Tag Archives: Jenderal AH Nasution

Kisah Tiga Jenderal dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (2)

“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana”.

TERDAPAT sejumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai Pangti ABRI –suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun punya akses langsung dengan Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya. Tetapi ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh sejumlah jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September 1965 selalu ‘tembak langsung’ menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang punya akses terhadap Soekarno, dan bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada Yani, dan banyak kali juga tidak.

Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno setelah Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan Amirmahmud adalah bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, tetapi masih lebih lambat dibandingkan sejumlah Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1 Oktober, ketika Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir. Menurut informasi Munadi kepada Jenderal Nasution kemudian, ketidakhadiran itu disebabkan sang panglima didatangi oleh Ketua PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.

Ketika Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya menimbulkan tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono serta Letnan Kolonel Urip Widodo.

Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud  menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. Tetapi, agaknya ini justru menjadi hikmah pula baginya, karena sedikitnya ia makin mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan adalah karena peranannya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong ‘terang benderang’.

Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah bahwa ia tidak termasuk di antara para jenderal yang ‘fasih’ berbahasa Belanda dan menggunakan bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno, setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat ‘gelar’ dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yakni sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya ketika ia masih bertugas di Divisi Siliwangi sebelum bertugas di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang pendidikan baik, melebihi divisi yang lain pada umumnya. Percakapan sehari-hari di antara kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat lazim menggunakan bahasa Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD adalah para jenderal yang juga berbahasa Belanda.

Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, sebagai pengecualian, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya ‘betah’ bila hadir dalam pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang Presiden banyak menggunakan kata-kata Belanda yang tak semua dipahaminya. Tetapi adalah menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa Belanda.

Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was-was akan faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”. Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.

Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, “Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?”. Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.

Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.

Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebenarnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar – dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981– adalah salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. “Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada front luas terbuka”. Tetapi tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu. Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan “Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota Tjakrabirawa”. Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.

Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa “Di Jalan Salemba terjadi perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi ‘Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik’. Sedangkan pelajar membagikan stensilan ‘reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas sikap partai politik’…”. Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan ketika diteriaki dan diejek oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang ‘bermarkas’ dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan ‘balasan’. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.

Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. “Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik”. Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah ‘pasukan tak dikenal’ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. Tetapi sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD ‘sengaja’ tak hadir dalam sidang kabinet hari itu dengan alasan sakit.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (1)

“Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”.

TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya.

Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin hubungan yang lebih baik segera setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi hubungan di masa lampau.

Ketiga jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, adalah bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan –dan memang tampaknya tidak menganggapnya sebagai suatu keperluan– dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan Basuki Rachmat ketidakdekatan itu adalah karena memang tidak dekat saja, maka bagi Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang-kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di kemudian hari.

Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan dalam pendobrakan awal dalam nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan Soeharto, sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu terhadap kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang ‘bergolak’ itu. Tetapi pada masa-masa menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok-kelompok asal Sulawesi Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. Sebenarnya, semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan  bahasa campuran Indonesia-Belanda, “Jullie semua sudah dewasa…..”.

Kisah Tiga Jenderal

Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang Peristiwa 30 September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno. Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator adalah Dr Azis Saleh. Sebenarnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada kompetensi keahlian teknis. Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena ‘kebutuhan’ Soekarno untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.

Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966), terdapat setidaknya sembilan orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno, Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar. Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa menteri yang lain, diangkat pula sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.

Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah menyatakan di depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang telah ada. Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno mengurungkan niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud ‘menggeser’ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat ‘pembuangan ke atas’ bagi Ahmad Yani. Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh tokoh NU KH Idham Chalid.

Ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah Panglima Kodam Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makassar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando Mandala. Karena sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin adalah kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen Ahmad Yani yang tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat Letnan Jenderal.

Ketika masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. Tetapi dalam Peristiwa Tiga Selatan, yakni pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yakni Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution. Ketika Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis-habisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata berlangsung berkepanjangan. “Jusuf tak bisa melupakan insiden itu serta kekecewaannya terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan kemudian, mengapa Jusuf lebih senang berhubungan dengan Ahmad Yani, lebih-lebih setelah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun 1962” sebagai KSAD.

Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah Peristiwa 30 September, sepulangnya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober di Peking. Dan ketika terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan –termasuk Waperdam III Chairul Saleh– yang memperoleh informasi versi pemerintah Peking, Brigjen Jusuf mendapat pula versi kedua. Ini membuat dirinya memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke tanah air. Mula-mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu malam. Lalu melintasi perbatasan menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta –route Tokyo-Hongkong-Jakarta– yang menggunakan turbo propeller jet Lockheed Electra yang berbaling-baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).

Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat. Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia bolak balik ke Kostrad, karena ia telah menjadi tim ‘politik’ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini melapor kepada Soekarno tentang kepulangannya dari ibukota RRT, Peking.

