Category Archives: Sosial

Sisa PKI dan Keluarga PKI, 49 Tahun Setelah Peristiwa 30 September 1965

WAKTU bergulir 49 tahun lamanya sejak Peristiwa 30 September 1965. Dalam metafora perlukaan, peristiwa tersebut dan berbagai ikutannya, adalah sebuah luka lama yang sebenarnya sudah kering. Hanya saja, luka kering sekalipun, selalu meninggalkan tanda di kulit dan mungkin kenangan traumatisma. Terkait peristiwa yang terjadi tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965 dan kekerasan massive berupa pembunuhan massal yang terjadi selama beberapa waktu setelahnya, meski luka telah kering namun kenangan traumatisma yang mengiringinya tak mudah padam. Paling tidak, sekali dalam setahun pada tanggal yang sama dengan terjadinya peristiwa, rasa sakit itu kembali dibicarakan. Bahkan sekelompok kecil bekas aktivis organisasi-organisasi yang dilarang setelah peristiwa, ikut dalam suatu acara Kamisan ‘korban’ Orde Baru yang selalu dilakukan di depan Istana di Jalan Merdeka Utara.

Bila diasumsikan bahwa kader PKI –sebagai partai yang paling terlibat dalam G30S– termuda kala peristiwa terjadi berusia 17 tahun, maka kini mereka telah berusia 66 tahun. Dan jika digunakan ukuran bahwa seorang kader pantas dianggap matang pada usia 21 tahun, bila kader itu masih hidup, paling tidak ia sudah berusia 70 tahun saat ini. Bisa diperkirakan bahwa kader PKI yang lebih senior, mayoritas telah meninggal dunia. Kalau pun masih hidup, sudah terlalu tua. Dan, semestinya juga telah berproses secara bathiniah menjadi manusia yang semakin arif, sehingga takkan membiarkan dirinya memelihara dendam politik secara berkepanjangan. Tetapi seberapa lama suatu rasa sakit yang traumatis bisa membekas dan seberapa lama suatu dendam politik berlangsung, hanya mereka yang bersangkutan yang lebih mengetahui.

JOKOWI DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTERI. "Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan oarang-orang anti militer." (foto download)
JOKOWI DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTERI. “Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan oarang-orang anti militer.” (foto download)

TERHADAP pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa 30 September 1965, banyak keluarga korban, begitu juga ribuan bekas tahanan politik, menuntut pemerintah menyampaikan permintaan maaf. Beberapa di antaranya disertai permintaan rehabilitasi PKI, terkait posisi terlarang  yang dikenakan terhadap partai tersebut.

Dalam batas aspek kemanusiaan, banyak pihak dalam masyarakat yang bisa memahami pengajuan tuntutan permintaan maaf maupun rehabilitasi sosial bagi korban peristiwa. Tetapi bilamana tuntutan itu meluas melampaui batas aspek kemanusiaan tersebut, katakanlah sudah menjadi tuntutan politik, akan muncul penolakan. Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut. Misalnya, pernah dirampas tanahnya oleh massa Barisan Tani Indonesia –organisasi sayap PKI– atau dihujat agamanya oleh PKI dan mengalami kekerasan melalui aksi sepihak Pemuda Rakyat. Orientasi utama masyarakat Indonesia selama ini, untuk sebagian besar memang adalah pada aspek keadilan. Karenanya, masyarakat juga cenderung merasa sebagai korban dalam berbagai peristiwa.

Dengan orientasi keadilan seperti itu, dalam kaitan Peristiwa 30 September 1965, semua pihak merasa sah menegakkan keadilan dengan melakukan pembalasan dendam. Terhadap apa yang telah dilakukan PKI sebelum peristiwa, maka para anggotanya –terlibat langsung atau tidak dalam rangkaian peristiwa– harus membayar ‘mahal’ dengan menerima pembalasan yang berpuluh-puluh kali lipat dari apa yang telah dilakukan. Dan mesti dicatat, jangankan mereka yang terdaftar atau nyata adalah anggota PKI dan organisasi sayapnya, terdapat banyak anggota masyarakat yang tak tahu menahu mengenai partai tersebut, ikut menjadi korban ‘pembalasan’ dalam suatu malapetaka sosiologis yang dahsyat. Dan pada gilirannya, akan juga menuntut keadilan.

Kita kutip suatu penggalan pengantar dalam buku Simtom Politik Tahun 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (Editor OC Kaligis dan Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2007). Dengan orientasi utama kepada aspek keadilan, yang menimbulkan rasa dirinya juga adalah korban, “bagi masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 september 1965 terjadi.” Lalu, “pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga negara.” Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan pengertiannya yang paling lunak.

Dalam realita, relatif keadaan tersebut yang terjadi di masyarakat. Banyak ex PKI dan atau keluarganya dalam beberapa tahun ini, khususnya pasca Soeharto, hidup berdampingan secara layak dalam masyarakat.

UNJUK RASA 2014 TOLAK KOMUNISME DAN PKI. "Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut." (foto download)
UNJUK RASA 2014 TOLAK KOMUNISME DAN PKI. “Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut partai tersebut.” (foto download)

BERIKUT ini sedikit catatan ringan.

Dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati, yang di tahun 1965 baru berusia 7 tahun, menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” di tahun 2002. Tak ada akibat berarti yang menimpa dirinya. Dalam suatu wawancara televisi, Lativi (yang kini telah pindah kepemilikan dan berganti nama) ia mengaku memang orangtuanya adalah anggota PKI dan cukup mengalami banyak penderitaan hidup yang berat karena stigmatisasi. Tapi kini ia bebas bergerak di masyarakat dan selama beberapa tahun menjadi anggota DPR dari PDIP.

Ikrar Nusa Bakti pengamat LIPI, juga putera anggota organisasi terlarang. Dibesarkan oleh pamannya seorang perwira tinggi militer. Praktis tak pernah terkena gangguan stigmatisasi. Ia pun menjalani hidupnya sebagai seorang akademisi yang bebas berpendapat. Pandangannya umumnya jernih dan argumentatif. Tidak kiri. Hanya dalam masa-masa pemilihan presiden yang baru lalu Ikrar cukup berpihak, yakni kepada pasangan Jokowi-JK. Tapi itu tidak mencederai intelektualitasnya, dibanding beberapa akademisi dan kaum cendekiawan lainnya yang tak segan terjun dalam kancah prostitusi intelektual saat itu.

 Sejarawan Asvi Warman Adam, malahan lebih kiri orientasinya dibanding Ikrar. Asvi banyak meluncurkan tulisan dan pendapat untuk mematahkan versi militer Indonesia di bawah Jenderal Soeharto, tentang Peristiwa 30 September 1965 serta kejahatan kemanusiaan yang menjadi ikutannya. Akan tetapi, versi dan penafsiran sejarah yang dipaparkannya seringkali terasa tak kalah manipulatifnya dengan yang menjadi versi militer Orde Baru masa Soeharto. Agaknya ia tidak merasa harus cermat menggali berbagai sisi untuk mencari kebenaran sejarah.

Ilham Aidit, putera pemimpin PKI Dipa Nusantara Aidit, diam-diam bisa menyelesaikan pendidikan tingginya sebagai seorang arsitek di Universitas Parahyangan Bandung. Pasca Soeharto ia sudah bebas tampil di berbagai forum menyampaikan pendapat berbeda dan berbagai kecaman, termasuk mengenai masalah PKI dan Peristiwa 30 September 1965.  

Dan berikut ini, sebuah catatan yang sedikit lebih ‘berat’.

Dalam masa-masa menjelang Pemilihan Presiden yang baru lalu, Joko Widodo digempur dengan isu bahwa orang tuanya terindikasi PKI. Isu ini meluncur dari Obor Rakyat dan dikutip oleh berbagai media. Kubu pesaing menyangkal sebagai sumber isu. Kalau isu ini betul diluncurkan kubu pesaing, pasti ini suatu kebodohan. Tapi yang lebih mungkin, isu ini adalah hasil kerja orang-orang dengan pengalaman intelejen dan nantinya akan diketahui juga siapa dan apa tujuan sebenarnya.

Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan orang-orang anti militer. Maka di bulan Juni, massa PDIP menyeruduk kantor tvOne di Yogyakarta dan di Pulogadung Jakarta.

Reaksi Jokowi dan PDIP ini sedikit mengherankan juga. Apakah memang Jokowi dan para petinggi PDIP masih melihat PKI sesuai sudut pandang di masa Orde Baru bahwa PKI adalah  stigma yang harus dihindari? Bukankah PDIP selama ini memang membuka diri bagi mereka para penderita stigmatisasi terkait PKI? Ada Ribka Tjiptaning di sana, ada juga eks tokoh PRD Budiman Sudyatmiko yang diberi label PKI muda oleh kalangan tentara. Dan harus diakui sepanjang yang bisa diamati, mereka yang di masa lampau adalah pengikut atau simpatisan PKI, sejak awal memang berkecenderungan menjadikan PDI dan atau PDIP sebagai pilihan untuk bernaung. Dari pemilu ke pemilu secara empiris diketahui bahwa sebagian suara untuk PDIP berasal dari simpatisan eks PKI. Mayoritas simpatisan eks PKI memang menempatkan PDIP sebagai pilihan pertama, dan hanya beberapa lainnya yang memilih partai lain, seperti misalnya Golkar. Dalam perkembangan terbaru, bekas anggota PKI dan keluarganya kini legal sejajar dengan warga negara yang lain, dan sudah sama memiliki hak politik. Lalu kenapa PDIP harus merasa terhina? Bukankah dengan demikian, mungkin ke depan massa eks simpatisan PKI dan keturunan mereka akan mencatat bahwa PDIP –seperti halnya dengan partai yang lain– ternyata  telah menggunakan standar ganda kepada diri mereka?

Kegamangan PDIP kembali terlihat dalam pokok masalah larangan ajaran komunisme. Salah seorang anggota tim sukses Jokowi-JK, yakni Dr Musda Mulia menjelang pemilihan presiden mengungkapkan bahwa bila menang, Jokowi-JK akan mengupayakan penghapusan Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pelarangan paham komunisme di Indonesia. Dengan cepat hal itu dibantah oleh Jusuf Kalla –seorang aktivis gerakan tahun 1966– dan Jokowi sendiri. Tetapi belakangan lagi, bulan Agustus lalu, bekas aktivis anti Soeharto yang menjadi anggota DPR-RI antar waktu menggantikan Taufiq Kiemas di Fraksi PDIP, Bambang Beathor Suryadi, menegaskan akan memperjuangkan penghapusan Tap MPRS pelarangan ajaran komunisme itu. Dan untuk itu ia akan mengajak kader-kader PDIP yang lain untuk bersama memperjuangkannya.

SEKALI lagi, luka dari Peristiwa 30 September 1965, adalah sebuah luka yang telah kering. Teori bahwa waktu akan menghapus segala luka politik dan luka sosiologis, seakan-akan hampir menjadi benar. Hanya saja, ketika ia selalu diangkat kembali sebagai isu dan senjata politik seperti yang terjadi dalam ajang Pemilihan Presiden 2014 yang baru lalu, luka itu seakan-akan basah kembali. Artinya, alternatif pengampunan dan pelupaan dengan meninggalkan perspektif pembalasan, yang biasanya mengikuti hasil ‘politik’ keadilan di masyarakat, tidak menyelesaikan banyak konflik sejarah.

Bekas Jaksa Agung RI yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis masalah HAM, Marzuki Darusman, sejak beberapa tahun lalu menyarankan untuk memilih politik kebenaran. Satu-satunya penyelesaian yang tepat dilakukan dalam kerangka politik kebenaran, menurut Marzuki, tak lain adalah menggali kebenaran sejarah melalui penulisan sejarah secara baik dan benar. “Kegunaannya tidak untuk masa lampau melainkan untuk menciptakan babak baru ke masa depan di mana kita semua yang masih hidup mampu menarik pelajaran, agar masa lampau tidak lagi menjadi beban yang menghambat totalitas kita sebagai bangsa untuk menghadapi tantangan masa depan yang secara eskalatif menjadi makin berat.” Selain itu, ia juga pernah ikut menggagas pembentukan semacam Komisi Kebenaran mengenai berbagai konflik horizontal yang pernah dihadapi bangsa ini. Komisi ini akan bisa menyelidiki dan mencatatkan temuannya sebagai suatu dokumentasi tentang kebenaran suatu peristiwa. Berguna untuk menangkal manipulasi sejarah. Sebenarnya, bukannya upaya semacam ini tak pernah dilakukan. Beberapa tahun lalu ada upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tapi, Mahkamah Konstitusi mematahkannya.

Pembentukan suatu Komisi Kebenaran perlu dipikirkan kembali. Bukan hanya untuk Peristiwa 30 September 1965, tapi untuk berbagai masalah bangsa lainnya, lama atau baru. Tak terkecuali mencari kebenaran tentang berbagai kecurangan laten yang senantiasa mengiringi setiap pemilihan umum dan pemilihan presiden di Indonesia….. (rum aly/socio-politica.com)

‘Noda’ Asimetri Kompas (dan Tempo) Pada Pemilihan Presiden 2014

DALAM kancah pemilihan presiden Indonesia yang baru lalu di tahun 2014 ini, terjadi sejumlah peristiwa duka. Selain soal pelacuran intelektual, salah satu di antara cerita duka telah menimpa dunia pers. “Demi menciptakan opini keunggulan bagi yang mereka dukung, media pers tak segan-segan melakukan manipulasi kebenaran. Paling tidak melakukan semacam polesan artifisial. Menutupi keburukan dari yang mereka dukung dan di lain pihak membesar-besarkan dengan cara di luar batas keburukan pihak seberang. Media cetak hanya memilih narasumber yang bisa memberikan penguatan atau pembenaran atas opini yang mereka rancang. Kalau pun ada narasumber yang memberi analisa dan pandangan berbeda, itu diselipkan seadanya di pinggiran fokus, sekadar basa-basi agar masih dianggap berimbang.”

HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO. "... bagaimana pun Indonesia membutuhkan media-media semacam Harian Kompas dan juga Majalah Tempo –semestinya demikian pula Koran Tempo– yang pada hakekatnya berkualitas tinggi. Dibutuhkan sebagai –katakanlah dalam posisi the last strong hold– sumber referensi kebenaran, di tengah suasana penuh ketidakbenaran seperti diderita Indonesia selama ini hingga kini. Tapi tentu, jangan sering-sering terpeleset ke dalam genangan lumpur noda sosial-politik-ekonomi."
HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO. “… bagaimana pun Indonesia membutuhkan media-media semacam Harian Kompas dan juga Majalah Tempo –semestinya demikian pula Koran Tempo– yang pada hakekatnya berkualitas tinggi. Dibutuhkan sebagai –katakanlah dalam posisi the last strong hold– sumber referensi kebenaran, di tengah suasana penuh ketidakbenaran seperti diderita Indonesia selama ini hingga kini. Tapi tentu, jangan sering-sering terpeleset ke dalam genangan lumpur noda sosial-politik-ekonomi.”

