelas atas ekonomi, namun pada prakteknya rakyat kelas bawah itu tetap saja adalah alat, karena kekuasaan sesungguhnya ada di tangan penguasa partai yang akan menentukan hitam putih nasib kelas bawah.

Bagaikan pantulan cermin

Meskipun dimusuhi dan telah dibasmi bersama-sama, tetapi adalah cukup ‘menakjubkan’ bahwa cara-cara bergerak dan berpolitik PKI, termasuk bagian-bagian terburuk, ternyata di kemudian hari dipraktekkan oleh sebagian ‘lawan-lawan’ politik PKI –bahkan oleh korban-korban penganiayaan politik PKI– pasca pembubaran PKI 12 Maret 1966. Dan semua itu terjadi bagaikan pantulan bayangan cermin, terbalik dan berada pada sisi yang berlawanan, namun serupa. Ini berjalan sebagai suatu sindrom psikologis, sindrom para korban akibat suatu simptom politik, yang pada gilirannya kemudian menjadi lagi suatu simptom baru. Mereka yang pada suatu saat pernah menderita dan teraniaya oleh sesuatu yang lebih kuat, pada saat yang lain sewaktu muncul kesempatan, mungkin akan berubah posisi menjadi pelaku pembuat derita dan penganiayaan terhadap pihak yang lebih lemah, dengan cara-cara yang persis sama. Bahkan bila berpadu dengan rasa balas dendam, bisa menampilkan bentuk-bentuk yang lebih dahsyat.

Segera setelah Soekarno jatuh dan PKI dibubarkan, stigmatisasi berupa tudingan-tudingan ‘mendongkel pemimpin besar revolusi’, ‘anti Soekarno’, ‘kontra revolusi’ dan ‘komunisto phobi’ diganti dengan ‘anti Pancasila’ dan ‘antek G30S/PKI’, ‘anti Orde Baru’ atau ‘terindikasi PKI’. Penggunaan tudingan-tudingan seperti itu masih bisa dimengerti pada 1966-1967, tetapi ketika berlarut-larut digunakan hingga beberapa tahun kemudian untuk mematikan kritik terhadap kekuasaan atau sikap kritis lainnya, hal itu mulai tak bisa dipahami selain dalam pengertian sebagai senjata politik yang totalistik. Dalam suatu proses yang eskalatif, cara-cara untuk melakukan penganiayaan politik, tekanan, provokasi dan berbagai bentuk character assasination lainnya, muncul terminologi-terminologi baru dengan esensi dan konteks destruksi yang sama, seperti ‘anti pembangunan’ dan kemudian ‘anti reformasi’. Pasca kekuasaan Soeharto, muncul juga generalisasi dalam penggunaan istilah ‘kroni’ dan ‘orba’. Secara horizontal kerap pula dilontarkan tuduhan-tuduhan ‘anti Islam’ bagi mereka yang tidak setuju terhadap tindakan-tindakan politik partai-partai politik Islam –dan bukan kepada Islam sebagai agama– ataupun ‘anti ABRI’ bagi mereka yang melancarkan kritik terhadap aspek tertentu keikutsertaan ABRI dalam kancah politik praktis. Pada arah sebaliknya muncul pula generalisasi terhadap terminologi-terminologi ‘Islam fundamentalis’ ataupun juga ‘Kristen fundamentalis’ serta pelekatan secara mudah predikat ‘teroris’ yang mungkin saja malah memicu meningkatnya pelaku teror. Tetapi adalah menarik bahwa bersamaan dengan itu perilaku ‘premanisme’ justru marak dengan jalinan-jalinan rumit dari dan ke dalam dunia politik maupun kekuasaan, yang amat terasa sebagai penderitaan baru bagi masyarakat dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial sehari-hari.

