Tag Archives: Muhammad Jusuf Kalla

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (2)

“Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu”.

BERBAGAI kelemahan yang tampil dalam pengelolaan pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dalam dua setengah tahun masa kekuasaannya, menjadi berkah pada momentum kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan Megawati dikonotasikan dengan berbagai tindakan tidak cerdas dan serba tak memberi harapan. Sejumlah BUMN yang strategis dan beberapa asset lainnya, meminjam bahasa rakyat sehari-hari, habis dijualin. Hasilnya juga tidak besar-besar amat, yakni US$ 533 juta. Dan meminjam lagi gerutu di masyarakat, pemerintahan Megawati yang katanya untuk wong cilik ternyata malah untuk kepentingan wong licik.

Pemberantasan korupsi dengan intensitas tinggi yang ditangani dua Jaksa Agung (tiga bila Marsillam Simanjuntak juga dicatat) di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, anjlog mendadak di masa Megawati Soekarnoputeri. Di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman –terlepas dari perbedaan apresiasi antara masyarakat dengan kalangan politik tertentu– sel-sel di rumah tahanan Kejaksaan Agung selalu penuh dengan tersangka korupsi. Sementara tampilnya Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung sempat makin mempertinggi harapan masyarakat, meskipun sayangnya masa jabatan Lopa berlangsung begitu singkat karena meninggal mendadak di Saudi Arabia, sehingga belum sempat menunjukkan prestasi gebrakan. Situasi kontras terjadi di masa Megawati, sel-sel rumah tahanan Kejagung nyaris selalu kosong. Jaksa Agung MA Rahman malah lebih direpotkan dan tersita waktunya untuk menangkis serangan-serangan terhadap integritas pribadinya.

Megawati juga menciptakan gap komunikasi yang lebar dengan kelompok generasi muda, khususnya kelompok mahasiswa. Mengenai Megawati, kita perlu meminjam sebuah pemaparan dalam buku Menyilang Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) berikut ini. Selama berkuasa, Megawati memperlihatkan kecenderungan sikap anti intelektual yang mengkhawatirkan. Praktis ia tak punya akses komunikasi yang berarti –dan memang ia tidak berusaha menjalinnya– dengan kalangan perguruan tinggi, dengan kalangan cendekiawan maupun mahasiswa. Kelompok mahasiswa menjadi salah satu kekuatan utama penentangnya. Padahal, ia tiba ke posisinya dalam kekuasaan, sama sekali tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang membuat Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila Megawati memiliki trauma dengan mahasiswa –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan kekuasaan Soekarno sang ayahanda– maka semestinya ia memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Tetapi trauma terhadap tentara itu tampaknya tidak dimilikinya. Ia bahkan memberi banyak konsesi terhadap tentara ‘masa kini’ –yang menjauhkan pemerintahannya dari citra pemerintahan sipil yang ideal sebagaimana yang awalnya diharapkan dari PDIP– dan pada waktu bersamaan ia kelihatannya tetap traumatis terhadap mahasiswa ‘masa kini’. Apakah persoalan pokoknya adalah bahwa Megawati tidak menyukai gaya kritik ala mahasiswa? Sementara sebaliknya tentara ‘masa kini’ tak pernah mengeritiknya dan malahan aktif melakukan pendekatan pada dirinya. Mungkin juga, pada dasarnya, seperti halnya dengan Soekarno di masa-masa terakhir kekuasaannya, Megawati memang tidak menyukai kritik.

SBY, jalan tengah. TATKALA Susilo Bambang Yudhoyono tampil dan maju ke Pemilihan Umum Presiden 2004 ia sudah tercitrakan dengan baik di tengah publik yang sedang mengalami krisis kepercayaan kepada kepemimpinan nasional. Abdurrahman Wahid kandas, Megawati menciptakan anti klimaks. Dua tokoh sipil –tiga, bila BJ Habibie ikut dihitung– dianggap gagal memimpin negara di saat ekspektasi masyarakat sedang tinggi. Kendati masih bisa diperdebatkan, sebuah kesimpulan tercipta, bahwa kalangan sipil tetap belum siap memimpin negara. Meskipun trauma terhadap kepemimpinan nasional berlatar belakang militer ala Soeharto masih cukup kuat, sebagian orang toh kembali menoleh kepada tokoh-tokoh berlatarbelakang militer. Jenderal Wiranto coba tampil, tetapi beban dari sejarah masa lampaunya di masa Soehartodan sesudahnya, terlalu berat. Dan menjadi pertanyaan, sebagai orang yang berlatar belakang militer kental, mampukah ia menyesuaikan diri dalam pergaulan politik civil society dalam konteks supremasi sipil yang merupakan tuntutan keadaan? Sementara itu, tokoh-tokoh sipil dari partai semacam Hamzah Haz, bahkan Amien Rais, tak berhasil meraih kepercayaan publik. Amien Rais yang sempat berkibar di awal reformasi, sebenarnya adalah tokoh sipil paling berpeluang. Tetapi, pernyataannya yang terlalu banyak –untuk tidak mengatakannya berlebih-lebihan dan kontroversial– dan sering tergesa-gesa hingga dinilai gegabah, justru menimbulkan kesangsian: Ke arah mana ia mau membawa negeri ini?

Jalan tengah ditemukan pada diri Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal staf yang banyak berkecimpung menangani bidang sospol, sangat minim kiprahnya dalam tugas lapangan yang biasanya sarat pengalaman kekerasan, pelanggaran HAM dan benturan dengan sipil. Malah, sebaliknya, dua kali mengalami penganiayaan politik di dua masa pemimpin sipil, padahal ia termasuk kategori militer santun yang tak terbiasa berbicara dengan bedil. Ia pun berlatar belakang akademis memadai –doktor dari Institut Pertanian Bogor– dengan tutur bahasa Indonesia yang baik dan bertatakrama. Berbicara mengenai demokrasi secara memadai, meski ada juga yang merasa ia agak snob dalam kehidupan dan langgam akademisnya. Belum pernah ketahuan keterlibatannya dengan korupsi, menantu seorang jenderal idealis, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang dicintai rakyat pada masanya. Baru sekarang ini, punya rumah pribadi yang besar, di Puri Cikeas. Keadaan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 itu masih sesuai betul dengan apa yang pernah dikatakan oleh Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo saat menjadi Gubernur Akabri kepada para Taruna di tahun 1973, “Kalau kau mau menumpuk kekayaan, lebih baik kau keluar dan tanggalkan baju hijau”. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono adalah Taruna tingkat akhir yang akan lulus tahun itu dan kebetulan menjadi Komandan Taruna. Kalau ada sedikit pertanyaan dalam rekam jejak Susilo Bambang Yudhoyono, maka itu adalah ‘kehadiran’nya sebagai Kastaf Kodam Jaya di ‘lapangan’ saat terjadi Peristiwa 27 Juli, penyerbuan kantor DPP PDI, setahun sebelum berakhirnya masa kekuasaan Soeharto Mei 1998. Tapi untuk ini, Jenderal Sutiyoso atasannya saat itu, sudah memberikan pembelaaan mati-matian bahwa Susilo Bambang Yudhoyono tak terlibat dan karenanya tak perlu ikut bertanggungjawab.

Seraya menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai The Populist General, majalah internasional yang cukup terkemuka Far Eastern Economic Review, Juli 2004, mencoba mencatat dan mengurai Why Indonesians Think This Man Can Save Their Country. Menurut media tersebut, Sang Jenderal mendominasi opini dalam berbagai jajak pendapat menjelang Pemilihan Umum Presiden yang untuk pertama kali akan dilakukan secara langsung itu. Jenderal yang meminta pensiun lebih awal ini, menikmati dukungan yang luas, yang nanti terlihat melebihi dukungan yang diperoleh oleh partai pendukung utamanya, Partai Demokrat yang baru berkiprah di tahun 2004 itu. Para pemilih sangat concern terhadap pengendalian inflasi, perbaikan perpajakan, penyediaan lapangan kerja, pemberantasan kriminal dan korupsi. Dan para pemilih sangat berharap sang pemenang akan mampu menjawab itu semua segera dan untuk jangka panjang memperbaiki perekonomian secara keseluruhan.

Susilo Bambang Yudhoyono ada di urutan teratas dalam perspektif pengharapan itu. Ketika salah satu jajak pendapat menunjukkan bahwa SBY menjadi pilihan 46-49 persen responden –sesuatu yang beberapa bulan sebelumnya mungkin hanya semacam mimpi– orang-orang sekeliling SBY meningkat kadar pengharapannya untuk berjuang meraih angka kemenangan di atas 50 persen pada saat pemilihan umum berlangsung. “Kami ingin membuat rakyat berpikir bahwa SBY sudah menjadi pemenang” kata TB Silalahi yang pernah menjadi menteri di masa Soeharto dan di 2004 mendampingi SBY sebagai salah satu pimpinan kampanye. ‘Politik’ pencitraan pun makin menggebu. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sementara itu, mengatakan bahwa prioritas kebijakan ekonominya adalah penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan membangun kembali infrastruktur. Rachmat Witoelar, bekas Sekjen Golkar yang menjadi salah seorang pemimpin informal kampanye SBY, mengatakan “Kita akan berusaha menjadi lebih populist”. Dan, akan berupaya “mencitrakan secara kuat SBY sebagai presiden milik rakyat, bukan presiden milik partai”. Adalah Rachmat Witoelar ini yang berperan utama untuk menyandingkan SBY dengan Muhammad Jusuf Kalla, seorang pengusaha terkemuka dari Sulawesi Selatan, sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden di tahun 2004 itu. Setelah berhasil menjadi Wakil Presiden, kelak Jusuf Kalla bisa merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009 mengalahkan Akbar Tandjung. Tak lain karena Golkar memang masih didominasi oleh kaum ‘pragmatis’, yang gamang bila berada di luar lingkaran kekuasaan.

Adalah menarik bahwa bila diperiksa kembali, banyak calon yang maju dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2004, pada mulanya tak terlalu intens menyinggung masalah pemberantasan korupsi, bahkan ada yang menyentuhnya dalam kadar yang amat minim. Namun karena ada umpan arus bawah yang kuat dari publik, isu pemberantasan korupsi itu naik kadarnya dalam kampanye-kampanye. Tetapi sejauh yang bisa dicatat tak pernah ada suatu konsep yang kuat, jelas dan rinci, mengenai apa dan bagaimana pemberantasan korupsi itu akan dilakukan. Ucapan-ucapan yang ada hampir sepenuhnya ada dalam kemasan retorika belaka, sampai melimpah ruah. Barangkali karena itulah kemudian, setelah pemilihan umum usai, dalam kenyataan pemberantasan korupsi pun tercecer ke sana ke mari. Namun dalam klaim, semua pihak, baik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan, seakan berlomba. Faktanya, KPK misalnya terseok-seok oleh berbagai gempuran, Polri dan Kejaksaan Agung maupun Badan-badan Peradilan seakan tak tersentuh untuk bisa dibenahi. Partai yang berkuasa dalam pemerintahan maupun yang ‘berkuasa’ di parlemen, sama-sama berhutang moral kepada rakyat dalam pemberantasan korupsi serta penegakan hukum dan keadilan.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah HMI: 63 Tahun di Luar Jalur Raison d’Etre Kelahirannya (3)

“Apakah HMI memang mesti senantiasa bernasib dilematis, sebagai organisasi mahasiswa yang harus selalu berseberangan dengan pemerintah pada masa-masa tertentu, termasuk pada masa pemerintahan SBY saat ini? Tetapi terlepas dari itu, perjalanan waktu juga memang membuktikan bahwa dalam saat tertentu alumni-alumni HMI menunjukkan banyak keberhasilan dalam memasuki kekuasaan negara selain dari para ‘alumni’ ABRI (militer)”.