Tetapi, dukacita terdalam sebenarnya, adalah ‘kehilangan’ Indonesia akan dua (kelompok) media berkualitas, yakni Harian Kompas serta Majalah Berita Mingguan Tempo dan Koran Tempo. Terhadap media yang lain, dari sejak lama sudah wajar untuk skeptis, bahkan ada yang memang sudah ‘sakit’ sejak awal kelahirannya. Sebelum musim politik partisan ini melanda, kedua kelompok media tersebut Kompas dan Tempo, memiliki posisi khusus, yaitu sebagai sumber referensi saat publik ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa-peristiwa politik. Tetapi dalam semusim ini, mereka berubah menjadi sama buruknya dengan media lain pada umumnya, yaitu saat mereka dengan nyata menunjukkan perpihakan hitam-putih dengan kadar tinggi. Koran Tempo misalnya, bahkan seringkali sudah mirip pamflet propaganda. (Baca kembali, https://socio-politica.com/2014/07/20/pemilihan-presiden-2014-dalam-aroma-kejahatan-intelektual-2)

Sayang sekali, padahal kedua kelompok media itu didirikan dan diasuh oleh kalangan intelektual yang seharusnya tak perlu lagi mengalami krisis integritas. Tetapi apa daya integritas itu sempat berkabut. Apakah ini hanya gejala semusim, atau akan menjadi karakter baru yang menetap?

            KESANGSIAN mengenai Harian Kompas, sedikit banyaknya terjawab oleh makalah Jakob Oetama –salah satu pendiri dan Pemimpin Umum media nasional terkemuka itu– “Perpolitikan dan Profesionalitas Media”, Jumat 5 September 2014. Makalah tersebut dibacakan dalam acara penganugerahan Doktor Kehormatan untuk tokoh pers senior itu dari Universitas 11 Maret, Surakarta, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Menurut Jakob Oetama, sebagaimana diberitakan Kompas sehari sesudahnya, “media massa yang berusaha tetap independen seperti Kompas mengambil peran dalam menyediakan keberagaman gagasan di masyarakat. Harapannya agar tidak terjadi asimetri informasi yang menyebabkan sebagian besar orang kehilangan kesempatan. Peran Kompas dikembangkan sebagai lembaga kultural dengan acuan kemanusiaan yang beriman dengan Pancasila sebagai roh.”

            Tim promotor dari Universitas 11 Maret, menganggap gagasan jurnalisme makna yang dirintis Jakob Oetama penting bagi perkembangan jurnalistik di Indonesia. Pada intinya, jurnalisme makna adalah karya jurnalistik yang tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga konteks dari fakta terkait peristiwa yang diberitakan. Ini merupakan kerja intelektual. Tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga memberikan konteks dan interpretasi. Tim promotor menyebutkan jurnalisme makna merupakan terobosan baru dalam bingkai ideologi Pancasila dengan meniscayakan pengungkapan latar belakang peristiwa sehingga publik bisa melihat konteks peristiwa, meski akhirnya penilaiannya tetap diserahkan kepada publik.

            Dengan adanya kejelasan dari Jakob Oetama, kini mungkin bisa menganggap bahwa generasi baru jajaran pengasuh Harian Kompas, hanyalah terpleset dan terhanyut sesaat dalam arus politik partisan yang harus diakui memang membelah masyarakat di sekitar masa pemilihan presiden. Akibatnya di sekitar masa itu, berita dan interpretasi serta analisis yang disajikan Kompas, berkecenderungan kuat menjadi asimetri. Sejenak kehilangan posisi sebagai kompas nalar dan sumber referensi objektif bagi publik yang ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya dari peristiwa politik yang sedang terjadi. Kompas demam sesaat, tapi kini suhu tubuhnya agaknya mulai kembali normal. Demam itu mungkin terjadi karena semangat yang terlalu menggebu mendukung ketokohan tertentu kala itu. Di satu sisi ada tokoh baru yang belum terungkap mendalam mengenai masa lampaunya dan belum sempat dipastikan apakah punya dosa atau bersih dalam perjalanan karirnya –yang hingga sejauh ini cenderung mendapat citra semi malaikat. Dan pada sisi lain, ada tokoh yang sudah punya sejarah cukup panjang dengan lekatan subjektif citra more evil karena berbagai lekatan stigma pelanggaran HAM masa lampau serta tuduhan tindakan represi –yang tak pernah diklarifikasi dengan tepat.

            Koran Tempo yang merupakan ‘anak’ Majalah Mingguan Berita Tempo, mengalami demam partisan Pemilihan Presiden, dalam jangka waktu yang lebih panjang dari Harian Kompas. Sampai saat-saat terakhir, menjelang, selama dan setelah sidang gugatan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, suhu tubuhnya tetap tinggi. Apakah yang sesungguhnya telah terjadi di tubuh kelompok media terkemuka itu? Apakah telah terjadi jurang perbedaan gaya, sikap dan pemahaman tentang idealisme pers di antara para pendiri maupun para senior Tempo lainnya dengan generasi baru dan terbaru yang menjadi para juniornya?

            INTRODUKSI tim promotor Universitas 11 Maret, tentang jurnalisme makna yang dianggap terobosan baru, yang dilekatkan kepada Kompas adalah suatu penyampaian yang menarik. Empat puluh enam tahun lalu, Juni 1968, tokoh pers senior lainnya, Rosihan Anwar, mengintrodusir adanya model journal of ideas. Rosihan kala itu menyebut Mingguan Mahasiswa Indonesia –lahir 19 Juni 1966, dibreidel rezim Soeharto Januari 1974– sebagai pers dengan kategori seperti itu. Media generasi muda itu dianggap Rosihan sebagai penerbitan yang menyajikan segala gagasan dan opini dalam masyarakat. Telah mengabdikan diri pada karya modernisasi di tanah air, suatu hal yang tidak mudah dan tidak biasa terdapat dalam pers Indonesia. Kata Rosihan, “a single journal can make the difference.” Rosihan menyebut dalam posisi sebagai koran modernisator, tiga misi harus dijalankan media generasi muda tersebut, yaitu: Menggerakkan lagi bangsa ini, mengatur bangsa ini untuk pembangunannya dan memberikan bangsa ini suatu ideal.

            Apakah juga Harian Kompas adalah sebuah journal of ideas, dan apakah jurnalisme makna pada hakekatnya bisa pula dipahami dengan pengertian yang sama? Dalam desertasi doktornya –yang kemudian dibukukan tahun 1984 oleh LP3ES dengan judul ‘Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia’–  peneliti asal Perancis, Francois Raillon, sempat melakukan penilaian tentang dua koran nasional terkemuka Harian Kompas (terbit pertama kali 28 Juni 1965) dan Harian Sinar Harapan di masa-masa awal. Menurut Francois Raillon, kedua suratkabar nasional itu, menonjol berkat mutu editorial mereka dibandingkan pers pada umumnya. Sepanjang informasi yang ada, dua penulis editorial Kompas masa awal adalah Jakob Oetama dan Auwyang Peng Koen (PK Ojong, 1920-1980). “Namun sifat institusional serta nada tulisan mereka yang berhati-hati tidaklah memuaskan hati mereka yang mencari satu pers yang mencerminkan perubahan.”

Sebagai reaksi terhadap model pers yang ada, tulis Raillon, di tahun 1966 Mingguan Mahasiswa Indonesia didirikan (Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Ryandi S) dan pada saat yang sama Harian KAMI (Nono Anwar Makarim). Untuk memperkenalkan sebuah gaya jurnalisme baru, lebih hidup, lebih kritis dan lebih dinamis. “Yang hendak dilakukan ialah mematahkan tradisi berupa respek terhadap kekuasaan yang mewarnai pers waktu itu serta menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah.” Waktu itu, sikap kritis, dinamis dan fungsi kontrol sosial kepada penguasa, masih merupakan konsep baru yang tidak dijalankan dengan baik oleh pers konvensional maupun oleh partai-partai politik.

Mungkin saja Francois Raillon bisa dianggap berlebihan –termasuk oleh kalangan pers sendiri misalnya– tetapi bagaimana pun ia telah menempatkan dua media generasi muda itu, Harian KAMI dan terutama Mingguan Mahasiswa Indonesia, sebagai model ‘puncak’ pers bebas Indonesia, dengan nafas baru dan kualitas baru. Ketika dua media generasi muda itu dibreidel Januari 1974, antara lain dengan Harian Indonesia Raya (Mochtar Lubis) dan Harian Pedoman (Rosihan Anwar), Raillon menyebut Mahasiswa Indonesia tak tergantikan. “Tentu saja karena pers Indonesia baru saja menerima suatu kejutan setelah satu gelombang larangan yang mematikan beberapa penerbitan pers. Di samping itu, yang terbit terus hanya koran-koran yang selalu moderat atau memiliki kepandaian untuk berdayung serta pandai menebak berbagai variasi dari garis politik resmi.”

Francois Raillon tidak menyebut nama pers yang termasuk dalam kategori yang disebut terakhir tersebut. Tapi secara khusus ia menyebut Majalah Tempo yang terbit kemudian (dipimpin Goenawan Mohammad) sebagai memiliki warisan spiritual pers bebas seperti Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia. Goenawan Mohammad sebelumnya juga bergabung di Harian KAMI, lalu ikut mendirikan Mingguan Berita Ekspres bersama Marzuki Arifin. Akhirnya mendirikan Tempo setelah pecah kongsi dengan Marzuki. Tempo menurut Raillon, “membedakan dirinya dengan pers Indonesia lainnya berkat mutu yang boleh jadi terpengaruh oleh jurnalisme Amerika, tetapi juga mempunyai gaya hidup serta kritik cukup pedas yang mengingatkan kita pada Mingguan Mahasiswa Indonesia dari Bandung, tentu tanpa sikap aktivis.”

BERBEDA dengan Tempo yang lebih pedas, Harian Kompas tergolong sebagai media dengan pilihan sikap moderat. Kadang-kadang ketidakberaniannya menyuarakan kebenaran dengan lantang mengecewakan banyak pihak yang mendambakan pembaharuan sosial politik. Tetapi terlepas dari itu, bagaimana pun Indonesia membutuhkan media-media semacam Harian Kompas dan juga Majalah Tempo –semestinya demikian pula Koran Tempo– yang pada hakekatnya berkualitas tinggi. Dibutuhkan sebagai –katakanlah dalam posisi the last strong hold– sumber referensi kebenaran, di tengah suasana penuh ketidakbenaran seperti diderita Indonesia selama ini hingga kini. Tapi tentu, jangan sering-sering terpeleset ke dalam genangan lumpur noda sosial-politik-ekonomi. Keduanya, suka atau tidak, harus bersedia memikul semacam beban moral, dalam suatu ekspektasi berkadar tinggi dari publik, untuk tidak bergelimang noda politik maupun noda ekonomi. (Rum Aly/socio-politica.com)

Presiden, Gubernur, Penyair, Walikota dan Pelacur

SEKALI lagi, ada yang mencoba mengakhiri sebuah lokalisasi pelacuran. Bahkan mungkin, mencoba menamatkan profesi tertua yang sudah seusia peradaban manusia itu sendiri. Meski, sejauh ini belum pernah ada satu pun pemerintahan di dunia ini, yang pernah membuktikan betul-betul berhasil menghapuskan pelacuran maupun eksploitasi seks. Jangankan sekedar kekuatan negara dan pemerintahan, kekuatan agama sekalipun belum sanggup menyelesaikan masalah sosial-psikologis manusia yang satu ini. Apalagi, harus diakui bahwa kekuatan-kekuatan itu –negara dan agama– yang didominasi kaum patriarki yang masih selalu menjalankan dengan ketat hegemonic masculinity, justru adalah salah satu penyebab utama pelacuran.

            Pemerintah kota Surabaya, yang saat ini kebetulan dipimpin seorang perempuan sebagai walikota, Tri Rismaharini, mengorganisir deklarasi penutupan lokalisasi pelacuran terkenal –dengan riwayat panjang sejak zaman kolonial– Dolly (dan Jarak) di Kelurahan Putat Jaya Surabaya, Rabu malam 18 Juni 2014. Dengan Dolly, sampai sekarang, Tri Rismaharini berturut-turut telah menutup sejumlah lokalisasi pelacuran, yakni Dupak  Bangunsari, Tambak Asri, Klakah Rejo sampai Moro Rejo. Tentu saja, sejumlah alasan ideal disampaikan oleh Tri Rismaharini maupun oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Menteri Sosial Segaf Al Jufrie, saat hadir dalam acara deklarasi di Gedung Islamic Centre.

DEMO MENOLAK PENUTUPAN DOLLY. "Harus diakui, kasat mata, lokalisasi dan pelacuran selama ini menjadi suatu ladang mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak kecil jumlahnya." (download tribunnews)
DEMO MENOLAK PENUTUPAN DOLLY. “Harus diakui, kasat mata, lokalisasi dan pelacuran selama ini menjadi suatu ladang mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak kecil jumlahnya.” (download tribunnews)

            Retorika moral. Penutupan lokalisasi ini ‘memukul’ kehidupan ekonomi 1400-an perempuan yang beberapa tahun belakangan ini disebut sebagai pekerja seks komersial. Begitu pula kehidupan ekonomi ratusan muncikari dan ribuan orang lainnya yang menggantungkan kehidupan ekonominya dari ‘keramaian’ Dolly. Belum lagi di lokalisasi lainnya. Harus diakui, kasat mata, lokalisasi dan pelacuran selama ini menjadi suatu ladang mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang tidak kecil jumlahnya.

Para tokoh pemerintahan yang terkait dengan keputusan ini selalu menjanjikan kehidupan ekonomi pengganti. Tetapi perlu dicatat, bahwa hingga kini dalam penutupan lokalisasi di berbagai tempat di Indonesia, secara empiris hanya sebagian kecil janji sosial dan ekonomi yang ideal disertai retorika moral berhasil ditunaikan, untuk tidak mengatakannya hampa sama sekali.

            Di beberapa bekas lokalisasi di berbagai kota memang telah dibangun pusat-pusat ekonomi baru, tetapi nyaris tak terhubung lagi dengan nasib dan kepentingan mereka yang tergusur. Para pelacur yang tergusur itu, tak sepenuhnya berhasil dijadikan ‘manusia baik-baik’ menurut versi muluk para penentu kebijakan penggusuran. Sebagian terbesar tercerai berai dan melanjutkan profesi lama mereka, bertebaran ke tempat-tempat yang tak jelas, sehingga tak terjangkau oleh kontrol dinas-dinas sosial dan kontrol medis. Padahal selama mereka berada di lokalisasi, kesehatan mereka sebagai orang dengan potensi penular berbagai penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS, bagaimana pun lebih dapat dikontrol dengan baik.

            DULU, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin adalah salah satu kepala daerah yang menjalankan kebijakan lokalisasi terhadap para pekerja seks komersial itu untuk kemudahan kontrol atas kesehatan, kontrol terhadap pengunjung di bawah umur, serta pengawasan terhadap kriminalitas. Daripada bertebaran. Lebih mudah melakukan pengendalian terhadap tempat-tempat yang jelas daripada tempat-tempat yang tidak jelas keberadaannya. Selain itu, yang sangat perlu diperhatikan, baik dalam pengelolaan lokalisasi atau pengawasan pelacuran, adalah proses rekrutmennya dijaga tidak melalui kejahatan human trafficking. Lokalisasi itu sendiri bisa mencegah perempuan Indonesia menjadi komoditi perdagangan manusia ke negara lain. Ali Sadikin mengakui banyak ekses yang harus ditanggulangi dalam masalah pelacuran. Kebijakan lokalisasi adalah pilihan buruk, tetapi bukan yang terburuk di antara pilihan dilematis yang tersedia.

