Tag Archives: Prabowo Subianto

Polisi, Soal Keberanian dan Sikap Represif

SEPULUH tahun setelah pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Talib, para penggiat penegakan HAM dan kelompok masyarakat yang anti kekerasan kekuasaan, kembali menggugat kegagalan penguasa dalam pengungkapan sepenuhnya misteri kematian itu. Penyebab kematian Munir dipastikan akibat racun arsenik yang dibubuhkan pada minumannya saat berada dalam perjalanan menuju Belanda dengan pesawat Garuda. Pollycarpus Budihari, seorang pilot Garuda, telah diadili dan dihukum oleh pengadilan sebagai pelaku. Sementara itu Deputi V Badan Intelejen Negara (BIN) kala itu Muchdi Pr, yang diadili dengan tuduhan perencana pembunuhan, lolos, mendapat vonnis bebas dari hakim.

Dalam laporannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, Brigadir Jenderal Polisi Marsudi Hanafi, mengatakan kematian Munir adalah hasil konspirasi yang tak mungkin hanya dilakukan perorangan dengan motif pribadi. Kala itu, BIN yang dipimpin Jenderal AM Hendropriyono (sejak 9 Agustus 2001 sampai 8 Desember 2004), berada dalam sorotan. Peristiwa kematian Munir sendiri, terjadi Minggu 7 September 2004, tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Hendropriyono di BIN. Pers memberitakan, setidaknya ada 35 kali hubungan dari telepon genggam Pollycarpus dengan kantor Deputi V BIN, sebelum dan setelah Munir terbunuh. TPF ternyata terbentur di BIN dan tak bisa mendapat dokumen yang diperlukan terutama karena adanya keengganan bekerjasama dari pejabat di badan intelejen negara itu.

POSTER ALMARHUM MUNIR. "...... kematian Munir adalah hasil konspirasi yang tak mungkin hanya dilakukan perorangan dengan motif pribadi. Kala itu, BIN yang dipimpin Jenderal AM Hendropriyono (sejak 9 Agustus 2001 sampai 8 Desember 2004), berada dalam sorotan. Peristiwa kematian Munir sendiri, terjadi Minggu 7 September 2004, tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Hendropriyono di BIN. Pers memberitakan, setidaknya ada 35 kali hubungan dari telepon genggam Pollycarpus dengan kantor Deputi V BIN, sebelum dan setelah Munir terbunuh." (foto download)
POSTER ALMARHUM MUNIR. “…… kematian Munir adalah hasil konspirasi yang tak mungkin hanya dilakukan perorangan dengan motif pribadi. Kala itu, BIN yang dipimpin Jenderal AM Hendropriyono (sejak 9 Agustus 2001 sampai 8 Desember 2004), berada dalam sorotan. Peristiwa kematian Munir sendiri, terjadi Minggu 7 September 2004, tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Hendropriyono di BIN. Pers memberitakan, setidaknya ada 35 kali hubungan dari telepon genggam Pollycarpus dengan kantor Deputi V BIN, sebelum dan setelah Munir terbunuh.” (foto download)

Dengan kegagalan itu, Kepolisian RI disorot karena tak menerjunkan penyelidik dan penyidik berkualitas untuk menangani kasus tersebut. Tapi sorotan paling kuat adalah anggapan bahwa Polri sebenarnya tak punya cukup keberanian untuk menghadapi BIN. Dan terhadap Presiden SBY yang semula seakan bisa menjadi tumpuan harapan pengungkapan kasus ini, para aktivis HAM sudah patah arang dan tak berharap apa-apa lagi. Kini ekspektasi tertuju kepada Presiden baru, Joko Widodo yang akan memangku jabatan mulai 20 Oktober mendatang. Kepada Presiden baru, para aktivis meminta agar memilih dengan tepat Kepala Polri maupun Jaksa Agung baru yang lebih berani.

Terminologi “berani” di sini, tentu adalah dalam konteks menghadapi lembaga-lembaga kuat –dalam kekuasaan– semacam badan-badan intelejen atau institusi militer. Pengamatan empiris terhadap kepolisian selama ini memang cenderung menunjukkan fenomena betapa lembaga penertiban dan penegakan hukum tersebut bersikap ‘lunak’ dalam kasus tertentu, yakni bila di dalamnya terlibat unsur-unsur yang dianggap punya kekuatan. Tapi pada sisi lain, terhadap yang tidak punya kekuatan, bisa bersikap luar biasa keras. Sehingga, muncul pengibaratan di tengah masyarakat, bagai pisau dapur yang hanya tajam mengiris ke bawah namun tumpul ke atas. Polri secara umum juga lebih sensitif dan reaktif –dan akan mengeras– bila ada kritik mengarah pada dirinya. Sikap seperti ini, berkali-kali melahirkan sikap represif, mirip yang dilakukan kalangan militer otoriter di masa lampau.

FLORENCE DI MEDIA SOSIAL. "Dan, tak kurang dari Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri yang dengan jiwa besar mengatakan tidak merasa terganggu oleh umpatan Florence Sihombing. Ketika Florence datang minta maaf, Sultan memberi maaf."
FLORENCE DI MEDIA SOSIAL. “Dan, tak kurang dari Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri yang dengan jiwa besar mengatakan tidak merasa terganggu oleh umpatan Florence Sihombing. Ketika Florence datang minta maaf, Sultan memberi maaf.”

Massa Prabowo dan Kecaman Adrianus. Selama sebulan terakhir ini saja, setidaknya terdapat tiga contoh sikap mengarah represif yang diperlihatkan Polri. Pertama, sikap keras dan represif yang ditunjukkan kepada massa pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang ingin mendekati Gedung Mahkamah Konstitusi, 21 Agustus 2014 –yakni saat pembacaan keputusan tentang perselisihan hasil pemilihan presiden. Terlepas dari adanya sikap semi ‘provokatif’ dari massa unjuk rasa, tetapi penindakan Polri saat itu dinilai berlebihan. Suasana represif juga ikut diperkuat oleh penggunaan barikade kawat berduri dan kehadiran pasukan TNI dari berbagai kesatuan dalam jumlah begitu besar, seakan-akan menghadapi suatu situasi perang. Kalau itu semua dimaksudkan sebagai psywar, jelas berlebihan.

Berikutnya, kedua, adalah reaksi keras Pimpinan Polri terhadap pernyataan kriminolog UI Dr Adrianus Meliala, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bahwa satuan reserse sering dijadikan sebagai ATM para petinggi Polri. Adrianus langsung diperiksa Bareskrim. Tak kurang dari Kapolri Jenderal Sutarman sendiri yang memberi pilihan bagi Adrianus, minta maaf dan menarik pernyataannya atau kasus hukumnya dilanjutkan. Adrianus memilih minta maaf (28 Agustus). Sehingga, tidak jelas, apakah konstatasinya itu punya dasar atau tidak. Terhadap tudingan serupa, yaitu dalam kasus rekening gendut, yang antara lain dijadikan laporan utama Majalah Tempo dengan gambar cover yang sangat eye catching, meskipun bereaksi, Kapolri terdahulu tidaklah melakukan penindakan hukum.

Terlepas dari itu, selain marah, sebenarnya adalah lebih bijak bila para pimpinan Polri sudi membuang waktu menilik ke dalam tubuh institusinya, apakah memang ada rekening gendut di luar kewajaran, dan adakah praktek menjadikan satuan reserse sebagai ATM? Bukankah polisi sudah berkali-kali menyatakan akan membenahi diri? Bagaimana pun tudingan semacam itu, seakan mengkonfirmasi sejumlah ‘pengetahuan’ masyarakat, meski hanya ‘hidup’ dalam percakapan sehari-hari, berbagai pengalaman mengenai adanya praktek ‘menguangkan’ proses hukum. Misalnya, tentang perkara perdata yang dengan lentur bisa menjadi perkara pidana melalui Pasal 372 dan 378 KUHP, atau sebaliknya, dan lain sebagainya. Baik perbuatan oknum maupun kelompok oknum. Namun, merupakan kelemahan masyarakat, selain didera rasa takut menjadi martir sia-sia, adalah ketidakmampuan memberi bukti hukum. Maklum, bukan polisi, dan tak punya effort yang memadai untuk itu.

Beberapa perbuatan oknum yang selama ini, tak terkecuali di masa belakangan ini yang makin gencar muncul dalam pemberitaan –dan jumlahnya tak sedikit– semestinya bisa membuat para pimpinan Polri berpikir, bahwa suatu pembersihan serius memang diperlukan. Untuk mencegah terbentuknya barisan criminal in uniform seperti yang pernah dialami beberapa negara terkebelakang. Mulai dari perbaikan proses rekrutmen, pengawasan internal perilaku anggota, maupun penindakan dan kesediaan ditindaki penegak hukum lain. Ada perwira menengah yang ditangkap Polisi di Raja Malaysia, bersama seorang bintara, misalnya ternyata memiliki sederet rekam jejak yang buruk. Ada anggota polisi di Jawa Barat yang melarikan uang dari mobil pengangkut uang yang dikawalnya. Ada yang melakukan kejahatan asusila. Dan sebagainya dan sebagainya. Artinya, ada kelemahan pengawasan dan pembinaan selain kelemahan rekrutmen.

Florence dan Wartawan Udin. Sebagai contoh ketiga, adalah penanganan kasus mahasiswi S-2 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Florence Sihombing. Di luar dugaan publik pada umumnya, Kepolisian Yogya menyempatkan melakukan penahanan terhadap Florence, yang umpatannya terhadap orang Yogya –yang disebutnya miskin, tolol dan tak berbudaya– menimbulkan kontra reaksi yang luas di media sosial. Florence melontarkan cacian tak ‘berbudaya’ itu melalui media sosial di internet setelah diteriaki kerumunan pengendara sepeda motor lainnya yang antri di pompa bensin Premium SPBU Lempuyangan (27 Agustus). Ia mencoba antri bersama kendaraan roda empat di pompa bensin tak bersubsidi, suatu tindakan yang sebenarnya tidak salah-salah amat, bahkan dalam hal tertentu bisa dipuji bila seterusnya ia takkan menggunakan bensin tak bersubsidi sesuai anjuran pemerintah. Tapi petugas SPBU menolaknya, dan publik yang ada menjadi salah paham.

Kepolisian DIY agaknya terlalu berlebihan dalam menganalisa kemungkinan kemarahan ‘orang Yogya’: Bisa berubah menjadi kerusuhan sosial atau yang semacamnya, sehingga perlu melakukan penahanan. Tercatat satu lembaga swadaya masyarakat saja yang merasa perlu mengadukan Florence ke polisi. Selebihnya, hanya bersikap seperti yang dikatakan seniman Butet Kartarajasa, bahwa umpatan Florence adalah bagai knalpot bising yang memang sejenak mengagetkan, namun setelah berlalu tidak perlu menjadi persoalan lagi. Bahkan muncul arus tuntutan membebaskan Florence dari penahanan. Dan, tak kurang dari Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri yang dengan jiwa besar mengatakan tidak merasa terganggu oleh umpatan Florence Sihombing. Ketika Florence datang minta maaf, Sultan memberi maaf.

Kepolisian DIY terlihat sedikit melunak dan membebaskan sang mahasiswi dari tahanan dengan ketentuan wajib lapor. Tetapi Kapolda DIY tetap bersikeras akan melanjutkan kasus itu secara hukum. Menurut Kapolda, kasus itu bukan delik aduan. Ada atau tidak ada pengaduan, ia akan meneruskan kasus. Lalu, banyak aktivis Yogya yang mengecam, daripada menangani kasus Florence –yang toh sudah mendapat sanksi sosial berupa kecaman balik yang keras dari masyarakat di media sosial– lebih baik kepolisian menangani kasus pembunuhan wartawan Udin yang telah tahunan lamanya terlunta-lunta. Dan bisa ditambahkan, agar secara nasional, polisi berperan mengungkap tuntas  misteri kematian Munir.

Dari contoh ketiga ini, terlihat bahwa selain menggunakan senjata undang-undang dan penguasaan ilmu hukum, polisi juga memerlukan pemahaman komperenhensif dari disiplin ilmu lainnya, seperti psikologi dan sosiologi. Dan secara keseluruhan, terkait dengan contoh pertama misalnya, para petinggi kepolisian juga perlu memahami dinamika kehidupan politik namun tanpa perlu berpolitik praktis. Tak kalah pentingnya adalah sikap bijak untuk mendampingi sikap tegas dalam penegakan hukum. Bukankah, terhadap kritik semacam yang disampaikan Dr Adrianus Meliala misalnya, sangat diperlukan sikap bijak, tidak menutup telinga dan mata terhadap esensi kebenaran yang mungkin terdapat dalam suatu kecaman sekali pun? (socio-politica.com)

Kecurangan, Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (2)

KECURIGAAN dan tuduhan tentang keterlibatan para penyelenggara Pemilihan Presiden –baik itu di KPU maupun Bawaslu– berkadar cukup tinggi, khususnya di kalangan pendukung dan simpatisan Prabowo-Hatta. Namun, pada kutub lain, tak kalah besar pula pernyataan penilaian sebaliknya, bahwa tak ada kecurangan, khususnya dari mereka yang menjadi pendukung Jokowi-JK. Situasi ini tak bisa tidak merupakan akibat logis dari pembelahan perpihakan subjektif yang telah terjadi jauh-jauh hari menjelang Pemilihan Presiden dengan ‘hanya’ dua pasangan calon yang berkompetisi. Dengan pembelahan seperti itu, yang berkepanjangan dengan tensi makin meninggi, menjadi pertanyaan apa yang akan terjadi nanti saat Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan atas perselisihan yang terjadi?

            Namun terlepas dari itu, sejauh ini saksi-saksi dua kubu dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum presiden di Mahkamah Konstitusi, sedikit atau banyak telah mengindikasikan memang terjadi sejumlah kecurangan dalam event demokrasi 9 Juli 2014 tersebut. Dilakukan oleh kedua belah pihak. Belum lagi terjadinya kecerobohan berdampak serius, yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan presiden, di berbagai daerah. Dan apakah kecurangan dilakukan terstruktur, sistematis dan massive, penilaian akhirnya ada di tangan 9 hakim konstitusi, berdasarkan penilaian kepada kesaksian –termasuk kesaksian ahli– dan sanggahan para pihak, maupun bukti-bukti dokumen. Sementara itu apakah terjadi pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilihan presiden, persoalannya sedang ditangani oleh DKPP.

PRABOWO SUBIANTO PAST IMPERFECT DALAM COVER TEMPO ENGLISH. " Pers pada umumnya belum sembuh dari demam partisan. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan pihak yang didukungnya diblokkir, tidak disampaikan kepada publik, dan hanya menyajikan apa yang menguntungkan perpihakannya. Bahkan beberapa di antaranya tak segan-segan memutarbalikkan fakta, sehingga publik memperoleh sajian berita-berita sesat. Ini sesungguhnya adalah kejahatan moral yang tak terampuni." (gambar download)
PRABOWO SUBIANTO PAST IMPERFECT DALAM COVER TEMPO ENGLISH. ” Pers pada umumnya belum sembuh dari demam partisan. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan pihak yang didukungnya diblokkir, tidak disampaikan kepada publik, dan hanya menyajikan apa yang menguntungkan perpihakannya. Bahkan beberapa di antaranya tak segan-segan memutarbalikkan fakta, sehingga publik memperoleh sajian berita-berita sesat. Ini sesungguhnya adalah kejahatan moral yang tak terampuni.” (gambar download)

            Ada belahan ketiga dalam masyarakat. MEMANG ada dua kutub perpihakan dalam masyarakat, tetapi tak boleh dilupakan adanya belahan ketiga, yakni sekitar 30 persen rakyat yang tak menggunakan hak pilih dalam Pilpres. Untuk sebagian, mereka memiliki aspirasi, persoalan-persoalan dan kepentingan yang berbeda dengan dua kutub yang ada. Sebagian dari kelompok ketiga ini, tak menggunakan hak pilih karena luput dari jangkauan sistem yang ada. Dan sebagian lainnya tidak menuju ke TPS karena menilai tak ada calon yang pantas untuk dipilih, antara lain karena kualitatif berkategori lesser evil antara satu dengan yang lainnya. Terjadinya pengkategorian seperti ini, tak terlepas dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai-partai dan atau sistem kepartaian yang ada.

