Tag Archives: SBY

HMI Yang Tinggal Wadahnya Saja Lagi…… (1)

Mitos kepemimpinan yang paling berbahaya adalah mempercayai bahwa pemimpin itu dilahirkan, ada faktor genetik untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Hal itu benar-benar omong-kosong.Yang benar justru sebaliknya,pemimpin itu diciptakan oleh situasi”, Warren G Bennis.

 Oleh Syamsir Alam*

SEMULA banyak yang memperkirakan Kongres Ke-28 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jumat (15/3) yang lalu di Jakarta –dengan pembatalan mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono– bakal heboh. Terutama bila dihubung-hubungkan dengan perlawanan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PB HMI, yang menyebut dirinya “anak yang tidak diharapkan lahir oleh orang tuanya”. Anas ‘dipaksa’ mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang. Tapi, ternyata kongres tersebut berlalu begitu saja.

SBY tidak hadir dengan alasan tak ada kepastian kondisi internal HMI yang kondusif bagi kehadiran Presiden seperti yang disampaikan juru bicara kepresidenan. Ini berbeda arti dengan apa yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar HMI Noer Fajrieansyah sebelumnya, bahwa PB HMI lah yang batal mengundang Presiden untuk membuka Kongres.

SALAM TAKZIM SEKJEN PB HMI KEPADA PRESIDEN. "Ini berbeda arti dengan apa yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar HMI Noer Fajrieansyah sebelumnya, bahwa PB HMI lah yang batal mengundang Presiden untuk membuka Kongres." (download presidenri.go.id)
SALAM TAKZIM SEKJEN PB HMI KEPADA PRESIDEN. “Ini berbeda arti dengan apa yang disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar HMI Noer Fajrieansyah sebelumnya, bahwa PB HMI lah yang batal mengundang Presiden untuk membuka Kongres.” (download presidenri.go.id)

Masuk akal, bila banyak pihak yang mencurigai Anas akan membawa-bawa pihak lain untuk melawan SBY, seperti yang dikatakan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, sesama alumni HMI, “Bung Anas hadapilah masalah hukum secara baik. Ini bukan akhir segalanya. Saya harapkan tidak perlu membawa-bawa HMI” (Kompas, 1 Maret 2013). Banyak pesan-pesan dari yang tua-tua yang hadir di Kongres –mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla selaku Ketua Majelis Etik Korp Alumni HMI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, dan Ketua Majelis Penasehat Korp Alumni HMI Akbar Tanjung– yang dicatat media. Namun sebaliknya, tidak ada pendapat yang menarik untuk disimak dari yang muda-muda mengenai program HMI ke depan.

Harapan berlebihan tanpa dukungan memadai

Menarik untuk dicatat, dalam pidatonya selaku Ketua Majelis Etik Korp Alumni HMI, pada pembukaan Kongres Ke28 HMI itu, Jusuf Kalla menganjurkan HMI harus ikut serta menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Selain menyumbangkan gagasan jalan keluar, juga perlu terus melakukan kaderisasi demi melahirkan pemimpin bangsa di masa datang. Masalahnya, HMI yang sekarang bagaikan si piatu yang tidak jelas siapa orang tua kandung, atau orang tua asuh, yang membimbingnya, sehingga tidak tahu nantinya menjadi kader partai yang mana. Popularitas mereka sebagai kader yang idealis kalah pamor dari para selebriti yang menjanjikan elektabilitas tinggi, atau anggota keluarga pimpinan partai yang dianggap lebih berhak memimpin. 

            Dalam kesempatan yang sama, Muhammad Nuh, yang mewakili pemerintah, berpesan agar HMI ikut membangun masyarakat yang berpendidikan, dan menjadi bagian dari upaya menyelesaikan persoalan bangsa. “Itu perlu dilakukan dengan murah secara sosial, politik, dan ekonomi. Pemecahannya juga harus pada waktunya dan sesuai dengan aturan”, katanya. Terhadap harapan yang lebih merupakan basa-basi seorang tamu tersebut, tak mungkin bagi seorang mahasiswa bisa melakukannya. Mahasiswa sekarang cukup tertekan oleh padatnya waktu kuliah, dengan bayangan ancaman dikeluarkan bila tak bisa menepati batas waktu kuliah yang ditetapkan. Dan, tanpa adanya mentor pembimbing dari pemerintah yang bisa memberikan dukungan iklim yang diperlukan menjadi aktivis mahasiwa yang berkualitas.

            Selain itu, ada harapan dari Akbar Tanjung, agar HMI tetap menjadi organisasi mahasiswa yang kritis terhadap masalah bangsa, termasuk pemerintahan. Namun, menurutnya kritik itu harus tetap dilandasi nilai-nilai akademis, moral, keislaman, kebenaran, dan keadilan. HMI tidak anti-pemerintah di bawah kepeminpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, tapi kritis. Ini pesan yang sulit dilaksanakan oleh mahasiwa yang sedang belajar politik, kelompok dalam usia yang sedang mencari jati diri, dan cenderung bersuara vokal tanpa basa-basi. Banyak yang harus dikritik HMI, tapi luput karena nalarnya belum sampai ke situ. Misalnya, solusi menghentikan korupsi dengan kritik bijak yang dilandasi nilai-nilai akademis yang kuat. Jangankan mahasiswa, bahkan para dosen pun tidak akan mampu melakukanya.

            Memang, Noer Fajrieansyah menegaskan, HMI tetap menjadi organisasi mahasiswa yang independen dan kritis terhadap pemerintah, dan akan terus mewakili aspirasi masyarakat banyak, dalam arti merespon kebijakan pemerintah. Apalagi menjelang Pemilu 2014 nanti, ada banyak kegiatan politik yang perlu dikritisi. Masalahnya, sekarang saja banyak aspirasi masyarakat yang tidak tersalurkan oleh HMI, misalnya mengenai kenaikan harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik rakyat kalangan bawah, berlalu begitu saja. Mahasiswa diposisikan harusnya belajar di kampus, bukan memperhatikan nasib rakyat kalangan bawah. HMI sudah di menara gading perkuliahan, tidak lagi berada di akar rumput yang membutuhkannya, sehingga tidak peka lagi dengan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya.

Zaman berubah, peranan pun berganti

Nampaknya, HMI sekarang tinggal wadahnya saja lagi. HMI sudah kehilangan militansi semangat juang yang dulu menjadi kebanggaan anggotanya, yaitu usaha pemberdayaan dan pencerahan umat Islam dan bangsa secara luas. Sebagai organisasi, setelah surutnya peranan organisasi ekstra pada umumnya dalam gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menjelang akhir tahun 1970, HMI tetap berkiprah sebagai organisasi ekstra kurikuler yang mempunyai anggota cukup banyak, walaupun kegiatan utamanya sekarang hanya tampil ketika kongres dan menjelang pemilu saja.

Walaupun raison d’etre HMI yang pada awalnya menciptakan intelektual yang berwawasan agama masih tetap dipegang teguh, namun pengertian “intelektual berwawasan agama” itu sudah mengalami pergeseran makna menjadi lebih pragmatis. Karena itu, tidak muncul lagi tokoh-tokoh baru dari kader HMI yang dapat disebut brilian (gilang-gemilang), seperti kakak-kakaknya dulu.

Ada alasan, bahwa ketatnya jadwal kuliah yang biayanya juga semakin mahal, membuat para mahasiswa tidak mungkin lagi menyisakan waktunya untuk aktif dalam organisasi ekstra seperti era kesatuan aksi dulu. Itu benar, dulu banyak mahasiwa yang dikenal sebagai aktivis yang jempolan karena menyediakan waktunya untuk berprofesi sebagai aktivis mahasiswa. Nampaknya tujuan para aktivis HMI sekarang sudah tergeser oleh pemikiran pragmatis, tidak lebih dari menjadikan HMI sebagai kendaraan untuk mendapatkan jabatan di partai apapun yang menerimanya.  

Partai-partai yang krisis kader pun tidak melirik

Menjelang Pemilihan Umum 2014, para pengurus partai mulai sibuk mencari kader untuk direkrut menjadi calon anggota legislatif (caleg). Namun, karena lemahnya kaderisasi partai politik (parpol) sekarang ini, meminjam pemaparan pers, banyak partai mencari calon dari luar partai dengan mengedepankan popularitas, dan mengabaikan kapasitas calon.

Pola penjaringan caleg tersebut umumnya dilakukan melalui kader partai dengan dua jalur. Pertama, sebagian anggota DPR/DPRD saat ini masih akan menjadi caleg periode berikutnya, karena telah memiliki konstituen. Kedua, melalui proses seleksi internal parpol untuk menjaring calon berkualitas.

(socio-politica.com/socipolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2

SBY: Isu Kudeta dan Lempar Sepatu

DUA PEKAN lebih telah berlalu, isu kudeta untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masih saja dibicarakan. Namun, tentu saja, kudeta itu sendiri takkan pernah terjadi. Tentara mana yang berani melakukannya? Dan yang juga tak kunjung terjadi adalah pelemparan sepatu terhadap SBY, seperti yang menjadi ancaman Gerakan Nasional HMI Anti SBY bila sang Presiden ini berani hadir di Kongres XXVIII HMI di Jakarta 15 Maret 2013. Tapi kalau SBY datang juga, apa betul ada yang berani melemparinya dengan sepatu?

ANAS DAN SBY. "Tips untuk kalangan kekuasaan, termasuk bagi SBY yang masih akan menunaikan kekuasaannya hingga tahun depan, HMI bukan monster berbahaya bagi kekuasaan, sepanjang memahami dinamika berbagi. Bukankah Anas Urbaingrum banyak juga gunanya, sejak di KPU sampai menjabat Ketua Partai Demokrat? (foto download)
ANAS DAN SBY. “Tips untuk kalangan kekuasaan, termasuk bagi SBY yang masih akan menunaikan kekuasaannya hingga tahun depan, HMI bukan monster berbahaya bagi kekuasaan, sepanjang memahami dinamika berbagi. Bukankah Anas Urbaingrum banyak juga gunanya, sejak di KPU sampai menjabat Ketua Partai Demokrat? (foto download)

Soal kudeta, sejarah menunjukkan tak pernah ada kalangan tentara berani melakukannya. Tidak oleh Kolonel AH Nasution di tahun 1952, tidak pula oleh Jenderal Soeharto di tahun 1965-1966. Lebih-lebih lagi Jenderal Wiranto yang konon punya ‘kesempatan’ mengambilalih kekuasaan di tahun 1998. Hanya sejarawan kiri seperti Asvi Warman Adam yang pernah mengembangkan analisa bahwa Jenderal Soeharto melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, itupun dengan penamaan kudeta merangkak –creeping coup d’etat.

Padahal, yang sesungguhnya dilakukan Jenderal Soeharto adalah serangkaian taktik khas tentara Indonesia yang lebih terbiasa dengan pola gerilya daripada perang terbuka. Dimulai dengan menggunakan bujukan tiga jenderal yang sebenarnya adalah kesayangan Soekarno –Jenderal Muhammad Jusuf, Jenderal Basuki Rachmat dan Jenderal Amirmahmud, yang tergolong de beste zonen van Soekarno– sehingga memperoleh Surat Perintah 11 Maret 1966. Lalu dilanjutkan dengan taktik konstitusional yang berpuncak pada Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 yang mencabut mandat Soekarno.

Satu-satunya perang agak terbuka –itupun sebenarnya masih dibarengi dengan taktik gerilya– yang barangkali pernah dilakukan tentara Indonesia, adalah saat menyerang Timor Timur di tahun 1975 sehingga di tahun 1976 wilayah tersebut akhirnya menjadi salah satu provinsi Indonesia.