ADEGAN KEMARAHAN TRI RISMAHARINI DALAM BERITA TV ONE. "Sebagai seorang perempuan, Walikota Surabaya Tri Rismaharini –yang sering tampil temperamental– mungkin takkan merasa terlalu ‘tersentuh’ dengan bait terakhir puisi Rendra.... Tapi sebagai perempuan dengan naluri keibuan, mungkin ia bisa merenungkan beberapa bait lainnya yang menggambarkan realitas selama ini, sebagai referensi bagi segala ‘niat baik’ dalam masalah moral dan kesusilaan."
ADEGAN KEMARAHAN TRI RISMAHARINI DALAM BERITA TV ONE. “Sebagai seorang perempuan, Walikota Surabaya Tri Rismaharini –yang sering tampil temperamental– mungkin takkan merasa terlalu ‘tersentuh’ dengan bait terakhir puisi Rendra…. Tapi sebagai perempuan dengan naluri keibuan, mungkin ia bisa merenungkan beberapa bait lainnya yang menggambarkan realitas selama ini, sebagai referensi bagi segala ‘niat baik’ dalam masalah moral dan kesusilaan.”

Kepolisian pun kerapkali justru berhasil membekuk kaum kriminal di lokalisasi, karena salah satu kebiasaan para penjahat adalah ‘merayakan’ keberhasilan operasi kejahatan mereka dengan ‘pesta sex’ dan minum-minum di tempat-tempat pelacuran. Polisi pun sering memanfaatkan informasi para pelacur untuk mengungkap suatu kejahatan, karena biasanya para penjahat ini senang mengobral cerita tentang kehebatan dirinya kepada para perempuan penghibur ini.

Lama setelah Ali Sadikin tidak menjabat, beberapa lokalisasi pelacuran di Jakarta ditutup oleh para penggantinya, terutama karena tekanan partai politik dan ormas tertentu. Salah satunya, lokalisasi Kramat Tunggak yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Sebuah penelitian tidak resmi, menyebutkan bahwa setelah penutupan sejumlah lokalisasi, terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap kaum perempuan di masyarakat daerah atau kota tersebut. Barangkali, setelah penutupan sejumlah lokalisasi di Surabaya, juga perlu dilakukan serangkaian penelitian serupa. Sekaligus penelitian apakah rehabilitasi sosial dan ekonomi di wilayah itu berhasil atau sebaliknya. Penelitian yang sama bisa dan perlu dilakukan di kota-kota lain yang menempuh kebijakan serupa, seperti misalnya di Bandung pasca penutupan lokalisasi Saritem di masa Walikota Dada Rosada yang diteruskan di masa Walikota Ridwan Kamil.

“Berilah aku seorang pelacur yang baik,” kata Soekarno. DI ANTARA Presiden Indonesia, mungkin Soekarno lah yang sangat mengapresiasi dan memiliki rasa penghargaan tertentu kepada perempuan pelacur yang dulu dijuluki WTS (Wanita Tuna Susila) dan dianggap sampah masyarakat.

Dalam buku ‘Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat’ –biografi yang ditulis Cindy Adams berdasarkan penuturan Bung Karno– Soekarno menceritakan bahwa pada masa pergerakan kebangsaan di Bandung saat ia masih kuliah di ITB, ia sering melakukan rapat-rapat di tempat pelacuran. “Ke mana lagi sesorang yang dikejar-kejar harus pergi, supaya aman dan bebas dari kecurigaan dan di mana kelihatannya seolah-olah kepergiannya itu tidak untuk menggulingkan pemerintah?”. Dan bila kemudian ia dipanggil perwira polisi kolonial untuk menanyakan kehadirannya di sebuah tempat pelacuran, dengan berpura-pura malu ia berbisik, “Untuk bercintaan dengan seorang perempuan……..”

“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Aku dengan segala senang hati menganjurkan ini kepada setiap pemerintah,” ujar Soekarno. Ia mengaku, ada 670 orang perempuan pelacur yang bergabung dalam gerakan PNI di Bandung kala itu. “Mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh daripada anggota lain yang pernah kuketahui. Kalau menghendaki mata-mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini.”

Tak dapat dibayangkan, tutur Soekarno, betapa bergunanya mereka ini. Yang pertama, aku dapat menyuruh mereka menggoda polisi Belanda. Jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia, kan? “Dalam keadaan yang mendesak aku menunjuk seorang polisi tertentu dan membisikkan kepada bidadariku, ‘Buka kupingmu. Aku perlu rahasia apa saja yang bisa kau bujuk dari babi itu’. Dan betul-betul ia memperolehnya. Polisi-polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya keterangan yang kami peroleh. Tak satu pun anggota partai yang gagah dan terhormat dari jenis laki-laki dapat mengerjakan tugas ini untukku!”

Masih ada prestasi lain yang menurut Soekarno mengagumkan dari mereka ini. “Perempuan-perempuan lacur adalah satu-satunya di antara kami yang selalu mempunyai uang. Mereka menjadi penyumbang yang baik apabila memang diperlukan. Anggota-anggotaku ini bukan saja penyumbang yang bersemangat, bahkan menjadi penyumbang yang besar.”

Satu lagi, Soekarno menggunakan perempuan pelacur anggotanya untuk melancarkan perang urat syaraf. Bila seorang pejabat Belanda, misalnya Kepala Penjara, sedang berjalan-jalan dengan isterinya, maka seorang bidadari Soekarno mendekat, tersenyum genit dan menyapa, “Selamat malam,” sambil menyebut nama sang pejabat. “Beberapa langkah setelah itu tak ragu lalu tentu ia berpapasan dengan gadisku yang lain dan dia pun akan menyebut namanya dan merayu, ‘Hallo…., selamat malam untukmu’. Isterinya akan gila oleh teguran ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat syaraf kami.”

Soekarno –yang memilih sikap koperatif dengan Jepang 1942-1945– pernah mengorganisir 120-an perempuan pelacur di Sumatera Barat untuk memenuhi kebutuhan seksual balatentara Jepang. “Ini untuk mencegah mereka mengganggu perempuan Minang,” ujarnya. “Aku menginsafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermain-main dengan gadis Minang. Dan aku pun menginsafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi.”

Berhentilah tersipu-sipu. DALAM puisinya ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta’ WS Rendra (almarhum) menyatakan kemarahannya kepada hipokrisi pejabat dan tokoh masyarakat terhadap kaum pelacur. Berikut ini sebagian bait dari puisi tersebut.

“Pelacur-pelacur Kota Jakarta/ Dari kelas tinggi dan kelas rendah/diganyang/ Telah haru biru/ Mereka kecut/ Keder/ Terhina dan tersipu-sipu/ Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan/ Tapi jangan kau lewat putus asa/ Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.”

“Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta/ Sekarang bangkitlah/ Sanggul kembali rambutmu/ Karena setelah menyesal/ Datanglah kini giliranmu/ Bukan untuk membela diri melulu/ Tapi untuk lancarkan serangan/ Karena/ Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan/ Tapi jangan kaurela dibikin korban.”

Pada bait lainnya, Rendra dengan tajam mengungkap beberapa sikap hipokrit kalangan politik dan birokrasi.

“Politisi dan pegawai tinggi/ Adalah caluk yang rapi/Kongres-kongres dan konferensi/ Tak pernah berjalan tanpa kalian/ Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’/Lantaran kelaparan yang menakutkan/ Kemiskinan yang mengekang/ Dan telah lama sia-sia cari kerja/ Ijazah sekolah tanpa guna.”

“Para kepala jawatan/Akan membuka kesempatan/ Kalau kau membuka kesempatan/ Kalau kau membuka paha/ Sedang di luar pemerintahan/ Perusahaan-perusahaan macet/ Lapangan kerja tak ada/ Revolusi para pemimpin/ Adalah revolusi dewa-dewa/ Mereka berjuang untuk syurga/ Dan tidak untuk bumi/ Revolusi dewa-dewa/Tak pernah menghasilkan/ Lebih banyak lapangan kerja/ Bagi rakyatnya.”

“Pelacur-pelacur kota Jakarta/ Berhentilah tersipu-sipu/ Ketika kubaca di koran/ Bagaimana badut-badut mengganyang kalian/ Menuduh kalian sumber bencana negara/ Aku jadi murka/ Kalian adalah temanku/ Ini tak bisa dibiarkan/ Astaga/ Mulut-mulut badut/ Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan/ Saudari-saudariku/ Membubarkan kalian/ Tidak semudah membubarkan partai politik/ Mereka harus beri kalian kerja/ Mereka harus pulihkan darjat kalian/ Mereka harus ikut memikul kesalahan.”

“Saudari-saudariku Bersatulah/ Ambillah galah/ Kibarkan kutang-kutangmu di hujungnya/ Araklah keliling kota/ Sebagai panji yang telah mereka nodai/ Kinilah giliranmu menuntut/ Katakanlah kepada mereka/ Menganjurkan mengganyang pelacuran/ Tanpa menganjurkan/ Mengahwini para bekas pelacur/ Adalah omong kosong.”

“Pelacur-pelacur kota Jakarta/ Saudari-saudariku/ Jangan melulu keder pada lelaki/ Dengan mudah/ Kalian bisa telanjangi kaum palsu/ Naikkan tarifmu dua kali/ Dan mereka akan klabakan/ Mogoklah satu bulan/ Dan mereka akan puyeng/ Lalu mereka akan berzina/ Dengan isteri saudaranya.”

SEBAGAI seorang perempuan, Walikota Surabaya Tri Rismaharini –yang sering tampil temperamental– mungkin takkan merasa terlalu ‘tersentuh’ dengan bait terakhir puisi Rendra ini. Tapi sebagai perempuan dengan naluri keibuan, mungkin ia bisa merenungkan beberapa bait lainnya yang menggambarkan realitas selama ini, sebagai referensi bagi segala ‘niat baik’ dalam masalah moral dan kesusilaan.

Masalah pelacuran, bukan melulu terkait dengan retorika tentang moral dan susila. Ia adalah suatu masalah kompleks. Apalagi akarnya adalah patriarki dengan hegemonic masculinity, yang masih kuat di tubuh budaya bangsa ini. Maka, penghapusan lokalisasi, atau lebih jauh, pretensi menghilangkan pelacuran, tak mudah dilakukan. Perlu kegeniusan sosial. Selama ini memang banyak penanganan dilakukan, namun caranya hanya “ibarat membersihkan suatu ruang, tapi menyembunyikan debunya di bawah karpet.” (socio-politica.com)

Kasus Satinah: “Si Buah Malakama Dari Arab Saudi”

BERKALI-KALI sudah negara ‘sahabat’ yang ‘seiman-seagama’, Kerajaan Arab Saudi, menyodorkan ‘si buah malakama’ kepada kita orang Indonesia. Menyangkut berbagai soal, mulai dari masalah penyelenggaraan ibadah haji, ‘ekspor’ semangat pertikaian sektarian dan sikap fanatisme-radikal-militan kaum fundamental dari sana maupun dari negara Arab lainnya di sekitarnya, sampai kepada sikap dan perilaku perbudakan kepada tenaga kerja yang mencari nafkah di negara kerajaan tersebut. Dilema ‘si buah malakama’ terbaru dari sana, adalah kasus hukum mati qishas –terhadap perempuan asal Ungaran Jawa Tengah bernama Satinah– dengan kesempatan pemaafan melalui pembayaran uang darah (diyat) kepada keluarga korban. Sedikit lebih ‘ringan’ dari pilihan hukuman mati had ghillah (mutlak) yang tak mengenal mekanisme pengampunan.

HUKUM PANCUNG DI ARAB SAUDI. "Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia abad pertengahan."
HUKUM PANCUNG DI ARAB SAUDI. “Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia abad pertengahan.” (Daily Mail)

            Sebelum kasus Satinah, ada kasus terbaru kedua, yakni kasus Dasem, yang bisa di’selamat’kan nyawanya dengan diyat senilai 4,7 milyar rupiah. Tetapi diyat kali ini untuk Satinah, menjadi lebih fantastis, sebesar 21 milyar rupiah lebih. Ada kecenderungan bahwa dari waktu ke waktu uang darah itu makin berdarah-darah, berjalan dalam satu kurva menanjak, sebagai perpaduan pelampiasan dendam dengan perilaku pemerasan dalam keserakahan.

Penegakan hukum di negara kerajaan itu, seperti kita ketahui bersama, dinyatakan adalah berdasarkan hukum Islam. Tapi kita mungkin harus lebih percaya bahwa banyak bagian dari penegakan hukum di kerajaan itu lebih mengakar pada tradisi kultur gurun Arabia jauh sebelum abad pertengahan. Ketentuan “mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa” misalnya, begitu pula dengan hukum potong tangan, mustahil bila dikatakan itu merupakan jiwa ajaran Islam yang sesungguhnya.

Cendekiawan Islam modern, memiliki penafsiran-penafsiran baru yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur dan tidak emosional, namun masih selalu kalah oleh penafsiran fundamental buta yang tak mampu membaca perjalanan zaman. Term ‘potong tangan’ misalnya, tidak harus ditafsirkan harafiah. Saat seorang manusia memohon kepadaNya, ia akan menadahkan tangan ke atas. Secara filosofis, dengan demikian, tangan menjadi simbol hubungan manusia denganNya saat memohon kerahimanNya. Manusia yang melakukan pencurian milik orang lain, berarti menyalahgunakan tangan itu. Maka mereka yang melakukan pencurian itu telah ‘kehilangan’ satu alat isyarat komunikasi penting denganNya yang berguna untuk menyampaikan permintaan pertolongan kepadaNya. Telah ‘terpotong’ tangannya di mata Allah.

KENAPA peristiwa-peristiwa semacam kasus Dasem dan Satinah menjadi ibarat ‘si buah malakama’ bagi kita?

Kalau memang Dasem dan Satinah betul-betul melakukan pencurian dan pembunuhan seperti yang dituduhkan dan dijatuhi hukuman oleh ‘pengadilan’ Kerajaan Arab Saudi, lalu kita semua di tanah air bersatu mengumpulkan uang untuk membayar diyat, berarti beramai-ramai kita membebaskan seorang pembunuh. Ada informasi, bahwa setidaknya masih ada 200 orang lebih WNI di Arab Saudi yang menunggu hukuman mati, baik had ghillah maupun qishas. Jadi, sejumlah ‘si buah malakama’ masih akan menggelinding kepada kita. Dan uang diyat juga semakin meninggi sejalan dengan meningkatnya hasrat pelampiasan dendam dengan keuntungan materil. Manusia-manusia di dalam masyarakat Arab di sana juga sedang mengalami perubahan nilai tentang korelasi kedukaan karena kematian anggota keluarga dan kesukacitaan materi yang bisa dihasilkan dari kematian itu.

