Tag Archives: Soeharto

Komedi Parlemen

PELOPOR masuknya komedian atau pelawak ke Dewan Perwakilan Rakyat, agaknya tak lain adalah pelawak Eddy Sud yang berada di lembaga itu sepanjang tahun 1980-an. Tetapi tak banyak dikabarkan ia melawak dalam persidangan. Bahkan seringkali banyak anggota lain yang lebih ‘lucu’. Dan kelucuan itu ternyata selalu ada sepanjang sejarah parlemen Indonesia.

SEKITAR tahun 1955 –sebelum maupun sesudahnya– parlemen kita sangat diwarnai suasana liberalistik. Kabinet jatuh bangun bergantian karena berbagai mosi tidak percaya. Suatu ketika masih sebelum Pemilihan Umum 1955, dalam hearing dengan Perdana Menteri, seorang anggota partai dengan lantang mengatakan, “Partai kami menyatakan mosi-mosi terhadap saudara!”. Dengan agak heran pimpinan sidang menengahi, “Mosi apa?”. Sang anggota balik berkata, tak kalah herannya, “Ya, mosi-mosi… masak saudara ketua tidak tahu?!”. Rupanya yang dimaksud oleh sang wakil partai adalah mosi tidak percaya. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah kebiasaan zaman Jepang kalau bertelepon, “Mosi, mosi..” yang artinya “Halo, halo”. Politisi tua narasumber cerita ini, yang sama herannya, mengaku tidak pernah tahu apakah salah istilah itu semacam kortsluiting lidah atau otak.

Percaya atau tidak, Konstituante setelah Pemilihan Umum 1955, selain politisi kawakan, juga terisi dengan anggota-anggota yang samasekali tidak pernah menjalani pendidikan formal, buta huruf latin dan hanya melek huruf arab. Sebagian lagi hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD). Bandingkan dengan anggota-anggota badan legislatif masa kini yang bertaburan gelar kesarjanaan berbagai tingkat, meski konon banyak pula yang perlu dipertanyakan kebenaran dan kualitas akademisnya. Maka situasi internal Konstituante masa itu bisa kontras, di satu pihak terdapat politisi-politisi handal dan brilian karena pendidikan maupun pengalaman, tetapi di sisi lain terdapat anggota-anggota yang tergolong tidak paham masalah. Terdapat pula anggota yang sudah berusia sangat lanjut, sudah susah berdiri dan berjalan, kadang kala pikun. Satu kali, seorang anggota Konstituante yang sudah berusia senior menjurubicarai kelompoknya untuk menyampaikan minderheitsnota. “Bersama ini kami menyampaikan minderwardigheids complex terhadap keputusan…..”. Ini membuat peserta sidang terperangah. Istilah yang disebut itu yang yang biasa disingkat MC adalah kompleks rasa rendah diri, sedang minderheitsnota adalah pernyataan menerima secara formal suatu keputusan namun memberikan catatan adanya pendapat berbeda. Semacam dissenting opinion yang biasa diajukan hakim yang berbeda pendapat dengan anggota lain dalam suatu majelis hakim.

SUATU ketika, Menteri Lingkungan Hidup di masa pemerintahan Soeharto mengadakan dengar pendapat di depan salah satu komisi DPR-RI. Dalam rapat itu sang menteri antara lain menyinggung efek rumah kaca. Seorang ibu, anggota komisi, tampil dengan bersemangat menyampaikan pendapat. “Mengatasi dampak rumah kaca, harus kita mulai dari Jakarta”, ujarnya, “coba lihat, banyak gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan Thamrin-Sudirman yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca, mata kita sampai silau……”.

Pada kesempatan lain, giliran seorang Menteri Dalam Negeri keseleo ketika harus menjelaskan azas monoloyalitas yang diterapkan pemerintah kala itu terhadap pegawai negeri. “Azas monoloyololitas itu… eh, monoloyolitas…..”. Masih berkali-kali ia keseleo lidah sebelum menemukan jalan keluar. Sembari menyeka keringat di dahinya, pelan-pelan ia membaca dari naskah yang dibawanya, “Maaf, yang saya maksud mo…no…lo… ya… li… tas… Nah itu…”. Tak urung, beberapa kali sang menteri masih keseleo sesudahnya, tapi bagai buldoser, sang menteri bicara terus tanpa merasa perlu buang waktu untuk mengoreksi lagi. Celaka dua belas, setelah itu seorang anggota DPR juga ikutan salah eja, “monoloyolitas”. Susah betul istilah itu rupanya bagi lidah melayu.

BAGAIMANA dengan Dewan Perwakilan Rakyat masa kini? Banyak plesetan kata, tetapi itu disengajakan. Namun yang justru menonjol adalah banyaknya penggunaan kata-kata ‘kasar’ yang disampaikan juga dengan nada tinggi. Khasanah kata-kata yang diangkat dari dunia fauna dan kebun binatang tak jarang diperdengarkan. Ada yang menggunakan kata ‘bangsat’, sebutan yang digunakan orang Betawi untuk ‘kutu busuk’. Kita anggap saja yang dimaksud memang ‘kutu busuk’, dan bukan pengertian lainnya lagi.

Lebih banyak lagi, salah persepsi. Seorang anggota DPR dari partai terkemuka saat ini, dalam suatu acara debat yang diselenggarakan sebuah stasiun TV di selasar DPR menjelang Sidang Paripurna memvoting hasil Pansus Century, memaparkan indikator kemajuan ekonomi saat ini. Berapi-api membela keputusan bailout Century, sang anggota DPR bilang kalau kebijakan itu tidak diambil maka kita tidak menikmati keadaan ekonomi yang sebaik sekarang ini. Apa indikator bahwa ekonomi kita bagus? “Coba lihat pasar-pasar tradisional kita yang ramai”. Berbagai transaksi terjadi, katanya. Lalu dengan bersemangat, ia mencontohkan pula ramai dan berjubelnya transaksi di supermarket-supermarket, mal-mal dan sebagainya. Ketika lawan debatnya mengingatkan, bagaimana dengan rakyat miskin yang berada di daerah-daerah kumuh seperti misalnya yang letaknya tak jauh, di belakang gedung DPR Senayan, sang anggota DPR tertegun dan tergagap juga sejenak.

WAKTU dulu Gus Dur bilang DPR seperti taman kanak-kanak saja, selain reaksi para anggota DPR sendiri, banyak juga yang angkat bicara mengecam Presiden keempat itu. Tapi kini, setelah menyaksikan ulah para anggota lembaga terhormat itu, dari waktu kewaktu, barangkali banyak yang sepenuhnya sepakat……

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (15)

“Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri”.

KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda Jaya sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.

Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Gunawan Mohammad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh ‘Tempo’ tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi ‘Tempo’ kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.

Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.

Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Alasan pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.

Bingkai skenario makar versi badan intelejen

Penggambaran peristiwa 15 Januari 1974 sebagai suatu gerakan makar  dapat ditemui dalam laporan Bakin. Tetapi sejalan dengan keyakinan dan pembelaan Brigjen Aang Kunaefi, dalam laporan Bakin itu memang dapat dikatakan tak ada bagian yang melibatkan mahasiswa Bandung dalam skenario makar. Hanya ada satu bagian yang menceritakan kegiatan Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, bahwa “kepergian Ketua Dewan Mahasiswa ITB Muslim Tampubolon (HMI) ke Medan (17-24 Desember 1973) dengan maksud tidak lepas dari pada menciptakan situasi dengan cara mengajak dan menghasut mahasiswa di daerah-daerah untuk bergerak serentak”. Menurut keterangan Muslim sendiri, kunjungannya ke Medan itu lebih untuk urusan lain dan bukan dalam konotasi berat seperti yang dituduhkan dengan tujuan-tujuan akhir menggulingkan pemerintahan. Namun ada dugaan bahwa pihak mahasiswa yang sempat berhubungan dengannya  adalah mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan sebagai ‘garapan’ intel, dan melalui ‘channel’nya menyampaikan laporan pada Jakarta.

Mendapat tempat dan peranan dalam penggambaran pada laporan Bakin itu adalah bergerak dan bekerjanya jaringan-jaringan eks PSI dan Masjumi serta tokoh-tokoh HMI yang dikelompokkan sebagai Islam ekstrimis (seperti Ir Tawang Alun dan tokoh lain bernama Drs Kahar Badjuri). Eks PSI dilukiskan bertujuan menegakkan demokrasi liberal parlementer, sedang eks Masjumi bertujuan memberlakukan Piagam Jakarta, dan bersama-sama mendorong gerakan massa untuk mengganti pimpinan nasional dan pemerintah.

Laporan Bakin itu melukiskan pecahnya peristiwa kerusuhan menuju perusakan dengan bekerjanya kekuatan non kampus, bermula ketika pada pukul 09.00 Julius Usman yang menelpon isterinya, Ita, untuk menghubungi Frans Max pada pukul 10.00 agar yang disebut terakhir ini mempersiapkan gerakan massa STM dan gerakan turun ke jalan dengan aksi mengempeskan ban-ban. Lalu datang lagi pesan dari Louis Wangge melalui Ita juga, anak-anak Senen disiapkan dan agar Proyek Senen dibakar. Sementara itu, Peter Tarigan memimpin rapat di STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri I untuk mempersiapkan aksi pengempesan ban. Kelompok Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru juga sudah tahu dan bersiap-siap, begitu pula kelompok BPSK (Badan Perguruan Sekolah Kristen) yang punya channel dengan sekolah-sekolah Kristen. “Disamping itu mereka mendapat bantuan dari gang-gang, gang-gang sekitar Planet Senen dan Proyek Senen, Sartana yang berada di sekitar Tanah Abang dari Kebayoran gang Legos”.

Daerah gerakan, masih menurut laporan tersebut, meliputi daerah kota dari SMA II, Pusat Kegiatan Kappi dibawah pimpinan Jusuf AR dan ex Laskar. Berikutnya, Tanah Abang Jakarta pusat, pusat gerakan dari BPSK, Sartana, Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru, SMA IV/VII dan SMEA di Jalan Batu yang kesemuanya tergabung dalam Kappi, dan STM Jaya ditambah Laskar Yon Haryono. Daerah gerakan Senen/Kramat membawahi daerah Planet Senen, STM Poncol anak buah Katje Sumual, anak daerah Apotik Farma Senen dan ‘tukang catut’ Kramat. Daerah Jatinegara membawahi Kappi Raja  (PII/HMI), sekolah-sekolah Kristen, ex Laskar Yon Sutoyo, SMP dan SMA Yayasan IKIP. Daerah Kebayoran membawahi Legos, anak-anak Blok M (di bawah Buce Rumaruri) dan ex Laskar Yon Pandjaitan. Daerah Jakarta Utara membawahi ex Laskar Yon Tendean di bawah Fahmi Idris, Kappi, PII, HMI dan pusatnya di SMA XXX.