            Sementara itu, menjadi pertanyaan juga, seberapa banyak di antara anggota masyarakat yang datang menjalankan hak pilih di TPS namun suara mereka dimanipulasi dalam penghitungan dan rekapitulasi. Jelas hal ini telah terindikasi terjadi, dan inilah yang kini menjadi pokok perselisihan di Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa event demokrasi terdahulu, hal yang sama tercatat telah terjadi berulang kali, meski belum pernah menyebabkan suatu tindakan penganuliran atas pemilihan umum. Masa Soekarno tak usah lagi disebut, karena setelah Pemilihan Umum 1955, tak pernah lagi ada penyelenggaraan pemilihan umum. Katakanlah manipulasi dan kecurangan pemilihan umum telah terjadi sejak masa kekuasaan Presiden Soeharto, tapi tak bisa pula disangkal bahwa praktek kecurangan dalam pemilu-pemilu masa kini tak kalah buruk dan busuk. Namun menjadi kecenderungan bersama untuk membohongi diri bahwa pemilu-pemilu Indonesia makin baik dan makin demokratis.

            Tak harus lebih dulu terlibat perpihakan pada salah satu kutub dengan segala kepentingannya, untuk mampu melihat bahwa pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden kali ini, kembali dipenuhi berbagai ketidakbenaran. Kasat mata ataupun terselubung. Sebagian dari kelompok ketiga dalam masyarakat misalnya, bahkan merasa ada kesengajaan untuk mencegah mereka dari jangkauan sistem, agar tidak menggunakan hak pilih. Ribuan saksi kecurangan bisa tersedia, bila memang suatu investigasi ingin ditangani dengan serius. Akan tetapi karena itu suatu pekerjaan besar sementara ada keterbatasan waktu menurut undang-undang, yang paling mungkin dipilih oleh para pemegang kompetensi adalah menetapkan quota jumlah saksi.

Semestinya pers bisa mengambilalih upaya pengungkapan kebenaran, dengan jaringan kerja mereka masing-masing. Tetapi karena pers ternyata telah beralih posisi menjadi bagian permainan itu sendiri sebagai partisan, tak bisa berharap itu akan terjadi. Kalaupun pers melakukan pengungkapan-pengungkapan, sebagian besar fakta telah dimodifikasi bahkan dimanipulasi sekedar untuk menjatuhkan pihak ‘lawan’, sehingga akhirnya seluruh pengungkapan mereka kehilangan makna dan harga sebagai suatu kebenaran.

MENGENAI keputusan Mahkamah Konstitusi sendiri, di atas kertas ada beberapa kemungkinan bentuk keputusan, dari yang paling lunak sampai yang paling keras. Lunak atau kerasnya keputusan itu tergantung pada kecermatan para hakim konstitusi meneliti fakta dan keteguhan prinsip para hakim konstitusi berpihak pada kebenaran sebagai sumber keadilan. Lunak atau keras, bukan hal yang terpenting dan utama, melainkan apakah suatu keputusan diambil dengan keberanian dan keteguhan integritas serta komitmen moral untuk menjalankan prinsip “dari kebenaran lahir keadilan.” Kebenaran di sini adalah kebenaran yang terdekat dengan apa yang dipahami sebagai etika keilahian.

Kemungkinan pertama, MK akan mengambil keputusan mirip dengan beberapa keputusan MK masa lampau, bahwa kecurangan memang terjadi tetapi tidak terstruktur, tidak sistematis dan tidak massive. Dengan demikian, penetapan KPU tentang hasil Pilpres yang telah diumumkan KPU dinyatakan berlaku.

Kemungkinan kedua, terbukti terjadi kecurangan di beberapa daerah sehingga dilaksanakan pemungutan suara ulang di daerah-daerah tersebut, yang bisa menyebabkan perubahan akumulasi perolehan suara secara keseluruhan, atau sebaliknya perubahan yang tidak berpengaruh secara signifikan.

Kemungkinan ketiga, berdasarkan bukti dan kesaksian yang muncul di persidangan perselisihan hasil pemilihan presiden 2014, disimpulkan telah terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan massive, baik oleh peserta maupun penyelenggara, sehingga Pemilihan Presiden harus diulang secara keseluruhan, katakanlah tahun depan, dengan terlebih dahulu membentuk KPU baru.

Tiga kemungkinan ini, di atas kertas sama peluangnya. Namun, untuk kemungkinan ketiga, betapa pun misalnya ada bukti kuat, belum tentu Mahkamah Konstitusi punya keberanian melawan ‘tradisi’ yang hampir menyerupai ‘aliran kepercayaan’ bahkan takhayul dalam praktek politik Indonesia selama ini, tak pernah terjadi suatu pemilihan umum dianulir. Padahal, semestinya kalau memang ada bukti berdasarkan suatu kebenaran, kenapa tidak?

NOVELA NAWIPA BERSAKSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI. "Sikap memperolok-olokkan saksi-saksi yang maju ke persidangan Mahkamah Konstitusi, dipertunjukkan pula oleh sejumlah media pers terkemuka." foto download republika)
NOVELA NAWIPA BERSAKSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI. “Sikap memperolok-olokkan saksi-saksi yang maju ke persidangan Mahkamah Konstitusi, dipertunjukkan pula oleh sejumlah media pers terkemuka.” (foto download republika)

            Kemungkinan apapun yang terjadi, potensi kericuhan politik tetap besar, yang hanya bisa terhindarkan bila muncul sikap kenegarawanan di antara para tokoh. Bila kemungkinan pertama yang terjadi, kubu pendukung pasangan nomor 1 kemungkinan bergolak. Persoalannya, besar atau kecil, bagi mereka kasat mata terlihat memang ada ketidakberesan dalam pemilihan presiden kali ini. Indikasinya ada, baik yang muncul di dalam persidangan maupun yang diketahui masyarakat di luar persidangan.  Bila kemungkinan ketiga yang terjadi, kubu pendukung pasangan nomor 2 lah yang akan bergejolak karena bagi mereka –terutama di lapisan akar rumput– kemenangan pasangan yang mereka dukung sudah diterima sebagai kebenaran sejak KPU mengumumkannya 22 Juli 2014. Dan bila kemungkinan kedua yang terjadi, peluang tersulutnya kemarahan salah satu kubu, tetap sama besarnya.

            Bagi golongan masyarakat ketiga, yang tidak menjadi partisan atau pendukung bagi dua pasangan yang ada, pada dasarnya tak menjadi penting siapa yang memenangkan pemilihan presiden. Toh dua-duanya bukan sosok tokoh-tokoh ideal mereka. Tetapi bagaimanapun, kelompok ini tetap berkepentingan bahwa kebenaran ditegakkan. Bila kebenaran tidak berhasil ditegakkan kali ini, seterusnya kebenaran mungkin saja tetap tak bisa ditegakkan. Termasuk dalam mencapai kebenaran sistem untuk melahirkan sosok ideal dan terbaik dengan cara yang juga ideal dan terbaik. Bukan melalui konspirasi partai-partai yang sebagian terbesar belum tentu bekerja untuk sebenar-benarnya kepentingan rakyat.  Pemilihan umum kali ini, legislatif maupun presiden, adalah perpanjangan dari keburukan sistem kepartaian yang memang juga buruk dan manipulatif.

            Keberanian untuk berbuat curang, tercipta pula melalui pengalaman empiris bahwa dari pemilu ke pemilu, aspek penghukuman terhadap kesalahan dan kejahatan dalam pemilu tak pernah mendapat penanganan yang sungguh-sungguh dan tuntas. Kejahatan demi kejahatan politik dalam sejumlah pemilihan umum maupun pemilihan presiden dari waktu ke waktu  berhasil dilakukan tanpa pengungkapan dan penindakan yang tegas dan tuntas. Waktu yang disediakan undang-undang yang hanya 15 hari untuk sengketa pilpres dan 30 hari untuk sengketa pemilu legislatif menjadi penyebab terkuburnya banyak kejahatan politik dalam pemilihan umum. Setelah tenggat waktu tercapai, proses mencari kebenaran dengan sendirinya terhenti. Padahal, sebenarnya pasti bisa ada yang dilakukan lebih lanjut melalui aspek pidana atau paling tidak membentuk komisi pencari fakta untuk mengungkap kejahatan pemilu hingga tuntas.

            Dalam situasi ketidakpastian hidup saat ini, terdapat begitu banyak kemungkinan di luar dugaan yang bisa memicu kalangan akar rumput melakukan ‘kenekadan’ demi memperoleh bingkisan sembako atau pembagian uang yang hanya puluhan ribu rupiah. Risiko kehilangan nyawa sekalipun pun kadang-kadang menjadi hal yang tak dipertimbangkan lagi. Contoh terakhir adalah insiden yang merenggut tak kurang dari dua jiwa dalam kerumunan, saat Muhammad Jusuf Kalla –calon Wakil Presiden versi hitungan final KPU– melaksanakan aksi bagi-bagi uang dengan nominal 50 ribu rupiah per kepala di kediamannya di Makassar usai lebaran lalu.

Dalam pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden yang baru lalu, 50 ribu rupiah per kepala sudah lebih dari cukup untuk membeli suara. Malah bisa lebih murah bila beli suara itu dilakukan massal melalui makelar. Sebenarnya dengan sedikit keseriusan dan kerja keras, lembaga-lembaga penyelenggara dan pengawasan pemilihan umum, dengan bantuan aparat negara, akan mudah mengetahui betapa politik uang telah terjadi dalam pemilihan-pemilihan umum tersebut, tak terkecuali dalam pemilihan umum kepala daerah. Dalam percakapan sehari-hari tidak sulit untuk mendengar pengakuan kalangan akar rumput betapa mereka mendapat pembagian uang di saat-saat menjelang Hari-H Pemilihan Umum. Tetapi bila pembicaraan menjadi ‘resmi’ dan investigatif, segera terjadi gerakan tutup mulut. Mereka takut jadi korban sendirian, dan itu suatu pengalaman. Diperlukan ‘kreativitas’ dan dedikasi pihak berkompeten untuk bisa ‘membawa’ pengakuan-pengakuan tak resmi ini menjadi suatu dokumen resmi yang dapat menjadi bukti hukum dalam konteks pengungkapan kebenaran. Tidak tepat sebenarnya, meminta dan membebankan tugas pengungkapannya semata kepada para pihak yang mengajukan gugatan sengketa.

            Bukan juga hal yang luar biasa sulit untuk membuktikan terjadinya bisnis pembentukan opini di masa-masa menuju pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Itu dilakukan hampir oleh semua pihak, yang pernah mencoba menampilkan diri sebagai calon presiden, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Dalam skala lebih kecil namun lebih luas, hal yang sama terjadi dalam proses pencalonan anggota lembaga-lembaga legislatif.

            Bagi Mahkamah Konstitusi, hanya satu pilihan. Pada hakekatnya, saat terjadi ketidakpercayaan terhadap hasil suatu pemilihan umum, suatu proses penyelesaian perselisihan melalui Mahkamah Konstitusi menjadi penting, baik bagi yang tidak puas dan menjadi penggugat maupun pihak yang digugat kemenangannya. Suatu kemenangan yang dibayangi oleh ketidakpercayaan, bukanlah kemenangan yang sesungguhnya. Sementara itu, bagi yang meyakini terjadi kecurangan bila tidak melakukan gugatan, akan berada dalam situasi penasaran sepanjang masa dan merasa bersalah pada diri sendiri tidak berani membela diri dan takut menegakkan kebenaran. Dan bagi rakyat secara menyeluruh, adalah penting berada dalam lingkup kekuasaan pemerintahan dari mereka yang menang secara sah dan benar. Tidak dalam cengkeraman dari mereka yang naik dalam kekuasaan melalui cara busuk, karena mereka yang naik dengan cara busuk akan memerintah pula secara busuk.

            Bara kemarahan dan sikap apriori yang berkobar di lapisan akar rumput, pun tak terlepas dari peranan konspiratif kaum prostitusi di kalangan intelektual sipil maupun mantan tentara yang masih kecanduan dengan permainan kekuasaan dan permainan gaya intelijen. Di saat proses perselisihan hasil pemilihan presiden sedang berlangsung, masih saja ada lembaga survei yang melakukan jajak pendapat yang memberi kesimpulan dukungan kepada Prabowo-Hatta mengecil karena bersikap tidak mau mengakui hasil perhitungan KPU yang memenangkan Jokowi-JK. Sikap memperolok-olokkan saksi-saksi yang maju ke persidangan Mahkamah Konstitusi, dipertunjukkan pula oleh sejumlah media pers terkemuka. Pers pada umumnya belum sembuh dari demam partisan. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan pihak yang didukungnya diblokkir, tidak disampaikan kepada publik, dan hanya menyajikan apa yang menguntungkan perpihakannya. Bahkan beberapa di antaranya tak segan-segan memutarbalikkan fakta, sehingga publik memperoleh sajian berita-berita sesat. Ini sesungguhnya adalah kejahatan moral yang tak terampuni.

Namun bagaimana pun bagi Mahkamah Konstitusi semestinya hanya berlaku satu hal, andaikan pun langit politik harus runtuh, atau apa pun yang terjadi, kebenaran lah yang harus dipilih sebagai dasar dari keputusan yang diambil. Bila tidak, virus laten kecurangan dalam demokrasi Indonesia, terutama dalam pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden, tetap bersemayam di tubuh kehidupan politik Indonesia. Dalam keadaan demikian, hanya satu hal yang bisa diucapkan: Sampai bertemu dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2019 dalam peristiwa dan kecurangan yang sama untuk kesekian kalinya. (socio-politica.com)

Kecurangan, Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (1)

PEMILIHAN Presiden 2014 kini memasuki fase hukum “perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden” di Mahkamah Konstitusi yang terjadwal 6-21 Agustus 2014. Gugatan ini akan menunda langkah Jokowi ke Istana. Bila kubu Prabowo-Hatta memang memiliki data dan bukti kuat tentang kecurangan dalam Pemilihan Presiden, perjalanan Jokowi –yang ditampilkan bergaya tokoh komik Tintin dalam sampul  tabloid terbitan Jokomania untuk menangkal ‘kampanye hitam’ Obor Rakyat– di atas kertas malah berkemungkinan terhenti. Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.

Kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan tentang adanya kecurangan terstruktur, sistimatis dan massive dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden 2014 tersebut. Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu yang lalu telah mengumumkan dan mengesahkan ‘real count’ versi KPU yang menempatkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dengan keunggulan sekitar 8 juta suara. Tetapi sebaliknya, berdasarkan hasil perhitungannya sendiri, kubu Prabowo-Hatta menyampaikan angka keunggulan 67.139.153 suara mengatasi angka Jokowi-JK yang sebesar 66.643.124 suara. Terlepas dari kontroversi angka yang terjadi, baik kemenangan Jokowi-JK versi KPU maupun kemenangan Prabowo-Hatta versi hitungan sendiri, terlihat bahwa tingkat ‘kemenangan’ itu pada dasarnya tipis saja.

JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. "Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam." (repro tabloid Jokowimania)
JOKOWI DALAM PENGGAMBARAN ALA TINTIN. “Namun saat proses di MK masih berlangsung, tokoh Tintin dari Jawa ini untuk kedua kalinya terbawa oleh optimisme. Ia melangkah membentuk suatu tim transisi pemerintahan. Sebelumnya, Jokowi terdorong optimisme Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkannya sebagai Presiden baru Indonesia saat proses quick count baru berlangsung satu jam.” (repro tabloid Jokowimania)

Hal ‘berbeda’, terjadi di tahun 2009. Dalam Pemilihan Presiden Indonesia tahun itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, ‘menang besar’ dalam satu putaran. Perolehan suaranya mencapai 60,80 persen, sehingga membuat pasangan-pasangan lain seperti misalnya Megawati Soekarnoputeri-Prabowo Subianto atau Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, langsung jatuh terduduk. Sebelumnya, dalam Pemilihan Umum legislatif, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, secara ‘menakjubkan’ meraih 20,80 persen suara yang hampir tiga kali lipat dari perolehan dalam Pemilihan Umum 2004.