Pada sisi lain, bila membiarkan seorang terhukum mati qishas, dieksekusi begitu saja, bisa muncul ‘perasaan bersalah’ pada diri beberapa di antara kita, karena membiarkan seorang warganegara kita dihilangkan nyawanya padahal kita bisa bersama mengumpulkan uang untuk penyelamatan. Rasa bersalah itu –tepatnya tanggungjawab– terutama (semestinya) ada dalam diri kalangan kekuasaan (pemerintah) yang selama ini menikmati manfaat devisa yang dihasilkan para TKI/TKW. Dan, para pengusaha pengerah tenaga kerja yang menarik benefit dan menjadi kaya raya dari bisnis yang mengarah sebagai ‘perbudakan manusia’ di zaman modern itu.

Pemerintah Indonesia sejauh ini, menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, menyediakan dana 12 milyar rupiah. Tetapi Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan pemerintah tak bisa membantu membayar diyat yang terlalu mahal itu. Selain itu, pemerintah berusaha menghargai proses hukum negara lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sementara itu, kembali menyurati Raja Arab Saudi untuk sekali lagi menunda eksekusi Satinah. Dalam rapat kabinet Rabu 26 Maret, Presiden menegaskan keliru besar bila dikatakan pemerintah tak peduli nasib Satinah. “Semua sudah bekerja habis-habisan.” Memang terlihat betapa sejumlah tokoh –politik maupun pemerintahan– gamang bila diajak berpendapat mengenai kasus Satinah. Sangat berhati-hati, tak mau melawan arus opini, karena takut untuk dianggap tak membela Satinah.

ARUS sikap yang tampaknya kuat di masyarakat –sepanjang yang ditampilkan dan digambarkan oleh berbagai media– adalah ‘benar atau salah, itu sedulur kita’. Bagaimanapun Satinah sesama bangsa, wajib dibela. Bila ada orang yang membunuh sesama bangsa di dalam negeri, apalagi dengan cara-cara yang keji, semua orang geram. Lihat betapa geramnya publik terhadap pembunuhan keji terhadap Sisca Yofie di Bandung. Publik bahkan juga geram terhadap pihak kepolisian yang dicurigai menutup-nutupi sebagian fakta, khususnya terkait dengan dalang pembunuhan di belakang layar. Tetapi, bila warga negara kita membunuh di negara lain, ada kesepakatan tak tertulis, bila dihukum mati harus dibela. Khususnya menyangkut TKW atau TKI. Karena, diasumsikan mereka pasti ditindas sehingga membunuh dan atau diadili secara curang. Untuk sebagian besar, data empiris memperlihatkan bahwa tidak sedikit tenaga kerja Indonesia, khususnya kaum perempuan, memang ditindas di negara-negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong. Ekses yang terlihat, kalau tidak menjadi korban kekerasan dan bahkan ada di antaranya sampai meninggal, sebaliknya akan menjadi pelaku kekerasan dan atau pembunuhan terhadap kalangan majikan.

Dimensi lain yang muncul dari sikap kesediaan membayar diyat, adalah bahwa kita sepakat untuk menjadi sasaran pemerasan oleh warganegara satu bangsa lain terhadap diri kita sebagai suatu bangsa. Besarnya uang diyat, ke depan bisa dipastikan akan makin tinggi dan makin tinggi. Dan itu akan terjadi terus, selama kita masih mengirim TKI/TKW dengan kualifikasi pendidikan rendah seperti selama ini. Kualifikasi rendah pendidikan tenaga kerja yang dikirim Indonesia tak bisa dihindari akan selalu berbenturan dengan sikap merata masyarakat Arab Saudi yang masih menganggap tenaga kerja itu adalah budak (khadam) yang telah mereka tebus dengan uang (beli) dari para pengerah tenaga kerja (‘pedagang budak’). Karena para pencari kerja dari Indonesia dianggap ‘budak’ –bukan kaum profesional yang harus dihargai– maka perlakuan terhadap mereka juga adalah perlakuan semena-mena sebagaimana lazimnya harus diterima para budak dari waktu ke waktu.

Satu dan lain hal, terkenalnya Indonesia sebagai pemasok tenaga kerja dengan kualitas dan strata bawah, yang di beberapa negara tujuan diperlakukan bagaikan budak saja, melahirkan sikap menghina. Bila diakumulasikan, melahirkan persepsi sebagai ‘bangsa budak’. Banyak dari kita, bila berkunjung ke negara-negara tujuan tenaga kerja kasar Indonesia, mengalami sikap meremehkan dan merendahkan dari masyarakat setempat. Di Malaysia, ada julukan indon. Di Singapura, anda hanya dihormati bila anda menjadi pembelanja di shopping centre. Di Arab Saudi, tak usah diceritakan. Sedang menunaikan ibadah haji atau umroh sekalipun, anda bisa diperlakukan tidak sopan oleh orang setempat.

Tapi menyangkut TKW, jangankan di luar negeri, bangsa sendiri tak kalah buruknya memperlakukan mereka. Saat menjejakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, mulailah cerita panjang pemerasan terhadap mereka. Bukan semata dilakukan para ‘preman’ tetapi juga para oknum petugas dari berbaga instansi.

SEBENARNYA hanya ada satu jawaban untuk melepaskan bangsa dan negara ini dari dilema ‘si buah malakama’ yang nyaris kronis, yakni dengan menghapuskan ekspor tenaga kerja berkualitas rendah. Kementerian Tenaga Kerja bisa mulai lebih fokus mempersiapkan dan mengintensifkan ekspor tenaga kerja profesional seperti perawat, penyelia dan lain sebagainya. Sudah tiba saatnya kalangan pemerintahan Indonesia –khususnya yang akan tersusun nanti setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014– untuk lebih memperhatikan sumber-sumber devisa lainnya daripada sekedar ekspor tenaga kerja kualitas rendah. Penumbuhan aneka jenis industri, terutama agro industri, dan penumbuhan berbagai sektor jasa, dibutuhkan untuk memberi lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih luas sebagai pengganti. Tapi, jangan lupa, bukan hal mudah untuk menghapuskan ekspor TKW/TKI, karena di dalam bisnis itu secara menahun telah bersarang kepentingan-kepentingan khusus yang sebenarnya bukan lagi kepentingan bangsa dan negara. (socio-politica.com)

Indonesia 2014: Dari Anomali ke Anomali

SETIDAKNYA sudah dua kali –meskipun selalu dengan nada berseloroh– Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto menyatakan penyesalan mengapa dulu pada Mei 1998 tidak mengkudeta Presiden BJ Habibie yang baru dilantik 21 Mei menggantikan Presiden Soeharto. Di depan Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia, Sabtu 1 Maret 2014, Prabowo menceritakan bahwa dirinya adalah korban reformasi. Dituduh macam-macam, dituduh mau mengkudeta. “Mau, tapi nggak kudeta,” demikian ia dikutip Tribun News. “Terus terang saja di hati kecil saya, lebih bagus mau kudeta saat itu.” Sebelumnya, 18 Desember 2013, ia menyampaikan penyesalan yang sama saat berbicara dalam suatu forum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate. “Saya Letnan Jenderal Purnawirawan, mantan Panglima Kostrad yang hampir kudeta. Tapi kudeta nggak jadi, nyesel juga saya sekarang….,” ujarnya sambil tertawa.

JENDERAL PRABOWO DI TENGAH PRAJURIT KOPASSUS. "DALAM dunia kekuasaan, lebih menyenangkan menjadi ala Napoleon –walau dengan kualitas lebih buruk– dengan mengendali negara lebih berdasarkan hasrat dan kepentingan sendiri. Tanpa kenegarawanan. Lebih buruk dari Napoleon, karena bahkan Napoleon pun dalam hal tertentu masih memiliki sifat dan sikap kenegarawanan yang berharga untuk Perancis." (foto original Tempo)
JENDERAL PRABOWO DI TENGAH PRAJURIT KOPASSUS. “DALAM dunia kekuasaan, lebih menyenangkan menjadi ala Napoleon –walau dengan kualitas lebih buruk– dengan mengendali negara lebih berdasarkan hasrat dan kepentingan sendiri. Tanpa kenegarawanan. Lebih buruk dari Napoleon, karena bahkan Napoleon pun dalam hal tertentu masih memiliki sifat dan sikap kenegarawanan yang berharga untuk Perancis.” (foto original Tempo)

            Munculnya tuduhan Prabowo akan melakukan kudeta berawal dari laporan Panglima ABRI Jenderal Wiranto kepada Presiden BJ Habibie pagi hari 22 Mei 1998. Jenderal Wiranto melaporkan telah terjadi pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju ibukota negara tanpa sepengetahuan dirinya. Menurut buku “Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” (Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, Maret 2009), Penasehat Presiden bidang Pertahanan Keamanan Letjen Sintong Panjaitan membuat analisis bahwa sejauh itu tidak terbukti Prabowo Subianto akan melakukan kudeta. Namun, dalam mengolah situasi keamanan, ia harus membuat penafsiran yang lebih berat. “Bagaimana seandainya Prabowo melakukan kudeta? Hal itu disebabkan Prabowo memiliki 11.000 orang pasukan yang 90 persen di antaranya berada di Jakarta sehingga memungkinkan ia melakukan kudeta.” BJ Habibie yang kala itu baru 24 jam lebih menjadi Presiden, cukup sensitif. Percaya kepada laporan Jenderal Wiranto, Presiden Habibie –yang sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang ilmuwan daripada seorang negarawan– segera memerintahkan agar jabatan Letnan Jenderal Prabowo Subianto sebagai Panglima Kostrad harus diserahterimakan pada hari itu juga sebelum matahari terbenam.

                BUKU teks Sociology –ditulis Ogburn dan Nimkoff, yang telah dicetak ulang terus menerus sejak 1940 selama puluhan tahun– menyebutkan bahwa sains (science) menghasilkan ilmu pengetahuan, tapi tidak mencipta kebijaksanaan, atau pemahaman, atau pengendalian, atau gagasan. Namun, adalah benar bahwa ilmu pengetahuan bisa membantu manusia lebih bijak, lebih memahami, memberi pedoman mengelola lingkungan, dan mengilhamkan gagasan. Dan ada empat contoh tokoh terkemuka untuk itu. Sulaiman (Alaihissalam) adalah seorang manusia bijak tapi bukan seorang saintis. Shakespeare memiliki pemahaman besar namun juga bukan seorang saintis. Napoleon menjalankan pengendalian tanpa sains. HG Wells adalah manusia gagasan, tapi bagaimanapun gagasan bukanlah sains.

            Seandainya Jenderal Prabowo Subianto berhasil melakukan kudeta, ia bisa menjadi seperti Napoleon. Mengingat track recordnya sebagai militer dalam rezim Soeharto, kemungkinan terbesar ia melakukan pengendalian dengan cara keras. Menantu Jenderal Soeharto ini beberapa kali melakukan penculikan untuk membungkam kritik terhadap rezim.

            Kini, saat akan maju berjuang menjadi Presiden Republik Indonesia, selain melontarkan banyak gagasan pembangunan, Prabowo juga melontarkan banyak kata-kata kritik tentang berbagai anomali yang terjadi di tubuh bangsa dan negara ini. Menurutnya, demokrasi setelah reformasi sudah kebablasan, membuat ribuan suratkabar, banyak partai politik, dan korupsi semakin merajalela. “Maling tambah maling. Tambah banyak hakim konstitusi yang juga maling. Luar biasa bangsa kita ini,” ujarnya. Sayangnya, terlepas dari siapa yang mengatakannya, Indonesia memang lebih merupakan sebuah anomali, terutama pada beberapa dekade terakhir ini. Kita belum tahu persis, apakah Prabowo Subianto yang di masa lampau pernah menjadi salah satu anomali –dan kini mencoba menjadi manusia gagasan– akan menjadi anomali lainnya lagi di masa depan.

Cepat atau lambat, Indonesia suatu ketika akan betul-betul miskin manusia bijak, manusia dengan pemahaman besar atau manusia gagasan, atau bahkan sekedar manusia baik dan normal. Manusia bijak maupun manusia dengan pemahaman besar hanya didengarkan kata-katanya namun tanpa diresapi maknanya. Manusia dengan gagasan, adalah manusia dari dunia yang lain, karena kebanyakan orang lebih menyukai statusquo daripada menerima pembaharuan. Apalagi bila pembaharuan itu menyangkut politik dan kekuasaan serta ekonomi.

             Manusia-manusia baik maupun manusia-manusia yang coba bertahan sebagai manusia baik, dari hari ke hari makin tersudutkan oleh situasi dengan fakta kejahatan mengalahkan kebaikan. Kehidupan politik, kehidupan bernegara, kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial, makin penuh dengan kekejian. Seorang tokoh baik, dicintai dan mencintai rakyat, bisa dirobah oleh partai yang ‘membesarkan’nya menjadi tokoh buruk saat berada dalam suatu posisi.

Manusia tidak normal makin menjadi mayoritas. Bahkan kalangan perguruan tinggi dan kalangan intelektual pada umumnya, makin terisi dengan manusia jalan pintas. Berkali-kali terungkap adanya akademisi yang melakukan plagiat dalam menghasilkan karya-karya ilmiah. Sementara sejumlah lainnya tak segan-segan melakukan pelacuran intelektual dalam skenario kepentingan kalangan kekuasaan yang membutuhkan ‘cap’ atau pembenaran akademis untuk berbagai tindakan dan kebijakan. Perguruan tinggi pun menjadi salah satu sumber penghasil manusia-manusia pelaku korupsi. Dosen yang pernah dinobatkan sebagai seorang dosen teladan pun, bisa tergelincir dalam kekuasaan. Toh, gelar-gelar akademis tetap digilai, terutama oleh mereka yang membutuhkan atribut akademis dalam dunia politik dan kekuasaan. Ada yang sampai memerlukan membeli gelar professor. Padahal gelar professor hanya bisa disandang oleh mereka yang mengajar di perguruan tinggi.

            SITUASI anomali merambah ke mana-mana. Nama dan kesucian agama pun kerap terserempet. Ada korupsi dalam pengadaan kitab suci Al Qur’an. Tokoh-tokoh partai yang selalu membawakan dan mengetengahkan nama agama dalam sepak terjang politiknya, terlibat dalam korupsi besar-besaran dengan bumbu skandal asmara.  Saat ini korupsi dana penyelenggaraan haji di Kementerian Agama sedang ditelusuri oleh lembaga pemberantasan korupsi. Pada waktu yang sama, Majelis Ulama Indonesia disorot karena adanya indikasi komersialisasi dalam menerbitkan label halal. Kalau semua perbuatan ini kelak terbukti betul-betul terjadi, inilah kejahatan di atas kejahatan. Melakukan kejahatan keuangan (korupsi) di atas kejahatan mengatasnamakan agama.

            Umat juga harus mewaspadai kehadiran ustadz-ustadz yang terlalu komersial –mengenakan tarif fantastis untuk jasa ceramahnya– ataupun  yang berperilaku tak terpuji lainnya di tengah-tengah kehidupan beragama. Umat harus lebih selektif dalam memberi ‘pengakuan’ dan ‘pengidolaan’ seseorang. Bagaimana bisa seseorang pantas mengajari kita dengan soal moral dan kebajikan bila ia sendiri tak cukup bermoral dan memiliki kebajikan? Ada ‘ustadz’ yang punya reputasi tertentu dalam kehidupan asmara dan perkawinan. Ada ‘ustadz’ yang bersikap dzalim terhadap orang lain –menginjak kepala orang. Ada ustadz yang mudah mengumbar kata-kata yang tak pantas, dan sebagainya. Memang seorang ustadz juga adalah manusia biasa, tetapi bila ingin menjadi ustadz harus mempersiapkan diri untuk menjadi lebih dari sekedar manusia biasa, khususnya dalam keteladanan sikap dan perilaku.