Dua peralihan kekuasaan terpenting yang pernah terjadi di Indonesia senantiasa melibatkan tentara dengan pola politik gerilya. Pertama peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto, dan yang kedua dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie. Dalam kedua peristiwa, tentara menggunakan peluang yang tercipta dari suatu blessing indisguise yang selalu juga melibatkan peranan gerakan mahasiswa. Peluang tahun 1965-1966 terjadi setelah percobaan gagal Gerakan 30 September 1965 yang disusul rangkaian demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soekarno turun dari kekuasaannya. Peralihan kedua, dari tangan Soeharto ke tangan BJ Habibie, terjadi karena kombinasi tekanan demonstrasi mahasiswa 1998 dengan permainan belakang layar para tentara politik. Setelah itu terjadi pula peralihan kekuasaan bergaya parlementer, dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid ke tangan Megawati Soekarnoputeri yang merupakan political game partai politik ‘masa’ reformasi yang bertepatan waktu dengan ‘pembangkangan’ polisi dan tentara terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Secara menyeluruh, menurut pengalaman empiris Indonesia, perubahan penting dalam kekuasaan hampir selalui ditandai dengan adanya demonstrasi mahasiswa. Bukan hanya dalam peralihan dari Soekarno ke Soeharto 1966-1967 dan lengsernya Soeharto di tahun 1998, tetapi juga dalam tak berlanjutnya kepresidenan BJ Habibie serta peralihan Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputeri. Makin besar-besaran demonstrasi mahasiswa itu, makin besar peluang terjadinya perubahan.

Bagaimana dengan gertakan lempar sepatu kepada SBY? Tidak terjadi, terutama karena SBY memilih tidak datang menghadiri Kongres HMI itu. Apakah ada kemungkinan memang ada yang melempari SBY dengan sepatu jika ia toh datang? Kata Akbar Tanjung, yang adalah Ketua Dewan Penasehat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi), “mungkin saja.” Tapi itu diucapkannya sore hari setelah bisa dipastikan SBY tak hadir di Kongres HMI tersebut pada pagi harinya.

Seandainya pun, SBY hadir di Hotel Borobudur, dan betul-betul dilempari sepatu, itu menjadi sejarah baru HMI. Berarti ada dinamika baru atau bahkan radikalisasi. Dari dulu sampai sekarang, HMI adalah organisasi dengan kader-kader –terutama kalangan tokoh pimpinannya– yang lebih senang dan merasa lebih nyaman berada di sekitar kekuasaan negara. Baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.

Saat mengalami rangkaian penganiayaan politik oleh PKI dan organisasi-organisasi mantelnya pada masa Nasakom, khususnya 1963-1965, HMI berlindung kepada Presiden Soekarno. Dan Soekarno memilih tidak memenuhi tuntutan kelompok kiri untuk membubarkan HMI yang dicap kontra revolusi –yang sebenarnya terutama karena Soekarno memperhitungkan Jenderal Ahmad Yani yang bersikeras membela HMI.

Maka, tatkala kelompok mahasiswa intra dan gerakan mahasiswa lainnya di tahun 1966 mulai menampilkan sikap anti Soekarno, yang bahkan sampai kepada tuntutan penurunan dari kekuasaan, para tokoh PB-HMI masih menyempatkan datang bersilaturahmi kepada Presiden Soekarno di Istana, bersama beberapa pimpinan organisasi extra universiter semacam GMNI –maupun juga GMKI. Dalam gerakan anti Soekarno, HMI menjadi slow starter. Tapi sungguh menarik bahwa tokoh mahasiswa 1966, mahasiswa ‘bebas’ Sugeng Sarjadi, yang merobek-robek gambar Soekarno di Bandung sehingga menjadi pemicu aksi serupa di seluruh Bandung, 18 Agustus 1966, adalah tokoh yang dengan cepat direkrut dan dinyatakan HMI sebagai anggotanya.

Tercatat di belakang hari, di sepanjang beberapa bagian terakhir masa kekuasaan Soeharto, begitu banyak tokoh HMI –melebihi tokoh alumni dari organisasi mahasiswa manapun– mengalir masuk ke dalam kabinet maupun lembaga-lembaga kekuasaan lainnya, ataupun ke MPR/DPR-RI. Ini terjadi di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Salah satu tokoh HMI, Muhammad Jusuf Kalla, pada mulanya memilih melanjutkan karir di dunia usaha melanjutkan apa yang dirintis ayahandanya, sementara teman-temannya yang lain mulai masuk ke pemerintahan daerah. Kini, Jusuf Kalla sudah pernah berhasil mencapai RI-2, dan masih sedang mencoba terus meraih posisi RI-1.

Jadi, sebenarnya, pukul rata, kader-kader HMI itu tidak punya tradisi melawan kekuasaan bahkan kebanyakan menjadi bagian dari kekuasaan. “Anggota HMI kan banyak, jadi pasti ada di mana-mana,” ujar Adi Sasono tokoh alumni HMI. Kalau kini ada sedikit riak terhadap kekuasaan, itu pasti hanyalah bagian dari dinamika pencapaian cita-cita agar tetap sebagai peserta dalam kekuasaan. Masuk kekuasaan bukan sesuatu yang salah, sebenarnya, sepanjang tidak ikut-ikut mengembangkan budaya korupsi yang merupakan bagian melekat dalam kekuasaan menurut asumsi umum per saat ini. Namun ada yang menggugat. Aktivis Masjid Salman ITB tempo dulu, Syamsir Alam, yang rajin berdzikir, sempat menulis dengan judul bertanya, kenapa banyak kader HMI yang terlibat korupsi? “Karena mereka masuk kekuasaan,” kata Solahuddin Wahid dalam suatu pertemuan.

Tips untuk kalangan kekuasaan, termasuk bagi SBY yang masih akan menunaikan kekuasaannya hingga tahun depan, HMI bukan monster berbahaya bagi kekuasaan, sepanjang memahami dinamika berbagi. Bukankah Anas Urbaingrum banyak juga gunanya, sejak di KPU sampai menjabat Ketua Partai Demokrat. Tetapi ketika menjadi Ketua Umum, ‘gelora’ kekuasaan agaknya menyorongkan terlalu banyak perspektif yang menyenangkan dan mudah.

Lalu bagaimana dengan isu adanya rencana kudeta yang pertama kali dilontarkan SBY sendiri –yang katanya menurut laporan intelejen– menjelang keberangkatannya ke luar negeri 3 Maret lalu? Bukan cerita baru. Tepat setahun sebelumnya, Menteri Polhukam Marsekal Djoko Suyanto sudah lebih dulu menghembuskan berita tentang adanya usaha menjatuhkan SBY. Sebelumnya lagi, SBY sendiri pernah menyebutkan dirinya menjadi sasaran pemboman. Tak heran bila Maret 2012 Pengamat Politik dari UGM Ari Dwipayana, menganggap SBY dan Partai Demokrat mengembangkan politik paranoid.

Barangkali terlalu cepat juga bila menganggap SBY adalah seorang paranoid. Lebih tepat mungkin jika dikatakan SBY sedang menghadapi dan berada dalam situasi paranoia politik –suatu penggambaran keadaan politik yang serba saling mencurigai. Atau paling tidak, sedang melanjutkan politik mencari simpati dan empati, sebagai orang yang tak henti-hentinya dianiaya secara politik.

Tapi terlepas dari itu, pokoknya jangan sampai menjadi paranoid, karena bila seorang Presiden menderita paranoid ia tak lagi memenuhi syarat undang-undang yang tak memperbolehkan untuk sakit jasmani dan rohani terus menerus. Paling ditakutkan di Amerika Serikat dari dulu, bila Presiden menderita paranoid, setiap waktu bisa terjadi ia mendadak memencet tombol untuk meluncurkan peluru kendali antar benua.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (3)

MEMANG tak mungkin Anas Urbaningrum menerima “serupiah saja” atau “hanya serupiah”. Dalam medan rumor saat ini, terutama di media sosial, Anas tergambarkan telah memperoleh uang dalam skala belasan dan bahkan mungkin puluhan milyar dari kasus Hambalang. Apa benar atau tidak, tentu masih harus menunggu pemeriksaan KPK.

Tanpa menunggu pengungkapan KPK lebih jauh lagi, sejumlah media sosial dan media online lainnya sudah melaju ‘menguliti’ Anas. Beberapa media tersebut mengungkap, setelah meninggalkan KPU 2005 dan terjun menjadi politisi, kekayaan Anas yang semula menurut data KPK hanya 2,2 milyar rupiah, berkembang menjadi 4-5 trilyun rupiah. Terakhir, bahkan mencapai 8 trilyun rupiah. Angka ini mungkin terlalu fantastis sebagai satu kebenaran, tetapi menurut pengetahuan umum, Anas kini memang kaya raya. Tetapi jangankan Anas, beberapa orang yang sehari-hari memiliki kedekatan dengan mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut, terlihat bisa hidup mewah. Tetangga-tetangga orang seperti ini saja bisa bercerita tentang kehidupan wah kelompok periphery Anas ini, semisal saat menyelenggarakan acara kawinan. Uang yang banyak kadangkala tak pandai bersembunyi di tangan kaum dadakan.

ANAS DAN IBAS. "Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?" (download antaranews)
ANAS DAN IBAS. “Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?” (download antaranews/tempo)

Citizen reporter Iwan Piliang, meminjam Said Didu –mantan Sekjen Kementerian BUMN– menyebut proyek Hambalang sebagai “rekayasa maha sempurna”. Proyek itu digambarkan lahir dari niat sejumlah pihak tertentu untuk menyamun dana APBN, dengan tujuan menyunat sebanyak-banyaknya uang negara. Mereka merancang menang-tenderkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan perusahaan terbuka. Tapi sub kontraktor sudah ditentukan, untuk menangguk keuntungan lebih.

Mengapa para pimpinan BUMN itu mau? Selain kepentingan memperoleh komisi hasil kolusi, menurut Iwan, juga ada urusan ego libido perorangan untuk naik posisi dari level menejer ke direksi, bahkan hingga Dirut. “Semuanya butuh koneksi dan uang. Khususnya koneksi di DPR.”

Dalam proses pemenangan tender proyek Hambalang, 4 BUMN –Nindya Karya, Hutama Karya, Waskita Karya– dipimpin PT Adi Karya mengatur harga, bersama konsultan perencana, yang juga BUMN yakni PT Yodia Karya. “Di belakang itu semua, ada oknum terindikasi memainkan peran, bernama Mahfud Suroso. Ia berada di PT Dutasari Citra Laras (DCL), sebagai sub kontraktor. Apa kesaktian Mahfud? Ia dibayar oleh PT Adhi Karya paling awal di nilai kontrak Rp 295 milyar, untuk pekerjaan Mechanical Electrical (ME).” Padahal, di mana-mana pekerjaan ME lazimnya selalu dibayarkan paling akhir. Di PT Dutasari Citra Laras, duduk Attiya Laila isteri Anas Urbaningrum. Benang merah ini selalu dibantah Anas.

Iwan Piliang mengungkap, unsur mark-up dalam proyek Hambalang, sangat tajam. Mengutip data audit BPK, Iwan memberi beberapa contoh. “Dalam pengadaan ME transformator Oil 1600 kva negara membayar ke PT Adhi Karya dan Dutasari Citra Laras Rp 358 juta, padahal harga satuan di subkontraktor hanya Rp 148 juta, mark-up 140 persen. Diesel genset 2000 kva harga beli negara Rp 5 miliar, dari subkontraktor hanya Rp 2 miliar, mark-up 150 persen. Panel 3 masjid, harga yang dibayar negara Rp 55 juta, padahal dari subkontraktor hanya Rp 1,4 juta, mark-up 3.600 persen. Untuk back-up battery negara membayar Rp 17 juta, sedang dari subkontraktor Rp 372 ribu, mark-up 4.700 persen. Itu sekadar sedikit cuplikan angka.”

Menusuk jantung putera sang raja. PADA arah sebaliknya, dalam ‘serangan balik’ kubu Anas, muncul pula ungkapan-ungkapan yang untuk sementara sudah cukup mengungkapkan betapa luasnya keterlibatan sejumlah orang termasuk dari kalangan kekuasaan dalam kasus Hambalang. Dengan penyebutan nama Ibas Yudhoyono, seakan nama Susilo Bambang Yudhoyono pun terserempet. Nama Ibas menurut Anas, pertama kali disebut dalam kaitan kasus Hambalang oleh Muhammad Nazaruddin. Sebelum ‘lari’ ke Singapura sekitar setahun lebih yang lalu, Anas membawa bekas Bendahara Partai Demokrat itu menghadap SBY di Cikeas. Dalam pertemuan yang ikut dihadiri Amir Syamsuddin tersebut, saat Nazaruddin menyebut Ibas ikut menerima dana, diceritakan bahwa SBY sampai menggebrak meja.