DALAM pada itu, di Jakarta dan Bandung –yang merupakan dua pusat pergerakan tahun 1965-1966– arus masuk ex aktivis perjuangan 1966 yang terjadi lebih kepada keikutsertaan dalam lembaga-lembaga legislatif atau kepengurusan partai tingkat nasional. Ini terutama berlaku bagi mereka yang berasal dari organisasi ekstra mahasiswa yang berstatus organisasi sayap. Terdapat pula kelompok-kelompok yang masuk ke dalam pusat pengaturan kekuasaan bersama Ali Moertopo seperti misalnya Lim Bian Kie dan Lim Bian Koen, lalu Cosmas Batubara, Abdul Gafur dan kawan-kawan.

Sementara itu, suatu kelompok Bandung yang dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam, memilih melakukan struggle from within dengan masuk ke lembaga-lembaga legislatif tingkat pusat maupun daerah. Namun seperti yang diakui Rahman Tolleng di belakang hari, perjuangan dari dalam itu akhirnya praktis patah di kaki Soeharto.

Meski memiliki pola yang mirip dalam gerekan-gerakan kritis terhadap kekuasaan, sebenarnya ada ganjalan yang terjadi antara mahasiswa Bandung dengan mahasiswa Jakarta kala itu. Mahasiswa Bandung mencurigai sebagian dari gerakan-gerakan mahasiswa di Jakarta itu diperalat oleh partai-partai –waktu itu ada 9 partai yang eksis dan siap mengikuti Pemilihan Umum 1971 bersama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Memang, isu-isu dan penyampaian yang dilontarkan mahasiswa Jakarta saat itu terasa amat paralel dengan suara-suara sejumlah partai. Apalagi fakta menunjukkan tercampurbaurnya sejumlah tokoh mahasiswa organisasi ekstra universiter yang dikenali sebagai ‘mereka yang dekat dengan kalangan partai’ dalam gerakan-gerakan mahasiswa Jakarta. Ditambah pula adanya satu dua tokoh yang diragukan integritasnya karena kedekatan dengan beberapa kalangan penguasa –dengan tentara maupun Opsus Ali Moertopo– dan atau punya tujuan-tujuan tertentu memanfaatkan gerakan di luar tujuan-tujuan idealistis.

Bagi mahasiswa Bandung, partai-partai adalah kekuatan-kekuatan kepentingan sempit dan ideologistis yang merupakan penghambat modernisasi kehidupan politik dan bernegara. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang berbasis kampus di tahun 1970 itu dengan tegas menyatakan diri “tetap berpegang kepada strategi modernisasi” dalam menjalankan aksi-aksi mereka. Jadi sepanjang ada bau partai, tak ada kompromi bagi mahasiswa Bandung, kecuali partai-partai mau memperbaharui diri atau diperbaharui. Sikap tidak mau berkompromi dengan segala yang berbau partai politik ini pula, yang membuat banyak organisasi mahasiswa ekstra universiter yang secara langsung atau tidak langsung punya kaitan dengan partai, tersisih di kampus-kampus Bandung.

Dalam pemilihan senat dan dewan mahasiswa di kampus-kampus utama perguruan tinggi yang ada di Bandung, secara umum tokoh-tokoh mahasiswa yang tercium punya afiliasi ekstra langsung tersisih. Sebagai pengecualian yang masih agak menonjol adalah HMI, tapi organisasi yang dianggap punya kaitan dengan neo Masjumi dan ikut menopang kelahiran Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ini dalam banyak hal kehilangan pengaruh di kampus terkemuka di Bandung, terkecuali di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) dan sedikit kampus kecil-kecil. Komisariat-komisariat mereka di berbagai kampus antara ada dan tiada dalam kegiatan. Tapi mereka yang secara perorangan menunjukkan kesamaan persepsi dalam menanggapi berbagai permasalahan sosial politik aktual tetap diterima dalam kegiatan sehari-hari. Rekan-rekannya di kampus memahami bahwa meskipun memiliki kesamaan persepsi, anggota-anggota HMI ini terkendala untuk ikut serta dalam kegiatan kritis yang sama dengan mahasiswa lain. Karena segala sesuatunya, sepanjang menyangkut soal pergerakan, keputusannya ada di tangan PB HMI di Jakarta.

Apa yang terjadi pada kelompok independen di Bandung yang serba ‘longgar’ dan merdeka dalam kegiatannya ini mungkin perlu diperbandingkan dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Mahasiswa dari kelompok HMI dengan sadar ‘melakukan’ pembagian tugas untuk pencapaian-pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan ‘fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan kawan-kawan, serta Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi ‘melawan’ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke dalam kekuasaan pasca Soeharto seperti Marsillam Simanjuntak, atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.

Melebihi kelompok-kelompok lainnya, Himpunan Mahasiswa Islam, yang pada tahun 1966 hingga 1971 dipimpin oleh Nurcholish Madjid, menjadi organisasi mahasiswa yang paling menonjol dalam menampilkan ‘ambisi’ mendominasi kehidupan kemahasiswaan di Indonesia setelah tumbangnya Orde Lama.

Perjuangan hidup mati HMI –yang sering diolok-olok sebagai ‘mahasiswa sarungan’ yang ‘menitis’ dari ejekan secara tak langsung oleh pimpinan PKI Dipa Nusantara Aidit terhadap umat Islam yang kemudian di tahun 1970 didefinitifkan oleh tokoh PNI Hadisubeno sebagai ‘kaum sarungan’– menghadapi CGMI (dan GMNI) serta ‘kamerad-kamerad’nya agaknya telah membentuk kulit kerang yang keras dan memicu motivasi untuk mengambilalih supremasi baru pasca Soekarno dalam dunia kemahasiswaan.

Seperti layaknya CGMI musuh bebuyutannya yang hampir berhasil membubarkan HMI di masa lampau, HMI juga termasuk organisasi yang giat menata diri dengan berbagai jenjang program pengkaderan dan latihan kepemimpinan yang ketat. Berbeda dengan organisasi mahasiswa lain yang lebih rileks setelah tumbangnya Soekarno, HMI sangat bersemangat dalam mengkonsolidasi diri dan secara sistimatis merebut jengkal demi jengkal kapling dalam organisasi intra kampus. HMI juga punya korps wanita yang bernama Cohati (Corps HMI-wati atau Korps Wanita HMI). Sementara itu, barisan alumninya –yang bergabung dalam Kahmi (Keluarga Alumni HMI)– sangat aktif menunjukkan upaya masuk merembes ke dalam kekuasaan negara, kekuasaan politik (melalui partai-partai maupun belakangan melalui Golkar) dan ke dalam kekuasaan ekonomi dengan sangat bergiat dan bersemangat mendekati sumber-sumber dana dan rezeki yang tak jarang dalam pola ‘at all cost’. Salah satu terobosan mereka yang ‘legendaris’ ialah keberhasilan masuk ke dalam dan menempati posisi-posisi kunci di Badan Urusan Logistik dan derivatenya.

Berbeda dengan organisasi mahasiswa lainnya yang juga mengusung nama Islam, yang nyata-nyata beraffiliasi dengan partai-partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi, HMI senantiasa mencoba menegakkan citra Islam moderat, independen, bukan onderbouw siapa-siapa. Akan tetapi meskipun HMI melalui Nurcholis Madjid pernah melontarkan “Islam Yes, Partai Islam No”, HMI  terutama di tingkat pusat justru menyambut antusias kelahiran Parmusi. Pada saat kemunculan Parmusi yang dikonotasikan sebagai partai Islam ‘baru’ penjelmaaan neo Masjumi, HMI memang menunjukkan suatu anomali dengan menampilkan warna dan perpihakan. Selain berperan dalam kelahiran Partai Muslimin Indonesia itu, menjelang tahun 1971, HMI juga sangat agressif dan menunjukkan peningkatan temperamen tatkala terlibat gerakan pembelaan aktif terhadap kelompok Djarnawi Hadikusumo saat ada goyangan oleh Djaelani Naro dan kawan-kawan dalam suatu kemelut internal Parmusi (Lihat Bagian 2).

Di Bandung, sebenarnya HMI terpilah atas setidaknya dua arus. Arus pertama adalah kelompok Jalan Sabang –nama jalan tempat beradanya Sekretariat HMI Cabang Bandung– yang dianggap lebih die hard ke HMI-annya dan yang kedua, mereka yang lebih bersikap independen dan moderat. Di ITB, mereka yang beraroma ekstra, khususnya yang punya kaitan dengan golongan politik Islam, kelompok die hard atau bukan, biasanya berlindung dan bergiat di Masjid Salman. Penggunaan kata Islam disini tidak ada kaitannya dengan pengertian Islam sebagai agama, melainkan penamaan karena keterkaitan politik tertentu dengan partai-partai politik yang membawa-bawa nama Islam.

Mereka yang moderat, yang dominan dalam berkegiatan di Masjid Salman, bisa diterima di mana-mana dan menjadi komunikator, seperti misalnya mahasiswa Farmasi ITB Syamsir Alam yang biasa dipanggil Acin. Aktivis Salman lainnya, Bahder Munir yang dikenal sebagai salah satu konseptor kelompok, meskipun moderat, agak lebih di’waspadai’. Tapi, bukan hanya mahasiswa-mahasiswa ‘aliran politik Islam’ saja yang mengalami kesulitan berkiprah di kampus bila tak mau menanggalkan baju ‘ideologi’, karena hal yang sama dialami pula oleh mereka yang lain, seperti mahasiswa-mahasiswa anggota PMKRI dan GMKI, apalagi mereka yang anggota GMNI meskipun predikatnya sudah ‘Osa-Usep’.

Lalu apakah keberhasilan mencapai kedekatan dengan kekuasaan, khususnya di masa Orde Baru, adalah suatu kemenangan bagi HMI ataukah justru menjadi kehancurannya ? Karena dengan kedekatan itu, pada sisi lain pada kurun waktu terkait, HMI dijauhi oleh aktivis-aktivis mahasiswa Islam. Belakangan, di masa sesudah Soeharto, kalau para aktivis itu menilai Golkar misalnya (saat dipimpin Akbar Tandjung) maka penilaian itu akan langsung dikaitkan dengan HMI. Stigma baru menempel lagi pada HMI sebagai kader Golkar yang dijauhi, termasuk oleh pemerintahan-pemerintahan baru di bawah Mega maupun SBY. Apakah HMI memang mesti senantiasa bernasib dilematis, sebagai organisasi mahasiswa yang harus selalu berseberangan dengan pemerintah pada masa-masa tertentu, termasuk pada masa pemerintahan SBY saat ini?