Terhadap rangkaian kemenangan yang terasa cukup fantastis tersebut, kala itu sempat terjadi kesangsian yang dinyatakan terbuka bahwa di balik kemenangan terjadi kecurangan-kecurangan, khususnya dalam pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2009. Dua pasangan lain, Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, mengajukan gugatan melalui Mahkamah Konstitusi, terkait dugaan adanya manipulasi massive menyangkut puluhan juta suara melalui suatu cara yang dilakukan secara terstruktur dan sistimatis. Baik melalui manipulasi DPT, pengalihan dan penghilangan puluhan ribu TPS maupun sosialisasi pencontrengan oleh KPU yang mengarah pada keuntungan pasangan SBY-Budiono. (Baca: https://socio-politica.com/2009/08/19/the-invisible-hand-terstruktur-sistimatis-dan-massive-1).

MK dalam keputusannya 12 Agustus 2009, menyatakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang berkategori kecurangan, namun tidak dilakukan secara terstruktur, sistimatis dan massive.” Terlihat adanya kecenderungan untuk lebih membuang tanggung jawab kecurangan kepada perorangan atau oknum, dan sebisa mungkin tidak sebagai kesalahan institusi penyelenggara. Mungkin untuk menangkis kesan terstruktur dan sistimatis. Merupakan catatan tersendiri dalam sejarah politik Indonesia, memang tak pernah ada pemilihan umum dan demikian juga kemudian dengan pemilihan presiden, yang pernah dikoreksi apalagi dibatalkan karena gugatan kecurangan, khususnya yang melibatkan penyelenggara. Betapa pun kuatnya tercium aroma kecurangan. Cerita tentang kecurangan selalu diupayakan dipatahkan atau minimal dikerdilkan sekerdil-kerdilnya. Dinyatakan sebagai bagian sikap tak siap kalah. Dan bersamaan dengan itu tak pernah ada sanksi hukum maupun sanksi politik dijatuhkan. Tetapi bagaimana mungkin bisa menjatuhkan sanksi, bila upaya pencarian kebenaran peristiwa kecurangan itu sendiri memang tak pernah dilakukan, untuk tidak mengatakannya selalu dihambat?

Dalam setiap kasus kecurangan pemilu dari masa ke masa, seakan-akan memang ada tangan-tangan rahasia yang selalu mampu mengelolanya menjadi tidak dipersoalkan lanjut. Entah siapa pengendali the invisible hand itu. Tetapi terlepas dari itu, apakah mungkin leluasa mengungkapkan suatu kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan massive –melalui mekanisme hukum yang tersedia terkait pemilu– dalam suatu jangka waktu yang ringkas dalam hitungan hari atau minggu?

            Pada masa pasca Soeharto, kekuatan-kekuatan politik sipil, termasuk mereka yang merasa selalu dirugikan dalam pemilihan-pemilihan umum Orde Baru, senantiasa menyebutkan pemilihan-pemilihan umum masa reformasi, khususnya Pemilihan Umum 1999, sepenuhnya bersih dan paling demokratis sepanjang sejarah Pemilihan Umum Indonesia. Gegap gempita klaim kebersihan pemilu tersebut menenggelamkan cerita di balik berita, bahwa sebenarnya Pemilihan Umum 1999 itu juga penuh rekayasa. Partai-partai kecil yang banyak, karena tak punya saksi-saksi di TPS-TPS pelosok, habis dijarah perolehan suaranya oleh beberapa partai yang lebih besar dan lebih baik pengorganisasiannya. Selain itu, partai-partai kecil yang puluhan jumlahnya itu pun ‘dirampok’ melalui sistem penghitungan alokasi kursi. Upaya mereka melalui protes agar perolehan suara mereka –yang bila diakumulasi, mencapai jumlah puluhan juta suara yang secara kuantitatif setara dengan puluhan kursi DPR– ‘dikembalikan’, tak menemukan jalan penyelesaian, baik melalui KPU maupun Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Ada pula rumour politik, bahwa dalam Pemilu 1999, sebenarnya suara Golkar sedikit lebih besar dari perolehan PDIP, tetapi kalangan tentara dengan sisa-sisa pengaruhnya, dengan pertimbangan stabilitas keamanan, menyodorkan skenario PDIP sebagai pemenang. Bila Golkar yang dimenangkan akan mencuat tuduhan politis bahwa Pemilu 1999 curang dan direkayasa. Sejumlah jenderal yang mencoba mengambil peran dan haluan baru, memainkan kartu untuk membesarkan PDIP dan atau Megawati Soekarnoputeri.

Klaim bahwa pemilu-pemilu pasca Soeharto bersih, menciptakan sikap obsesif, dan pada akhirnya seakan-akan merupakan semacam ‘aliran kepercayaan’ tersendiri. Semua pengungkapan bahwa kecurangan –terlepas dari berapa besar kadarnya– masih mewarnai pemilihan-pemilihan umum hingga kini, akan selalu ditolak. Itu sebabnya, setiap protes tentang adanya kecurangan selalu menemui jalan buntu penyelesaian. Selain sikap obsesif tadi, juga cukup kuat anggapan, bahwa sebagai peristiwa politik –yang terlanjur dikonotasikan terbiasa bergelimang dengan aneka kelicikan– jamak bila pemilihan umum diwarnai kecurangan. Maka, dianggap, tak perlu terlalu serius mencari kebenaran di situ. Hanya yang ‘kalah’ saja yang mencak-mencak.

Pemilihan umum 2004 sebenarnya juga tak sepi dari laporan kecurangan, namun perhatian lebih banyak tercurah kepada kecurangan keuangan oleh beberapa komisioner KPU. Tetapi terbuktinya keterlibatan sejumlah komisioner KPU dalam manipulasi keuangan dengan menyalahgunakan kedudukannya, tak urung menimbulkan dugaan dalam bentuk pertanyaan: Kalau manipulasi keuangan bisa mereka lakukan, kenapa tidak mungkin mereka melakukan manipulasi yang lebih mendalam, semisal manipulasi politik dengan latar imbalan finansial atau imbalan lainnya?

Aktivis perjuangan mahasiswa 1978 dari Bandung, Indro Tjahjono, Juli 2012 mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT) dan rekayasa data secara manual. (Baca: https://socio-politica.com/2012/07/16/kisah-sby-dan-indro-tjahjono-kecurangan-dalam-dua-pemilihan-umum-presiden-2).      

            Pengungkapan itu sepi reaksi, dari media pers maupun dari mereka yang dituduh. Terhadap nasib tudingan Indro Tjahjono, socio-politica.com saat itu memberi catatan: “Apakah sebaiknya kita mengembalikan persoalannya ke tangan Tuhan saja?” serayamenyampaikan “Sampai bertemu pada 2014 dengan peristiwa dan kecurangan yang sama, sesuai kelaziman dari pemilihan umum ke pemilihan umum.”

            DI TAHUN 2014 ini, ternyata publik Indonesia, sekali lagi harus berjumpa dengan tampilan kecurangan yang tak kalah buruk dengan beberapa pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden terdahulu. Bahkan, dalam aspek kecerdikan bermuslihat, praktek atas nama demokrasi kali ini bisa lebih buruk. Terutama karena berperannya kelompok-kelompok pelacur intelektual dalam sejumlah proses pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden. Dan pada waktu yang sama, kekuatan uang berperan penting dalam lika liku proses yang semestinya adalah murni proses demokrasi. Kelompok pelacur intelektual berduet dengan kekuataan uang untuk misalnya menggunakan aneka survei dan jajak pendapat terarah –dan pasti manipulatif karena tendensius– sebagai senjata pembentukan opini. Itu semua terlihat sejak masa-masa pra kampanye, masa kampanye hingga momen-momen sekitar pemungutan suara. Bahkan hingga kini, seperti misalnya jajak pendapat yang dilakukan LSI tentang menurunnya simpati kepada Prabowo-Hatta karena dianggap tidak legowo menerima ‘kekalahan’. Apa gunanya jajak pendapat semacam itu dilakukan dalam situasi pasca pemilu seperti sekarang dalam konteks kepentingan publik? Apa alasan idealnya? Lebih menonjol adalah aspek benefit politiknya, yang mungkin saja bersangkut paut dengan kepentingan finansial pada ujungnya.

Apakah juga para penyelenggara Pemilihan Umum di KPU atau Bawaslu –yang pada umumnya berlatarbelakang pendidikan akademis– telah ikut terbawa dalam kancah permainan kecurangan intelektual di momen pelaksanaan demokrasi di tahun 2004 ini? Ini suatu pertanyaan. (socio-politica.comBerlanjut ke Bagian 2 )

Pemilihan Presiden 2014, Dalam Aroma Kejahatan Intelektual (2)

SURVEI atau jajak pendapat semacam yang dilakukan Hamdi Muluk dan kawan-kawan maupun Poltracking Institute –dengan Direktur Eksekutif Hanta Yudha– tersebut terlalu tendensius. Kalau sebagai partisan mereka memang sudah kelewat bersemangat ‘menolong’ tokoh pilihan politik mereka, atau klien mereka, sebenarnya masih tersedia cara atau bentuk aktivitas lain yang lebih beretika. Sebagai kalangan intelektual mereka seharusnya lebih kreatif dan terhormat untuk menyalurkan hasrat yang tak tertahankan. Jangan mempertaruhkan kehormatan kegiatan akademis untuk tujuan yang di luar keluhuran. Penggiringan-pengiringan opini melalui survei, yang dilakukan secara sistematis dalam jangka waktu tertentu, berbasis komersial, sebenarnya jauh lebih buruk daripada quick count yang sedikit artifisial. Mekanisme quick count itu hanya merupakan ekor dari suatu ular berkepala survei manipulatif.

EMPAT TOKOH DALAM COVER MAJALAH TEMPO. "Sebelum musim politik partisan ini melanda, kedua kelompok media tersebut Kompas dan Tempo, memiliki posisi khusus, yaitu sebagai sumber referensi saat publik ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa-peristiwa politik. Tetapi dalam semusim ini, mereka berubah menjadi sama buruknya dengan media lain pada umumnya, yaitu saat mereka dengan nyata menunjukkan perpihakan hitam-putih dengan kadar tinggi."
EMPAT TOKOH DALAM COVER MAJALAH TEMPO. “Sebelum musim politik partisan ini melanda, kedua kelompok media tersebut Kompas dan Tempo, memiliki posisi khusus, yaitu sebagai sumber referensi saat publik ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa-peristiwa politik. Tetapi dalam semusim ini, mereka berubah menjadi sama buruknya dengan media lain pada umumnya, yaitu saat mereka dengan nyata menunjukkan perpihakan hitam-putih dengan kadar tinggi.”

Virus politik partisan juga berhasil menjangkiti kalangan pers dalam periode menuju Pemilihan Presiden 2014. Nyaris seluruh penyelenggara institusi pilar keempat kehidupan demokrasi ini –media cetak maupun media elektronik– selama berbulan-bulan menggigil dalam demam perpihakan politik  yang hitam-putih menjelang 9 Juli 2014 dan belum sepenuhnya reda hingga kini.

Semusim tanpa pers objektif dan berintegritas. Dalam masa menggigil karena demam itu, Indonesia praktis kehilangan pers objektif. Tercipta situasi semusim tanpa pers objektif. ‘Bola mata’ pers seolah penuh dengan bintik buta, sehingga hanya bisa mengenali sosok corak ‘idola’ politik mereka. Seluruh produk jurnalistik mengalami modifikasi menjadi alat propaganda, baik untuk kepentingan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maupun untuk pasangan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla. Media cetak dan media elektronik pendukung hanya ‘melihat’ dan berbicara semata mengenai segala kebaikan dari yang mereka dukung, dan sebaliknya hanya ‘melihat’ dan berbicara mengenai keburukan yang ada di pihak sana.

Demi menciptakan opini keunggulan bagi yang mereka dukung, media pers tak segan-segan melakukan manipulasi kebenaran. Paling tidak melakukan semacam polesan artifisial. Menutupi keburukan dari yang mereka dukung dan di lain pihak membesar-besarkan dengan cara di luar batas tentang keburukan pihak seberang. Media cetak hanya memilih narasumber yang bisa memberikan penguatan atau pembenaran atas opini yang mereka rancang. Kalau pun ada narasumber yang memberi analisa dan pandangan berbeda, itu diselipkan seadanya di pinggiran fokus, sekadar basa-basi agar masih dianggap berimbang.

Kita kerap menyaksikan bagaimana seorang pewawancara televisi berita yang begitu mati-matian menggiring narasumbernya untuk memberi ‘pembenaran’ terhadap opini yang mereka skenariokan. Atau memotong pembicaraan saat mereka curiga seorang narasumber akan menyampaikan hal berbeda. Rupanya, salah undang narasumber. Pada umumnya, selama semusim ini, penonton televisi harus berpuasa, tak mendapat sajian kehadiran pengamat politik independen dan berintegritas yang bisa dijadikan referensi yang layak.

Mudah untuk memetakan media cetak dan media elektronik partisan dalam musim ini berdasarkan content analysis. Bahkan lebih sederhana dari itu, yaitu dengan mengetahui siapa pemodal pemilik media dan kepada kubu mana sang pemilik menggabungkan diri. Hal terakhir ini, yakni kekuasaan pemilik, sekaligus menunjukkan betapa pers masa kini sangat ditentukan jalannya oleh para pemilik modal, bukan lagi oleh integritas para redaktur dan para wartawannya. Pekerja pers kini, dengan hanya sedikit pengecualian, hanyalah klerk. Bukan lagi kaum idealis yang bisa dipercaya menjaga benteng kebenaran. Konon pula menjadi pilar keempat demokrasi. Sementara filosofi kebenaran itu sendiri makin menjadi utopis meskipun makin banyak diucapkan di setiap saat dan di setiap tempat.

Dukacita terdalam sebenarnya, adalah ‘kehilangan’ Indonesia akan dua (kelompok) media berkualitas, yakni Harian Kompas serta Majalah Berita Mingguan Tempo dan Koran Tempo. Terhadap media yang lain, dari sejak lama sudah wajar untuk skeptis, bahkan ada yang memang sudah ‘sakit’ sejak awal kelahirannya. Sebelum musim politik partisan ini melanda, kedua kelompok media tersebut Kompas dan Tempo, memiliki posisi khusus, yaitu sebagai sumber referensi saat publik ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa-peristiwa politik. Tetapi dalam semusim ini, mereka berubah menjadi sama buruknya dengan media lain pada umumnya, yaitu saat mereka dengan nyata menunjukkan perpihakan hitam-putih dengan kadar tinggi. Koran Tempo misalnya, bahkan seringkali sudah mirip pamflet propaganda.

Sayang sekali, padahal kedua kelompok media itu didirikan dan diasuh oleh kalangan intelektual yang seharusnya tak perlu lagi mengalami krisis integritas. Tetapi apa daya integritas itu kini berkabut. Apakah ini hanya gejala semusim, atau akan menjadi karakter baru yang menetap?

MEGA DAN JOKOWI DALAM OBOR RAKYAT. "Dewan Pers atau pihak mana pun boleh saja menyebut Obor Rakyat bukan produk pers, tetapi adalah fakta bahwa setidaknya ada pelaku dengan pengalaman jurnalistik yang terlibat di dalamnya. Sejauh ini belum ada kesimpulan resmi, siapa persisnya yang berada di belakang penerbitan Obor Rakyat itu. Ada tiga pihak yang bisa menjadi ‘tersangka’ pelaku." (download)
MEGA DAN JOKOWI DALAM OBOR RAKYAT. “Dewan Pers atau pihak mana pun boleh saja menyebut Obor Rakyat bukan produk pers, tetapi adalah fakta bahwa setidaknya ada pelaku dengan pengalaman jurnalistik yang terlibat di dalamnya. Sejauh ini belum ada kesimpulan resmi, siapa persisnya yang berada di belakang penerbitan Obor Rakyat itu. Ada tiga pihak yang bisa menjadi ‘tersangka’ pelaku.” (download)

Masih berkaitan dengan masalah media adalah kasus tabloid Obor Rakyat. Dewan Pers atau pihak mana pun boleh saja menyebut Obor Rakyat bukan produk pers, tetapi adalah fakta bahwa setidaknya ada pelaku dengan pengalaman jurnalistik yang terlibat di dalamnya. Sejauh ini belum ada kesimpulan resmi, siapa persisnya yang berada di belakang penerbitan Obor Rakyat itu.