Luasnya pendistribusian dana dalam kasus Hambalang ini tidak berbeda dengan kasus korupsi simulator SIM Ditlantas Polri dengan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo. Dalam kasus yang disebut terakhir ini, sepanjang pengungkapan KPK, dana hasil korupsi tersebut sudah mengalir ke mana-mana. Ke para jenderal maupun sejumlah anggota DPR. Sang jenderal sendiri, memiliki kekayaan dengan jumlah menakjubkan. Duapuluh rumah mewah dan harta lain sang jenderal telah disita KPK.

Bahwa sang jenderal juga memiliki lebih dari satu isteri, itu sebenarnya merupakan hal yang terlalu pribadi untuk diceritakan. Namun, ke depan KPK barangkali perlu membaca indikasi bahwa bila seorang pejabat pemerintah maupun tokoh penguasa politik memiliki 2-3 isteri atau lebih, ada kemungkinan ia juga adalah pelaku korupsi. Kini, memiliki banyak isteri, menjadi simbol atau pertanda kemewahan. Dan kemewahan yang tak wajar, adalah saudara kembar perilaku korupsi. Data empiris sejauh ini menunjukkan, sejumlah pelaku korupsi yang sudah diringkus KPK atau Kejaksaan Agung memiliki 2-3 isteri, atau paling tidak memiliki affair dengan lebih dari satu perempuan lain. Tapi, Anas sejauh ini diketahui hanya memiliki satu isteri, yakni Attiyah Laila.

Kenapa Anas belum segera menyebut berapa, kapan dan di mana Ibas menerima dana eks Hambalang? Ia menganggap Amir Syamsuddin lah yang tepat untuk menceritakannya. Kecuali Amir Syamsuddin tidak mau menjelaskan, “ya nanti pemain penggantinya ya saya lah,” ujar Anas kepada RCTI (27/2). Perlu untuk menunggu janji Anas yang satu ini. Kalau ternyata ia tidak berani, terpaksa menunggu KPK menyelesaikan kasus ini.

Seraya menunggu, mari membaca lakon pewayangan berikut ini. Tentang kematian Raden Abimanyu putera Raden Arjuna dan Raden Lesmono Putera Mahkota Raja Astina Suyudono (Duryadana) di medan Tegal Kurusetra dalam Perang Baratayudha. Pada lakon ini tampil peran Bengawan Durna dan Aria Sengkuni.

Pada hari Raden Abimanyu putera Pandawa turun ke medan perang, balatentara Kurawa Kerajaan Astina dari pagi sampai siang terdesak. Banyak Kurawa yang tewas di tangan Abimanyu. Bengawan Durna yang berpihak kepada Kurawa memanggil Aria Sengkuni dan berkata, “Balatentara kita terdesak, bila dibiarkan kita akan kalah. Kita harus menggunakan akal muslihat. Bagaimana menurutmu ?” ucapnya. Ia lalu membisikkan rencananya kepada Sengkuni. “Sebenarnya, apapun muslihatmu, tak usah tanyakan lagi padaku, pasti aku setuju,” jawab Sengkuni.

Lalu mereka berdua memanggil Adipati Karna. Durna bertanya kepada Karna, “Maukah engkau berjanji menolong negaramu ini?” Adipati Karna yang enggan menolak, menyanggupi. Kepada Karna, Bengawan Durna memaparkan rencananya, bahwa Sengkuni akan mengibarkan bendera putih sehingga pertempuran dengan sendirinya terhenti. “Saat itu, aku meminta engkau maju mendekat dan merangkul Abimanyu. Sampaikan kekagumanmu akan keperkasaannya.” Kala Karna merangkul Abimanyu, demikian rencana Durna dan Sengkuni, Jayadrata yang mahir memanah selain bermain gada, akan memanah Abimanyu.

Demikianlah, Sengkuni maju mengibarkan bendera putih. Meskipun terheran-heran, semua pihak yang sedang berlaga menghentikan pertempuran. Adipati Karna lalu maju mendekati Abimanyu seraya berkata, “Sudahlah anakku… Engkau sudah membuktikan keperkasaanmu, menghancurleburkan bala Astina.” Ia merangkul Abimanyu yang tak punya syak wasangka apapun terhadap Adipati Karna, sang paman yang dikenalnya sebagai seorang yang berjiwa ksatria. Namun, di saat itu pulalah Jayadrata melesatkan anak panahnya tepat ke punggung Abimanyu. Satria muda itu segera tersungkur dalam pelukan Karna. Sang paman yang tak tega melihat keadaan Abimanyu, lalu meninggalkan tempat itu. Kepada Durna dan Sengkuni, ia berkata, aku tak ingin turut campur lagi lebih lanjut. Saat itulah terdengar aba-aba pengeroyokan dari Sengkuni.

Abimanyu dihujani anak panah, lalu diterjang para Kurawa dengan tebasan dan tusukan pedang di sekujur tubuhnya. Namun ia tetap melawan, dan masih sempat menjatuhkan korban di kalangan Korawa. Akhirnya ia tersungkur ke bumi.

Tatkala melihat Abimanyu sudah tersungkur, Raden Lesmono Mandrakumara, putera Prabu Suyudono maju ke medan perang, setelah berhasil membujuk ibundanya untuk memberi izin. Anak ini, seorang yang manja, dan sebenarnya penakut, tidak tangkas ilmu perang tapi berambisi. Ia ingin mengambil kesempatan mengakhiri Abimanyu di tangannya sendiri, sehingga dengan demikian ia akan mendapat pujian sebagai pahlawan dari ayahandanya. Diiringi dua pengawalnya, ia mendekati tempat Abimanyu tersungkur, seraya melontarkan berbagai ejekan dan cercaan. Ia menghunus kerisnya, dan berkata “Aku akan memotong lehermu dengan keris ini.” Ia yakin bisa mengakhiri Abimanyu yang sudah tak berdaya. Tapi di luar dugaannya, dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, Abimanyu malah mendahului menusuk dada Lesmono, tembus hingga jantung. Lesmono tewas seketika, disusul Abimanyu yang telah kehabisan darah.

Tak syak lagi, kematian Lesmono sungguh menghancurkan hati Prabu Suyudono.

Apakah nanti, di akhir lakon Partai Demokrat ini, Anas Urbaningrum akan meniru Abimanyu, yang mampu mengerahkan tenaga terakhirnya, menusuk jantung Lesmono Mandrakumara sang putera raja?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (2)

BETULKAH Anas Urbaningrum akan melakukan perlawanan politik sekaligus perlawanan hukum? Banyak pihak yang mengharapkan demikian, lalu mencoba memberi dukungan moral dengan membezoeknya. Bukan hanya para alumni HMI, tetapi juga dari kalangan partai ‘tetangga’ di koalisi, seperti Priyo Budi Santoso dari Golkar sampai Din Syamsuddin dari PP Muhammadiyah. Tak ketinggalan, tokoh-tokoh partai non koalisi, selain Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Pada sisi lain ada sejumlah pengamat yang menyangsikan keberanian bekas Ketua Umum PB HMI (1997-1999) itu untuk melakukan perlawanan sesungguhnya.

POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. "Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya". (Gambar plesetan yang beredar di media sosial)
POSTER PLESETAN DI AWAL MENCUATNYA KORUPSI DI PARTAI DEMOKRAT. “Tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya”. (repro gambar plesetan yang beredar di media sosial)

Di antara dua sisi tersebut, ada juga yang sekedar memanas-manasi agar kadar kepanikan di internal Partai Demokrat meningkat, atau agar Anas betul-betul membuka korupsi terkait Partai Demokrat. Jumat (1/3) sore misalnya, massa yang menamakan diri Laskar Anti Korupsi Pejuang 45 mencoba mendatangi rumah Anas di Duren Sawit, namun dihalangi polisi. Hasbi Ibrahim, Sekertaris Jenderal Laskar, dikutip pers menyatakan “Anas jangan hanya banyak bicara, tapi buktikan diri berani bongkar kasus-kasus korupsi besar”. Paling serius, tentu adalah kunjungan 5 anggota Timwas Bank Century DPR-RI Senin (4/3). Timwas mengaku mendapat informasi penting dari Anas mengenai kasus Bank Century, termasuk penyebutan 5 nama yang terlibat, 4 di antaranya dianggap nama baru, 2 pejabat negara, 2 dari kalangan partai.  Kategorinya, relevan sebagai tersangka.

Gado-gado politik dan hukum. Untuk sebagian, upaya memanas-manasi Anas, kelihatannya berhasil, tetapi terutama justru berpengaruh ke arah Partai Demokrat. Terlihat tanda-tanda panik. Apalagi, memang selama ini terlihat betapa sejumlah tokoh-tokoh partai tersebut memang tidak berkategori politisi tangguh, cenderung bicara tak terarah, seringkali hanya bersilat lidah dengan retorika tidak nalar. Tetapi giliran kena serangan, gelagapan atau emosional. Banyak tokoh partai tersebut yang tertampilkan wah dan populer semata karena pencitraan semu. Tapi itulah risiko sebuah partai yang mendadak besar karena situasi. Bagai buah yang tampak matang karena dikarbit, sering mentah di tengah.

Membanjirnya kunjungan berbagai tokoh untuk menjenguk Anas di kediamannya, dibarengi sejumlah komentar, terkesan sangat politis, khususnya dalam persepsi kalangan Partai Demokrat. Menjelang keberangkatannya (3/3) ke Jerman dan Hongaria, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang juga adalah Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat– meminta persoalan hukum Anas jangan dibawa merambah ke ranah politik.

Tapi siapakah sebenarnya yang mulai membawa kasus hukum Anas ke ranah politik? Tak lain, SBY sendiri ketika ia mempersilahkan Anas untuk lebih fokus menghadapi masalah hukum yang menimpanya terkait kasus Hambalang, padahal Anas belum diberi KPK status tersangka.  Status tersangka baru sebatas tercantum dalam fotokopi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang beredar –sehingga menjadi satu masalah dengan kegaduhan tersendiri. Sebelum Anas menjadi tersangka resmi, SBY telah bertindak jauh ‘mengambilalih’ kepemimpinan internal Partai Demokrat dari tangan sang Ketua Umum. Merasa diri teraniaya dan menjadi korban konspirasi –meskipun terasa sedikit artifisial– Anas Urbaningrum menyampaikan pesan akan melakukan perlawanan politik dan hukum. Dan yang giat melakukan perlawanan politik, maupun counter attack berupa tudingan yang beraroma campur aduk antara hukum dan politik, justru adalah kalangan Kahmi dan HMI. Di beberapa kota terjadi demonstrasi HMI membela Anas seraya menyerang SBY. Nama putera Presiden SBY, Edhie ‘Ibas’ Baskoro pun dirembet-rembet ikut menerima aliran uang dari kasus Hambalang. Ada tuntutan agar Ibas segera diperiksa KPK.

Bahkan juga, seperti yang dituduhkan tokoh Partai Demokrat Ramadhan Pohan, sejumlah tokoh politik dari berbagai partai dan organisasi –seperti Hanura, Gerindra, Muhammadiyah– ikut menggunakan kesempatan melakukan serangan politik terhadap SBY dan partainya. Saat keluar dari tempat kediaman Anas, biasanya memang para tokoh politik itu mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut Ramadhan menambah keruh keadaan. Inilah mungkin suatu keadaan yang disebutkan SBY “menimbulkan gonjang-ganjing politik”. Menurut Dr Tjipta Lesmana, serangan kepada SBY terjadi karena memang banyak yang memusuhi SBY.

Partai Demokrat adalah partai yang terbawa besar karena mencuatnya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketokohannya juga tercipta oleh ‘penganiayaan’ politik Taufiq Kiemas-Megawati Soekarnoputeri. ‘Penganiayaan’ itu bertepatan waktu dan bertemu dengan situasi perasaan hampa rakyat tentang ketokohan yang bisa memberi harapan pasca Soeharto. Seakan-akan tercipta suatu momen historical by accident. Bahwa pada waktunya terbukti bahwa ia bukan seorang tokoh historical, bukan tokoh yang betul-betul bisa diharapkan, itu soal lain. Sejarah kan tak selalu melahirkan tokoh besar?

