Tag Archives: Presiden Soeharto

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (6)

“PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan”. “…. menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya …. menyatakan bersedia melakukan dialog”.

SELAIN aksi ekstra parlementer KNPI, ada lagi satu tokoh demonstran yang paling banyak ‘menyedot’ perhatian, baik karena keunikannya, maupun karena keanehan dan  karena ‘menjengkelkan’ sekaligus. Laksus Pangkopkamtibda Jaya Brigjen GH Mantik sempat menumpahkan kejengkelan kepada tokoh demo yang bernama Julius Usman ini yang punya kelompok bernama ‘Angkatan Muda Oposisi’. Julius ini sangat terkenal sebagai tokoh ‘demonstran rutin’ dari tahun ke tahun. Jika gerakan-gerakan mahasiswa dan kaum muda lainnya oleh Laksus masih dilukiskan sebagai “masih dapat dimengerti”, ‘Angkatan Muda Oposisi’ sebaliknya dituduh beranggotakan oknum-oknum yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Laksus menganggap Julius dan kawan-kawannya “merupakan gerakan yang hanya latah dan ikut-ikutan saja”.

Tapi sebenarnya Julius tidak hanya berada di ‘Angkatan Muda Oposisi’, ia kerap bergabung pada berbagai gerakan lain. Dan setiap gerakan yang melibatkan Julius Usman, umumnya dapat dikategorikan mengandung ‘suspense’ dan banyak yang menganggapnya absurd, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan pergerakan mahasiswa sendiri. Sejak pertengahan Desember misalnya ada beberapa gerakan yang dilakukan Julius. Senin 10 Desember, Julius Usman dan kawan-kawan bersama Louis Wangge yang bergabung di bawah nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ mendemonstrasi Gedung Wisma Nusantara. Mereka memanjati gedung 30 tingkat itu untuk mencapai reklame Toyota dan berusaha menutupinya, tapi tak bisa. Maka mereka hanya mengibarkan bendera merah putih di sana. Sementara itu sekitar tiga puluh orang lainnya menyebarkan lembaran kertas pernyataan kepada para tamu dan karyawan di gedung itu. Mereka memperingatkan bahwa gedung bertingkat yang disebut sebagai gedung tertinggi di Indonesia –saat itu– dibangun dengan biaya pampasan perang Jepang. Menurut mereka adalah tak pantas gedung itu jadi benteng kebudayaan asing. Mereka memperingatkan pula bahaya terselubung dari modal asing, yaitu bisa menjadi penjajahan bentuk baru. Pada hari itu juga gerakan lain yang bernama ‘Generasi Pembayar Hutang Indonesia’ yang dipimpin pemuda bernama Herman melancarkan aksi corat-coret di gedung kantor perwakilan Toyota di Jalan Jenderal Sudirman. Semula mereka mau menurunkan reklame Toyota di puncak gedung itu, tapi batal karena persuasi seorang Jepang yang menjadi pimpinan harian di tempat itu, yang mengatakan bahwa sejak beberapa hari lampu reklame itu tidak dinyalakan. Seorang pejabat pemerintah kota juga ikut melarang reklame itu diturunkan.

Sebelum bergabung dengan Julius Usman, Louis Wangge yang juga adalah veteran 1966, sempat mendemonstrasi pemilihan ratu kecantikan Indonesia di Hotel Indonesia, atas nama ‘Komite Anti Kemewahan’. Komite ini pula lah yang sempat menjadikan night club terkenal Latin Quarter sebagai sasaran ‘anti kemewahan’. Louis Wangge adalah satu diantara sedikit tokoh Angkatan 1966 yang ‘tersisa’ di’jalan’an, sementara banyak tokoh 1966 lainnya sudah berada dalam lingkaran kekuasaan ataupun telah menjadi elite Golkar maupun PDI dan PPP. Ketiga kekuatan politik ini bersama ABRI waktu itu bagaimanapun telah merupakan ‘sub sistem’ kehidupan politik dan kekuasaan negara, meskipun dengan kelas peranan yang berbeda.

Satu lagi gerakan Julius Usman atas nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’ dilakukan di bundaran Tugu Selamat Datang di depan Hotel Indonesia, bersama Buce Rumaruri dan sejumlah kawannya yang lain. Mereka menggelar spanduk dan poster. Salah satu diantaranya berbunyi “Di sini akan dibangun Badan Koordinasi Penjualan Negara”, sedang lainnya berbunyi “Oh Tuhan…. hukumlah para pemimpin kami yang korup”. Dua hari kemudian, Sabtu 22 Desember, ‘Komite Kebanggaan Nasional’ kembali beraksi. Kali ini mereka mendatangi rumah kediaman Direktur Utama Pertamina Mayjen Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung. Mereka bermaksud membacakan memorandum di sana. Tapi karena mereka datang pada pagi hari tepat pada jam kantor, Ibnu sudah tidak ada di rumah. Maka mereka hanya bisa mengacungkan poster yang berbunyi “Pengeluaran negara harus ada di dalam APBN” dan beberapa lainnya yang mengutik-ngutik praktek khusus dalam pengelolaan kekayaan negara, yang mestinya dibaca dan ‘diresponse’ Ibnu. Julius Usman dan kawan-kawan memang cerdik memilih sasaran.

Suatu gerakan yang dibuat untuk menakuti para cukong, dilancarkan pula dengan nama ‘Desember Hitam’ oleh mereka yang menyebutkan diri ‘Generasi Angkatan 66’. Aksi dilakukan di bundaran dekat Bank Indonesia Jalan Thamrin, mengibarkan bendera hitam sebagai tanda berkabung atas kemelut sosial politik yang menimpa Indonesia. Mereka membawa satu ‘daftar hitam’ yang berisi 18 nama cukong atau tokoh non pribumi yang mereka sebut sebagai petualang-petualang politik, penyelundup, tukang gusur tanah dan antek Jepang. Seraya itu mereka bertanya apakah perlu revolusi sosial terjadi? Dijawab sendiri oleh mereka “Mungkin saja terjadi revolusi sosial”. Jurus ‘Desember Hitam’ sempat juga menciutkan nyali para cukong, sehingga mereka sibuk melobi para sobat di kalangan kekuasaan dan keamanan. Beberapa dari mereka yang masuk daftar, diketahui sempat mengeluarkan dan menambah pos biaya pengamanan.

Gerakan-gerakan di Jakarta ini serupa dengan yang terjadi sebelumnya di Yogya minggu ketiga Desember, di sekitar Monumen 1 Maret, demonstrasi anti cukong, anti kemewahan dan anti judi dengan sasaran yang tertuju jelas kepada Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono penyelenggara Toto Koni Yogyakarta. Di Jakarta, saat itu memang hampir setiap hari terjadi demonstrasi, mulai dari yang masuk akal sampai kepada yang sering-sering tidak masuk akal dan menimbulkan pertanyaan apa maksud sebenarnya. Tetapi semua gerakan ini menyangkal anggapan bahwa gerakan-gerakan mereka sekedar latah-latahan atau mencari popularitas, apa lagi kalau dikatakan ‘ada udang di balik batu’. Desas desus tidak sedap tentang ekses memang juga ikut terdengar. Namun, apapun ceritanya, aksi-aksi yang terjadi di Jakarta menjalar pula ke kota-kota seperti Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan berbagai kota lainnya di tanah air. Mulai dari gerakan idealis ataukah yang bukan dan spesifik.

Adanya gerakan-gerakan yang tidak jelas dan terlalu mengada-ada, membuka pintu bagi penguasa militer untuk membuktikan bahwa aksi-aksi itu sudah tak bisa dipertanggungjawabkan lagi dan menjadi batu loncatan untuk mengeluarkan larangan berdemonstrasi bagi mahasiswa seluruhnya. Maka tak kurang kecurigaan bahwa beberapa gerakan ekstra parlementer memang direkayasa untuk menciptakan opini buruk bagi gerakan mahasiswa. Ini ibarat memasukkan kutu busuk dalam selimut. Tipu daya dan permainan intelejen yang saling menyilang mulai terjadi di latar belakang. Untuk mematahkan gerakan-gerakan mahasiswa, maupun sebaliknya untuk memicu, bahkan ditujukan kepada sesama kalangan kekuasaan dalam rangka penciptaan situasi sebagai akibat pertentangan internal yang sementara itu semakin meningkat.

Namun, bagaimana pun juga gerakan-gerakan mahasiswa tak terbendung lagi untuk segera menjadi gerakan besar yang ditopang oleh tampak lahiriah telah terkonsolidasinya kekuatan intra kampus, terutama antara Bandung dan Jakarta, yang diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi dari berbagai kota lainnya. Kendati pun masih terdapat nuansa perbedaan menyangkut ‘platform’ dan ‘tujuan’. Isyarat itu bermula dengan menggelindingnya demonstrasi langsung ke arah Soeharto di pekan terakhir Desember 1973 itu.

Akhirnya demonstrasi menggelinding ke arah Soeharto

PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan. Tetapi menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya, melalui komandan satuan pengawalan presiden, Kolonel Darsa, menyatakan bersedia melakukan dialog. Presiden Soeharto memutuskan untuk menerima para mahasiswa pada tanggal 11 Januari 1974.

Pertemuan itu, yang berlangsung di kantor Presiden, Bina Graha, serba dibatasi. Ada 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia yang hadir, namun hanya tiga orang wakil dari setiap dewan yang bisa masuk ke ruang pertemuan. Sejumlah besar mahasiswa lainnya yang datang mengantar rekan-rekan mereka hanya diperkenankan masuk sebatas ruang pers Bina Graha. Mereka ini umumnya adalah dari kontingen Bandung yang datang ke Jakarta dengan 5 minibus untuk mengantar delegasi DM-DM mereka. Kontingen ini dipimpin oleh Omay Komar Wiraatmadja bersama Iwan Abdurrahman, Hertog Saut dan Suprapto. Ketika dipersilahkan untuk duduk, mereka memilih duduk ramai-ramai di lantai ruangan. “Kita tidak biasa duduk di kursi enak”, ujar mereka. Sambil menunggu kawan-kawan mereka yang mengikuti pertemuan, mereka melontarkan berbagai ucapan dan sindiran. Di Jakarta ini, kata mereka, banyak penjara yang pagarnya sampai tiga meter, tapi isinya Istana. Di luar, terbiasa memenjarakan kebebasan berpendapat orang lain.

Dalam ruang pertemuan itu sendiri, para mahasiswa tidak membatasi kata-kata, tetap melontarkan pendapat dan pertanyaan yang tajam dan cukup terang-terangan kepada sang Presiden yang duduk di salah satu sisi meja rapat yang disusun berbentuk O, didampingi Sudharmono SH di samping kirinya. Hariman Siregar dari UI di kursi pertama di sudut siku-siku sisi kiri Sudharmono SH pada deretan pertama. Sementara di seberangnya di sudut siku-siku-siku samping kanan Presiden, duduk Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran. Presiden membuka acara pertemuan dengan langsung memberi kesempatan para delegasi dewan-dewan mahasiswa itu untuk berbicara. Setelah Hatta Albanik dan beberapa pimpinan DM lainnya mengacungkan tangan meminta kesempatan bicara, lalu dialog pun dimulai.

Ada yang bertanya, mengapa pidato-pidato Presiden banyak yang berbeda dengan fakta. Dan kemudian dengan terlebih dahulu ‘meminta maaf’ kepada Presiden, “Maaf kalau ada kata-kata saya yang menyinggung atau terlalu keras. Sebenarnya saya sudah mencoba memperhalus”, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik melontarkan pertanyaan dan pernyataan. Dan tetap saja, cukup tajam. “Pak Harto sering menganjur-anjurkan hidup sederhana, tapi banyak dari penguasa yang bertindak sebaliknya”, ujar Hatta. “Jadi seolah-olah wibawa pak Harto ditantang oleh bawahan sendiri”. Katanya tidak boleh pamer kekayaan, tapi nyatanya yang menumpuk kekayaan sangat banyak. “Ini kan membuat orang jadi munafik?”. Hatta menggugah pula keberanian Kepala Negara untuk bertindak kepada yang salah, betapa pun dekatnya hubungan pribadi mereka. Ia memperingatkan pula agar dalam masalah informasi dan laporan jangan sampai terulang pengalaman masa Soekarno.

Masih menyangkut bawahan, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta bertanya kepada Soeharto, bagaimana ia sebagai pimpinan bertindak atau tidak terhadap pembantunya yang juridis formal masih susah dibuktikan bersalah, tetapi sementara itu masyarakat sudah merasakan kesalahan itu ? Presiden tidak menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan berikut, dari Hariman Siregar Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, mengenai tindakan terhadap bawahan Presiden yang menyeleweng. “Kenapa bapak tidak tegas bertindak terhadap bawahan bapak?”. Pertanyaan ini dijawab Soeharto, “Ketegasan ada, kalau informasi positif. Tindakan bukan dilakukan untuk menjadikan yang bersangkutan jadi bandel, tapi bertujuan untuk mendidik”.

Tanya jawab antara Ketua Umum Dewan Mahasiswa Udayana, Mikail Tani Wangge, dengan Presiden, adalah satu di antara sekian tanya jawab yang menarik dalam pertemuan 11 Januari ini.

“Kenapa dialog ini diadakan tertutup?”, tanya Tani Wangge.

“Bukan karena tidak percaya”, jawab Presiden, “tapi untuk mencerminkan keadaan yang lebih akrab”. Lalu Presiden menambahkan kekuatirannya bahwa pemberitaan mengenai dialog ini –bila dilakukan terbuka– bisa simpang siur dan menjurus ke arah negatif.

“Dalam soal pemilihan Gubernur, kenapa DPRD belum bersidang tapi nama calon sudah ada”, tanya Tani Wangge mengenai masalah kursi Gubernur Bali yang lalu.

“Tidak demikian”, jawab Presiden seraya tersenyum.

“Kami jangan ditipu pak”, ujar Tani Wangge lagi, “pemilihan Gubernur telah ditentukan lebih dulu, bukan murni. Begitu juga penjualan tanah rakyat untuk pembangunan, bukan dengan rela tapi lantaran takut”.

“Sampai di mana batas-batas seseorang memiliki tanah ?”, tanya mahasiswa dari DM-IPB.

“Kalau seseorang memiliki tanah dengan melalui prosedur hukum, tidak bisa disalahkan”, jawab Presiden, “Yang harus kita koreksi, dari mana duitnya”.

Wakil dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta melontarkan serangkaian pertanyaan, apakah benar pemilihan gubernur-gubernur ditentukan oleh Opsus dan apakah pemerintah atau DPR tidak berfungsi dengan adanya Aspri ? “Dan kenapa Jenderal Soeharto tidak seberani zaman permulaan Orde Baru ?”.

Presiden kurang lebih menjawab, bahwa Aspri tidak dibenarkan main cukong-cukongan. “Dan saya akan mencari data mengenai hal itu”.

“Bagaimana tentang lembaga-lembaga yang tidak berfungsi ?”, demikian pertanyaan dari Dewan Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.

“Kita sedang usahakan untuk meluruskannya”, jawab Presiden.

Pertanyaan lain diajukan pula oleh DM-UI, mengenai permainan beberapa kalangan penguasa di kampus, misalnya melakukan intimidasi-intimidasi. Beberapa pertanyaan lain terpaksa diajukan secara tertulis oleh beberapa Dewan Mahasiswa yang tidak mendapat kesempatan berbicara karena waktu pertemuan yang dibatasi. Pertanyaan tertulis yang diajukan oleh para mahasiswa antara lain mengenai sepak terjang menyimpang dari beberapa tokoh, termasuk mengenai Ibu Negara Tien Soeharto. Selain itu, beberapa dari 35 Dewan Mahasiswa yang hadir, menyerahkan dua memorandum kepada Presiden.

Berlanjut ke Bagian 7

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (6)

“Disaat pucuk-pucuk pemerintahan kita senantiasa mengingatkan untuk hidup prihatin –guna menenggang perasaan rakyat banyak yang pada umumnya bertingkat penghidupan ekonomi rendah– dan bahkan selalu mendengung-dengungkan keadilan sebagai ethos, justru disaat itu pula di tubuh pemerintah terdapat sejumlah orang yang dengan semena-mena mempertontonkan lakon-lakon menusuk perasaan”. “Bukan hanya dari segi perbedaan tingkat kekayaan yang menyolok, tapi segi cara untuk mencapai kekayaan itu secara berlebih-lebihan dan tak wajar”.

Antara Jurang Sosial dan Keresahan Sosial

SETELAH terputus oleh jeda karena maraknya aksi protes krisis beras hingga menjelang akhir tahun 1972, pada bulan-bulan awal tahun 1973 sorotan terhadap praktek precukongan tetap bergulir. Bersamaan dengan mulai diadilinya kasus penyelundupan mobil Robby Cahyadi, menggelinding aneka polemik tentang praktek ‘penguasa jadi pengusaha’, serta sejumlah kritik-kritik yang memperingatkan makin melebarnya jurang sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Akan tetapi selama berbulan-bulan hingga Juli 1973, kritik-kritik ‘berhasil’ diredam oleh penguasa antara lain melalui berbagai gertakan dan kata-kata keras Kopkamtib, terutama dalam menghadapi Sidang Umum MPR Maret 1973 yang akan mengokohkan kembali kedudukan Soeharto dalam kekuasaan negara. Sikap ketat dan keras itu berkelanjutan hingga akhir Juli dan awal Agustus.

Menjelang perpindahan tahun, beberapa hari sebelum masuk ke tahun 1973, adalah Presiden Soeharto, berkali-kali di beberapa tempat, yang menanggapi berbagai kritik tentang ketidakadilan dengan mengatakan “Hanyalah mimpi, omong kosong dan menipu diri sendiri jika ada pemimpin yang menggembar-gemborkan masyarakat adil  dan makmur harus dilaksanakan sekarang juga”. Lalu kapan? Presiden menjawab “Kita baru akan mengecap masyarakat adil dan makmur jika kita sampai pada tahap industri yang didukung oleh pertanian”. Pernyataan Presiden itu semula amat mencengangkan.