            PEMERINTAH Jepang, melalui para penegak hukum dan keamanan, belakangan ini bersikap lebih keras dan ketat terhadap kelompok Yakusa. Dulu jejak tangan Yakusa sangat terasa dalam kehidupan politik, ekonomi dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kini, ruang gerak kaum preman di negeri Sakura itu makin sempit dan terbatas, sehingga beberapa di antaranya terpaksa ber’migrasi’ ke beberapa negara lain.

Di Indonesia, kaum preman lebih bisa menikmati banyak keleluasaan bergerak, baik dalam dunia bisnis dan kehidupan sosial, tak terkecuali dalam kehidupan politik. Banyak kekuatan politik dan bahkan kalangan kekuasaan memanfaatkan jasa preman dalam permainan kekuasaan. Sebagai gantinya, ada porsi imbalan dalam struktur, kentara maupun di belakang layar. Jangan-jangan premanisme memang sudah merupakan bagian dari sistem kekuasaan? Polisi, dengan sedikit saja perkecualian, cenderung lebih gamang menghadapi kaum preman daripada kalangan kriminal biasa yang tak terorganisir.

Cukup menakjubkan, tokoh-tokoh preman dan atau vigilante yang muncul di gedung pengadilan, bebas dielu-elukan oleh ‘massa pendukung’nya. Dan dengan gaya, sang preman pun menunjukkan aksi pentasnya bagaikan Don Corleone dalam film The Godfather. Belum lama ini, saat seorang tokoh preman yang telah terpidana dipindahkan dari satu LP ke LP lainnya, penuh gaya ia bebas berjalan tegak dengan gagah, sementara narapidana lainnya harus berjalan sambil jongkok ke mobil pengangkut dalam pengawalan ketat petugas.

            Bukan rahasia, beberapa tokoh preman terkemuka, adalah ‘peliharaan’ institusi ataupun kelompok kekuasaan tertentu. Bisa juga dibalik, seorang tokoh preman dengan uangnya –dan akhirnya memperoleh status sebagai pengusaha– berkemungkinan ‘memelihara’ oknum dalam kekuasaan negara dan politik dalam jaringannya. Dan bisa mengatur mereka untuk berbagai kepentingan. Dari dunia rumor muncul cerita, betapa sejumlah tokoh yang berambisi meraih kursi kekuasaan mendapat topangan dana dan topangan intrik dari tokoh preman.

            Dalam suasana serba korup, semua menjadi mungkin.

            DALAM dunia kekuasaan, lebih menyenangkan menjadi ala Napoleon –walau dengan kualitas lebih buruk– dengan mengendali negara lebih berdasarkan hasrat dan kepentingan sendiri. Tanpa kenegarawanan. Lebih buruk dari Napoleon, karena bahkan Napoleon pun dalam hal tertentu masih memiliki sifat dan sikap kenegarawanan yang berharga untuk Perancis.

            Tolong perhatikan dan perkirakan bagaimana kualitas kepemimpinan dan kualitas kenegarawanan para pemimpin kita dalam beberapa dekade ini. Dan tolong perhatikan pula bagaimana kualitas para tokoh yang kini sedang ancang-ancang di garis start menuju Pemilihan Presiden di tengah situasi penuh anomali seperti saat ini.

            Setelah itu, mari kita tunggu, legislator dan pemimpin macam apa yang akan kita peroleh nanti melalui Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden mendatang di tahun 2014 ini. Akankah kita memperoleh para penyelamat bangsa dan negara, atau sebaliknya para manusia yang akan mendorong Indonesia menuju kehancuran lebih cepat lagi? (socio-politica.com)

Polisi: Persoalan Kewibawaan dan Pola Jalan Pintas

PASCA masa Dwifungsi ABRI, Kepolisian Indonesia terbawa tepat ke tengah pusaran kekuasaan negara. Polri – khususnya Kepala Polri, yang langsung berada di bawah Presiden– menjadi faktor dalam kekuasaan, yang terjadi terutama karena struktur pengorganisasiannya yang berskala nasional dengan sistem komando sentralistik. Di atas kertas –dan untuk sebagian dalam kenyataan– Polri menjadi sangat powerful. Sesuatu yang yang tidak dimiliki oleh kebanyakan institusi kepolisian negara-negara maju di dunia, dengan kewenangan yang terbagi per wilayah. Di beberapa negara, institusi-institusi kepolisian berada di bawah kewenangan pemerintah lokal di suatu wilayah, namun memiliki kualitas penegakan hukum (dan ketertiban) yang memadai.

KIAI DITILANG NGAMUK. "Sang kiai yang ternyata bukan seorang kiai yang sebenarnya, dan bahkan mungkin bukan seorang ustadz, berhasil menggertak para polisi yang menilangnya dalam Operasi Zebra Lodaya di Karawang, dengan penampilannya menggunakan sorban, jubah putih dan sarung." (download youtube)
KIAI DITILANG NGAMUK. “Sang kiai yang ternyata bukan seorang kiai yang sebenarnya, dan bahkan mungkin bukan seorang ustadz, berhasil menggertak para polisi yang menilangnya dalam Operasi Zebra Lodaya di Karawang, dengan penampilannya menggunakan sorban, jubah putih dan sarung.” (download youtube)

            Dengan posisi dan situasi istimewa seperti itu, toh Polri seakan tak bisa lepas dari situasi abu-abu –percampuran hitam dan putih– karena benturan prestasi dan ekses dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya sehari-hari. Polri misalnya, berhasil dengan baik dalam menangani beberapa kasus korupsi di luar kasus yang ditangani KPK. Tetapi, sungguh ironis bahwa dalam tubuhnya terjadi korupsi besar-besaran seperti dalam kasus Alat Simulasi Korlantas Polri, serta berbagai ekses dan kejanggalan dalam penanganan skandal pajak Gayus Tambunan.

            Polri dianggap berprestasi dalam penanggulangan terorisme. Teroris internasional seperti Dr Azahari dan Nurdin M. Top beserta sejumlah anggota jaringannya yang beroperasi di Indonesia berhasil disergap dan ditembak mati. Beberapa kasus pemboman dengan cepat bisa dipecahkan. Bahkan cara pengumpulan dana kelompok teroris –antara lain melalui perampokan– bisa ditelusuri dan diungkapkan.

            Namun, kenapa Polri selalu gamang dan ‘gagap’ dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan belakangan juga terhadap kelompok Syiah, di beberapa daerah? Polri pun selalu gamang dan ‘gagap’ terhadap keterlibatan FPI dalam berbagai aksi sepihak dan kekerasan. Mulai dari Insiden Monas, razia-razia dengan pretensi sebagai polisi moral sampai penyerbuan dan perusakan Gedung Kementerian Dalam Negeri. Apakah Polri gentar terhadap kaum ‘militan’ yang mengatasnamakan agama, terutama pengatasnamaan Islam, dalam perbuatan melanggar hukum dan keamanan? Padahal, perbuatan-perbuatan itu sebenarnya merupakan kesalahan ganda, melanggar hukum sekaligus menodai nama agama yang suci.

POLISI MENINDAK DEMO ANTI FPI. "Polri pun selalu gamang dan ‘gagap’ terhadap keterlibatan FPI dalam berbagai aksi sepihak dan kekerasan..... Apakah Polri gentar terhadap kaum ‘militan’ yang mengatasnamakan agama, terutama pengatasnamaan Islam, dalam perbuatan melanggar hukum dan keamanan? Padahal, perbuatan-perbuatan itu sebenarnya merupakan kesalahan ganda, melanggar hukum sekaligus menodai nama agama yang suci." (foto download)
POLISI MENINDAK DEMO ANTI FPI. “Polri pun selalu gamang dan ‘gagap’ terhadap keterlibatan FPI dalam berbagai aksi sepihak dan kekerasan….. Apakah Polri gentar terhadap kaum ‘militan’ yang mengatasnamakan agama, terutama pengatasnamaan Islam, dalam perbuatan melanggar hukum dan keamanan? Padahal, perbuatan-perbuatan itu sebenarnya merupakan kesalahan ganda, melanggar hukum sekaligus menodai nama agama yang suci.” (foto download)

            BULAN Desember 2013 yang lalu, kepolisian kembali menunjukkan kegamangan dan sikap gagap saat menghadapi perilaku melanggar hukum dan ‘melawan’ negara dengan menggunakan nama dan atribut agama Islam. Sebenarnya, suatu kasus ‘kecil’ yang bisa dianggap ‘remeh temeh’ saja, namun menjadi perhatian karena videonya diunggah ke jaringan ‘Youtube’ di internet –hingga kini sudah ditonton oleh 2 juta lebih pengunjung– dengan judul ‘Kiai Ditilang, Ngamuk’. Sang kiai yang ternyata bukan seorang kiai yang sebenarnya, dan bahkan mungkin bukan seorang ustadz, berhasil menggertak para polisi yang menilangnya dalam Operasi Zebra Lodaya di Karawang, dengan penampilannya menggunakan sorban, jubah putih dan sarung. Laki-laki itu, yang bernama Sahal –sehingga bisa saja dikelirukan sebagai KH Sahal Mahfudz, Rois Aam PB-NU yang baru saja meninggal dinihari 24 Januari 2014 yang lalu– ternyata hanyalah seorang pengasuh sebuah tempat, yang dikesankan sebagai semacam pesantren, untuk penyembuhan sakit jiwa menggunakan ‘terapi’ berdasakan agama.

            Dalam insiden pada Kamis 5 Desember 2013 itu, orang yang semula diidentifikasi sebagai Kiai Sahal itu mengamuk saat akan ditilang polisi karena hanya memakai sorban dan tak memakai helm ketika mengendarai sepeda motor membonceng seorang perempuan muda. Ia menolak ditilang, lalu melontarkan serentetan makian yang bernada menghina kepolisian. “Kalian memang nggak ada harganya. Seluruh Indonesia SIM dijual. Tau nggak? …… Bajingan semua.” Sehingga, dari tengah publik yang menyaksikan insiden, muncul ucapan kaget “Astaghfirullah…” menyaksikan seorang kiai bersorban bisa berperilaku begitu kasar. Mungkin karena melihat polisi sedikit gentar, ia makin menjadi-jadi melanjutkan sumpah-serapahnya seraya mundar-mandir dengan acungan tangan menunjuk-nunjuk. “Saya keliling Indonesia tidak pakai helm. Saya lebih aman pakai ini..,” ujarnya seraya menunjuk sorban putihnya. “Biar saya mati pake ini!” Ia menantang Kapolri untuk memanggil dirinya dan akan menceritakan semua. Maksudnya tentu, mengenai kebobrokan polisi. Lalu ia mengulangi lagi, “Dasar bajingan semua…” Dan mengancam “Kalau kalian bukan orang Islam, sudah saya bom-in semua….”

            Terlihat dalam video, betapa para anggota kepolisian memang seakan ‘mati kutu’ menghadapi sang ‘kiai’. Betul-betul tampil tak berwibawa. Alih-alih menangkap, seorang perwira polisi malah mempersilahkan sang ‘kiai’ jalan. Tapi masih saja sang ‘kiai’ –yang mengaku anaknya pernah digertak akan ditangkap polisi– terus mengoceh sebelum akhirnya betul-betul dengan bebas meninggalkan tempat kejadian dengan sepeda motornya.

            Butuh waktu 6 hari sebelum polisi memanggil dan memeriksa sang ‘kiai’ di kantor Polres Karawang, untuk penghinaan dan ancaman yang dilontarkannya. Di kantor polisi, keberingasan sang ‘kiai’ jauh melorot, setelah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi masih tetap banyak bicara. Menyampaikan maaf, namun terkesan setengah hati. Ditanya apakah selanjutnya ia akan menggunakan helm bila berkendara dengan sepeda motor, ia hanya melontarkan sejumlah kata-kata bersayap yang tidak jelas sebagai suatu jawaban pasti. Ia balik menyalahkan wartawan, terlalu membesar-besarkan peristiwa.

            SAAT menghadapi aksi unjuk rasa mahasiswa Makassar (19/2) yang menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan, polisi bersikap keras. Polisi dan mahasiswa di daerah itu, punya tradisi terlibat benturan keras dari waktu ke waktu. Kali ini, polisi sudah menghadang dan membubarkan barisan mahasiswa sejak keluar dari salah satu kampus untuk melakukan long march ke kampus lain. Puluhan mahasiswa ditangkap polisi. Mahasiswa antara lain memprotes penggunaan 14 miliar rupiah dana APBD sebagai biaya ‘menyambut’ kedatangan SBY.

Pada umumnya, polisi seluruh Indonesia cenderung lebih keras bila menghadapi gerakan-gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kekuasaan.  Tetapi, harus diakui pula bahwa mahasiswa pun tak jarang tergelincir bertindak mengarah anarkis dalam berbagai aksi. Ini menjadi lubang peluang bagi polisi di salah satu Polda, untuk menjalankan siasat baru. Lebih dari satu kali para penegak ketertiban masyarakat di Polda itu melakukan insinuasi terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk menyerbu mahasiswa yang disebutkan anarkis serta mengganggu ketertiban dan keamanan publik.  

Sebaliknya, polisi cenderung bersikap lebih lunak –atau mungkin ragu– saat menghadapi sejumlah unjuk rasa buruh besar-besaran yang dalam beberapa peristiwa bersifat anarkis. Sangat mengganggu kepentingan umum, antara lain berkali-kali memblokkade jalan tol.

DALAM menjalankan tugasnya tidak sedikit anggota kepolisian menggunakan jalan pintas. Memaksakan pengakuan agar kasus cepat terselesaikan bukan cerita baru. Pelawak Gogon dalam suatu talk show di tvOne, mengaku dirinya menjadi korban manipulasi bukti hukum dalam kasus narkoba sehingga akhirnya dipenjara 4 tahun 2 bulan. Ia dimintai uang 20 juta rupiah, tapi tak dipenuhinya karena tak punya uang sebesar itu. Ia menduga-duga, kalau membayar, mungkin hanya dihukum 7 bulan. Pola jalan pintas memaksakan bukti dan pengakuan agar kasus bisa segera rampung, ada kaitannya dengan promosi dan kenaikan pangkat. Memaksakan kasus perdata menjadi kasus pidana, juga sering dipraktekkan. Kalau yang ini, bukan untuk keperluan kenaikan pangkat, melainkan diduga karena adanya komersialisasi penegakan hukum. Namun cukup menakjubkan, bahwa kasus-kasus dengan ‘pemaksaan’ seperti ini, sering kali bisa bergulir sampai jauh ke tangan penegak hukum lainnya, jaksa dan hakim. Semacam permainan perorangan dalam jaringan –sehingga muncul isu mafia hukum.

Tetapi pola jalan pintas bisa juga tampil sebagai ‘kebijakan’ yang institusional. Kepala Polda Jawa Barat Irjenpol M. Iriawan yang baru beberapa lama menempati posnya, pekan pertama Januari 2014 merekomendasikan pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam di wilayahnya, maksimal sampai jam 24.00 malam. Perubahan batas waktu jam buka ini –yang selama ini menurut Perda yang ada, sampai 03.00 dinihari– adalah wewenang kepala daerah setempat. Meski pada umumnya belum ada Perda baru, dalam praktek rekomendasi Kapolda telah ‘berlaku’.