Ada tiga pihak yang bisa menjadi ‘tersangka’ pelaku. Pertama, tentu saja kubu Prabowo-Hatta, karena menurut alur logika langsung dan sederhana, kubu itulah yang dianggap paling berkepentingan untuk segala sesuatu yang bersifat menjelekkan ketokohan Jokowi. Jadi ia ada pada baris terdepan calon tersangka. Dan kalau nanti terbukti memang kubu Prabowo-Hatta lah yang melakukannya, itu betul-betul suatu kebodohan tiada taranya. Dan kebodohan seperti itu, pantas untuk mendapat hukuman ‘moral’ dari publik selain tindakan hukum terhadap aspek kriminalnya.

Kedua, adalah pihak ketiga yang mungkin saja tidak bertujuan utama memenangkan Prabowo-Hatta, tetapi dengan alasan tertentu memiliki sikap Asal Bukan Jokowi. Atau sekedar menimbulkan ‘kekacauan’ yang belum diketahui apa tujuan pokoknya. Bisa juga sebaliknya, sekedar mengganggu agar Prabowo-Hatta dikambinghitamkan.

Ketiga, merupakan pula suatu kemungkinan, perbuatan itu justru dilakukan oleh mereka yang menghendaki dan berkepentingan menjadikan Jokowi sebagai Presiden. Obor Rakyat mungkin akan berhasil sebagai ‘kampanye hitam’ yang mempengaruhi 300-500 ribu kalangan akar rumput berpendidikan rendah yang sempat membacanya, tetapi tidak mempengaruhi kalangan yang lebih cerdas. Dan, pada sisi lain, berita meluas di media pers tentang adanya kampanye hitam terhadap Jokowi, justru menciptakan kesan terjadinya penganiayaan dan penindasan politik atas diri Jokowi. Berita adanya penganiayaan politik itu menimbulkan simpati luas, mungkin dalam skala jutaan orang, yang jauh lebih besar daripada yang percaya bahwa Jokowi adalah seburuk seperti yang digambarkan. Dulu, Megawati Soekarnoputeri mengalami penganiayaan politik dan justru berhasil terangkat menjadi ‘kekasih’ kalangan akar rumput dan membawanya ke atas dalam kekuasaan negara.

Pola yang berbau perilaku intelejen ini, sebenarnya tidak asing pada dekade-dekade lalu. Ini adalah taktik pembalikan teori pembusukan. Jika terhadap seorang tokoh dilancarkan fitnah dan tuduhan keji di luar batas akal sehat dan kewajaran, yang terjadi adalah bahwa tokoh itu justru akan dibela habis-habisan oleh banyak orang.

Diperlukan penyelidikan cermat untuk mencari kebenaran sesungguhnya di balik kasus Obor Rakyat. Menarik untuk menunggu siapa dalang intelektual di belakang layar peristiwa.

            Kaum intelektual dalam debu politik dan kekuasaan. Dari berbagai referensi, kaum intelektual bisa disebutkan sebagai kelompok terdidik –secara akademis maupun otodidak– dengan kualitas kecerdasan tertentu. Merupakan manusia-manusia dengan totalitas kemampuan bertindak untuk tujuan luhur, dengan memadukan akal budi, pemikiran jernih dan pengalaman indrawi yang merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan. Kaum intelektual bisa muncul dari strata sosial mana pun, tak terkait dengan keadaan kaya-miskin, tetapi lebih banyak terkait dengan kesempatan memperoleh pencerahan. Namun, harus diakui bahwa dalam realitas Indonesia selama ini kaum miskin lebih terkendala dalam menikmati kesempatan pencerahan diri.

            Bila kaum intelektual menggunakan totalitas kemampuan akal budi dan pemikirannya untuk tujuan yang sempit dan tidak luhur, di saat itulah sang kaum intelektual berubah menjadi pelacur intelektual. Sungguh mengejutkan bahwa dalam musim politik kekuasaan kali ini, pelacuran dan kejahatan intelektual itu terkesan terjadi begitu massive melampaui musim demam politik sebelum-sebelumnya. Publik Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan berbagai kecurangan dari pemilu ke pemilu, tetapi kali ini keikutsertaan kaum intelektual sebagai pelaku kejahatan sangat mencengangkan. Sejumlah tokoh intelektual populer, tua maupun muda, yang selama ini masih diapresiasi dan punya harga di mata masyarakat tiba-tiba tergelincir masuk ke dalam lumpur kejahatan. Agaknya, tingkat kecemasan akan kepastian hidup dan kepastian masa depan, sedang meningkat, sehingga orang berkecenderungan terjun berebut kesempatan dengan berbagai cara. Tak terkecuali kaum intelektual. Padahal, kelompok terdidik dan tercerahkan inilah yang seharusnya justru berada di garis depan upaya pencerahan dan pencarian solusi untuk berbagai persoalan bangsa dan negara.

            Kehadiran kaum intelektual dalam kehidupan politik, semestinya menjadi berkah kualitatif dalam pencerahan politik. Tetapi bila mereka justru hanya menjadi alat dan pesuruh –yang bisa diperintah-perintah melakukan apa saja– para pemimpin partai yang berotot massa berdaging tebal berlemak akumulasi dana, apalagi namanya kalau bukan pelacur intelektual?

            Namun sayang, ternyata peranan terhormat kaum intelektual pada musim kali ini tidak tampil. Entah bagaimana, justru lebih terasa kehadiran pola permainan politik ala intelejen dekade-dekade lampau. Sejumlah gaya perilaku dan corak peristiwa aktual, membawa ingatan kepada kejayaan jaringan intelejen brilyan di masa almarhum Ali Moertopo, maupun kepiawaian politik CSIS di bawah bimbingan beliau. Bahkan menggiring ingatan kepada guru taktik dan strategi yang mempengaruhi Presiden Soeharto dari belakang layar, yakni Pater Beek almarhum. Dan melintaskan ingatan kepada sejumlah purnawirawan jenderal pelaku intelijen tentara dari generasi-generasi sesudah Ali Moertopo, yang untuk sebagian agaknya ikut berkiprah di musim ini. (socio-politica.com).

Pemilihan Presiden 2014, Dalam Aroma Kejahatan Intelektual (1)

PEMILIHAN Presiden 2014 ini berkemungkinan besar akan tercatat sebagai salah satu peristiwa politik terburuk dalam sejarah kontemporer Indonesia. Bahkan bisa menjadi suatu bencana politik, kecuali bila 22 Juli, setelah KPU mengumumkan hasil penghitungan suara sesungguhnya, para pihak –kalah atau menang– berhasil menampilkan sikap kenegarawanan mereka. Dengan sikap kenegarawanan, jika ada yang dianggap harus diluruskan berdasarkan kebenaran, penyelesaian yang dipilih adalah mekanisme sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Bukan jalan pintas mengekspresikan kekecewaan secara emosional melalui kekerasan fisik antar massa.

            Bagaimana pun, melalui pemilihan presiden tahun ini, telah tercatat sejumlah perilaku buruk sebagian manusia Indonesia dalam berpolitik. Baik sebagai pelaku-pelaku penting maupun sekedar sebagai pendukung politik –dengan pengutamaan kekuasaan semata. Indonesia nyaris sepenuhnya terbelah dua, meski masih harus dicatat terdapatnya 20-29 persen rakyat pemilih sebagai pengecualian, yang tak merasa perlu memilih dalam situasi fait accompli pilihan terhadap tokoh-tokoh lesser evil. Pilihan lesser evil itu sendiri sepenuhnya adalah produk sistem politik dan sistem kepartaian buruk yang masih berlaku di negara yang mengelu-elukan diri sebagai negara demokrasi terbesar ke empat di dunia ini.

4 TOKOH DALAM PEMILIHAN PRESIDEN 2014. "Tidak terlihat kecukupan urgensi dari survei untuk menilai karakter dan kepribadian para tokoh yang akan maju sebagai kandidat dalam pemilihan presiden ini, selain daripada menggunakannya sebagai kepentingan menyudutkan salah satu pihak dalam konteks kampanye. Sadar atau tidak, justru para psikolog ini telah tersesat melakukan suatu kampanye hitam sembari melakukan pengatasnamaan nilai-nilai akademis." (gambar download)
4 TOKOH DALAM PEMILIHAN PRESIDEN 2014. “Tidak terlihat kecukupan urgensi dari survei untuk menilai karakter dan kepribadian para tokoh yang akan maju sebagai kandidat dalam pemilihan presiden ini, selain daripada menggunakannya sebagai kepentingan menyudutkan salah satu pihak dalam konteks kampanye. Sadar atau tidak, justru para psikolog ini telah tersesat melakukan suatu kampanye hitam sembari melakukan pengatasnamaan nilai-nilai akademis.” (gambar download)

            Pelacuran intelektual dan quick count menyimpang. Termasuk di antara yang menyedihkan, adalah betapa dalam situasi pembelahan dua dalam rangkaian proses pemilihan presiden tersebut, amat menonjol praktek ‘kejahatan’ yang dilakukan oleh tak sedikit kalangan intelektual. Aroma ‘pelacuran intelektual’ cukup menyengat. Melacurkan keilmuannya demi uang dan iming-iming kedudukan. Ini dilakukan oleh banyak kaum intelektual yang mengelola lembaga-lembaga survei, mengelola media atau maupun para pengajar perguruan tinggi dan kaum profesional dengan bidang keilmuan tertentu yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Kejahatan yang dilakukan oleh kalangan berpendidikan akademis dan kaum intelektual pada umumnya, jelas jauh lebih buruk dan berbahaya daripada bila itu dilakukan kalangan awam.

            TERBANYAK mendapat perhatian dan paling aktual adalah bagaimana sejumlah lembaga survei, melalui quick count hasil pilpres, sengaja atau tidak, menciptakan dua kelompok angka prosentase indikasi kemenangan dua kubu yang berbeda diametral. Dua kelompok angka itu telah dan akan berkelanjutan menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme quick count itu sendiri. Padahal metode quick count itu berdasar kepada ilmu statistika yang ditopang ilmu matematika, sesuai pengalaman yang sudah-sudah, terbukti mampu mendekati kebenaran hasil akhir real count. Artinya, setidaknya ada di antara lembaga penyelenggara quick count tidak ‘disiplin’ menjalankan metodologi. Mungkin tidak cermat atau manipulatif dalam sampling, dan atau mungkin bahkan memanipulasi angka-angka hasil TPS yang menjadi sample. Akibatnya, meminjam pernyataan 77 akademisi, menyebabkan “kebenaran ilmu pengetahuan menjadi taruhan”.

            Lebih dari sekedar pertaruhan kebenaran ilmu pengetahuan, adanya dua versi quick count, sekaligus menciptakan kondisi tidak siap kalah di dua kubu pendukung. Lembaga-lembaga penyelenggara quick count itu berhasil menanamkan keyakinan diri pada masing-masing kubu sebagai pemenang pilpres. Ketergesa-gesaan Megawati Soekarnoputeri yang secara dini memproklamirkan Jokowi sebagai Presiden Indonesia berikutnya, dan mendorong Prabowo Subianto untuk juga mengajukan klaim kemenangan, mempertajam perang opini mengenai siapa pemenang. Dan dengan sendirinya ini lebih memperkuat fanatisme pemenang di masing-masing kubu. Sikap tidak siap kalah berpotensi sebagai penyulut bentrokan fisik, pada saat KPU mengumumkan siapa peraih suara terbanyak nanti.

            Bahwa ada yang melakukan manipulasi, hampir bisa dipastikan. Tentu tidak mudah saat ini menentukan siapa yang menyimpang, tanpa audit. Dan audit itu sendiri harus dilakukan oleh suatu lembaga yang terdiri dari akademisi perguruan tinggi yang objektif, yang bisa dipercaya tak berpihak kepada dua kubu kepentingan politik. Bukan oleh lembaga semacam Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) yang sedikit banyaknya bisa terbaca kemungkinan keberpihakannya.

            ‘Membaca’ rekam jejak lembaga-lembaga penyelenggara quick count yang ada saat ini, semua pantas dicurigai. Pada umumnya, lembaga-lembaga itu sudah terlihat aktif dalam survei opini yang berbau komersial dan terlihat telah menggunakan survei elektabilitas kandidat untuk penciptaan opini. Perilaku mereka dalam pertempuran opini, tak kalah ‘agresif’ dari mercenaries. Mereka sejak awal telah memperlihatkan gejala penyimpangan, bukan sekedar membaca opini publik melainkan lebih jauh melangkah membentuk opini untuk kepentingan klien yang membayar mereka atau demi kepentingan politik tertentu.

            Tapi dengan membandingkannya nanti terhadap real count KPU, akan lebih mudah menyimpulkan lembaga survei atau penyelenggara quick count mana yang melakukan manipulasi. Entah itu konsultan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, entah konsultan Jokowi-Jusuf Kalla. “Salah satu hasil hitung itu cepat itu benar dan satu lainnya pasti salah,” ujar Ade Armando seorang akademisi dari Universitas Indonesia. Tapi mungkin juga tidak sesederhana dan hitam-putih seperti kesimpulan Ade Armando, karena angka-angka real count KPU juga bisa saja memperlihatkan bahwa konsultan kedua kubu ternyata sama-sama melakukan manipulasi angka berupa mark-up untuk kepentingan klien mereka masing-masing.

            Psikolog yang tersesat? SEJUMLAH psikolog juga telah tergelincir melakukan penyimpangan –untuk tidak menyebutkannya melakukan penyalahgunaan profesi dan keilmuan mereka– tatkala bersedia diorganisir dalam suatu jajak pendapat untuk menilai karakter dan kepribadian empat tokoh yang menjadi kandidat dalam pemilihan pasangan capres-cawapres 2014 ini. Hamdi Muluk, Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, bertindak selaku ‘event organizer’ dari kegiatan yang tak etis ini, bekerjasama dengan beberapa asosiasi profesi seperti Lembaga Psikologi Politik Universitas Indonesia, Ikatan Psikologi Sosial dan Ikatan Psikologi Klinis serta Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Survei ini melibatkan 204 psikolog di Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang sebagai responden. Hasil survei menunjukkan betapa sejumlah sifat dan kepribadian berkonotasi ‘buruk’ lebih banyak diarahkan mengumpul pada dua tokoh yakni Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, sementara sifat dan kepribadian positif mengumpul pada tokoh Jokowi dan Muhammad Jusuf Kalla.

            Sebenarnya, sebelum sah sebagai calon peserta Pemilihan Presiden, empat tokoh ini sudah menjalani tes kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, oleh Tim Dokter yang ditunjuk KPU. Mereka telah menjalani dan lulus tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) ditambah sejumlah tes psikologi lainnya untuk perkuatan. Tim Dokter tersebut memiliki otoritas untuk menyatakan para calon presiden wakil presiden itu lolos atau tidak lolos tes. Tapi apa dan bagaimana hasil tes kesehatan raga dan jiwa itu, sesuai kode etik kedokteran, tak pernah diumumkan.

            Psikolog-psikolog yang mengorganisir survei maupun yang terlibat sebagai responden adalah insan-insan akademis dengan profesi yang memiliki kode kehormatan profesi. Bisa dipertanyakan, apakah tepat para narasumber yang berprofesi psikolog ini dijadikan objek jajak pendapat. Dan kalau mereka menyampaikan penilaian mereka, atas dasar apa mereka mengambil kesimpulan? Apakah mereka pernah mewawancara atau melakukan tes terhadap ke empat tokoh itu? Kalau melandaskan diri pada observasi, berdasarkan data apa? Berita suratkabar atau televisi, atau sekedar common sense atau subjektivitas pribadi saja? Sejauh mana tingkatan kesahihan sumber-sumber tersebut? Kalau pun mereka telah memenuhi syarat-syarat akademis untuk tiba pada suatu konklusi, apakah kesimpulan mereka pantas untuk diumumkan? Salah satu dasar utama dari profesi psikolog adalah kemampuan menjaga kerahasiaan privasi agar tidak menjadi sajian yang terbuka ke umum. Hanya kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat prinsipil, semisal kepentingan penyelidikan kriminal, yang bisa memberi alasan untuk membuka suatu kerahasiaan privasi. Itu pun terbatas kepada pihak dengan kompetensi tertentu.