Dalam kurun waktu politik 1959-1965, PKI amat menonjol dalam mobilisasi massa besar-besaran yang membuat gentar pihak lain, di kota-kota maupun di wilayah pedesaan. Demonstrasi-demonstrasi yang ‘revolusioner’ umumnya dilakukan oleh PKI dan organisasi-organisasi mantelnya, yang kadangkala ‘mau tak mau’ diikuti oleh PNI ataupun partai politik yang lain karena ‘takut’ atau tak mau ketinggalan menunjukkan sikap ‘revolusioner’nya. Sedangkan, kurang atau tidak ‘revolusioner’, berarti selangkah lagi menjadi ‘kontra revolusioner’. Ada aneka demonstrasi dengan aneka sasaran: Kedutaan Besar Inggeris, Kedutaan Besar Amerika Serikat, pengganyangan film Amerika dan musik ngakngikngok, anti Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dan sebagainya. Demonstrasi-demonstrasi selalu disertai dengan penggunaan poster dan spanduk yang mencaci maki dan menista, seringkali disertai pembakaran-pembakaran bendera serta boneka patung tokoh-tokoh yang jadi sasaran.

Mobilisasi massa menampilkan wajah-wajah manusia Indonesia yang berbeda dari bayangan umum yang melekat di dalam pikiran yang dicitrakan sejak di bangku sekolah, karena semuanya menjadi garang dan menakutkan bagi mereka yang menyaksikan. Demonstrasi tak pernah dilakukan dengan cara yang damai untuk menarik simpati dan dukungan. Makin menakutkan, makin dianggap sukses suatu mobilisasi massa. Di pedesaan, mobilisasi massa tak kalah mengerikan karena sudah berwujud revolusi kecil-kecilan yang bertujuan untuk menduduki dan merampas tanah-tanah orang lain, bila perlu dengan kekerasan berdarah merenggut nyawa seperti yang terjadi di beberapa desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Bali.

Pemilihan Umum 1971, yang meski dilakukan pasca era Nasakom yang ‘terpimpin’, bagaimanapun harus diakui, menampilkan sejumlah ekses berupa kekerasan yang tercatat di beberapa daerah. Jika di tahun 1965-1966, gerakan Pemuda Ansor menjadi salah satu ujung tombak ‘perburuan’ dan ‘pembasmian’ terhadap pengikut-pengikut PKI di Jawa Timur dan Tengah, maka di daerah lainnya di Jawa justru Pemuda Ansor yang menjadi barisan pemuda Partai NU menjadi bulan-bulanan barisan pemuda Golkar dalam masa kampanye Pemilihan Umum 1971. Laporan jurnalistik Hasyrul Moechtar, menyebutkan bahwa seorang Komandan Militer di suatu kabupaten pantai utara Jawa, mengerahkan sejumlah pemuda yang tadinya diberi label golongan C (karena pernah menjadi anggota sebuah organisasi onderbouw PKI) untuk mengintimidasi dan menganiaya fisik anggota-anggota Ansor atas nama organisasi pemuda pendukung Golkar. Dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya tahun 1977 dan 1982, pada masa kampanye di beberapa daerah massa peserta kerap berperilaku beringas satu terhadap yang lain di antara tiga peserta, dengan Golkar yang dianggap paling tinggi kadar provokasinya dan PPP di urutan kedua –seperti yang ditampilkannya dalam Peristiwa Lapangan Banteng. Tetapi pada Pemilihan Umum 1987, dalam beberapa kasus Golkar kalah galak dan beringas, apalagi pada saat itu pimpinan formal ABRI tidak terlalu berpihak kepada Golkar seperti pada masa-masa sebelumnya. Dalam Pemilihan Umum 1997, PDI tampil tak kalah galak, walau akhirnya yang keluar sebagai pemenang adalah Golkar di bawah Harmoko dengan perolehan suara yang menakjubkan sekaligus amat ‘mengherankan’.