Pihak kepolisian memberi alasan, banyak peristiwa kriminal bermula dari tempat-tempat hiburan malam. Seorang perwira menengah dari Polrestabes Bandung menyebutkan bahwa sepanjang 2013 lalu setidaknya ada 30 peristiwa kriminal menonjol, “bermula dari tempat hiburan malam.” Sementara itu Kapolda Jawa Barat –yang dulu ikut menangani kasus Ketua KPK Antasari Azhar, saat masih bertugas di Polda Metro Jaya– menyebutkan sepanjang 2013 terjadi 93 gangguan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di tempat-tempat hiburan malam. Seraya itu ia mengklaim kebijakan pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam berhasil menekan angka kriminal di wilayahnya. Tidak ada penjelasan lanjut, apakah pada waktu yang sama juga ada penurunan angka kriminal di tempat-tempat lain, atau sebaliknya justru terjadi kenaikan angka kriminal di tempat lain.

Seringkali peristiwa-peristiwa kriminal atau yang semacamnya, bila ditekan di satu tempat, akan naik di tempat lainnya, bagaikan hukum fisika, air dalam bejana berhubungan. Contohnya, menurut pengalaman empiris bila suatu lokalisasi pelacuran ditutup, maka pelacuran pindah ke jalan-jalan dan menjadi tak terkontrol. Beberapa tahun lampau, di masa Soeharto, saat di ibukota terjadi pembasmian besar-besaran terhadap kaum kriminal, angka kriminal di berbagai kota besar lainnya di Indonesia, justru meningkat. Karena, daerah-daerah tak menyiapkan operasi pembasmian serupa, mengantisipasi ‘migrasi’ kaum kriminal yang lolos dari Jakarta.

Terhadap pembatasan jam buka tempat-tempat hiburan malam sejumlah organisasi kemayarakatan dan pakar memberi reaksi. Beberapa di antaranya, masuk akal. “Jika kerawanan terjadi di tempat-tempat hiburan malam, tugas polisi untuk mengantisipasi dan mengawasi.” Mereka mengingatkan pula agar polisi jangan menggeneralisir hal-hal kasuistik. Ada pula yang menganjurkan agar polisi tidak emosional. Perkiraan bahwa polisi mungkin emosional, ada dasarnya, karena beberapa waktu sebelum kebijakan ‘jam malam’ dilontarkan, seorang perwira polisi dibacok di sebuah tempat hiburan malam. Perwira itu, Kapolsekta Astana Anyar di Bandung, dibacok ketika memeriksa lokasi percobaan penjambretan di tempat hiburan itu. Seorang pakar dari Universitas Padjadjaran, Muradi, mengingatkan bahwa aturan main tempat hiburan malam adalah pada Perda (Peraturan Daerah). Pembatasan jam buka tempat hiburan malam itu merupakan aksi sepihak dari kepolisian.

Kebijakan jalan pintas kembali dilakukan Polda Jabar pekan lalu. Kuatir akan terjadi bentrokan antara para supporter Persib Bandung (Viking) dengan supporter Persija Jakarta (Jakmania) yang merupakan musuh bebuyutan, polisi tak mau ambil risiko. Polda mengambil kebijakan tidak mengeluarkan izin bagi pertandingan yang seharusnya digelar Sabtu 22 Februari lalu di Stadion Jalak Harupat. Polda tidak mencoba memilih alternatif lain yang bisa saja berhasil, selain lebih pantas dan tak mencari gampangnya saja. Misalnya, menyuruh kedua kelompok supporter berunding dan bersepakat untuk tidak membuat keonaran. Atau, bila tak mampu bersepakat, melarang supporter Jakarta masuk Bandung. Begitu pula sebaliknya, bila pertandingan berlangsung di Jakarta, giliran supporter Bandung yang dicegah masuk Jakarta oleh Polda Metro Jaya. Ketentuan ini berlaku selama kedua kelompok tak berhasil menertibkan diri dan tak mampu menjaga perilaku. Pengorganisasian dan cara menampilkan diri kelompok-kelompok supporter selama ini harus diakui memang cenderung brutal. Semacam sikap ‘pelarian’ dari berbagai kegagalan terkait eksistensi diri dalam berbagai bidang kehidupan lainnya sehari-hari. Harus dirubah.

Tokoh-tokoh persepakbolaan harus memecahkan hal ini dengan bantuan akademisi ilmu-ilmu sosial dan psikologi maupun pihak kepolisian selaku aparat penertiban. Tidak mudah bagi polisi untuk turut serta dalam proses sosial yang panjang seperti ini, tetapi memang itulah fungsi polisi sebagai aparat ketertiban masyarakat dalam negara yang bukan negara kekuasaan. Polisi bukan penguasa pengganti Kopkamtib, tetapi pengayom. (socio-politica.com)  

Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi

Drs Hatta Albanik Msi Psi Kli*

           DALAM persepsi psikologi forensik, penegakan hukum di Indonesia masih merupakan imitasi sikap perilaku feodal dan kolonial dalam penerapan hukum. Pada hakekatnya cenderung masih berbentuk penindasan hukum. Penegakan hukum menjadi monopoli ‘ahli’ hukum. Hukum, kebenaran dan keadilan menjadi ‘milik’ para pejabat hukum yang tidak perlu dipertanggungjawabkan penggunaannya pada negara dan rakyat. Masyarakat dan bangsa seolah ‘taken for granted’ memberikan kekuasaan hukum pada penguasa hukum sehingga mudah diselewengkan.

            Psikologi forensik adalah bagian dari ilmu psikologi yang menerapkan prinsip, konsep, teknik, metode, dan pendekatan psikologi lainnya dalam kaitan aktivitas kehidupan manusia yang menyangkut perilaku hukum. Cakupannya meliputi aspek-aspek psikologi/keperilakuan dalam investigasi hukum, proses pengadilan, psikologi kepolisian, psikologi/penanganan perilaku di lembaga pemasyarakatan (penitentiar), sengketa keluarga (perceraian, hak waris, perwalian anak, kekerasan dalam rumah tangga), bullying, masalah-masalah industrial, perburuhan, organisasi, government agencies, sekolah, universitas, rumah sakit, cyber behavior, money behavior, customer behavior dan sebagainya yang mengandung segi hukum.

POSTER DUKUNGAN KEPADA KPK. "Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat." (download)
POSTER DUKUNGAN KEPADA KPK. “Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat.” (download)

            Psikologi forensik itu sendiri sebenarnya mulai dikenal dan dirasakan kebutuhannya sejak 1923 –kasus Frye vs US Supreme Court– pada saat pengadilan membutuhkan pembuktian perkara di peradilan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan profesi keilmuan untuk menjelaskan bukti-bukti yang sulit dipecahkan dengan cara-cara peradilan konvensional.

Tak Bisa Hanya Ditangani Ahli Hukum dan Institusi Hukum. Di Indonesia, psikologi forensik diperkenalkan oleh Mayor Jenderal R. Soemitro Kartosoedjono –Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI)– dalam orasinya di depan jajaran Kejaksaan Agung RI tahun 1980 di masa Jaksa Agung Ismail Saleh SH..

Hingga sejauh ini penerapan psikologi forensik belum cukup mendapat respons dan perhatian dari pihak terkait. Khususnya instansi hukum, yang masih sangat konservatif, kuno dalam proses kerjanya, tidak terbuka terhadap penggunaan ilmu pengetahuan, masih penuh manipulasi otokrasi, dan tertutup terhadap kebenaran dan keadilan. Keadaan ini berbeda dengan beberapa negara maju. Di negara-negara itu kebutuhan akan penggunaan ilmu pengetahuan justru muncul dari instansi hukum yang menginginkan optimalisasi kualitas kerja mereka hingga bermanfaat bagi kepentingan negara.

Pada tahun 1966 peralihan kekuasaan menuntut penegakan hukum –rule of law– menggantikan kediktatoran. Pada tahun 1998, peralihan kekuasaan menuntut hukum sebagai ‘panglima’ menggantikan politik sebagai ‘panglima’. Semuanya gagal, karena ternyata seluruh institusi hukum dan komunitas hukum di Indonesia tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk membuat Indonesia menjadi Negara Hukum (rechtstaat) sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Masalah hukum di Indonesia terletak pada ketidakmampuan manusianya dalam berperilaku hukum yang normal, terutama pada pejabat hukumnya yang ada dalam kualita kemampuan lemah, moral lemah, kepribadian lemah dan kewibawaan lemah.

Upaya menciptakan Negara Hukum di Indonesia ternyata tidak bisa diserahkan kepada para ahli hukum dan institusi hukum saja. Diperlukan dukungan dan pengawasan dari infrastruktur yang membuat suprastruktur hukum di Indonesia bersih, modern dan memiliki ketrampilan tinggi. Ilmu pengetahuan terkait harus melibatkan diri agar hukum dan penegakan hukum di Indonesia menjadi elegan, terhormat berwibawa, jujur, adil, bersih dan bermanfaat.

Dengan kondisi ini, apakah pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan?

Perilaku Korupsi dalam Persepsi Psikologi Forensik. Per definisi, perilaku korupsi adalah perilaku kejahatan yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki otoritas (kewenangan) atau akses kekuasaan yang berhubungan dengan publik dan kekayaan publik. Menyalahgunakannya (‘mencuri’) sehingga menjadi hak milik pribadi atau kelompoknya, sehingga menimbulkan kerugian bagi publik.

Secara rinci menurut ilmu psikologi, perilaku korupsi itu adalah perilaku menyimpang (defiant behavior), perilaku kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau terganggu (disorder behavior), perilaku buruk (wrong behavior) dan perilaku menyolong. Perilaku korupsi merugikan orang lain, dengan mencuri kekayaan yang bukan miliknya (milik bersama, milik orang lain, milik negara dan sebagainya) dengan cara-cara melawan hukum. Menimbulkan kerugian  bagi orang lain (dan lain sebagainya) dengan maksud memperkaya diri sendiri (atau orang lain) sehingga dapat dipidanakan.

Perilaku melawan hukum adalah perilaku a-sosial, anti-sosial, a-normatif, dan berkecenderungan sebagai psychopat. Perilaku korupsi adalah juga perilaku obsesif (neurosis yang menjadi tekanan psikis) kompulsif yang menuju kleptomania. Pada dasarnya perilaku korupsi tergolong perilaku abnormal, perilaku kejahatan. Perilaku kejahatan itu bersumber dari dalam diri maupun dari luar diri. Sumber dari dalam diri antara lain cacat/kelainan genetik, hormonal, neurologis, fisiologis yang bersifat organik, dan cacat/kelainan psikologis menuju gangguan kepribadian. Sumber dari luar diri adalah cacat/kelainan sosial berupa kemiskinan, a-sosial, lifestyle, anti sosial, yang berkaitan dengan socio-pathy, broken family dan social disaster.

          Perilaku korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan perilaku kejahatan luar biasa, bukan lagi biasa sebagaimana yang dilakukan penjahat biasa. Sehingga terhadapnya, selain undang-undang biasa, bisa dan perlu diberlakukan undang-undang khusus. Korupsi menjadi luar biasa, karena dilakukan bukan oleh rakyat warga negara biasa. Kejahatan korupsi dilakukan oleh penjahat yang menyusup menjadi pejabat.

            Pejabat di masa awal kemerdekaan adalah seseorang yang menjadi pemimpin rakyat untuk memimpin perjuangan kemerdekaan, memimpin rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita kesejahteraan bangsa Indonesia. Perilaku dasarnya adalah berkorban, dedikatif. Pejabat setelah Indonesia merdeka adalah seseorang yang diserahi kekuasaan publik oleh bangsa dan negara Indonesia untuk menyelenggarakan kekuasaan agar melaksanakan kegiatan kenegaraan bagi kepentingan tercapainya tujuan negara. Ternyata perilaku dasar di awal kemerdekaan berangsur-angsur berubah menjadi lebih berorientasi kepada kekuasaan, fasilitas dan kekayaan pribadi.

            Apa dan siapakah pejabat itu? Pejabat adalah mereka yang menduduki posisi eksekutif, legislatif dan judikatif, di tingkat pusat dan daerah, termasuk pada badan usaha milik negara dan daerah. Juga meliputi pengusaha yang menggunakan usaha publik untuk memajukan diri dan (warga) negara. Para pejabat dengan perilaku korupsi adalah seseorang yang mengkorupsi (menyalahgunakan) kewenangan dan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadinya sehingga menimbulkan kerugian bagi warga negara lain, rakyat, bangsa dan tanah air.

            Negara menurut Konvensi Montevideo terdiri dari wilayah, rakyat dan kekuasaan yang dimanfaatkan rakyat. Jadi, korupsi adalah kejahatan terhadap negara yang dilakukan oleh penjahat yang menyusup menjadi Pejabat Negara.

            Saat ini, Indonesia adalah sebuah Negara Gawat Korupsi.

            Anatomi Perilaku Korupsi di Indonesia. Pelaku perilaku korupsi di Indonesia adalah penjahat yang menyusup menjadi pejabat negara dan pejabat dunia usaha. Pada dasarnya mereka adalah seseorang yang memiliki kepribadian kriminal yakni manusia dengan kepribadian cacat dan disebut sebagai manusia psikopatik. Seorang psikopatik memiliki bolong dalam fungsi kepribadiannya, sehingga tidak mampu mengendalikan dorongan untuk melakukan kejahatan korupsi. Mereka sesungguhnya penjahat, molimo.

            Mereka adalah produk toilet training, dengan pendidikan tatakrama yang buruk sehingga menjadi buruk juga. Selalu mencari jabatan/posisi sosial yang memungkinkan untuk menyenangkan diri sendiri dengan merugikan orang lain. Kalau perlu, dengan menindas dan menyusahkan orang lain. Tampilan mereka ‘poker face’, seolah ‘tidak berdosa’, ‘reaction-formation’, munafik, ‘jaim’ (jaga image). Tidak pernah merasa bersalah, no guilty feeling. Mereka menikmati dan memburu jabatan-jabatan kekuasaan. Selalu berusaha menonjol dengan cara dengan kualitas ‘tidak menonjol’.

            Para penjahat ini, loyalitasnya hanya kepentingan diri. Tidak berbudi. Tidak menghargai jasa instansi. Instansi atau institusi hanya instrumen untuk mendapatkan manfaat bagi kepentingan diri. Tidak punya idealisme dan dedikasi. Tidak segan-segan memperalat lingkungan dan menjerumuskan orang lain sebagai tempat perlindungan diri. Tatakrama dan etika selalu dimanipulasi agar kepribadian jahatnya tidak terdeteksi. Selalu berjarak dengan lingkungan sosial, karena lingkungan sosial dianggap objek, bukan ruang hidup.

            Pendekatan Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi. Penting melakukan deteksi kepribadian pejabat yang berindikasi penjahat dengan assesment psikologi. Fokus assesment psikologi itu adalah para pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif dengan kategori berikut: Memiliki otoritas publik dengan peluang pemerasan dan kejahatan sejenis. Memiliki otoritas pada harta kekayaan publik yang bisa memberi peluang melakukan pencurian, penggelapan dan kesewenang-wenangan.