Sebagai partai yang membesar dengan pesat –meskipun bukan terutama dengan tumpuan kekuatan organisasi itu sendiri– Partai Demokrat menjadi bagaikan gula yang dikerumuni semut. Mereka yang menjadi golongan kecewa atau gugup di partai-partai lain, terutama dari Golkar yang sempat mengalami degradasi semangat setelah mundurnya Soeharto dari kekuasaan, mengalir ke Partai Demokrat yang menjadi partainya bintang baru bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Agaknya, ketika para pimpinan partai merasa bahwa di antara yang mengalir datang itu banyak yang kurang berkualitas, mereka lalu merekrut beberapa tokoh yang dianggap berkualitas untuk bergabung. Salah satunya, adalah Anas Urbaningrum, yang rela meninggalkan KPU untuk bergabung dan langsung mendapat posisi tinggi. Belakangan, Andi Nurpati dari KPU ikut pula bergabung. Partai Demokrat juga merekrut tokoh Jaringan Islam Liberal Ullil Absar Abdalla, serta sejumlah pengacara terkenal seperti Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang.

Rekrutmen Anas Urbaningrum yang kala itu baru berusia 36 tahun ke Partai Demokrat tahun 2005, dengan meninggalkan KPU, seringkali dikisahkan dalam serial rumor politik, sebagai ada udang di balik batu. Saat itu, KPU digoncang berbagai masalah korupsi di tubuhnya. Anas yang seharusnya merampungkan masa tugasnya sampai 2007, meninggalkan KPU tak lama setelah Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2004. Banyak yang menghubungkan rekrutmen Anas dengan keanehan angka-angka pencapaian suara Partai Demokrat maupun SBY dalam dua jenis Pemilihan Umum tersebut. Hal serupa terjadi dengan Andi Nurpati, yang juga meninggalkan KPU setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Dalam dua Pemilihan Umum, 2004 dan 2009, Partai Demokrat seakan-akan selalu melakukan balas jasa kepada salah satu komisioner KPU. Walaupun ini semua hanya rumor, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya –namanya juga rumor politik, yang merupakan gado-gado sedikit kebenaran dengan sedikit, insinuasi dan prasangka– tapi tak sedikit yang mempercayainya sebagai kebenaran.

Tak mungkin hanya Anas, tak mungkin hanya serupiah. Namun, terlepas dari apakah kasus Anas dan Partai Demokrat ini, sekedar gado-gado politik-hukum atau bukan, yang tak kalah penting adalah bagaimana posisi kebenaran sangkaan KPK tentang keterlibatan Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi. Khususnya dalam kasus Hambalang, yang berawal dari apa yang disebut ‘kicauan’ ex Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang semula diremehkan kebenarannya.

Pengalaman empiris yang sudah-sudah, hingga sejauh ini, belum sekalipun KPK meleset dalam penetapan tersangka kasus korupsi. Belum pernah ada tersangka KPK yang lolos dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bisa saja, KPK terseok-seok, dikritik lamban atau pilih-pilih tebu, tetapi lembaga tersebut tetap berhasil membuktikan diri.

Anas Urbaningrum yang memiliki poker face sejati, sebenarnya sempat juga menggoyahkan sebagian opini publik dengan bantahan-bantahan yang tenang dan cenderung dingin. Apalagi ketika ia bersumpah dan berani digantung di Monas bila ia menerima “serupiah saja” dari proyek Hambalang. Terminologi “serupiah saja” sebenarnya memiliki pengertian yang jelas dan final. Bisa habis akal juga para ahli semiotika bila mencoba memberi penafsiran lain terhadap terminologi “serupiah saja” itu. Maka pakar humor mengambilalih dengan mencari padanan kata “saja” dengan “hanya”. Konon, yang dimaksud Anas dalam sumpahnya itu, “kalau serupiah saja” adalah “kalau hanya serupiah”. Kan tak mungkin, dan mana mau dia menerima “hanya serupiah”? Kalau ia menerima, harus dalam skala ratusan juta atau milyaran. Kan itu bukan “serupiah saja” atau “hanya serupiah”?

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.

Lakon Partai Demokrat: Ada Sengkuni, Tak Ada Pandawa (1)

MENJELANG ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang, saat kedudukannya selaku Ketua Umum Partai Demokrat diusik dari arah internal partai, Anas Urbaningrum melontarkan metafora peran Sengkuni. Tokoh Sengkuni yang antagonis dan pandai menghasut adalah penasehat raja Hastina, Prabu Suyudhono sulung dari Kurawa. Aria Sengkuni –yang dikenal juga sebagai Aria Suman– sebenarnya adalah paman para Kurawa sendiri, dari pihak ibu –yang bernama Dewi Gendari.

Kelahiran para Kurawa yang seratus orang itu sendiri, berlangsung tidak biasa. Ketika tiba waktunya, Dewi Gendari bukannya melahirkan bayi biasa melainkan segumpal daging berlumur darah. Lengkap lah kekecewaannya, sudahlah bersuamikan Destarata yang buta, bukannya Pandu sang putera mahkota yang tampan, melahirkan pula benda yang aneh. Dengan kesal, ia melontarkan gumpalan daging tersebut ke taman lalu menendangnya hingga pecah bertaburan menjadi 100 gumpalan. Sepanjang malam ia tenggelam dalam isak tangis. Tetapi, di pagi hari buta mendadak taman itu dipenuhi suara tangisan bayi. Gumpalan-gumpalan itu ternyata telah berubah menjadi 100 bayi. Itulah Kurawa.

AKHIRNYA ANAS URBANINGRUM MENGUNDURKAN DIRI. "Hakekat persoalan di tubuh Partai Demokrat adalah survival partai dalam konteks kekuasaan, yang berubah menjadi ajang survival perorangan dan kelompok untuk posisi peran utama kekuasaan internal, begitu partai itu menjadi partai penguasa dalam sepuluh tahun. Saat partai untuk pertama kali menjadi ‘pemenang’ dan berhasil menempatkan tokohnya sebagai Presiden Indonesia, segera muncul kebutuhan untuk melanjutkan posisi tersebut at all cost". (diolah dari foto tribunnews)
AKHIRNYA ANAS URBANINGRUM MENGUNDURKAN DIRI. “Hakekat persoalan di tubuh Partai Demokrat adalah survival partai dalam konteks kekuasaan, yang berubah menjadi ajang survival perorangan dan kelompok untuk posisi peran utama kekuasaan internal, begitu partai itu menjadi partai penguasa dalam sepuluh tahun. Saat partai untuk pertama kali menjadi ‘pemenang’ dan berhasil menempatkan tokohnya sebagai Presiden Indonesia, segera muncul kebutuhan untuk melanjutkan posisi tersebut at all cost”. (diolah dari foto tribunnews)

Berbekal anggapan sebagai korban permainan para Sengkuni, maka ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang, Anas Urbaningrum dengan cepat melontarkan serangan balik. Bukan hanya kepada KPK, tetapi juga kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Meskipun tak menyebutkan nama, ancaman kubu Anas Urbaningrum pasca pengunduran diri dari Partai Demokrat, untuk melakukan buka-bukaan, sudah jelas arahnya. Dengan mudah ditafsirkan bahwa itu ditujukan kepada Susilo Bambang Yudhoyono dan lingkarannya di tubuh partai. “Hari ini saya nyatakan bahwa ini baru halaman pertama”, ujar Anas, “Masih banyak halaman berikut yang akan kita buka dan baca bersama…”. Salah seorang tokoh lingkaran dalam Anas yang ikut mengundurkan diri dari Partai Demokrat, menyebutkan akan ada lanjutan berupa perlawanan hukum maupun perlawanan politik.

Anas Urbaningrum mengatakan, mulai sadar bahwa dirinya akan segera dijadikan tersangka, tatkala ada desakan agar KPK memperjelas status hukumnya terkait kasus Hambalang. “Ketika saya dipersilahkan untuk menghadapi masalah hukum di KPK, berarti saya sudah divonis punya status hukum, yakni sebagai tersangka”. Dan yang melakukan kedua hal yang disebutkan Anas itu, tak lain adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih dari itu, bersamaan dengan beredarnya copy rancangan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) KPK yang menyebutkan status Anas sebagai tersangka, Susilo Bambang Yudhoyono mengambilalih pengendalian Partai Demokrat selaku Ketua Majelis Tinggi, dari tangan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Sempurna sudah alasan bagi Anas untuk menganggap dan melontarkan tuduhan bahwa dirinya memang menghadapi konspirasi.

Sungguh menarik, bahwa salah satu penggalangan simpati yang menonjol datang dari kalangan Korps Alumni HMI (Kahmi). Tak kurang dari politisi Golkar Akbar Tandjung berkomentar dengan nada simpati mengenai Anas. Sementara Mahfud MD yang saat ini berposisi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, ikut datang sebagai jajaran Kahmi menjenguk Anas Urbaningrum guna menunjukkan simpati. Mungkin juga sekalian dengan makna dukungan politik? Para alumni HMI memang terkenal sangat tinggi semangat pembelaannya kepada sesama yang sedang bermasalah, tak terkecuali bagi mereka yang sedang menghadapi tuduhan korupsi. Dari sudut pandang korps alumni, Anas memang ‘pantas’ didukung, karena selama menduduki posisi penting di Partai Demokrat, tak sedikit ia merekrut dan mengalirkan alumni HMI ke tubuh partai untuk menduduki posisi-posisi penting. Sedemikian kuat posisi kelompok ex HMI di tubuh partai tersebut, sehingga bila saja kemarin Ketua Dewan Pembina memilih mekanisme Kongres Luar Biasa dalam kasus kepemimpinan Anas, hampir bisa dipastikan kubu Anas yang akan menang.

Minus Pandawa, bukan Bharatayudha. Dengan munculnya tanda-tanda kuat perlawanan politik (selain perlawanan hukum) kubu Anas, dengan segera banyak orang memberikan analogi akan pecah perang Bharatayudha di tubuh Partai Demokrat. Memang bisa terjadi semacam perang saudara di tubuh partai yang baru berusia satu dasawarsa lebih sedikit ini, tetapi pasti bukan Bharatayudha, karena tak ada unsur dengan citra Pandawa Lima di sana. Seandainya Anas Urbaningrum tidak disorot karena kasus korupsi Hambalang, mungkin saja Anas lah yang menjadi unsur Pandawa. Dalam Mahabharata, Pandawa dan Kurawa adalah satu rumpun keluarga, ayahanda mereka bersaudara kandung. Guru mereka juga sama, yaitu Bengawan Durna. Dengan Paman Sengkuni sebagai auctor-intellectual, ditambah Bengawan Durna yang pilih kasih, berkali-kali Pandawa bersaudara ditipu dan dicurangi oleh para Kurawa.

Perang Bharatayudha yang esensinya merupakan perang antara kebenaran melawan ketidakbenaran, terlalu bagus untuk dijadikan analogi bagi masalah internal Partai Demokrat, yang bercorak jatuh menjatuhkan dalam konteks politik atas dasar kesalahan di atas kesalahan dalam konteks hukum.

Barangkali, kalau toh ingin menggunakan metafora dari dunia perwayangan, maka apa yang terjadi di internal Partai Demokrat ini, adalah lakon perebutan Wahyu Makutarama yang menjadi obsesi di lingkungan Hastinapura. Wahyu Makutarama adalah adalah ikon kekuasaan seorang raja untuk melanggengkan kekuasaan. Balatentara Korawa gagal memperoleh ikon yang tersimpan di gunung Suwelagiri itu. Mereka tak mampu merebutnya dari empat penjaga, Bayusuta bersaudara, yang terdiri dari Anoman (simbol nafsu putih), Liman Setubanda (simbol nafsu hitam), Garuda Mahambira (simbol nafsu kuning) dan Naga Krawa (simbol nafsu merah). Panglima balatentara Hastinapura, Basukarna, yang memimpin bala Korawa malah kehilangan senjata saktinya, Kuntawijayadanu.

Hakekat persoalan di tubuh Partai Demokrat adalah survival partai dalam konteks kekuasaan, yang berubah menjadi ajang survival perorangan dan kelompok untuk posisi peran utama kekuasaan internal, begitu partai itu menjadi partai penguasa dalam sepuluh tahun. Saat partai untuk pertama kali menjadi ‘pemenang’ dan berhasil menempatkan tokohnya sebagai Presiden Indonesia, segera muncul kebutuhan untuk melanjutkan posisi tersebut at all cost. Biayanya tinggi, tetapi hanya dengan biaya tinggi itu kemenangan bisa dilanjutkan. Diakui atau tidak itu merupakan beban baru, bila ingin lebih memperbesar diri. Mencari dana yang lebih besar, menjadi salah satu keharusan terpenting, ketika kehidupan politik Indonesia yang multi-partai tergelincir menjadi praktek politik berbiaya tinggi.

