Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi

Drs Hatta Albanik Msi Psi Kli*

           DALAM persepsi psikologi forensik, penegakan hukum di Indonesia masih merupakan imitasi sikap perilaku feodal dan kolonial dalam penerapan hukum. Pada hakekatnya cenderung masih berbentuk penindasan hukum. Penegakan hukum menjadi monopoli ‘ahli’ hukum. Hukum, kebenaran dan keadilan menjadi ‘milik’ para pejabat hukum yang tidak perlu dipertanggungjawabkan penggunaannya pada negara dan rakyat. Masyarakat dan bangsa seolah ‘taken for granted’ memberikan kekuasaan hukum pada penguasa hukum sehingga mudah diselewengkan.

            Psikologi forensik adalah bagian dari ilmu psikologi yang menerapkan prinsip, konsep, teknik, metode, dan pendekatan psikologi lainnya dalam kaitan aktivitas kehidupan manusia yang menyangkut perilaku hukum. Cakupannya meliputi aspek-aspek psikologi/keperilakuan dalam investigasi hukum, proses pengadilan, psikologi kepolisian, psikologi/penanganan perilaku di lembaga pemasyarakatan (penitentiar), sengketa keluarga (perceraian, hak waris, perwalian anak, kekerasan dalam rumah tangga), bullying, masalah-masalah industrial, perburuhan, organisasi, government agencies, sekolah, universitas, rumah sakit, cyber behavior, money behavior, customer behavior dan sebagainya yang mengandung segi hukum.

POSTER DUKUNGAN KEPADA KPK. "Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat." (download)
POSTER DUKUNGAN KEPADA KPK. “Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat.” (download)

            Psikologi forensik itu sendiri sebenarnya mulai dikenal dan dirasakan kebutuhannya sejak 1923 –kasus Frye vs US Supreme Court– pada saat pengadilan membutuhkan pembuktian perkara di peradilan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan profesi keilmuan untuk menjelaskan bukti-bukti yang sulit dipecahkan dengan cara-cara peradilan konvensional.

Tak Bisa Hanya Ditangani Ahli Hukum dan Institusi Hukum. Di Indonesia, psikologi forensik diperkenalkan oleh Mayor Jenderal R. Soemitro Kartosoedjono –Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI)– dalam orasinya di depan jajaran Kejaksaan Agung RI tahun 1980 di masa Jaksa Agung Ismail Saleh SH..

Hingga sejauh ini penerapan psikologi forensik belum cukup mendapat respons dan perhatian dari pihak terkait. Khususnya instansi hukum, yang masih sangat konservatif, kuno dalam proses kerjanya, tidak terbuka terhadap penggunaan ilmu pengetahuan, masih penuh manipulasi otokrasi, dan tertutup terhadap kebenaran dan keadilan. Keadaan ini berbeda dengan beberapa negara maju. Di negara-negara itu kebutuhan akan penggunaan ilmu pengetahuan justru muncul dari instansi hukum yang menginginkan optimalisasi kualitas kerja mereka hingga bermanfaat bagi kepentingan negara.

Pada tahun 1966 peralihan kekuasaan menuntut penegakan hukum –rule of law– menggantikan kediktatoran. Pada tahun 1998, peralihan kekuasaan menuntut hukum sebagai ‘panglima’ menggantikan politik sebagai ‘panglima’. Semuanya gagal, karena ternyata seluruh institusi hukum dan komunitas hukum di Indonesia tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk membuat Indonesia menjadi Negara Hukum (rechtstaat) sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Masalah hukum di Indonesia terletak pada ketidakmampuan manusianya dalam berperilaku hukum yang normal, terutama pada pejabat hukumnya yang ada dalam kualita kemampuan lemah, moral lemah, kepribadian lemah dan kewibawaan lemah.

Upaya menciptakan Negara Hukum di Indonesia ternyata tidak bisa diserahkan kepada para ahli hukum dan institusi hukum saja. Diperlukan dukungan dan pengawasan dari infrastruktur yang membuat suprastruktur hukum di Indonesia bersih, modern dan memiliki ketrampilan tinggi. Ilmu pengetahuan terkait harus melibatkan diri agar hukum dan penegakan hukum di Indonesia menjadi elegan, terhormat berwibawa, jujur, adil, bersih dan bermanfaat.

Dengan kondisi ini, apakah pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan?

Perilaku Korupsi dalam Persepsi Psikologi Forensik. Per definisi, perilaku korupsi adalah perilaku kejahatan yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki otoritas (kewenangan) atau akses kekuasaan yang berhubungan dengan publik dan kekayaan publik. Menyalahgunakannya (‘mencuri’) sehingga menjadi hak milik pribadi atau kelompoknya, sehingga menimbulkan kerugian bagi publik.