            Assesment psikologi forensik dilakukan dengan content analysis terhadap profil harta, gaya hidup, perilaku kerja, lingkungan pergaulan, keluarga, hobby dan kebiasaan-kebiasaan. Lalu disimpulkan, normal atau abnormal. Lakukan analisis terhadap caranya memperoleh jabatan dan stigma dalam menjalankan tugas jabatannya. Temukan indikasi pelanggaran hukum.

            Perlu memonitor dan mendeteksi penyidik dan instansi penyidik. Lakukan ‘pembersihan’ unit kerja sebagai indikator ‘kebersihan’ pimpinannya. Treatment segera agar preventif terhadap pejabat yang terindikasi penjahat. Dibutuhkan keberadaan suatu divisi Psikologi Forensik pada instansi penegak hukum, peradilan dan pemberantasan korupsi.

            Hukum penjahat korupsi seberat-beratnya, berupa ganti rugi yang berlipat ganda, harta kekayaan harus dirampas seluruhnya dan mereka yang melindungi pun harus ditindak sama.

            Institusi negara hendaknya tidak berlebihan memberikan fasilitas kepada pejabat-pejabatnya, sehingga membuat para penjahat tergiur –dana, kantor, alat transportasi dan fasilitas bagi keluarga dan lain sebagainya.

            Catatan Tentang KPK dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. KPK menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi melalui instrumen hukum dan perundangan. Sepanjang yang bisa diamati, target KPK terfokus kepada pelanggaran hukum yang dilakukan. Secara teknis, KPK banyak menggunakan gratifikasi sebagai pintu masuk penyidikan. Dengan teknik itu, hanya pelaku dan lingkungan terbatas yang terdeteksi. KPK terlampau pasif karena melakukan penangkapan menunggu momen tertangkap tangan ketika pelaku sedang bertransaksi.

Psikolog bisa membantu KPK menentukan mana pejabat putih dan mana pejabat hitam. Dengan pendekatan psikologi, potensi korupsi seseorang bisa diketahui. Antara lain dengan menganalisis curriculum vitae seseorang, seperti bagaimana ia mendapatkan gelar pendidikan. Ada universitas tertentu yang dengan mudah memberikan gelar, misalnya dengan membayar sejumlah uang. Orang yang mendapat gelarnya dengan cara-cara tidak baik, berpotensi melakukan keburukan lainnya.

Pejabat putih dijadikan teman dan berperan sebagai whistleblower, membantu penangkapan pejabat hitam. Tapi, dalam kenyataannya sekarang, pejabat putih maupun pejabat hitam justru sama-sama memusuhi KPK.

            Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat. KPK juga menghadapi keterbatasan data dan tindakan untuk membekuk penjahat penyusup, sehingga populasinya meluas.KPK sendiri perlu senantiasa melakukan introspeksi agar tidak dimasuki penyusup. KPK harus mampu menggerakkan institusi lainnya melakukan upaya membekuk penyusup.

            KPK perlu mempelajari kegagalan institusi-institusi pemberantasan korupsi Indonesia di masa lalu. Beberapa institusi di masa lalu itu bersih, tetapi gagal, karena serangan balik (revanche) para penjahat melalui penyusupan ke institusi penegakan hukum. Pada saat yang sama, dukungan publik berhasil dipatahkan.

 *Drs. H. Hatta Albanik Msi Psi Kli. Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Jawa Barat. Terlibat dalam berbagai gerakan kritis semasa menjadi mahasiswa, sebelum menjadi pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran – (socio-politica.com)

Saat Buruh dan Dokter Memilih Lintasan ‘Musuh Publik’

DUA kelompok dalam masyarakat, kelompok buruh dan kelompok profesi dokter, beberapa waktu terakhir menjadi pusat perhatian masyarakat karena rangkaian unjuk rasa dan aksi mogok yang mereka lakukan. Dalam waktu yang berdekatan, dua dunia kerja yang sehari-hari memiliki iklim berbeda ini, tiba-tiba memiliki kesamaan pilihan dalam penyampaian aspirasi dan kepentingan melalui taktik kerumunan unjuk kekuatan.

DEMO BURUH MENGUASAI JALANAN. "Bila senjata demonstrasi digunakan setiap hari, itu sudah bukan dalam konteks demokrasi, melainkan sudah menjadi mekanisme adu kekuatan belaka. Senjata kepentingan melalui suatu aksi massa." (foto tempo)
DEMO BURUH MENGUASAI JALANAN. “Bila senjata demonstrasi digunakan setiap hari, itu sudah bukan dalam konteks demokrasi, melainkan sudah menjadi mekanisme adu kekuatan belaka. Senjata kepentingan melalui suatu aksi massa.” (foto tempo)

Unjuk rasa atau aksi demonstrasi itu sendiri, telah menjadi senjata –yang boleh dikata hampir setiap hari digunakan– dalam kehidupan demokrasi pasca Soeharto. Padahal, idealnya demonstrasi itu merupakan senjata terakhir dalam berdemokrasi, yakni bilamana saluran-saluran aspirasi melalui lembaga demokrasi lainnya makin tak berfungsi. Bila senjata demonstrasi digunakan setiap hari, itu sudah bukan dalam konteks demokrasi, melainkan sudah menjadi mekanisme adu kekuatan belaka. Senjata permanen pertarungan kepentingan melalui suatu aksi massa. Jauh dari arena argumentasi dalam konteks kebenaran. Dan ini pada akhirnya bisa berarti, demokrasi sesungguhnya memang sudah tidak ada.

UNJUK RASA DOKTER 27 NOVEMBER 2007. "Ke depan, para dokter harus meninggalkan cara unjuk rasa dan aksi mogok dalam konteks perjuangan profesi. Dengan unjuk rasa dan aksi mogok, justru mereka menyelesaikan masalah dengan masalah." (foto tribunnews)
UNJUK RASA DOKTER 27 NOVEMBER 2007. “Ke depan, para dokter harus meninggalkan cara unjuk rasa dan aksi mogok dalam konteks perjuangan profesi. Dengan unjuk rasa dan aksi mogok, justru mereka menyelesaikan masalah dengan masalah.” (foto tribunnews)

Semestinya pula, pada hakekatnya suatu unjuk rasa adalah untuk menggalang perhatian dan simpati masyarakat terhadap apa yang diperjuangkan, tetapi kenyataannya tanpa terlalu disadari seringkali unjuk rasa justru menimbulkan antipati. Situasi seperti itu terjadi manakala aksi tersebut dijalankan dengan cara dan perilaku yang tak pada tempatnya serta berada di luar konteks altruisme.

Aksi dua kelompok dalam masyarakat itu –buruh dan dokter– belakangan ini berada dalam situasi tersebut, dan akhirnya lebih banyak menimbulkan antipati daripada simpati. Aksi-aksi kaum buruh selama ini lebih cenderung mengusik rasa aman dan nyaman masyarakat, bahkan tak jarang menyengsarakan anggota masyarakat lainnya, termasuk menganggu pencarian nafkah sehari-hari golongan masyarakat lainnya yang bukan pekerja sektor industri. Sementara itu, unjuk rasa dan aksi mogok sejumlah dokter –yang sejauh ini masih dimuliakan masyarakat– telah menimbulkan kecemasan yang luas di masyarakat. Setiap saat, setiap menit selama 24 jam, selalu banyak manusia membutuhkan bantuan medis untuk mempertahankan nyawa atau kelanjutan hidupnya.

Bila aksi-aksi itu berlanjut tanpa kehati-hatian dan koreksi internal dalam pilihan cara, sikap dan tujuan, kedua kelompok masyarakat itu pasti akan termarjinalkan, dengan suatu kemungkinan akhir lanjut masuk dalam deretan musuh publik.

RASA simpati pada nasib kaum buruh yang ingin memperbaiki tingkat kehidupan ekonominya dengan cepat memudar justru setelah kaum buruh berkali-kali menunjukkan kekuatannya sebagai kerumunan. Publik selama ini sama menyadari dan mengecam perilaku kapitalistis sejumlah kalangan pengusaha yang cenderung menomorduakan bahkan menomortigakan perbaikan nasib kaum buruh yang merupakan ‘alat produksi’nya yang tak kalah pentingnya dibanding mesin dan berbagai peralatan lainnya. Seringkali muncul rasa antipati dan kemuakan terhadap perilaku sebagian kalangan pengusaha yang lebih mengutamakan menyiapkan upeti terhadap kalangan kekuasaan –dalam pemerintahan maupun kekuatan politik– daripada memberi imbalan yang layak terhadap para pekerjanya.

Tetapi, rasa muak yang sama bisa juga terarah kepada sebagian kelompok buruh yang melalui beberapa tokoh pemimpin buruh mulai menggunakan kekuatan otot kerumunan dengan nada mengancam mengajukan tuntutan-tuntutan yang mulai tak masuk akal. Antara lain, seperti yang bisa kita ikuti dalam pemberitaan, tuntutan kenaikan upah yang agak fantastis, karena memasukkan komponen biaya cicilan sepeda motor, biaya pulsa dan aneka biaya leisure lainnya sebagai akibat keterjeratan dalam kobaran consumerism. Mereka yang mengobarkan hasrat konsumtif di kalangan masyarakat tak lain adalah sebagian kalangan usaha yang orientasinya sepenuhnya adalah laba dan laba semata, yang perilaku dan moralnya nyaris tak berbeda lagi dengan produsen dan pengedar narkoba.

Nada-nada mengancam yang memang berkali-kali dibuktikan, kerap dilontarkan kaum buruh. Misalnya, ancaman untuk memacetkan perekonomian bila tuntutan tak dipenuhi. Tak jarang mereka melakukan berbagai tindakan anarki. Dalam praktek, mereka betul-betul membuktikan ancaman, seperti memacetkan jalan tol maupun jalan-jalan umum yang penting. Selasa 3 Desember misalnya, mereka memblokade Jalan Raya Serang dekat pintu tol, sehingga mengakibatkan kemacetan di Jalan Tol Jakarta-Merak dari siang hingga petang.   Jalan tol maupun jalan umum di kota-kota bukan hanya digunakan oleh mereka yang berekonomi kuat, tetapi juga menjadi kebutuhan menjalankan kehidupan bagi mereka yang berprofesi sebagai pengemudi bus, truk serta kalangan masyarakat kecil lainnya –yang mungkin saja lebih kecil penghasilannya daripada kaum buruh itu sendiri.

Aksi-aksi memacetkan roda perekonomian dan merusak sarana dan prasarana publik, takkan membuat kaum kaya pemilik akumulasi uang terbanyak menderita, tetapi kita kaum kecil yang berekonomi pas-pasan –termasuk sebagian besar kalangan buruh itu sendiri– yang justru menjadi korban utama. Bagi kaum kaya, itu semua hanya cubitan berupa sedikit kerugian atau sekedar penundaan laba. Tapi bagi kalangan akar rumput paling bawah, bisa menjadi hantaman telak menuju kematian.

PILIHAN kalangan profesi kedokteran untuk ikut melintasi jalur unjuk rasa dan aksi mogok, harus diakui sedikit mencengangkan. Tapi nyatanya di tahun 2013 ini, sudah dua kali untuk dua tema dan alasan berbeda kalangan profesi –yang oleh masyarakat selalu dikaitkan dengan kemuliaan kemanusiaan itu– melakukannya. Berduyun-duyun para dokter turun ke jalan sebagai kerumunan melakukan unjuk rasa di berbagai kota 27 November lalu sebagai solidaritas terhadap dokter Dewa Ayu SPOG dan kawan-kawan yang dihukum oleh Mahkamah Agung dalam proses kasasi kasus tewasnya seorang ibu yang menjalani operasi caesar.

Beberapa instalasi medis tak difungsikan selama aksi unjuk rasa dan aksi mogok dilakukan. Sekali ini, ribuan dokter meninggalkan sejenak sumpah mulia dan kode etik kedokteran yang menjadi dasar utama profesi mereka selama ini. Mereka meninggalkan pos pengabdian mereka sehari-hari dan menjadi manusia biasa dan awam dalam kerumunan.

Arus utama dalam unjuk rasa para dokter ini adalah memprotes apa yang mereka anggap kriminalisasi terhadap dokter yang dikukuhkan dalam putusan kasasi Hakim Artidjo Alkostar yang membatalkan hukuman bebas Pengadilan Negeri Manado. Sebagai gantinya, Mahkamah Agung menghukum Dewa Ayu 10 bulan penjara.

Ada dokter yang meminta pembatalan keputusan MA, tetapi ada juga yang lebih paham mengenai mekanisme peradilan hanya menuntut Dewa Ayu dikeluarkan dari pemenjaraan sambil menunggu hasil Peninjauan Kembali yang sudah diajukan sang dokter pada Agustus yang lalu.

Menanggapi kecaman pedas sejumlah dokter, Hakim Agung Artidjo Alkostar mengingatkan, tak ada satu profesi pun yang boleh berada di atas hukum. Pers mengutip Alkostar, “Jangankan dokter, hakim pun bisa dipidana. Tak boleh ada arogansi profesi. Semua harus patuh pada hukum.” Pernyataan ini bisa disepakati. Meski masyarakat turun temurun senantiasa memuliakan profesi dokter, bukan berarti dokter tak perlu bertanggungjawab terhadap kekeliruan yang dilakukannya, secara moral maupun secara hukum. Cukup banyak bukti empiris kasus-kasus kekeliruan profesi kedokteran yang berakibat fatal.

Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang sangat membutuhkan akurasi luar biasa. Maka para dokter baru bisa lulus bila ia sudah sangat trampil. Bila seorang calon dokter tak berhasil mencapai ketrampilan itu, lebih baik ditunda kelulusannya dan bila terpaksa jangan diluluskan. Kualifikasi dokter adalah manusia luar biasa. Sayangnya –ini suatu kritik– di tengah adanya gejala komersialisasi profesi dokter saat ini, ada perguruan tinggi yang memberlakukan fakultas kedokteran bagaikan pabrik kue pancong saja.

Saat menangani pasien Fransiska Makatey di tahun 2010 itu, sebenarnya dokter Dewa Ayu Sasiary dan dua rekannya, Hendry Siagian dan Henry Simanjuntak, masih berstatus resident di RS Prof Kandouw, Manado. Mereka belum spesialis, masih dalam pendidikan untuk jadi dokter spesialis (SpOG). Semua tindakan mereka masih harus sepengetahuan konsulen in charge –dokter senior yang bertanggungjawab sebagai guru mereka hari itu. Dalam kasus tindakan operasi terhadap Fransiska yang menyebabkan kematian, para dokter yang sedang belajar itu ‘dibiarkan’ bertanggungjawab sendiri, khususnya dalam menghadapi masalah hukum. Dalam proses peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung nanti, maupun dalam suatu proses hukum tersendiri, tali temali tanggungjawab sang konsulen inipun perlu dipertanyakan. Mungkin, sebenarnya sang konsulen yang harus lebih bertanggungjawab atas apa yang menimpa Fransiska Makatey. Begitu pula, ketidakberesan manajemen rumah sakit perlu ditelusuri, termasuk mengapa anaesthesi saat operasi hanya ditangani seorang perawat, bukan dokter ahli anaesthesia. Padahal RS tersebut ada di sebuah kota besar seperti Manado.