Waktu itu, terbit sedikit tanda tanya, tingkat kemakmuran yang bagaimana, keadilan yang bagaimana yang sesungguhnya dimaksudkan Presiden Soeharto, sehingga bila ada yang mengatakan masyarakat adil makmur harus dilaksanakan sekarang juga, dianggap sebagai mimpi, omong kosong, menipu diri? Tapi dalam pidato kenegaraan tiga setengah jam sebelum akhir tahun melalui TVRI, Soeharto sedikit ‘memperjelas’ atau tepatnya ‘memperbaiki’ pernyataan-pernyataannya terdahulu. Dalam pidato itu Presiden menyatakan bahwa dalam pembangunan ekonomi sudah harus terwujud pula pembagian yang makin merata dari hasil pertumbuhan tersebut. Tegasnya, keadilan sudah harus diterapkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia menulis (7 Januari 1973), “Sekaligus ucapan ini menjernihkan duduk perkara, bahwa menurut penghayatan terakhir dari Presiden, cita-cita masyarakat adil makmur adalah pula sebuah azas, atau mungkin pula dapat disebut suatu way of life yang sejauh mungkin sudah harus diterapkan dalam segala tingkat kemakmuran yang telah dicapai”.

Dengan pengertian demikian, akan ‘terbuka mata’ untuk mengakui berlakunya semacam ironi. “Disaat pucuk-pucuk pemerintahan kita senantiasa mengingatkan untuk hidup prihatin –guna menenggang perasaan rakyat banyak yang pada umumnya bertingkat penghidupan ekonomi rendah– dan bahkan selalu mendengung-dengungkan keadilan sebagai ethos, justru disaat itu pula di tubuh pemerintah terdapat sejumlah orang yang dengan semena-mena mempertontonkan lakon-lakon menusuk perasaan”. Bukan hanya dari segi perbedaan tingkat kekayaan yang menyolok, tapi segi cara untuk mencapai kekayaan itu secara berlebih-lebihan dan tak wajar. Seandainya pula pada waktu yang sama masyarakat masih melihat adanya tindakan-tindakan terhadap yang tak wajar itu dalam kadar yang paling kurang adalah setimpal, maka masih ada sekedar pelipur lara yang berdaya untuk menahan laju frustrasi. “Justru di sinilah neraca miring”. Malahan, jika dari kalangan masyarakat terlalu banyak kritik dan protes terlontar maka kemarahanlah dan dampratanlah balasnya. Masih untung jika tidak segera dikaitkan dengan subversi dan yang semacamnya, digolongkan sebagai setan yang harus ditumpas, paling kurang dimatikan sama sekali semangatnya.

Adalah menarik bahwa sepekan lebih kemudian, Fraksi Karya Pembangunan di DPR melontarkan kecaman dalam pemandangan umum RAPBN melalui Ketua Fraksi Sugiharto. Fraksi Karya menyerukan agar praktek-praktek perangkapan jabatan negara dengan jabatan komersial segera diberantas. Menurut Fraksi tersebut, pola rangkap itu merupakan sumber dari korupsi, penyelewengan, disamping menurunkan wibawa pemerintah. Keterlibatan unsur-unsur pemerintahan langsung atau tidak langsung, secara perseorangan maupun instansi ke dalam kegiatan dunia usaha dikonstatir telah mengakibatkan gejala-gejala etatisme dan monopoli. Paling sedikit, berupa etatisme atau monopoli terselubung.

Dalam pada itu seorang yang berusia lanjut bernama Harbani yang menyebut dirinya sendiri sebagai ‘orang tua, sudah tak berguna’ datang ke Mingguan Mahasiswa Indonesia menyampaikan kekecewaan-kekecewaannya atas apa yang didengar dan dilihatnya pada masa-masa terakhir ini. Pak Harbani yang lebih tua dari angkatan ’45 mengatakan yang disebut-sebut koruptor itu sejenis dengan pencuri, perampok, penggedor, hanya beda tempatnya. Koruptor adanya di instansi-instansi pemerintahan. Sedang pencuri, perampok, penggedor, adanya dalam masyarakat umum. Nilai pribadi-pribadi koruptor-koruptor itu lebih rendah daripada pencuri, perampok, penggedor, penjambret. Mengapa lebih rendah? Terutama karena koruptor-koruptor itu mengkorup ‘kekayaan’ orang-orang miskin, sedang pencuri, perampok, penggedor, penjambret itu memilih korban orang kaya. Sang orang tua itu juga menggambarkan adanya kaum muda yang berasal dari keluarga-keluarga yang kurang atau tidak diasuh, dibimbing, dibina budi pekerti utama, terpengaruh oleh masyarakat penuh dengan koruptor-koruptor, penyelewengan-penyelewengan, penyelundupan, pemalsuan-pemalsuan dan segala sesuatu yang mengandung maksiat ini. Berarti anak-anak muda itu dijadikan korban. Sebenarnya melalui penyampaiannya di awal tahun 1973 itu sang orang tua bernama Harbani tersebut sedang mengingatkan terciptanya satu ‘bom waktu’ untuk masa depan.

Bagaikan menumpuk sekam, ganti berganti muncul pernyataan-pernyataan tidak puas dan berbagai tanda keresahan. Sepertinya estimate akhir tahun Bakin tentang akan meningkatnya keresahan di masyarakat dan akan adanya sedikit kegoncangan sedang mencari jalan untuk mewujud. Di hari Kamis 11 Januari 1973, satu delegasi yang membawakan suara 4 Dewan Mahasiswa Bandung –ITB, Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP– menuju Jakarta untuk menyampaikan pernyataan keresahan kepada DPR-RI, Kepala Kepolisian RI dan Menteri Penertiban Aparatur Negara Emil Salim. Sebagian dari sumber keresahan masih terkait dengan peristiwa-peristiwa yang tersisa dari tahun 1972. Ternyata, mereka hanya berhasil bertemu dengan pimpinan DPR. Kepada pers, 4 DM itu, yang untuk sebagian tokoh-tokohnya baru terpilih untuk periode 1973, menyatakan salah satu yang akan disampaikan adalah mengenai pembersihan aparatur negara. “Ini merupakan faktor penting, agar tidak terjadi lagi kasus-kasus penyimpangan seperti masalah Miniatur Indonesia Indah dan masalah salah urus beras”. Faktor lain yang menjadi sorotan adalah masalah kepastian hukum.

Kisah kesewenang-wenangan aparat dan para petugas pemerintah juga dapat diangkat dengan satu contoh dari Nganjuk. Mingguan Mahasiswa Indonesia awal Agustus melaporkan bahwa di sekitar lereng dan kaki Gunung Wilis, kecamatan Brebeg dan Sawahan yang termasuk kawasan kabupaten Nganjuk program Keluarga Berencana (KB) telah dijalankan secara tidak terpuji dan menakutkan rakyat. Para petugas KB mendatangi rumah-rumah penduduk dengan kawalan petugas-petugas berbaju hijau. Lalu mereka memaksa rakyat tani di sana untuk menjalankan Keluarga Berencana, baik dengan spiral maupun alat KB lainnya. Untuk melengkapi penderitaan dan penindasan, dengan pola yang serupa, petugas-petugas BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang dibentuk untuk membantu petani telah berubah juga menjadi monster baru di pedesaan. Petugas-petugas BUUD melakukan praktek beli paksa terhadap padi rakyat. Petugas Koramil, Polisi, Camat, Lurah dan Hansip bersama petugas BUUD datang beramai-ramai menggeledah rumah-rumah petani, memeriksa lumbung-lumbung. Bila mereka menemukan padi di dalam lumbung, dengan paksa mereka membelinya dengan harga di bawah pasaran. Jika pada waktu itu harga pasaran adalah Rp.32,50 per kilogram maka BUUD membeli hanya dengan harga Rp.26 per kilogram. Itu pun pembayarannya dilakukan dalam bentuk nota bon yang baru 15 hari kemudian bisa dicairkan. Para petugas itu menciptakan pula suatu peraturan baru. Bahwa barangsiapa memiliki padi lebih dari 1000 kilogram harus lapor ke kecamatan setiap minggu. Pemilik padi harus mempertanggungjawabkan jika jumlah padi mereka ternyata berkurang. Yang lebih parah ialah apa yang terjadi di sebelah utara kota Nganjuk yang tandus. Di sana petugas tidak mempedulikan apakah 1000 kilogram atau lebih atau kurang, pokoknya ada padi di lumbung petani diharuskan menjualnya ke BUUD. Petani-petani yang gemetaran melihat petugas pembeli datang dengan kawalan baju hijau dan camat yang galak, tak berdaya lagi. Padi mereka serahkan tanpa syarat lagi. Bisa diperkirakan bahwa nantinya akan terjadi keengganan petani untuk menanam padi lagi karena menghasilkan lebih banyak padi hanya akan mengundang celaka.

Dalam pada itu semangat mempercantik dan memperindah kota yang terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, ternyata juga tak kurang ‘memakan’ korban kalangan masyarakat kecil, seperti misalnya pedagang kaki lima. Memang betul seringkali para pedagang kaki lima itu sangat tidak tertib, tetapi dalam beberapa kasus penindakan para petugas sangat di luar batas manusiawi. Romo YB Mangunwijaya, seorang insinyur yang mengajar di Arsitektur Universitas Gajah Mada, mengomentari penyelesaian pedagang kaki lima dengan mengatakan “Mereka harus ditertibkan dan diberi konsekuensi tapi jangan diusir. Pengusiran terhadap mereka biasanya bahkan mendorong adanya anarki”.

Mengamati gejala di berbagai kota, terlihat bahwa berbalikan dengan ucapan-ucapan bagus yang dilontarkan, tujuan ‘membersihkan’ kota dari mereka yang kerap dikategorikan sampah masyarakat, lebih dominan daripada hasrat memberikan mereka kesempatan hidup yang lebih layak. Yang dimaksud di sini tak lain adalah para pedagang kaki lima, pedagang kecil di pasar-pasar, gelandangan dan tuna susila. Dalam beberapa segi, kalangan penguasa ibukota atau kota-kota besar lainnya di Indonesia masih bisa dianggap benar, bahwa pedagang-pedagang kaki lima mengganggu kebersihan kota dan bahkan kelancaran lalu lintas di bagian-bagian kota yang tertentu. Bahwa gelandangan, wanita tuna susila kelas murah, tidak baik untuk dipertontonkan. Bahwa pasar-pasar kota yang jorok, kotor dan sebagainya, harus dipermodern menuju gaya metropolitan, menjadi pasar-pasar bertingkat. Tapi apa daya, tulis mingguan tersebut, yang dilakukan adalah melikwidir manusianya, bukannya sumber-sumber keterbelakangan sosial ekonominya. Para pedagang kaki lima lebih kerap sekedar diusir dan tak diberi penampungan berupa lapangan nafkah baru. Daerah Bebas Becak diterapkan begitu saja tanpa persiapan yang matang tentang nasib selanjutnya dari mereka yang dipojokkan. Pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar yang dipermodern pada prakteknya  takkan mengecap kembali pasar modern yang selesai dibangun karena modal mereka memang belum sepadan dengan standar pasar modern itu. Gelandangan dan wanita tuna susila kelas murah diperlakukan bagai sampah, yaitu dijaring lalu dimasukkan ‘bak sampah’ yang berupa tempat-tempat penampungan dengan jaminan makan minum yang amat minim. Memang ada kenaikan GNP (Gross National Product) karena beberapa jenis ekspor meningkat. Tapi apa yang telah dicapai itu tak meresap dikenyam oleh mayoritas rakyat. “Salah satu sebabnya ialah bahwa tak sedikit kebijaksanaan elitis dijalankan oleh pemerintah yang lebih menguntungkan golongan berpunya daripada kebijakan yang berorientasi pemerataan kepada golongan terjepit”.

Kemungkinan apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya.  Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.

Berlanjut ke Bagian 7

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (2)

“Makin jauh dari kota makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota, bukan pemikiran, tetapi kekuatan yang berbicara”. “Tentulah tidak salah mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”.

PERTANYAAN mengenai eksistensi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mendapat jawaban agak luas dan panjang dari Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, lengkap dengan gambaran tentang ‘hubungan buruk’ dirinya dengan sejumlah Aspri Presiden. Adalah memang, para mahasiswa dalam pertemuan itu cukup mempersoalkan eksistensi Kopkamtib. Paulus Tamzil dari Universitas Padjadjaran misalnya mengatakan “Wewenang Pangkopkamtib sekarang ini tidak jelas. Bukan saja tidak jelas bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga tidak jelas bagi kalangan pemerintah di daerah-daerah”. Lalu dari DM-ITB muncul pernyataan bahwa waktu ini ada semacam kecurigaan dari mahasiswa terhadap Kopkamtib, demikian juga terhadap Jenderal Soemitro sendiri.

“Curiga sifat azasi manusia”, jawab Soemitro, “tapi kecurigaan tak boleh dikembangkan menjadi permusuhan, karena pada dasarnya kami tak ingin memusuhi orang lain dan saudara pun pada dasarnya tak mau memusuhi orang lain. Curiga, biasa”. Mengenai eksistensi Kopkamtib, sang jenderal berkata “Ada pepatah mengatakan ‘Bukan aku memilih yang baik, yang baiklah memilih aku’. Apakah Kopkamtib perlu, apa tidak, bukan urusan Soemitro, silahkan masyarakat yang menilai. Kalau tak perlu Kopkamtib, hak masyarakat lah, hak masyarakat yang disalurkan melalui konstitusi, tatakrama yang bersumber dari konstitusi. Dus, saya tak akan membela Kopkamtib. Kalau Kopkamtib dibubarkan, lalu Soemitro sakit hati? Seneng malah. Capek”. Ia menyebutkan pula bahwa Kopkamtib menyebabkan adanya wibawa ‘atribut-atribut’ (institusi) yang lain. “Penggunaan otoritas Pangkopkamtib itu adalah last resolve, pemecahan terakhir. Apabila ‘atribut’ yang lain sudah dapat mengatasi masalah yang ada, Pangkopkamtib tak usah menonjolkan diri. Tutwuri handayani, itu bahasa Jawa yang saya sendiri tak tahu artinya. Itu bahasa Jawa Tengah”.

Sejumlah pertanyaan mengenai masalah sensitif lainnya, menyangkut Aspri, juga diajukan. Mahasiswa sendiri menilai bahwa Aspri-aspri Presiden juga punya fungsi yang tak kalah kaburnya, tapi dengan kekuasaan yang begitu besarnya. Termasuk, dalam urusan-urusan kegiatan ekonomi. Lalu serentetan dengan itu, kepada Soemitro juga ditanyakan “Apakah pak Mitro berambisi untuk menjadi Presiden ?”. Pertanyaan ini dilontarkan Paulus Tamzil yang bertubuh tinggi besar dan bersuara keras nyaring. Lontaran pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh apa yang diucapkan oleh Jenderal Soemitro sendiri beberapa waktu sebelumnya mengenai yang disebutnya sebagai ‘pola kepemimpinan nasional baru’ (Semula ia menggunakan terminologi ‘pola kepemimpinan sosial baru’).

“Jangankan di Indonesia, negara yang sudah maju pun mengenal Aspri. Apalagi sesuatu pemerintahan yang timbul karena sesuatu peristiwa”, ujar Jenderal Soemitro. Tentang ambisi menjadi Presiden? “Masalah ini, semenjak tahun enam puluhan banyak pusat-pusat kebatinan meramalkan. Tapi anehnya, di sini menyebut calon Presiden itu Soemitro, di sana calon Presiden adalah Ali Moertopo, di sana calon Presiden pak Widjojo”, Soemitro menjawab. “Mengenai masalah Presiden, bukan mau tak mau. Kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”. Pertanyaan mahasiswa dan jawaban yang diberikan Jenderal Soemitro terhadap masalah ambisi menjadi Presiden ini dan kemudian penonjolannya dalam pemberitaan Mingguan Mahasiswa Indonesia, ternyata menjadi catatan tersendiri bagi rival-rival dalam kekuasaan. Suatu telaah dilakukan dan disampaikan kepada Presiden Soeharto dengan beberapa arah kesimpulan. Khusus bagi mingguan dari Bandung itu, rangkaian pemberitaannya tentang kepemimpinan nasional itu yang dilanjutkan dengan berita dan analisanya mengenai pertarungan tingkat tinggi di kalangan  kekuasaan pada edisi akhir 1973 dan awal 1974, menjadi salah satu alasan untuk pembreidelan.

Secara khusus, Jenderal yang memimpin lembaga ekstra yang sangat berkuasa itu, meminta kepada para mahasiswa agar jangan menggunakan istilah penguasa. Penguasa adalah istilah kolonial, “Saya dan kawan-kawan  di sini ingin menghilangkan istilah penguasa”, ujarnya lagi. “Kami bukan penguasa, kami bukan haus kekuasaan. Kami sekedar menjalankan tugas”. Dan menambahkan “Masalah takut tak perlu ada. Kepemimpinan yang dikembangkan di atas rasa takut itu tidak langgeng, tak abadi”.

Lalu pemerintahan yang sekarang ini, apakah juga dalam beberapa hal tidak berjalan di atas ketakutan rakyat? Pembicara dari DM Universitas Padjadjaran menyampaikan, yang menjadi masalah adalah “bagaimana rakyat bisa merasa bahagia di Klaten, di mana untuk monumen perjuangan 45 beberapa petani dikorbankan tanahnya, dipaksa untuk menjual tanahnya 500 rupiah per meter persegi ?”. Dan kalau dikatakan ada kebebasan berbicara, jelas tak ada kebebasan berbicara. “Saya kagum, pak Mitro begitu terbuka di sini, tapi adalah suatu kenyataan yang pasti juga bapak ketahui, tapi tidak dikemukakan, yaitu makin jauh dari kota makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota, bukan pemikiran, tetapi kekuatan yang berbicara”. Untuk ini, seorang pembicara dari DM-IPB (Institut Pertanian Bogor) mencetuskan perlunya memperhatikan masalah komunikasi sosial, bukan di pusat saja tetapi hingga tingkat terendah.

Menjawab segala pernyataan, Jenderal Soemitro menyampaikan ajakan untuk menjalankan komunikasi yang lebih baik. “Mudah-mudahan dalam pertemuan berikutnya saudara-saudara tidak marah-marah”. Setelah pertemuan, Komaruddin dari ITB mengakui, komunikasi memang tampaknya telah terjalin. “Tapi kalau mau berbicara tentang titik temu, barangkali pertemuan-pertemuan seperti ini masih harus dilakukan puluhan atau bahkan ratusan kali. Pada waktu ini, dengan kemantapannya Pangkopkamtib ‘berhasil’ juga menjadikan mahasiswa sebagai ‘anak bawang’. Namun harus diingat, bau dan kelenjar dari bawang bisa membuat orang mencucurkan air mata pedih, bukan sedih”. Ia memperingatkan agar mahasiswa menarik pelajaran dari pertemuan semacam ini, pertemuan yang salah satu targetnya adalah memberi jalan pelepasan emosi kaum muda. Dalam istilah Paulus Tamzil, sebagai keran sebuah bak yang yang hampir melimpah. Dan bila itu benar, emosi mahasiswa lah yang jadi airnya. Karena keran dibuka, tekanan air pada dinding bak menjadi berkurang. “Karena itu, terhanyutnya sebagian hadirin pada pertemuan tersebut, dapatlah dikatakan sebagai keberhasilan beliau. Tentu saja ini menguntungkan Kopkamtib”, ujar Komaruddin. Merasa cukup puas atas hasil pertemuan itu boleh saja, ujarnya, “Tetapi untuk lantas bersalaman dan menutup buku perjuangan, sebaiknya jangan”. Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan secara konkrit, bukan sekedar dengan omong-omong.