            Tidak terlihat kecukupan urgensi dari survei untuk menilai karakter dan kepribadian para tokoh yang akan maju sebagai kandidat dalam pemilihan presiden ini, selain daripada menggunakannya sebagai kepentingan menyudutkan salah satu pihak dalam konteks kampanye. Sadar atau tidak, justru para psikolog ini telah tersesat melakukan suatu kampanye hitam sembari melakukan pengatasnamaan kaidah dan nilai-nilai akademis. Kalau misalnya terbukti bahwa survei ini disponsori secara finansial atau berdasarkan suatu kesepakatan politik khusus bagi pemrakarsa, mungkin sudah lebih dari pantas untuk dikecam sebagai suatu pelacuran intelektual terselubung.

            Kecaman serupa layak untuk ditujukan pula kepada 330 gurubesar perguruan tinggi di berbagai provinsi yang sudi menjadi responden jajak pendapat Poltracking. Mereka seakan diperalat untuk menilai integritas, kompetensi dan kapabilitas, serta perkiraan kemampuan memimpin negara dari dua kandidat presiden.

Para gurubesar ini, sesuai dengan disiplin keilmuan mereka masing-masing, sah-sah saja untuk melakukan penilaian-penilaian mereka, terutama mengenai visi dan gagasan ataupun pengalaman dan prestasi para calon, untuk membantu memberi referensi kepada calon pemilih. Tetapi semestinya, mereka melakukannya sendiri-sendiri sebagai seorang insan akademis, sehingga jelas pertanggungjawaban akademisnya. Kenapa harus bersuara dalam suatu kerumunan yang menjadi objek jajak pendapat suatu lembaga yang punya kepentingan dan perpihakan tertentu, sehingga bisa menimbulkan aroma konspirasi kerumunan? Bagaimana pun, mereka adalah kaum intelektual yang memiliki etika –yang hanya setingkat di bawah etika keilahian– dan nilai-nilai integritas yang berbeda dengan kaum awam. Kaum intelektual adalah kelompok terhormat karena filosofi kebenaran yang mereka miliki sebagai nilai tambah. Bukan awam apalagi preman yang terbiasa melakukan keroyokan. (socio-politica.com – Berlanjut ke Bagian 2)

Tatkala Lembaga Survey Menyembunyikan ‘Keunggulan’ Prabowo Terhadap Jokowi

SEBUAH cerita belakang layar yang menarik muncul melalui The Sydney Morning Herald, Australia (25/6), tentang di’sembunyikan’nya hasil survey keunggulan elektabilitas Prabowo Subianto di masa-masa injury time saat ini menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. “Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows,” demikian dituliskan. “But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.” Satu atau lebih dari hasil jajak pendapat tidak dipublikasikan, karena kuatir mengecewakan kubu Jokowi di satu pihak, dan pada pihak lain bisa lebih memacu naik elektabilitas Prabowo Subianto.

SILENCE OF THE POLLS AS PRABOWO PULLS AHEAD IN JAKARTA RACE (by Michael Bachelard) - Jakarta: Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows. But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo. A number of source contacted by Fairfax Media have confirmed that three credible polling organisations have now measured the gap between the two candidates at either within the margin of error, or with Mr Prabowo in the lead. It’s a remarkable turnaround. Until the campaign began, Mr Joko, the popular Jakarta governor, have a double-digit lead. But Mr Joko has been flat-footed by his opponent’s populist rhetoric, bolstered by a big-spending advertising campaign, blanket media coverage from TV stations owned by Mr Prabowo’s allies, and a successful “black” campaign of racial and religious smears against Mr Joko. In early June the Indonesian Survey Institute said his lead had narrowed to 6.3 per cent –down from over 20 per cent earlier in the year. And on Monday, another (less credible) polling company, the Indonesia Survey Institute, showed Mr Prabowo with 51.2 per cent compared to Mr Joko’s 48.8 per cent. But Lowy Institute research fellow Aaron Connelly wrote on Tuesday that Indonesia’s most credible pollsters –the international group CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting, and Indikator– had now judged the race to be neck and neck. “Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” Mr Connely wrote. Fairfax Media has now confirmed with a number of sources that CSIS finalised a poll on June 15 showing a negligible gap between the two campaigns, but has refused for 10 days to release it. Sources says that reason may be because all three have a foot –either financial or philosophical– in the Joko camp. CSIS executive director Rizal Sukma, a respected international relations expert, briefed Mr Joko for his presidential debate last Sunday. They fear that publishing the information may prompt even more support to flow to Mr Prabowo in a country where analysts belive a strong “back the winner” mentality exists. Neither Mr Rizal nor Burhanuddin Muhtadi, of Indikator responded to calls or texts on the subject, and Saiful Mujani of Saiful Mujani Research and Consulting was in hospital, according to a spokesman. (gambar reuters)
SILENCE OF THE POLLS AS PRABOWO PULLS AHEAD IN JAKARTA RACE (by Michael Bachelard) – Jakarta: Former military strongman Prabowo Subianto has for the first time pulled level or even slightly ahead of the previous favourite, Joko Widodo, in the Indonesian presidential race, credible polling apparently shows.
But in a twist, one or more of those polls has been witheld from publication, apparently for fear of dishearting the Joko camp and shifting more votes to Mr Prabowo.
A number of source contacted by Fairfax Media have confirmed that three credible polling organisations have now measured the gap between the two candidates at either within the margin of error, or with Mr Prabowo in the lead.
It’s a remarkable turnaround. Until the campaign began, Mr Joko, the popular Jakarta governor, have a double-digit lead.
But Mr Joko has been flat-footed by his opponent’s populist rhetoric, bolstered by a big-spending advertising campaign, blanket media coverage from TV stations owned by Mr Prabowo’s allies, and a successful “black” campaign of racial and religious smears against Mr Joko.
In early June the Indonesian Survey Institute said his lead had narrowed to 6.3 per cent –down from over 20 per cent earlier in the year. And on Monday, another (less credible) polling company, the Indonesia Survey Institute, showed Mr Prabowo with 51.2 per cent compared to Mr Joko’s 48.8 per cent.
But Lowy Institute research fellow Aaron Connelly wrote on Tuesday that Indonesia’s most credible pollsters –the international group CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting, and Indikator– had now judged the race to be neck and neck.
“Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” Mr Connely wrote.
Fairfax Media has now confirmed with a number of sources that CSIS finalised a poll on June 15 showing a negligible gap between the two campaigns, but has refused for 10 days to release it.
Sources says that reason may be because all three have a foot –either financial or philosophical– in the Joko camp. CSIS executive director Rizal Sukma, a respected international relations expert, briefed Mr Joko for his presidential debate last Sunday.
They fear that publishing the information may prompt even more support to flow to Mr Prabowo in a country where analysts belive a strong “back the winner” mentality exists.
Neither Mr Rizal nor Burhanuddin Muhtadi, of Indikator responded to calls or texts on the subject, and Saiful Mujani of Saiful Mujani Research and Consulting was in hospital, according to a spokesman. (gambar reuters)

            Michael Bachelard, koresponden Fairfax Media di Jakarta, mengutip Aaron Connelly dari Lowy Institute yang menyebutkan lembaga jajak pendapat terkemuka di Indonesia –CSIS, Saiful Mujani Research and Consulting dan Indikator– menyimpulkan bahwa persaingan antara dua kandidat presiden makin ketat. “Prabowo Subianto must now be considered the favourite to win the July 9 presidential election, a result that was unthinkable just a month ago,” kata Connelly. Prabowo kini diperhitungkan sebagai favorit yang akan memenangi pemilihan presiden 9 Juli mendatang, sesuatu yang sebulan lalu takkan terpikirkan.

            Kenapa lembaga-lembaga jajak pendapat itu masih ‘menyembunyikan’ hasil survey mereka? Michael Bachelard mengutip beberapa sumber, bahwa yang menjadi alasan, mungkin karena tiga lembaga survey tersebut memiliki pijakan kaki di kubu Jokowi, baik karena masalah finansial maupun keterkaitan persamaan pandangan.

            Dalam hal ini, tidak perlu menjadi pendukung Prabowo Subianto lebih dulu, untuk mencela sikap lembaga-lembaga survey yang menyembunyikan hasil survey atau jajak pendapat dari publik. Begitu pun sebaliknya. Manipulasi hasil jajak pendapat atau hasil survey, merupakan kejahatan. Bila dilakukan karena uang, atau interest lainnya, ia berkategori prostitusi intelektual. Tiga lembaga yang disebut namanya oleh Connelly dalam berita The Sydney Morning Herald, tentu perlu memberi penjelasan terbuka kepada publik. Ke depan, perlu menjaga agar lembaga-lembaga survey tetap berjalan di atas jalur dan metode yang seharusnya.

            Kampanye hitam sebagai kambing hitam. Koran Tempo, Jumat 27 Juni, menurunkan laporan “Pemilih Jokowi Lari”. Menurut Fitri Hari dari Lingkaran Survey Indonesia seperti yang dikutip Tempo, “elektabilitas Jokowi-Kalla terus terkejar terutama karena kampanye hitam yang mendera pasangan nomor urut dua tersebut.” Dalam berita yang sama disebutkan, Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD, membantah kalau Jokowi yang paling dirugikan akibat kampanye hitam. Mahfud mengatakan, Prabowo juga dirugikan oleh kampanye hitam dari kubu lawan. Maka Mahfud meminta polisi bertindak mengusut semua kampanye hitam. “Biar diselesaikan secara hukum.”

            Sebenarnya, tak sepenuhnya tepat bila kampanye hitam terus menerus dikambing-hitamkan sebagai penyebab mandeg atau menurunnya elektabilitas pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Banyak faktor yang bila dianalisis dengan cermat, ikut berbicara sebagai faktor ketersendatan popularitas Jokowi. Dengan berjalannya waktu, publik bisa mulai melihat beberapa kekurangan Joko Widodo dalam konteks standar kualitas presidensi. Selama ini Jokowi mengapung dalam pencitraan  berdasar rekam jejak sentimentil yang disajikan lebih mirip dongeng 1001 malam. Kekurangan-kekurangan Jokowi banyak muncul di arena debat Capres. Berbicara terlalu banyak mengenai masalah-masalah mikro, padahal dari seorang presiden lebih dibutuhkan penguasaan masalah makro dan kemampuan memproyeksi masa depan sebagai seorang pemimpin. Jokowi selalu mengatakan, yang terpenting adalah pengambilan keputusan di lapangan. Ini bisa menimbulkan salah paham, apakah ia tidak menganggap penting perencanaan yang selalu akan merupakan hasil kerja kolektif dalam kepemimpinan. Dan, apakah dengan menekankan pemecahan masalah dengan pengambilan keputusan oleh pemimpin di lapangan, berarti ia akan lebih banyak melakukan solo run menjalankan single decision making?

            Setidaknya, dalam dua debat terakhir –khususnya dalam masalah internasional dan pertahanan keamanan, 22 Juni malam– secara objektif harus diakui Jokowi secara kualitatif tampil kurang mengesankan. Penguasaan masalah yang dimilikinya ternyata tidak memadai. Misalnya, saat harus menjawab masalah penggunaan drone dan satelit, ia tak mampu memberi keyakinan bahwa ia menguasai dengan baik aspek teknologis dari apa yang menjadi gagasannya. Terkesan sekedar ‘snob’. Ia pun agaknya tak begitu mampu membaca masalah Laut Cina Selatan dengan segala potensi konflik antar negara yang mengitarinya, yang bisa mengganggu stabilitas kawasan. Sementara itu, Kepulauan Natuna milik Indonesia yang kaya gas alam persis ada di tepi selatan Laut Cina Selatan.

Ia pun menjadi serba salah tatkala harus menjawab mengenai beban masa lampau tentang penjualan Indosat di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Mungkin ada benarnya apa yang pernah dikatakan Guruh Soekarnoputera bahwa Jokowi baru siap lima tahun mendatang, yakni setelah merampungkan tugas dan pembuktian diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Maka benar juga pandangan Jusuf Kalla, hampir dua tahun lalu, bahwa berbahaya bila pencalonan presiden dilakukan dengan cara coba-coba.

            Bumerang. Tak kalah pentingnya, harus dicatat bahwa kubu Jokowi-Jusuf Kalla, sadar atau tidak sadar ternyata banyak melakukan serangan yang terkesan penganiayaan politik tatkala terlalu banyak mengungkit ‘dosa’ masa lalu atau stigma pelanggar HAM terhadap Prabowo Subianto. Harus mawas diri dan jangan tergelincir meluncurkan bumerang yang sewaktu-waktu bisa memukul balik diri sendiri. Dalam pemilihan presiden yang lalu, ketika Megawati Soekarnoputeri tampil sebagai calon presiden didampingi Prabowo Subianto, Mega dan partainya membela Prabowo tidak terlibat pelanggaran HAM. Kini, mereka mati-matian menggempur Prabowo dengan isu yang sama dari arah yang terbalik.

Kesan penganiayaan politik menguat terutama ketika sejumlah jenderal purnawirawan di kubu Jokowi ramai-ramai menyerang Prabowo dengan senjata Peristiwa 1998. Padahal, para jenderal purnawirawan itu sendiri sama-sama penyandang stigma Peristiwa 1998, dan perlu dipertanyakan juga peran buruknya dalam kancah kekuasaan di masa itu, selain diketahui punya sejarah rivalitas dengan Prabowo Subianto. Jangan-jangan mereka menutupi dosa mereka sendiri dengan menumpahkan dosa 1998 itu ke bahu Prabowo Subianto seorang.

Ini bukan pembelaan untuk Prabowo Subianto. Pada waktunya, bila suatu Komisi Kebenaran pada akhirnya bisa terwujud, dan kebenaran sejati peristiwa sekitar tahun itu terungkap, semua dosa akan menjadi jelas, siapa pun dia sang penyandang dosa. Prabowo Subianto maupun Wiranto dan para jenderal purnawirawan lainnya atau tokoh sipil yang pernah terlibat dosa masa lampau menjadi jelas posisinya dalam kerangka peristiwa. Tangan mencencang, bahu memikul. Tak ada pilih-pilih tebu. (socio-politica.com)

Pemilihan Presiden: Memilih Politisi, Bukan Nabi Bukan Iblis

PADA hari Rabu 9 Juli 2014 mendatang rakyat Indonesia akan memilih pasangan pimpinan negara yang baru. Entah sekedar politisi biasa, entah seorang negarawan. Meminjam ‘narasi’ Thomas E. Cronin, dalam setiap pemilihan presiden, rakyat akan memilih seorang di antara kaum politisi –dan bukan seorang Nabi– untuk menduduki kursi kepresidenan itu. Terhadap ‘narasi’ Cronin tersebut, berdasarkan fakta empiris banyaknya pemimpin berwatak dan berperilaku buruk, tak terkecuali di Indonesia, mungkin perlu ditambahkan juga syarat ‘bukan iblis’. Ada perbedaan besar antara seorang politisi dengan seorang nabi. Politisi cenderung menyampaikan kepada khalayak apa yang khalayak itu ingin dengarkan. Sedang seorang Nabi, semata menyampaikan apa yang benar. Sementara itu iblis bekerja untuk menampilkan kesesatan seolah-olah suatu kebenaran.

            Metafora perbandingan dengan Nabi tersebut, disampaikan Cronin saat menjawab keluhan publik Amerika tentang kelangkaan figur yang betul-betul memiliki format pemimpin sejati untuk menjawab kebutuhan zaman. Publik mengecam bahwa para politisi yang menjadi kandidat pemimpin negara, tak lebih dari sekedar tokoh yang berupaya mengorek dana kaum kaya di satu sisi, dan di sisi lain mengejar suara dukungan dari kaum miskin, di atas janji-janji bermuka dua yang pasti palsu.