Berbeda dengan laporan Mingguan Mahasiswa Indonesia, laporan Bakin menyebutkan bahwa sehabis apel di Universitas Trisakti demonstran sudah ditunggu oleh mobil-mobil baru pelat putih Mitshubishi Colt yang diatur oleh Fahmi Idris. Sebagian demonstran diangkut menuju Kota, sebagian masuk Jalan Nusantara ke Pecenongan –karena penggiringan oleh aparat keamanan sendiri yang menimbulkan tanda tanya. Pukul 12.00 hingga 18.00 terjadi aksi pengrusakan hebat. Dimulai dengan pengempesan ban-ban oleh pelajar SLP/SMA. Lalu terjadi pengrusakan dan pembakaran mobil-mobil dan motor-motor buatan Jepang. Pembakaran mobil dimulai di Mesjid Istiqlal dan menjalar ke jalan-jalan di ibukota seperti di Pecenongan, Gambir dan Senen. Show room PT Astra di Jalan H. Juanda dan Jalan Jenderal Sudirman dirusak dan dibakar beserta mobil-mobilnya. Kemudian ada pula pengrusakan toko-toko di Jalan Gajah Mada dan gedung-gedung steambath dan night club. Beberapa nama disebutkan sebagai pemimpin pengrusakan, antara lain Monang Siagian, Yessi Moninca, Pontas Siahaan, Purba, Jusuf AR, Marcus Mali, Asmara Nababan, Jusril dari kelompok Fahmi Idris, Reny Is dan Mudjiarto.

Selain versi Bakin itu, beberapa waktu setelah peristiwa 15 Januari 1974, beredar pula satu versi bahwa kelompok-kelompok yang dikerahkan oleh operator-operator Ali Moertopo juga ikut memulai kerusuhan dengan melakukan perusakan di wilayah-wilayah yang sama, terutama di sekitar Proyek Senen. Keterkaitan yang menyebut-nyebut nama Ali Moertopo ini sempat ada dalam laporan intelejen beberapa lembaga keamanan. Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, saat itu di jalanan tempat kerusuhan dan perusakan terdapat beraneka ragam tipe pelaku. Mulai dari yang tampak berciri pelajar sampai dengan yang bukan. Justru yang berciri mahasiswa boleh dikatakan tidak ada. Antara massa, satu sama lain jelas terlihat tidak selalu satu koordinasi atau komando. Apalagi di Proyek Senen dan sekitarnya, betul-betul sulit mengidentifikasi ciri dan kelompok.

Seperti halnya dengan mahasiswa Bandung, mahasiswa Jakarta juga pada siang hari 15 Januari 1974 usai apel di Trisakti –dan kemudian tanggal 16– mencoba mengadakan rapat-rapat membahas situasi. Di Universitas Indonesia, ada rapat DM-UI yang dihadiri antara lain Gurmilang Kartasasmita, John Pangemanan (dari STO), Karantiko, Jusril Amrul dan Hariman Siregar (pada tanggal 15 sebelum ditangkap), serta Jusuf AR. Mereka mengevaluasi kegiatan serta rencana selanjutnya. Mereka pun menyerukan agar mahasiswa dan pelajar tetap tenang dan waspada, tidak terpancing dan tidak sampai terintimidasi. Mereka menegaskan pula bahwa mahasiswa dan pelajar akan tetap berjuang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Siang tanggal 16 Januari itu masih sempat terkumpul kurang lebih 2000 mahasiswa yang kemudian menuju Blok P Kebayoran Baru untuk menghadiri pemakaman korban yang jatuh pada 15 Januari 1974.

Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Bandung, terlihat sudah bahwa gerakan mahasiswa Jakarta segera patah karena tekanan tuduhan makar. Dan pecahnya kerusuhan di Jakarta itu sendiri –siapa pun pelaku sebenarnya– sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pemukul terhadap gerakan mahasiswa. Maklumat No.004/PK/I/1974 yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya sangat efektif dan tak sanggup dihindari. Maklumat itu menyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 16 Januari 1974 semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta, ditutup. Ditambah lagi adanya larangan berkumpul diluar rumah lebih dari lima orang antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung dengan berlakunya jam malam. Tak ada peluang untuk koordinasi dan konsolidasi. Belum lagi, beberapa kalangan kekuasaan yang tadinya tampaknya masih cukup dekat dan bisa berkomunikasi dengan kalangan mahasiswa, mendadak berubah sikap dan penuh inisiatif menggiring mahasiswa menuju kepada kepatuhan. Hariman Siregar misalnya, menghadap Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo karena anjuran dan jaminan Ali Sadikin, dan kemudian berlanjut dengan penahanan. Setelah peristiwa tanggal 15, Ali Sadikin menjadi yang termasuk di antara yang berbicara keras terhadap pelajar dan mahasiswa.

Menjadi luka yang kedua, sebelum luka yang ketiga

BAGI mahasiswa Bandung, apa yang terjadi dan berlangsung sekitar tanggal 15 Januari 1974, hanyalah merupakan petunjuk kesekian betapa kalangan kekuasaan memang lebih mengutamakan kekuasaan bagi dirinya masing-masing daripada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Sehingga, Peristiwa 1974 dapat dicatat sebagai Luka Kedua dalam hubungan mahasiswa dengan kekuasaan. Pasca Pemilihan Umum 1971, semua unsur dalam kekuasaan melihat betapa besar kekuasaan yang telah mereka capai dan peroleh bersama-sama. Dan adalah sangat merangsang untuk berupaya agar berada pada pucuk kekuasaan.

Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri. Di antara kelompok yang paling tangguh secara kualitatif, adalah kelompok Ali Moertopo yang mengendalikan beberapa kekuatan sospol, selain Golkar dan juga beberapa unsur partai di luar Golkar. Penguasaan mereka terhadap sektor-sektor ekonomi juga amat signifikan, ditambah pengaruh-pengaruh dalam batas tertentu di kalangan militer yang terikat dalam satu kepentingan ekonomis. Tetapi kelompok yang paling kuat dan berotot tentulah kelompok Jenderal Soemitro karena faktor posisi pengendalian komando-komando. Namun hubungan pribadinya yang kurang serasi dengan Jenderal Maraden Panggabean yang memegang jabatan Menteri Hankam Pangab, sedikit mengurangi keunggulannya.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah rivalitas yang berlangsung di bawah permukaan berdasarkan rumpun divisi, yakni antara rumpun Diponegoro dan Brawijaya dengan Siliwangi sebagai faktor yang menciptakan balans. Tapi peranan Siliwangi telah agak lama merosot sejalan dengan berakhirnya pengaruh perwira-perwira idealis terkemuka di tubuhnya, tanpa suatu regenerasi kualitatif. Diantara kelompok Ali Moertopo dan kelompok Jenderal Soemitro, dalam pemerintahan Soeharto, terdapat kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Kelompok yang sering diberi predikat Mafia Berkeley ini memiliki kecenderungan kedekatan yang memadai dengan kalangan perguruan tinggi –tetapi sekaligus juga dihubung-hubungkan dengan kelompok ex PSI yang satu dan lain hal sering dilekatkan dengan kaum intelektual. Dalam beberapa pengalaman empiris, terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar dalam pandangan-pandangan kelompok teknokrat ini dengan kelompok pemikir yang disusun oleh Ali Moertopo. Paling terasa adalah dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Dalam banyak hal, kelompok Jenderal Soemitro lebih banyak memilih pandangan sejajar dengan kelompok teknokrat, sehingga terutama pada tahun 1973 hingga awal 1974 kepada mereka dilekatkan teori konspirasi. Di luar kelompok-kelompok yang ‘berseteru’ itu terdapat beberapa kelompok lagi, tetapi tidak terlalu jelas perpihakan sebenarnya, kecuali bahwa umumnya mengikuti arah angin. Diantara mereka ini, misalnya para perwira yang telah melakukan praktek korup dan dagang yang tidak sehat. Pada setiap kelompok utama yang berseteru akan selalu bisa ditemukan tipe yang punya catatan berbau korup ini.

Berlanjut ke Bagian 16

Indonesia: Belum Suatu Negara Hukum

“Praktis tak ada sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi dalam struktur kekuasaan Majapahit abad 14. Itu sebabnya tak ada KPK di Kerajaan Majapahit,…. Yang ada hanya Bhayangkara Kerajaan untuk menjaga ketertiban demi kekuasaan. Maka tak pernah ada kasus cicak-buaya di sana”.

PERISTIWA-peristiwa hukum yang mencuat belakangan ini dalam suatu suasana yang betul-betul hiruk-pikuk, di satu sisi menunjukkan betapa makin kritisnya masyarakat terhadap penegakan hukum, tetapi pada sisi lain memperlihatkan betapa Indonesia masih berada dalam situasi kegagalan bidang hukum sebagai bagian dari kegagalan sosiologis bangsa ini. Dari berbagai peristiwa itu tercermin betapa, ternyata, negara ini belumlah suatu negara hukum sebagaimana diamanatkan UUD, melainkan sekedar negara UU.

Banyak kalangan penegak hukum –pengacara, polisi, jaksa dan hakim– maupun anggota badan legislatif, dalam argumentasinya atas berbagai peristiwa hukum akhir-akhir ini, khususnya dalam perdebatan mengenai kasus KPK vs Polri, lebih menempatkan pasal-pasal undang-undang pada posisi unggul terhadap hakekat dasar dari hukum itu sendiri.

Pembelahan dan tekanan massa. Sementara itu, di ranah sosial, terjadi pembelahan masyarakat dengan sikap hitam-putih, pro atau kontra terhadap peristiwa ikutan ‘perseteruan’ KPK-Polri, seperti misalnya apakah kasus Bibit-Chandra dihentikan karena kurang kuatnya bukti atau sebaliknya dilanjutkan ke pengadilan seperti yang kuat diinginkan pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung? Terutama, sebelum munculnya ‘kata tengah’ dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah mendapat masukan dari Tim 8 Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Pembelahan di masyarakat ini menciptakan tekanan-tekanan massa –bercampur aduk antara yang spontan karena dorongan terusiknya rasa keadilan yang dimilikinya ataupun gerakan buatan karena unsur pengerahan– sehingga berpotensi munculnya fenomena baru berupa law by mobs untuk mendampingi fenomena-fenomena lama seperti law by order (oleh kekuasaan yang otoriter) maupun law by conspiration (yang dikenal sebagai mafia hukum atau mafia peradilan).

Tujuan utama hukum itu sendiri adalah menemukan kebenaran dan dari kebenaran itu lalu ditegakkan keadilan. Undang-undang, baik KUHP maupun KUHAP dan berbagai undang-undang khusus lainnya, sepenuhnya adalah untuk menegakkan tujuan utama dari hakekat hukum itu. Baik dalam undang-undang tentang kepolisian, kejaksaan, hakim dan peradilan maupun undang-undang tentang pengacara, selalu tercantum fungsi sebagai penegak hukum. Selain itu senantiasa terkandung setidaknya satu pasal yang harus kita anggap penting, tentang diskresi, yang pengertian dasarnya secara dialektis memungkinkan dikesampingkannya pasal-pasal manapun, bilamana pelaksanaan atau penerapannya akan menyebabkan tak tercapainya keadilan, karena tak ditemukannya kebenaran. Setidaknya, jika takkan membuat rakyat atau warga negara –untuk siapa hukum itu diadakan– aman dan terlindungi.

Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, bilamana para penegak hukum masih selalu membalikkan pemahaman bahwa undang-undang adalah lebih penting dari hakekat hukum itu sendiri, berarti kita memang masih tetap sebagai suatu negara kekuasaan, bukan negara hukum. Persis sama dengan masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun Soeharto, di mana hukum menjadi alat kekuasaan melalui berbagai undang-undang yang dijalankan sebagai alat supresi. Pun  tak beda jauh dengan keadaan pada masa kolonial. Bahkan barangkali masih punya kesamaan dengan zaman Kerajaan Majapahit.

Kerajaan yang selalu dielu-elukan dalam sejarah Nusantara ini, juga punya undang-undang, yang disebut sebagai Undang-undang Majapahit. Tetapi Kerajaan Majapahit bukanlah sebuah negara hukum. Undang-undang Majapahit hanyalah kumpulan pasal-pasal pengendalian dan supresi oleh penguasa dan kasta-kasta tinggi terhadap kalangan akar rumput yang terdiri dari kasta-kasta rendah. Bilamana seorang kalangan penguasa atau kasta tinggi memetik buah-buahan dari pohon yang ditanam rakyat, perbuatan itu bukan kesalahan. Tetapi sebaliknya bila seorang kasta rendah berani memetik buah-buahan dari kebun-kebun milik kasta atas, ia bisa ditangkap lalu dikenakan hukuman siksa. Bandingkan dengan mbok Minah dari Banyumas tahun 2009 yang diproses oleh polisi karena tuduhan mencuri 3 biji buah coklat, diteruskan jaksa dan kemudian dihukum oleh hakim di pengadilan. Sang hakim boleh saja meneteskan air mata, tapi dalam konteks undang-undang ia ‘merasa’ harus tetap menjatuhkan hukuman dan ia melakukannya. Berdasarkan Undang-undang Majapahit, seorang kasta tinggi yang memperkosa budak perempuannya takkan mendapat hukuman apapun, kecuali ia memperkosa budak milik raja. Bandingkan dengan nasib gadis penjual telur dari Yogya bernama Sum Kuning yang diperkosa tahun 1970 oleh pemuda-pemuda putera pejabat tinggi dan kalangan bangsawan. Tatkala Sum Kuning melaporkan apa yang menimpanya, polisi malah menahan dan menuduhnya membuat laporan palsu disertai intimidasi sebagai anggota Gerwani. Polisi memanipulasi perkara dengan sejumlah skenario paksaan yang mengorbankan pihak jelata, sementara pelaku sebenarnya dari kalangan atas tak pernah tersentuh oleh hukum.

Dalam hal pelanggaran parusya (penghinaan), Pasal 220 Undang-undang Majapahit mengatur bahwa “seorang ksatria yang memaki-maki brahmana didenda 2 tali. Jika waisya memaki-maki brahmana didenda 5 tali. Jika brahmana memaki-maki sudra didenda ¼ tali. Tetapi jika sudra memaki-maki brahmana, ia dihukum mati”, (Sanento Juliman, 1971). Bandingkan dengan beberapa mahasiswa yang dari waktu ke waktu dijatuhi hukuman karena penghinaan kepada presiden dan bandingkan pula dengan kasus Prita Mulyasari tahun 2009. Undang-undang Majapahit menetapkan, makin tinggi pangkat seseorang, semakin terlepas ia dari hukuman. Tentu saja, Raja berdiri di atas ‘hukum’. Tetapi Majapahit memang bukan suatu negara hukum, melainkan suatu ‘negara’ kekuasaan. Praktis tak ada sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi dalam struktur kekuasaan Majapahit abad 14. Itu sebabnya tak ada KPK di Kerajaan Majapahit, karena memang tidak diperlukan, yang satu dan lain hal, terkait dengan mutlaknya kekuasaan. Yang ada hanya Bhayangkara Kerajaan untuk menjaga ketertiban demi kekuasaan. Maka tak pernah ada kasus cicak-buaya di sana.

Dalam Negara Hukum, tugas mencapai keadilan dalam konteks kebenaran, bukan hanya boleh terjadi di pengadilan, melainkan pada setiap jenjang pelaksanaan penegakan hukum: Pengacara hanya akan membela sebatas kebenaran yang ada pada kliennya, bahwa polisi takkan memaksakan sangkaan dan takkan memaksakan melanjutkan ke kejaksaan bila sangkaannya tak didukung kebenaran, sebagaimana jaksa menghentikan penuntutan bila tak ada dasar kebenaran bagi suatu perkara. Andai saja, pemahaman ideal seperti ini, ada pada setiap tingkatan penegak hukum, penyelesaian yang ideal bagi suatu kasus, juga akan terjadi. Tapi agaknya,  harapan tentang suatu situasi ideal seperti itu, untuk sementara masih harus disingkirkan

Keadaan hukum tanpa hukum. Jadi, negara kita ini, di tahun 2009 ini, sebuah negara hukum atau belum sebuah negara hukum? Seorang mantan Jaksa Agung, memberi catatan dalam sebuah tulisannya, tentang keadaan pelaksanaan hukum di Indonesia. Meskipun catatan itu sudah berusia lima tahun, terasa masih sangat relevan menggambarkan keadaan hukum kita hingga kini. “Dewasa ini kita menghadapi suatu realitas bahwa masyarakat Indonesia berada dalam suatu ‘keadaan hukum tanpa hukum’, di mana hukum lebih bersifat indikatif sebagai tanda telah diterapkannya ketentuan hukum”. Keadaan semacam ini membuat masyarakat tak dapat lagi mengenali apa yang disebut penegakan hukum sesungguhnya. Penegakan hukum tak lagi bisa dibedakan dengan sekedar tampak menjalankan hukum. Keadaan ini secara menyeluruh sama sekali tak memungkinkan lagi hukum menjalankan fungsi regulator yang masuk akal, melainkan semata-mata telah menjadi alur birokrasi untuk memproduksi dan mengadministrasi pemberkasan. “Ini berarti bahwa disfungsi sistem telah menyebabkan hukum kita telah berada pada suatu posisi yang sedemikian tiada”. (Marzuki Darusman, 2004).

Tetapi bukankah ‘sisa-sisa’ ketertiban masih terasa keberadaannya? Ketertiban minimal yang masih ada –setidaknya, yang disangka masih berlangsung hingga kini– “tidaklah bersumber pada hukum, melainkan merupakan ketertiban sebagai sisa momentun otoriterisme masa lalu”. Dengan demikian, penegakan hukum tidak lagi mungkin dilakukan dari dalam sistem hukum itu sendiri, melainkan memerlukan upaya-upaya luar biasa di bidang politik. Sementara itu, proses koruptif yang berkelanjutan secara definitif, menutup seluruh kemungkinan membawa masyarakat keluar dari lingkaran kebathilan yang permanen yang bagaimanapun menjadi bagian tak terpisahkan dari kegagalan sosiologis yang masih mendera bangsa ini.

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (1)

Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme”.

SEPANJANG perjalanannya dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, Golkar –singkatan Golongan Karya– penuh dengan kemenangan dan ‘kejayaan’ politik. Angka keunggulan perolehan suara yang dicetak masih sejak pemilihan umum pertama pasca kekuasaan Soekarno, tak pernah di bawah 50 persen. Bahkan di era kepemimpinan Sudharmono SH dan Sarwono Kusumaatmadja, angka keunggulan Golkar mencapai 73,17 persen atau 62.783.680 suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1987. Suatu pencapaian luar biasa. Dan ternyata menjadi lebih fantastis lagi di era Ketua Umum Harmoko pada Pemilihan Umum 1997, mencapai 74,51 persen. Namun pencapaian itu sekaligus menjadi penutup kisah ‘dunia fantasi’, karena Mei 1998 secara pahit Soeharto harus mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung 32 tahun. Kemenangan besar Golkar di bawah Harmoko, ternyata hanya bagai gelembung sabun yang tak punya arti apa-apa sebagai jaminan kelanggengan kekuasaan Soeharto. Malahan Harmoko termasuk sebagai tokoh yang ikut berperan di barisan depan dalam suatu tragi komedi politik meninggalkan Soeharto, selain Ginandjar Kartasasmita bersama sejumlah golden boys Soeharto lainnya.

Pasca Soeharto, Golkar yang kemudian merubah diri menjadi Partai Golongan Karya, memulai fase perjalanan menuju titik nadir. Dalam Pemilihan Umum 1999, Akbar Tandjung yang menjadi Ketua Umum Golkar, bersama kawan-kawan seperti Fahmi Idris, Marzuki Darusman dan sejumlah tokoh ex HMI pendukung Akbar, masih mampu menjaga Golkar tak terhempas habis. Partai Golkar masih bisa mencapai angka 22,4 persen di urutan kedua setelah PDI-P Megawati Soekarnoputeri yang memperoleh 33,7 persen suara. Bahkan setelah dilanda isu Buloggate, Golkar dibawah Akbar masih sempat sedikit memperbaiki posisi sebagai pemenang Pemilu 2004 dengan memperoleh 21,58 persen, sementara PDI-P merosot ke tempat kedua dengan pencapaian 18,53 persen.

Namun adalah menarik, bahwa ‘benefit’ politik kemenangan 2004 itu tidak untuk Akbar Tandjung. Dalam konvensi Golkar untuk mencari calon presiden yang akan maju ke Pemilihan Umum Presiden, Akbar dikalahkan oleh Jenderal Wiranto yang kemudian maju ke Pemilihan Presiden bersama Solahuddin Wahid. Seorang calon peserta konvensi, Muhammad Jusuf Kalla (JK), membatalkan keikutsertaannya dalam Konvensi Golkar tersebut dan kemudian maju bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jangkar utama pendukung, yakni Partai Demokrat yang baru saja didirikan menjelang pemilu. Dalam Pemilihan Umum 2004 itu, Partai Demokrat mencapai peroleh suara 7,45 persen dan berada di urutan kelima.

Merupakan fenomena menarik, bahwa pasangan SBY-JK yang didukung sebuah ‘partai kecil’ newcomer ini ternyata mengungguli Megawati-Hasjim Muzadi maupun Wiranto-Solahuddin atau Amien Rais-Siswono Judohusodo dan ‘underdog’ Hamzah Haz-Agum Gumelar. Agaknya SBY-JK sedang berada dalam fokus harapan publik yang saat itu seakan-akan berada dalam musim kemarau yang kering dari kepemimpinan yang baik. Kala itu memang tokoh-tokoh lain dan partainya masing-masing tampil mengecewakan dalam sepakterjang politik beberapa tahun terakhir. PDI-P yang katanya partainya wong cilik, justru seakan meninggalkan wong cilik pendukungnya setelah berkuasa. Sementara itu, Golkar dilanda perpecahan, seperti misalnya antara Fahmi Idris-Marzuki Darusman cs dengan lingkaran pendukung khusus Akbar Tandjung. Ketika kalah dalam Pemilihan Presiden, Wiranto mengutarakan kekecewaan bahwa Golkar (Akbar dan kawan-kawan) mendukung dengan setengah hati. Tapi pada pihak lain, banyak orang menilai kegagalan Wiranto lebih banyak ditentukan oleh masih kuatnya kenangan publik terhadap rekam jejaknya di masa lampau ketika menjadi bagian dari penguasa militer. Dalam pada itu, dalam opini publik, Amien Rais dalam banyak hal pada setidaknya setahun terakhir dianggap terlalu ‘kelebihan’ bicara dan terpeleset karenanya.