Yogyakarta mendapat giliran dikunjungi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sepuluh hari kemudian, Senin 12 Nopember 1973. Mengenai pertemuan Soemitro dengan mahasiswa Jawa Tengah dan Yogya itu di gedung BPA (Balai Pertemuan Agung), Mingguan Mahasiswa Indonesia, menurunkan laporan berdasarkan kontribusi mahasiswa Universitas Gajah Mada, Mahadi Sinambela, yang sebelumnya pernah menulis mengenai gejolak pembaharuan di tubuh HMI Yogya secara serial untuk mingguan Bandung itu.

Suara mahasiswa Yogya dalam pertemuan itu dilaporkan cukup lumayan. Mereka memulai dengan satu persoalan mendasar tentang eksistensi Kopkamtib. Mahasiswa Yogya mengakui fakta kehadiran Kopkamtib, meskipun hati nurani mereka tidak menerima. Mereka menganggap kekuasaan lembaga ekstra itu terlalu berlebihan, bahkan menjadi kekuasaan kedua setelah lembaga kepresidenan. Lalu pada forum itu, mahasiswa Yogya menolak eksistensi Kopkamtib dan “memohon dengan kerendahan hati agar lembaga inkonstitusional itu dibubarkan”. Ini semua bukan lahir dari hasrat mendongkel, melainkan sekedar untuk memfungsikan lembaga yang ada. “Apa guna polisi, kalau Kopkamtib masih ada ?”.

Dalam pertemuan yang berlangsung tujuh setengah jam ini, sedikit berbeda dengan mahasiswa Yogya, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah banyak menggunakan waktu pertemuan untuk mengadukan bermacam-macam persoalan kepada Panglima Kopkamtib. Mulai dari soal pupuk, tentang tanah sampai kepada berbagai persoalan universitas swasta. Walaupun, ada juga di antara mereka yang menunjukkan isyarat keinginan untuk membubarkan Kopkamtib. Dengan ungkapan-ungkapan ‘khas’ Mahadi menulis “Rupanya mahasiswa Jawa Tengah menganggap Kopkamtib semacam miniatur Republik ini. Kita khawatir jadinya, jangan-jangan Kopkamtib ini adalah semacam PPO (Pak Pung Oil) si raja minyak angin, yang mampu mengobati segala macam penyakit, tetapi tak berfungsi khusus untuk satu macam penyakit”. Dengan menyebut pertemuan itu sebagai ‘bull session’ –yang arti harfiahnya sidang sapi– Mahadi menggambarkan “tapi lumayan, mereka toh bersuara, mahasiswa Jawa Tengah bagai sapi menguak karena kehausan, sedang mahasiswa Yogya menguak bagaikan sapi yang ketakutan”.

Tapi bagaimana pun dalam pertemuan itu tetap muncul sejumlah pertanyaan tajam. Hanya, jawaban yang diberikan Jenderal Soemitro dalam bull session itu banyak yang tidak menyentuh pokok persoalan sebagaimana yang dikehendaki para mahasiswa. Panglima Kopkamtib banyak lari ke GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai alat penangkis lain yang telah ‘baku’. Padahal, menurut para mahasiswa, masalah kita bukan terletak pada kesalahan GBHN atau Pelita, melainkan terutama pada sikap mental manusia yang sedang mengemudikan GBHN dan Pelita tersebut. “Yang menjadi permasalahan, kenapa para pelaksana pembangunan kurang bisa mengerti kehendak rakyat”. Suatu hal yang menarik di antara jawaban Jenderal Soemitro, ialah tentang akan adanya perobahan kepemimpinan. Yaitu dari kepemimpinan yang otoriter kepada kepemimpinan sosial yang demokratis. Dengan demikian secara tidak langsung kepemimpinan yang ada sekarang diakui Jenderal Soemitro sebagai kepemimpinan yang otoriter. “Tentulah tidak salah mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”. Tapi yang tidak jelas bagi para mahasiswa, bagaimana proses perubahan kepemimpinan tersebut. Apakah kepemimpinan yang ada sekarang masih terpakai melalui adaptasi, atau sama sekali disingkirkan?

Meskipun tidak ada yang menanyakan pada forum tersebut, Jenderal Soemitro tetap memaparkan seputar kabar mengenai keinginannya menjadi Presiden, mengulangi apa yang pernah disampaikannya di Bandung. Bagi Soemitro, menurut laporan dari Yogya itu, komunikasi dengan mahasiswa merupakan alternatif baru yang tumbuh. Memang terasa betapa kecenderungan para mahasiswa melakukan gerakan ekstra parlementer sangat tinggi waktu itu, dan mungkin pada waktunya tak dapat dibendung, hingga Jenderal Soemitro berniat membuka komunikasi baru sebagai katup pengaman.

Sementara itu di Jakarta, Jenderal Soemitro menolak undangan DM UI berkunjung ke kampus mereka –dan akhirnya Hariman Siregar cs lah yang berkunjung ke kantor Kopkamtib. Menurut Gurmilang Kartasasmita, alasan Soemitro adalah karena urusan kampus-kampus Jakarta telah diserahkan kepada Laksamana Soedomo. Tetapi menurut Hariman, “dia takut ke kampus UI”. Pertemuan pun sebatas beberapa klarifikasi, seperti rencana pentas ‘Mastodon’ Rendra di UI.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1)

‘Kesibukan’ Jenderal Soemitro

“Jika frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri”. “Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi suatu revolusi sosial ?”.

DUA PERSOALAN yang terpilih jadi pokok masalah yang diperdebatkan berkepanjangan di tingkat nasional di tahun 1970-an, khususnya pada 1973, adalah masalah rambut gondrong dan masalah penanaman modal asing di Indonesia dengan kadar kepekaan yang berbeda-beda. Bahkan dengan tingkat ketajaman persepsi yang berbeda-beda pula. Bagi para mahasiswa Bandung, kedua masalah itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam satu bingkai ‘persoalan’ hegemoni kekuasaan demi kekuasaan yang berhadapan dengan penegakan demokrasi dan keadilan bagi masyarakat.

Suatu pertanyaan yang menyentak dan mengandung alternatif, dilontarkan oleh Delegasi Mahasiswa ITB pada 15 Oktober 1973, kepada penguasa tatkala mendatangi pimpinan DPRD Jawa Barat. “Aksi kami bukan mau mendongkel kelompok penguasa seperti Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Jenderal Soemitro ataupun Tien Soeharto. Kami hanya mengingatkan ada dua alternatif bagi kami: Yang pertama adalah apatis dan yang kedua adalah berontak. Ini bukan ancaman, ada contoh-contoh seperti di Muangthai”. Waktu itu, PM Thanom Kittikachorn memang baru saja mengundurkan diri karena tak tahan tekanan demonstrasi dalam negeri.

Delegasi Mahasiswa yang umumnya berambut gondrong –antara lain Kemal Taruc, Hafiz Sawawi, Daryatmo, Henri Hutabarat dan delapan kawan mereka– datang membawa ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’ disamping sejumlah poster dengan tulisan yang pedas ditujukan kepada penguasa. Poster-poster itu mewakili tanggapan dan pikiran mereka terhadap berbagai permasalahan kekuasaan yang diperhadapkan kepada masyarakat. Poster-poster itu antara lain berbunyi ‘Modal asing untuk rakyat atau rakyat untuk modal asing?’, ‘Modal Asing memang Asyik! (Buat siapa?)’, ‘Seribu Yen ditanamkan, seribu Majalaya gulung tikar’. Ketiga poster itu, menyangkut pokok masalah penanaman modal asing yang menjadi dilematis bagi rakyat karena kekeliruan ‘kebijaksanaan’. Sedang dua poster berikut mengungkap aroma penyelewengan dalam bidang perminyakan yang menyengsarakan rakyat, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong pejabat digemukkan’, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong rakyat dikempiskan’. Dan poster ‘GNP naik, celana rakyat melorot’ mengandung kritik kepada kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan keadilan.

Masih ada lagi dua poster bernada tanya sebagai tanda kegetiran terhadap penegakan hukum dan keadilan, ‘Siapa mengatur negeri kami, Undang-undang atau selera?’ dan ‘Sesudah Sum Kuning, Rene, Martawibawa, siapa lagi?’ (Martawibawa adalah seorang tahanan kepolisian Metro Jaya yang mati dianiaya para pemeriksanya. Dan salah satu pelakunya adalah alumni Taruna Akabri Kepolisian, Bahar Muluk, yang pada 1970 juga ikut serta mengeroyok sampai mati mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad).

Sepekan sebelumnya Delegasi Mahasiswa ITB ini juga ke Jakarta membawa surat terbuka berisi beberapa pertanyaan mengenai tidak terkontrolnya modal asing. Lalu kepada pimpinan DPR-RI mereka pun sempat membacakan sajak tentang kerbau gemuk yang merupakan sindiran kearah penguasa. Sedang kepada DPRD Jawa Barat, melalui Ketua DPRD Rachmat Sulaeman dan Wakilnya Ir Hidayat, mereka menyampaikan ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’. Dalam surat cinta itu mereka menyatakan “Kekuasaan dan kekuatan telah menjelma menjadi hukum dan hukum sendiri telah banyak diperkosa untuk membenarkan ketidakadilan”. Seterusnya dengan getir mereka menggambarkan, “Dua puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan negeri ini, harapan akan cita-cita kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, sementara rakyat banyak memikul kesengsaraannya. Ekses-ekses yang timbul akibat penanaman modal asing yang tidak terkontrol, pemaksaan-pemaksaan kehendak dengan dalih demokrasi dan kesewenang-wenangan dengan dalih ketertiban hukum atau stabilitas nasional, tampaknya akan dibiarkan menjadi kebudayaan negeri ini oleh sekelompok kecil pejabat-pejabat yang secara kebetulan mempunyai kekuasaan dan kekuatan”.

Pada bulan September, Oktober dan November tahun 1973 itu sebenarnya terjadi pula peningkatan suhu politik dengan makin maraknya demonstrasi pemuda-pemudi Islam yang menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan dari peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara yang menurut isu itu adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).

Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban, pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat satu hari sebelum  memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah. Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu.

Setelah demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan kesenjangan sosial juga mulai terjadi, maka Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Laut Soedomo ikut angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27 September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan, setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Sementara Laksamana Soedomo sibuk dengan gertakan-gertakannya kepada generasi muda yang berekstra-parlementer, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro sibuk ber’safari’ dari kampus ke kampus, seolah-olah untuk ‘membayar’ utang-utang pernyataannya yang disebutkan oleh para mahasiswa sebagai sikap anti demokrasi. Pada pekan terakhir Oktober ia ke Surabaya bertemu 35 mahasiswa dari Badan Kerja Sama DM/SM se Surabaya, lalu juga ke Bandung dan Yogya.

Di Surabaya, Soemitro harus menjelaskan sikapnya mengenai rambut gondrong. Ia menyatakan tak pernah ada instruksi darinya tentang pemangkasan rambut gondrong. Bahwa penguasa tak menyukai rambut gondrong, memang benar. Dalam pertemuan di Surabaya itu Jenderal Soemitro mengaku ingin meyakinkan terus kepada anak-anak muda bahwa mode rambut panjang itu kurang sedap dipandang. Namun dengan gaya lunak ia lalu menyatakan “Tapi kalau yang mau diyakinkan itu tidak mau, ya tidak apa-apa”. Dan, “Anak saya sendiri rambutnya gondrong”.

Pertemuan yang sengit dan berlangsung blak-blakan terjadi pekan berikutnya, Jumat 2 Nopember, di Bandung. Terbagi atas dua sesi yang diantarai istirahat siang, untuk memberi kesempatan shalat Jumat, pertemuan seluruhnya berlangsung sekitar delapan jam. Dari pagi hingga sore. Para pimpinan mahasiswa se Bandung yang memenuhi Gedung Pertemuan PIAI (Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia) Jalan Surapati, dengan gencar melontarkan segala pernyataan dan kecaman terhadap ketidakberesan yang ada di Indonesia waktu itu. Sang Panglima Kopkamtib yang berbadan gemuk berwajah bulat itu, mendengar dan menjawab, namun selalu berusaha memperlihatkan keakraban sikap. Kepiawaian yang ditunjukkan Jenderal Soemitro digambarkan kemudian oleh Komaruddin, pejabat Ketua Umum DM ITB, secara tepat. “Senyumnya cukup ramah. Awal pembicaraannya dapat dikatakan relaks dan terbuka”. Lalu, “sebagian yang hadir berhasil dihanyutkan suasana yang mereka kira terbuka dan fair. Mengalirlah ‘beribu’ pengaduan, yang bisa diartikan bahwa sebagian pembicara secara tidak sadar mengakui eksistensi Kopkamtib. Walaupun, sebagian besar dari mereka sangat setuju bila Kopkamtib dibubarkan saja atau paling kurang dilembagakan kedudukannya hingga jelas status hukumnya”. Namun, kecuali sedikit cacad hanyutan itu, pertemuan itu secara menyeluruh sangat bertemperamen.

Adalah Hatta Albanik, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran, yang dengan terus terang menyatakan kesangsian akan dialog-dialog dengan kalangan penguasa. Apa ada gunanya ? “Saya agak enggan, sebab biasanya kalau kita bertemu dengan pejabat-pejabat dan bicara banyak, akhirnya seolah-olah menghadapi satu tembok pantul. Artinya, apa yang kita utarakan pada akhirnya memburu-buru kita sendiri. Kita mulai dihadapkan dengan cara dan sistim intimidasi dan sebagainya”. Menurut Hatta, sikap-sikap generasi tua yang sedang berkuasa banyak yang menyebabkan terjadinya frustrasi di kalangan generasi muda. “Demikian frustrasinya”, ujarnya, “Kita dihadapkan dengan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat para pejabat itu sendiri, yang kemudian dikontradiksikan dalam tingkah laku dari pejabat-pejabat itu sendiri. Satu contoh, pak Mitro sendiri mengatakan bahwa mahasiswa, generasi muda, sebaiknya jangan terlampau terpukau mempelajari buku-buku dari Barat dan jangan terlampau serius dengan apa yang diutarakan sarjana-sarjana dari Barat”. Tapi nyatanya, “pejabat-pejabat kita mengimpor nightclub, mengimpor steambath”. Hatta memperingatkan, jika frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri.

Seperti menyambung ucapan Hatta, sebuah pernyataan disampaikan kepada Jenderal Soemitro di forum tersebut, dari DM ITB. “Sangatlah mengkhawatirkan kalau untuk hampir  setiap pencetusan bentuk spontanitas kaum muda, penguasa menyediakan cap berbau vonnis yang memungkinkan timbulnya pelbagai bentuk frustrasi. Kami khawatir bentuk frustrasi yang disebabkan oleh hal tersebut akan membekas dalam jangka waktu yang relatif lama serta merusak idealisme mereka sebagai generasi penerus”.

Salah satu topik pertanyaan dan pernyataan yang banyak diutarakan dalam pertemuan itu adalah mengenai berbagai kepincangan sosial. “Pembangunan sekarang, dari luar memang kelihatan mentereng dengan mobil-mobil luks yang banyak, Rolls Royce dan sebagainya, di tengah-tengah kemelaratan rakyat. Banyak orang punya sawah berhektar-hektar, sedang banyak rakyat petani justru tak punya. Apakah itu tujuan pembangunan ?”, bunyinya suatu pernyataan yang bercampur pertanyaan. Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi suatu revolusi sosial ? Terhadap pernyataan seperti itu, Jenderal Soemitro mengakui bahwa memang “kurang dirasakan adanya social justice”. Dan “semakin dirasakan besarnya kontradiksi-kontradiksi sosial”. Tetapi secara umum mengenai kepincangan sosial, apalagi revolusi sosial, Soemitro menghindari untuk memberi jawaban atau pernyataan. Ia hanya mengakui adanya ketidakadilan sosial itu dengan kata-kata yang bersifat umum. Ia pun mengakui adanya kontradiksi-kontradiksi sosial dan adanya masalah pengangguran. Masalah ketiadaan lapangan kerja, diakuinya, menimbulkan frustrasi sosial. Pun tersirat sedikit pengakuan tentang adanya ekses-ekses beberapa penanaman modal asing, tatkala menjawab seorang mahasiswa yang menyinggung ekses penanaman modal Jepang. Menurut Jenderal Soemitro ada kebijaksanaan kredit yang diarahkan membantu usaha-usaha kecil. “Kita membantu golongan lemah agar ada usaha-usaha baru, yang padat karya”.

Berlanjut ke Bagian 2

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (5)

“Ia pun mengaku punya banyak teman di kalangan ABRI. Lalu ia melontarkan kalimat ‘Kalau saya sekarang ini ditahan, maka saya yakin bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, akan keluar lagi’. Ternyata justru ucapannya tersebut malah menyeret dirinya ke ruang interogasi. Ucapannya itu, yang juga diulangi dalam berita harian petang Sinar Harapan membuat Panglima Kodam VII Diponegoro Jenderal Widodo merasa tersinggung. Namun kemudian kelanjutan masalahnya menjadi tidak jelas lagi. Bandingkan dengan ‘keberanian’ berkata-kata dari Anggodo Wijoyo yang mengungkapkan kedekatannya dengan beberapa petinggi Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI di tahun 2009”.

TERLEPAS dari segala prasangka sosial, sesungguhnya memang benarlah berbahaya segala bentuk dominasi yang eksklusif, baik berdasarkan ras, kesukuan, provinsialisme maupun golongan. Tentu pola demikian dalam dunia usaha atau perekonomian adalah tak sehat.