TETAPI terlepas dari itu, perjalanan waktu juga memang membuktikan bahwa dalam saat tertentu alumni-alumni HMI menunjukkan banyak keberhasilan dalam memasuki kekuasaan negara selain dari para ‘alumni’ ABRI (militer). Tetapi menurut Adi Sasono, itu bukan sesuatu yang luar biasa, tidak perlu dipersoalkan, karena sebagai suatu organisasi besar HMI memiliki banyak anggota, sehingga banyak juga alumninya bisa mencapai posisi-posisi penting. Beberapa nama dapat disampaikan sebagai contoh terkemuka. Di masa kekuasaan Soeharto ditemukan nama-nama Ahmad Tirtosudiro (seorang jenderal, tapi alumni HMI) dan Ir Beddu Amang di Bulog, dan di kabinet antara lain, Mar’ie Muhammad, Fuad Bawazier, Abdul Gafur, Saadilah Mursjid sampai Akbar Tandjung. Lalu dalam kabinet-kabinet pasca Soeharto, antara lain Adi Sasono, Fahmi Idris, Mahadi Sinambela. Belum lagi yang berhasil menjadi pemeran penting di tubuh berbagai partai, termasuk partai yang berkuasa, dengan Anas Urbaningrum di Partai Demokrat sebagai contoh terbaru. Sebelumnya, tokoh-tokoh ex HMI misalnya mendominasi DPP Golkar di bawah Akbar Tandjung. Dan contoh terkemuka, tentu saja Muhammad Jusuf Kalla, yang pernah menduduki beberapa kursi menteri sebelum akhirnya menjadi Wakil Presiden RI tahun 2004-2009.

Kisah HMI: 63 Tahun di Luar Jalur Raison d’Etre Kelahirannya (2)

“Pada pemilihan umum tahun 1971, melalui pijakan di kelompok Ali Moertopo, Akbar Tandjung berhasil melakukan ‘terobosan’ dan masuk ke dalam Golkar. Nurcholis Madjid sendiri sementara itu sebenarnya sempat dituduh pengkhianat oleh sebagian kalangan politik Islam karena sikapnya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No”. Namun, pada sisi lain sikap Nurcholis itu justru mendapat sambutan yang luas di kalangan Islam pembaharu dan kalangan generasi muda”.

Kalau onderbouw Masjumi, mengapa jadi kader Golkar ?

SECARA formal HMI tidak pernah menjadi onderbouw Masjumi. Karena, HMI didirikan atas prakarsa spontan sekelompok mahasiswa di Yogyakarta. Tetapi secara historis dan ideologis, HMI dapat dikatakan sebagai onderbouw Masjumi. Pertama, karena mahasiswa-mahasiswa pendiri  dan anggota HMI banyak dari keluarga Masjumi sebagai satu-satunya partai Islam waktu itu. Kedua, ide ikut mengisi kemerdekaan dengan pembinaan intelektual yang berwawasan agama (Islam) dari HMI itu terinspirasi dari konsep Masjumi. Walaupun, bila digali lebih jauh lagi, ide tersebut adalah gagasan K.H. Ahmad Dahlan waktu mendirikan Muhammadiyah tahun 1912, yaitu mencerdaskan bangsa melalui pendidikan.

Muhammadiyah adalah salah satu pendukung Masjumi yang didirikan oleh Kongres Umat Islam di Yogyakarta 7 Nopember 1945, sebagai satu-satunya partai Islam dengan tujuan memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia. Pendukung Masjumi lainnya adalah NU (Nahdlatul Ulama), PSII (Persatuan Syarekat Islam Indonesia), Persis (Persatuan Islam), Perti (Persatuan Tarbiyah Islam Indonesia) dan PTII (Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia). Akan tetapi, karena perbedaan visi (modern vs tradisional) 30 Agustus 1952 Liga Muslimin Indonesia (NU, PSII, Perti dan PTII) keluar dari Masjumi. Dengan perpecahan tersebut terlihat makin jelas bahwa sosok Masjumi adalah wadah politik kelompok Islam moderat berbasis pendidikan umum non-madrasah (Muhammadiyah dan Persis).

Itu pula yang terjadi dengan HMI, yang semula sebagai wadah mahasiswa Islam Indonesia dari semua golongan, dalam situasi mencemaskan didesak PKI untuk dibubarkan Soekarno, ditinggalkan oleh beberapa pendukung utamanya. Pada 17 April 1960 di Surabaya, NU mendirikan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) sebagai wadah bagi mahasiswa Islam tradisional.

Dalam situasi terjepit dan ditinggalkan pendukungnya itu, pada Kongres VII di Jakarta tahun 1962 HMI menegaskan untuk memfokuskan diri pada program kaderisasi dengan lebih intensif. Jalan paling baik bagi HMI adalah membelokkan perhatiannya dari politik praktis kepada kegiatan sosio edukasi. Berbagai lembaga –kesehatan, seni dan pertanian– dibentuk untuk membantu kepentingan belajar dan kreasi mahasiswa anggotanya.

Namun, tekanan yang ditimpakan kelompok komunis dan sayap kiri lainnya, semakin keras. Saat itu, satu lagi pendukung utama HMI hilang. Tanggal 14 Maret 1964 di Yogyakarta berdiri IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Kelompok kiri makin berani. Atas prakarsa sendiri, Dr Ernsk Utrecht dari sayap kiri PNI yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Surabaya mengeluarkan pengumuman yang melarang mahasiswa anggota HMI ikut serta dalam kegiatan apapun di Fakultas Hukum Brawijaya.

Untunglah ada dukungan kuat dari Jenderal Ahmad Yani, waktu itu Panglima AD, yang menyatakan keyakinannya mengenai kesetiaan HMI dalam mengabdi demi kepentingan negara. Sejak pernyataan itu, HMI tidak lagi dikutak-katik PKI.  Tapi kemudian terjadi Peristiwa G30S pada tahun 1965, dengan Jenderal Yani sebagai salah satu korban. Ketika Presiden Soekarno tidak mau membubarkan PKI yang dianggap sebagai pelaku makar, HMI bersama organisasi mahasiswa non-komunis lainnya membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) 25 Oktober 1965 di Jakarta. Tanggal 10 Pebruari 1966 KAMI melakukan demonstrasi besar-besaran antara lain untuk menuntut Presiden Soekarno segera membubarkan PKI seperti yang lantang disuarakan sebelumnya. Puncak peristiwa, 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret kepada Mayjen Soeharto, yang kemudian dijadikan tanda dari awal Orde Baru.

Pada awal Orde Baru, setelah sejumlah pemimpin Masjumi dibebaskan kembali dari penjara Soekarno, muncul harapan akan dihidupkannya kembali partai Masjumi. Upaya rehabilitasi Masjumi itu diupayakan oleh Badan Koordinasi Amal. Tetapi harapan itu kandas setelah Soeharto menolak dengan tegas (16 Desember 1966). Usulan Bung Hatta untuk mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) pun ditolak dengan halus. Mantan pengurus Masjumi yang tidak mempunyai wadah politik, kemudian memutuskan untuk mendirikan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) sebagai organisasi dakwah, karena bidang politik tak mungkin lagi dimasuki (16 Pebruari 1967).

Justru Soeharto merestui didirikannya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) –semula namanya PMI– yang didukung oleh HMI (17 April 1967). Tetapi Soeharto berusaha menghapus peluang tokoh-tokoh Masjumi untuk berperan dalam politik praktis. Tatkala Muhammad Roem, mantan pemimpin Masjumi terpilih sebagai Ketua Umum Parmusi yang pertama, muncullah intervensi dari Soeharto melalui Ali Moertopo, Aspri yang paling dipercayainya saat itu. Akibatnya Roem harus melepaskan jabatannya kepada Djarnawi Hadikusumo, tokoh muda non Masjumi dan mantan ketua Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tampak betapa Soeharto menjalankan strategi mengontrol partai-partai selain Golkar, dan hanya merestui mereka yang patuh padanya.

Tahun 1970, masuklah Djaelani Naro, teman Ali Moertopo, yang memicu perpecahan di tubuh Parmusi, sehingga memungkinkan Soeharto memasang figur kompromi Mintaredja SH mantan Menteri yang pernah mendekam di penjara Kalisosok Surabaya dengan tuduhan korupsi. Perpecahan di tubuh Parmusi ini, mengundang keterlibatan sejumlah tokoh HMI, yang sudah sejak mula sudah turut serta dalam proses kelahiran dan kemudian ‘perjuangan’ membela Parmusi yang dianggap sebagai penjelmaan Masjumi. Ketika terjadi konflik internal tersebut –antara kubu Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun dengan kubu tandingan Djaelani Naro dan kawan-kawa– dalam suasana hangat menjelang Pemilihan Umum tahun 1971, Ketua HMI Jaya Akbar Tandjung mengeluarkan ultimatum agar kubu Naro “dalam dua kali duapuluh empat jam menghentikan segala kegiatan”. Bila tidak, HMI akan mengambil peran untuk mengucilkan mereka dari masyarakat Islam. Naro dinyatakan HMI sebagai pengkhianat Islam. Sebelum pernyataan Akbar itu, PB HMI juga telah mengeluarkan pernyataan –yang ditandatangani Ketua Umum Nurcholis Madjid dan Sekjen Ridwan Saidi– yang tidak membenarkan tindak tanduk Naro dan kawan-kawan, yang dianggap dalam pengendalian kelompok politik Ali Moertopo.

Di kemudian hari, pada pemilihan umum tahun 1971, melalui pijakan di kelompok Ali Moertopo, Akbar Tandjung berhasil melakukan ‘terobosan’ dan masuk ke dalam Golkar. Nurcholis Madjid sendiri sementara itu sebenarnya sempat dituduh pengkhianat oleh sebagian kalangan politik Islam karena sikapnya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No”. Namun, pada sisi lain sikap Nurcholis itu justru mendapat sambutan yang luas di kalangan Islam pembaharu dan kalangan generasi muda.

Setelah Golkar menang mutlak tahun 1971, sementara Parmusi  hanya meraih 5 persen suara dalam Pemilu, Soeharto makin berkuasa. Banyak anggota DPR yang ditunjuk langsung selain anggota-anggota DPR dari Golkar hasil pemilihan umum. Dengan posisi barunya yang lebih kuat, Soeharto dapat menetapkan peleburan partai-partai Islam sesuai kehendaknya menjadi satu wadah (UU No.3 tahun 1973) yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Partai-partai lainnya dilebur menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Melihat posisi PPP yang hanya sebagai pelengkap penyerta bagi Golkar, banyak tokoh HMI mulai berpikir untuk masuk ke Golkar dan mulai mendekati pihak yang berkuasa. Sikap mendua antara bertahan dengan prinsip dengan risiko disingkirkan atau kompromi dengan mengebelakangkan prinsip, agar dapat diterima di Golkar, tampak jelas di tubuh HMI pada pertengahan tahun 1970an. Dalam banyak kegiatan, sepertinya HMI mempunyai dua muka, yang dipertegas lagi saat itu dengan tidak adanya figur pemimpin HMI yang mampu mempersatukan. HMI telah pecah dari dalam karena sikap mendua tersebut, sehingga tidak mungkin lagi terjadi kaderisasi yang berkualitas. Banyak tokoh HMI ketika itu bagaikan muncul tiba-tiba begitu saja tanpa memiliki pemikiran yang jelas. HMI mulai tidak lagi dilirik oleh mahasiswa baru, karena raison d’etrenya saja sudah berubah menjadi bagaimana bisa selamat. Bagaimana calon anggota baru bisa tertarik ?