ANJURAN PEMILU DAMAI DALAM MEDIA SOSIAL. "Meskipun perbuatan saling menelanjangi yang terjadi menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 ini, adalah perilaku yang sesungguhnya buruk dan memuakkan, bagaimana pun setidaknya ia menciptakan momentum untuk memeriksa kembali black box berbagai crash landing untuk mengungkap kebenaran sejati. Ini semacam rahmat terselubung juga dalam konteks kebenaran." (gambar download)
ANJURAN KAMPANYE DAMAI DALAM MEDIA SOSIAL. “Meskipun perbuatan saling menelanjangi yang terjadi menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 ini, adalah perilaku yang sesungguhnya buruk dan memuakkan, bagaimana pun setidaknya ia menciptakan momentum untuk memeriksa kembali black box berbagai crash landing untuk mengungkap kebenaran sejati. Ini semacam rahmat terselubung juga dalam konteks kebenaran.” (gambar download)

            Lebih lanjut dari Cronin, akademisi yang juga memiliki pengalaman sebagai pejabat di Gedung Putih itu, bisa dipinjam beberapa pemahaman umum sebagai referensi. Politik kerap didefinisikan sebagai seni dari kemungkinan (the art of the possible). Pekerjaan dari seorang politisi –yang secara ideal adalah seseorang dengan kepemimpinan politik kreatif– adalah membantu masyarakat mengembangkan pemikiran dan pandangannya, memadukan bakat dan kemampuan bersama untuk menghadapi permasalahan dan meraih apa yang ingin dicapai.

            MUNGKINKAH untuk konteks Indonesia, bisa diharapkan kehadiran para politisi yang berusaha memadukan sedikit sifat ke-nabi-an dalam cara berpolitiknya, menyampaikan apa yang ingin didengarkan publik, tetapi yang disampaikan itu tetap dalam batas kebenaran? Mengelola the art of the possible dengan tujuan dan cara yang beretika, bukan dengan manipulasi. Memadukan kekuatan masyarakat dalam sinergi positif dengan tujuan produktif, bukan dalam persekongkolan.

            Namun, menurut pengalaman empiris Indonesia, dalam banyak hal perilaku ke-nabi-an nyaris tak dijumpai dalam praktek politik, karena dikalahkan kecenderungan menyesatkan kebenaran untuk mengelabui rakyat. Apalagi, dalam ‘kemiskinan’ politik dan kemiskinan ekonomi, kebanyakan rakyat di mana-mana lebih gampang digiring menjadi alas politik persekongkolan dan politik adu kekuatan otot. Khususnya dalam masa demam politik pemilihan umum dan pemilihan presiden. Begitu banyak yang tetap saja selalu lebih terpesona oleh janji dan pencitraan daripada menggunakan ‘nalar’ untuk membaca bahasa tubuh maupun perilaku seorang tokoh. Dalam pengalaman Indonesia, berkali-kali kebanyakan rakyat terkecoh oleh pencitraan semata dan janji hampa. Apalagi bila disertai iming-iming hadiah uang atau program-program gratis yang tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan.  

Sementara itu sebagian besar pers dan kaum cendekiawan –yang semestinya berfungsi sebagai benteng kebenaran dan akal sehat– cenderung tidak membantu rakyat pemilih dengan referensi yang jujur, karena sebagian besar kalangan pers dan cendekiawan malah ikut larut sebagai partisan ‘buta’. Pasti mereka tidak buta betulan, tetapi di masa yang masih tanpa kepastian hidup seperti sekarang ini, mereka membutakan diri untuk bisa ikut ‘makan siang’.

DALAM masa kampanye menjelang Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014, dua kubu calon Presiden dan Wakil Presiden, menggeser kompetisi akal sehat yang seharusnya mengedepankan adu gagasan tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan, menjadi saling menelanjangi kesalahan masa lampau. Ini seakan-akan menggeser alternatif pilihan dengan tajam menjadi lesser evil yang lebih buruk lagi dari pilihan the bad among the worst yang memang sudah buruk.

Menurut norma ideal, pilihan yang mesti disajikan kepada rakyat pemilih, adalah the best among the good. Tokoh terbaik dengan program terbaik dan terpercaya karena masuk akal. Ini tidak terjadi kali ini, dan sebenarnya demikian pula dengan masa sebelumnya.

Sedikit atau banyak, semua tokoh yang ditampilkan saat ini untuk memimpin negara 5 tahun ke depan, sama-sama menyandang stigma –kalau bukan karena rekam jejak menyangkut dirinya sendiri, terbeban oleh beban sejarah tokoh-tokoh atau pun partai pendukungnya– yang belum tuntas proses klarifikasinya.

Prabowo Subianto selalu diungkit dengan stigma ‘penghilangan paksa’ sejumlah aktivis menjelang tahun 1998, serta stigma Peristiwa Kekerasan Mei 1998. Semestinya badan ad-hoc Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang menangani kasusnya di tahun 1998 bisa memberi kejelasan final. Tapi DKP sendiri tidak sepenuhnya mendapat kepercayaan publik, karena yang membentuk DKP itu adalah Menteri Hankam/Pangab Jenderal Wiranto yang justru juga menyandang stigma keterlibatan dalam terciptanya Peristiwa Mei 1998 itu. Apalagi, menurut pengetahuan publik, Wiranto dan Prabowo kala itu terlibat dalam rivalitas kekuasaan satu sama lain. Meskipun DKP mempersalahkan Prabowo, Presiden BJ HB selaku Panglima Tertinggi ABRI toh memutuskan pemberhentian dengan hormat bagi Prabowo disertai penghargaan atas jasa-jasanya bagi negara. Tapi itu pun tidak dengan sendirinya bisa menghilangkan stigma atas diri Prabowo, tanpa pengungkapan fakta dari suatu lembaga yang terpercaya (Lebih jauh, persoalan 1998 antara Prabowo dan Wiranto, akan diulas dalam suatu tulisan tersendiri, Black Box 1998, di socio-politica.com).

Katakanlah Jokowi sejauh ini masih dianggap bersih dari beban sejarah masa lampau, setidaknya sampai ada pengungkapan sebaliknya tentang masa lalunya sebagai Walikota Solo atau Gubernur DKI, nyatanya ia harus memikul beban sejarah pendukung utamanya, Megawati Soekarnoputeri dan PDIP. Terpateri dalam pikiran banyak orang bahwa tindakan Megawati melepas aset strategis negara, Indosat, dengan harga murah –lebih rendah dari keuntungan BUMN itu per tahun– adalah suatu kesalahan fatal. Apalagi, saat penjualan itu terjadi, muncul dugaan adanya permainan untuk kepentingan dana perorangan di kalangan kekuasaan. Jokowi seakan mencoba menegakkan benang basah ketika ia menjanjikan akan membeli kembali Indosat dengan menyebut bahwa ada klausula buy-back itu dalam perjanjian penjualan. Padahal klausula itu tidak ada. Secara bisnis, dengan harga Indosat yang kini sudah berlipat-lipat ganda dari harga semula, serta keuntungan melimpah yang dinikmati para pemilik baru, bisa dikatakan amat sulit bahkan hampir mustahil untuk membelinya kembali. Jokowi menciptakan lubang hitam bagi dirinya dengan memberi harapan palsu demi membela Megawati.

Baik Hatta Rajasa maupun Muhammad Jusuf Kalla juga memiliki stigma atau setidaknya sejumlah tanda tanya yang memerlukan penjelasan. Terhadap Hatta Rajasa dilekatkan stigma beberapa sangkaan korupsi dalam masa jabatannya di kabinet selama beberapa tahun terakhir hingga kini. Terbaru adalah isu terkait masalah Migas. Jusuf Kalla juga sempat dipertanyakan kembali mengenai alasan sebenarnya pencopotan dirinya dari Kabinet oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang bukan semata-mata masalah politik. Tak kalah penting, adalah keterlibatannya dalam beberapa peristiwa kekerasan –peristiwa rasial dan perusakan gereja– di tahun 1965-1967 (Baca Calon Presiden Indonesia 2014, Pilihan The Bad Among the Worst,  socio-politica.com, June 17, 2014)

KENAPA begitu banyak tokoh yang bisa terkena stigma hampir di seluruh lanjutan atau sisa perjalanan hidup dan karirnya? Sehingga, membingungkan masyarakat bila mereka tampil dalam suatu kompetisi meraih jabatan negara? Tak lain karena memang tak pernah ada effort yang bersungguh-sungguh untuk memperjelas kebenaran sesungguhnya pada sejumlah peristiwa penting. Pun tak ada kebiasaan menuntaskan suatu masalah secara hukum melalui prosedur hukum yang benar. Itu agaknya telah menjadi tradisi khas Indonesia. Entah karena pertarungan internal kekuasaan, entah karena kekuatan kritis di masyarakat memang belum mampu berperan. Lembaga-lembaga formal dalam negara pun cenderung bersikap menutup-nutupi, satu dan lain sebab, masih bercokolnya mereka yang terlibat pada peristiwa-peristiwa dalam peran dan fungsi kekuasaan untuk jangka yang lama. Akan tetapi, meskipun perbuatan saling menelanjangi yang terjadi menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 ini, adalah perilaku yang sesungguhnya buruk dan memuakkan, bagaimana pun setidaknya ia menciptakan momentum untuk memeriksa kembali black box berbagai crash landing dalam sejarah Indonesia untuk mengungkap kebenaran sejati. Ini semacam rahmat terselubung juga dalam konteks kebenaran.

DALAM kaitan ini, gagasan pembentukan (kembali) suatu Komisi Kebenaran, perlu dipertimbangkan. Membuka black box Peristiwa 1998 misalnya, oleh suatu Komisi Kebenaran yang dibentuk bersama dalam pengawasan publik, akan memunculkan fakta peristiwa sebenarnya yang pasti melibatkan sejumlah nama penting. Hal yang sama untuk masalah penjualan Indosat di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Bahkan Komisi Kebenaran juga bisa melakukan pengungkapan terhadap kontroversi-kontroversi sejarah sekitar tahun 1961-1965, 1966, 1967, 1974, 1978 dan sebagainya.

Dengan bekal pengetahuan tentang kebenaran, rakyat pemilih bisa bersikap dan bertindak lebih adil. Termasuk dalam memilih tokoh pemimpin negara yang pantas, tanpa terlalu terpesona pencitraan yang belum tentu benar. Mungkin dalam Pemilihan Presiden kali ini belum, tetapi semoga bisa terjadi dalam kesempatan berikut. Sebagai gantinya, selama 5 tahun ke depan, publik harus menentukan bagi dirinya peran kritis untuk mengawal dengan baik jalannya pelaksanaan kekuasaan negara, siapa pun tokoh the bad among the worst yang terpilih. (socio-politica.com)

Calon Presiden Indonesia 2014, Pilihan The Bad Among The Worst

TAMPILNYA ‘hanya’ dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden menuju 9 Juli 2014, nyaris sepenuhnya ‘berhasil’ membelah dua Indonesia pada dua bulan terakhir. Situasi akan berbeda bila yang tampil adalah 3 atau 5 pasangan misalnya, seperti yang terjadi dalam beberapa pemilihan presiden yang lalu. Pembelahan dua dalam masyarakat cenderung terasa lebih tajam, lebih kontras dan lebih dramatis, karena terciptanya dua kutub dengan sendirinya melahirkan pengelompokan antara kawan dan lawan. Dengan situasi belah dua itu, lalu terlupakan bahwa sesungguhnya masih ada kelompok ketiga dalam masyarakat, yakni yang tidak atau belum merasa berkenan terhadap dua pilihan hasil fait accompli dari sistem politik yang ada saat ini.

Begitu kuatnya perpihakan, selain di tengah masyarakat, dengan hanya sedikit pengecualian, maka pers dan sebagian kalangan intelektual, termasuk para purnawirawan TNI, ikut terbelah dalam perpihakan dengan subjektivitas yang sangat kental. Pilihan seakan-akan hanya terbuka bagi dua alternatif, atau Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Bagi para pendukung pasangan nomor satu, right or wrong Prabowo-Hatta adalah segala-galanya. Begitu pula bagi para pendukung pasangan nomor dua, secara kualitatif, baik atau tidak baik, pokoknya Jokowi-JK. Gejala sikap seperti ini misalnya terlihat saat mengomentari dua hasil debat calon presiden (dan wakil presiden), 9 Juni dan 15 Juni 2014 malam.

DIA TIDAK AKAN JADI TEMANMU. Sebuah himbauan yang berdera di social-media.
DIA TIDAK AKAN JADI TEMANMU. Sebuah himbauan yang beredar di social-media.

Seakan tak ada ruang lagi untuk objektivitas tentang kebaikan dan kelemahan atau keburukan para tokoh yang mereka dukung. Itu terjadi dalam kolom pers cetak dan jalur frekuensi siaran media elektronik, maupun dalam ulasan tokoh-tokoh partisipan yang berpredikat akademisi. Beberapa purnawirawan tentara pun tergelincir membocorkan dokumen lama yang masih bersifat rahasia untuk mendiskreditkan tokoh yang dianggap lawan, dan di lain pihak muncul pula purnawirawan yang tak kalah galak tampil menangkis. Apakah bila telah menjadi purnawirawan, sifat dan sikap ksatria bisa ditanggalkan begitu saja?

Solidarity maker dan administrator. PADAHAL, dalam konteks kualitas presidentship yang dibutuhkan, kedua tokoh –Prabowo Subianto dan Joko Widodo– maupun dua tokoh yang mendampingi mereka masing-masing, harus diakui masih sebatas pilihan the bad among the worst. Suatu tradisi pilihan dalam pemilihan presiden Indonesia hampir dua dekade terakhir ini. Sejauh ini, mereka yang tampil belum memperlihatkan kualitas yang betul-betul sepadan untuk posisi sebagai presiden.

Prabowo memiliki perencanaan makro yang lebih baik untuk berbagai masalah, namun minim pengetahuan dan pengalaman masalah-masalah mikro. Dengan demikian ia lebih cenderung sebagai pemimpin pembawa payung gagasan besar, katakanlah mengacu kepada model ala Soekarno presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno adalah seorang pemimpin type solidarity maker, sedang Prabowo masih harus banyak belajar untuk bisa menjadi solidarity maker bagi bangsa ini. Kemampuan retorikanya memadai, tetapi soal pembuktian setelah retorika adalah hal lain lagi.

Sementara itu Joko Widodo lebih banyak mengetengahkan masalah-masalah mikro, dan bila toh bicara mengenai masalah makro selalu terpaku kepada detail kecil, sehingga apa rencana besarnya tak pernah terkomunikasikan dengan baik. Pengulangan-pengulangannya tentang contoh model keberhasilan berdasarkan pengalaman 10 tahun memimpin kota Solo dan gebrakan awalnya selama dua tahun memimpin ibukota, kapan saja dan di mana saja, lama-lama menjemukan juga. Solo itu hanya sebagian sangat kecil dari Indonesia yang kompleks. Jakarta mungkin etalase Indonesia, tapi tantangan seorang Gubernur DKI bagaimanapun beda jauh dengan tantangan memimpin Indonesia secara keseluruhan. Solo dan Jakarta di tangan Jokowi mungkin sedikit banyak bisa dianggap satu contoh keberhasilan pengelolaan, katakanlah mungkin sedikit lebih baik dari kota-kota Indonesia lainnya, tetapi harus diakui bahwa Solo dan Jakarta belum sempat menjadi satu contoh keberhasilan fenomenal yang betul-betul luar biasa. Jokowi cenderung menjadi tipe manager, namun belum membuktikan diri sebagai tipe administrator menyerupai Mohammad Hatta yang menjadi bagian dari Dwi-Tunggal Soekarno-Hatta.

Seharusnya, pemimpin Indonesia dalam perjalanan menuju masa depan, memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah makro dan mikro sekaligus. Kalau itu tidak ditemukan dalam satu figur, setidaknya dimiliki kepemimpinan dalam satu tim. Terlepas dari itu, sejauh ini dari mereka berdua pun belum tampil gagasan lengkap dan meyakinkan mengenai pembaharuan politik dan cara menjalankan kekuasaan yang justru merupakan kebutuhan esensial dalam menjawab tantangan masa depan Indonesia. Mungkin mereka berdua dan para pendampingnya agak lupa mengenai soal yang satu ini.