Menurut Presiden Soeharto, kerjasama diantara golongan yang kerap dipertentangkan itu merupakan keharusan, walaupun masih merupakan tanda tanya bagaimana bentuk kerjasama itu nantinya diwujudkan. “Tanda tanya tentang perwujudan kerjasama pribumi dan non pribumi ini mengingatkan kita untuk memperhatikan satu gejala yang penting dipikirkan”. Gejala yang dimaksud adalah kecenderungan terjunnya sejumlah tokoh dari kalangan kekuasaan langsung atau tidak langsung ke dalam dunia usaha. Terjunnya mereka itu dalam prakteknya adalah berupa kerjasama dengan pengusaha swasta, sehingga terjadi pola perkawinan modal materil (dari swasta) dan penyediaan kesempatan-kesempatan istimewa (karena kekuasaan).

Pola ini amat cacad karena sifatnya membunuh persaingan yang wajar dan adil, dan yang terpenting karena ia berjalan menuju terciptanya embrio atau janin dari fasisme. Persekutuan tipe ini, apakah dengan swasta pribumi atau bukan pribumi, sama berbahayanya. Tapi baiklah pula tak menutup-nutupi kenyataan bahwa “kebetulan pada waktu ini persekutuan tersebut kebanyakan adalah dengan swasta non pribumi, apa yang selama ini populer sebagai sistem percukongan”. Hal ini menambah lagi perasaan tak adil bagi pihak lainnya. Diingatkan, agar yang dipertemukan dari kedua belah pihak adalah entrepreneur dengan entrepreneur dengan kesempatan fasilitas yang adil. “Bukan spekulan dengan penyalur fasilitas dan kesempatan istimewa”.

Pada waktu itu diperkirakan ada kurang lebih 5 juta orang WNI keturunan cina. Banyak diantara mereka sudah merupakan peranakan hasil perkawinan dengan pribumi atau etnis lainnya, dan tak dapat lagi berbahasa Tionghoa. Pada umumnya, setelah PP 10 di zaman Soekarno, mereka berdiam di kota-kota besar. Kebanyakan diantara mereka bergerak di bidang usaha dan perdagangan, lalu ada sedikit lainnya terjun ke bidang jasa menjadi dokter maupun bidang keahlian dan kesarjanaan lain. Sudah ratusan tahun keturunan cina ada bersama-sama dengan pribumi Indonesia, namun oleh berbagai faktor, misalnya di zaman penjajahan, integrasi keturunan cina dengan pribumi banyak terhambat.

Hingga tahun 1970-an itu –bahkan hingga kini– kesukaran utama adalah masih terdapatnya kalangan tertentu di kedua belah pihak yang saling berprasangka. Pada sekitar tahun-tahun itu prasangka pribumi versus non pribumi kembali meningkat dengan adanya isu percukongan dan perilaku ‘petualangan’ segelintir keturunan cina yang berkolusi dengan kalangan kekuasaan serta menonjolnya kekayaan mereka di tengah kemiskinan masyarakat pada umumnya. Hak yang sama mungkin berlaku hingga kini. Berbagai kisah ‘petualangan’ terbaru –sebut saja demikian, sesuai opini publik yang berlaku– seperti yang antara lain melibatkan nama-nama seperti Arthalita Suryani dalam kasus suap di Kejaksaan Agung, Anggoro dalam kasus PT Masaro, Anggodo dalam kasus cicak-buaya bersama Komjen Susno Duadji dan Robert Tantular dalam skandal Bank Century, menjadi bahan-bahan penyulut baru dalam ketegangan sosial-ekonomi masa kini.

Tak jarang pula perilaku, arogansi dan kedangkalan berpikir ataupun sekedar lidah yang tak terjaga –baik dari kelompok masyarakat pribumi maupun non pribumi– menjadi sumber masalah. Satu contoh, menyangkut pengusaha batik Keris yang bernama Tjokrosaputro, yang kebetulan warganegara keturunan cina namun berbahasa Jawa Sala yang sempurna. Di masa mulai bangkit dan gemilangnya kembali industri batik di sekitar tahun 1970-an, secara menonjol yang mampu muncul kembali adalah Perusahaan Batik Keris dan Perusahaan Batik Semar. Perusahaan Batik Keris telah menyelenggarakan sekurang-kurangnya dua pameran batik besar-besaran, yakni di Jakarta dan di Sala, yang dihadiri oleh Ibu Negara Tien Soeharto dan bahkan juga oleh Kepala Negara. Kemunculan Batik Keris dan Batik Semar menjadi saingan berat bagi sejumlah perusahaan batik lainnya, dan bagi perusahaan batik kecil malahan bukan sekedar saingan biasa melainkan disebut “calon pencabut nyawa”. Ini terutama setelah terlihat usaha kuat dari perusahaan besar itu untuk menguasai bahan baku industri batik.

Tatkala suatu tim peninjau dari DPR datang ke Jawa Tengah, kepada tim tersebut banyak disampaikan keluhan. Di Jakarta anggota DPR Jakob Tobing (yang waktu itu masih anggota Fraksi Karya, Golkar, dan Ketua Komisi VI DPR bidang Industri, Pertambangan dan Penanaman Modal) dan kawan-kawan, sewaktu memberikan penjelasan (4 September 1972) atas usul pernyataan pendapat tentang ‘penyelamatan dan pengembangan industri dalam negeri’, juga menyinggung masalah batik tersebut. “Kami perlu mengingatkan kita sekalian akan laporan-laporan komisi-komisi DPR pada peninjauan di Jawa Tengah, khususnya mengenai dikuasainya bahan-bahan baku batik oleh ‘Keris’ dan ‘Semar’ di Sala dan sekitarnya yang mengakibatkan melonjaknya harga bahan baku dan terdesaknya perusahaan-perusahaan batik yang lebih lemah”.

Komisi  DPR yang membidangi industri, tempat Jakob Tobing, memang banyak menampung keluhan tentang kepincangan antara kelompok ekonomi lemah dengan ekonomi kuat. Jakob Tobing dan kawan-kawan mendapat pemberitaan luas dari pers tatkala mengajukan sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang menyangkut kebijakan dan strategi pembangunan pemerintah dalam suatu momen yang tepat. Adalah Jakob Tobing yang pada mulanya, 16 Juni 1972, mengajukan kepada pimpinan DPR cikal bakal pernyataan pendapat mengenai penyelamatan dan pengembangan industri dalam negeri. Jakob menyampaikan agar pola hubungan pribumi dan non pribumi harus diberikan ‘keserasian’ dalam perlakuan dan penanganan pemerintah, karena “pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah dan memerlukan pembinaan”. Usulan Jakob yang muncul disaat makin menajamnya sorotan tentang masalah percukongan ini mendapat dukungan dari 38 anggota DPR, sehingga bisa ditingkatkan untuk dibahas di forum persidangan DPR di awal September 1972 itu. Selain itu, dukungan pers tampaknya cukup berperanan. Pers menyebutkannya sebagai “Pernyataan Jakob Tobing dan kawan-kawan”.

Pernyataan itu sekaligus membuka wacana bahwa pembangunan harus juga memperhatikan pemerataan, dengan memperluas basis pembangunan melalui pelibatan perorangan serta usaha kecil dan menengah, disamping mengejar pertumbuhan. Jakob Tobing juga memperkenalkan istilah “golongan ekonomi lemah” untuk menamakan kelompok ekonomi lemah yang pada umumnya pribumi, agar tidak terjadi suasana rasialistis. Suara para anggota DPR waktu itu, memang bisa cukup menarik diamati, karena berkali-kali terdengar gema yang vokal –kendati secara menyeluruh DPR kerap dikritik dan dianggap lemah oleh para mahasiswa– terutama yang disuarakan oleh mereka yang dikenal pernah ikut dalam perjuangan mahasiswa, baik yang di Fraksi Karya maupun yang di Fraksi partai-partai (PDI dan PPP). Beberapa cendekiawan yang duduk di DPR saat itu juga masih sering terdengar melontarkan pikiran yang jernih dan segar. Para menteri kabinet tidak berani meremehkan beberapa komisi tertentu di DPR, karena bila berbicara dengan kata-kata tidak pasti seperti “saya kira” ia akan segera disergah dengan kecaman agar bicara yang pasti dan jelas. Tapi Kepala Bulog Achmad Tirtosudiro toh pernah juga berhasil ‘mengendalikan’ salah satu Komisi DPR dengan bantuan Ketua Komisi Rachmat Muljomiseno dalam hearing mengenai kegagalan distribusi beras, meski kemudian mendapat kecaman keras internal DPR sendiri.

Mungkin karena ‘kesuksesannya’ menguasai medan yang terlihat menonjol dan hasrat ‘monopoli’nya, maka pengusaha batik Keris Tjokrosaputro itu lalu menjadi pusat perhatian dan mulai dikutik sejarah lampaunya sebagai anggota Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang merupakan organisasi kaum keturunan cina yang dianggap onderbouw PKI, di tahun 1965.

Sejumlah surat kabar di ibukota memberitakan bahwa sebenarnya Tjokrosaputro sudah dipanggil sejak bulan Juni terkait dengan keanggotaannya di Baperki. Namun untuk urusan promosi batik ia berada di luar negeri pada sekitar bulan Juni itu. Setibanya kembali di tanah air ia masih sempat menyelanggarakan banyak pameran batik secara besar-besaran dan tidak diperiksa oleh yang berwajib. Namun pada awal Agustus dalam wawancaranya dengan Harian Merdeka di kamar hotel Sabang, Jakarta, ia membenarkan keanggotaannya di Baperki Sala. “Memang benar saya dulu anggota Baperki dan duduk di dalam pengurus cabang Sala”. Diceritakannya bahwa ia baru tiga bulan jadi anggota Baperki ketika Peristiwa G30S meletus. Katanya, selama menjadi anggota Baperki ia telah memberikan sumbangan yang cukup banyak untuk memajukan olahraga dan pendidikan di Sala. Sebelum menjadi Baperki konon menurut dia, dirinya memang dikenal sebagai tokoh politik. Tapi ia masuk Baperki bukan karena kecenderungan politik, melainkan karena kecenderungan untuk ikut gerakan sosial. “Sewaktu G30S pecah, saya tidak ditahan tapi ‘diamankan’ saja”. Sementara dalam tahanan, rumahnya dibakar rakyat. “Memang sudah banyak orang-orang yang tidak suka melihat kemajuan-kemajuan yang saya capai sekarang ini dan berusaha mengungkapkan keanggotaan saya di Baperki”. Tapi “saya tidak pernah kuatir”.

Ia pun mengaku punya banyak teman di kalangan ABRI. Lalu ia melontarkan kalimat “Kalau saya sekarang ini ditahan, maka saya yakin bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, akan keluar lagi”. Ternyata justru ucapannya tersebut malah menyeret dirinya ke ruang interogasi. Ucapannya itu, yang juga diulangi dalam berita harian petang Sinar Harapan membuat Panglima Kodam VII Diponegoro Jenderal Widodo merasa tersinggung. Namun kemudian kelanjutan masalahnya menjadi tidak jelas lagi. Bandingkan dengan ‘keberanian’ berkata-kata dari Anggodo Wijoyo yang mengungkapkan kedekatannya dengan beberapa petinggi Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI di tahun 2009.

Tapi sebenarnya ketidakmampuan mengendalikan lidah dan perilaku, bukan hanya monopoli Tjokrosaputro seorang maupun para cukong yang disorot dalam isu percukongan –yang belakangan lebih banyak disorot dengan menggunakan istilah yang lebih lunak dalam isu kesenjangan golongan ekonomi lemah dan golongan ekonomi kuat, dan sejauh mungkin mengurangi penggunaan istilah pri dan non pri  untuk menghilangkan kesan rasialistis.

Para jenderal pun ternyata bisa overacting, tak mampu mengendalikan diri dan larut dalam hasrat hidup mewah. Selain memiliki curiga (keris) yang merupakan simbol senjata, ada yang tak puas sebelum melengkapi syarat kaum pria lainnya seperti kukila (burung) untuk mengibaratkan fasilitas dan segala kenikmatan hidup lainnya, serta wanito (wanita) dalam artian sebenarnya.

Adalah Jenderal Purnawiran Abdul Harris Nasution, berkali-kali dalam bulan Mei 1973 menunjukkan kejengkelannya terhadap kehidupan bergelimang kemewahan dari sementara Jenderal. “Hidup bermewah-mewah tak serasi dengan kehidupan keprajuritan”, ujarnya  kepada pers, namun amat terbatas jumlah pers yang memberitakan ucapannya itu yang disampaikannya di Jakarta dan di Bandung. Dalam ceramahnya di Bandung ia mengingatkan pula, “pemerataan keadilan sosial sudah  dapat dimulai sejak sekarang, tak usah menunggu sampai makmur dulu”. Meski tak menyebutkan nama-nama jenderal yang ditudingnya, tapi umumnya orang dapat membenarkan apa yang dikatakan Nasution. Di Jakarta misalnya, dengan mudah masyarakat menemukan deretan rumah mewah bagaikan istana dengan beberapa biji mobil mewah di halamannya, yang kebetulan pemiliknya adalah jenderal-jenderal.

Dan kemudian adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyebutkan beberapa nama jenderal yang tergolong kaya raya waktu itu. “Pada waktu ini, memang amat banyak perusahaan yang diatur oleh kalangan tentara, semisal PT Tri Usaha Bhakti dan sebagainya”, tulis koran yang diasuh para mahasiswa Bandung itu. “Tentu tak mengherankan kalau menaksir umpamanya Brigadir Jenderal Sofjar sebagai Jenderal yang berpenghasilan tinggi, mengingat bahwa bekas Ketua Umum Kadin Pusat ini duduk dalam beberapa perusahaan swasta bermodal kuat seperti perusahaan penerbangan Seulawah dan Mandala, disamping menjadi Direktur Utama PT Garuda Mataram  yang mengassembling mobil VW (Volks Wagen) yang laris di negeri kita”.

Pun di Pertamina bukan hal yang mengherankan kalau terdapat jenderal-jenderal yang kaya raya. Mingguan itu menyebut nama Brigjen Pattiasina yang belum lama sebelumnya diberitakan pers mempersunting seorang penyanyi muda belia dan menghadiahkan untuk sang isteri sebuah rumah mewah berharga Rp.42 juta. Waktu itu, sebuah mobil sedan Jepang semacam Mazda atau Toyota berharga di bawah Rp. 3 juta per buah. (Namun berita perkawinan ini pernah dibantah, dan memang nyatanya sang jenderal kemudian ternyata memperisteri seorang gadis muda, juara kontes ratu kecantikan di Bandung, yang seusia dengan puterinya).

Satu lagi. “Tempo hari, disamping yang lain, juga ramai disorot Brigadir Jenderal Suhardiman yang memimpin PT Berdikari”. PT ini didirikan tahun 1966 untuk menangani penjalanan modal dan kekayaan eks PT Aslam, PT Karkam, PT Sinar Pagi dan beberapa perusahaan kalangan Istana Soekarno yang diambil alih penguasa baru. Di pertengahan tahun 1967 PT PP Berdikari sudah memiliki unit-unit usaha yang berbentuk PT juga, tak kurang dari 6 buah. Bidang geraknya antara lain perbankan, asuransi, pelayaran, ekspedisi muatan kapal, industri, produksi dan perkebunan.

Pada berbagai penerbitannya media generasi muda itu mengungkap pula beberapa nama lain dalam kalangan kekuasaan yang tergolong sebagai orang kaya. Dan akan senantiasa ditemukan betapa mereka yang berada dalam posisi-posisi penghasil dana, selalu ada kaitannya dengan jalur-jalur dan faksi-faksi yang berperan dalam kekuasaan. Adalah menarik bahwa tak jarang tokoh-tokoh penghasil dana ini bisa sekaligus punya jalinan dengan lebih dari satu faksi dalam kekuasaan. Dana memang penting bagi pemeliharaan kekuasaan dan merupakan satu ‘ideologi’ tersendiri.

Berlanjut ke Bagian 6

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (4)

“Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. “Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan”. “….‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau”.

TEGUH Sutantyo bukan satu-satunya nama yang dikaitkan dengan penguasa dalam mendulang keuntungan bisnis di masa-masa awal Orde Baru. Tercatat beberapa nama warga negara keturunan lainnya, seperti Nyoo Han Siang, Liem Soei Liong (belakangan memakai nama Indonesia, Sudono Salim), Yap Swie Kie yang bernama Indonesia Sutopo Yananto, Go Swie Kie dan Liem Haryanto. Go Swie Kie juga senantiasa dikaitkan namanya dengan Bulog. Pada bulan Desember 1972, dua perusahaan Go Swie Kie dicabut izin usahanya oleh Departemen Perdagangan, termasuk bersama dalam kelompok 31 perusahaan yang dicabut izinnya karena digolongkan sebagai perusahaan yang tidak beritikad baik. Tetapi Bulog mencoba mempertahankan kedua perusahaan yang bernama Fa Fardy dan CV Sumber Mas itu, dengan alasan “karena kedua perusahaan itu masih mempunyai perjanjian kontrak dengan Bulog”.

Pada bulan-bulan awal tahun 1971 di tengah-tengah kesibukan menjelang pemilihan umum, nama-nama itu mencuat sepak terjangnya melalui sebuah artikel di Bangkok Post yang terbit di ibukota Thailand, ditulis oleh Frank Hawkins wartawan Associated Press. Artikel itu mendapat sambutan oleh pers tanah air seperti Harian Nusantara, Harian Pedoman, Harian Kami, Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di ibukota serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sorotan-sorotan yang dilancarkan media pers nasional itu, senantiasa mendapat jawaban dan reaksi para cukong tersebut yang disalurkan terutama melalui sebuah harian ibukota yang dipimpin oleh tokoh pers BM Diah, Harian Merdeka. Sehingga terjadilah apa yang diistilahkan sebagai ‘perang percukongan Indonesia’.

‘Perang percukongan’ ini pecah setelah kekecewaan menumpuk oleh kegagalan berbagai upaya pemberantasan korupsi pada tahun 1970. Sepanjang tahun 1970 yang mengecewakan itu, terlihat betapa Komisi IV Wilopo-Hatta yang dibentuk untuk memerangi korupsi, ternyata memang betul-betul hanyalah macan ompong. Terlihat pula bahwa kekuatan kelompok korupsi dan kekuasaan mematahkan –mungkin lebih tepatnya tidak mengacuhkan– kritik-kritik dan gerakan anti korupsi yang dilancarkan generasi muda, terutama mahasiswa, kala itu.