Stigma yang menghalangi peluang ikut berperan

Untuk suatu jangka waktu yang lama, bahkan untuk beberapa segi sampai kini, pemerintah dan pihak Barat, umumnya melihat Islam sebagai ekstrim kanan yang perlu diawasi dan kerap menjadi kambing hitam untuk setiap kekerasan massa yang terjadi. Wacana NII (Negara Islam Indonesia) versus NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) terasa sangat kental sebagai dikotomi dari Syariat Islam versus Pancasila. Entah dari mana awal munculnya wacana tersebut. Mungkin karena ulah sebagian ‘kecil’ tokoh Islam di masa lampau, yang masih selalu muncul dari waktu ke waktu, meskipun hal itu tidaklah dapat disebut sebagai mewakili Islam yang sebenarnya. Ataukah untuk sebagian sebagai akibat rekayasa pihak yang tidak menyukai kelompok Islam, karena terbiasa dengan pikiran Barat yang memisahkan secara tegas dan hitam putih antara “ikut kami atau menjadi musuh kami”. Asas monoloyalitas terhadap Pancasila yang diterapkan Soeharto dulu membuat HMI yang menyandang nama Islam (dengan asas Islam) ikut dijauhkan dari keriuhan panggung politik. Kecurigaan tersebut diperbesar dengan adanya anggapan bahwa HMI adalah onderbouw Masjumi, yang terlarang pada masa Orde Lama dan berlanjut pada masa Orde Baru.

Yang pasti, untuk menjamin kekuasaannya, Soeharto menerapkan pola represif terhadap tokoh-tokoh Islam yang dianggap beraliran keras dan organisasi-organisasi yang dianggap menentang kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru.

Sebenarnya HMI ikut membidani Orde Baru bersama organisasi mahasiswa lainnya dengan membentuk KAMI pada tanggal 25 Oktober 1966 sebagai alat penggempur PKI dan menjadi kekuatan yang mendemonstrasi Presiden Soekarno dengan gencar. Walau begitu, setelah semua itu usai, bagaikan bunyi pepatah ‘habis manis sepah dibuang’, HMI tetap terpinggirkan dalam peran politik awal Orde Baru. Padahal, HMI merasa kesiapannya turut berpartisipasi dalam perubahan situasi politik dan pengisian program pembangunan ekonomi Indonesia, jauh melebihi kemampuan organisasi mahasiswa lainnya. Hal itu dimungkinkan karena HMI merasa yakin mempunyai potensi, selain dari segi jumlah juga karena sistem kaderisasi dan pembinaan alumninya telah berlangsung lama, terutama saat mengalami tekanan PKI di era 1960an yang ingin membubarkannya. Ditambah lagi anggotanya berlatar belakang beragam dan tersebar di kampus-kampus utama, memungkinkan HMI membentuk jaringan kuat. Di hampir semua badan ekstra kurikuler kampus terdapat kader HMI, misalnya pada jajaran resimen mahasiswa, olah raga, kesenian, kelompok belajar bersama, pengajian bahkan perjodohan pun menjadi ajang kegiatan mereka. Itulah sebabnya di semua jajaran sosial (ABRI, pegawai sipil dan swasta) terdapat alumni HMI yang tetap menjalin komunikasi yang baik satu dengan lainnya.

Karena itu, walau secara formal HMI tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam jaringan kekuasaan, HMI dan alumninya banyak mengisi program-program sosial yang diperlukan pemerintah. Termasuk dalam program keluarga berencana dan sebagai penyuluh pertanian karena kader HMI sudah terlatih dalam program Kuliah Kerja Nyata di daerah-daerah pertanian. Bahkan untuk sosialisasi RUU Perkawinan yang mendapat protes keras dari kelompok Islam tradisional –yang memicu Peristiwa Akhir Syaban di DPR tahun 1973– HMI pun dilibatkan pemerintah sebagai kelompok moderat yang dapat menjembatani  perbedaan sikap dalam memandang RUU tersebut.

Itulah sebabnya, HMI dapat semakin dekat dengan pemerintah, karena ada sisi yang sama dalam cara meilihat kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang terkesan modern. Pada tahun-tahun akhir pemerintahan Soeharto terkesan betapa HMI berhasil menghijaukan Soeharto dan Golkar, beberapa alumninya masuk dalam kabinet pada posisi cukup penting. Apakah itu suatu opportunisme ? Menurut Victor Tanja penulis disertasi ‘HMI: Sejarah dan kedudukannya di tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu’ pada Hartford Seminary Foundation,  Amerika (1979), kepada Tempo interaktif, Maret 1997, memberi penilaian lunak bahwa kedekatan itu bukan karena HMI oportunis, tetapi karena kesamaan ide dan cita-cita dengan pemerintah Orde Baru.

Fenomena yang tak kalah menarik dari apa yang dilakukan Nurcholis dan Akbar pada penggalan waktu itu, adalah arus masuknya tokoh-tokoh pergerakan 1966 ke dalam pemerintahan, terutama di daerah-daerah, sesaat setelah ‘usai’nya ‘perjuangan 1966’. Praktis, menurut Ekky Sjahruddin –tokoh HMI yang pernah menjadi anggota Fraksi Partai Golkar dan Duta Besar RI di Kanada– yang masuk itu hampir seluruhnya adalah tokoh-tokoh HMI yang terkait dengan fakta bahwa di berbagai daerah memang HMI lah yang dominan dalam kesatuan aksi. Mereka masuk menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) yang punya peranan penentu di bawah Gubernur Kepala Daerah. Tokoh HMI Sulawesi Selatan Rapiuddin Hamarung misalnya, adalah satu diantara yang masuk menjadi BPH dan untuk selanjutnya menjalani karir yang cukup panjang dalam pemerintahan daerah. Sementara tokoh HMI Sulawesi Selatan lainnya, Muhammad Jusuf Kalla, mulanya memilih berkiprah sebagai seorang pengusaha. Namun di kemudian hari, Jusuf Kalla pun akhirnya masuk ke dalam pemerintahan, mulai sebagai menteri untuk akhirnya menjadi Wakil Presiden RI periode 2004-2009. Arus serupa usai perjuangan 1966 terjadi Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan berbagai propinsi lainnya.

Berlanjut ke Bagian 3

Jenderal Polisi Susno Duadji ‘From Zero to Hero’

“…..Kalau sesuatu direkayasa, maka memang akan selalu sulit bagi pihak perekayasa untuk menemukan argumentasi yang tepat karena di bawah sadar bagaimanapun hati nurani tetap bekerja dengan arah berlawanan”.

SAAT kasus cicak-buaya merebak di bulan-bulan terakhir tahun 2009, dalam opini publik sosok Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji, tepat berada di tengah jalur kebathilan. Ia dianggap tokoh antagonis pelaku utama, kalau bukan otak, proses kriminalisasi dan eliminasi KPK. Analogi ‘cicak-buaya’ untuk menamai perseteruan Polri-KPK, tersumber dari ucapannya. Iapun dianggap bertanggungjawab penuh –lebih dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sendiri– untuk tindakan penangkapan dan penahanan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Sebagaimana ia sebagai Kabareskrim Polri juga dipersepsi sebagai pemeran utama di kepolisian untuk membawa Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka pembunuhan berencana atas diri Drs Nasrudin Zulkarnaen. Pada saat yang sama ia dituding menjadi pemain utama yang memanfaatkan penanganan aspek kriminal kasus Bank Century dan mengail sepuluh miliar rupiah di pusaran air keruh persoalan.

Publik –yang aspirasinya dicerminkan dan ditampilkan dengan baik melalui dukungan sejuta lebih facebooker dalam kasus cicak-buaya– pada hakekatnya telah menempatkan Jenderal Susno Duadji bersama institusi Kepolisian Republik Indonesia sebagai semacam ‘public enemy’ dalam konteks lakon kebathilan kisah kegelapan penegakan hukum Indonesia. Suatu posisi zero sepanjang alur persepsi masyarakat yang mendambakan kebenaran dan keadilan yang ternyata selalu dan tetap merupakan barang langka sepanjang masa Indonesia merdeka.

Dengan campur tangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melalui pembentukan Tim 8, dan tentu saja memiliki hubungan sebab-akibat dengan reaksi masyarakat, kasus cicak-buaya mendapat ‘penyelesaian’. Bibit dan Chandra dilepaskan dari tahanan setelah kejaksaan mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara. Namun penghentian perkara itu disertai embel-embel formulasi yang sebenarnya kurang nyaman bagi kedua pimpinan KPK itu, yang bila diterjemahkan secara awam sebenarnya diyakini bersalah –berkasnya sudah P21– namun karena faktor pengaruh Presiden dan rekomendasi Tim 8, keduanya dilepaskan dari perkara itu.

Setelah Bibit dan Chandra kembali ke posisi formalnya seperti sediakala di KPK, giliran Jenderal Susno Duadji seakan-akan dilanda arus balik. Ia diberhentikan dari jabatan sebagai Kabareskrim Polri dan ditempatkan untuk sementara sebagai perwira tinggi tanpa jabatan di Markas Besar Kepolisian RI. Semula apa yang menimpa Susno Duadji disambut baik oleh berbagai kalangan sebagai tanda adanya niat kepolisian untuk membenahi diri. Akan tetapi ketika ‘pembenahan diri’ itu terhenti hanya sampai Susno Duadji, padahal menurut opini publik yang mengemuka bahwa Susno Duadji tak mungkin berdiri sendiri dalam segala tindakannya, mulai timbul kesangsian, jangan-jangan Susno hanyalah satu batu alas altar pengurbanan? Apalagi berturut-turut dalam suatu koinsidensi terjadi beberapa peristiwa yang menampilkan Jenderal Susno Duadji dalam pusat perhatian.

PERISTIWA pertama, ia hadir sebagai saksi a de charge bagi terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar dalam persidangan kasus pembunuhan Drs Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Putra Rajawali Banjaran di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 7 Januari 2010. Diawali dengan protes Jaksa Penuntut Umum Cyrus Sinaga yang mempersoalkan kehadiran Susno dengan berseragam namun tanpa bekal izin atasan, Susno memberikan kesaksian-kesaksian yang mengungkap beberapa hal menarik yang terjadi di tubuh institusinya dalam kaitan penanganan perkara tersebut. Salah satunya adalah pemaparan betapa secara internal selaku Kabareskrim dia ‘dilewati’ begitu saja. Kapolri memberi penugasan langsung kepada Wakil Kabareskrim, Inspektur Jenderal Hadiatmoko, untuk mengawasi pelaksanaan penanganan penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin itu oleh Polda Metro Jaya. Susno tak pernah diberitahu oleh atasannya maupun bawahannya itu mengenai penugasan tersebut. Wakil Kabareskrim dalam kaitan itu juga tidak pernah melapor pada dirinya, dan hanya melapor langsung kepada Kapolri.

Keterangan tentang penugasan kepada Inspektur Jenderal Hadiatmoko ini menjadi menarik, karena ketika beberapa waktu sebelumnya dalam kesaksian Komisaris Besar Polisi Wiliardi Wizard –terdakwa dalam kasus yang sama tapi disidangkan terpisah– disebutkan bahwa Hadiatmoko telah melakukan penekanan agar Wiliardi memberi kesaksian memberatkan Antasari Azhar. Atas keterangan Wiliardi ketika itu, Hadiatmoko membantah dan menyatakan tidak tahu menahu tentang kasus Antasari dan tidak punya kepentingan terhadap kasus tersebut. Ternyata, sepanjang yang diterangkan Susno, Hadiatmoko bukan hanya tahu melainkan malahan adalah orang yang ditugaskan melakukan pengawasan atas penyidikan kasus tersebut oleh Polda Metro Jaya. Dalam persidangan, ketika diminta memberi penilaian, Komisaris Jenderal Susno Duadji berdasarkan pengalaman sehari-hari di institusi Polri, mengatakan “seseorang yang ditugaskan atasan, pasti mempunyai kepentingan agar tugas tersebut berhasil”. Salah seorang pengacara Antasari segera memberikan kesimpulan bahwa itu berarti “Hadiatmoko punya kepentingan”.