Lesser evil, bukan sekedar the bad among the worst. MEREKA yang mencermati dan mengetahui lebih mendalam sepak terjang empat tokoh –yang saat ini tampil sebagai calon pimpinan negara– selama ini, bisa memberi penilaian lebih ekstrim, yakni pilihan dengan kategori lesser evil. Bukan sekedar pilihan the bad among the worst. Terhadap mereka berempat memang masih diperlukan jawaban bagi sejumlah pertanyaan.

Bagi Prabowo Subianto yang penuh dengan catatan sejarah, diperlukan klarifikasi mendalam, apakah ia betul pelanggar HAM atau sekedar korban pengalihan dosa oleh sejumlah jenderal yang juga penuh stigma. Ia tersudutkan oleh lembaga ad-hoc internal militer DKP di masa Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, di tahun 1998. Meskipun demikian, Presiden BJ Habibie memberinya status diberhentikan dengan hormat disertai penghargaan atas jasa-jasanya. Terlepas dari itu, memang beberapa catatan sejarah kemiliterannya cukup cemerlang. Antara lain, menurut seniornya Letnan Jenderal Purnawirawan Junus Yosfiah, pasukan Prabowo Subianto selama bertugas di Timor Timur termasuk di antara dua kesatuan terbaik. Ayahandanya Professor Soemitro Djojohadikoesoemo adalah salah satu korban politik Presiden Soekarno, sehingga harus hidup dalam pengasingan di luar negeri. Maka menjadi pertanyaan, sebenarnya, kenapa Prabowo memilih menjadikan Soekarno sebagai model kepemimpinan.

Joko Widodo yang cenderung a-history dan lebih banyak ditampilkan dalam penuturan ala dongeng 1001 malam –yang belum sempat dicermati dosis kebenarannya– pun bisa dipertanyakan sejarah politiknya. Di mana posisi diri dan peran tokoh kelahiran 1961 ini dalam momen peristiwa dan pergolakan politik penting semacam yang terjadi di tahun 1974, 1978, 1998 dan pada masa setelah itu? Saat Peristiwa 30 September 1965 ia masih berusia 4 tahun, tak mungkin ada kaitannya dengan peristiwa tersebut, kecuali itu menyangkut ayah atau ibunya. Tahun 1974 ia baru berusia 13 tahun, pasti tak terlibat pergolakan gerakan kritis mahasiswa saat itu. Joko Widodo yang lulus Fakultas Kehutanan UGM 1985, pun tak tercatat memiliki kegiatan sebagai aktivis gerakan kritis mahasiswa. Saat penguasa militer menduduki sejumlah kampus terkemuka di Indonesia tahun 1978, Jokowi mungkin belum menjadi mahasiswa. Tepatnya, Jokowi tidak tercatat punya peran dalam sejarah terkait berbagai pergolakan politik yang penting di Indonesia. Setelah lulus, sebelum dan sesudah 1998, ia adalah pelaku bisnis kecil dan menengah. Publik baru mengetahui lebih banyak mengenai Jokowi setelah ia menjadi Walikota Solo selama dua periode dan akhirnya terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dijalaninya dua tahun terakhir ini. Hampir dua tahun ke belakang dari sekarang, Muhammad Jusuf Kalla mengecam sikap coba-coba pengajuan Jokowi sebagai calon Presiden Indonesia. Bisa hancur negara ini kalau presidennya maju dengan cara coba-coba, ujarnya kala itu. Biarlah Jokowi mencoba mengukir lembaran sejarah baru, bila ia berhasil meyakinkan rakyat untuk memilihnya sebagai presiden baru. Sekaligus menjawab apakah kesangsian Jusuf Kalla dua tahun lalu tentang dirinya itu benar atau tidak.

Calon Wakil Presiden pendamping Jokowi, Muhammad Jusuf Kalla, selain memiliki sejarah bisnis skala besar, juga memiliki ‘sejarah politik’ yang tak bisa diabaikan. Dalam masa perjuangan mahasiswa tahun 1966 ia adalah Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan sekaligus Ketua HMI Sulawesi Selatan. Sejarah kepartaiannya juga cukup beragam, setidaknya ia pernah menjadi tokoh penting Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golongan Karya, ganti berganti. Juga ada catatan sejarah terkait dirinya yang perlu diklarifikasi, yaitu peristiwa tanggal 10 November 1965 di Makassar (penyerbuan rumah para tokoh PNI bukan Asu), sejumlah peristiwa rasial dan peristiwa 1 Juni 1967 (perusakan gereja Katedral dan sejumlah gereja lainnya di Makassar). Wakil Presiden (2004-2009) Muhammad Jusuf Kalla yang dikenal sebagai juru damai dalam berbagai konflik di daerah, perlu juga mengklarifikasi isu bahwa ia tidak meneruskan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono surat permohonan Sri Paus yang memohon pengampunan bagi terpidana hukum mati Fabianus Tibo yang dituduh melakukan pembunuhan, penganiayaan dan perusakan 3 desa di Poso. Kasus peradilan Tibo kelahiran Ende Nusa Tenggara Timur ini, sempat menjadi bahan kontroversi. Akhirnya Tibo dieksekusi 22 September 2006 masih di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono bersama Jusuf Kalla.

JOKOWI DAN PRABOWO. "Seharusnya, pemimpin Indonesia dalam perjalanan menuju masa depan, memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah makro dan mikro sekaligus. Kalau itu tidak ditemukan dalam satu figur, setidaknya dimiliki kepemimpinan dalam satu tim. Terlepas dari itu, sejauh ini dari mereka berdua pun belum tampil gagasan lengkap dan meyakinkan mengenai pembaharuan politik dan cara menjalankan kekuasaan yang justru merupakan kebutuhan esensial dalam menjawab tantangan masa depan Indonesia." (gambar download)
JOKOWI DAN PRABOWO. “Seharusnya, pemimpin Indonesia dalam perjalanan menuju masa depan, memiliki pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah makro dan mikro sekaligus. Kalau itu tidak ditemukan dalam satu figur, setidaknya dimiliki kepemimpinan dalam satu tim. Terlepas dari itu, sejauh ini dari mereka berdua pun belum tampil gagasan lengkap dan meyakinkan mengenai pembaharuan politik dan cara menjalankan kekuasaan yang justru merupakan kebutuhan esensial dalam menjawab tantangan masa depan Indonesia.” (gambar download)

Hatta Rajasa, calon Wakil Presiden pendamping Prabowo Subianto, juga punya pekerjaan rumah untuk mengklarifikasi selentingan isu mengenai tuduhan keterlibatannya dalam sejumlah kasus korupsi di Kementerian Perhubungan maupun kemudian korupsi bidang migas dalam posisinya selaku Menteri Koordinator Perekonomian. Ia juga perlu mengklarifikasi apakah betul ia mengintervensi pengadilan dalam meringankan hukuman bagi puteranya dalam  kasus kecelakaan lalu lintas di tol Jagorawi yang mengambil korban jiwa.

            Pengungkapan kebenaran, tak ada kata terlambat. TENTU saja semua pertanyaan tersebut sebaiknya dijawab segera di masa kampanye, bila ingin menghilangkan lekatan-lekatan stigma. Bisa juga, dijawab setelah ada di antara mereka yang berhasil menjadi presiden dan wakil presiden baru Indonesia, tergantung kalkulasi politik mereka masing-masing. Toh, pengungkapan kebenaran tidak mengenal batas waktu. Tak pernah ada kata terlambat.

 ‘Gugatan’ Frans Magniz Soeseno tepat dikutip di sini. “Sudah waktunya, kurang dari sebulan sebelum pemilu presiden semua dokumen yang memuat fakta tentang masa lalu dua capres dan dua cawapres kita dibuka untuk umum. Kami berhak mengetahuinya. Adalah hak kami, dan bukan hak pemerintah/TNI, menentukan bagaimana kami menanggapi masa lalu ataupun fakta tentang masa lalu para calon penguasa kita itu. Jangan pemerintah/TNI mempermainkan masyarakat, dibiarkan memilih kucing dalam karung.”

Dengan atau tanpa jawaban yang memperjelas masalah, publik akan memilih dengan pertimbangan dan cara mereka sendiri. Makin banyak kejelasan, semoga publik pemilih juga makin bijak memilih pemimpin negara mereka lima tahun ke depan, sesuai kualitas kesadaran politik mereka masing-masing.

Khusus bagi mereka yang menjadi kelompok ketiga di masyarakat, yaitu yang belum menentukan pilihan di antara dua pasangan calon, terbuka kesempatan untuk menetapkan pilihan lebih cermat dengan referensi lebih banyak atau tetap meneruskan sikap tak memilih karena merasa belum berkenan terhadap calon yang difaitaccomplikan oleh sistem dan realita politik yang ada. (socio-politica.com)          

Persoalan Stigma Prabowo Subianto dan Para Jenderal Lainnya (2)

KENAPA mereka yang disebutkan diculik –pihak militer pelaku menggunakan istilah ‘mengambil’– itu keberadaannya bisa bertebaran di berbagai penjuru tanah air? Diduga, setelah dilepaskan (dibebaskan), pada masa jabatan Mayor Jenderal Muchdi sebagai Danjen Kopassus, mereka ‘trauma’ dan merasa perlu bersembunyi.

Tatkala dimintai keterangan oleh TGPF 12 Oktober 1998, KSAD Letnan Jenderal Subagyo HS, menyebutkan ‘pengambilan’ terhadap Andi Arief cs karena Prabowo dan para perwiranya menganggap mereka membuat rencana-rencana melakukan pemboman dan telah terbukti di Tanahtinggi. Mereka yang dianggap merencanakan dan terlibat sebagai pelaku pemboman antara lain Aan Rusdianto, Nezar Patria, Raharjo Waluyo Jati dan Mugianto selain Andi Arief. KSAD menyebut pula sejumlah nama di luar yang terkait dengan pemboman, yakni anggota-anggota PRD seperti Desmond Mahesa (aktivis kegiatan HAM bersama LBH masa Buyung Nasution), Pius Lustrilanang (pendiri kelompok ‘Siaga’ setelah Peritiwa 27 Juli 1996), dan Feisol Reza, serta Haryanto Taslam (aktivis mahasiswa pro Mega, yang pernah bergabung di PDIP). Mereka ini ‘diambil’ karena diduga merencanakan akan membuat sejumlah kekacauan.

PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. "Satu dan lain hal, tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.  Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma." (foto tempo)
PRABOWO SUBIANTO DIANTARA TAWA PARA JENDERAL: SJAFRIE SJAMSOEDDIN, AGUM GUMELAR, YUNUS YOSFIAH. “Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.
Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma.” (foto tempo)

Di luar yang disebutkan Subagyo HS, di antara yang ‘diambil’ ada juga nama Deddy Hamdun. Kevin O’Rourke dalam bukunya Reformasi (2002), menyebut Deddy sebagai bos preman yang ‘bekerja’ untuk PPP dalam Pemilihan Umum Mei 1977. Ada pula nama Wiji Thukul, penyair dan aktivis buruh, yang menghilang sejak Agustus 1996. Joko Widodo mengaku bahwa ia kenal baik dengan Wiji Thukul, dan itu sebabnya antara lain mengapa ia berkeinginan ada penanganan terhadap yang disebut sebagai ‘penghilangan paksa’ itu. Prabowo Subianto mengakui adanya ‘pengambilan’ terhadap 6 orang sebagaimana yang dilaporkan PDI kepada Komnas HAM.

Menjadi pertanyaan yang perlu ditelusuri, apakah ‘penghilangan paksa’ lainnya –ada yang menyebut jumlah korban 13, sedang LBH menyebut angka 14– juga dilakukan tim dari Kopassus, karena ada informasi di sekitar tahun 1998, bahwa ‘pengambilan’ juga dilakukan berbagai instansi keamanan lainnya. Apa yang disebutkan terakhir ini jarang dipersoalkan, karena perhatian lebih tertuju kepada figur Prabowo Subianto. Masa-masa sebelum 1998, harus diakui, memang kuat ditandai dengan berbagai macam tindakan represif kalangan penguasa cq ABRI. Para jenderal maupun perwira lainnya dari masa itu –begitu pula tokoh sipil dari masa yang sama– kini bertebaran di dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi menuju 9 Juli 2014. Kehadiran mereka di gelanggang politik saat ini memberi aroma menyengat yang khas masa represif dan masa intrik sebelum 1998.

TERKAIT Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH, merekomendasikan beberapa hal berikut. “Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peranan Letnan Jenderal Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.” Dalam pertemuan 14 Mei itu tercatat kehadiran beberapa tokoh terkemuka, seperti Adnan Buyung Nasution SH, Fahmi Idris dan Setiawan Djody.

TGPF juga merekomendasikan “Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan. Dalam kerangka ini Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam kasus penculikan, Letnan Jenderal Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke Pengadilan Militer. Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.”

TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik Indonesia waktu itu. Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan tentang begitu banyaknya keterlibatan berbagai pihak dalam peristiwa kerusuhan, mulai dari preman lokal hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI. Kelompok-kelompok dalam ABRI tersebut mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. “Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggung jawab untuk itu.”

Tentu, mau tak mau, ini terarah kepada pimpinan ABRI kala itu. Di tingkat nasional Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan di tingkat ibukota Jakarta Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Sintong Pandjaitan menuturkan, kala itu seolah-olah ada rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo. Kalau Wiranto mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada persaingan antara Wiranto dan Prabowo, karena ia seorang jenderal berbintang empat, menurut Sintong, itu boleh saja. Dalam kasus kerusuhan Peristiwa Mei 1998, terdapat silang pendapat antara Prabowo dan Wiranto. Prabowo berkata, “Kenapa Wiranto ke Jawa Timur?” Menurut Sintong dalam aturan tentara, sebenarnya Prabowo, Panglima Kostrad, tidak boleh menilai secara terbuka terhadap Wiranto, Panglima ABRI yang menjadi atasannya.

Bisa dicatat dan harus diakui, meroketnya karir militer Prabowo Subianto yang kebetulan adalah menantu Jenderal Soeharto sang penguasa puncak sebelum 1998, memang menimbulkan banyak persoalan, termasuk ‘kecemburuan’ di kalangan perwira. Berbagai pengungkapan masa lampau Prabowo, termasuk pembocoran dokumen kesimpulan badan ad-hoc Dewan Kehormatan Perwira mungkin tak bisa dilepaskan begitu saja dari rivalitas dan sentimen masa lampau itu. Prabowo Subianto adalah satu-satunya perwira tinggi yang diajukan ke DKP di tahun 1998, padahal ada begitu banyaknya perwira tinggi lainnya yang pantas untuk juga diajukan ke DKP kala itu.

TGPF telah meminta keterangan/kesaksian sepuluh pejabat terkait yang bertanggung jawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Mereka adalah Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Gubernur DKI Mayjen TNI Sutyoso, Ka BIA Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, Dankormar Mayjen (Mar) Soeharto, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Fahmi Idris, Kastaf Kodam Jaya Brigjen TNI Sudi Silalahi, Asops Kodam Jaya Kol Inf Tri Tamtomo dan KASAD Jenderal TNI Subagyo HS. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, tak bersedia memenuhi panggilan untuk memberi keterangan. Penolakan Jenderal Wiranto ini jelas menimbulkan tanda tanya, baik tentang diri dan keterlibatannya dalam pertarungan politik saat itu maupun tentang kebenaran sesungguhnya tentang peristiwa sekitar 1998 tersebut.

            Seluruh bahan dan dokumentasi serta Laporan Akhir TGPF telah diserahterimakan kepada pemerintah melalui Menteri Kehakiman. Dengan demikian, sejak penyerahan itu, segala hak, kewajiban dan tanggung jawab TGPF berakhir. Tetapi bisa dicatat bahwa pemerintah tidak pernah menindaklanjuti temuan TGPF itu secara pantas.

            Stigma dan Komisi Kebenaran. Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.

Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma. Jenderal Hendro Priyono misalnya, selalu dikaitkan dengan Peristiwa Talangsari Lampung. Jenderal Sutyoso dan sedikit banyaknya juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, selalu dilekatkan dengan Peristiwa Penyerbuan Kantor DPP PDIP 27 Juli 1996. Begitu pula dalam Peristiwa Semanggi I dan II, nama sejumlah petinggi militer dan polisi maupun tokoh-tokoh sipil selalu dikaitkan, sampai kepada kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.