Partai-partai masa reformasi tak kalah galak. Kampanye Pemilihan Umum 1999 memang berlangsung meriah dan bebas, namun juga tak luput dari ekses. Namun yang paling mencemaskan adalah bahwa di sana sini dalam perilaku massa terselip gaya intimidasi. Paling ringan misalnya, bila massa mengacungkan tanda dengan tangan atau jari yang merupakan simbol partai, dan memaksa publik yang kebetulan berpapasan dengan mereka untuk membalas dengan isyarat yang sama. Massa sejumlah partai menampilkan perilaku beringas, yang lebih tepat untuk menimbulkan rasa takut daripada mengundang simpati, serupa dengan pola perilaku massa PKI 1959-1965. Lebih dari sekedar apa yang dicerminkan melalui tingkah laku massa, beberapa partai juga melakukan pengkaderan yang ketat meniru metode PKI di masa lampau, dan samasekali tidak memberi peluang lahirnya kader yang berjiwa demokratis. Dengan sikap-sikap yang totalistik yang ditampilkan massa, tak terhindarkan terjadinya sejumlah benturan fisik antar massa pendukung masing-masing partai maupun dengan masyarakat.

Sejumlah mobilisasi massa yang menggejala sebagai deretan simptom politik pada tahun-tahun terakhir di Indonesia, baik dilakukan oleh partai-partai maupun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat, memang berkecenderungan dilakukan dengan garang dan keluar dari batasan dinamika kebebasan demokrasi, karena efek gerakan massa yang diinginkan memang adalah memaksakan kehendak, bukan menawarkan kehendak agar bisa diterima dan disetujui pihak lain. Mereka yang pernah menyaksikan aksi-aksi massa PKI 1960-1965 akan sukar menemukan perbedaan dengan apa yang dihidangkan melalui gerakan massa masa kini. Sukses suatu demonstrasi kerapkali diukur dari seberapa jauh bisa menimbulkan kemacetan lalu lintas dan seberapa jauh mampu memancing balasan brutal dari aparat keamanan yang memang juga tak jarang amat garang dan mengerikan.

Jadi, benar yang dituliskan Alex Rumondor –seorang aktivis mahasiswa 1966 anti komunis dan Soekarno– bahwa musuh kita yang lebih mendasar ternyata adalah: Kemiskinan dan kemelaratan. Penderitaan. Kekerdilan dan kemeranaan jiwa. Penyakit-penyakit. Ketidaktahuan serta kebodohan. Bentuk-bentuk pemerasan. Dan, bentuk tirani pemikiran. PKI hanyalah a passing moment in Indonesian history. Hanya saja, akar situasi simptomatis yang melahirkan rangkaian peristiwa kekerasan yang terkait dengan PKI tidak pernah betul-betul ikut berlalu bersama waktu untuk sekedar menjadi sejarah masa lampau. Bahkan, passing moment itu telah bermutasi menjadi situasi kronis baru dengan simptom-simptom baru pula.Memang perlu belajar dari sejarah, supaya tidak tergelincir menjadi pelaku baru dalam sejarah yang buruk. Selesai.

*Tulisan asli berjudul “PKI dalam Kancah Politik Kekerasan”, artikel dalam buku Simtom Politik 1965 – PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan’, Kata Hasta Pustaka, 2008, Editor: OC Kaligis, Rum Aly.

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (2)

“Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan”.

Namun yang paling ‘mengganggu’ ibarat duri dalam daging bagi Angkatan Darat, adalah penyusupan dalam bentuk ‘pembinaan’ terhadap sejumlah perwira oleh PKI sejak awal dari waktu ke waktu, dan makin meningkat setelah tugas itu diambilalih oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman dan Pono. Dalam penanganan Biro Khusus, penggarapan menjadi lebih sistematis dan efektif karena menyangkut perwira-perwira yang menempati jabatan strategis atau perwira-perwira potensil yang kemudian berhasil menempati posisi-posisi strategis. Perwira-perwira yang kecewa karena rivalitas internal juga menjadi salah satu sasaran pembinaan. Beberapa perwira yang mempunyai kedekatan dengan PKI bisa dikenali dan senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh Angkatan Darat, tapi tentu saja tak bisa diapa-apakan, kecuali mereka melakukan pelanggaran. Akan tetapi yang tidak diketahui pimpinan Angkatan Darat adalah jauh lebih banyak lagi. Beberapa panglima daerah militer tercatat amat dekat dengan PKI, semisal Panglima Mulawarman Brigjen Suharyo dan Brigjen Soepardjo. Letnan Kolonel Untung yang kemudian ditempatkan sebagai salah satu komandan batalion Tjakrawibawa adalah contoh lainnya lagi.