Semua orang yang memiliki hasrat kekuasaan ingin berpartai. Apalagi, relatif hanya melalui partai, pintu menuju kursi parlemen dan kursi eksekutif –dari bupati, gubernur, walikota, menteri sampai presiden dan wakil presiden– bisa terbuka. Lengkap dengan benefit terbukanya gudang rezeki. Setelah berpartai, banyak orang ingin menjadi ketua  atau orang nomor satu partai. Menjadi pimpinan utama atau ketua umum partai, sangat diinginkan, karena itulah salah satu jalur utama menuju kursi Presiden atau Wakil Presiden.

Tatkala Anas Urbaningrum berhasil memenangkan Kongres Partai Demokrat II, 23 Mei 2010 di Bandung, banyak yang mulai menyebutnya sebagai tokoh muda yang berkesempatan besar menjadi Presiden Indonesia berikutnya di tahun 2014. Apalagi SBY sudah menjadi presiden untuk keduakali sehingga tak mungkin lagi tampil di 2014. Dan sejak saat itu pula, mata dan sekaligus pisau persaingan politik mulai tertuju pada dirinya. Dari dalam partai, maupun dari eksternal partai, di tengah ramainya hasrat menjadi Presiden berseliweran. Setelah terkena gempuran internal, dan pada waktu yang bersamaan dijadikan tersangka korupsi oleh KPK, Anas mengungkapkan bahwa ketika terpilih sebagai Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung, ia adalah  ibarat bayi yang sesungguhnya tak diinginkan kelahirannya. Dalam Kongres di Bandung itu, ia antara lain bersaing dengan Andi Alfian Mallarangeng yang dianggap kesayangan SBY dan lebih diinginkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

‘Medali Emas Kebebasan Pers’, Sebuah Kisah Belenggu Traumatik

TAK HANYA sekali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –secara tersurat maupun tersirat– melontarkan kritik maupun sindiran terhadap pers Indonesia. Ketika berpidato pada puncak Hari Pers Nasional (11/2) di Manado, Presiden berbicara yang baik-baik saja tentang pers Indonesia, sambil sedikit memberi petuah tentang kewajiban moral pers. Tetapi berselang dua hari, ada keluhan dari Istana, bahwa berita pembocoran surat perintah penyidikan KPK terhadap Anas Urbaningrum bertendensi mengadu domba Ketua Majelis Tinggi/Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Umum Partai Demokrat itu. “Presiden merasa tidak nyaman”, ujar Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha. SBY sendiri tidak sampai jauh menuding keterkaitan pers dalam pembocoran itu, tetapi bagaimanapun juga pers menjadi saluran berita.

MEDALI EMAS UNTUK BJ HABIBIE. "Meski dikatakan seleksi terhadap penerima medali “sangat ketat”, tak bisa dianggap bahwa mereka yang pernah dianugerahi medali tersebut sangat layak dan berjasa luar biasa terhadap penegakan kebebasan pers di Indonesia. Kalau ada tokoh yang betul-betul tepat untuk dianugerahi sejauh ini dalam konteks kebebasan pers, barangkali itu adalah tokoh dari kalangan pers sendiri, yakni Mochtar Lubis, pemimpin suratkabar Indonesia Raya". (Foto Antara)
MEDALI EMAS UNTUK BJ HABIBIE. “Meski dikatakan seleksi terhadap penerima medali “sangat ketat”, tak bisa dianggap bahwa mereka yang pernah dianugerahi medali tersebut sangat layak dan berjasa luar biasa terhadap penegakan kebebasan pers di Indonesia. Kalau ada tokoh yang betul-betul tepat untuk dianugerahi sejauh ini dalam konteks kebebasan pers, barangkali itu adalah tokoh dari kalangan pers sendiri, yakni Mochtar Lubis, pemimpin suratkabar Indonesia Raya”. (Foto Antara)

Penyebutan terminologi “berita”, dengan sendirinya menyentuh nama dan peran pers. Tetapi bahwa pers dituding sebagai pemeran adu domba antara Anas Urbaningrum dan SBY dalam konteks kemelut internal Partai Demokrat, tampil secara jelas dalam berbagai pernyataan petinggi-petinggi partai tersebut pada banyak kesempatan. Menyalahkan pers, sudah menjadi model di kalangan petinggi Partai Demokrat. Saat dicecar dengan pertanyaan oleh pers, Anas Urbaningrum sendiri pun menjawab “saya jangan diadu-adu dengan pak SBY”.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya adalah salah satu di antara tokoh (dan institusi) yang pernah menerima Medali Emas Kebebasan Pers, yang dianugerahkan insan pers pada setiap perayaan Hari Pers Nasional. SBY menerimanya pada tahun 2009. Setelah itu, Jenderal Joko Santoso, menjadi penerima kedua pada tahun 2010. Penerima lain, Mahkamah Agung pada tahun 2011 serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh pada 2012. Penerima terbaru Medali Emas Kebebasan Pers, adalah mantan Presiden Indonesia BJ Habibie, pada Hari Pers Nasional tahun 2013 ini.

Meski dikatakan seleksi terhadap penerima medali “sangat ketat”, tak bisa dianggap bahwa mereka yang pernah dianugerahi medali tersebut sangat layak dan berjasa luar biasa terhadap penegakan kebebasan pers di Indonesia. Kalau ada tokoh yang betul-betul tepat untuk dianugerahi sejauh ini dalam konteks kebebasan pers, barangkali itu adalah tokoh dari kalangan pers sendiri, yakni Mochtar Lubis, pemimpin suratkabar Indonesia Raya. Sebagai tokoh yang berani melawan pengekangan, ia ditahan bertahun-tahun lamanya oleh rezim Soekarno, korannya pun diberangus. Di masa kekuasaan rezim Soeharto, sekali lagi korannya diberangus, Januari 1974, bersama beberapa media lainnya yang memiliki keberanian dan prinsip yang jelas tentang kebenaran. Dan sekali lagi, Mochtar Lubis mengalami penahanan.

Tulisan ini tidak bermaksud mengurangi penghargaan kepada tokoh dan institusi yang pernah dianugerahi Medali Emas Kebebasan Pers. Mereka diberikan penghargaan, dan mungkin bangga dan merasa terhormat menerimanya. Tapi mungkin juga sungkan untuk menolak, sehingga mereka pun barangkali saja ada dalam suatu posisi dilematis.

Semestinya, sesuatu yang biasa. Alasan pemberian Medali Emas Kebebasan Pers (2009) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah karena ia aktif menggunakan hak jawab terhadap pemberitaan pers yang dianggap merugikan dirinya, dan lebih memilih jalur hukum daripada menggunakan kekuasaannya untuk menekan pers. Ia tak pernah melakukan pemberangusan pers. Ini sikap yang jauh lebih maju daripada Soeharto dan Soekarno. Tapi toh, kalaupun ia ingin melakukan pemberangusan, memang keadaan sudah tak memungkinkan, kecuali ia ingin menjadi tokoh totaliter baru. Terima kasih, untuk tidak menjadi totaliter.

Jenderal Joko Santoso (tahun 2010), tatkala menjadi Panglima TNI, sama dengan presidennya, selalu menggunakan mekanisme hak jawab menghadapi pemberitaan pers yang tertuju kepada institusinya. Ia tak pernah main keras menghadapi pers. Memang harus begitu, karena tingkat situasi negara kita saat ini tak memungkinkan lagi suatu pengendalian pers ala Kopkamtib misalnya. Bukan sesuatu yang luar biasa sebenarnya. Namun pers tetap perlu berterima kasih bila TNI memilih mekanisme hak jawab, meskipun bisa dan tak salah jika menggunakan jalur tuntutan hukum.

Mahkamah Agung (2011) berkali-kali menangani perkara pers yang pada tingkat-tingkat sebelumnya mendapat vonnis hukuman, tetapi pada tingkat kasasi memenangkan pers. Ini sikap dan kebijakan yang pantas diapresiasi, terutama bila ia terjadi dalam konteks penegakan kebenaran terhadap ketidakbenaran yang terjadi pada peradilan di tingkat-tingkat sebelumnya. Tapi tidak berharga bilamana persnya memang sungguh-sungguh bersalah. Tidak selalu pers berada di pihak kebenaran. Namun yang menjadi alasan kenapa Mahkamah Agung mendapat Medali Emas Kebebasan Pers, karena lembaga itu dianggap mendukung jaminan kebebasan pers dengan mengeluarkan surat edaran agar dalam menangani perkara terkait pers, menggunakan UU tentang Pers dan menghadirkan saksi dari kalangan pers.

Muhammad Nuh, mendapat medali yang sama, 2012, dengan alasan pada saat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika ia selalu mendorong implementasi kebebasan pers dan selalu menyuarakan jaminan terhadap kebebasan pers.

Sesungguhnya, apa yang dilakukan para tokoh dan institusi tersebut di atas dalam relasi dengan pers, adalah sesuatu yang biasa bila pemerintahan dan kekuasaan dijalankan sebagaimana mestinya di atas jalur demokrasi.

Kisah BJ Habibie dan Tempo. Terkait BJ Habibie, kebijakan di masa kepresidenannya yang singkat, untuk menghapuskan mekanisme perizinan pers –Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)– memenuhi tuntutan kuat publik dan kalangan pers pasca Soeharto, perlu mendapat ucapan terima kasih. Minimal, bisa dianggap sebagai suatu penyeimbang neraca bagi masalah krusialnya dengan pers di masa Soeharto.

Pada tahun 1994, Majalah Berita Mingguan Tempo (31 Mei dan 7 Juni) menurunkan laporan mengenai penggelembungan 62 kali lipat harga pembelian 39 kapal perang ex Jerman Timur, yang seharusnya hanya USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 milyar. Upaya pembelian itu dilaksanakan Menteri Ristek BJ Habibie dengan sepengetahuan Presiden Soeharto. Tempo –dan sejumlah pers lainnya, termasuk tabloid Detik dan Majalah Editor– memuat kontradiksi sikap dan pandangan antara BJ Habibie dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad seputar harga pembelian tersebut.

Presiden Soeharto memilih untuk mencetuskan kemarahannya pada 9 Juni 1994, tatkala meresmikan Pangkalan Utama Angkatan Laut Teluk Ratai Lampung. Sang Presiden memerintahkan penindakan terhadap media pers yang dianggap Soeharto telah mengadu domba menteri. Tergopoh-gopoh, Menteri Harmoko yang selalu siap bertindak “sesuai petunjuk bapak Presiden” membreidel Tempo, DeTik dan Editor yang dianggap tiga bintang utama adu domba.

Menurut beberapa tokoh di sekitar Soeharto, laporan BJ Habibie menjadi penyulut utama kemarahan presiden. Kemarahan Presiden, mengakibatkan terbreidelnya tiga media. Belakangan, BJ Habibie menyangkal melakukan peranan buruk itu. Saat menerima Medali Emas Kebebasan Pers, Habibie menyampaikan penyangkalan dirinya berada di belakang pembreidelan tersebut. Malah, menurut Habibie, setelah mendengar tentang pembreidelan, ia yang sedang berada di Jepang, buru-buru kembali ke Jakarta menemui Presiden Soeharto. Ia mengaku berhasil meyakinkan Soeharto agar diterbitkan SIUPP baru bagi ketiga media tersebut. “Banyak saksi yang mengetahui hal ini, silahkan mengecek kebenaran informasinya. Banyak saksi yang masih hidup dan dapat ditanyai”, ujar Habibie. Sebenarnya, sebelum meneliti peranan BJ Habibie dalam pembreidelan tiga media pers di tahun 1994 itu, belum saatnya suatu Medali Emas Kebebasan Pers dianugerahkan. Belum lagi, sejauh yang dapat dicatat, terlepas dari masalah pembreidelan pers, pokok persoalan tentang penggelembungan harga hingga 92 kali lipat dalam pembelian kapal perang bekas ex Jerman Timur itu, tak pernah tertuntaskan kebenarannya, khususnya mengenai ‘kebersihan’ dari mereka yang terkait dalam urusan tersebut.