Kehadiran Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji sebagai saksi tanpa izin institusinya dalam persidangan dengan terdakwa Antasari Azhar ini, memicu kontroversi, terutama di tubuh Polri sendiri. Sejumlah perwira tinggi kepolisian mengecam perilaku sang perwira dan mempersalahkan Susno dengan menyebutkannya indisipliner dan tidak etis. Tetapi dengan tenang Susno Duadji menjawab bahwa ia hanya mematuhi undang-undang, dan bila ia tak memenuhi surat panggilan Pengadilan untuk bersaksi berarti ia melanggar undang-undang. Secara tersirat, di sini muncul pencerminan sikap dan pemahaman bahwa perintah undang-undang, bagaimanapun lebih tinggi daripada perintah atasan. Suatu preseden yang bersifat terobosan dalam konteks ketaatan hukum di lingkungan institusi hirarkis semacam Polri. Untuk menangani ‘insiden’ Susno Duadji ini sampai-sampai ada dua tim untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi, namun pada akhirnya muncul kesimpulan bahwa tindakan Susno tidak melanggar ketentuan internal kepolisian.

Terlepas dari itu, kehadiran Susno dalam persidangan Antasari, dengan kesaksiannya yang mengungkapkan adanya kejanggalan tertentu dalam penanganan Polri atas kasus ini ternyata menimbulkan simpati yang luas di masyarakat. Nama Susno sudah mengarah menjadi hilang dari daftar public enemy dalam konteks kegelapan penegakan hukum. Apalagi bersamaan dengan itu terhadap kasus Antasari Azhar sendiri memang telah mulai muncul kesangsian publik yang dari waktu ke waktu makin meluas. Masyarakat misalnya mempunyai penilaian tersendiri pada rekaman percakapan Rani dengan Antasari di kamar 803 Hotel Gran Mahakam. Banyak yang berkesan bahwa Rani justru tampil dalam nuansa peran seducer dan seakan punya tujuan tertentu mengikuti arahan dari almarhum suami ‘sirih’nya. Digunakannya cara merekam melalui telpon genggam yang sengaja on, menimbulkan kesan adanya upaya penjebakan. Sementara itu banyak  yang cenderung percaya kepada pengakuan Kombes Wiliardi bahwa dirinya ditekan untuk memberi kesaksian memberatkan Antasari. Fakta-fakta di persidangan, termasuk kesaksian para ahli IT, dalam penilaian awam dari banyak anggota masyarakat, sepertinya satu persatu makin menunjukkan kejanggalan dalam penanganan kasus ini sejak di tangan kepolisian hingga kejaksaan. Aroma rekayasa terasa menjadi lebih kuat. Tuntutan hukuman mati yang diajukan Cyrus Sinaga dan kawan-kawan dianggap dipaksakan dan banyak mengabaikan fakta-fakta di persidangan. Jaksa-jaksa pun, tanpa bermaksud mengecilkan kualitas pribadi mereka masing-masing, umumnya tampil sebagai pihak yang kalah debat karena lemah dalam argumentasi di dalam maupun di luar persidangan. Lalu ada yang mengatakan: Kalau sesuatu direkayasa, maka memang akan selalu sulit bagi pihak perekayasa untuk menemukan argumentasi yang tepat karena di bawah sadar bagaimanapun hati nurani tetap bekerja dengan arah berlawanan.

SETELAH tampil sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Antasari Azhar –yang sedang mengalami degradasi nasib from hero to zero– Komisaris Jenderal Susno Duadji, tampil lagi dalam suatu peristiwa lain, peristiwa kedua. Kali ini di pentas politik, menjadi saksi dalam sidang penyelidikan oleh Pansus DPR-RI mengenai Bank Century di Gedung DPR-RI, Rabu 20 Januari 2010. Beberapa penjelasan Jenderal Susno Duadji di depan anggota Pansus, tampaknya memenuhi keingintahuan mayoritas publik yang menyaksikan lewat siaran langsung dua televisi swasta, mengenai apa yang dianggap sebagai penyimpangan-penyimpangan dalam kasus Bank Century itu.

Dalam forum tersebut Susno Duadji mampu menginformasikan dengan gaya komunikasi yang baik bahwa penangkapan Robert Tantular yang dianggap telah ‘merampok’ banknya sendiri, memang terakselerasi oleh perintah Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang kala itu menjadi pemangku tugas Presiden, kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Setelah menerima perintah itu pada tanggal 25 Nopember 2008 sore, Kapolri mendiskusikan dengan Susno apakah penangkapan bisa dilakukan dengan dasar atau alasan hukum yang cukup. Susno menyatakan, bisa, karena sudah punya petunjuk awal yang cukup. Sementara tim pelaksana penangkapan pergi menjalankan tugasnya, dan menangkap Robert Tantular sekitar maghrib, Susno ke Bank Indonesia dan bertemu Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah dan menyampaikan akan menangkap Robert Tantular. Petinggi BI ini sempat mengatakan “Pak Susno, apa cukup buktinya? Kalau menurut kami, belum”. Sikap ini sama dengan sikap Gubernur BI waktu itu, Budiono, yang pada 25 Nopember mengatakan kepada Jusuf Kalla, bahwa penangkapan terhadap Robert Tantular tidak dilakukan karena belum cukup bukti dan alasan hukumnya. Keterangan Susno ini memperjelas peranan Jusuf Kalla, yang oleh sebagian anggota Pansus dari kelompok pendukung pemerintah coba disanggah dan dinyatakan merupakan intervensi terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Dalam forum itu Susno juga berkesempatan menepis isu yang beredar sebelumnya bahwa ia pernah menerima sepuluh miliar rupiah dari salah satu nasabah besar Bank Century yang minta tolong depositonya dicairkan. Susno juga memaparkan apa yang pernah dilakukannya dalam menjalankan tugas selama ini sehingga seorang anggota Pansus mengapresiasinya sebagai seorang abdi hukum yang berprestasi namun justru tersingkir di dalam institusinya. Bahkan muncul gagasan untuk mengupayakan Susno Duadji mendapat peran dalam penuntasan pengusutan perbuatan kriminal dalam kasus Bank Century.

Kecuali bahwa ia diserang habis-habisan dan coba dipojokkan oleh anggota-anggota Pansus yang berasal dari Partai Demokrat –seperti Benny K. Harman dan Ruhut Poltak Sitompul yang dalam sidang-sidang Pansus menjadi terkenal karena berbagai ulahnya yang membuat banyak orang geleng-geleng kepala– pada umumnya Susno mampu tampil cukup memikat dan mendapat simpati mayoritas anggota Pansus. Ia tampil cukup sabar, ramah, dengan sikap santai yang berkali-kali mampu mencairkan suasana termasuk ketika menangkis serbuan-serbuan Ruhut Sitompul yang katanya di’nobat’kan Harian Kompas sebagai pengacara paling terkenal ketiga.

BILA beberapa bulan yang lalu sang jenderal menjadi tokoh kontroversial di mata publik, melalui dua penampilan, di persidangan kasus Antasari Azhar dan dalam rapat Pansus DPR, Susno secara agak mendadak sepertinya meraih simpati yang luas, beralih kedudukan from zero to hero. Timbul kesangsian. Apakah betul selama ini ia polisi buruk dalam suatu situasi yang juga buruk. Ataukah the bad cop yang tercerahkan dan memilih untuk kini berada pada jalur yang benar. Atau mungkin, ternyata polisi yang sebenarnya baik namun berada dalam situasi yang buruk? Kalau ia termasuk pada salah satu dari dua kategori disebutkan terakhir, sebenarnya tak keliru untuk mengharapkan bahwa bila diberi penugasan pada jalan penegakan hukum yang benar, ia bisa menghasilkan sesuatu yang berharga dalam mengakhiri kesesatan dan kegelapan penegakan hukum. Biasanya yang pernah terantuk, akan berjalan lebih baik setelah itu (Rum Aly).

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (7)

“Bahkan mulai muncul suara ‘cemplang’ bahwa SBY yang mengantongi kemenangan lebih dari 60 prosen dalam satu putaran pada pemilihan presiden yang lalu, dalam pola kepemimpinannya yang khas javanese sesungguhnya sedang dalam proses bermutasi menjadi Soeharto baru. Dan dengan demikian Orde Baru jilid dua sedang dalam proses cetak….. Kalau memang ini benar, maka memang betul Golkar sedang berada pada satu titik nadir di tahun 2009 ini. Kemana kurva Golkar selanjutnya akan bergerak –ke atas atau ke bawah– di bawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie ?”.

ASPEK tragis dari semua yang dialami Partai Golkar di kurun waktu yang disebut masa reformasi hingga kini, seakan-akan suatu karma masa lampau. Letak tragedinya adalah karena kelahiran Golkar sebenarnya diawali dengan idealisme dan prinsip-prinsip berdasarkan kebenaran. Tetapi begitu kekuasaan sudah berada di tangan kelompok-kelompok dan pribadi-pribadi yang menjadi penunggang sekaligus pengendali Golkar, maka Golkar memasuki lembaran sejarah kelabu sebagai kekuatan politik yang menjadi alat kekuasaan otoriter. Sejarah Golkar identik dengan sejarah Orde Baru.

Sebenarnya, apa yang kemudian disebut dengan penamaan Orde Baru pada era pasca Soekarno, adalah sebuah konsep dan gagasan idealistik tentang cara baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilahirkan oleh sejumlah kalangan intelektual dalam masyarakat serta beberapa tokoh pemikir dalam ABRI. Konsep awal Orde Baru adalah pembaharuan dan reformasi di segala sektor kehidupan bangsa dengan tujuan-tujuan ideal, di atas landasan kebenaran dan keadilan. Hanya saja penamaan dan penampilan Orde Baru kemudian secara berangsur-angsur kehilangan makna kebenaran dan keadilannya dalam perjalanan sejarah di masa-masa kekuasaan dominan pemerintahan Soeharto. Orde Baru berangsur-angsur dipersempit pengertiannya dalam pelaksanaannya. Aspek pembaharuan yang bermakna modernisasi dan pembangunan, menyempit menjadi pembangunan yang merupakan sekedar terjemahan dari development. Aspek akumulatif dan vertikal dari pembangunan lebih ditekankan dan dipentingkan, ketimbang aspek dinamis dan horizontal dari proses evolutif yang bergerak secara mandiri. Dimensi pengaturan lebih menonjol dan dipentingkan daripada memberi peluang bergerak sendiri secara kreatif. Di bidang politik, hukum maupun kemasyarakatan.