Pemilihan Presiden 2009 sepenuhnya menjadi milik Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun, kesangsian terhadap kepemimpinan penuh keraguan SBY, bukannya kecil sepanjang lima tahun terakhir. Partai pendukung utamanya yang mengalami pelonjakan perolehan suara hampir tiga kali lipat dari pemilihan umum sebelumnya, dari 7,45 persen menjadi 20,8 persen, berkoalisi dengan sejumlah partai yang umumnya beraroma politik Islam, membawa SBY bersama Boediono menjadi Presiden dalam satu putaran dengan melampaui pencapaian suara di atas 60 persen. Pencapaian angka mayoritas mutlak oleh SBY ini dengan segera mengingatkan orang kepada pencapaian angka-angka mayoritas yang dicapai Golkar –dan tentu saja juga kepada Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina kekuatan politik berlambang pohon beringin itu– di masa lampau. Apalagi, kemenangan itu dibayangi oleh kuatnya kecurigaan adanya kecurangan dalam pelaksanaan pemiluhan umum. Ini sama dengan pengalaman Golkar masa Orde Baru, nyaris seluruh kemenangannya dianggap diperoleh melalui pemilihan umum yang penuh kecurangan. Tapi terlepas dari itu, tampaknya Partai Demokrat di bawah SBY sedang menjelma sebagai pengendali hegemoni kekuasaan seperti Golkar di masa lampau, apalagi kasat mata saat ini begitu banyak orang-orang eks Golkar yang menjadi bagian dalam tubuh partai tersebut. Dan sama seperti Golkar, Partai Demokrat sangat ditentukan arah, tujuan dan sepakterjang politiknya oleh Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudhoyono, mirip dengan hubungan Soeharto dengan Golkar. Lebih dari itu, dalam persepsi banyak kalangan politik, belakangan ini SBY pun makin tampil dengan suatu pola kepemimpinan yang khas bernuansa pola kepemimpinan tradisional Jawa dan bukannya memilih pola kepemimpinan Indonesia atau setidaknya pola kepemimpinan Jawa yang lebih modern. Tapi tentu saja, persepsi seperti ini masih harus dianalisis lebih lanjut seraya menantikan kenyataan-kenyataan politik yang akan terjadi di masa mendatang ini.

Sementara itu, Partai Golkar sendiri –yang pada 20 Oktober 2009 ini berusia 45 tahun–  justru seakan sedang berjalan menuju titik nadir dan makin melemah dalam masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Apakah akan menuju titik lebih rendah lagi pada pemilihan umum berikut, ataukah berhasil diselamatkan Aburizal Bakrie, masih merupakan pertanyaan. Pencapaian Golkar dalam Pemilihan Umum 2009 ini merupakan titik terrendah dalam sejarah kekuatan politik itu, yakni 14,4 persen. Bergabung dengan Partai Hanura (yang hakekatnya terisi dengan sebagian besar eks kader Golkar), Golkar pun hanya berhasil menempatkan Jusuf Kalla-Wiranto di urutan ketiga dalam Pemilihan Presiden dengan pencapaian yang juga hanya belasan persen.

Momentum Historis dalam Kebekuan

KELAHIRAN Sekber Golkar pada tahun 1964 yang merupakan cikal bakal Partai Golongan Karya, adalah untuk mendobrak kebekuan dan kegagalan kehidupan sosial politik di bawah demokrasi terpimpin masa Soekarno. Dalam dua kurun waktu sebelumnya, yakni masa demokrasi parlementer sesudah Pemilihan Umum 1955 dan masa demokrasi terpimpin 1959-1965, kekuatan sosial politik yang ada belum berhasil menjalankan fungsi selaku alat demokrasi yang pas untuk kebutuhan Indonesia. Kepartaian pada dua kurun waktu tersebut sangat ideologistis sehingga terlibat dalam kegiatan yang semata-mata untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum 1971, tercipta momentum bagi Golkar untuk memperbaharui kehidupan politik yang ideologistis menjadi kehidupan politik yang diperbarui dan modern. Penempatan diri sebagai kekuatan pembaharu itu membuat Golkar menjadi menarik bagi kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat kala itu, terutama kalangan cendekiawan di masyarakat serta kalangan intelektual muda yang masih mempunyai ikatan dan basis yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Bersama kalangan militer yang berpikiran pembaharu, sejalan dengan hasil Seminar Angkatan Darat II serta unsur birokrasi yang sudah diperbaharui pula oleh pemerintahan baru Pasca Soekarno, kaum cendekiawan tersebut menjadi bagian yang menopang Golkar sebagai kekuatan politik yang berpotensi melahirkan kehidupan politik yang lebih baik dan bisa diharapkan untuk menegakkan demokrasi dengan altruisme.

Menghadapi pola yang ideologistis, Golkar dengan topangan tiga unsur utamanya, telah mendorong ke depan Pancasila dan UUD 1945 sebagai perangkat dan tema tengah yang bisa diterima oleh mereka yang tidak punya ikatan-ikatan ideologis. Golkar menarik kaum abangan yang membutuhkan perlindungan baru setelah merosotnya PNI, sebagaimana ia juga menarik kalangan beragama Islam yang berpikiran moderat dan tidak ideologistis, serta masyarakat lain yang tidak beragama Islam. Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut terakhir ini, selama bertahun-tahun ada dalam kecemasan dan himpitan pertarungan antara kecenderungan komunistis dan kecenderungan fundamental dalam Islam. Terdapat pula kelompok dalam masyarakat yang merasa tertekan oleh kekuasaan totaliter yang tidak demokratis di masa Soekarno, menerima Golkar sebagai alternatif penyelamat.

Dengan dukungan kokoh karena daya tarik yang menjanjikan pembaharuan, Golkar memenangkan 34 juta suara dari 57 juta suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1971, terlepas dari adanya ekses-ekses karena perilaku overacting dari sejumlah unsur pendukung Golkar. Kemenangan itu sendiri pada gilirannya mengalirkan lagi dukungan-dukungan baru untuk masa-masa berikutnya, mengikuti kecenderungan feodalistik dalam masyarakat, bahwa siapa yang berkuasa cenderung untuk menikmati dukungan-dukungan melimpah, kendati pun untuk sebagian besar dukungan itu bersifat temporer sejajar dengan life time dari kekuasaan itu sendiri. Suatu situasi kelimpahan dukungan serupa, tampaknya juga sedang dialami dan mengarus menuju SBY dan Partai Demokrat ketika menghadapi Pemilihan Umum 2009. Di sini, dalam situasi seperti itu, unsur kualitatif tidak lagi merupakan ukuran.

Sebenarnya, hanya dalam tempo yang tidak terlalu lama, dukungan berkualitas terhadap Golkar telah berakhir. Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme.

Peranan kaum cendekiawan yang potensil menjadi sumber modernisasi dalam kehidupan berpolitik, hanya ditempatkan sebagai pajangan untuk penciptaan opini. Kino-kino ‘pendiri partai’ yang seolah-olah representasi kaum sipil dari mula juga tak lain dari institusi-institusi yang dapat dikatakan kepanjangan klik-klik tentara di kalangan sipil. Dari waktu ke waktu pimpinan kharismatis dari Kino-kino faktual adalah para tentara atau mantan tentara. Sementara itu, kekuatan birokratis adalah kekuatan yang sangat tergantung kepada fakta siapa yang berkuasa, dialah yang berhak untuk mengendalikan kekuatan birokratis, cepat atau lambat. Maka kita melihat bahwa sepanjang puluhan tahun masa kekuasaan Soeharto, peranan dalam Golkar dipegang oleh kekuatan tentara (klik-klik tentara) dan kekuatan birokrasi (klik-klik birokrat). Sebagian dari klik-klik ini menjadi pelaku utama berbagai perilaku KKN, pelanggaran hak azasi manusia dan tindakan anti demokrasi’, ibarat hutang yang kelak ditagih rakyat.

Rekrutmen cendekiawan juga secara berangsur-angsur berubah dari pemikir menjadi rekrutmen perorangan cendekiawan yang dibutuhkan sebagai pemanis penampilan intelektual. Dan pada sisi lain, cendekiawan yang bergabung juga berangsur-angsur berubah menjadi perorangan-perorangan yang masuk untuk kepentingan khusus bagi dirinya, untuk target-target bisa terpilih jadi rektor atau terpilih mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, sebagai Dirjen, Gubernur dan terutama sebagai Menteri Kabinet. Masa pengharapan untuk tampilnya Golkar menjadi kekuatan politik motor pembaharuan dan modernisasi yang kualitatif, tidak melampaui akhir 1973 dan praktis berakhir menjelang Pemilihan Umum 1977. Bahwa senantiasa masih hidup upaya-upaya menampilkan kaum cendekiawan atau unsur generasi muda yang berkualitas, harus diakui tetap terjadi secara insidental, semisal pada periode 1982 hingga 1987. Tetapi rekrutmen legislatif pada Pemilihan Umum 1987 dan sesudahnya membuktikan bahwa upaya seperti itu gagal samasekali. Kalau toh cendekiawan (tepatnya perorangan dengan atribut-atribut kesarjanaan) masuk, yang terbanyak hanyalah bahwa perorangan yang berhasil masuk itu tak terlepas dari kaitan unsur subjektif, seperti putera-puteri pejabat atau putera-puteri tentara, dan sebagainya.

Berlanjut ke Bagian 2

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (5)

“Semacam teori pembusukan untuk mempercepat kejatuhan Soeharto yang telah memerintah terlalu lama”

DALAM pusaran peristiwa politik Mei 1998 di Indonesia, nama Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, ada dalam pusat perhatian dan keduanya senantiasa ditempatkan dalam posisi berseberangan. Saat itu, Jenderal Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI, sedang Letnan Jenderal Prabowo Subianto menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Dalam ringkasan eksekutif Laporan Akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), Bab V Analisa, dituliskan bahwa di bidang politik terjadi gejala yang mengindikasikan adanya pertarungan faksi-faksi intra elit yang melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat pada “isu penggantian kepemimpinan nasional”. Hal ini, “tampak dari adanya faktor dinamika politik seperti yang tampak dalam pertemuan di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 antara beberapa pejabat ABRI dengan beberapa tokoh masyarakat, yang menggambarkan bagian integral dari pergumulan elit politik”. Di samping itu dinamika pergumulan juga “tampak pada tanggung jawab Letjen TNI Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis”. Analisa ini, menurut laporan tersebut, semakin dikuatkan dengan fakta terjadinya pergantian kepemimpinan nasional satu minggu setelah kerusuhan terjadi, 13-15 Mei, yang sebelumnya telah didahului dengan dengan adanya langkah-langkah ke arah diberlakukannya Tap MPR No.V/MPR/1998.