Rangsangan pertama masalah percukongan terjadi tatkala satu titik sensitif teraba oleh Frank Hawkins dengan menghubung-hubungkan dua unsur ‘tenar’ Indonesia, yakni pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sering dijuluki cukong dengan kalangan tertentu di tubuh militer yang ada pada deretan para jenderal. “Penguasa tertentu telah bersatu kepentingan dengan cina-cina tertentu yang selama ini kita sebut cukong-cukong cina”, tulis salah satu pers Indonesia itu. Nyoo Han Siang, satu diantara para cukong itu, yang oleh Frank Hawkins disebut sebagai ‘perwira’ yang memimpin logistik Opsus, mendapat sorotan lanjut pers Indonesia. Nyoo menurut pers adalah seorang pengusaha cina Indonesia yang terkemuka di Jakarta, yang dikenal orang sebagai seorang ahli potret muda untuk suratkabar komunis yang terlarang Harian Rakjat. “Nyoo dikenal sebagai seorang  yang dekat pada beberapa Jenderal Angkatan Darat dan begitu kuatnya ia sehingga tidak mau tunduk pada tekanan-tekanan supaya ia memakai nama Indonesia seperti telah dilakukan oleh kebanyakan keturunan cina lainnya”.

Opsus yang disebut-sebutkan di sini adalah singkatan dari Operasi Khusus. Nama ini dilekatkan kepada suatu kelompok kerja berjaringan luas yang dibentuk oleh Jenderal Ali Murtopo yang karena sepak terjangnya kemudian dianggap sebagai suatu jaringan intelejens. Pada awalnya Opsus ini dibentuk untuk kepentingan khusus menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya yang telah dibebaskan dari tangan Belanda. Setelah Pepera, jaringan ini ternyata tetap eksis dan diketahui merambah ke mana-mana dan ikut menangani berbagai persoalan politik.

Untuk pembelaan, Nyoo Han Siang diwawancarai oleh Harian Merdeka (12 Pebruari 1971), konon di Hongkong. Merdeka bertanya “Sejak kapan saudara diangkat menjadi perwira logistik Opsus ?”. Nyoo menjawab “Ah, itu berita Nusantara yang mengutip Bangkok Post”. Nyoo mengatakan akan bangga sekali dan merasa terhormat sekali “seandainya saya benar telah diangkat… Akan tetapi mustahillah pemerintah atau Jenderal Ali Murtopo akan mempercayakan jabatan yang begitu penting itu kepada saya”. Ditanya mengenai persobatannya dengan para Jenderal, Nyoo menjawab santai “Usaha memelihara hubungan ini termasuk sebagai unsur  penting bagi para pengusaha”. Tentang percukongan, dengan cerdik ia menjawab “Ah, terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap isu-isu ini sangat memerosotkan martabat pejabat-pejabat Indonesia dan juga martabat pemerintah Indonesia di mata rakyat dan di mata luar negeri”. Sebelumnya ia pernah dikutip Majalah Ekspres berpendapat, “Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan. Ia beranggapan apa yang dikemukakannya itu sebagai suatu hal yang wajar. Sebaliknya ia menolak anggapan kedekatan dengan pejabat sama dengan perlindungan, apalagi suatu sharing kekuasaan. “Mustahil bisa terjadi”. ‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana besar yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau.

Nyoo merambah berbagai bidang usaha, tidak terkecuali dunia hiburan. Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama ‘Golden Gate yang berarti ‘gerbang emas’. Memiliki kelab malam kala itu sangat berkegunaan ‘taktis’, karena kelab malam yang lengkap dengan wanita-wanita cantiknya biasanya sangat ampuh dalam upaya memikat dan pendekatan ke berbagai kalangan, termasuk ke kalangan pejabat atau keluarganya.

Masih dengan melibatkan nama Ali Murtopo, adalah mengenai Yap Swie Kie alias Sutopo Jananto pemilik perusahaan bernama CV Berkat. Perusahaan Sutopo itu, dikabarkan semula didirikan oleh salah satu Aspri Presiden, Jenderal Ali Murtopo, sewaktu memimpin Opsus. CV Berkat dilukiskan menguasai sebagian besar impor dan ekspor, ke dalam dan dari Irian Barat (kini disebut Papua). Suatu usaha yang setiap tahunnya mencakup jumlah bernilai US$ 20,000,000. Kembali Harian Merdeka tampil membela seraya meluncurkan tuduhan “koran-koran ekstrim kanan sunglap fakta”. Merdeka memuat bantahan Sutopo Jananto yang menyebutkan angka omzet lebih rendah. Hanya US$ 6,000,000. bukan US$ 20,000,000. Selain itu, jatah bisnis di Irian Barat, ditangani pula oleh 5 perusahaan Jakarta lainnya di tambah 15 perusahaan setempat. Sutopo Jananto menolak kalau dikatakan CV Berkat lah satu-satunya perusahaan yang beroperasi di Irian Barat.

Satu perusahaan yang paling disorot pers –dan juga kaum kritis lainnya– adalah pabrik tepung terigu Bogasari di  pantai utara Jakarta bersisian dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Letak yang dekat Tanjung Priok ini karena pabrik ini menggunakan bahan baku gandum curah yang didatangkan dari Australia. Kapal-kapal pembawa gandum ini langsung merapat ke dermaga milik pabrik dan mencurahkan langsung gandum-gandum itu ke mulut rangkaian awal produksi. Pers menggambarkan PT Bogasari Flour Mill “milik beberapa orang Indonesia-cina, termasuk putera Liem Soei Liong yang baru berusia 25 tahun”. Yang dimaksud agaknya adalah Anthony Salim. Anggaran dasar perusahaan menyatakan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh harus diserahkan kepada Yayasan Dharma Putra Kostrad, suatu yayasan yang bernaung di bawah Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). PT Bogasari yang merupakan proyek Liem Soei Liong mendapat fasilitas dan pelayanan kredit sangat istimewa dari Bank Indonesia. Hampir 3 milyar rupiah –suatu angka cukup fantastis kala itu– padahal menurut penilaian Harian Nusantara saat itu PT Bogasari masih sangat sukar untuk dianggap serius bagi kualifikasi satu usaha yang bonafide.

Pers menggambarkan lebih jauh bahwa dalam akta pendirian Bogasari disebutkan 40 persen sisa keuntungan diperuntukkan bagi Yayasan Harapan Kita. Yayasan itu telah diketahui umum dikemudikan oleh kalangan-kalangan berpengaruh dalam pemerintahan dan pelindungnya adalah Nyonya Tien Suharto. Berita mengenai pembagian keuntungan 40 persen itu secara formal dibantah oleh pimpinan Yayasan Harapan Kita.

“Tidak benar isu-isu yang akhir-akhir ini dilancarkan seakan-akan dana kredit telah dibagikan secara sinterklas kepada apa yang dinamakan cukong-cukong”, kata Gubernur Bank Sentral Drs. Radius Prawiro dalam bantahan melalui TVRI. Sementara itu Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Widjojo Nitisastro menjelaskan bahwa suatu pengawasan yang ketat dalam penggunaan kredit luar negeri takkan memungkinkan lagi banyak pengusaha yang tak sehat, walaupun ia mempunyai banyak koneksi dengan pejabat-pejabat berwewenang. Jendral Alamsyah, Sekertaris Negara, ikut memberi komentar “Sistem katabellece untuk mendapatkan jatah-jatah sekarang ini tak berlaku lagi”. Terbukti kemudian bahwa sistem katabellece dan kolusi ternyata panjang umurnya.

Terhadap keterangan Radius, muncul tantangan dari komisi keuangan DPR-GR untuk membeberkan keterangan lengkap kepada siapa saja kredit-kredit diberikan. Mereka memberondongkan pertanyaan seperti “Dapatkah Gubernur Bank Sentral menyebutkan klasifikasi berapa persen dari perusahaan swasta itu adalah pribumi dan berapa persen cina?”. Dan “Dapatkah Gubernur Bank Sentral membantah pemberian kredit pada Liem Soei Liong dalam proyek PT Bogasari sebesar Rp 2,8 milyar?”. Bilangan milyar kala itu adalah bilangan yang fantastis bagi masyarakat, layaknya bilangan triliunan di masa kini.

Liem Soei Liong saat itu memang sedang menanjak sebagai bintang yang paling disorot. Meskipun sebenarnya, sepak terjangnya kala itu masih tergolong amat kecil dibandingkan masa-masa berikutnya, sejak 1975 selama lebih dari 20 tahun hingga saat kejatuhan Soeharto. Ia, pada awal 70-an itu terlibat dengan perdagangan tekstil 1 juta yard dengan pihak militer, serta berbagai bisnis fasilitas dari puluhan perusahaannya seperti PT Waringin dan lainnya. Profil Liem tak luput dibeberkan sampai detail-detail seperti tentang ibunya yang masih bermukim di Fukien daratan Cina RRC. Bahwa ia hingga tahun 1966 masih menolak kewarganegaraan RI dan mempertahankan kewarganegaraan RRC. Bahwa tahun 50-an ia termasuk tokoh terhormat (VIP) rezim Peking dan bahwa di Fukien ia mendirikan sekolah yang memakai namanya dan tetap dibiayainya selama bertahun-tahun. Kasus tekstil sejuta yard dikabarkan waktu itu akan dipersoalkan dalam salah satu rapat komisi Hankam/LN di DPR-GR. Liem Soei Liong dalam cerita percukongan tergambarkan sebagai orang hebat yang luas hubungannya dengan kalangan penguasa sampai level teratas, yakni Soeharto. Bangkok Post memberi contoh “Perusahaan penerbangan Seulawah, salah satu dari kedua perusahaan penerbangan yang dimiliki oleh Liem Soei Liong, dipimpin oleh Brigjen Sofjar”.

Panglima Daerah Militer Brawijaya Mayjen Wahono –yang belakangan setelah memasuki masa purnawirawan menjadi Ketua Umum Golkar 1988-1993 dengan Sekjen Rachmat Witoelar– pernah dikutip perkataannya “Siapa yang dapat menjamin bahwa cukong-isme bersih dari subversi? Tentara harus menjadi pelindung bagi pengusaha pribumi”. Pandangannya saat itu murni dari sudut pandang keamanan, sehingga berbeda dengan pandangan sejumlah rekan jenderalnya yang berbau komersial.

Masalah percukongan ini telah mengundang pula Kepala Bakin Mayjen Sutopo Juwono ikut berkomentar. Ia mengatakan percukongan punya dua aspek yakni ekonomi dan keamanan. Pemanfaatan secara maksimal modal domestik termasuk modal WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan cina “adalah suatu keharusan”. Usaha untuk mendorong kemampuan modal pribumi janganlah hendaknya dipertentangkan dengan kebijaksanaan pemanfaatan modal domestik semaksimal mungkin. Ia memperingatkan isu-isu percukongan yang akhir-akhir ini disebarkan oleh sementara surat kabar, dapat menggangu kemantapan ekonomi dan ketenangan masyarakat. “Jika saya membaca sementara surat kabar, saya diberi kesan seolah-olah aparat sekuriti kita sudah pada tidur semua. Dan yang bangun seakan-akan hanya beberapa orang penulis artikel maupun pojok-pojok harian-harian tersebut”, ucapnya dengan sinis kepada pers. “Saya pun tidak mengerti maksud sementara oknum yang menyatakan menunjang kepemimpinan nasional orde baru, tetapi dalam tulisan-tulisannya menimbulkan suasana yang bertentangan”.

Akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1972, di depan sidang pleno DPR, Soeharto menyebutkan “Jika golongan non pribumi sudah memilih Indonesia sebagai tanah air dan bangsanya, dan golongan pribumi telah menerima mereka sebagai bagian dari bangsanya, maka kerjasama antara kedua golongan ini merupakan suatu keharusan”. Seraya mengakui adanya ketidakselarasan dalam masyarakat sehingga ada kontradiksi golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah, Soeharto mengatakan sedang diteliti jalannya untuk mencapai keselarasan. Soeharto menganjurkan dalam rangka mencapai keselarasan itu hendaknya golongan non pribumi mau mengikutsertakan pengusaha pribumi sebagai co-partner. Dengan cara ini sekaligus proses asimilasi dapat diperlancar dan dipercepat. “Kiranya tidak ada golongan yang perlu merasa gelisah karena hal-hal yang saya kemukakan ini. Dan juga tidak perlu ada golongan lain mengharapkan yang bukan-bukan”.

Tanggapan Mingguan Mahasiswa Indonesia terhadap pidato kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus 1972 ini cukup menarik untuk dikutip. Mesti diakui, tulis mingguan tersebut dalam editorialnya, bahwasanya setiap kali segi pribumi dan non pribumi dimunculkan sebagai topik perdebatan, bagaimana pun berhati-hatinya, akan memberikan semacam perasaan agak lain, yang tak enak. Tiada lain karena memang penggunaan istilah kontroversial pribumi dan non pribumi adalah mengandung kepekaan-kepekaan. “Presiden mengharapkan agar kita semua melihat masalah ini dalam duduk persoalan yang wajar, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak dengan menyingkirkan sikap rasialistis”. Sesungguhnya memang bukan perbuatan yang layak untuk memperuncingnya karena ia mudah merembet-rembet menjadi suatu yang tak terkendalikan lagi, cukup dengan mengutik-ngutik salah satu mata rantainya. Bahayanya, bila hari ini membiarkan pengeksploatiran perbedaan ras misalnya maka besok akan menyusul lagi pengeksploatiran yang semacamnya. Apakah itu berdasarkan kesukuan, provinsialisme, perbedaan agama dan sebagainya yang selama ini senantiasa diusahakan untuk dikikis. “Ketegangan berdasar pembedaan semacam itu, patut diakui dijumpai dalam perekonomian atau dunia usaha. Suasana akan menjadi lebih tajam bila perbedaan itu dilembagakan sebagai pengelompokan sehingga nampak adanya dominasi sebagai kelompok”.

Berlanjut ke Bagian 5

Berbagai Kisah dari ‘Kegelapan’ Penegakan Hukum (2)

“Tidak mengherankan bila mahasiswa Bandung dan banyak kalangan masyarakat berkesimpulan bahwa peradilan di Mahkamah Militer ini memang digariskan sebagai misi penyelamatan perwira-perwira muda putera para jenderal dan kolonel (komisaris besar) polisi”.

Peradilan ‘penyelamatan putera para jenderal’

KETIKA para penguasa makin mendewakan senjata dan kekuatan, dan menularkannya kepada para calon perwira muda, jatuh korban di kalangan mahasiswa, Rene Louis Coenraad, dalam insiden Peristiwa 6 Oktober 1970 di depan kampus ITB. Sejumlah Taruna Akabri Kepolisian mengeroyok Rene usai kekalahan mereka dalam pertandingan sepakbola beberapa saat sebelumnya. Rene tertembak hingga tewas. Ironisnya, ini terjadi hanya sehari setelah Presiden Soeharto pada perayaan hari ABRI 5 Oktober menyerukan kepada para prajurit untuk tidak menyakiti hati rakyat. Seorang bintara dituduh sebagai pembunuhnya. Tapi bagi para mahasiswa ada keyakinan yang tertanam bahwa pembunuh sebenarnya ada di antara para calon perwira Angkatan 1970 itu, dan sang bintara hanyalah korban pengkambinghitaman untuk menyelamatkan ‘perwira masa depan’ itu. Untuk kesekian kalinya, kembali pembunuh yang sebenarnya dilindungi oleh kekuasaan. Pola perilaku kekuasaan ini sedikit banyak masih terasa jalinan benang merahnya hingga ke masa kini.

Janji Jenderal Soeharto (kala itu Presiden RI) dan Kepala Kepolisian RI –Jenderal Hoegeng Iman Santoso–  bahwa peristiwa 6 Oktober 1970 akan diselesaikan secara hukum, memang akhirnya dipenuhi. Tetapi tidak sebagaimana yang diharapkan kebanyakan orang. Bahkan, di sana-sini dua rangkaian peradilan Mahkamah Militer yang digelar di Bandung untuk kasus ini, mengandung kejutan dan membuat publik terperangah, meskipun sebenarnya sedikit banyak arah melenceng peradilan ini sudah bisa ditebak-tebak sejak awal berdasarkan isyarat yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan para petinggi polisi.

Peradilan pertama dengan terdakwa Brigadir Polisi Dua Djani Maman Surjaman, berlangsung pada bulan Desember 1970 hanya kurang lebih dua bulan setelah peristiwa. Melalui sidang Mahkamah Militer Priangan-Bogor yang marathon, sebelum akhir bulan Desember itu vonnis penjara 5 tahun 8 bulan pun telah jatuh. Kemudian dalam pengadilan banding Mahkamah Kepolisian Tinggi 13 April 1972, hukuman Djani Maman Surjaman, turun menjadi hukuman penjara 1 tahun 6 bulan atas “kealpaan” yang menyebabkan kematian Rene Louis Coenraad.  Bila peradilan bagi Maman berlangsung serba cepat, persidangan rangkaian kedua dengan terdakwa 8 eks Taruna yang sudah menjadi perwira aktif, berlangsung tahun 1973 dalam jangka waktu yang sedikit berlama-lama dan baru selesai pada tahun 1974 dengan hasil yang ‘menggembirakan’ bagi para perwira muda itu. Dan pada saat peradilan dengan terdakwa 8 perwira muda itu masih sedang berlangsung, Djani Maman Surjaman telah selesai menjalani hukuman dan kembali berdinas di kesatuan Brimob dan pada tahun 1974 awal telah berpangkat Pembantu Letnan II. Rupanya ada kompromi yang diberikan pimpinan Polri kepada Djani: Tidak dipecat dan masih bisa mengalami kenaikan pangkat.

Tuduhan terhadap Djani sebenarnya tidak ditopang oleh hampir seluruh kesaksian, baik dari kalangan mahasiswa, para anggota Brimob yang bertugas di sekitar tempat kejadian, anggota P2U maupun ahli forensik. Yang memberikan kesaksian memberatkan hanyalah para perwira mantan taruna. Dan diantara para mantan taruna itu hanya Nugroho Djajusman yang memberikan kesaksian bahwa Rene mati tertembak oleh senjata Carl Gustav yang dipegang Djani. Terdakwa Djani sendiri bersumpah “Saya yakin senjata saya tidak meletus…. Saya tak mendengar bunyi tembakan dan juga tak melihat asap dari senjata itu”. Dan bila sebelumnya, ada keterangan dari Dewan Mahasiswa ITB berdasarkan keterangan seorang dokter bahwa luka-luka bekas peluru di tubuh Rene berasal dari dua kaliber peluru yang berbeda, yaitu kaliber 36 (yang dihubungkan dengan Carl Gustav) serta kaliber 38 (yang berasal dari senjata laras pendek), maka dalam persidangan ini hanya dimajukan saksi ahli balistik yang mendefinitipkan bahwa luka-luka itu berasal dari satu laras yaitu Carl Gustav.