Sejalan dengan perjalanan waktu yang makin menumbuhkan hasrat kekuasaan kelompok-kelompok dan sejumlah pribadi tertentu –yang kebetulan ada pada posisi peran historis masa peralihan setelah 1965– justru para pemikir yang melahirkan gagasan dasar Orde Baru, satu persatu dilempar keluar oleh Soeharto dan kelompok tertentu di sekitarnya. Bersamaan dengan itu Orde Baru memperoleh partisipan-partisipan baru –termasuk mereka yang tadinya justru sangat memusuhi konsep Orde Baru itu sendiri– yang kelak membentuk citra baru yang menghancurkan cita-cita kebenaran dan keadilan dengan perilaku-perilaku ketamakan kekuasaan serta perilaku menyimpang korupsi-kolusi-nepotisme di sebagian besar masa 32 tahun terakhir pada masa kekuasaan Soeharto. Bandingkan dengan nasib serupa yang dialami oleh kelompok reformasi pasca Soeharto yang secara berangsur-angsur diisi dan diambilalih oleh mereka yang menyimpangkan pengertian dan tujuan reformasi itu sendiri sambil menikmati berbagai benefit pengatasnamaan reformasi.

Bila Orde Baru dipandang sebagai satu rezim –yang secara esensial sudah berbeda dengan konsep awal kaum intelektual penggagasnya di tahun 1966-1967– maka ia adalah tatanan sistem dan kekuasaan yang didominasi secara kuat oleh militer dengan Soeharto sebagai pemimpin rezim. Rezim itu didukung oleh Golkar sebagai mesin politik utama dan bersama-sama dua partai yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia (yang kemudian menjelma sebagai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menjadi mesin konstitusi yang siap setiap saat  memberikan cap konstitusional terhadap apa yang dilakukan rezim. Unsur pendukung lainnya adalah konglomerat dan pengusaha, yang dengan bantuan birokrat serta ekonom pemerintahan, menjadi mesin dana selain sebagai mesin ekonomi. Payung moral dan pagar kemasyarakatannya disiapkan oleh barisan luas sejumlah ulama serta unsur-unsur tertentu dalam organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, berbagai organisasi kepemudaan dan sebagainya. Tak ketinggalan, dukungan mayoritas pers dan kalangan cendekiawan serta kalangan lainnya di berbagai perguruan tinggi. Faktual, Orde Baru didukung begitu luasnya bagaikan menyampaikan satu nyanyian bersama oleh semua, dan karenanya hidup panjang.

Kemana kurva Golkar selanjutnya bergerak?

Namun, pasca kejatuhan Soeharto, segala kebaikan yang bagaimanapun juga pernah dimiliki Orde Baru, sirna oleh sisi penyimpangannya dan tampaknya sulit untuk dibela, betapapun idealnya sebenarnya konsep awal dan dasar dari Orde Baru itu. Malang bagi Golkar, setelah Mei 1998, hanya Golkar yang disisakan dan dipilih sebagai ‘simbol’ Orde Baru yang harus memikul ‘dosa-dosa masa lampau’. Akan tetapi dalam suatu paradoks saat ini, kalangan kekuasaan diam-diam dengan sedikit polesan meng-copypaste cara-cara Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan dan cara-cara Golkar masa lampau membangun partai dan menjalankan politik praktis. Sementara itu, Partai Golkar sendiri, sudah berada dalam suatu keadaan antara ada dan tiada dalam peta dan realita politik karena kerap mengidap kepribadian ganda lengkap dengan aneka standar ganda sehingga sulit untuk memposisikan dirinya.

Dengan canggung Golkar mencoba menentukan posisinya. Karena gagal mengumpulkan suara memadai dalam pemilihan umum yang baru lalu, boleh dikatakan ia tak mampu ikut mengatur kekuasaan. Karena tak terbiasa di masa lampau di luar kekuasaan, Golkar senantiasa berusaha ikut dalam kekuasaan. Dan itu dilakukan dengan berbagai upaya kompromi dengan pemenang pemilihan umum. Tetapi sebenarnya, menilik ke belakang, di masa Soeharto pun Golkar dalam artian sebagai satu kekuatan politik, tak selalu ada dalam kabinet. Selama pemerintahan Orde Baru, sebenarnya sangat terbatas aktivis atau pengurus organisasi Golkar diikutsertakan dalam kabinet, dengan sedikit pengecualian pada sekitar 1987 sampai beberapa tahun sesudahnya. Pada waktu yang lain, sebelumnya, prosesnya malah terbalik. Sejumlah tokoh terlebih dahulu menjadi menteri karena pilihan Soeharto atau menjadi pejabat tinggi lainnya, baru kemudian menjadi Golkar dalam posisi elite karena kemampuannya meningkat dalam memberi kontribusi dana. Jadi memang sulit disangkal bahwa Golkar memang ikut dibesarkan oleh hasil korupsi-kolusi-nepotisme, selain topangan sumber-sumber dana yang halal.

Topangan dana itu pada gilirannya menjelma menjadi kekuasaan lebih secara internal di Golongan Karya. Dana menjadi pengganti keringat. Sanak keluarga dan kroni sang pemberi dana dengan mudah mengambil porsi yang besar dalam pembagian kursi-kursi di legislatif dan kemudian melanjutkan ke pembagian rezeki ‘hasil pembangunan’. Hingga, suatu ketika, praktek ini menjadi bola salju yang tak terkendali lagi dan menjadi begitu massive sehingga tak tertahankan lagi oleh sendi-sendi perekonomian negara. Golkar nyaris tergulung habis dan musnah dalam proses pembalikan yang terjadi sesudahnya sejak tahun 1998. Ternyata perilaku ini menjelma sebagai satu penyakit kronis yang belum kunjung usai. Ketika Munas Golkar di Bali tahun 2004, terpilihnya Muhammad Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dibayang-bayangi merebaknya isu politik uang selain bahwa ia dipilih oleh Munas karena ia adalah Wakil Presiden yang sangat memenuhi syarat bagi Golkar yang canggung berada di luar kekuasaan pemerintahan. Dan sejarah berulang lagi dalam Munas Golkar 2009 di Pekanbaru Riau. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam kompetisi memperebutkan kepemimpinan Patai Golkar juga tak lepas dari bayangan merebaknya isu politik uang. Terhadap Aburizal juga tertuju sejumlah kritik ketika ia memilih sejumlah tokoh dengan pola ‘loncat pagar’ yang tak pernah berkeringat untuk Golkar namun mendadak mendapat posisi tinggi di DPP Golkar. Tetapi inipun sebenarnya bukan hal baru. Itu penyakit lama yang sudah diidap Golkar dari waktu ke waktu.

Hanya saja, sungguh menarik, bahwa dalam konklusi sementara dari banyak orang saat ini, penyakit-penyakit kronis yang diidap Golkar selama puluhan tahun ini, tampak-tampaknya kini seakan menular dan sedang berinkubasi di dalam Partai Demokrat. Bahkan mulai muncul suara ‘cemplang’ bahwa SBY yang mengantongi kemenangan lebih dari 60 prosen dalam satu putaran pada pemilihan presiden yang lalu, dalam pola kepemimpinannya yang khas javanese sesungguhnya sedang dalam proses bermutasi menjadi Soeharto baru. Dan dengan demikian Orde Baru jilid dua sedang dalam proses cetak….. Kalau memang ini benar, maka memang betul Golkar sedang berada pada satu titik nadir di tahun 2009 ini. Kemana kurva Golkar selanjutnya akan bergerak –ke atas atau ke bawah– di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie ?

Selesai.

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (1)

Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme”.

SEPANJANG perjalanannya dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, Golkar –singkatan Golongan Karya– penuh dengan kemenangan dan ‘kejayaan’ politik. Angka keunggulan perolehan suara yang dicetak masih sejak pemilihan umum pertama pasca kekuasaan Soekarno, tak pernah di bawah 50 persen. Bahkan di era kepemimpinan Sudharmono SH dan Sarwono Kusumaatmadja, angka keunggulan Golkar mencapai 73,17 persen atau 62.783.680 suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1987. Suatu pencapaian luar biasa. Dan ternyata menjadi lebih fantastis lagi di era Ketua Umum Harmoko pada Pemilihan Umum 1997, mencapai 74,51 persen. Namun pencapaian itu sekaligus menjadi penutup kisah ‘dunia fantasi’, karena Mei 1998 secara pahit Soeharto harus mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung 32 tahun. Kemenangan besar Golkar di bawah Harmoko, ternyata hanya bagai gelembung sabun yang tak punya arti apa-apa sebagai jaminan kelanggengan kekuasaan Soeharto. Malahan Harmoko termasuk sebagai tokoh yang ikut berperan di barisan depan dalam suatu tragi komedi politik meninggalkan Soeharto, selain Ginandjar Kartasasmita bersama sejumlah golden boys Soeharto lainnya.

Pasca Soeharto, Golkar yang kemudian merubah diri menjadi Partai Golongan Karya, memulai fase perjalanan menuju titik nadir. Dalam Pemilihan Umum 1999, Akbar Tandjung yang menjadi Ketua Umum Golkar, bersama kawan-kawan seperti Fahmi Idris, Marzuki Darusman dan sejumlah tokoh ex HMI pendukung Akbar, masih mampu menjaga Golkar tak terhempas habis. Partai Golkar masih bisa mencapai angka 22,4 persen di urutan kedua setelah PDI-P Megawati Soekarnoputeri yang memperoleh 33,7 persen suara. Bahkan setelah dilanda isu Buloggate, Golkar dibawah Akbar masih sempat sedikit memperbaiki posisi sebagai pemenang Pemilu 2004 dengan memperoleh 21,58 persen, sementara PDI-P merosot ke tempat kedua dengan pencapaian 18,53 persen.

Namun adalah menarik, bahwa ‘benefit’ politik kemenangan 2004 itu tidak untuk Akbar Tandjung. Dalam konvensi Golkar untuk mencari calon presiden yang akan maju ke Pemilihan Umum Presiden, Akbar dikalahkan oleh Jenderal Wiranto yang kemudian maju ke Pemilihan Presiden bersama Solahuddin Wahid. Seorang calon peserta konvensi, Muhammad Jusuf Kalla (JK), membatalkan keikutsertaannya dalam Konvensi Golkar tersebut dan kemudian maju bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jangkar utama pendukung, yakni Partai Demokrat yang baru saja didirikan menjelang pemilu. Dalam Pemilihan Umum 2004 itu, Partai Demokrat mencapai peroleh suara 7,45 persen dan berada di urutan kelima.

Merupakan fenomena menarik, bahwa pasangan SBY-JK yang didukung sebuah ‘partai kecil’ newcomer ini ternyata mengungguli Megawati-Hasjim Muzadi maupun Wiranto-Solahuddin atau Amien Rais-Siswono Judohusodo dan ‘underdog’ Hamzah Haz-Agum Gumelar. Agaknya SBY-JK sedang berada dalam fokus harapan publik yang saat itu seakan-akan berada dalam musim kemarau yang kering dari kepemimpinan yang baik. Kala itu memang tokoh-tokoh lain dan partainya masing-masing tampil mengecewakan dalam sepakterjang politik beberapa tahun terakhir. PDI-P yang katanya partainya wong cilik, justru seakan meninggalkan wong cilik pendukungnya setelah berkuasa. Sementara itu, Golkar dilanda perpecahan, seperti misalnya antara Fahmi Idris-Marzuki Darusman cs dengan lingkaran pendukung khusus Akbar Tandjung. Ketika kalah dalam Pemilihan Presiden, Wiranto mengutarakan kekecewaan bahwa Golkar (Akbar dan kawan-kawan) mendukung dengan setengah hati. Tapi pada pihak lain, banyak orang menilai kegagalan Wiranto lebih banyak ditentukan oleh masih kuatnya kenangan publik terhadap rekam jejaknya di masa lampau ketika menjadi bagian dari penguasa militer. Dalam pada itu, dalam opini publik, Amien Rais dalam banyak hal pada setidaknya setahun terakhir dianggap terlalu ‘kelebihan’ bicara dan terpeleset karenanya.