Mengenai penculikan aktivis, di belakang hari dalam sidang Dewan Kehormatan Perwira, Letnan Jenderal Prabowo Subianto mengakui hanya menculik 9 orang dengan menggunakan aparat Kopassus, menjelang Sidang Umum MPR Maret 1998. Tetapi semua korban telah dibebaskan kembali beberapa waktu kemudian setelah Sidang Umum. Dengan demikian menjadi tidak jelas, siapa penculik 14 aktivis lain. Menurut Munir (almarhum korban pembunuhan politik) dari Kontras, Mayjen Sjafrie Sjamsoedin pernah mengakui memerintahkan beberapa penangkapan namun kemudian diserahkan ke kepolisian. Prabowo sendiri mengatakan adanya perintah atasan untuk melakukan ‘penculikan’ itu dan secara tidak langsung menyebutkan adanya pihak lain yang juga melakukan rangkaian ‘pengambilan paksa’. Apakah ‘pihak lain’ ini juga adalah faksi di tubuh ABRI sendiri? Melihat cara-cara penculikan, tampaknya memang ya. Dan apakah penculikan oleh faksi lain ini, yang korbannya pada umumnya tetap hilang hingga kini –sehingga diduga telah dibunuh– bertujuan untuk mengesankan bahwa penghilangan paksa itu juga dilakukan Prabowo atas perintah Soeharto (karena tak mungkin atas perintah Wiranto, mengingat hubungan tak nyaman di antara mereka)? Katakanlah, semacam teori pembusukan untuk mempercepat kejatuhan Soeharto yang kala itu telah memerintah terlalu lama.

Mengenai sebab pokok peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 itu sendiri, TGPF menyimpulkan, adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elit politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Dalam kaitan inilah, pertemuan Makostrad 14 Mei 1998, menurut TGPF, patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola pergumulan yang menunjuk pada kerusuhan yang terjadi. TGPF lebih jauh menyimpulkan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. “Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa”.

Laporan ini secara terbuka menunjuk ‘kelemahan’ operasi keamanan di Jakarta bertalian erat dengan keseluruhan pengembanan tanggung jawab Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoedin “yang tidak menjalankan tugasnya sebagai yang seharusnya”. Meskipun tidak menyebutkan nama Jenderal Wiranto, sebenarnya tanggungjawab dari kegagalan keamanan bagaimanapun tertuju kepada sang Panglima ABRI (TNI) ini yang juga sesuai rumusan “tidak melakukan tindakan apa-apa”. Pers asing maupun lokal, memang menyorot Wiranto dalam kaitan ‘kekosongan’ komando saat peristiwa terjadi. Far Eastern Economic Review, menyebutkan bahwa adalah mengherankan kenapa Jenderal Wiranto bersama pimpinan-pimpinan teras TNI justru terbang ke Malang, Jawa Timur, di pagi hari peristiwa kerusuhan hanya untuk menghadiri suatu acara parade. Padahal, tak mungkin Wiranto tidak memperkirakan dan atau tidak mengetahui besarnya kemungkinan meletusnya suatu peristiwa di Jakarta, yang bagi kalangan awampun sebenarnya sudah bisa dirasakan. Mengenai kekosongan komando ini, dalam bukunya yang ditulis Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan mengatakan, “Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan”. Tetapi, “kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional”. Belakangan, Wiranto –yang sempat ‘menyatukan’ kembali jabatan Menteri Hankam dengan jabatan Panglima ABRI di tangannya dalam kabinet terakhir Soeharto yang hanya berusia kurang dari dua bulan, setelah sejak lama dipisah– memberi klarifikasi bahwa dengan memiliki teknologi komunikasi yang canggih ketika itu, meskipun berada di luar Jakarta ia tetap memegang kendali komando. Dengan demikian tak bisa dikatakan ada kekosongan komando. Artinya, kegagalan penanganan masalah Jakarta saat itu, tetap merupakan tanggungjawabnya? Tapi sejauh ini tak pernah ada proses pertanggungjawaban resmi yang dilakukan.

Presiden Soeharto yang saat kerusuhan Mei 1998 terjadi sedang berada di ibukota Mesir, Kairo, mempercepat kepulangannya ke Jakarta dan tiba dinihari Jumat 15 Mei. Ia segera mengumpulkan para pembantunya, mulai dari Wakil Presiden, para menteri dan para jenderal pemegang komando keamanan untuk mendengar laporan lengkap peristiwa. Pagi-pagi keesokan harinya Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No.16 mengenai pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional –mirip Kopkamtib di masa lampau– dengan Jenderal Wiranto sebagai Panglima. Komando ini memiliki wewenang yang besar berdasarkan wewenang yang dimiliki Soeharto sebagai pengemban Tap MPR No.V/1998. Instruksi ini banyak diinterpretasikan sebagai semacam Surat Perintah 11 Maret 1996 yang dulu diperoleh Soeharto dari Soekarno.

Tetapi “ternyata sikap Wiranto tidak jelas”, demikian Sintong Panjaitan. “Seharusnya Wiranto menghimpun seluruh potensi Angkatan Bersenjata dan memimpin mereka untuk menjamin terwujudnya keamanan dan ketertiban. Tetapi perintah Panglima Tertinggi itu tidak dilaksanakannya”. Lebih jauh, kata Sintong, “Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi tetapi karena hal itu merupakan subordinasi, maka selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari”. Bahkan, menurut Sintong, setelah Wiranto menolak perintah Panglima Tertinggi ABRI, maka pada saat itu juga ia harus langsung mengundurkan diri. Agaknya Soeharto juga membaca ketidakjelasan sikap Wiranto, sehingga ia ini sempat menawarkan KSAD Jenderal Subagyo HS untuk memegang jabatan Panglima Komando baru itu mengganti Wiranto. Tetapi sikap dan jawaban Subagyo rupanya sama tidak jelasnya.

Mengutip Far Eastern Economic Review, Sinansari Ecip dalam buku Siapa “Dalang” Prabowo (Penerbit Mizan, 1999) menuliskan, bahwa menjelang pergantian presiden, ada yang lolos dari perhatian para demonstran, yakni “gerakan militer yang dikomandoi Wiranto”. Jadi alih-alih melaksanakan Instruksi Presiden, Wiranto, diam-diam bersama sejumlah jenderal menyusupkan pasukan dalam jumlah besar ke gedung DPR, guna menekan loyalis Soeharto agar berbalik menentangnya. Digambarkan juga bahwa para jenderal itu mendekati para pimpinan mahasiswa dan kemudian membiarkan para mahasiswa memasuki gedung tersebut. Beberapa mahasiswa menjadi terheran-heran karenanya. Cara ini, mengingatkan kepada peristiwa munculnya “pasukan tak dikenal” yang mendekati istana saat Soekarno memimpin Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Soekarno merasa tertekan. Dan kemudian lahirlah Surat Perintah 11 Maret yang merupakan awal peralihan kekuasaan ke tangan Jenderal Soeharto kala itu.

Pada sekitar waktu yang hampir bersamaan dengan ‘membuka’ pintu DPR bagi pendudukan oleh mahasiswa, di tempat lain Wiranto menggelar suatu konferensi pers, didampingi Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Di situ ia membantah isu bahwa ia akan mengumumkan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden. Ia malah mengecam pernyataan Ketua MPR/DPR Harmoko yang mendesak Soeharto mengundurkan diri, sebagai tindakan yang inkonstitusional. ‘Permainan politik’ yang dianggap cukup cerdik ini, menurut Marzuki Darusman –yang saat itu adalah Ketua Komnas HAM– dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review, merupakan suatu upaya Wiranto untuk menghindarkan Soeharto mengetahui adanya suatu kelompok dalam militer yang sedang bersatu untuk melawan dirinya. “Dia mencoba menjaga jarak dengan gerakan utamanya, untuk menciptakan kesan independen”.

Berlanjut ke Bagian 6

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (2)

Trauma dan ‘penganiayaan’ politik

Para penguasa baru pasca Soeharto, pun ternyata tak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi dan tak mampu menarik pelajaran dari sejarah, betapa pun mereka semua merasa paham sejarah dan sering mengulang-ulang pemeo ‘jangan lupakan sejarah’ atau ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’. Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputeri, dengan kadar yang berbeda-beda cenderung hanya mengulangi kekeliruan demi kekeliruan masa lampau, yang dilakukan Soeharto maupun yang dilakukan Soekarno. Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dinilai melakukan beberapa kekeliruan khas kalangan penguasa Indonesia dari masa ke masa. Bisa dicatat pula betapa Susilo Bambang Yudhoyono memiliki tipikal kepemimpinan khas Jawa, yang banyak kemiripannya dengan gaya Soeharto.

Kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan para penguasa baru pasca Soeharto maupun partai-partai politik di masa reformasi sebagai suatu realita kasat mata itulah yang menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah harus kembali menoleh kepada sumber militer?

Menjelang Pemilihan Umum pertama di masa reformasi pada tahun 1999, lahir ratusan partai baru, namun hanya 48 di antaranya yang lolos kualifikasi sebagai peserta.  Tiga di antaranya, adalah ‘reinkarnasi’ dari partai lama yakni PPP, PDI-P yang merupakan ‘hasil’ pecahan PDI dan Partai Golkar yang adalah jelmaan Golkar. Tiga partai ini termasuk dalam deretan partai-partai yang lolos ke DPR hasil pemilihan umum, dan menjadi teratas bersama beberapa partai baru seperti PKB, PAN dan Partai Keadilan. Masih terdapat beberapa yang lain berhasil menempatkan wakil-wakil di DPR seperti PBB, PDKB. Menarik untuk diamati bahwa dua partai urutan teratas, PDIP dan Partai Golkar memberi tempat yang amat layak pada tokoh-tokoh eks tentara, sederet jenderal purnawirawan, pada dewan pimpinan pusat mereka, ataupun sebagai ‘wakil rakyat’ di DPR. Fenomena ini berlangsung hingga pemilu-pemilu berikutnya. Di PPP misalnya ada antara lain Letnan Jenderal Purnawirawan Yunus Yosfia dan Muhammad Ghalib. Sementara di PDIP Theo Sjafei dan kawan-kawan senantiasa ada di posisi terhormat selaku pimpinan partai dari satu periode ke periode lainnya. Tetapi tak kurang pula banyaknya barisan jenderal purnawirawan yang gagal membawa suara signifikan untuk partai-partai yang ikut mereka tangani, seperti misalnya Jenderal Rudini dan Edi Sudradjad. Partai Keadilan yang di pemilihan umum 2004 kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera, dengan ‘basis’ Islam, adalah partai yang menonjol tidak ikut arus menerima kader ex tentara. Di situ hanya ada Soeripto SH yang pernah berkecimpung dengan kelompok tentara di masa lampau dalam kiprah di dunia intelijen.

Fenomena yang paling menarik tentu adalah yang terjadi di PDIP di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputeri. Partai ini lebih tertarik kepada sumber kader eks tentara daripada yang berasal dari kalangan perguruan tinggi. Tatkala Megawati, naik berkuasa sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang putus di tengah jalan, praktis barisan gerakan kritis mahasiswa menjadi salah satu penentang utamanya, sebagai jawaban terhadap sikapnya yang juga tidak bersahabat terhadap kelompok mahasiswa –padahal ia tiba pada posisinya, semula sebagai Wakil Presiden lalu Presiden, tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang berhasil membuat Presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila ia memiliki trauma terhadap ‘mahasiswa’ –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan Soekarno sang ayahanda dari kekuasaannya– semestinya iapun memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru adalah juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Namun sebaliknya, ia malahan banyak memberi konsesi kepada tentara tahun 2000-an. Agaknya Megawati tak menyukai gaya kritik ala mahasiswa. Dalam pada itu tokoh-tokoh ABRI (TNI) pasca Soeharto tidak pernah mengeritiknya melainkan aktif melakukan pendekatan pada dirinya, terutama sebagai Presiden incumbent hingga tahun 2004.