Ke depan, para dokter harus meninggalkan cara unjuk rasa dan aksi mogok dalam konteks perjuangan profesi. Dengan unjuk rasa dan aksi mogok, justru mereka menyelesaikan masalah dengan masalah. Mari coba bersabar dengan hukum, meskipun harus diakui tingkat kepercayaan kepada hukum di Indonesia saat ini memang cenderung menipis. Menempuh mekanisme Peninjauan Kembali sudah tepat, tak perlu menekan melalui unjuk rasa dan kekuatan dengan kerumunan. Ini pilihan the bad among the worst. Perlu dicatat, hingga sejauh ini, Hakim Agung Artidjo Alkostar, termasuk di antara sedikit hakim yang masih pantas dipercayai integritasnya dalam konteks penegakan hukum dan keadilan di Indonesia…. (socio-politica.com)

Republik Laskar

Oleh Zen RS | Newsroom Blog, 25 Jul 2013

 PADA masa revolusi, milisi atau paramiliter sering mengatasnamakan revolusi. Pada masa Orde Baru, nama Pancasila dan NKRI “Harga Mati” yang digunakan. Pada masa reformasi, banyak yang membawa-bawa nama Islam.

Apa persamaannya? Milisi atau paramiliter di tiga masa itu sama-sama (walau tak selalu) didirikan atau dibentuk militer, dipersenjatai atau mempersenjatai diri, dan akhirnya cenderung kebal hukum.

Legitimasi “moral” yang mereka miliki, atas nama revolusi atau Pancasila atau Islam, membuat mereka memiliki kewibawaan yang meneror.

Tentu saja ada banyak kategori milisi. Ada yang memang dibentuk sebagai pasukan cadangan resmi tentara yang biasanya direkrut lewat wajib militer. Tetapi yang ingin saya bicarakan kali ini kebanyakan adalah milisi yang “tidak resmi” atau bukan dibentuk oleh negara. Kendati, seperti yang akan saya tunjukkan, “resmi” atau “tidak resmi” sering kali jadi perkara sumir di Indonesia.

PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. "Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan." (gambar, download Tempo)
PEMUDA PANCASILA, THE ACT OF KILLING. “Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.” (gambar, download Tempo)

Di Indonesia, istilah “laskar” sebenarnya lebih populer ketimbang sebutan “milisi”. Istilah “laskar” itu juga lebih lentur untuk mengakomodasi tendensi-tendensi militeristik yang tidak terang-terangan menenteng senjata api.

Istilah “laskar” ini sudah populer sejak masa revolusi. Saat itu, hampir di setiap kota terdapat laskar yang dibentuk secara organis, biasanya oleh para pemimpin lokal yang berpengaruh. Di Bandung ada Barisan Tangan Merah, Barisan Merah Putih, dan lain-lain. Di sekitar Jakarta ada Laskar Hitam, Laskar Ubel-ubel, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di kota-kota lain, terutama kota-kota besar yang jadi kancah utama revolusi.

Ada juga laskar-laskar yang dibentuk dengan skala yang lebih serius, terutama oleh organisasi-organisasi politik utama saat itu. Partai Sosialis yang dibentuk Amir Sjarifuddin, misalnya, punya organisasi pemuda bernama Pesindo yang sangat kuat, berdisiplin dan juga bersenjata lengkap (terutama karena Amir dua kali menjabat sebagai Menteri Pertahanan).
Tidak semua laskar ini punya disiplin dalam mematuhi perintah pemerintah RI. Sangat banyak dan sangat biasa laskar-laskar itu bergerak semaunya, saling bertempur satu sama lain. Dan atas nama revolusi, banyak sekali rakyat Indonesia sendiri yang menjadi korban keganasan mereka.
Hampir semua literatur yang membahas fase revolusi (1945-1949) tak pernah absen menyebut keberadaan laskar-laskar milisi ini.

Tak hanya buku hasil sejarah, karya-karya sastra terbaik Indonesia juga banyak mengabadikan hal ini. Sebut saja: “Burung-burung Manyar” Romo Mangun, “Senja di Jakarta” Mochtar Lubis atau “Percikan Revolusi + Subuh” Pramoedya Ananta Toer.

PADA masa kepemimpinan Soekarno di era Demokrasi Terpimpin, milisi-milisi ini banyak dibentuk oleh partai-partai politik saat itu –melanjutkan yang memang sudah terjadi pada masa revolusi. Beberapa di antaranya bahkan memang sudah berdiri sejak masa revolusi. Milisi di era Soekarno semakin menguat setelah Indonesia mengkampanyekan konfrontasi melawan Malaysia. Banyak sekali pemuda yang direkrut atau bahkan sukarela mendaftarkan diri untuk dilatih dan dikirim ke perbatasan Malaysia di Kalimantan.

Menjelang peristiwa berdarah 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia bahkan gigih berupaya menggolkan Angkatan ke-5 di mana buruh dan tani akan dipersenjatai. Puncak dari fase ini dimulai dengan terbunuhnya para jenderal di Lubang Buaya. Kebetulan di sekitar itu ada lokasi pelatihan militer Angkatan ke-5 yang terutama menggunakan fasilitas dan pelatihan dari Angkatan Udara yang saat itu memang dekat dengan PKI.

Setelah itu, dimulailah pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan orang yang diduga PKI (“diduga”, karena memang tidak melalui proses peradilan). Militer Indonesia tentu saja menjadi bagian terpenting pembantaian ini –atau penumpasan dalam istilah resmi Orde Baru. Tapi selain militer, milisi adalah ujung tombak pembantaian orang-orang yang diduga PKI ini.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, Banser dan GP Anshor menjadi salah satu pelaku pembantaian, tentu saja dengan restu dan sokongan dari para kyai. Di Bali, milisi-milisi yang dilatih dan disokong tentara, terutama dari sayap Partai Nasional Indonesia, juga melakukan hal yang sama. Seperti halnya di Jawa Timur, mereka melakukannya dengan sokongan spiritual dari pemimpin Hindu di sana. Sedihnya, banyak dari mereka kemudian balik dibantai oleh tentara yang ingin menghilangkan jejak keterlibatan.

Pemuda Pancasila juga melakukannya. Seperti yang bisa kita saksikan lewat film luar biasa “The Act of Killing”, mereka dengan buas memburu dan membantai orang yang diduga PKI di Medan.

Di tempat lain, hal serupa terjadi. Dengan sokongan dan kepastian kebal hukum yang diberikan tentara, milisi-milisi ini dengan buas memburu dan membantai siapa saja yang diduga PKI. Bukan sekali-dua terjadi salah eksekusi. Atau, bahkan, itu sebenarnya bukan salah eksekusi, tapi memang disengaja dengan membawa-bawa urusan pribadi ke “urusan nasional” ini.

Dalih yang dipakai adalah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, juga dalih bahwa melawan musuh negara berarti juga musuh agama. Nasionalisme dan agama, pada fase ini, benar-benar menjadi kombinasi mematikan yang tidak alang kepalang buasnya.
Pada masa Orde Baru, milisi-milisi ini banyak yang kemudian “bersalin rupa” menjadi lebih lembut, tidak terang-terangan lagi mengeksekusi dan membantai. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal.

Lagi-lagi anda hanya perlu menonton film “The Act of Killing” untuk melihat bagaimana Pemuda Pancasila dengan terang-terangan memalak toko-toko orang Cina di Medan.

TAPI Orde Baru juga melakukan hal serupa seperti yang terjadi di era Soekarno. Negara membentuk milisi di wilayah-wilayah konflik seperti Irian Jaya, Timor Timur dan juga Aceh. Nama-nama sangar seperti Eurico Guterres sampai Hercules adalah alumni generasi ini. Hercules, misalnya, “dibawa” oleh Prabowo Subianto (yang kini hendak jadi presiden) ke Jakarta dan sejak itulah namanya mencuat dalam dunia gangster ibu kota.

Memasuki era reformasi, kebiasaan buruk negara dan tentara dalam membentuk milisi, baik resmi maupun tidak, terus berlanjut.

Pam Swakarsa, misalnya, muncul di era kepemimpinan Habibie dan saat Wiranto (yang juga hendak jadi presiden) menjabat sebagai menteri pertahanan. Front Pembela Islam (FPI) lahir dari perkembangan terbaru saat itu ketika Pam Swakarsa dibentuk untuk melawan kekuatan kritis yang menolak kepemimpinan Habibie.

FPI bukan satu-satunya. Muncul juga Gerakan Pemuda Ka’bah yang di Jogja banyak melakukan razia seperti halnya FPI. Ada juga Laskar Jihad yang dikirim ke tengah konflik di Ambon. Belum lagi kemunculan organisasi paramiliter bentukan partai-partai politik. Atau bahkan organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kedaerahan.

FPI adalah anak kandung tradisi panjang negara yang doyan membentuk, memelihara atau membiarkan lahirnya milisi, paramiliter, laskar-laskar dan organisasi-organisasi yang doyan meneror. Sebab, apa pun dalihnya, demi revolusi atau demi Pancasila atau demi Islam, semuanya dicirikan oleh hal yang sama: kekerasan.

DAN di hadapan tradisi panjang seperti itu, apa yang bisa kita harapkan dari seorang presiden yang rajin mengetwit?

(socio-politica.com/ Sumber: Newsroom Blog)

New York Rabbi’s Awful Award

Why is a Jewish group dedicated to tolerance honoring a politician who has failed to support religious minorities?

By Jeremy Menchik*, Tablet Magazine, May 21, 2013

On May 30, Rabbi Arthur Schneier, the leader of Manhattan’s Park East Synagogue and founder of the Appeal of Conscience Foundation, plans to give the World Statesmen Award to Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono. The award is given annually to world leaders who support the foundation’s mission to promote tolerance and respect for human rights. Previous award recipients include Canadian Prime Minister Stephen Harper and German Chancellor Angela Merkel.

But this year’s choice is bizarre. Not only has Yudhoyono not fought intolerance in Indonesia, the world’s largest Muslim-majority country and home to millions of religious minorities, he has actively courted Islamist political parties and granted them key Cabinet positions. He appointed as government minister a politician who blames Christians for their persecution and routinely calls for heterodox Muslim sects to be outlawed. As a result, acts of violence against religious minorities have risen dramatically during his eight years in office. Christian churches in West Java and North Sumatra have been forced to close due to discrimination in the issuing of building permits. Minority Shi’ite Muslims have been forced from their homes by militant Islamists and made refugees in areas where they lived peacefully for decades. Most alarming is the militants’ 10-year campaign of violence against a heterodox Muslim sect called Ahmadiyah; vigilante groups have destroyed Ahmadis’ homes, set fire to their mosques, forced their relocation, and murdered Ahmadi Muslims with the tacit and sometimes outright approval of the government. Just this week, Yudhyono’s religious affairs minister oversaw the forced conversion of 20 Ahmadi Muslims. 

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "He appointed as government minister a politician who blames Christians for their persecution and routinely calls for heterodox Muslim sects to be outlawed. As a result, acts of violence against religious minorities have risen dramatically during his eight years in office. Christian churches in West Java and North Sumatra have been forced to close due to discrimination in the issuing of building permits." (photo: setkab)
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “He appointed as government minister a politician who blames Christians for their persecution and routinely calls for heterodox Muslim sects to be outlawed. As a result, acts of violence against religious minorities have risen dramatically during his eight years in office. Christian churches in West Java and North Sumatra have been forced to close due to discrimination in the issuing of building permits.” (photo: setkab)

 

“It would be hard to choose a more inappropriate person to whom a religious tolerance organization would give an award,”  said John Sifton, Asia advocacy director at Human Rights Watch. ”The simple fact is this: Persecution of minority Christian, Shia, Ahmadiya, Bahá’í has been worsening under President Yudhoyono’s watch, in particular in the last two years.”

Rather than standing up for minority rights, Yudhoyono has sought to appease Islamists. His 2008 decree threatened five years in jail to anyone who “propagates” the Ahmadiyah teaching, stopping just short of the outright ban that Islamists demanded. Instead of guaranteeing Christians the ability to build new churches, Yudhoyono has issued even more restrictive administrative regulations and ignored Supreme Court rulings that sought to protect religious freedom. Furthermore, instead of trying to roll back authoritarian-era laws that limit government recognition to six orthodox religions, Yudhoyono defended the laws on the grounds that restrictions on minorities are necessary for peaceful coexistence. These actions send a message to Indonesians that it is OK to be intolerant toward minorities and have encouraged Islamist vigilantes to use violence.

What’s worse, this abysmal track record is apparent to anyone with access to the Internet. Human Rights Watch has issued dozens of reports and press releases calling on the government to fight intolerance, including calls by members of Yudhoyono’s Cabinet. Every week, the English-language newspaper The Jakarta Post chronicles the plight of Ahmadi Muslims forced from their homes with the tacit or outright approval of local mayors. In the past year, the New York Times has published two op-eds (here and here) lamenting the rise in intolerance under Yudhoyono. The most cursory Internet search turns up dozens of articles documenting Yudhoyono’s failure to safeguard Indonesia’s history of peaceful coexistence.

The proposed award to Yudhoyono has sparked equal parts confusion and outrage in Jakarta. A prominent Catholic priest said the award is “playing in the hands of those few radicals that want to purif Indonesia of all what they regard as heresies and heathens.”  An interfaith coalition of Christians, Shi’ite Muslims, Ahmadi Muslims, and human rights organizations said the award provides the justification for acts of intolerance and mounted a peaceful protest in front of the U.S. embassy. A coalition of organizations representing atheists and ethical humanists called the award “a slap in the face to prisoners of conscience across the world. A petition to Rabbi Arthur Schneier to withdraw the award has garnered over 1,700 signatures from Australia, the United States, Indonesia, the Netherlands, Japan, and around the globe. Most worrisome to the signatories is that the award will further bolster the forces of intolerant Islamists that they are trying to fight.

So, why is Schneier planning to honor Yudhoyono? Numerous calls, emails, Tweets, and posts to his organization’s Facebook page have gone answered. But it is worth noting that Yudhoyono is considered by some to be a “moderate Muslim”—which in his case means that he has not demonized Israel in the U.N. General Assembly. And perhaps the Appeal of Conscience Foundation failed to consult anyone in Indonesia about Yudhoyono’s domestic track record or even do a modicum of research into Yudhoyono’s international record—thus overlooking, for example, his recent speech at the U.N. in support of a controversial international ban on religious blashphemy. The alternative—that Schneier knew of Yudhoyono’s track record but was more concerned with increasing his visibility on the world stage than with the human rights of religious minorities in the world’s fourth-largest country—is almost too disheartening to consider.

By giving this award to Yudhoyono, Schneier is actively whitewashing the failures of his government while strengthening Islamist militants who are trying to marginalize religious minorities. Bestowing the award would be an insult to the millions of Indonesians who are trying to promote tolerance, pluralism, and human rights in their fragile democracy. There is still time for the Appeal of Conscience Foundation to remedy its mistake. Schneier should stand in solidarity with the victims of religious persecution in Indonesia and not only revoke Yudhoyono’s award, but press him to take steps to actually promote freedom in Indonesia.

*Jeremy Menchik is an assistant professor of International Relations at Boston University and was a Fulbright scholar in Indonesia from 2009 to 2010. (socio-politica.com)