Secara rinci menurut ilmu psikologi, perilaku korupsi itu adalah perilaku menyimpang (defiant behavior), perilaku kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau terganggu (disorder behavior), perilaku buruk (wrong behavior) dan perilaku menyolong. Perilaku korupsi merugikan orang lain, dengan mencuri kekayaan yang bukan miliknya (milik bersama, milik orang lain, milik negara dan sebagainya) dengan cara-cara melawan hukum. Menimbulkan kerugian  bagi orang lain (dan lain sebagainya) dengan maksud memperkaya diri sendiri (atau orang lain) sehingga dapat dipidanakan.

Perilaku melawan hukum adalah perilaku a-sosial, anti-sosial, a-normatif, dan berkecenderungan sebagai psychopat. Perilaku korupsi adalah juga perilaku obsesif (neurosis yang menjadi tekanan psikis) kompulsif yang menuju kleptomania. Pada dasarnya perilaku korupsi tergolong perilaku abnormal, perilaku kejahatan. Perilaku kejahatan itu bersumber dari dalam diri maupun dari luar diri. Sumber dari dalam diri antara lain cacat/kelainan genetik, hormonal, neurologis, fisiologis yang bersifat organik, dan cacat/kelainan psikologis menuju gangguan kepribadian. Sumber dari luar diri adalah cacat/kelainan sosial berupa kemiskinan, a-sosial, lifestyle, anti sosial, yang berkaitan dengan socio-pathy, broken family dan social disaster.

          Perilaku korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan perilaku kejahatan luar biasa, bukan lagi biasa sebagaimana yang dilakukan penjahat biasa. Sehingga terhadapnya, selain undang-undang biasa, bisa dan perlu diberlakukan undang-undang khusus. Korupsi menjadi luar biasa, karena dilakukan bukan oleh rakyat warga negara biasa. Kejahatan korupsi dilakukan oleh penjahat yang menyusup menjadi pejabat.

            Pejabat di masa awal kemerdekaan adalah seseorang yang menjadi pemimpin rakyat untuk memimpin perjuangan kemerdekaan, memimpin rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita kesejahteraan bangsa Indonesia. Perilaku dasarnya adalah berkorban, dedikatif. Pejabat setelah Indonesia merdeka adalah seseorang yang diserahi kekuasaan publik oleh bangsa dan negara Indonesia untuk menyelenggarakan kekuasaan agar melaksanakan kegiatan kenegaraan bagi kepentingan tercapainya tujuan negara. Ternyata perilaku dasar di awal kemerdekaan berangsur-angsur berubah menjadi lebih berorientasi kepada kekuasaan, fasilitas dan kekayaan pribadi.

            Apa dan siapakah pejabat itu? Pejabat adalah mereka yang menduduki posisi eksekutif, legislatif dan judikatif, di tingkat pusat dan daerah, termasuk pada badan usaha milik negara dan daerah. Juga meliputi pengusaha yang menggunakan usaha publik untuk memajukan diri dan (warga) negara. Para pejabat dengan perilaku korupsi adalah seseorang yang mengkorupsi (menyalahgunakan) kewenangan dan kekuasaan negara untuk kepentingan pribadinya sehingga menimbulkan kerugian bagi warga negara lain, rakyat, bangsa dan tanah air.

            Negara menurut Konvensi Montevideo terdiri dari wilayah, rakyat dan kekuasaan yang dimanfaatkan rakyat. Jadi, korupsi adalah kejahatan terhadap negara yang dilakukan oleh penjahat yang menyusup menjadi Pejabat Negara.

            Saat ini, Indonesia adalah sebuah Negara Gawat Korupsi.

            Anatomi Perilaku Korupsi di Indonesia. Pelaku perilaku korupsi di Indonesia adalah penjahat yang menyusup menjadi pejabat negara dan pejabat dunia usaha. Pada dasarnya mereka adalah seseorang yang memiliki kepribadian kriminal yakni manusia dengan kepribadian cacat dan disebut sebagai manusia psikopatik. Seorang psikopatik memiliki bolong dalam fungsi kepribadiannya, sehingga tidak mampu mengendalikan dorongan untuk melakukan kejahatan korupsi. Mereka sesungguhnya penjahat, molimo.

            Mereka adalah produk toilet training, dengan pendidikan tatakrama yang buruk sehingga menjadi buruk juga. Selalu mencari jabatan/posisi sosial yang memungkinkan untuk menyenangkan diri sendiri dengan merugikan orang lain. Kalau perlu, dengan menindas dan menyusahkan orang lain. Tampilan mereka ‘poker face’, seolah ‘tidak berdosa’, ‘reaction-formation’, munafik, ‘jaim’ (jaga image). Tidak pernah merasa bersalah, no guilty feeling. Mereka menikmati dan memburu jabatan-jabatan kekuasaan. Selalu berusaha menonjol dengan cara dengan kualitas ‘tidak menonjol’.