Salah satu bentuk akomodasi Megawati terhadap para jenderal adalah dipertahankannya beberapa jenderal purnawirawan ex kabinet Abdurrahman Wahid dalam kabinetnya, yakni antara lain Susilo Bambang Yudhoyono dan Agum Gumelar yang sempat diparkir atau memarkir diri menjelang usaha dekrit Presiden Abdurrahman Wahid.

Dua jenderal ini sama-sama maju ke kancah Pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali di tahun 2004 sebagai pesaing Megawati. Agum Gumelar menjadi kandidat Wapres pasangan Hamzah Haz (ex Wapres pendamping Mega). Tetapi yang paling menarik perhatian adalah tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing Megawati dalam kancah itu. Semula, ada semacam ‘rancangan’ bersama untuk menjadikan SBY sebagai calon Wapres bagi Mega, tetapi gagal karena terjadi beberapa kecelakan komunikasi. Pada masa-masa akhir masa pemerintahan Mega, SBY yang menduduki posisi Menko Polkam, berkali-kali tak lagi diikutsertakan dalam rapat kabinet menyusul isu ketidakcocokannya dengan suami Mega, Taufik Kiemas. ‘Pengucilan’ SBY ditambah serentetan pernyataan serangan pribadi atas dirinya dari Taufik Kiemas menimbulkan kesan terjadinya penganiayaan politik, yang justru menjadi blessing in disguise bagi SBY berupa aliran simpati yang besar. Masyarakat pada sekitar saat itu amat sensitif terhadap korban penganiayaan dan akan cenderung membela yang ‘tertindas’. Megawati sendiri menjadi terapung karena faktor emosional seperti itu, ketika ia terkesan mengalami penindasan politik rezim Soeharto, yang mengalirkan dukungan simpati politik bagi dirinya.

Salah satu puncak penindasan terhadap Megawati adalah penyerbuan dan pendudukan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro oleh massa ‘PDI’ yang didukung dari belakang oleh kekuatan militer rezim Soeharto pada Peristiwa 27 Juli 1997. Menarik bahwa tatkala penyerbuan berlangsung, Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Kastaf Kodam Jaya dicatat kehadirannya tak jauh dari lokasi peristiwa. Akan tetapi dikemudian hari, kehadiran ini tidak dipermasalahkan lanjut karena mantan atasannya, Panglima Kodam Jaya, Sutiyoso membentengi dengan menyatakan bahwa seluruh tanggungjawab komando ketika itu ada di tangannya dan SBY tidak turut campur sehingga dengan demikian tidak bersalah.

Dalam kancah Pemilihan Presiden 2004, Megawati tampil didampingi Hasyim Muzadi Ketua Umum PB-NU sedang Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah sempat menunggu-nunggu konfirmasi Mega untuk posisi nomor dua, akhirnya maju sebagai pesaing berpasangan dengan Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha. Sebagai kendaraan politik utama, SBY membangun Partai Demokrat sebelumnya. Bersamaan dengan itu tampil juga seorang jenderal lain, yakni Wiranto, mantan Panglima ABRI yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto, berpasangan dengan Solahuddin Wahid yang juga berlatar-belakang NU dan kebetulan adik kandung Abdurrahman Wahid.  Wiranto tampil setelah memenangkan konvensi Golkar, antara lain dengan menyisihkan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Prabowo Subianto yang pernah ‘tinggal kelas’ karena satu masalah di Akabri adalah adik kelas Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun 1973 adalah Komandan Taruna dan menjadi lulusan terbaik Akabri tahun itu. Masa pendidikan mereka berdua di Akabri kala itu, adalah masa yang khas karena saat itu Gubernur Akabri dijabat oleh seorang jenderal legendaris masa transisi 1965-1966, Mayor Jenderal (waktu itu) Sarwo Edhie Wibowo yang dikenal sebagai jenderal berintegritas tinggi. Bertiga, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono dan Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah barisan jenderal idealis yang dihormati kalangan perjuangan 1966, namun kemudian perlahan-lahan satu persatu disisihkan oleh Soeharto dari kekuasaan. Tanpa mereka, kekuasaan di tangan rezim militer pasca Soekarno di bawah Jenderal Soeharto pun berangsur-angsur menyimpang dari jalan lurus dan memasuki masa-masa penuh intrik, tekanan dan rangkaian penganiayaan politik.

Berlanjut ke Bagian 3

Kini, Kisah Tiga Jenderal:Jejak Rekam Masa Lampau (1)

– Rum Aly

SERPIHAN bom di Mega Kuningan untuk sebagian juga terlontar masuk ke ruang politik praktis –yang temperaturnya tak ikut turun bersama usainya pemilihan presiden 8 Juli 2009– dan menciptakan rentetan ledakan baru di sana. Sementara itu, indikasi yang ditunjukkan sidik forensik yang ditemukan penyelidik kepolisian di sekitar lokasi peristiwa pemboman Marriot-Ritz Carlton tampaknya berjalan menuju arah yang berbeda dengan indikasi berdasarkan laporan intelijen yang dikutip Presiden kemarin, Jumat 17 Juli. Mengasumsikan bahwa kedua sumber indikasi punya kadar reliability yang sama, dengan sedikit menyederhanakan pemikiran, kita bisa mengatakan pada hakekatnya ada dua peristiwa berbeda namun bersatu dalam satu ‘ledakan’. Sampai, ada fakta lanjutan yang bisa menunjukkan bahwa kedua soal itu, yakni pemboman dan kekecewaan terhadap pilpres, ternyata berkaitan dalam satu hubungan sebab-akibat.

Terlepas dari itu, sebenarnya ada ‘detil kecil’ menarik dalam penyampaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selepas Jumat siang itu. Presiden menggunakan penyebutan intelijen yang ‘ada di pihak pemerintah’. Apakah percikan ‘refleks’ ini berarti ada intelijen yang bukan di pihak pemerintah? Ini menjadi menarik, bila dikaitkan bahwa dalam kancah pemilihan presiden yang baru lalu ini, ada tiga jenderal –purnawirawan dengan pengaruh dan atau sisa pengaruh tertentu yang dapat dipastikan tidak kecil– di antara enam tokoh yang maju sebagai kandidat calon presiden atau wakil presiden. Di masa lampau, sepanjang yang dapat dicatat, ada sejarahnya bahwa tidak selalu jaringan intelijen ada dalam kendali resmi pemerintah, melainkan bisa di bawah kendali perorangan atau kelompok militer tertentu yang ada di dalam kekuasaan. Salah satu contoh paling klasik adalah jaringan Opsus (Operasi Khusus) di bawah Ali Moertopo di masa awal orde baru. Dan dibelakang Ali Moertopo ada nama Pater Beek, yang sebenarnya seorang biarawan namun berpengalaman dan berkemampuan operasional khusus dengan kategori excellent.

Apakah di luar SBY yang adalah Presiden incumbent, kedua jenderal yang lain, Wiranto dan Prabowo Subianto, juga punya jaringan intelijen yang aktif dan atau telah diaktivasi kembali untuk kepentingan politik masing-masing? Sekedar melihat bahwa di sekeliling dua jenderal itu memang terdapat sejumlah purnawirawan tokoh militer dengan kategori ‘terkemuka’ di masanya masing-masing, dan beberapa di antaranya pernah memangku jabatan di lembaga-lembaga intelijen, secara awam dapat dikatakan bahwa bagaimanapun ada jaringan semacam itu atau setidaknya ada cara dan metode intelijen yang digunakan sebagai penopang dalam berpolitik. Hal yang sama tentu terjadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono, yang bahkan punya akses kuat terhadap intelijen ‘incumbent’. Artinya, di belakang pertarungan politik yang baru lalu ini terjadi pula semacam ‘perang’ intelijen? Barangkali, ya. Kalau ya, memang ya, karena ini semua ciri gaya militer dalam berpolitik, bukan gaya pertarungan politik kaum sipil yang lebih pandai dalam pertarungan adu mulut saja –dari yang etis sampai yang tak etis samasekali. Tempo hari, militer yang berpolitik sering dijuluki politician in uniform, sedangkan politisi sipil dari partai disebut sebagai ‘tukang kecap’ dan tak pernah ada kecap yang tidak nomor satu.

Pada awal bergulirnya reformasi, peranan politik kelompok-kelompok militer, secara kuat ditekan oleh berbagai kekuatan politik dan kekuatan lainnya dalam masyarakat. Nyaris-nyaris tiba ke titik nol, terbalik sama sekali dengan masa ‘kegemilangan’ penerapan Dwifungsi ABRI, yang memberikan peranan dan fungsi sosial politik yang besar kepada ABRI (kini TNI) selain peranan dan fungsi pertahanan-keamanan yang sudah begitu kuatnya. Sedemikian besar fungsi sospol yang dimiliki sehingga ada masa di mana posisi-posisi penting di kabinet dan pemerintahan serta jabatan-jabatan gubernur, bupati/walikota, pimpinan badan usaha milik negara dan lain sebagainya hampir-hampir habis diborong tak bersisa bagi kaum sipil.

Ternyata kaum sipil yang seakan-akan berhasil merebut tempat utama dalam kehidupan politik sesudah berakhirnya masa kekuasaan Soeharto –dan dengan demikian juga diharapkan dalam pengelolaan kekuasaan negara– tidak cukup memiliki kepercayaan diri dan pada akhirnya kembali menoleh kepada sumber-sumber militer. Fenomena ini menguat menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Presiden secara langsung di tahun 2004 dan makin kokoh pada tahun 2009. Niatnya, kira-kira bagaimana kini ‘memperalat’ militer, tapi nyatanya bisa juga terbalik kemudian. Berikut ini, beberapa cuplikan catatan lama tentang perilaku partai dan kekuatan sipil lainnya tatkala mendapat kesempatan mengelola kekuasaan negara setelah 1998 (yang untuk sebagian diangkat dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Partai-partai dan kekuatan-kekuatan politik aktual yang berperan setelah 1998 –baik yang memiliki kaitan sejarah dengan partai-partai atau kekuatan politik masa orde baru maupun yang muncul melalui peluang baru masa reformasi– ternyata lebih kuat kecenderungannya kepada subjektivitas hasrat kekuasaan untuk dirinya sendiri daripada memperjuangkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Kerapkali keburukannya sulit dibedakan dengan tentara di waktu lalu, hanya saja mereka tak bersenjata di tangan, tetapi pada hakekatnya sama-sama haus dan mengutamakan kekuasaan untuk diri sendiri. Sehingga, sulit untuk diharapkan sepanjang mereka semua tidak punya kemauan melakukan perubahan signifikan dalam dirinya masing-masing. Dan itu tetap sama keadaannya hingga tahun 2009 ini, terutama di saat sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia sedang menderita ‘kesakitan sosiologis’ seperti sekarang: mudah dibeli sehingga gampang merubah ‘kesetiaan’, mudah diperalat, mudah diprovokasi, mudah diadudomba, mudah marah tapi mudah pula putus asa, malas berpikir dan seakan-akan sudah kehilangan persepsi, dan sebagainya. Ada daftar panjang untuk hal ini.