Tidak tuntasnya pencarian kebenaran peristiwa, akan bersisi dua. Di satu pihak akan menciptakan stigmatisasi berkepanjangan meskipun misalnya yang dilekati stigma itu tidak sepenuhnya bersalah. Dan, pada sisi lain sebaliknya bisa berarti tertutupinya sejumlah kesalahan dalam suatu peristiwa –bila itu memang benar terjadi. Dalam sudut pandang dan catatan sejarah, ‘kebenaran’ pun akan tiba ke khalayak turun temurun dalam dua wajah sehingga membingungkan dan mungkin menyebabkan pembelahan berkepanjangan dalam masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 bisa menjadi contoh. Apakah peristiwa tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan melihat keras dan tegasnya tindakan aparat keamanan terhadap kelompok sipil? Tetapi sebaliknya, bisa dipertanyakan, pilihan apa yang bisa diambil aparat keamanan menghadapi penyerbuan bersenjata ke markas Kodim yang dilakukan sekelompok besar massa bersenjata?

Bila diurut ke belakang, bangsa ini bersama-sama juga tak berhasil menemukan kebenaran sejati terhadap sejumlah peristiwa besar lainnya, seperti Peristiwa 30 September 1965 dengan segala eksesnya. Hingga kini, peristiwa itu masih selalu menjadi bahan polemik dan pertengkaran, apalagi saat dimunculkannya berbagai versi artifisial yang menggelapkan beberapa bagian kebenaran sejarah. Baik dalam konteks mekanisme defensif dalam rangka membela diri maupun dalam lingkup motivasi balas dendam politik. Hal yang sama untuk Pemberontakan GAM yang menginginkan Aceh Merdeka terlepas dari NKRI. Juga untuk berbagai peristiwa SARA –benturan antar suku, rasialisme, perusakan rumah ibadah– di sejumlah daerah, seperti kasus-kasus tergolong baru berupa penyerangan kelompok Ahmadiyah maupun Syiah.

DALAM suatu debat televisi, tim hukum kelompok Prabowo-Hatta Rajasa, melalui Prof Dr Muladi mengetengahkan gagasan pembentukan suatu Komisi Kebenaran untuk menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Sebaliknya, meskipun tidak menyebutkan istilah Komisi Kebenaran, tak kurang dari Jokowi sendiri yang menjanjikan penanganan serius masalah pelanggaran HAM masa lampau di Indonesia. Pada waktunya, publik harus menagih janji-janji ini, sehingga suatu Komisi Kebenaran mewujud –meski Mahkamah Konstitusi pernah mematahkan pembentukan suatu komisi semacam ini. Selain menagih, bila Komisi Kebenaran terbentuk, katakanlah setelah terpilihnya presiden baru, siapa pun yang terpilih, publik harus mengawal agar Komisi Kebenaran yang terdiri dari unsur-unsur terpercaya di masyarakat, akademisi dan kalangan pemerintah, bekerja sungguh-sungguh menemukan kebenaran sebagai jalan menuju keadilan. Peristiwa apa pun, dan siapa pun yang pernah bermasalah –entah ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan sosial maupun di luar itu– harus menjadi sasaran penelusuran kebenaran.  

Hasil penelusuran tidak harus selalu berujung kepada peradilan. Karena, ia bisa juga dilakukan untuk kepentingan rekonsiliasi (seperti di Afrika Selatan), permintaan maaf  terbuka dari pelaku, atau paling tidak menghasilkan suatu dokumen negara tentang kebenaran suatu peristiwa sebagai pegangan bersama (seperti di Jerman setelah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur). Dan, tak kalah pentingnya, menghindarkan dan mengakhiri penggelapan sejarah yang menyesatkan hati nurani bangsa. (socio-politica.com).

Mengejar ‘Mandat Langit’: ‘Beban Sejarah’ Jusuf Kalla

BUKAN hanya Prabowo Subianto yang memiliki semacam ‘beban sejarah’ dari masa lampau, tetapi juga Muhammad Jusuf Kalla. Tokoh yang tampil sebagai calon Wakil Pesiden mendampingi Jokowi dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 mendatang ini, juga punya ‘beban sejarah’ yang sama –yang seharusnya memerlukan pula penjelasan, karena mengandung sejumlah peran kontroversial. Di tahun 1966-1967 nama dan peran Jusuf Kalla mencuat sebagai tokoh perjuangan 1966 di Sulawesi Selatan. Ia memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan, sekaligus sebagai tokoh puncak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di daerah tersebut.

MUHAMMAD JUSUF KALLA. "Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali." (gambar download)
MUHAMMAD JUSUF KALLA. “Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.” (gambar download)

            Gerakan mahasiswa 1966 di Sulawesi Selatan kala itu, bila diperbandingkan, berbeda banyak dengan gerakan mahasiswa pada tahun-tahun yang sama di Jakarta dan Bandung. Salah satu perbedaan utama adalah fakta sangat dominannya HMI dalam gerakan-gerakan mahasiswa di Sulawesi Selatan saat itu. Demikian besar jumlah keanggotaan HMI di Sulawesi Selatan –terutama di Makassar– sehingga tokoh HMI Adi Sasono pernah mengatakan “di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI.” Maksud Adi, seluruh badan kemahasiswaan di perguruan tinggi di sana, tak ada yang tak dikuasai oleh HMI. Dan di lapisan pelajar berperan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Di Jakarta, sumber ketokohan mahasiswa di sekitar tahun 1966 lebih warna-warni. Tokoh-tokoh pergerakan 1966 bersumber dari berbagai organisasi ekstra, seperti PMKRI (Cosmas Batubara, Savrinus Suardi), Somal (Marsillam Simandjuntak, Yosar Anwar), Mahasiswa Pantjasila (David Napitupulu), GMKI (Albert Hasibuan) selain PMII, IMM dan HMI (Mar’ie Muhammad, Abdul Gafur, Akbar Tandjung). Sementara itu di Bandung, tokoh-tokoh organisasi ekstra berpadu dengan tokoh-tokoh intra kampus sebagai tulang punggung KAMI, ditambah aktivis-aktivis independen. Dari Daim A. Rahim, Djoko Sudyatmiko, Sugeng Sarjadi, Mansur Tuakia, Jack Sitompul, Purwoto Handoko, Alex Rumondor, Muslimin Nasution sampai Rachmat Witoelar, Rahman Tolleng dan Bonar Siagian. Dan, yang lebih muda seperti Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman. Di kalangan pelajar selain KAPPI ada Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, KAPI, satu-satunya di Indonesia (Thomas Sitepu, Endriartono Sutarto, Luhut Pandjaitan dan Sudi Silalahi). Mereka dari Bandung ini tercatat sebagai pelopor gerakan menjatuhkan Soekarno.

Perbedaan lain yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh mahasiswa tahun 1966 di Makassar, adalah bahwa dibanding Bandung misalnya, mereka lebih cepat tiba di ‘tujuan’. Secara dini, beberapa tokoh mahasiswa, seperti antara lain Rapiuddin Hamarung, berhasil masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan setempat, di antaranya sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) tingkat provinsi maupun daerah tingkat dua. Tapi, Jusuf Kalla, menetapkan bagi dirinya suatu pilihan lain, berkarir di dunia usaha. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) “Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone.” Tampaknya, pilihan Jusuf Kalla, terbukti jitu. Ia berhasil lebih mem’besar’kan Group Kalla hingga tingkat yang termasuk menakjubkan. Tak heran, bila banyak yang merasa bangga, khususnya di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, terhadap diri Jusuf Kalla.

JUSUF KALLA DAN JOKOWI. "Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya. Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. " (download, jusufkalla.info)
JUSUF KALLA DAN JOKOWI. “Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya. Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. ” (download, jusufkalla.info)

Ia diketahui dan dianalisis sebagai pengusaha yang sangat tidak menyukai pengusaha keturunan Cina (sekarang secara resmi disebut etnis Tionghoa). Disebutkan, dalam beberapa peristiwa rasialis di Sulawesi Selatan, khususnya setelah peristiwa 1965, jejak peran Jusuf Kalla dan HMI selalu ada. Diceritakan pula –mungkin saja sedikit berlebihan– Jusuf Kalla berperan mendorong Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan Baharuddin Lopa untuk ‘secara’ hukum menyapu pengusaha Tony Gozal, seorang keturunan Tionghoa, dari persaingan bisnis di wilayah tersebut.

Ada dua hal yang perlu diceritakan di sini. Di satu pihak, Baharuddin Lopa –yang kemudian hari sempat sejenak menjadi Jaksa Agung RI– adalah orang yang keras kepala dan tak mudah dibujuk, tetapi Jusuf Kalla dengan caranya yang khas agaknya berhasil ‘menyelami’ sehingga bisa ‘memikat’ hati Lopa. Di pihak lain, Tony Gozal, adalah pengusaha yang tangkas melakukan pendekatan kepada para pejabat di daerah tersebut, siapa pun dan di tingkat mana pun. Kecuali, terhadap Lopa, ia gagal melakukan pendekatan. Lopa sering ikut menghadiri jamuan makan yang dilakukan Tony Gozal kepada para petinggi, tetapi justru di situ ia menyimpulkan kedekatan luar biasa sang pengusaha dengan para penguasa daerah. Lopa tak hanya ‘menyapu’ Tony, melainkan juga sejumlah kalangan pejabat.

Tetapi, Jusuf Kalla juga adalah pengusaha yang berhasil menjalin kedekatan dengan kalangan penguasa. Mula-mula dengan penguasa tingkat daerah, dan pada akhirnya juga untuk tingkat pusat. Ada masa di mana proyek-proyek pemerintah untuk daerah Sulawesi Selatan jatuh hanya ke tangan Group Kalla di samping pengusaha tertentu yang punya hubungan kekeluargaan dengan para pejabat. Di luar itu, hanyalah golongan pengusaha kelas pemungut remah-remah.            

PADA 10 November 1965 kota Makassar dilanda sejumlah aksi yang keras. Selain penyerbuan Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) di Jalan Chairil Anwar dan ‘pengganyangan’ PKI juga terjadi pengejaran kepada massa PNI/Marhaenis pendukung Soekarno yang dilanjutkan dengan penyerbuan dan perusakan rumah beberapa tokoh PNI. Aspek persaingan menjadi faktor penting dalam aksi permusuhan terhadap kalangan PNI Sulawesi Selatan ini. Selama masa kekuasaan Soekarno, khususnya periode 1960-1965, PNI begitu dominan di daerah ini, termasuk dalam posisi di pemerintahan.

Di tingkat pusat kala itu PNI direpresentasikan oleh PNI Ali-Surachman yang dianggap dipengaruhi PKI. Secara internal, sebenarnya ada perpecahan di tubuh PNI. Kelompok Hardi SH dan kawan-kawan misalnya menolak keberadaan Surachman yang dianggap kader PKI sebagai Sekjen PNI. Dan, PNI Sulawesi Selatan saat itu, dengan sedikit pengecualian, lebih cenderung berada di kubu Hardi. Tetapi 10 November 1965, mereka kena ‘ganyang’. Sejumlah rumah tokoh PNI diserbu dan dirusak, sehingga beberapa di antaranya terpaksa melarikan diri ke pulau Jawa. Harian Marhaen milik PNI Sulawesi Selatan diambilalih oleh seorang tokoh tentara.            

Massa HMI menjadi salah satu tulang punggung aksi pada 10 November 1965 itu. Tetapi sungguh menarik bahwa kini, hampir 50 tahun kemudian, Muhammad Jusuf Kalla, tokoh HMI Sulawesi Selatan pada masa-masa pergolakan kala itu, menjadi calon Wakil Presiden dari Jokowi. Direstui Megawati Soekarnoputeri untuk maju sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. Dengan pendukung utama PDIP, suatu partai yang mewarisi gen PNI.  

Berikutnya, di tahun 1967, tanggal 1 Juni yang sebenarnya bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, yang selama ini dikaitkan dengan tanggal penyampaian pidato Bung Karno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), massa HMI berkumpul di gedung sekretariat mereka di Jalan Botolempangan Makassar. Kehadiran Jusuf Kalla terlihat di sana. Massa kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dan terlibat dalam aksi perusakan sejumlah gereja di kota itu, termasuk Gereja Katedral di arah utara Jalan Botolempangan yang berseberangan dengan Lapangan Karebosi. Meskipun masih berdekatan waktu, boleh dikatakan tak ada alasan rasional untuk terjadi kerusuhan berdasar sentimen agama yang bisa dikaitkan dengan Peristiwa 30 September 1965, ataupun pencabutan mandat MPR atas diri Soekarno Maret 1967. Perusakan gereja itu terjadi sebagai suatu peristiwa dengan alasan yang berdiri sendiri, yakni intoleransi beragama. Kalau ada sesuatu yang bisa dikaitkan, paling mungkin adalah sisa-sisa kebencian pasca DI/TII.            

BARANGKALI, dalam sudut pandang sekelompok masyarakat, situasional per waktu itu, saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, Jusuf Kalla adalah tokoh yang berkategori hero. Sikap anti ‘Cina’ yang ditunjukkannya kala itu misalnya, mewakili pandangan sejumlah saudagar Bugis dan atau lapisan tertentu dalam masyarakat terkait kesenjangan ekonomi. Tapi jangankan sikap anti ‘Cina’, sikap anti ‘Jawa’ pun masih merupakan fakta di masa itu. Sikap anti Kristen, yang ditandai perusakan gereja, mewakili pandangan sempit kelompok-kelompok masyarakat Sulawesi Selatan waktu itu, yang baru 1-2 tahun lepas dari masa pergolakan DI/TII. Sementara sikap anti PNI yang tak cermat memilih korban, lebih banyak terkait dengan rivalitas antar tokoh politik dan tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan kala itu.            

KINI, untuk kedua kalinya, Muhammad Jusuf Kalla akan menjadi tokoh nasional –bila ia dan Jokowi berhasil memenangi pemungutan suara 9 Juli 2014– dan itu terjadi di usia 72 tahun. Di tahun 1966-1967 Jusuf Kalla baru berusia 24-25 tahun. Masih agresif. Kini, meski masih sering meletup-letup, pastinya harus tampil lebih bijak sebagai tokoh yang pluralis, yang menerima cita-cita bhinneka tunggal ika. Sepanjang apa yang diucapkannya dan untuk sebagian telah diperlihatkannya selama dirinya berkesempatan ikut dalam kekuasaan negara, terkesan Jusuf Kalla banyak merubah diri dan ketokohannya.

Tak heran, setelah menyelesaikan masa jabatan sebagai Wakil Presiden di tahun 2004-2009, ia makin diapresiasi sebagai calon pemimpin alternatif. Buktinya, Jokowi, yang pasti tak terlepas dari persetujuan puteri sulung Soekarno, Megawati, memilihnya sebagai pendamping dalam memperjuangkan ‘mandat langit’ dari rakyat. Namun adalah baik bila ia bisa menjelaskan beberapa segmen yang berpotensi sebagai beban dalam sejarah ketokohannya, menjelang ia menapak menjadi bagian dari kepemimpinan nasional untuk kedua kali.

Hal yang sama tentu berlaku untuk Prabowo Subianto. Banyak tokoh yang mampu merubah sikap, perilaku dan pandangan masa lampaunya menjadi jauh lebih baik di masa kini dan masa depan. Meski, ada juga yang jauh di dalam dirinya pada hakekatnya tak mampu melakukan perubahan sejati. Manusia termasuk spesies yang tak mudah untuk seketika merubah tabiat yang terbentuk dalam jangka lama sepanjang perjalanan hidupnya.

Jangan biarkan rakyat pemilih untuk kembali masuk ke dalam dilema pilihan the bad among the worst atau bahkan pilihan lesser evil dalam menentukan pemimpin negara. (socio-politica.com)

*Sekali lagi, tulisan ini sebagaimana tulisan lainnya dalam serial ‘Mengejar Mandat Langit’, tidak bertujuan mendiskreditkan seorang tokoh. Tujuan utama tulisan-tulisan ini adalah memberi tambahan referensi kepada mereka yang akan menjadi pemilih untuk lebih mengenal dan lebih mengetahui tentang tokoh yang akan mereka pilih 9 Juli 2014.