Permintaan pembela Adnan Buyung Nasution untuk memajukan saksi ahli balistik lain ditolak oleh Hakim Ketua AKBP Drs Sudjadi. Padahal kesaksian pembanding ini penting. Dengan menggali lebih jauh, akan lebih bisa dipastikan apakah lubang luka ditubuh Rene adalah akibat peluru Carl Gustav ataukah peluru senjata laras pendek 38 yang menurut kesaksian dipegang taruna. Kalau misalnya lubang-lubang luka bekas peluru itu ternyata memang berasal dari dua kaliber, harus jelas mana luka yang diakibatkan peluru Carl Gustav dan mana yang diakibatkan peluru senjata laras pendek kaliber 38. Karena, menurut ahli forensik dr Topo Harsono luka yang mematikan Rene adalah luka yang di dada yang menyerempet dua belah paruh yang berasal dari bahu kiri dan bukan yang berasal dari tengkuk. Jadi, harus diperjelas luka mematikan itu disebabkan peluru Carl Gustav atau Colt 38. Memang, yang paling dipertanyakan oleh pembela adalah bagaimana saksi balistik bisa memastikan bahwa luka di tubuh Rene berasal dari Carl Gustav. Apalagi, peluru Carl Gustav yang dimaksudkan tidak pernah ditemukan, atau setidaknya tidak dapat dimunculkan selama persidangan sebagai barang bukti. Artinya, tidak bisa dilakukan pemeriksaan laboratoris untuk memastikan apakah memang benar peluru dari senjata yang dipegang Djani lah yang menembus dan menewaskan Rene.

Djani sendiri dengan kata-kata mengharukan penuh kegetiran mengatakan dalam pembelaannya “Saya melihat dengan mata kepala sendiri Rene dikejar, dipukul…. Saya datang untuk menolong, tapi saya juga terpukul…. Saya sangat sedih dan merasa adalah sangat kejam, saya yang justru menolong Rene dari pukulan Taruna Akabri, dituduh dan dituntut oditur”. Djani bersumpah bahwa senjatanya tidak meletus sekalipun saat itu. “Nugroho Djajusman membohong. Saya tahu dia lah yang memukul Rene dengan koppel rim bersama taruna-taruna lainnya…. Tapi bapak hakim, saya hanyalah seorang yang bodoh, pendidikan rendah, tak ada artinya sama sekali dibandingkan saksi Nugroho. Memang ia bisa menjatuhkan saya di depan bapak hakim dan oditur karena pangkat dan sekolahnya lebih tinggi dari saya”. Hal penting lainnya, yang terungkap dalam kesaksian Topo Harsono, kematian diakibatkan karena kehilangan darah, dan secara teoritis dengan luka di paru Rene masih ada kemungkinan diselamatkan bilamana segera mendapatkan pertolongan medis. Kenyataan yang terungkap, Rene bukannya dibawa segera ke RS Borromeus yang letaknya di ujung Timur Jalan Ganesha yang bisa dicapai dalam tiga menit, melainkan dibawa ke markas Kobes di Jalan Merdeka, atas perintah seorang taruna bernama Adolf Bayu Palinggi (Bayu sendiri membantah memerintahkan seperti itu dan mengaku hanya ingin ke Kobes meminta bantuan).

Peradilan Mahkamah Militer Priangan-Bogor atas 8 terdakwa perwira muda eks Taruna Akabri Kepolisian, berlangsung hampir tiga tahun kemudian setelah peristiwa, sejak September 1973 dengan memeriksa 37 orang saksi. Dan yang paling istimewa dalam peradilan para eks taruna ini, adalah apa yang dilakukan oleh oditur Ajun Komisaris Besar Polisi Supriyono. Seluruh tuduhannya, ia gugurkan sendiri satu persatu, sehingga bisa dikatakan para pembela terdakwa, Drs Aritonang dan Hernawan Yusuf SH, tidak usah bekerja keras karena tugasnya diambil alih oleh oditur.

Dalam persidangan ini, ada tiga kelompok saksi yang didengar keterangannya. Pertama, kelompok mahasiswa yang menyaksikan dan atau menjadi korban pemukulan di jalan Ganesha. Kedua, para petugas P2U dan Brimob yang berada di jalan Ganesha. Yang ketiga, kelompok eks taruna yang berada di dua microbus dan truk serta 8 terdakwa. Baik pada persidangan Djani maupun pada persidangan terdakwa para eks taruna, selalu tampak bahwa kesaksian para mahasiswa dan para petugas P2U serta Brimob banyak persesuaiannya. Sebaliknya, saksi kelompok ketiga, pada umumnya bertentangan dengan kesaksian dua kelompok lainnya. Namun, pada kedua persidangan, kesaksian kelompok eks taruna senantiasa lebih dipercayai oleh oditur maupun Majelis Hakim. Hari-hari gelap hukum dan peradilan –yang dengan mudahnya diputar balikkan oleh kekuasaan Orde Baru Soeharto– memperoleh pijakannya, yang kemudian semakin menjadi-jadi sampai saat ini. Rule of Law dan Law Enforcement yang sempat menjadi slogan awal Orde Baru  semakin ditinggalkan oleh kekuasaan, tak terkecuali kemudian di era pasca Soeharto.

Dalam menggambarkan peristiwa di jalan Ganesha, dalam requisitornya oditur terasa cukup ketat menyaring dan ‘hemat’ dalam menguraikan kesaksian-kesaksian para mahasiswa dan petugas P2U serta Brimob. Menurut kesaksian Oto Santoso yang dibonceng Rene di sepeda motor Harley Davidson, sewaktu terjadi cekcok karena Rene diludahi, ada taruna yang menodongkan senjata pada Rene. Setelah cekcok, Rene dipukuli, motor HD jatuh, saksi Oto Santoso terhimpit motor. Ketika saksi berhasil melepaskan diri, saksi melihat Rene masih dipukuli. Saksi Oto juga juga dikejar dan dipukuli ketika melarikan diri. Tatkala ia sampai di selokan ia mendengar letusan tembakan. Ia pun melihat Rene dikeroyok dengan tangan kanan dan tangan kirinya dipegang sambil dipukuli. Saksi Hani Angkasa juga melihat Rene ditodong senjata dan ada taruna memukuli Rene. Ini sesuai dengan keterangan Terdakwa III eks Taruna Sianturi Simatupang yang mengaku melihat Rene lari dikejar lebih dari dua orang taruna. Seorang saksi lain, Harlan, mahasiswa Universitas Padjadjaran yang berada tak jauh dari tempat kejadian perkara dalam kendaraan Dodge sedan hitam B 321 yang berhenti di tepi jalan, melihat Rene dipukuli ketika sedang berlari maupun sewaktu sudah tersungkur di tanah. Ada 4 taruna yang memukuli Rene waktu itu. Masih menurut requisitor oditur, anggota Brimob bernama Ade Rusmana melihat Rene dikejar 3 sampai 4 Taruna Akabri sambil dipukuli dengan tangan dan koppel rim. Saksi Ir Asdaryanto bahkan melihat Rene lari terpincang-pincang dipukuli lebih dari 8 orang taruna. Para taruna itu berebut memukul. “Ada yang memotong dari depan, pengendara HD terjatuh dan merangkak”. Pemukulan dilakukan dengan tangan maupun koppel rim.

Kesaksian-kesaksian yang membuktikan terjadinya penganiayaan Rene oleh para taruna itu masih bisa ditambah dengan kesaksian-kesaksian lainnya. Tapi kesaksian-kesaksian itu, menurut penilaian Mingguan Mahasiswa Indonesia, menjadi tidak ada gunanya. Ini dikaitkan dengan apa yang kemudian dilakukan oleh oditur, yang telah membuat kesaksian-kesaksian itu tidak berharga dan tak ada gunanya, dengan mempreteli sendiri tuduhan-tuduhannya. Kelihatannya ini semua sejajar dengan kenyataan bahwa penyelidikan dan penyidikan perkara ini sendiri memang dangkal dan seadanya, kalau tidak dikatakan memang sengaja dibuat demikian. Tidak mengherankan bila mahasiswa Bandung dan banyak kalangan masyarakat berkesimpulan bahwa peradilan di Mahkamah Militer ini memang digariskan sebagai misi penyelamatan perwira-perwira muda putera para jenderal dan kolonel (komisaris besar) polisi.

Berlanjut ke Bagian 3

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (5)

“Mahasiswa 1966 yang tadinya termasuk pemeran utama –sebagaimana realitanya dan merupakan opini rakyat ketika itu– telah dirubah menjadi bercitra figuran. Biasanya memang, bila ‘suatu pertempuran’ telah usai adalah penting untuk mendapat citra ‘number one hero’, guna memperoleh medali terbanyak. Dalam kaitan perjuangan 1966, ‘medali’ itu akan berupa benefit politis untuk peran kekuasaan. ‘Nasib’ mahasiswa 1966 yang ‘disisihkan’ ABRI dari catatan sejarah ini, menjadi pelajaran berharga bagi para mahasiswa generasi baru”.

Kehadiran militer dalam kekuasaan pemerintahan dan dominasi mereka dalam kehidupan politik, menghasilkan pemerintahan ataupun cara menjalankan kekuasaan yang ketat. Tentu saja, sekaligus berarti pertumbuhan demokrasi yang hampir tidak beringsut-ingsut sedikitpun, untuk tidak mengatakannya tanpa pertumbuhan sama sekali. Ini adalah salah satu aspek yang ditentang mahasiswa generasi baru di kampus, yang kelak terbukti menjadi salah satu tema perlawanan  yang berkepanjangan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi. Korupsi dan otoriterisme adalah hal-hal yang menyebabkan suatu altruisme dari kekuasaan yang bisa membawakan kemajuan dan kesejahteraan rakyat hampir tidak pernah berhasil didorongkan oleh kekuasaan militer ini.

Sasaran lain dari kritik dan melahirkan perlawanan yang kuat adalah masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi ini sebenarnya adalah buah dari pertumbuhan dan pengokohan kekuasaan yang mengepal pada satu tangan atau kelompok, yang terkombinasi dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai terjadi. Salah satu tanda pertumbuhan ekonomi adalah dengan munculnya ‘boom minyak’ serta masuknya penanaman modal asing. Pada tanggal 23 Oktober 1970, Presiden Soeharto meresmikan sumur minyak lepas pantai Shinta I di sebelah Tenggara Sumatera bagian Selatan. Shinta I adalah sumur lepas pantai yang pertama dieksploitasi secara komersial. Setelah Shinta I, menyusul penemuan dan pembukaan sumur-sumur lepas pantai lainnya seperti Arjuna di lepas pantai pulau Jawa dan Attaka di lepas pantai Kalimantan Timur. Bersama sumur-sumur yang ada di daratan Sumatera, Kalimantan dan lain-lain, minyak bumi menjadi sumber pendapatan baru bagi negara, disebutkan sebagai ‘boom’, sekaligus menjadi sumber malapetaka berkecamuknya korupsi sebagai akibat sampingan yang amat kuat. Bersamaan dengan itu, dibukanya pintu masuk bagi penanaman modal asing tanpa mekanisme pengawasan yang andal, secara cerdik dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan dalam kekuasaan.

Korupsi ini menciptakan kelompok-kelompok kekayaan baru, yang pada gilirannya membiayai pemeliharaan kekuasaan negara dengan hasil korupsinya itu. Harus diakui bahwa pelaku-pelaku kebanyakan adalah dari kalangan tentara. Tetapi korupsi itu ternyata semacam penyakit juga, ia bisa menular. Korupsi dari waktu ke waktu telah menular ke kalangan birokrasi, bukan hanya di lingkungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengelola kekayaan negara tetapi juga ke dalam birokrasi non produktif, melalui penggerogotan Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara, yang berasal dari kalangan tentara maupun sipil. Tak terkecuali di antara mereka yang pada awal Orde Baru sempat terlibat gerakan demonstrasi anti korupsi. Bahkan pada tahun 1970-an di Jakarta ada ‘sisa-sisa laskar pajang’ yang sanggup mengaitkan kegiatan demo dengan kegiatan bisnis. Hari ini mereka mendemo Pertamina dengan tema korupsi, tapi besoknya sejumlah oknum pimpinannya maju bernegosiasi ke Pertamina untuk mendapat bisnis dan rezeki berminyak. Fenomena inilah yang salah satunya membuat para mahasiswa generasi baru di kampus-kampus utama Bandung apriori dan melontarkan kecaman kepada angkatan pendahulunya.

Ternyata, korupsi memang menular, termasuk kepada yang berpretensi ‘dokter’ yang mau membedah kanker korupsi itu sendiri. Dan malangnya, para teknokrat ekonomi yang tidak mampu mengendalikan korupsi di kalangan birokrasi ini, di belakang hari bahkan pada akhirnya dianggap oleh kaum kritis telah menjadi bagian yang tak mungkin terlepas dari tindak korupsi dalam birokrasi itu sendiri. Ukurannya sederhana, ada di antara mereka memiliki tingkat kemakmuran jauh di atas rata-rata.

Kekuasaan, Demi Kekuasaan

Dalam tubuh tentara sendiri terjadi jalan simpang, bahkan persilangan yang tak jarang cukup tajam. Pada tahun 1970 dan 1971 setelah pemilihan umum, menjelma satu tatanan kekuasaan baru yang lebih kokoh dengan legitimasi formal yang begitu kuatnya. Dalam tatanan baru itu tentara pembaharu yang idealis telah menjadi sejarah tahun lampau. Mayjen HR Dharsono –pencetus konsep pembaharuan total dan Dwi Partai di Jawa Barat– yang sudah lengser dari jabatan Panglima Kodam Siliwangi (waktu itu Kodam VI), lebih banyak berkiprah di luar Indonesia. Ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Kamboja yang berkedudukan di Phnom Penh yang sedang berada diambang pergolakan berdarah. Setelah itu ia berturut-turut dilibatkan dengan tugas-tugas luar negeri, termasuk misi-misi perdamaian internasional di Kamboja itu sendiri. Setelah kembali ke Indonesia, ia sudah dalam status purnawirawan sehingga boleh dikatakan sebagai ‘maung’ yang tak bergigi lagi. Beberapa perwira yang sejenis, juga terhapus secara bergiliran. Digusurnya Mayjen HR Dharsono ke orbit luar, menjadi pula awal proses menurunnya pamor dan kharisma Siliwangi, dalam suatu proses yang berlangsung beberapa tahun berikutnya.

Nasib ‘tersisihkan’ juga dialami Letnan Jenderal Sarwo Edhie yang legendaris, tak pernah diberikan jabatan-jabatan strategis. Pertama, ia dijauhkan, dengan memberinya tugas sebagai Duta Besar RI di Korea Utara. Sekembalinya ke Indonesia, satu dua kali dihembuskan akan diberi posisi penting semisal Menteri Dalam Negeri atau Ketua DPR-RI, namun kemudian berakhir dengan kekecewaan karena dalam fakta, melalui suatu ‘permainan’ politik penuh kelicikan, ia selalu dilemparkan keluar gelanggang. Meskipun Sarwo tak harus berakhir di penjara rezim Soeharto seperti yang dialami HR Dharsono, apa yang dilakukan Soeharto dan lingkaran jenderal di sekitar sang penguasa terhadap dirinya tak kalah menyakitkan. Namun ia tetap mampu menjaga sikap loyalnya terhadap pemerintah, ia menjalankan tugasnya dengan baik sebagai Kepala BP-7 di Pejambon.

Dengan tergesernya jenderal-jenderal yang masih idealis dari pusat kekuasaan tertinggallah unsur-unsur yang mengutamakan prinsip kekuasaan demi kekuasaan. Bahkan  terhadap ‘sejarah’ penumbangan Orde Lama Soekarno tahun 1966 pun, dalam rangka taktik kekuasaan, disodorkan sejumlah penafsiran baru ke tengah masyarakat untuk kepentingan meletakkan sebaik-baiknya posisi tentara sebagai ‘bintang utama’. Partnership Mahasiswa-ABRI berangsur-angsur diberi semacam versi baru, bahwa dalam perjuangan menumbangkan Soekarno dan Orde Lama mahasiswa hanyalah alat yang dijadikan ujung tombak oleh ABRI. Mahasiswa 1966 yang tadinya termasuk pemeran utama –sebagaimana realitanya dan merupakan opini rakyat ketika itu– telah dirubah menjadi bercitra figuran. Biasanya memang, bila ‘suatu pertempuran’ telah usai adalah penting untuk mendapat citra ‘number one hero’, guna memperoleh medali terbanyak. Dalam kaitan perjuangan 1966, ‘medali’ itu akan berupa benefit politis untuk peran kekuasaan. ‘Nasib’ mahasiswa 1966 yang ‘disisihkan’ ABRI dari catatan sejarah ini, menjadi pelajaran berharga bagi para mahasiswa generasi baru. Maka, harus dihindari untuk banyak bergaul dengan tentara, sehingga tidak perlu terperosok pada nasib serupa.

Dalam kaitan pergeseran, menarik untuk dicatat bahwa minus Siliwangi, dalam tubuh tentara sendiri telah berlangsung persaingan pengaruh, terutama antara rumpun Diponegoro dengan rumpun Brawidjaja. Tapi tak bisa diabaikan pula adanya fenomena lintas kesetiaan yang dalam beberapa momen bisa saja terkalahkan oleh ‘kesetiaan’ spesifik berdasarkan kesamaan kepentingan ekonomis dan godaan uang, yang bisa membingungkan dalam membaca peta politik dan kekuasaan. Uang adalah ‘spirit’ yang mampu bekerja lintas batas.