Fenomena sikap para pemegang kekuasaan baru pasca Soeharto, yang berasal dari kalangan sipil, yakni sampai naiknya Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatarbelakang militer, mungkin bisa dipahami hanya dari fakta bahwa kehadiran mereka pada garis besarnya tidak diawali dengan kuat oleh suatu perjuangan idealistik. Katakanlah, misalnya, perjuangan idealistik berupa suatu inisiatif menjalankan proses pembaharuan secara konseptual, atau perjuangan menegakkan demokrasi yang mendasar, melainkan sekedar terseret peralihan ataupun korban ‘perlawanan’ (kalau memang ada perlawanan, karena pusat perlawanan ada di ‘tempat’ atau di tangan orang lain) –untuk tidak menyebutnya sekedar korban dengan berbagai lekatan sisa sindroma– terhadap penindasan rezim sebelumnya. Tatkala penindas perlaya, mereka yang pernah diinjak – seperti semut, namun tak sempat menggigit– boleh naik dan mungkin saja merasa berhak untuk ‘menginjak’ atas nama dan dalih apapun.

Berlanjut ke Bagian 2

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (5)

Soeharto, janji yang tak pernah dipenuhi

Pada bulan Agustus 1970, aksi anti korupsi makin marak. Bukan hanya mahasiswa Bandung dan Jakarta yang bergerak, tapi juga Yogya, Surabaya dan Makassar serta Medan. Akan tetapi memang yang selalu menjadi bahan berita utama adalah Bandung dan Jakarta. Komite Anti Korupsi yang dimotori Arief Budiman merencanakan malam tirakatan 15 Agustus di jalur hijau jalan MH Thamrin. Tapi rencana itu dilarang oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro. Kopkamtib ini dalam waktu yang singkat memang betul-betul makin menunjukkan taring dan aumannya, dan menjadi lembaga yang ditakuti karena kewenangannya yang luas dan bisa menangkap siapa saja dan kapan saja cukup dengan tuduhan ‘mengarah subversi’. Larangan itu dilontarkan Jenderal Soemitro seraya melontar ancaman akan mengirim pasukan bila tirakatan tetap dilaksanakan Arief Budiman dan kawan-kawan. Digambarkan bahwa waktu itu Arief tetap bersikeras ingin melaksanakan niatnya, meskipun ada beberapa kawannya yang agak gentar juga, sehingga diperhitungkan akan terjadi bentrok bila tak ada satu pihak yang bersedia mengalah.

Akan tetapi, tampil Gubernur DKI Ali Sadikin –seorang Jenderal Marinir, dulu disebut KKO atau Korps Komando– turun tangan memberi jalan tengah, untuk mencegah apa yang dikatakan akan menyebabkan bentrok. Mahasiswa ditawarkan untuk melaksanakan malam tirakatan di rumah masing-masing dan Ali Sadikin yang populer bagi warga Jakarta saat itu menjanjikan akan memadamkan lampu selama lima menit malam itu di seluruh Jakarta. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta menerima jalan tengah ini dan betul-betul bermalam tirakatan di tempat masing-masing. Komite Anti korupsi (KAK) dua hari sebelum 15 Agustus 1970 memutuskan menerima usulan Ali Sadikin. Namun W.S. Rendra penyair Mastodon dari Yogya yang bukan warga Jakarta dan merasa bukan anggota KAK –sehingga merasa tidak terikat dengan keputusan KAK– tetap datang ke Jalan Thamrin pada pukul 21.00. Bersama beberapa rekannya sesama seniman yakni Azwar AN, Nazhar, Djuffri Tanissan, Gunawan Muhammad, Bur Rasuanto, Hutasoit dan JE Siahaan, ditambah ekonom muda Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti, turun ke jalur hijau Jalan Thamrin di depan Wisma Warta. Mereka duduk dengan tenang di sana dalam suatu lingkaran, kemudian berdoa, bertirakatan. Dan langsung ditangkap setengah jam kemudian. Rendra digiring ke mobil petugas, diikuti Azwar dan Hutasoit, dibawa ke Kodim (Komando Distrik Militer) Jakarta Pusat sebelum dibawa ke Skogar (Staf Komando Garnisun). Beberapa teman tirakatannya dan eksponen KAK termasuk Akbar Tandjung menyusul ke Skogar, tapi malah juga ikut diperiksa.  Mereka dibebaskan pada pukul 02.30, kecuali Akbar Tandjung dan Dorodjatun yang masih “diperlukan”, dan ikut diinapkan semalam bersama Rendra. Mereka baru dibebaskan keesokan siangnya pukul 15.00.

Setelah terjadi serangkaian gejolak mahasiswa, DPRGR tanggap juga akhirnya. Pada bulan September lembaga yang ‘telah dibersihkan’ dari sisa-sisa Orde Lama ini menyelenggarakan diskusi untuk membahas Rancangan Undang-undang Anti Korupsi. Insiatif DPRGR ini sedikit-dikitnya berhasil juga meredam sementara aksi-aksi mahasiswa, yang mungkin saja sudah merasa telah didengar tuntutannya. Dan untuk selanjutnya, tampaknya gerakan anti korupsi telah bertukar menjadi “susun segera Undang-undang Anti Korupsi”. Pada pertengahan Agustus sebelumnya, dalam pidato kenegaraannya selain menganjurkan agar pembahasan Rancangan Undang-undang Anti Korupsi dipercepat pembahasannya, Soeharto pun berjanji “Pemberantasan korupsi akan saya pimpin langsung”. Suatu janji yang tak pernah dipenuhi, untuk tidak mengatakan sebaliknya. Perlu dicatat, tak ada Presiden Indonesia, yang tidak pernah berjanji memberantas korupsi. Namun, korupsi seakan telah masuk ke dalam perspektif keabadian.

Berikutnya di kolom ini: Rangkaian kisah tentang persahabatan birokrasi dengan korupsi.

Perspektif Sejarah dan Sudut Pandang Baru Mengenai Kekuasaan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

 

SETIDAKNYA ada empat kurun waktu kekuasaan negara yang ‘penting’ telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia setelah masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955 hingga 2006. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh kekuatan partai Nasakom dan militer. Ketiga, masa demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung.

Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dan masa Demokrasi Pancasila di bawah Soeharto, kepastian dan jaminan –untuk mencapai suatu stabilitas kekuasaan– merupakan nilai politik tertinggi. Kini, pada masa yang disebutkan sebagai masa reformasi, bukan lagi kepastian dan jaminan seperti itu yang menjadi nilai politik tertinggi, melainkan peluang dan kemerdekaan menjalankan hak dan kewajiban sebagai nilai politik tertinggi. Situasi bergeser menjadi situasi di mana ketidakpastian sebagai norma, namun tanpa perlu menghilangkan kepastian dasar yang berupa jaminan negara terhadap hak azasi manusia, yang merupakan salah satu tujuan dasar demokrasi. Jaminan dasar itu adalah untuk melindungi warganegara dari pasar yang sangat kejam terhadap orang-orang berposisi lemah dalam sistem yang bebas.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden hasil pemilihan umum 2004 secara langsung, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan demikian menjadi simbol dari situasi dengan ketidakpastian sebagai norma. Situasi dengan ketidakpastian sebagai norma seperti itu kerap menimbulkan kesan berjalannya satu kekuasaan yang ragu-ragu. Terutama bila dilakukan perbandingan secara tidak adil dengan dua kekuasaan masa lampau yang ‘kuat’ karena memang dijalankan secara otoriter. Sementara itu, saat ini dengan amandemen terhadap UUD 1945, kekuasaan memang lebih dimaksudkan untuk dijalankan secara kolektif dan bukan dalam kualitas tunggal. Setidaknya semua ini dapat menjadi catatan bagi SBY dan JK yang kini sedang ‘bertarung’ memperebutkan posisi nomor satu bersama Mega.

Setiap kualitas kekuasaan tersebut, tentu saja memiliki dilema. Di masa lampau, kekuasaan yang otoriter, memang lebih menjamin stabilitas untuk jangka waktu tertentu, namun pada sisi lain membenamkan aspek hak azasi manusia. Kini, aspek hak azasi manusia itu relatif mendapat ruang yang lebih lapang, meskipun belum sepenuhnya bersih dari sisa karakter masa lampau. Tetapi, pada sisi lain muncul kecemasan sebagai akibat penampilan kekuasaan yang terkesan ragu-ragu, sehingga dianggap lamban dan menimbulkan tanda tanya akan kemampuannya justru di tengah meningkatnya ekspektasi masyarakat dalam berbagai masalah. Pengertian kekuasaan di sini, tidak hanya menyangkut Presiden dengan kabinetnya, melainkan juga mencakup kekuasaan legislatif maupun judikatif.

Pemahaman dan kesepahaman apa yang bisa dicapai terhadap perkembangan ini ?

Sebagai kekuatan, tiga unsur dalam demokrasi itu, yang kerapkali juga menyebutkan pers sebagai kekuatan keempat, dengan sendirinya berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Nusantara, meminjam pandangan Clifford Geertz, seperti disebutkan pada bagian lain rangkaian tulisan ini, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan. Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok intelektual dan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok kaum intelektual dan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Kehidupan politik dan kekuasaan sebagai bagian dari kegagalan sosiologis Indonesia, belum juga berada dalam suatu situasi ideal. Peranan kaum intelektual, akan selalu diperlukan dalam situasi yang menyimpang. Meskipun, pada sisi lain harus juga diakui adanya gejala intellectual prostitution akibat erosi mental karena situasi sosiologis yang sakit dan kuatnya godaan kenikmatan kekuasaan dan hedonisme di masa tak menentu ini. Dalam suatu situasi antusiasme yang berlebihan ketika menjadi partisan, seperti yang tampak di tahun 2009 ini, kaum intelektual (tua maupun muda) kembali bisa tergelincir ke dunia prostitusi jenis khusus ini. Persaingan keras secara internal untuk mendapat posisi ‘lingkaran dalam’ di seputar tokoh puncak (atau kandidat tokoh puncak) kekuasaan, menjadi salah satu faktor pendorong bagi terjadinya aksi ‘antusiasme’ berlebihan itu.

Karena pers pada saat ini, dengan hanya sedikit pengecualian, juga tidak bebas dari penularan kesakitan kegagalan pembangunan sosiologis, maka pada waktu yang sama pers pun menjadi tidak sepenuhnya reliable dalam menyuarakan kepentingan  kebenaran. Aspirasi dan suara kritis kaum intelektual serta mahasiswa sebagai kelompok intelektual muda, dengan demikian takkan mungkin memperoleh kanal yang normal, apalagi bila itu akan mengganggu kepentingan kekuasaan politik ataupun kekuasaan ekonomi –yang umumnya kini menjadi pemilik media massa. Apalagi pers Indonesia saat ini pada umumnya memang lebih merupakan komoditi bisnis daripada institusi idealistik. Harus ada penyadaran agar pers kembali mengambil peran sebagai saluran aspirasi untuk menjangkau dan membawa pemikiran-pemikiran jujur dan objektif ke tengah masyarakat.