Di wilayah Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, sekitar 1964-1965 terpetakan pengaruh PKI yang begitu kuatnya, dari kurang lebih 40-an Komando Distrik Militer (Kodim) ada kurang lebih 30 di antaranya dipegang oleh perwira-perwira yang berhaluan komunis. Situasi seperti ini tentu saja amat ironis, karena pada masa SOB dengan kewenangan yang dimilikinya pimpinan Angkatan Darat memaksudkan Kodim-kodim ini serta satuan-satuan teritorial yang lebih kecil, yakni Komando Rayon Militer (Koramil) yang dibentuk di bawahnya, adalah justru antara lain untuk melakukan pengendalian dan pembatasan –dalam arti sebenarnya– gerak langkah PKI di daerah-daerah.

Penggarapan yang cukup fenomenal dan sempat mencengangkan kelak di kemudian hari adalah yang terjadi atas perwira-perwira Siliwangi, divisi yang di tahun 1948 bertugas memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Mulai dari Mayjen Rukman, Brigjen Somali sampai kepada Kolonel Djukardi yang menempati jabatan Walikota Bandung hingga tahun 1968, yang secara keseluruhan mencapai puluhan perwira dari berbagai tingkat, ternyata berhasil dirangkul dan masuk ke dalam wilayah pengaruh PKI. Setelah Peristiwa 19 Agustus 1966 –penyerbuan Konsulat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Jalan Lembong Bandung– misalnya, Siliwangi melakukan pembersihan sejumlah perwira yang terlibat pada peristiwa tersebut yang mengambil korban nyawa mahasiswa Universitas Parahyangan, Julius Usman. Perwira-perwira yang ada kaitan dengan PKI itu antara lain Wakil Komandan Kodim Bandung Mayor A. Santoso, Kepala Staf I/Intelejen Kodim Bandung Kapten Sunarto, Kepala Staf II Kapten Oking dan Komandan Likdam VI Siliwangi Mayor Lili Buchori. Sementara itu, di Kodam Brawijaya Jawa Timur, terdapat sejumlah batalion yang sepenuhnya dikuasai oleh perwira-perwira berhaluan komunis.

Secara nasional, pada periode 1960-an hingga 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lingkaran pimpinan Angkatan Darat yang ada di sekitarnya, sesungguhnya tak bisa lagi memetakan dengan jelas panglima-panglima daerah militer mana saja yang benar-benar ada dalam kendali komandonya, kalau bukan sudah dipengaruhi dan condong secara ‘politis’ kepada PKI, setidaknya jauh lebih patuh kepada Soekarno. Yani yang pada dasarnya adalah Soekarnois, sebenarnya tidaklah terlalu berkeberatan dengan orientasi sejumlah perwira kepada Soekarno. Akan tetapi, Yani tidak begitu menyenangi gaya akrobatik sejumlah ‘kolega’nya yang ‘tembak langsung’ ke Soekarno untuk masalah-masalah yang semestinya ditangani melalui Yani berdasarkan kewenangannya selaku Panglima Angkatan Darat. Terlebih bila itu semua mengandung unsur intrik dan konotasi saling menjegal. Fenomena adanya sejumlah perwira teras yang berada dalam wilayah abu-abu dan atau zona oportunistik seperti itu, sungguh tak menyenangkan Yani.

De beste zonen van Soekarno. Terdapat pula sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putera-putera kesayangan Soekarno, yang belum tentu komunis, bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI daripada siapa pun dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Tapi dalam batas tertentu ini dianggap ‘wajar’ saja, karena Soekarno memang adalah Pangti. Perwira-perwira tinggi yang masuk kategori de beste zonen ini, namun kemudian berperanan dalam proses perubahan kemudian hari pada masa pasca Soekarno, antara lain adalah Letnan Jenderal Muhammad Jusuf, Letnan Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal Amirmahmud, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Mashudi.