Belenggu traumatik. MEMBAGI Medali Emas Kebebasan Pers, bukan suatu keharusan, bilamana memang belum ditemukan tokoh yang betul-betul tepat untuk itu. Jangan memaksakan diri. Kecuali makna kebebasan pers itu tidak dihargai tinggi. Ini tidak beda dengan pemerintah yang setiap tahun memaksakan diri untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional baru kepada sejumlah tokoh setiap menjelang Hari Pahlawan 10 November. Bila kita bersikap kritis, di antara tokoh yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional beberapa tahun belakangan ini, tidak sulit untuk menemukan tokoh yang masih perlu dipertanyakan peranan kepahlawanannya. Belum lagi, bila sekedar melihat isi Makam Pahlawan, sejumlah tokoh korup pun ada terselip di sana.

Kebebasan pers adalah pedang perjuangan demokrasi bagi pers sebagai suatu kekuatan profesi ideal. Sejarah politik maupun sejarah pers sendiri, menunjukkan bahwa kalangan kekuasaan dalam banyak kurun waktu merupakan antitesis bagi kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers, di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya. Pengalaman Indonesia menunjukkan, betapa kekuasaan hampir mentradisi secara penuh sebagai antitesis bagi pers bebas, di zaman Soekarno maupun di zaman kekuasaan Soeharto. Soekarno, khususnya di paruh terakhir kekuasaannya yang berlangsung 20 tahun, menempatkan pers sebagai sekedar alat pembawa suara revolusi yang harus selalu seia-sekata dengan keinginan pemimpin revolusi. Bila tidak, ia menjadi anti revolusi. Di masa kekuasaan Soeharto yang berlangsung 32 tahun lamanya, pers ditempatkan dalam keharusan sebagai pendukung pembangunan. Dalam tugas tersebut pers diberi slogan bebas tapi bertanggungjawab. Namun dalam kenyataan sehari-hari, keharusan bertanggungjawab selalu membelenggu kebebasan pers. Begitu ada pers yang disangka tidak bertanggungjawab, lembaga represif Kopkamtib turun tangan. Lalu, Departemen Penerangan yang menjadi ekor kekuasaan –hingga detik terakhir, yakni sampai masa Harmoko– akan segera mencabut SIT (Surat Izin Terbit) dan atau SIUPP.

Puluhan tahun bergaul dengan antitesis yang bernama kekuasaan, membuat pers nasional untuk sebagian terbesar terisi dengan pelaku-pelaku yang menderita traumatic bonding atau capture bonding. Suatu keterikatan kepatuhan kepada penguasa yang memegang lisensi hidupnya. Pers berada dalam arena perjuangan mempertahankan nyawa (survival identification syndrome) yang menimbulkan kepengecutan dan hipokrisi. Berdasarkan peristiwa penyanderaan karyawan Kreditbanken 23-28 Agustus 1973 di Stockholm, kriminolog sekaligus psikiater Nils Bejerot menyebut traumatic bonding itu sebagai stockholm syndrome. Dalam peristiwa ini, para staf bank yang disandera, akhirnya menunjukkan simpati bahkan empati terhadap para penyanderanya. Mereka menjadi begitu patuh, sehingga lebih memilih membantu para penyandera daripada polisi.

Apakah, para pelaku pers kita hingga kini masih mengalami ikatan belenggu traumatik itu dalam hubungannya dengan kalangan kekuasaan itu? Dengan traumatik itu, meskipun telah mendapat anugerah mendadak kebebasan pers dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto, sebagian pelaku pers yang sedikit banyaknya berdasarkan usia masih terkait dengan generasi pendahulunya, sesekali masih memiliki ikatan traumatik. Kerap kali masih merasa perlu mengambil hati para penguasa. Faktor bahwa pers untuk sebagian sudah menjadi usaha mapan dan atau kepemilikannya berada di tangan kalangan berlatar belakang pengusaha yang terbiasa berkompromi dengan kalangan kekuasaan, menjadi faktor tambahan.

Mungkin tradisi penganugerahan Medali Emas Kebebasan Pers, adalah produk dari situasi-situasi di atas?

(rum aly/socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Gejala Skizofrenia Dalam Kehidupan Politik Indonesia

DARI Prabu Jayabaya, raja Kediri abad 12, yang turun temurun diceritakan sebagai memiliki kemampuan meramalkan masa depan, kepada kita diperkenalkan tentang adanya sebuah zaman edan. Entah bagaimana mendefinisikan zaman tersebut secara tepat dalam pengertian masa kini. Tetapi setidaknya kita tahu –karena mengalami– bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini kehidupan politik-kekuasaan dan dalam kehidupan sosiologis kita sebagai bangsa, ditandai oleh sejumlah keedanan dan atau kegilaan.

            Dalam khazanah ilmu psikiatri, dikenal berbagai bentuk ‘kegilaan’ atau gangguan jiwa pada manusia. Salah satu gangguan psikotik atau mental disorder yang parah dan menonjol, menurut Samuel L. Andelman MD (dalam Medical Encyclopedia) adalah skizofrenia (schizophrenia) dengan gejala pembelahan kepribadian dan atau split personality. Ini adalah sebuah penyakit yang kompleks, yang tampil dengan bentuk berbeda-beda, yang membuat para psikiater tak gampang setuju kepada hanya satu definisi sederhana.

Dalam kehidupan politik dan percaturan (memperebutkan) kekuasaan, makin hari, kita makin gampang menemukan orang-orang yang menampilkan perilaku mirip dengan beberapa gejala skizofrenia. Meskipun cukup tersamar, terlihat sejumlah politisi dan pelaku kekuasaan menunjukkan ciri: kepribadian terbelah atau kepribadian ganda yang dimulai dengan kebiasaan bersikap kipokrit, kegagalan intelektual, sesekali menampilkan perilaku kekanak-kanakan. Untuk yang disebut terakhir ini, Presiden Abdurrahman Wahid pernah mencerca DPR sebagai taman kanak-kanak. (Ilustrasi karikatural: Sanento Juliman 1967)
Dalam kehidupan politik dan percaturan (memperebutkan) kekuasaan, makin hari, kita makin gampang menemukan orang-orang yang menampilkan perilaku mirip dengan beberapa gejala skizofrenia, selain psikopat. Meskipun cukup tersamar, terlihat sejumlah politisi dan pelaku kekuasaan menunjukkan ciri: kepribadian terbelah atau split personality yang dimulai dengan kebiasaan bersikap hipokrit, kegagalan intelektual, rakus dan serakah, sesekali menampilkan perilaku kekanak-kanakan. Untuk yang disebut terakhir ini, Presiden Abdurrahman Wahid pernah mencerca DPR sebagai taman kanak-kanak. (Ilustrasi karikatural: Sanento Juliman 1967)

            Dalam skizofrenia sederhana, penderita cenderung melakukan penarikan diri dari realitas dan dari hubungan interpersonal. Penderita mengalami kemunduran intelektualitas dan perhatian. Ekspresi emosional menumpul dan menunjukkan sikap apatis. Individu skizofrenia mengasingkan diri dan bersikap acuh tak acuh dalam jangka waktu tertentu. Karena itu tampak apatis, bodoh dan lesu. Saat ia secara bertahap mundur dari dunia luar, tingkah lakunya cenderung mundur sampai ke tingkat kekanak-kanakan. Pemikirannya menjadi dangkal dan tidak terorganisir. Perilaku, cara berpakaian dan cara berbicaranya menjadi aneh. Didera oleh delusi dan halusinasi.

            Perubahan-perubahan ini merupakan ciri khas dari kebanyakan penderita skizofrenia. Tetapi ada beberapa jenis skizofrenia yang memunculkan gejala tertentu saja, sehingga sulit untuk segera dikenali.

Pada skizofrenia sederhana perubahan kepribadian berlangsung bertahap menuju penarikan diri dan sikap apatis. Komunikasi dengan penderita berangsur-angsur menjadi mustahil. Penderita skizofrenia yang lebih berat (hebephrenic) yang terbanyak diderita, penderitanya memperlihatkan perilaku kekanak-kanakan yang bisa sangat konyol. Mereka misalnya, dapat berubah sekonyong-konyong dari tertawa menjadi menangis. Pada tipe skizofrenia paranoid, penderita penuh kecurigaan, merasa dianiaya dan didzalimi. Mungkin juga ia mengalami berbagai delusi lainnya, yang memicu perilaku yang samasekali tidak nalar. Delusi tersebut bisa mendorongnya melakukan tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan. Sementara itu pada skizofrenia katatonik, penderita bisa terombang-ambing antara keadaan tak sadar dan keadaan kegembiraan liar tidak keruan. Pada keadaan tak sadar, ia berada dalam pose dan tampilan yang aneh untuk beberapa lama.

Selain skizofrenia, ada juga gejala psikopatik. Bila penderita skizofrenia lebih banyak membahayakan dan merusak dirinyasendiri, maka penderita psikopat sebaliknya lebih berkecenderungan selalu membahayakan dan merusak sekitarnya. Para pelaku korupsi dan manipulasi kekuasaan, sebagian terbesar adalah orang-orang psikopat yang tidak bisa membedakan apa yang benar dengan apa yang salah. Selalu membenarkan segala perbuatannya. Saat ketahuan melakukan perbuatan salah, ia bersikeras, dan mampu berlaku seakan-akan memang benar-benar tak bersalah. “Saya korban fitnah, korban konspirasi”, “Ada politisasi”, “Character assassination” dan sebagainya. Berani bersumpah, misalnya “Serupiah saja… gantung saya”. Dalam pembelaan, berani mengatasnamakan Tuhan, dan mampu menampilkan poker face. Hampir semua yang tampil dengan poker face adalah psikopat.  Saat menghadapi proses hukum, para pelaku korupsi menunjukkan gejala mirip penderita skizofrenia: merasa dianiaya dan didzalimi, serta gejala paranoid –merasa dipersekongkolkan dan sebagainya. Beberapa tokoh yang sedang menghadapi proses tuntutan hukum karena korupsi melawan dengan menyewa massa bayaran untuk melakukan demonstrasi. Lama-kelamaan, karena terlalu kuat melakukan pembelaan dengan menyebut diri tak bersalah, pada akhirnya ia termakan oleh retorikanya sendiri sebagai orang yang benar. Beberapa pelaku korupsi, selepas menjalani hukuman penjara, tetap bersikeras tak bersalah. Ada yang sampai menerbitkan buku putih. Sementara itu, beberapa lainnya, melanjutkan hidup tanpa rasa malu, melepaskan diri dari rasa malu sebagai norma, menikmati hidup dengan uang yang dimilikinya. Hidup bergaya kelas atas, seakan-akan melakukan ‘balas dendam’ atas kepahitan hidup masa lampaunya. Rupanya, mereka ‘berhasil’ menyembunyikan sebagian hasil jarahannya dari penyitaan –mungkin dengan bantuan psikopat lainnya yang ada di tubuh institusi penegakan hukum dan keadilan.

Dalam kehidupan politik dan percaturan (memperebutkan) kekuasaan, makin hari, kita makin gampang menemukan orang-orang yang menampilkan perilaku mirip dengan beberapa gejala skizofrenia, selain psikopat. Meskipun cukup tersamar, terlihat sejumlah politisi dan pelaku kekuasaan menunjukkan ciri: kepribadian terbelah atau split personality yang dimulai dengan kebiasaan bersikap hipokrit, kegagalan intelektual, rakus dan serakah, sesekali menampilkan perilaku kekanak-kanakan. Untuk yang disebut terakhir ini, Presiden Abdurrahman Wahid pernah mencerca DPR sebagai taman kanak-kanak. Pada sisi lain, ada juga tokoh maupun kelompok politik dan kekuasaan, yang telah tercerabut dari realita. Mereka mengklaim diri atau partainya atau institusi yang dipimpinnya telah berhasil, semata berdasarkan apa yang dipikirkan atau diinginkannya secara subjektif. Mengklaim diri atau partainya sangat demokratis, amanah, bersih hanya karena telah berapi-api menyampaikan retorika anti korupsi, suci bersih karena merasa beragama, dekat kepada rakyat cilik, dan lain sebagainya. Padahal, dalam tindakan sehari-hari melakukan perbuatan-perbuatan sebaliknya.