 

Indonesia Dalam Perspektif Kegagalan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

RAJA-RAJA pertama di negeri kepulauan yang kemudian bernama Indonesia ini, menurut legenda, banyak di antaranya adalah para penguasa yang turun dari langit. Kharisma kelangitan yang mereka bawa serta tatkala turun ke bumi ini dengan serta merta telah memberikan hak sebagai pemimpin dan penguasa yang tak tersanggah lagi sebagai dasar eksistensi. Tetapi menurut sejarah kefeodalan, manusia-manusia yang menjadi pemimpin yang bergelar datu dan kemudian disebut raja, naik menjadi penguasa tak lain karena kekuatan dan otot di samping keberanian yang mungkin saja melebihi yang lain. Dan sesudah berkuasa, para datu dan raja ini kemudian menciptakan mitos dan legenda yang berguna dalam rangka penciptaan kelanggengan kekuasaan sebagai dinasti. Bagaimana mitos tercipta ? Seorang raja suatu ketika menyeberangi sungai dengan permukaan air setinggi manusia. Sang raja tegak di atas sebentang panggung kayu yang empat sudutnya dijunjung para hamba. Satu generasi setelahnya, sang raja tergambarkan sakti mandraguna dan mampu berjalan di atas air.

Dalam pusaran arus ke masa depan, menurut garis logika dan konsistensi, secara normatif sejarah memberikan pembelajaran dan menyajikan pilihan-pilihan bagi suatu bangsa untuk berbuat lebih baik daripada masa lampau. Dengan memasuki proses pembelajaran dan arus dinamika kesejarahan –yang mengharuskan kita untuk mencari kebenaran sejarah– kita tak hanya akan memperoleh sekedar catatan kebenaran sejarah, melainkan juga pemahaman dan pengertian yang dinamis terhadap sejarah. Dan karenanya, memperoleh pemaknaan yang lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Tetapi apakah untuk konteks Indonesia, pemahaman dan pengertian yang dinamis itu telah tertampilkan, sehingga dengan itu dapat ditemukan kemajuan berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses politik dan implementasi kekuasaan secara bermakna? Mulai dari masa feodalisme, masa dalam cengkeraman kolonialisme hingga masa pencarian jati diri sebagai bangsa dan memerdekakan diri, lalu memaknai kemerdekaan itu dalam tindakan menuju ke masa depan?

Secara empiris, terlihat bahwa para pelaku dalam proses kehidupan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik dan pengelolaan kekuasaan negara, belum berhasil dengan baik masuk ke dalam arus dinamika kesejarahan dalam rangka pembelajaran. Jangankan untuk memperoleh pemahaman dan pengertian yang lebih dinamis, sejauh yang dapat dicatat, bahkan dalam upaya lebih mendekati kebenaran sejarah pun telah terjadi kegagalan yang cukup signifikan. Sehingga, bila kita mencoba menarik benang merah sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, kita akan menemukan posisi Indonesia yang lebih banyak berada dalam perspektif kegagalan dan hanya di tepi-tepi keberhasilan –untuk tidak mengatakannya berada di luar batasan keberhasilan. Dan yang bisa dilakukan dalam situasi itu tak lain hanyalah mencoba membangkitkan Indonesia dalam perspektif pengharapan.

SETELAH masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955-hingga 2006, terdapat setidaknya empat kurun waktu kekuasaan negara yang penting, yang telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh militer dan kekuatan partai-partai Nasakom. Ketiga, masa yang diberi nama Demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung. Adalah menarik bahwa keempat kurun waktu itu memiliki pertautan sebab dan akibat satu dengan yang lainnya. Sekaligus juga setiap kurun waktu itu satu sama lain kerap memiliki persamaan sekaligus kontradiksi: perulangan sejarah sekaligus pembalikan sikap dan perilaku, khususnya dalam kaitan kekuasaan. Kurun waktu demokrasi terpimpin dengan kepemimpinan yang otoriter, merupakan reaksi terhadap praktek liberalistis antara 1955-1959. Sementara itu, tujuan semula dari penegakan Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila adalah mengoreksi kesalahan cara menjalankan kekuasaan masa Nasakom, untuk kemudian dikoreksi lagi melalui gerakan reformasi 1998, justru karena mengulang kembali perilaku otoriter. Dan pada masa reformasi, terdapat gejala perulangan kecenderungan perilaku yang di satu sisi mengutamakan sekedar aspek kebebasan dalam berdemokrasi seperti pada masa demokrasi parlementer, tetapi pada sisi lain tampil berbagai perilaku otoriter. Sebelumnya, gejala perulangan terjadi antara masa kekuasaan Soekarno 1959-1965 dan masa kekuasaan Soeharto 1967-1998, dalam hal sikap otoriter dan pemitosan pemimpin serta perilaku korupsi dan ketidakadilan. Dalam fase peralihan, kedua kurun waktu itu mulanya secara kuat diwarnai sikap pembalikan diametral yang dikotomis dalam slogan Orde Baru menghapus Orde Lama, sepanjang 1966 hingga kwartal pertama 1967.

Pertautan sebab dan akibat antar periode sejarah politik dan kekuasaan, dalam pola koreksi –tepatnya, proses pembalikan– satu terhadap yang lain, senantiasa ditandai perubahan kekuasaan melalui insiden dan accident dalam wujud ‘kecelakaan sejarah’. Periode demokrasi parlementer diakhiri melalui fait accompli yang berupa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan dukungan militer dan partai-partai berpaham totaliter, melahirkan masa kekuasaan otoriter hingga September 1965. Pada 30 September dan 1 Oktober 1965, terjadi insiden berdarah yang disusul oleh malapetaka sosiologis berupa mass murder dalam pola paksaan situasi ‘didahului atau mendahului’. Kecelakaan sejarah ini menandai perubahan ke arah terbentuknya kekuasaan otoriter baru di bawah Soeharto dengan dukungan militer. Lalu, perubahan masa otoriter Soeharto ke masa reformasi juga harus melalui rentetan insiden berdarah yang mengambil korban jiwa di kalangan mahasiswa, peristiwa penjarahan serta kerusuhan massal yang antara lain menelan korban di kalangan etnis Cina –termasuk pembunuhan dan pemerkosaan– selain di kalangan massa pelaku itu sendiri serta masyarakat pada umumnya. Beberapa nama tokoh yang muncul dalam pusaran peristiwa di tahun 1998 ini –namun tak pernah melalui proses klarifikasi formal untuk mendalami kebenaran ataupun ketidakbenarannya– kini tampil dalam ajang pemilihan presiden-wakil presiden 2009.

Selain pola perulangan sejarah dalam nuansa kesalahan yang sama, perubahan-perubahan yang ditandai fait accompli, kekerasan dan insiden berdarah, problematik lain yang dihadapi Indonesia merdeka adalah masih kuatnya dua sistem nilai yang merupakan warisan masa lampau. Yang pertama adalah nilai-nilai yang berasal dari masa feodalisme, terutama feodalisme Jawa yang diadopsi dari Hinduisme. Dan yang kedua adalah nilai-nilai yang terbentuk pada masa kolonialisme di Indonesia, yang selain menciptakan nilai-nilainya sendiri, dalam banyak hal juga ‘memelihara’ dan mengukuhkan nilai-nilai feodalisme. Nilai-nilai feodalisme Indonesia, sarat dengan tatacara dan tujuan mempertahankan kedudukan kaum penguasa dan sebaliknya menempatkan rakyat dalam posisi yang lemah. Sementara itu, nilai-nilai yang ditumbuhkan pada masa kolonial di Nusantara, sarat dengan tatacara dan tujuan untuk mempertahankan hegemoni ‘barat’, baik dalam politik, ekonomi maupun secara kultural.

PROSES pembaharuan dan pencerahan Indonesia menurut pengalaman empiris, senantiasa mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya secara tuntas karena kuatnya tarikan sistem nilai warisan nilai dari masa lampau tersebut. Salah satu aspek dari sistem nilai lama yang menonjol, khususnya feodalisme, adalah penempatan hegemoni kekuasaan pada kedudukan teratas. Dan kekuasaan dalam sistem feodal telah menempatkan para penguasa dalam segala keistimewaan dan limpahan kenikmatan dengan aspek pertanggungjawaban kepada rakyat yang nyaris tidak diperlukan. (Lihat juga Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau).

Dalam catatan sejarah Indonesia modern sejauh ini, telah tercatat kehadiran setidaknya enam pimpinan nasional dalam kedudukan selaku presiden. Dua pemimpin nasional yang pertama, Soekarno dan Soeharto, mengawali kehadirannya –setidaknya sebagaimana yang dinyatakan secara formal– dengan tujuan-tujuan pembaharuan dan pencerahan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi ketika berada di puncak kekuasaan, mereka mengalami tarikan yang kuat dan tergoda untuk kembali kepada nilai-nilai warisan masa lampau yang lebih memberikan kenyamanan kekuasaan. Sementara itu, sejumlah tokoh nasional lain yang bersikukuh dengan upaya pembaharuan dan pencerahan untuk meninggalkan nilai-nilai warisan masa lampau, seperti misalnya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, tersisih dalam proses kehidupan bernegara. Seterusnya, catatan sejarah Indonesia menunjukkan betapa pemimpin-pemimpin ideal memang senantiasa tersisih dalam proses kehidupan bernegara. Karena, yang bisa bertahan dan tampil berkuasa adalah mereka yang mampu menggunakan otot dan memainkan instrumen nilai-nilai feodalistik yang menjanjikan kenikmatan kekuasaan kepada para pengikut. Empat tokoh yang kemudian ganti berganti tampil, 1998-2009, menjadi pimpinan tertinggi kekuasaan negara, umumnya lahir dari situasi yang tidak idealistik melainkan dari situasi penuh sekedar retorika politik, janji-janji maupun intrik perebutan kekuasaan.

Semua keadaan ini, bagaimanapun, telah menempatkan Indonesia lebih berada dalam perspektif kegagalan, bukan dalam perspektif keberhasilan. Keberhasilan masih harus diperjuangkan dalam kerangka perspektif pengharapan. Dalam perspektif pengharapan ini, ‘barangkali’ pendidikan dalam arti yang luas dan bukan dalam pengertian sekedar pengajaran, menjadi alternatif solusi dalam rangka pembaharuan dan pencerahan. Selama ini Indonesia gagal dalam menjalankan pendidikan dalam artian yang luas itu, dan pada waktu yang bersamaan sepanjang catatan yang ada, kehidupan kepartaian dan organisasi kemasyarakatan –bahkan melalui organisasi kemasyarakatan bidang agama sekalipun yang seharusnya menjadi pusat kemuliaan dalam kebenaran– tidak menunjukkan kontribusi bermakna dalam pendidikan politik, bernegara dan bermasyarakat dengan baik dan benar.