Jenderal Jusuf dikenal sebagai salah satu tokoh Peristiwa Tiga Selatan. Ketika masih menjadi Panglima Daerah Militer di Sulawesi Selatan di tahun 1960, berpangkat Kolonel, ia dengan wewenang SOB-nya melakukan pelarangan kegiatan PKI di wilayah komandonya. Dua komando wilayah militer Selatan lainnya, yakni Kalimantan Selatan di bawah Kolonel Jusi dan Sumatera Selatan di bawah Kolonel Harun Sohar melakukan tindakan serupa. Dalam suatu momentum peristiwa lainnya, tahun 1965, Soekarno pernah akan menjadikan Brigjen M. Jusuf sebagai Waperdam IV bidang ekonomi. Letnan Jenderal Yani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Soekarno, dengan alasan yang bersangkutan masih muda dan tak cukup punya pengalaman politik. Jusuf sendiri, digambarkan cukup kaget, namun tak diketahui bagaimana apresiasinya terhadap ketidaksetujuan Yani itu. Sikap keras militer terhadap PKI itu masih serentetan dengan penangkapan tokoh tingkat pusat dari PKI, Ir Sakirman, sebulan sebelumnya oleh Garnisun Ibukota, justru karena suatu kritik terhadap Demokrasi Terpimpin. Bersama Sakirman, sejumlah tokoh CC PKI lainnya juga diperiksa, sementara Harian Rakjat milik PKI diberangus penguasa militer. Salah satu tindakan keras militer yang lebih mutakhir, di bulan Mei tahun 1965, dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Mulawarman di Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Soemitro, berupa penangkapan terhadap sejumlah tokoh organisasi Komunis dari Pemuda Rakyat maupun Gerwani, karena ucapan-ucapan provokatifnya terhadap Angkatan Darat. Pada waktu bersamaan Soemitro juga memecat seorang Komandan Kodim dan Komandan Batalion serta beberapa perwira staf yang dianggapnya punya hubungan dengan PKI. Di luar Angkatan Darat, tercatat pula beberapa nama, antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Letnan Jenderal Hartono dari Korps Komando AL (KKO) sebagai de beste zonen van Soekarno yang umumnya lebih toleran untuk tidak menyebutnya dekat dengan golongan politik komunis.

Dari sisi sebaliknya, bukannya tak ada upaya penyusupan militer ke dalam tubuh PKI dan organisasi mantelnya. Jenderal Nasution misalnya, pernah menugaskan beberapa perwira melakukan tugas ‘pendekatan’ agar ‘masuk’ lingkaran kepercayaan PKI. Pimpinan Angkatan Darat juga melakukan hal serupa. Umumnya, penugasan dilakukan secara lisan tanpa dokumen tertulis demi kerahasiaan. Sungguh malang, bahwa di kemudian hari setelah angin kekuasaan berubah, perwira-perwira penyusup ini ikut ditangkap karena ‘kasat mata’ memiliki jalinan kedekatan dengan PKI. Hanya sedikit di antara mereka, yaitu mereka yang ditugaskan Nasution, dapat diselamatkan dari pembersihan. Tidak demikian halnya dengan yang kebetulan mendapat penugasan menyusup dari pimpinan Angkatan Darat yang kemudian tewas dalam Peristiwa 30 September 1965.