Sejumlah politisi juga sudah sampai tahap tak segan-segan mengerahkan massa untuk melakukan kekerasan.  Pun sejak lama telah terjadi preseden bahwa ada kalangan kekuasaan sudah mempraktekkan penculikan dan penghilangan orang dengan paksa seperti yang terjadi di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto menjelang tahun 1998. Bahkan aktivis Kontras, Munir, telah menjadi korban pembunuhan politik. Ini terjadi di masa kekuasaan Megawati Soekarnoputeri menjelang peralihan ke masa Susilo Bambang Yudhoyono. Sebuah pertanyaan juga menggantung di ruang publik hingga kini, siapa merancang pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain lalu menskenariokan mantan Ketua KPK Antasari Azhar sebagai kambing hitam? Dan yang ini, terjadi di masa kekuasaan SBY.

Sementara itu, seperti pernah dituliskan ahli penyakit jiwa Saanin Dt T. Pariaman di tahun 1967, banyak kalangan masyarakat yang tertekan oleh cara kekuasaan dijalankan –yang tanpa keadilan politik maupun keadilan sosial-ekonomi– menderita skizofrenia. Bukan skizofrenia sederhana, melainkan skizofrenia katatonik dan atau jenis hebephrenic. Suatu keadaan yang merupakan kenyataan laten hingga kini. Bagi mereka, kalangan akar rumput, yang menderita separah ini, penyelesaian akhirnya adalah masuk ke rumah sakit jiwa. Namun bagaimana dengan mereka yang mengidap skizofrenia yang tak kentara sehingga sulit untuk dikenali, dan celakanya ada terselip dalam kehidupan politik dan kekuasaan? Kehidupan politik yang penuh tekanan persaingan maupun tekanan kebutuhan biaya politik yang begitu tinggi, mungkin telah meningkatkan jumlah pelaku politik dan kekuasaan yang terkena gejala tekanan jiwa tapi merubahnya menjadi agresi dalam berbagai wujud.

                Bila cara berpolitik seperti sekarang ini –yang terlanjur penuh tipu daya dan intrik serta berbiaya mahal– tidak berhasil disehatkan dan diperbarui, nyatalah bahwa apa disebutkan Prabu Jayabaya 9 abad lalu sebagai zaman edan, menjadi benar adanya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

PKS: Korupsi dan Retorika Pengatasnamaan Agama (2)

JAUH sebelum Nurcholish Madjid, sejumlah elite Indonesia tahun 1930-an  telah melontarkan kekuatiran bahwa agama dan politik bisa saling menodai bila dicampuradukkan. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Dr Ahmad Syafii Maarif, menulis (Kompas, 6 Februari 2013) bahwa pada tahun 1930-an itu telah terjadi perdebatan panjang mengenai hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dengan elite nasionalis non-santri.

“Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama”. Gaung perdebatan ini masih dirasakan sampai tahun 1950-an, apalagi nyatanya sejumlah elite Islam pun bersikukuh untuk tetap terjun ke dalam politik dengan membawakan idiom-idiom agama. Menurut Syafii Maarif, dalam sejarah perpolitikan Indonesia dikenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan Partai Katolik. “Jika dulu tokoh santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”.

PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)
PERUMAHAN MEWAH PETINGGI PKS. Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. (download tribunnews)

Tetapi sebenarnya, sepanjang yang bisa dicatat, bahkan partai moralis seperti Masjumi pun ternyata tak selalu sepenuhnya berhasil menjaga diri agar tak terkontaminasi oleh kekotoran politik. Begitu pula dengan Partai Katolik. Sewaktu tokoh PSI Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Natsir –seorang tokoh Masjumi– di tahun 1950-1951, ia menjalankan suatu program pemberian fasilitas berupa lisensi khusus perdagangan kepada pengusaha nasional tertentu. Tujuannya, untuk membantu pengusaha-pengusaha nasional tersebut bangkit bersaing. Tetapi sayangnya, lebih banyak di antara pengusaha nasional itu ternyata menjadi sekedar pengusaha akten-tas yang memperjual-belikan lisensinya kepada pengusaha keturunan. Muncul istilah Ali-Baba. Beberapa pengusaha Masjumi ikut menikmati fasilitas tersebut dan menjadi pengusaha akten-tas Ali-Baba. Para pengusaha Masjumi ini menjadi salah satu sumber utama keuangan partainya pada masa itu.

Dan ketika tokoh Masjumi Jusuf Wibisono menjadi Menteri Keuangan  dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952), ia juga melanjutkan membantu beberapa pengusaha nasional. Termasuk di antara yang dibantu, adalah para pengusaha Masjumi sendiri, dengan memberikan fasilitas agar menghasilkan dana untuk partai. Tapi apa yang dilakukan Jusuf Wibisono mendapat kecaman keras secara terbuka dari kawan separtainya sendiri, Sjafruddin Prawiranegara, yang menganggapnya suatu pelanggaran. Namun sungguh menarik bahwa ketika Syafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan sebelum Jusuf Wibisono, yakni pada Kabinet Natsir (1950-1951), ia pernah membantu pengusaha TD Pardede dari PNI. Di kemudian hari TD Pardede bercerita kepada Profesor Deliar Noor, bahwa setelah usahanya menjadi besar dan sukses, ia mendatangi Sjafruddin dan tokoh Masjumi lainnya M. Sanusi yang menjadi petinggi di Kementerian Perdagangan, untuk berterima kasih. Pardede membawa ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih. Tetapi Sjafruddin dan Sanusi, dengan cara baik-baik dan menyenangkan menolak pemberian tersebut. Kedua tokoh tersebut, meski tak sanggup menjaga moral untuk keseluruhan partainya, masih mampu menjaga etika dan moral pribadi mereka masing-masing.

Dengan Sjafruddin sebagai pengecualian, setidaknya ada pembuktian bahwa sulit menghindari uang sebagai faktor dalam politik. Bahkan Masjumi yang disebut Syafii Maarif sebagai salah satu partai moralis, pun sulit mengelak terhadap faktor yang satu itu.

Partai moralis lainnya, Partai Katolik, bukannya tanpa masalah. Ketika menjadi Menteri Perkebunan di masa Soekarno, tokoh Partai Katolik Frans Seda sempat mengecewakan kawan-kawan separtainya dengan sikap yang terlampau sayang pada jabatan dan percaya berlebihan terhadap Soekarno. Dua hari sebelum Peristiwa 30 September 1965, dua tokoh Partai Katolik IJ Kasimo dan Harry Tjan datang mengingatkan bahwa Soekarno terlalu memberi angin kepada PKI, dan bahwa partai ini akan melakukan makar. Seda bersikeras membela Soekarno, dan malah balik mengingatkan agar kedua rekannya itu jangan ikut menjadi komunisto phobia.

Tokoh Lembaga Pembela HAM, HJC Princen, Februari 1970, bertanya kepada Jaksa Agung Sugih Arto dan Jaksa Agung Muda Ali Said, tentang masa lalu Seda di zaman Soekarno. “Dari mana Frans Seda, Menteri Perkebunan di masa Soekarno mengambil uang 3 juta dollar untuk biaya pesta pora Soekarno di Italia?”, demikian ia menanyakan. Sedang di masa Soeharto, Frans Seda selaku Menteri Perhubungan pernah diberitakan oleh Harian Operasi (19 Juni 1969) melakukan pembiaran terhadap pembelian 6 tanker oleh Pertamina dengan harga tinggi yang nyata-nyata diketahui tidak wajar karena mark-up.

Baik pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto posisi Kementerian Agama seringkali diserahkan ke tangan tokoh-tokoh partai Islam. Tapi itu tidak menjadi jaminan moral. Kehadiran tokoh-tokoh partai Islam itu di Kementerian Agama hampir selalu identik dengan hadirnya perilaku korupsi. Pasca Soeharto, ada mantan Menteri Agama diadili karena korupsi. Belakangan ini, di masa SBY, kembali Kementerian tersebut yang dipimpin tokoh Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, disorot karena berbagai masalah korupsi, dengan pelaku yang bisa berasal dari lintas partai. Kementerian lain yang lazim dibagikan kepada partai-partai politik Islam adalah Kementerian Sosial. Tetapi di masa Soeharto kementerian itu pernah pula diserahkan kepada Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, setiap partai yang tergabung dalam koalisi –PAN, PKB, PKS, PPP, dan Partai Golkar, selain Partai Demokrat sendiri– mendapat kementerian-kementerian yang bisa ‘diolah’. Masing-masing kementerian bisa menjadi wilayah pengumpulan dana politik yang memadai. Dan sejauh ini, dengan sedikit pengecualian, hampir tak satupun dari kementerian tersebut luput dari cerita dan berita korupsi.

Kekuatiran tahun 1930-an dengan demikian menjadi fakta. Percampuran politik dan agama ternyata memang terbukti cenderung saling menodai. Tapi hingga kini tetap saja pencampuran politik dan agama dilakukan. Persekongkolan korupsi memang eksotis. Sebagai lumpur politik, ia menjadi tempat mengasyikkan untuk berkubang. Meniru ‘kebahagiaan’ kerbau Meminjam sekali lagi penggambaran Syafii Maarif, “sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu”. Dalam konteks permainan berlumpur itu, idiom-idiom agama dan berbagai pengatasnamaan agama menjadi salah satu senjata andalan yang banyak digunakan. Baik dalam retorika politik offensif maupun sebagai bagian penting dalam mekanisme defensif manakala mendapat serangan.

Pada hari pertama pasca penetapan Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, retorika agama digunakan secara emosional oleh para kader PKS untuk membela dan menyangkal tuduhan yang menimpa sang pemimpin. Tetapi dengan berjalannya waktu, bersamaan dengan kemajuan penyidikan KPK dalam pengumpulan saksi dan bukti, reaksi emosional itu pun mereda.

Publik dalam pada itu dibuat lebih terbuka matanya, setelah berbagai media cetak dan media sosial, menyajikan berita dan foto tentang kemewahan hidup para petinggi PKS yang sering disebut sebagai ‘Fraksi Sejahtera’. Ketua Majelis Syura PKS KH Hilmi Aminuddin memiliki kompleks villa mewah di areal 5000 meter persegi yang terletak di perbukitan kampung Babakan Bandung, Pagerwangi, Lembang, 15 kilometer di utara kota Bandung melalui Jalan Ir Juanda-Dago. Ia juga memiliki perkebunan seluas 5 hektar di wilyah tersebut. Sementara itu di kawasan Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, terdapat sebuah kompleks perumahan mewah di atas areal 4000 meter persegi yang terdiri dari 7 rumah mewah, yang dihuni para petinggi PKS tingkat pusat. Kompleks hanya memiliki 1 pintu yang dijaga ketat dan tak bisa dimasuki sembarang orang. Suatu situasi kesejahteraan yang mungkin semula tak terpikirkan masyarakat untuk dikaitkan dengan PKS yang secara retoris disebutkan sebagai partai dakwah.

Retorika agama juga digunakan Aceng Fikri –Bupati Garut penyandang kasus nikah siri dengan anak perempuan baru gede yang berakhir dengan ‘talak’ sepihak 4 hari kemudian. Bersama para pengacaranya, Aceng Fikri memperhadapkan Mahkamah Agung dengan hukum agama yang disebutnya lebih tinggi dari hukum negara. Dari dua contoh aktual itu, kita melihat betapa berani dan nekad sejumlah orang mengatasnamakan Tuhan dan Agama untuk membela perbuatan korupsi atau sekedar urusan pribadi yang asal mulanya menyangkut soal sejengkal di bawah pusar.

Di belakang angka-angka besar, ada kejahatan. Pengalaman empiris Indonesia menunjukkan, sepanjang menyangkut dana politik terkait kepartaian, tak mungkin menghindarkan diri dari sumber-sumber keuangan yang tidak halal. Dalam iklim dan kebiasaan berpartai di Indonesia selama ini, mustahil mengandalkan sumber pendapatan halal dari cara semacam mengumpulkan iuran anggota.

Tak ada pula partai yang resmi memiliki badan usaha sebagai sumber keuangan sah, seperti halnya yang dilakukan beberapa partai di negara demokrasi maju. Satu-satunya cara, adalah jalan pintas, melalui korupsi atau setidaknya memanfaatkan wealth driven economy dan wealth driven politic –yang berarti menyerahkan kendali kepada persekongkolan politisi busuk dengan mereka yang menguasai akumulasi uang yang lazimnya diperoleh dengan cara kotor.