Pemilihan Presiden 2009 sepenuhnya menjadi milik Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun, kesangsian terhadap kepemimpinan penuh keraguan SBY, bukannya kecil sepanjang lima tahun terakhir. Partai pendukung utamanya yang mengalami pelonjakan perolehan suara hampir tiga kali lipat dari pemilihan umum sebelumnya, dari 7,45 persen menjadi 20,8 persen, berkoalisi dengan sejumlah partai yang umumnya beraroma politik Islam, membawa SBY bersama Boediono menjadi Presiden dalam satu putaran dengan melampaui pencapaian suara di atas 60 persen. Pencapaian angka mayoritas mutlak oleh SBY ini dengan segera mengingatkan orang kepada pencapaian angka-angka mayoritas yang dicapai Golkar –dan tentu saja juga kepada Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina kekuatan politik berlambang pohon beringin itu– di masa lampau. Apalagi, kemenangan itu dibayangi oleh kuatnya kecurigaan adanya kecurangan dalam pelaksanaan pemiluhan umum. Ini sama dengan pengalaman Golkar masa Orde Baru, nyaris seluruh kemenangannya dianggap diperoleh melalui pemilihan umum yang penuh kecurangan. Tapi terlepas dari itu, tampaknya Partai Demokrat di bawah SBY sedang menjelma sebagai pengendali hegemoni kekuasaan seperti Golkar di masa lampau, apalagi kasat mata saat ini begitu banyak orang-orang eks Golkar yang menjadi bagian dalam tubuh partai tersebut. Dan sama seperti Golkar, Partai Demokrat sangat ditentukan arah, tujuan dan sepakterjang politiknya oleh Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudhoyono, mirip dengan hubungan Soeharto dengan Golkar. Lebih dari itu, dalam persepsi banyak kalangan politik, belakangan ini SBY pun makin tampil dengan suatu pola kepemimpinan yang khas bernuansa pola kepemimpinan tradisional Jawa dan bukannya memilih pola kepemimpinan Indonesia atau setidaknya pola kepemimpinan Jawa yang lebih modern. Tapi tentu saja, persepsi seperti ini masih harus dianalisis lebih lanjut seraya menantikan kenyataan-kenyataan politik yang akan terjadi di masa mendatang ini.

Sementara itu, Partai Golkar sendiri –yang pada 20 Oktober 2009 ini berusia 45 tahun–  justru seakan sedang berjalan menuju titik nadir dan makin melemah dalam masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Apakah akan menuju titik lebih rendah lagi pada pemilihan umum berikut, ataukah berhasil diselamatkan Aburizal Bakrie, masih merupakan pertanyaan. Pencapaian Golkar dalam Pemilihan Umum 2009 ini merupakan titik terrendah dalam sejarah kekuatan politik itu, yakni 14,4 persen. Bergabung dengan Partai Hanura (yang hakekatnya terisi dengan sebagian besar eks kader Golkar), Golkar pun hanya berhasil menempatkan Jusuf Kalla-Wiranto di urutan ketiga dalam Pemilihan Presiden dengan pencapaian yang juga hanya belasan persen.

Momentum Historis dalam Kebekuan

KELAHIRAN Sekber Golkar pada tahun 1964 yang merupakan cikal bakal Partai Golongan Karya, adalah untuk mendobrak kebekuan dan kegagalan kehidupan sosial politik di bawah demokrasi terpimpin masa Soekarno. Dalam dua kurun waktu sebelumnya, yakni masa demokrasi parlementer sesudah Pemilihan Umum 1955 dan masa demokrasi terpimpin 1959-1965, kekuatan sosial politik yang ada belum berhasil menjalankan fungsi selaku alat demokrasi yang pas untuk kebutuhan Indonesia. Kepartaian pada dua kurun waktu tersebut sangat ideologistis sehingga terlibat dalam kegiatan yang semata-mata untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum 1971, tercipta momentum bagi Golkar untuk memperbaharui kehidupan politik yang ideologistis menjadi kehidupan politik yang diperbarui dan modern. Penempatan diri sebagai kekuatan pembaharu itu membuat Golkar menjadi menarik bagi kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat kala itu, terutama kalangan cendekiawan di masyarakat serta kalangan intelektual muda yang masih mempunyai ikatan dan basis yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Bersama kalangan militer yang berpikiran pembaharu, sejalan dengan hasil Seminar Angkatan Darat II serta unsur birokrasi yang sudah diperbaharui pula oleh pemerintahan baru Pasca Soekarno, kaum cendekiawan tersebut menjadi bagian yang menopang Golkar sebagai kekuatan politik yang berpotensi melahirkan kehidupan politik yang lebih baik dan bisa diharapkan untuk menegakkan demokrasi dengan altruisme.

Menghadapi pola yang ideologistis, Golkar dengan topangan tiga unsur utamanya, telah mendorong ke depan Pancasila dan UUD 1945 sebagai perangkat dan tema tengah yang bisa diterima oleh mereka yang tidak punya ikatan-ikatan ideologis. Golkar menarik kaum abangan yang membutuhkan perlindungan baru setelah merosotnya PNI, sebagaimana ia juga menarik kalangan beragama Islam yang berpikiran moderat dan tidak ideologistis, serta masyarakat lain yang tidak beragama Islam. Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut terakhir ini, selama bertahun-tahun ada dalam kecemasan dan himpitan pertarungan antara kecenderungan komunistis dan kecenderungan fundamental dalam Islam. Terdapat pula kelompok dalam masyarakat yang merasa tertekan oleh kekuasaan totaliter yang tidak demokratis di masa Soekarno, menerima Golkar sebagai alternatif penyelamat.

Dengan dukungan kokoh karena daya tarik yang menjanjikan pembaharuan, Golkar memenangkan 34 juta suara dari 57 juta suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1971, terlepas dari adanya ekses-ekses karena perilaku overacting dari sejumlah unsur pendukung Golkar. Kemenangan itu sendiri pada gilirannya mengalirkan lagi dukungan-dukungan baru untuk masa-masa berikutnya, mengikuti kecenderungan feodalistik dalam masyarakat, bahwa siapa yang berkuasa cenderung untuk menikmati dukungan-dukungan melimpah, kendati pun untuk sebagian besar dukungan itu bersifat temporer sejajar dengan life time dari kekuasaan itu sendiri. Suatu situasi kelimpahan dukungan serupa, tampaknya juga sedang dialami dan mengarus menuju SBY dan Partai Demokrat ketika menghadapi Pemilihan Umum 2009. Di sini, dalam situasi seperti itu, unsur kualitatif tidak lagi merupakan ukuran.

Sebenarnya, hanya dalam tempo yang tidak terlalu lama, dukungan berkualitas terhadap Golkar telah berakhir. Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme.

Peranan kaum cendekiawan yang potensil menjadi sumber modernisasi dalam kehidupan berpolitik, hanya ditempatkan sebagai pajangan untuk penciptaan opini. Kino-kino ‘pendiri partai’ yang seolah-olah representasi kaum sipil dari mula juga tak lain dari institusi-institusi yang dapat dikatakan kepanjangan klik-klik tentara di kalangan sipil. Dari waktu ke waktu pimpinan kharismatis dari Kino-kino faktual adalah para tentara atau mantan tentara. Sementara itu, kekuatan birokratis adalah kekuatan yang sangat tergantung kepada fakta siapa yang berkuasa, dialah yang berhak untuk mengendalikan kekuatan birokratis, cepat atau lambat. Maka kita melihat bahwa sepanjang puluhan tahun masa kekuasaan Soeharto, peranan dalam Golkar dipegang oleh kekuatan tentara (klik-klik tentara) dan kekuatan birokrasi (klik-klik birokrat). Sebagian dari klik-klik ini menjadi pelaku utama berbagai perilaku KKN, pelanggaran hak azasi manusia dan tindakan anti demokrasi’, ibarat hutang yang kelak ditagih rakyat.

Rekrutmen cendekiawan juga secara berangsur-angsur berubah dari pemikir menjadi rekrutmen perorangan cendekiawan yang dibutuhkan sebagai pemanis penampilan intelektual. Dan pada sisi lain, cendekiawan yang bergabung juga berangsur-angsur berubah menjadi perorangan-perorangan yang masuk untuk kepentingan khusus bagi dirinya, untuk target-target bisa terpilih jadi rektor atau terpilih mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, sebagai Dirjen, Gubernur dan terutama sebagai Menteri Kabinet. Masa pengharapan untuk tampilnya Golkar menjadi kekuatan politik motor pembaharuan dan modernisasi yang kualitatif, tidak melampaui akhir 1973 dan praktis berakhir menjelang Pemilihan Umum 1977. Bahwa senantiasa masih hidup upaya-upaya menampilkan kaum cendekiawan atau unsur generasi muda yang berkualitas, harus diakui tetap terjadi secara insidental, semisal pada periode 1982 hingga 1987. Tetapi rekrutmen legislatif pada Pemilihan Umum 1987 dan sesudahnya membuktikan bahwa upaya seperti itu gagal samasekali. Kalau toh cendekiawan (tepatnya perorangan dengan atribut-atribut kesarjanaan) masuk, yang terbanyak hanyalah bahwa perorangan yang berhasil masuk itu tak terlepas dari kaitan unsur subjektif, seperti putera-puteri pejabat atau putera-puteri tentara, dan sebagainya.

Berlanjut ke Bagian 2

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (4)

”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.

Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.

Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.

Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’. Rumah tokoh-tokoh PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman, yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.

Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina. Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.

Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah satunya adalah Harian Marhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak ‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.

Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar.

Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.

Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses ‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.

Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan-pemaparan berikut ini.

PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan  Sulawesi Selatan memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni– maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.

Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya –karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak. Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan.

Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah, tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan hormat dari lingkungannya.

Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.

Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah, perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperangan melawan Belanda.

Adalah karena kepopuleran PNI dan organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI.

Berlanjut ke Bagian 5

Dalam Kancah Politik Kekerasan (1)

-Rum Aly*

“Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, ……”. “Apakah PKI, ….. akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?”

SETIAP orang mungkin saja mengalami persentuhan sosial dan persentuhan politik yang berbeda-beda dengan PKI maupun dengan komunisme, tetapi berapapun kadarnya, merupakan fenomena di tahun 1960-1965 bahwa bagi mereka yang berada di luar pagar pengaruh ideologi itu, penampilan PKI cenderung mencemaskan bahkan menakutkan. Apalagi bila bercampur dengan pengetahuan mengenai situasi dunia yang kala itu dilanda suasana perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Kisah-kisah kekerasan Stalin di Rusia dalam menegakkan kekuasaan komunis secara totaliter di Rusia kemudian Eropah Timur ataupun pembunuhan-pembunuhan massal yang dilakukan Partai Komunis Cina di bawah Mao Zedong (dulu ditulis: Mao Tse-tung) dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan di daratan Cina, menambah rasa takut itu. Apakah PKI, setelah keterlibatan mereka dalam pemberontakan berdarah di Madiun 1948, akan menampilkan fenomena yang sama dalam sejarah Indonesia?