Dengan pengutamaan kekuasaan demi kekuasaan, seluruh kekuatan politik yang ada harus disesuaikan untuk fungsi penopang. Setelah pemilihan umum 1971 usai, dilakukan penyederhanaan kepartaian. Sebenarnya, dengan hasil pemilihan umum, secara alamiah melalui suatu proses yang wajar terbuka pintu bagi terjadinya penyederhanaan dengan sendirinya akibat ‘paksaan keadaan objektif’. Partai-partai berideologi Islam tidak berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk mendapat share dalam kekuasaan pemerintahan. Dengan kumulatif 94 kursi, secara objektif mereka tak ‘dibutuhkan’ dalam kekuasaan pemerintahan oleh Golkar dan ABRI yang memiliki 336 kursi dari 460 kursi di DPR. Kalau mereka tidak diajak, mau tak mau mereka berada di luar, dan mungkin mereka merasa perlu bergabung satu sama lain. Setidak-tidaknya bagi Perti yang hanya memperoleh 2 kursi dan PSII yang hanya memperoleh 10 kursi, tentu harus berpikir untuk menggabungkan diri kalau tidak mau hilang dari peta politik. Tidak selalu  harus bergabung berdasarkan persamaan ideologi Islam. Hal yang sama bagi partai-partai lain, IPKI dan Murba yang tak memperoleh kursi DPR samasekali. Keharusan penggabungan secara objektif pun harus dipertimbangkan oleh PNI yang mendapat hanya 20 kursi dan partai-partai Kristen yang juga kebagian sedikit saja kursi, Partai Katolik 3 kursi dan Partai Kristen Indonesia yang memperoleh 7 kursi. Tetapi Soeharto yang sudah lebih kokoh kekuasaannya, memilih melakukan penyederhanaan yang artifisial dan ‘dipaksakan’, setidaknya bukan sepenuhnya karena keikhlasan, melahirkan PPP sebagai gabungan partai-partai ideologi Islam dan Partai Demokrasi Indonesia untuk sisanya yang campur aduk antara kaum nasionalis dan Kristen-Katolik. Suatu pengelompokan yang kala itu betul-betul debatable –namun berlangsung di bawah permukaan saja.

Berlanjut ke Bagian 6

6 Oktober 1970: Luka Pertama dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (1)

“Penganiayaan atas diri Rene terus berlangsung di tengah-tengah rentetan letusan senjata. Peluru-peluru tidak lagi ditembakkan ke atas, melainkan dilakukan secara mendatar dan diarahkan antara lain ke asrama mahasiswa ITB”. “Menurut kesaksian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, terlihat jelas bagaimana Rene dihajar bagaikan bola oleh para taruna, ibarat adegan koboi Itali yang banyak diputar di bioskop-bioskop waktu itu”.

SETIAP peristiwa sosial-politik dan kekuasaan di Indonesia dari waktu ke waktu sekilas seakan berdiri sendiri sebagai suatu mozaik dalam sejarah, sesuai ruang dan waktu yang diisinya. Namun, dalam perjalanan waktu, setelah beberapa mosaik telah terletak pada posisi dan perspektifnya masing-masing, ternyata mulai muncul bentuk-bentuk yang menuju suatu gambar yang lebih besar. Dan gambar besar itu ternyata merupakan satu lukisan besar pada akhirnya, yang memperlihatkan wujud bagaimana kekuasaan dijalankan dalam arah yang untuk sebagian adalah keliru. Gambar yang menunjukkan permasalahan mendasar yang sesungguhnya sedang dihadapi Indonesia pada kurun waktu tersebut, dan bahkan akan menjadi gambaran perspektif hingga ke masa berikutnya.

Awal keretakan dengan militer, merupakan mosaik pertama dari rangkaian peristiwa yang dihadapi mahasiswa generasi baru sesudah generasi perjuangan 1966. Partnership ABRI-Mahasiswa yang sejenak sempat menjadi model kerjasama pergerakan yang berhasil memperbaharui keadaan dengan menjatuhkan rezim lama yang terlalu dekat dengan ideologi komunis dan cenderung menuju diktatoristik (menjelang pertengahan 1960-an), pada akhirnya merupakan model yang tak dapat dipertahankan. Hingga kini, melintasi beberapa periode politik dan kekuasaan, tampaknya hubungan itu terbukti susah untuk kembali pulih, setidaknya tak bisa menyamai apa yang terjadi sejenak di tahun 1966 itu.

Faktor kesalahan terjadi pada dua sisi. Di sisi militer, setelah tiba ke posisi yang lebih dominan dalam panggung kekuasaan, mereka makin lebih menghendaki kekuasaan hanya untuk dirinya sendiri dengan segala karakteristik militernya. Dan ini makin menonjol setelah menyurutnya peranan perwira intelektual yang idealis dalam tubuh ABRI. Dalam pada itu, pada sisi lain, mahasiswa 1966 yang direpresentasikan oleh KAMI yang strukturnya adalah satu federasi organisasi ekstra –dan untuk sebagian besar merupakan perpanjangan tangan dari induk politik dan kepentingannya dari struktur politik lama– pada akhirnya berubah menjadi forum peredaran konflik dan perebutan dominasi semata. Model partnership dengan militer kemudian semakin merosot menuju titik nol, dan hilang dari kamus mahasiswa generasi lebih baru, setelah terjadi rangkaian peristiwa dan konflik antara mahasiswa dengan militer sepanjang 1970-1974, yang ditangani oleh kalangan kekuasaan –Soeharto, militer dan Orde Baru– secara  serba keliru.

Mahasiswa Bandung, seperti halnya dengan mahasiswa di kota-kota lainnya, juga diperhadapkan kepada fenomena korupsi baru yang dilakukan oleh kalangan kekuasaan baru yang pelakunya kebanyakan juga dari kalangan militer. Beberapa badan-badan usaha negara menjadi tempat pengumpulan dana untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kekuasaan, termasuk tempat-tempat yang mengganggu hajat hidup rakyat banyak. Kritik-kritik mahasiswa tidak pernah mendapat respon sepantasnya dari kalangan kekuasaan yang menjalankan mekanisme defensif dalam membela diri dan pada waktu lainnya menjalankan mekanisme ofensif dalam berbagai bentuk ke arah generasi muda dan mahasiswa.

Tetapi dalam pada itu, terbawa oleh hasrat kekuasaan yang juga berjalan ke dalam tubuhnya sendiri, di antara kalangan kekuasaan terjadi rivalitas yang pada akhirnya makin terbuka menuju konflik internal yang lebih besar dan membesar, di lapis-lapis di bawah Soeharto. Sesekali, seakan-akan konflik itu juga bisa membentur ke arah Soeharto sendiri.

Setelah terjadi serangkaian gejolak mahasiswa, terutama dengan isu anti korupsi selain penyalahgunaan kekuasaan, DPRGR tanggap juga akhirnya. Pada bulan September lembaga yang ‘telah dibersihkan’ dari sisa-sisa Orde Lama ini menyelenggarakan diskusi untuk membahas Rancangan Undang-undang Anti Korupsi. Insiatif DPRGR ini sedikit-dikitnya berhasil juga meredam sementara aksi-aksi mahasiswa, yang mungkin saja sudah merasa telah didengar tuntutannya. Dan untuk selanjutnya, tampaknya gerakan anti korupsi telah bertukar menjadi “susun segera Undang-undang Anti Korupsi”. Pada pertengahan Agustus sebelumnya, dalam pidato kenegaraannya selain menganjurkan agar pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Korupsi dipercepat pembahasannya, Soeharto pun berjanji “Pemberantasan korupsi akan saya pimpin langsung”.

Awal keretakan ‘partnership’ ABRI-Mahasiswa.

Namun September yang tenang tidak berlangsung lama. Ada rangkaian peristiwa yang sedang berproses di Bandung sejak Agustus 1970.

Di kota Bandung saat itu, mahasiswa dan juga remaja-remaja yang masih duduk di Sekolah Lanjutan Atas, menggemari mode rambut panjang yang dikenal sebagai mode rambut gondrong. Bukan hanya para seniman Bandung yang berambut gondrong, tetapi juga kaum muda Bandung. Kesenangan akan rambut gondrong yang bagi kaum muda itu terkait dengan ekspresi kebebasan mereka sebagai pribadi, terusik tatkala Kepolisian wilayah Bandung entah atas dasar hukum apa menjalankan serangkaian razia rambut gondrong di jalan-jalan pusat keramaian Bandung. Pelaksana razia adalah Taruna-taruna Tingkat IV Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Kepolisian –waktu itu kampus Akabri Kepolisian masih di Sukabumi– tahun terakhir, dalam rangka melaksanakan ‘tugas akhir’nya, dengan didampingi oleh bhayangkara-bhayangkara kepolisian Bandung. Calon-calon perwira polisi yang tergabung dalam Yon Waspadha Sukabumi ini dengan tegas dan penuh percaya diri melaksanakan tugas. Semua mahasiswa yang yang jadi sasaran pengguntingan rambut, mereka sapa sebagai ‘dik’ mungkin karena menyadari posisi superior mereka, dan ini sekaligus mengundang reaksi antipati dari para mahasiswa Bandung. Tanpa ampun gunting mereka beraksi memotong rambut korban razia walaupun para korban ini memprotes. Di antara para korban, adalah mahasiswa dan asisten dosen ITB serta sejumlah mahasiswa ABA (Akademi Bahasa Asing) Bandung.

Bagi para taruna rambut gondrong adalah sesuatu yang salah, tapi bagi para mahasiswa rambut mereka –apapun modelnya– adalah bagian dari hak pribadi dan hak mengekspresikan kebebasan mereka. Dalih bahwa banyak kriminal yang berambut gondrong, sama sekali tidak masuk dalam alur logika mereka, bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisir bahwa mereka yang berambut gondrong dengan sendirinya kriminal. Karena, di mata mahasiswa, para penjahat dan koruptor justru banyak yang berambut cepak crew cut ala militer. Polemik terjadi sejak pertengahan Agustus hingga September 1970. Dalam suatu pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma, DM ITB (26 September) mengecam pengguntingan rambut itu sebagai “pemerkosaan hak-hak azasi perseorangan”. Tindakan itu “tanpa dasar-dasar hukum yang sah dan alasan-alasan kuat yang masuk akal”. Dikerahkannya taruna-taruna Akabri untuk hal-hal yang semacam itu, disebut sebagai “pendidikan yang akan menyesatkan tugas-tugas kepolisian yang sebenarnya”. “Pengguntingan rambut tidak termasuk praktikum kewibawaan yang sehat, melainkan praktikum kekuasaan…. Sungguh sangat sembrono sifat instruksi itu karena hal tersebut dapat diartikan sebagai pameran kekuatan penguasa, daripada penyelesaian masalah yang sebenarnya”. Senat Mahasiswa ABA memprotes “Mengapa cara pemberantasan rambut gondrong disamakan dengan cara pemberantasan penjahat atau kriminal ?”. Menurut mahasiswa rambut cepak juga bisa disebutkan sebagai tanda kepatuhan dan ketaatan yang tolol dari para taruna.

Dari segi kematangan ilmu dan intelektual, sebenarnya para taruna itu tak bisa dibandingkan dengan para mahasiswa yang untuk sebagian sudah di atas tiga tahun duduk di perguruan tinggi. Taruna-taruna itu bagi para mahasiswa hanyalah robot-robot akademi kepolisian. Dan memang perlu dicatat, angkatan yang akan lulus tahun 1970 ini –sehingga disebut Angkatan 1970, berdasarkan tahun kelulusan– adalah angkatan pertama produk Akabri Kepolisian yang diintegrasikan dari semula sebuah akademi kepolisian murni di Sukabumi menjadi akademi dengan tambahan materi kemiliteran. Kepolisian sendiri pada saat itu juga disejajarkan sebagai satu angkatan dalam jajaran Angkatan Bersenjata dengan penamaan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Panglima Angkatan Kepolisian.

Ketegangan dan suasana panas yang meningkat, coba didamaikan oleh para petinggi kepolisian dan militer dengan berbagai cara, lewat serentetan pertemuan dengan kalangan pimpinan perguruan tinggi se Bandung. Sebuah inisiatif dijalankan oleh petinggi kepolisian di Bandung antara lain dengan Ketua Dewan Mahasiswa ITB waktu itu Sjarif Tando. Untuk mencairkan permusuhan antara mahasiswa dan taruna, dirancang sebuah kegiatan bersama. Tanggal 6 Oktober 1970 diselenggarakan pertandingan sepakbola persahabatan di lapangan sepakbola di tengah kampus ITB. Salah seorang panitia penyelenggara pertandingan adalah mahasiswa ITB Teuku Lukman Azis, putera seorang jenderal polisi yang menjabat Wakil Panglima Angkatan Kepolisian, Teuku Azis. Tim Taruna Akabri Kepolisian diungguli 2-0 oleh tim mahasiswa ITB. Tapi yang paling tak bisa diterima para taruna ini ialah ‘kreativitas’ supporter ITB. Mahasiswa Bandung, ITB khususnya, memang dikenal paling ahli dalam bersupporter ria. Ungkapan-ungkapan mereka lucu-lucu, tetapi sekaligus pedas dan mengkili-kili sampai ke ulu hati. Bagi anak Bandung, gaya supportasi seperti itu hanyalah hal yang biasa saja, tapi tidak bagi para taruna yang terbiasa dengan hirarki dan disiplin gaya tentara. Maka, terjadi lah bentrokan ketika provostprovost Taruna coba menertibkan penonton dengan sabetan-sabetan koppel rim. Terjadi tawuran. Dalam tawuran itu sudah terdengar berkali-kali suara tembakan. Para taruna rupanya membawa senjata yang digunakan untuk melepaskan tembakan ke atas. Tapi senjata-senjata itu berhasil direbut oleh beberapa Taruna Akabri sendiri.

Setelah tawuran berhasil diredakan oleh para mahasiswa dan Resimen Mahasiswa ITB dan provost taruna serta anggota Brimob yang bertugas di sekitar kampus, para taruna digiring menaiki truk dan bus mereka  untuk meninggalkan kampus. Para mahasiswa lalu berpulangan. Ternyata para taruna itu tidak langsung pulang. Mereka memang keluar dari halaman kampus, namun kemudian berhenti di jalan Ganesha depan kantin Asrama F mahasiswa ITB.

Pada petang yang naas itu, seorang mahasiswa ITB yang mungkin tidak tahu insiden di lapangan sepakbola karena tidak menyaksikan sampai selesai dan mengikuti suatu kegiatan lain di kampus yang luas itu, melintas dengan sepeda motor Harley Davidson (HD), berboncengan dengan seorang temannya, di samping truk dan bus para Taruna. Ada yang meludah dari atas kendaraan dan mengenai Rene Louis Coenraad sang mahasiswa. Yang disebut terakhir ini lalu berhenti dan menanyakan siapa yang meludahi dirinya, “kalau berani turun”. Tapi yang diperolehnya adalah jawaban makian dan kemudian para taruna berloncatan turun dari kendaraan lalu melakukan pengeroyokan atas diri Rene. Menurut kesaksian orang-orang yang ada di sekitar tempat itu, terlihat jelas bagaimana Rene dihajar bagaikan bola oleh para taruna, ibarat adegan koboi Itali yang banyak diputar di bioskop-bioskop waktu itu.

Beberapa mahasiswa yang berada di kejauhan menyaksikan penyiksaan atas Rene dan kawan yang diboncengnya. Kalau sang kawan berhasil lolos, Rene sebaliknya tidak bisa melepaskan diri, karena rupanya memang dia yang dijadikan sasaran utama. Ketika para mahasiswa mencoba mendekat mereka dihalangi oleh petugas P2U (semacam polisi militer di lingkungan kepolisian) dan Brimob (Brigade Mobil) bersenjata dengan sangkur terhunus, yang memblokkir gerbang kampus. Beberapa mahasiswa yang coba menerobos, telah dipukuli dan dipopor, sehingga dua diantaranya luka dan terpaksa dibawa ke RS Borromeus yang terletak di arah Timur kampus ITB. Di depan asrama F penganiayaan atas diri Rene terus berlangsung di tengah-tengah rentetan letusan senjata. Peluru-peluru tidak lagi ditembakkan ke atas, melainkan dilakukan secara mendatar dan diarahkan antara lain ke asrama mahasiswa ITB. Di dinding asrama terdapat deretan lubang bekas peluru, slongsong peluru berserakan. Rene tampak roboh di tengah hiruk pikuk. Waktu itu tidak diketahui kapan persisnya ia terkena peluru. Namun menurut pemeriksaan kemudian, diketahui bahwa peluru berasal dari arah atas, yang diperkirakan oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia berasal dari atas bus atau truk. Rene yang bersimbah darah, roboh. Ternyata kemudian, ia tewas tak terselamatkan. Seorang mahasiswa ITB bernama Ganti Brahmana, menyaksikan ada sesosok tubuh yang diseret pada kedua belah tangannya dan kemudian dilemparkan ke bagian belakang sebuah jip Toyota bernomor polisi 008-425 (semula disangka jip Nissan). Itulah yang terakhir Rene terlihat di tempat kejadian.

Berlanjut ke Bagian 2

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (7)

“Sempat disebutkan, Prabowo Subianto melaporkan bahwa Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani merencanakan melakukan kudeta”. “Memburuknya hubungan-hubungan itu ternyata berubah menjadi semacam blessing indisguise bagi masa depan Susilo Bambang Yudhoyono”.

JENDERAL Soeharto, tak disangsikan lagi sepenuhnya adalah seorang tokoh yang amat Jawa secara kultural. Ia menjalankan kekuasaan negara sesuai gaya dan strategi kepemimpinan feodalistik khas Jawa. Di satu sisi ia memberi kesempatan kepada para teknokratnya menjalankan pembangunan ekonomi berdasarkan disiplin ilmu yang modern, tetapi pengambilan keputusan terpusat di tangannya. Dengan caranya itu ia berkuasa efektif selama 32 tahun. Indonesianis dari Amerika, Benedict Anderson, menggambarkan kekuasaan Soeharto dalam kalimat “The slightest lifting of his finger should be able to sent a chain of actions in motion”. Topangan utama kekuasaannya, adalah dukungan  tentara bagi dirinya yang mulai terbentuk dalam peran karena inisiatif-inisiatifnya dalam momen-momen ‘historical by accident’ di tahun 1965-1966. Keyakinan diri dan kekuasaannya kemudian bertambah melalui berbagai ritual tradisional Jawa dan kepemilikan benda-benda yang dipercaya punya kekuatan tersendiri, sehingga ia mencapai tahap ‘kasekten’ atau kesaktian yang menjadi salah satu syarat bagi para raja Jawa.