Untuk negara seperti Indonesia masih berlaku adagium: di belakang angka-angka (dana maupun angka pencapaian politik) yang besar hampir pasti ada kejahatan.

Jadi, kalau ada yang membawa idiom-idiom agama dan nama Tuhan ke dalam kancah politik, pada hakekatnya berarti memasuki proses mengotori agama dan nama Tuhan. Saatnya memikirkan ulang untuk menempatkan kembali agama di tempat yang layak dan mulia sesuai hakekat yang digariskan olehNya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (3)

FENOMENA Jakarta tahun 1970-an seakan mengalami perulangan pada tahun 2000-an. Tampaknya, setiap kelahiran dan tumbuhnya rezim baru selalui ditandai pula oleh korupsi-korupsi baru. Adanya korupsi-korupsi baru itu tercermin dengan munculnya kelompok dan keluarga kaya baru dari waktu ke waktu dengan segala kelakuan eksesifnya. Kedatangan Dewi Fortuna membawakan kekayaan yang mendadak, cenderung mendorong meningkatnya hasrat konsumtif dan ketidaksabaran untuk bermewah-mewah. Anehnya, makin tidak halal sumber kekayaan itu, justru makin tinggi pula hasrat konsumtif dan sikap bermewah-mewah itu, sehingga pada gilirannya bisa menjadi indikator adanya perbuatan korupsi.

SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. "Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi". (youtube)
SBY, KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. “Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi”. (youtube)

Munculnya kelompok dan keluarga-keluarga kaya baru di Jakarta pada tahun 1970-an itu merupakan fenomena yang mengiringi kebangkitan ekonomi Indonesia melalui pembangunan fisik kala itu. Dan fenomena itu diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan secara nyata –karena memang tak ada effort yang cukup untuk itu. “Meski seperti angin yang dapat dirasakan, namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal, bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno”, demikian dituliskan dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Mari kita bandingkan dengan fenomena tahun 2000-an, khususnya di masa kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputeri dan kemudian di hampir dua periode kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bila di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid gerakan pemberantasan korupsi melalui Kejaksaan Agung masih gencar, maka di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri gerakan itu mendadak gembos. Sebaliknya, terasa bahwa tindakan korupsi baru pasca Soeharto justru lebih melaju. Menjadi benar peringatan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang menjabat di masa Abdurrahman Wahid, bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tak berakhir bersama berakhirnya kekuasaan Soeharto. Sementara kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya dari masa lampau belum tuntas tertangani, ujarnya, korupsi-korupsi baru pun terjadi terus.

Dari masa Megawati, kita bisa mencatat adanya kasus-kasus penjualan beberapa BUMN strategis dan kasus penjualan ulang tanker raksasa Pertamina. Bersamaan dengan itu, bertiup sejumlah rumor yang mengaitkan suami sang Presiden dengan berbagai kasus. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi Presiden, Abdurrahman Wahid secara khusus pernah meminta Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk menangkap Taufiq Kiemas –suami Wakil Presiden– dengan tuduhan korupsi. Marzuki tak segera memenuhi permintaan itu, dan mengatakan tak bisa melakukannya “sebelum kita memiliki bukti kuat”. Perintah penangkapan dengan tuduhan yang sama juga pernah disampaikan Presiden kepada Jaksa Agung, untuk beberapa nama lain seperti pengusaha Arifin Panigoro, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier yang memberikan pembebasan pajak mobil Timor dan terhadap politisi Golkar Akbar Tandjung. Entah ada hubungannya atau tidak, selang beberapa waktu kemudian Marzuki Darusman dilepas dari jabatan Jaksa Agung. Menurut cerita di balik berita, saat mengangkat Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, Presiden mensyaratkan penangkapan bagi 4 tokoh tersebut. Tetapi Baharuddin Lopa hanya sempat menduduki jabatan itu dalam hitungan minggu. Tak terjadi penindakan terhadap 4 tokoh. Hanya Akbar Tandjung yang kemudian pernah diajukan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi dana Bulog pada masa kepresidenan berikutnya, namun bebas di tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang saat itu dipimpin Bagir Manan.

Para pelaku korupsi masih lebih unggul. Pada dua masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, kendati retorika pemberantasan korupsi terus menerus didengang-dengungkan, dalam kenyataan perbuatan korupsi tetap saja terus melaju. Komisi Pemberantasan Korupsi tunggang langgang dibuatnya. Sungguh ironis bahwa Partai Demokrat yang menjadi pilar utama kekuasaan Presiden SBY, justru termasuk di antara yang paling disorot karena perilaku korupsi sejumlah kadernya. Melalui iklan, terhadap korupsi, Partai Demokrat menganjurkan “Gelengkan Kepala dan Katakan Tidak”, “Abaikan Rayuannya dan Katakan Tidak”, “Tutup Telinga dan Katakan Tidak” ditutup dengan “Katakan Tidak Kepada Korupsi”. Sayangnya, setidaknya dua dari bintang iklan melalui televisi itu, justru telah dihukum dan dijadikan tersangka korupsi, yakni Angelina Sondakh dan Andi Alfian Mallarangeng. Kemudian dua lainnya, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono, pun disorot dan disebut-sebut namanya terkait apa yang di”tidak”kan itu. Lama-kelamaan, pada gilirannya nama dan kepercayaan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sulit dihindarkan untuk tidak terkontaminasi. Kecuali bila dalam waktu ringkas yang tersisa dari masa kepresidenannya ini diisi dengan gebrakan kejutan. Tapi, sebagai harapan, it’s too good to be true. Namun, merupakan juga kenyataan bahwa bersama Partai Demokrat, nyaris tak satupun partai yang luput dari sorotan korupsi para kadernya. Sejumlah anggota DPR maupun menteri, gubernur dan bupati/walikota telah menjadi ujung tombak pemburu dana politik, sebagian (kecil) untuk partai masing-masing, sebagian (besar) untuk kepentingan sendiri. Korupsi pun bukan lagi mengintai di tikungan menunggu kesempatan, tetapi sudah dirancang, mulai dari menciptakan proyek sampai bagaimana teknik menggerogotinya.

Dan yang istimewa dalam masalah korupsi ini, Jakarta tak lagi satu-satunya locus delicti peristiwa korupsi besar-besaran. Hampir seluruh daerah telah mencatatkan nama dalam daftar korupsi nasional yang beberapa di antaranya berkategori spektakuler. Bagaimana dengan gerakan pemberantasan korupsi? Sejauh ini, tanpa mengecilkan prestasi KPK –khususnya pada periode terbaru di bawah lima sekawan Abraham-Bambang-Busyro-Adnan-Zulkarnaen– harus diakui bahwa kaum koruptor masih lebih unggul dalam mengorganisir pertahanan dan serangan balik. Keadaan ini mengindikasikan betapa kuatnya kaum korup dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik.

Seberapa sulitkah memberantas korupsi? Marzuki Darusman menulis, “Tatkala menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya mengalami betapa sulitnya untuk menindaki kejahatan-kejahatan terhadap kekayaan negara itu”. “Selain kelemahan-kelemahan internal kalangan penegak hukum –yang harus saya akui memiliki kelemahan teknis dan ketidakkebalan terhadap aneka godaan– kendala-kendala luar biasa juga datang dari arah eksternal, termasuk dari sesama kalangan pemerintahan dan dari kalangan politik”. “Para pelaku kejahatan selalu mendalihkan penindakan atas dirinya bernuansa politis. Maka, tak jarang gerakan-gerakan politik dikerahkan melalui dan oleh pelbagai LSM sebagai alat pembelaan diri. Seringkali para pelaku kejahatan keuangan ini mendadak ditampilkan sebagai ‘pahlawan’ yang sedang ditindas, sedang teraniaya oleh balas dendam politik”.

Sepuluh tahun kemudian, giliran KPK yang menghadapi kesulitan dari kalangan politik. Terjadi upaya merevisi Undang-undang KPK melalui DPR, dengan penghilangan beberapa wewenang khusus lembaga tersebut, yang tidak bisa tidak harus ditafsirkan sebagai usaha pelemahan KPK. “Kalau KPK tak lagi superbody, saya berpikir-pikir untuk tidak melanjutkan tugas”, ujar Abraham Samad kala itu. Selain kesulitan dari kalangan politik, KPK juga mengalami benturan-benturan keras dari sesama kalangan penegak hukum, selain beraneka macam pengerahan massa yang diorganisir para tersangka korupsi.

Politik kotor dan korupsi, merupakan sumber bahaya kegagalan bahkan kehancuran Indonesia. Pada praktek politik yang kotor, korupsi menjadi cara menghimpun dana paling efektif. Sebaliknya, dengan perilaku korupsi, politik menjadi lebih kotor dan lebih busuk lagi. Tak ada kemenangan politik besar bisa terjadi per saat ini tanpa biaya dengan angka besar. Dalam keadaan Indonesia belum punya tradisi publik berkontribusi bersama membiayai tokoh atau kelompok yang didukungnya, tak bisa tidak, biaya politik dihimpun dengan menghisap uang negara melalui korupsi APBN. Di sini berlaku dalil bahwa di belakang angka-angka besar –baik angka biaya maupun angka kemenangan yang diperoleh– ada kejahatan.

“Dia yang kaya, kita yang mati”. Demikian pula dalam kehidupan ekonomi Indonesia saat ini, seluruh keberhasilan memperoleh dana dan keuntungan besar, juga lekat kepada kecurangan, ketidakadilan dan konspirasi, di atas penderitaan kalangan akar rumput. Sebuah ungkapan dalam kampanye anti rokok –yang ditujukan kepada industrialis rokok– mungkin bisa dipinjam, “dia yang kaya, kita yang mati”. Dalam penegakan dan pemerataan keadilan ekonomi, hingga sejauh ini, tak satu pun di antara para pemegang mandat rakyat, telah menunjukkan keberhasilan. Terbanyak malah menjadi perencana dan pelaku korupsi, menghasilkan situasi “mereka yang kaya, rakyat yang mati”.

Hanya satu bentuk pemerataan yang berhasil dilakukan secara nasional, dari Jakarta sampai seluruh pelosok tanah air, tak lain, pemerataan penderitaan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Polri Dalam Peristiwa Terbaru: 5 Oktober 2012

PERISTIWA ‘penyerbuan’ sejumlah personil Polri ke Gedung KPK, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-67 TNI 5 Oktober 2012, menambah lagi noda hitam di wajah institusi yang (semestinya) adalah penegak hukum itu. Sulit untuk menafsirkan lain selain bahwa ‘penyerbuan’ itu adalah sebuah tindakan balas dendam, apapun alasan yang kemudian dikemukakan sebagai pembenar. Tak lain karena ‘penyerbuan‘ itu bertepatan waktu dengan masih berlangsungnya situasi konflik Polri-KPK mengenai penanganan kasus Korupsi di Korlantas Polri, dan terlebih lagi pada hari itu seorang jenderal polisi diperiksa sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Mana mungkin ini tidak disengajakan, dan hanya suatu kebetulan belaka?

DEMONSTRAN BERTANYA: KEMANA PRESIDEN KITA?. “Ataukah sejumlah perwira bersih di tubuh Polri –yang pasti masih cukup banyak jumlahnya– yang jenuh dan letih oleh perilaku kriminal para polisi hitam, justru yang akan bangkit membersihkan tubuh institusinya?” (Foto Antara). Baca juga box di halaman lanjutan, “DARI PRESIDEN: SEKEDAR OBAT PEREDA SAKIT KEPALA”

Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang lebih tinggi akan terjadi di masa mendatang ini. Sejumlah pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum dan ketertiban masyarakat ini ‘berbakat’ untuk itu karena pembiaran yang laten.

Saat ini, sejumlah oknum membawa Polri melakukan ‘pembangkangan’ hukum terhadap proses pemberantasan korupsi, besok lusa mungkin sekalian membangkang kepada lembaga kepresidenan dan pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalami semacam ‘pembangkangan’ itu. Keputusannya untuk mengganti Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail, ditolak dan tidak dilaksanakan Bimantoro sehingga menimbulkan ketegangan internal. Sewaktu peristiwa ini terjadi, Jenderal Susilo Continue reading Polri Dalam Peristiwa Terbaru: 5 Oktober 2012