Kemampuan PKI menginfiltrasi militer, teristimewa Angkatan Darat, memang terlihat masih sejak awal kemerdekaan. Tatkala melakukan pemberontakan di tahun 1948, PKI di bawah Muso bisa mengerahkan dukungan kuat pasukan bersenjata dari kalangan Angkatan Darat melalui perwira-perwira yang bisa dipengaruhi mereka, seperti Kolonel Sungkono yang diangkat PKI sebagai Gubernur Militer, Letnan Kolonel Dahlan dan Mayor Sudigdo. Perwira-perwira ini mengerahkan sebagian batalion-batalion dari Resimen Panembahan Senopati. Mayor Slamet Riyadi –yang kemudian hari gugur dalam operasi penumpasan RMS di Ambon– adalah salah satu komandan batalion di Panembahan Senopati ini, namun tak ikut serta dalam peristiwa. Komandan resimen ini sendiri, Kolonel Suadi, tampil dengan suatu peran abu-abu dalam rangkaian Peristiwa Madiun ini. Bahkan Letnan Kolonel Soeharto yang kala itu bertugas di Yogyakarta sempat dipertanyakan ‘peranan’nya karena diketahui, dengan diantar Kolonel Suadi, pernah menemui Muso menjelang peristiwa. Soal ini kemudian diklarifikasi, bahwa Soeharto menemui Kolonel Suadi untuk menyampaikan pesan Panglima Soedirman agar pasukan Panembahan Senopati tidak terpengaruh oleh PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat), dan Suadi lah yang membawanya kepada Muso supaya bisa tahu duduk perkara lebih jauh. Kepada Soeharto, Muso menyatakan kekecewaannya terhadap Soekarno dan Hatta yang mau berunding dengan Belanda. “Ada perbedaan cara dalam perjuangan”, ujar Muso,“ pokoknya, saya tidak percaya Belanda dan akan terus melawan Belanda”. Tapi karena perbedaan itu, “Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan Muso menegaskan, “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan” Dengan ini, Muso mencoba menerangkan bahwa perlawanannya bukanlah semata-mata karena masalah ideologi.

Muso ini mengalami akhir yang tragis setelah Peristiwa Madiun. Ia dikejar-kejar oleh massa rakyat, terutama yang diorganisir oleh Masjumi, tertangkap dan kemudian dibunuh begitu saja oleh massa yang marah. Beberapa tokoh pemberontakan lainnya, tertangkap oleh pasukan militer dan kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi secara resmi oleh pihak militer.

Jakarta-Kuala Lumpur: Operasi Bawah Tanah. SETELAH perjuangan Trikora membebaskan Irian Barat, setidaknya ada dua ‘peristiwa politik’ yang cukup memojokkan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan Angkatan Darat maupun Jenderal AH Nasution yang memimpin berbagai versi Departemen Pertahanan Keamanan pada 5 kabinet Soekarno antara Juli 1959 hingga 1966, yakni Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang dicanangkan Soekarno 3 Mei 1964 dan manuver PKI yang melontarkan gagasan Angkatan Kelima Januari 1965.

Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah Selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan Bagian Utara. Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggeris. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggeris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian Utara Kalimantan tersebut. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri –namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya– melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan ‘bawah tanah’ yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil ‘damai’ jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei – 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian ‘damai’ karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdur Rahman ‘membalas’ dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksana 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, “Saya telah dikentuti”, ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih ‘halus’. Tetapi rencana KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada bulan Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekertaris Jenderal PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat mengenai aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia. Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada tahun 1964 setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk mengetahui bahwa bahkan Soebandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggeris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Soekarno maupun Soebandrio masih menunjukkan sikap tidak keberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang masih sedang dihadapi. Sikap ‘baik’ ini bertahan hingga setahun lebih. Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Soebandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah di Utara Kalimantan itu. Sabah dan Serawak memiliki garis perbatasan dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari Timur Laut menuju Barat Daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki ‘bersama’ Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari Bin Sjech Mahmud –yang pernah menjadi Kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan– mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggeris, namun dipatahkan. Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama tahun 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sang pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan. Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggeris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu ‘persamaan’ bawah permukaan dengan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya, Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun supportasi yang bisa diberikan Nasution agak terbatas. Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan.

Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberi masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut. Menurut beberapa analisis, terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi ‘perlu’ dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan ‘keharusan’ untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer –khususnya Angkatan Darat dan para jenderal– menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain ia banyak bersilang jalan dan kepentingan dengan para jenderal AD selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal. Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer, khususnya Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik –seperti halnya dengan masalah Irian Barat– dan masuk akal untuk suatu konfrontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggeris.

Berlanjut ke Bagian 3