Sebagai seorang kepala keluarga Jawa, berdua dengan isterinya Siti Suhartinah Soeharto, ia amat protektif terhadap putera-puterinya dan segala kegiatan mereka, termasuk ketika mereka yang disebut terakhir ini mengembangkan karir bisnis. Sikap Soeharto ini mungkin bisa dipahami antara lain berdasarkan pengalaman psikologisnya di masa lampau. Kepada Professor Soemitro yang menjadi besannya –karena perkawinan Prabowo Subianto dengan Siti Hediati Soeharto di tahun 1983 itu– dalam suatu acara makan bersama keluarga, Soeharto menceritakan ‘kepahitan’ masa lampaunya. Ada banyak hal yang ‘hilang’ di masa mudanya yang membuat ia mempunyai keinginan untuk memberi keluarganya –dan juga negerinya– ‘rasa aman’ dalam hidup yang dulu kala tak dimilikinya. Professor Soemitro, seperti yang kemudian dituturkannya kepada seorang teman perjuangannya di masa lampau (dan kemudian seorang penulis buku yang mewawancarainya), kala itu menanggapi ‘isi hati’ Soeharto tersebut sebagai tanda keakraban sebagai keluarga. Salah satu tanda sikap protektif Soeharto terhadap keluarga, khususnya kepada putera-puterinya, adalah ketika ia beberapa kali dengan caranya yang khas memberi ‘isyarat’ kepada beberapa pimpinan ABRI setelah periode Benny Moerdani untuk ikut menjaga ‘keselamatan’ mereka. Mungkin termasuk kepada Jenderal Wiranto. Benny sendiri, seperti dipaparkan dalam buku Julius Pour, “Benny, tragedi seorang loyalis”, pernah mengalami ‘balik badan’ Soeharto, ditinggal masuk tidur, ketika ia menyinggung masalah putera-puteri Soeharto. Benny ketika itu mengingatkan Soeharto bahwa pengamanan pribadi Soeharto sudah cukup dengan satu batalion tentara, tapi untuk pengamanan politiknya, pak Harto dan putera-puterinya harus juga turut serta.

Meski mendalami nilai-nilai Jawa, Soeharto masih kalah eling dari isterinya, Siti Suhartinah Soeharto, yang dipercaya luas sebenarnya adalah pemegang wahyu kekuasaan. Adalah ibu Tien Soeharto, seperti yang diungkapkannya di tahun 1986, yang mengingatkan dan menyatakan kehendak agar pak Harto mulai menyiapkan proses pengunduran dirinya dari kekuasaan (Lihat Bagian 6). Tetapi ibu Tien Soeharto yang lahir 23 Agustus 1923 mendahului ‘pergi’ pada Minggu 28 April 1996. Sempatkah ibu Tien mengingatkan lagi Soeharto setidaknya selama 5 tahun terakhir ketika skenario awal sudah berubah? Selain ibu Tien, yang pernah mengingatkan agar pak Harto suatu waktu juga harus berpikir mundur, adalah lagi-lagi Benny Moerdani. Itu terjadi pada tahun 1986 juga atau setidaknya bagian-bagian awal 1987. Dan menurut Laksamana Sudomo mantan Kepala Staf Kopkamtib yang menghadap setelah itu, terlihat betapa pak Harto amat marah. Benny tinggal tunggu waktu dengan sedikit saja cetusan tambahan. Menjelang Sidang Umum MPR Maret 1988, Jenderal Benny Moerdani dicopot dari jabatan sebagai Panglima ABRI per 24 Februari.

Jenderal M. Jusuf menepuk-nepuk paha kanannya ketika mendengar laporan Prabowo Subianto. Di latar belakang, bersumber pada Mayjen Kivlan, sempat disebutkan adalah Prabowo Subianto yang melaporkan kepada Soeharto bahwa Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani merencanakan melakukan kudeta. Apakah betul Benny berniat melakukan kudeta? Tetapi sebenarnya rencana kudeta yang dimaksud adalah peristiwa Maret 1983, saat Prabowo masih berpangkat kapten dan menjabat Wakil Komandan Detasemen 81 Antiteror Kopassandha (dulu RPKAD, kini Kopassus). Ia pernah mengajak atasannya Komandan Den 81 Mayor Luhut Pandjaitan untuk mengambil ‘peranan’ sejarah menangkap Letnan Jenderal LB Moerdani, Asisten Hankam/Kepala Intelstrat/Asintel Kopkamtib, karena akan melakukan kup. Bersama Benny, akan ditangkap pula Letnan Jenderal Sudharmono SH, Marsekal Muda TNI-AU Ginandjar Kartasasmita dan Brigadir Jenderal TNI-AD Moerdiono ( ketiganya saat itu pejabat tinggi di lingkungan Sekretariat Negara sebagai Menteri dan Menteri Muda).

Kapten Prabowo saat itu sedang berproses dan kemudian menjadi keluarga Presiden Soeharto pada tahun itu juga. Dengan berani, Kapten Prabowo maju menghadap Pejabat Danjen Kopassandha Brigjen Jasmin, untuk melapor dan sempat menunjukkan sikap ‘keras’ ketika Jasmin tidak menanggapi seperti yang diharapkannya. Bahkan kemudian membayang-bayangi rumah Jasmin. Berita Maret 1983 itu juga sampai ke Menhankam/Pangab Jenderal M. Jusuf, sehingga memerlukan memanggil Kapten Prabowo dan Mayor Luhut. Prabowo lalu melaporkan kembali informasi tentang rencana kup itu kepada Jusuf. Ketika mendengar laporan itu, Jenderal Jusuf memukul-mukulkan tangannya ke paha kanannya dan mengatakan apa betul Benny mau bertindak begitu? Setelah itu, Jusuf memerintahkan mereka pulang. Ternyata Jusuf menindaklanjuti dengan mendatangi kediaman Danjen Kopassandha di Cijantung, menemui Mayjen Yogie SM yang saat itu masih berstatus Danjen dan akan segera serah terima jabatan, setelah mendapat tugas baru menjadi Pangdam Siliwangi dan Pangkowilhan II. Bersama Yogie, hadir sejumlah jenderal senior lainnya. Setelah mendengar penegasan Mayor Luhut Pandjaitan bahwa tidak ada tanda-tanda dan bukti gerakan mengarah kudeta, Jenderal Jusuf lalu menyatakan persoalan selesai.

Dalam perjalanan waktu kemudian, hubungan Prabowo Subianto tidak pernah lagi menjadi baik dengan Benny Moerdani yang sampai Februari 1988 menjabat sebagai Pangab. Tetapi posisi Prabowo sendiri yang adalah menantu Presiden, tetap terjaga baik, sampai akhirnya menjadi Danjen Kopassus lalu menjadi Panglima Kostrad. Namun ketika Prabowo sudah tiba di tempat-tempat tinggi itu, matahari Soeharto mulai terbenam, sehingga Prabowo tak sempat menjadi KSAD atau Pangab yang sempat dianggap akan berturut-turut tiba ke tangannya. Dan karenanya ia digambarkan berada dalam posisi rival bagi Jenderal Wiranto. Namun Wiranto selalu menyanggah adanya persaingan. Menurutnya, sebagai jenderal bintang empat tak mungkin ia ada dalam suatu situasi rivalitas dengan jenderal yang hanya berbintang tiga. Tetapi bila Soeharto masih sempat ‘memperpanjang’ nafas kekuasaannya, tentu ceritanya bisa saja menjadi lain.

Sewaktu terjadi kerusuhan hingga sehari menjelang kejatuhan Soeharto, Letnan Jenderal Prabowo Subianto sempat mengecam secara terbuka Pangab Jenderal Wiranto yang ‘meninggalkan’ Jakarta. Sebelum ini Prabowo memang tak hanya sekali menggunakan ‘privilege’ yang dimilikinya untuk melakukan penilaian-penilaian terhadap atasannya. Tak ada yang berani menegur.

Akan tetapi di masa peralihan dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie, Wiranto bertindak lebih taktis, sementara Prabowo masih meneruskan kebiasaannya. Sewaktu Prabowo mengalirkan pasukan-pasukan Kostrad masuk Jakarta di hari pertama dan kedua kepresidenan Habibie 21-22 Mei 1998, dengan gesit Wiranto melapor ke presiden baru di hari pertama bahwa di tangannya ada Inpres No.16/1998 yang menetapkan dirinya sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional, semacam suatu Kopkamtib baru. Di masa lampau Kopkamtib adalah lembaga yang sangat represif dengan wewenang luas, dan merupakan perpanjangan wewenang Surat Perintah 11 Maret yang dimiliki Jenderal Soeharto. BJ Habibie amat terkesan terhadap ‘kelurusan’ Wiranto ini. Pada hari kedua, Wiranto kembali melapor mengenai adanya gerakan pasukan Kostrad yang masuk ke Jakarta tanpa meminta izin lebih dahulu kepada dirinya sebagai Panglima ABRI. Reaksi Habibie agak di luar dugaan, ia memerintahkan supaya hari itu juga Letnan Jenderal Prabowo supaya diganti dan harus sudah dilaksanakan sebelum matahari terbenam. Dan pengganti Prabowo harus segera menarik keluar dari Jakarta seluruh pasukan Kostrad yang berkekuatan 11.000 orang. Selain pergerakan pasukan Kostrad yang cukup besar itu dan ‘pengepungan’ sepasukan Kopassus di sekitar kediaman BJ Habibie di Kuningan, Jakarta, sebenarnya tak cukup bukti bahwa Prabowo akan melakukan kudeta terhadap Presiden baru. Namun berdasarkan analisa kemiliteran, secara teoritis dengan pasukan berkekuatan 11.000, Letnan Jenderal Prabowo sudah mampu melakukan semacam kudeta, apalagi dalam situasi Jakarta yang chaos seperti saat itu. Di belakang hari, Prabowo sendiri memang membantah, tetapi tetap tidak menjadi jelas kenapa ia merasa perlu memasukkan pasukan sebanyak itu ke ibukota negara. Formalnya atas permintaan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin yang merasa kekurangan pasukan, tetapi menurut Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan, ketika itu Prabowo banyak mencampuri kewenangan Sjafrie. Selain itu, penempatan pasukan itu tak di tempat-tempat di mana potensi kerusuhan bersumber, melainkan terkesan memblokade pusat-pusat kekuasaan.

Letnan Jenderal Prabowo sendiri baru pada tengah hari mengetahui pencopotan dirinya dari posisi Panglima Kostrad. Begitu tahu, ia segera menemui Presiden BJ Habibie di kantor Presiden di kompleks Istana dan tiba di sana sekitar jam 15.00. Ia datang dengan dengan 12 pengawal bersenjata lengkap. Langsung ke lantai 4 tempat presiden berada, menyalahi ketentuan protokol yang mengharuskan melapor dulu di lantai 1, tapi tidak menyalahi kebiasaannya di masa Presiden Soeharto. Ketika atas perintah Sintong Pandjaitan yang menjadi penasehat militer BJ Habibie, petugas istana memintanya menitipkan senjata, Prabowo tidak menolak. Ia sempat bicara empat mata dengan BJ Habibie. Sewaktu Sintong masuk untuk melaporkan kedatangan Ginandjar Kartasasmita, Habibie menjawab, “Sebentar…”. Saat itu Prabowo menggunakan kesempatan meminta Habibie menelepon Jenderal Wiranto agar Prabowo bisa berbicara langsung dengan Panglima ABRI itu. Tentu untuk mempersoalkan pencopotan jabatannya selaku Panglima Kostrad. Tetapi Sintong melarang ajudan menyambungkan telepon dengan Wiranto, karena dianggap tidak patut. Dengan demikian Prabowo pulang dengan tangan hampa. Selepas jabatan Panglima Kostrad ia diangkat sebagai Komandan Sesko ABRI di Lembang, Bandung. Jabatan itu akhirnya diterimanya setelah sempat bertemu empat mata dengan Wiranto yang mendatangi kediamannya di Jalan Cendana.

Pencopotan Letnan Jenderal Prabowo ternyata tak menimbulkan gejolak apapun di kalangan perwira yang diduga ‘mendukung’nya. Agaknya selama ini, keistimewaan Prabowo lebih banyak bertumpu pada statusnya sebagai menantu Presiden Soeharto. Mungkin di sekelilingnya lebih banyak tipe pengejar fortuna, yang takkan berbuat apa-apa bila angin berubah arah, sebagaimana nasib yang dialami Soeharto setelah lepas dari kekuasaan.

Dengan mudah kemudian Letnan Jenderal Prabowo diajukan ke sidang pemeriksaan Dewan Kehormatan Perwira. Prabowo diperiksa terkait antara lain dengan masalah penculikan para aktivis menjelang SU-MPR Maret 1998. Dewan Kehormatan Perwira dibentuk oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto, 3 Agustus 1998. Ketua DKP adalah KSAD Jenderal Subagyo HS dengan wakil-wakil Letjen Fachrul Razi dan Letjen Yusuf Kartanegara. Kassospol ABRI Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu anggota, bersama Letjen Djamari Chaniago, Letjen Agum Gumelar dan Laksamana Madya Achmad Sutjipto. Maka wajar ketika menangkis serangan-serangan terhadap dirinya oleh Prabowo Subianto sekitar pemilihan presiden Juli 2009, Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa ia banyak tahu mengenai rekam jejak sejumlah tokoh, termasuk Prabowo, di masa lampau. Hasil pemeriksaan DKP yang oleh publik tadinya diharapkan bisa membuka apa yang sebenarnya terjadi di masa-masa terakhir kekuasaan Soeharto, tidak diumumkan terbuka untuk publik. Suatu kebiasaan khas penguasa Indonesia yang masih suka memelihara ketertutupan.

Sebagai Kassospol, sebagaimana saat menjabat Kepala Staf Kodam Jaya, Susilo Bambang Yudhoyono tentu banyak tahu mengenai berbagai peristiwa politik di masa-masa menjelang dan pasca peralihan kekuasaan, terutama di tahun 1998. Peranan Susilo sendiri tidak banyak terbuka ke publik, misalnya yang terkait dengan tragedi Semanggi I dan II, soal pembentukan Pam Swakarsa dan sebagainya. Tetapi ia menjalankan banyak peranan staf di bawah Panglima ABRI Jenderal Wiranto, dan kebanyakan bergerak di belakang layar. Sebagaimana halnya mengenai Prabowo, tentu Susilo Bambang Yudhoyono juga banyak tahu mengenai sepak terjang Wiranto selaku Pangab –yang tak lagi dirangkap dengan jabatan Menteri Pertahanan Keamanan– yang dinilai amat kaku dan masih bersifat represif terhadap gerakan kritis. Di Jakarta maupun di Timtim. Di masa Presiden Habibie, Susilo Bambang Yudhoyono adalah konseptor Program Reformasi ABRI. Suatu waktu Presiden meminta bahan paparan tentang reformasi ABRI yang akan disampaikannya ke DPR. Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan menyampaikan Program Reformasi ABRI yang sudah direvisi oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tempo semalam. Presiden Habibie amat senang membaca revisi itu sehingga tertawa terbahak-bahak. Tentu rasa senangnya itu terkait kesesuaian yang cukup luar biasa dengan sudut pandangnya sebagai tokoh sipil. Menurut Sintong “saran reformasi ABRI sesuai dengan saran pemerintah kepada DPR”.

Persoalan harta kekayaan keluarga Cendana. Nama Susilo Bambang Yudhoyono lebih mencuat pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputeri. Mula-mula diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, lalu ketika ada perubahan kabinet menjadi Menko Polkam. Bertahan pada posisi yang sama setelah Abdurrahman Wahid di-impeach dan diganti Megawati sebagai presiden baru. Sewaktu menjabat Menteri Pertambangan, Susilo sempat menjadi ‘utusan’ Abdurrahman Wahid untuk melakukan semacam ‘negosiasi’ dengan keluarga Cendana. Susilo Bambang Yudhoyono bersama puteri Abdurrahman Wahid, Yenni Wahid serta tokoh muda NU Syaifullah Yusuf diantar seorang wartawan Sugeng Suprawito yang dekat dengan Siti Hardianti Rukmana, datang ke Cendana menemui puteri sulung Soeharto ini. Selang satu atau dua hari kemudian, Siti Hardianti Rukmana yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut datang ke Jalan Senopati pada suatu siang menemui mantan Wakil Presiden Sudharmono yang didampingi Rum Aly (penulis catatan ini). Kedatangan Tutut ini atas undangan pak Dhar. Atas persetujuan pak Dhar sebelumnya, Rum Aly mengutarakan suatu gagasan agar keluarga Cendana tetap memperhatikan keadaan rakyat. Mungkin keluarga ini bisa menjalankan berbagai program bantuan langsung kepada rakyat yang sedang menderita akibat pergolakan situasi politik saat itu. Terminologi bantuan langsung diketengahkan karena ada asumsi bahwa Cendana takkan percaya bila program itu disalurkan melalui penguasa baru dalam pemerintahan yang baru. Selain itu, bantuan langsung akan menjadi suatu jalan tengah bagi apa yang sedang melanda keluarga mantan penguasa tersebut. Tutut menjawab, darimana uangnya, kami tak punya. Kurang lebih maksud Tutut, kekayaan yang dimiliki keluarga tidaklah sebanyak yang disangka orang. Sudharmono terdiam mendengar jawaban itu dan untuk seberapa lama tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Lalu Tutut melanjutkan dengan cerita bahwa ia pun baru saja didatangi ‘suruhan’ Gus Dur yang kurang lebih meminta ‘pengembalian’ harta yang pernah diperoleh keluarga itu. Tutut menjawab saat itu, harta kekayaan yang mana yang dimaksud? Rum Aly menginformasikan keterangan Tutut tentang utusan Presiden Abdurrahman Wahid ini ini kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman sore harinya. Agaknya, pada kesempatan pertama, Marzuki Darusman mengkonfirmasi ini kepada koleganya di kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono dan mendapat beberapa penjelasan. Tetapi kenapa Gus Dur menugaskan Susilo Bambang Yudhoyono? Rupanya Gus Dur menganggap atau mengetahui ada kedekatan tertentu antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan keluarga Cendana. Tercatat bahwa beberapa waktu kemudian, hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Abdurrahman Wahid memburuk di saat-saat terakhir, sebagaimana juga yang terjadi dalam hubungannya dengan Megawati Soekarnoputeri. Memburuknya hubungan-hubungan itu ternyata berubah menjadi semacam blessing indisguise bagi masa depan Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian membawa dirinya ke puncak kekuasaan negara, dengan beberapa ciri kepemimpinan yang juga khas Jawa seperti Jenderal Soeharto.

Para jenderal dan supremasi sipil. CATATAN mengenai jejak rekam masa lampau ini, diakhiri di sini. Mungkin dalam kadar tertentu sudah memadai sebagai referensi ringan guna memahami peranan dan posisi tiga jenderal ini, berdasarkan pengamatan beberapa sepak terjang mereka dalam pergulatan seputar kekuasaan negara selama ini. Dalam suatu tulisan tersendiri pada kesempatan berikut, akan dibahas peluang, kegagalan dan perspektif ke depan dari para jenderal dengan latar belakang militer ketika memasuki ruang civil-society dalam konstruksi kekuasaan negara yang demokratis dengan landasan supremasi sipil. Selesai.