Namun, jangankan bagi mereka yang di luar pagar, kecemasan atau rasa was-was bahkan bisa menghinggapi mereka yang ada di dalam pagar. Seorang pekerja yang menjadi anggota SOBSI di suatu propinsi luar Jawa di Indonesia Timur, Daeng Sila, pertengahan tahun 1965 pernah mengeluhkan perilaku yang terlalu revolusioner dari teman-teman separtainya di pulau Jawa. Salah satu keluhan yang dilontarkan anggota serikat buruh onderbouw PKI ini –yang di sore hari menjadi guru mengaji bagi anak-anak di sekitar rumahnya– adalah sikap PKI di pulau Jawa, yang menunjukkan permusuhan terhadap agama atau kaum beragama, selain berbagai tindak kekerasan lainnya sebagaimana yang terdengar melalui berita radio atau terbaca di suratkabar. Secara umum, sikap para pendukung PKI di propinsi itu sendiri, hingga tahun 1965, sebenarnya memang tidak seradikal, segarang dan seprovokatif dengan yang di Jawa atau beberapa propinsi lain seperti di Sumatera Utara atau Kalimantan Timur.

PKI di propinsi Indonesia Timur itu, Sulawesi Selatan –tempat kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf dan Muhammad Jusuf Kalla– terlibat dalam persaingan politik sehari-hari yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Tokoh-tokohnya pada umumnya memiliki kehidupan ekonomi yang bersahaja untuk tidak mengatakannya berada dalam tingkat kemiskinan yang ‘mengibakan’ hati –hidup dalam gubug tanpa perabot yang layak– dibandingkan dengan tokoh-tokoh partai lainnya. Berbeda dengan PNI misalnya yang pendukungnya adalah dari kalangan menengah, kaum bangsawan dan kaum elite di daerah itu. Begitu mengibakan hati, sehingga setelah Peristiwa 30 September 1965, tatkala terjadi aksi penyerbuan ke kantor-kantor PKI dan onderbouw-onderbouwnya serta rumah-rumah para tokohnya di Makassar, ada seorang mahasiswa aktivis dari Universitas Hasanuddin yang kemudian mengakui tidak tega dan hanya melihat dari kejauhan sewaktu menemukan rumah yang akan ‘diserbu’ itu hanyalah gubug reyot yang tanpa didobrakpun mungkin tak lama lagi akan rubuh.

Di propinsi ini, selain beberapa peristiwa berdarah di Tana Toraja, relatif tak tercatat aksi-aksi radikal dan kekerasan lainnya dari PKI yang berkadar tinggi seperti umpamanya yang terjadi di Bandar Betsi Sumatera Utara, di Buleleng Bali atau Peristiwa Jengkol dan Peristiwa Kanigoro di Kediri, Jawa Timur. Bagi Sulawesi Selatan yang bergolak sejak tahun 1950 hingga 1965, kekerasan penuh darah oleh DI-TII di satu pihak dan tentara di pihak yang lain dengan rakyat terjepit di tengah-tengahnya, bahkan lebih dominan mengisi ingatan setiap orang sebagai kenangan getir –seperti halnya pembunuhan massal atas ribuan rakyat oleh Kapten Raymond Westerling, perwira peranakan Belanda-Turki, dalam Peristiwa 11 Desember 1946. Sebagaimana pula ingatan lebih terisi oleh peristiwa penyerbuan tanpa belas kasihan terhadap rumah-rumah tokoh PNI Sulawesi Selatan –yang untuk sebagian besar adalah pengikut Hardi dan kawan-kawan yang berseberangan dengan Ali-Surachman– dan peristiwa rasial terhadap etnis Cina, tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965, meski warga ‘keturunan’ ini tidak punya keterlibatan apapun terhadap peristiwa politik tersebut. Sungguh ironis bahwa aksi menghancurkan kehidupan orang lain itu, yang menumpas sampai garam-garam di dapur, terutama dilakukan justru oleh massa organisasi-organisasi ekstra mahasiswa dan pelajar yang baru saja lepas dari gelombang penganiayaan politik PKI di Pulau Jawa. Dan celakanya lagi, salah sasaran pembalasan.

Catatan di atas, mungkin merupakan satu kesaksian tentang ‘kebersahajaan’ hidup, kadar keterlibatan maupun posisi minor tokoh-tokoh komunis di daerah itu dalam pergolakan politik hingga tahun 1965. Mungkin esensinya tak berbeda jauh dengan semacam kesaksian, yang juga pernah dinyatakan oleh Soe Hok-gie almarhum yang mengaku sempat kagum terhadap idiom-idiom keadilan dan kemiskinan rakyat yang dilontarkan dan diperjuangkan PKI. Namun kesaksian untuk propinsi di wilayah Timur ini, samasekali tak berlaku untuk Pulau Jawa, karena dalam ruang waktu yang sama, sikap radikal, keras dan provokatif yang ditunjukkan dan dilahirkan dalam berbagai bentuk penganiayaan dan kekerasan politik di Pulau Jawa, telah mewakili citra PKI sebagai partai garang secara nasional dan mengakumulasi ketakutan sekaligus kebencian yang berlaku secara nasional pula. Dan dalam suatu arus balik, di bulan-bulan terakhir 1965, maka pembalasan pun berlangsung secara nasional, yang kedahsyatannya –terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan juga di Sumatera Utara– cenderung tak terbayangkan sebelumnya. Tapi terlepas dari itu, apa pun alasannya, situasi balas berbalas dalam kekerasan dan kekejaman adalah buruk. Katakanlah bahwa PKI di masa lampau menjalankan politik kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, tetapi dalam sudut pandang kemanusiaan, bagaimanapun sebuah pembalasan massal dengan kekerasan berdarah dalam wujud kejahatan atas kemanusiaan yang menimpa mereka yang dikaitkan dengan PKI, tak dapat dibenarkan. Kenapa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan?

Berakar pada suatu ideologi totaliter

Komunisme lahir sebagai salah satu dari tiga pecahan ideologi yang bersumber pada ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Dibandingkan dengan dua pecahan lain, yakni aliran sosial demokrat dan aliran demokratis sosialis, aliran komunis adalah yang paling keras, dalam artian tak memiliki samasekali aspek kompromi dan toleransi terhadap ajaran lain. Sebutan komunis sendiri sudah lebih dulu dikenal sejak Revolusi 1830 di Perancis, yaitu penamaan terhadap perkumpulan-perkumpulan rahasia kaum revolusioner, atau komune, yang kemudian juga punya pengertian kedua, yakni sebagai kepemilikan bersama.

Dalam bukunya, Das Kapital yang disusun berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan masyarakat industri yang pincang di London dan sekitarnya, Marx menyimpulkan keharusan penyingkiran bentuk masyarakat kapitalistik. Pada masa hidup Marx, kapitalisme di Eropah memang sedang berada pada titik puncak dalam menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan dalam masyarakat industri Eropah, saat kaum pekerja berada dalam penindasan ekonomi dengan keburukan yang tiada taranya sepanjang sejarah Eropah. Sehingga, Benyamin Disraeli menggambarkan Eropah memiliki hanya dua bangsa, yang hidup di dua kutub kehidupan yang amat berbeda, yakni kaum kaya yang memiliki dan menguasai segala-galanya di satu kutub dan kaum miskin yang hampir kehilangan segala-galanya pada kutub yang lain. Dalam Communist Manifesto yang dilontarkan Marx dan Engels 1848, disebutkan bahwa tujuan masyarakat adil hanya akan bisa dicapai dengan penyingkiran secara paksa seluruh tatanan sosial yang ada pada saat itu, dan dalam proses itu kaum proletar takkan kehilangan apapun kecuali belenggu mereka. Kaum proletar harus berjuang merebut seluruh dunia.

Komunisme di Rusia merupakan Marxisme yang mengalami pengembangan dan penajaman dalam aspek tertentu oleh Lenin –sehingga sering disebut Marxisme-Leninisme– yang kemudian mencapai bentuk paling ekstrim di tangan Joseph Stalin. Trotsky yang dianggap moderat dan lunak bahkan dicap reaksioner, disingkirkan. Dan dalam penerapannya di daratan Cina oleh Mao Zedong, komunisme mendapat bentuk yang tak kalah kerasnya. Dan seperti halnya dengan cara-cara Stalin dalam menegakkan kekuasaan komunisme di Rusia, komunis Cina di bawah Mao menghalalkan segala cara demi tujuan, tak terkecuali melakukan eliminasi atau pembunuhan-pembunuhan terhadap mereka yang menghalangi pencapaian tujuan itu.

Rusia yang bergolak karena kepincangan ekonomi yang membuat kaum pekerja hidup penuh kesengsaraan –seperti umumnya seluruh Eropah yang resah kala itu– merupakan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya komunisme. Ketika Revolusi 1905 pecah di Rusia, Lenin (1870-1924) sendiri sebenarnya cukup kaget dan tak pernah menduganya, dan ia memang tak berperanan dalam proses menuju revolusi saat itu. Proses menuju Revolusi 1905, lebih banyak terinspirasi dan terdorong oleh Mikhail Bakunin yang untuk sebagian sempat hidup sezaman dengan Karl Marx, maupun oleh gerakan politik yang dikenal sebagai Partai Revolusioner Sosialis yang samasekali tidak menganut Marxisme. Bakunin adalah seorang bangsawan Rusia yang membelot, keluar dari Pasukan Pengawal Tzar karena tidak menyetujui oktokrasi kekaisaran Rusia, dan terlibat beberapa pemberontakan melawan kekuasaan otokrasi di Eropah selain otokrasi Rusia sendiri sampai akhirnya di buang ke Siberia.

Tatkala Bakunin yang rontok seluruh gigi depannya di Siberia, berhasil lolos di tahun 1861, ia melarikan diri ke London. Lima tahun kemudian sempat bergabung dengan kelompok Marxis namun kerap terlibat pertentangan pendapat dengan Karl Marx, sehingga akhirnya keluar dari kelompok itu. Bakunin yang dianggap Marx sebagai maniak gila, mengajarkan kekerasan yang ekstrim sebagai alat utama kaum revolusioner, karena menurutnya kekerasan adalah alat kreatif yang ampuh. Pada tahun 1890 ia sudah memiliki ribuan pengikut dari kalangan bawah yang digambarkannya sebagai ‘primitif’ yang bagaikan bah lumpur akan menggempur dan menghancurkan musuh, yakni kaum burjuis. Sementara itu Partai Revolusioner Sosialis yang muncul tahun 1900, yang untuk sebagian terinspirasi oleh jalan anarki dan kekerasan ala Bakunin, memilih teror dan kekerasan sebagai senjata perjuangan. Sejumlah gubernur, menteri dan tokoh-tokoh kekuasaan Kekaisaran Rusia menjadi korban pembunuhan yang berpuncak pada pemboman yang menewaskan pemimpin pemerintahan dari wangsa Romanov, Sergius Alexandrovitch Romanov. Pelaku pembunuhan, seorang muda yang bernama Kaliayev, dengan lantang menyebutkan dirinya di depan pengadilan sebagai ‘tangan pembalasan dendam rakyat’.

Berlanjut ke Bagian 2