            Para penjahat ini, loyalitasnya hanya kepentingan diri. Tidak berbudi. Tidak menghargai jasa instansi. Instansi atau institusi hanya instrumen untuk mendapatkan manfaat bagi kepentingan diri. Tidak punya idealisme dan dedikasi. Tidak segan-segan memperalat lingkungan dan menjerumuskan orang lain sebagai tempat perlindungan diri. Tatakrama dan etika selalu dimanipulasi agar kepribadian jahatnya tidak terdeteksi. Selalu berjarak dengan lingkungan sosial, karena lingkungan sosial dianggap objek, bukan ruang hidup.

            Pendekatan Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi. Penting melakukan deteksi kepribadian pejabat yang berindikasi penjahat dengan assesment psikologi. Fokus assesment psikologi itu adalah para pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif dengan kategori berikut: Memiliki otoritas publik dengan peluang pemerasan dan kejahatan sejenis. Memiliki otoritas pada harta kekayaan publik yang bisa memberi peluang melakukan pencurian, penggelapan dan kesewenang-wenangan.

            Assesment psikologi forensik dilakukan dengan content analysis terhadap profil harta, gaya hidup, perilaku kerja, lingkungan pergaulan, keluarga, hobby dan kebiasaan-kebiasaan. Lalu disimpulkan, normal atau abnormal. Lakukan analisis terhadap caranya memperoleh jabatan dan stigma dalam menjalankan tugas jabatannya. Temukan indikasi pelanggaran hukum.

            Perlu memonitor dan mendeteksi penyidik dan instansi penyidik. Lakukan ‘pembersihan’ unit kerja sebagai indikator ‘kebersihan’ pimpinannya. Treatment segera agar preventif terhadap pejabat yang terindikasi penjahat. Dibutuhkan keberadaan suatu divisi Psikologi Forensik pada instansi penegak hukum, peradilan dan pemberantasan korupsi.

            Hukum penjahat korupsi seberat-beratnya, berupa ganti rugi yang berlipat ganda, harta kekayaan harus dirampas seluruhnya dan mereka yang melindungi pun harus ditindak sama.

            Institusi negara hendaknya tidak berlebihan memberikan fasilitas kepada pejabat-pejabatnya, sehingga membuat para penjahat tergiur –dana, kantor, alat transportasi dan fasilitas bagi keluarga dan lain sebagainya.

            Catatan Tentang KPK dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. KPK menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi melalui instrumen hukum dan perundangan. Sepanjang yang bisa diamati, target KPK terfokus kepada pelanggaran hukum yang dilakukan. Secara teknis, KPK banyak menggunakan gratifikasi sebagai pintu masuk penyidikan. Dengan teknik itu, hanya pelaku dan lingkungan terbatas yang terdeteksi. KPK terlampau pasif karena melakukan penangkapan menunggu momen tertangkap tangan ketika pelaku sedang bertransaksi.

Psikolog bisa membantu KPK menentukan mana pejabat putih dan mana pejabat hitam. Dengan pendekatan psikologi, potensi korupsi seseorang bisa diketahui. Antara lain dengan menganalisis curriculum vitae seseorang, seperti bagaimana ia mendapatkan gelar pendidikan. Ada universitas tertentu yang dengan mudah memberikan gelar, misalnya dengan membayar sejumlah uang. Orang yang mendapat gelarnya dengan cara-cara tidak baik, berpotensi melakukan keburukan lainnya.

Pejabat putih dijadikan teman dan berperan sebagai whistleblower, membantu penangkapan pejabat hitam. Tapi, dalam kenyataannya sekarang, pejabat putih maupun pejabat hitam justru sama-sama memusuhi KPK.

            Saat ini KPK berada dalam situasi mudah menjadi sasaran kick-back, sasaran tembak ketidakberhasilan pemberantasan korupsi. KPK tidak didukung simultan oleh instansi/institusi pemerintah, baik eksekutif, judikatif maupun legislatif. Padahal KPK harus memiliki dukungan yang kuat. KPK juga menghadapi keterbatasan data dan tindakan untuk membekuk penjahat penyusup, sehingga populasinya meluas.KPK sendiri perlu senantiasa melakukan introspeksi agar tidak dimasuki penyusup. KPK harus mampu menggerakkan institusi lainnya melakukan upaya membekuk penyusup.

            KPK perlu mempelajari kegagalan institusi-institusi pemberantasan korupsi Indonesia di masa lalu. Beberapa institusi di masa lalu itu bersih, tetapi gagal, karena serangan balik (revanche) para penjahat melalui penyusupan ke institusi penegakan hukum. Pada saat yang sama, dukungan publik berhasil dipatahkan.

 *Drs. H. Hatta Albanik Msi Psi Kli. Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Jawa Barat. Terlibat dalam berbagai gerakan kritis semasa menjadi mahasiswa, sebelum menjadi pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran – (socio-politica.com)

2 thoughts on “Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s