Mayor Jenderal Basuki Rachmat, adalah yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu Yani dalam keadaan hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang kerapkali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum Peristiwa 30 September, Soekarno menurut beberapa jenderal berkali-kali menyatakan sedikit ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa Timur. “Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, tetapi saya pernah dengar dari pak Yani dan beberapa jenderal”, demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia, Purwakarta Juli 1968).

Selain itu, kenyataan bahwa ia berkali-kali bertemu Nasution pada bulan-bulan terakhir itu, menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti misalnya Mayjen Ibrahim Adjie dan Brigjen Jusuf. Tetapi, sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak punya kemampuan prima membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang telah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu batalion, yakni Batalion 530 bahkan turut serta dalam Gerakan 30 September. Tegasnya, ia berada di lingkungan yang abu-abu. Tentang Batalion 530, suatu kali di tahun 1968, Basuki hanya mengatakan, “yang sudah lewat, sudahlah”.

Berlanjut ke Bagian 2

Tatkala Presiden Tersinggung dan Marah (1)

“JENDERAL Soeharto adalah seorang yang tampil sabar, santun dan bahkan kerapkali dianggap terlalu low profile pada masa-masa awal menapak ke dalam pucuk kekuasaan negara. Banyak kemiripannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun-tahun awal kepresidenannya dikenal sangat santun, sehingga kerap malah dianggap seorang yang lemah dan peragu”.

DALAM masa kepresidenannya yang pertama, khususnya pada tahun-tahun pertama, Susilo Bambang Yudhoyono yauh lebih sabar. Namun, setidaknya pada tahun terakhir periode kesatu itu, dan tahun pertama masa kepresidenannya yang kedua, saat ‘jam terbang’nya dalam kekuasaan sudah lebih tinggi, sang Presiden sedikit berubah. Menjadi lebih reaktif, untuk tidak menyebutnya lebih agresif dalam bereaksi, terutama bilamana ada lontaran kritik. Kadangkala kritik-kritik itu tampaknya sudah dianggap serangan terhadap dirinya pribadi yang bertujuan untuk menggoyang dan menjatuhkannya dari kekuasaan. Pada sisi lain, entah karena mendapat laporan intelejen, entah masukan apa, kadangkala Susilo Bambang Yudhoyono malah ‘berinisiatif’ melontarkan pernyataan-pernyataan yang dinilai tajam dan keras, sehingga akhirnya memancng reaksi dari tengah khalayak politik dan dari publik secara berkepanjangan.

Tak lama setelah peristiwa pemboman JW Marriots-Ritz Carlton, Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan laporan intelejen tentang adanya usaha menggagalkan pemilihan umum dan bahkan ada rencana pembunuhan atas dirinya. Kemudian, atas terbitnya buku George Junus Aditjondro, ‘Membongkar Gurita Cikeas”, SBY memberi reaksi yang beberapa langkah lagi bisa overdosis. Padahal, buku itu, kecuali judulnya yang membawa-bawa nama wilayah rumah kediaman Presiden di belakang nama  seekor mahluk laut yang berlengan delapan, isinya lebih merupakan laporan jurnalistik tentang sejumlah yayasan atau institusi yang kebetulan melibatkan nama orang dekat –atau mendekat-dekatkan diri– ke lingkungan Cikeas. Apa yang diungkapkan dalam bukan itu sendiri, umumnya bukan hal yang baru, karena sudah pernah dimuat di berbagai penerbitan pers, media elektronik dan sebagainya. Kalaupun ada yang ‘berat’ dalam buku itu, maka itu adalah bagian kesimpulan yang mencoba mengaitkan penggalangan dana yang besar dan pembelian suara sehingga perolehan suara Partai Demokrat dan perolehan suara SBY dalam pemilhan umum melonjak. “Dengan kata lain, kemenangan SBY bukan hanya karena kehebatan kharismanya…”. Tapi inipun bukan tuduhan baru, karena telah dilontarkan banyak pihak sebelumnya seusai pemilihan umum. Persoalan baru akan menjadi ‘berat’ dan ‘serius’ kalau pemaparan-pemaparan itu kemudian dipakai sebagai jembatan untuk menelisik lebih jauh, apakah aktivitas atau sepak terjang institusi-institusi itu punya benang merah dalam permainan untuk melanggengkan kekuasaan. Buku itu sendiri tidak membuktikan apa-apa bahwa telah terjadi sesuatu yang melanggar hukum.

Terbaru, adalah kepekaan Presiden dan Partai Demokrat terhadap sepak terjang politisi partai-partai dalam kaitan Pansus Century. Karena Partai Golkar dianggap juga ikut berperan aktif dalam Pansus –selain PDIP dan partai-partai non-koalisi– maka beberapa tokoh Partai Demokrat melontarkan isu reshuffle kabinet, yang lebih diartikan sebagai ancaman dikeluarkannya tokoh-tokoh Golkar dari Kabinet SBY. Adalah pada waktu yang hampir bersamaan, Presiden mengeluarkan instruksi penegakan hukum yang lebih tegas, termasuk bagi para pelanggar perpajakan. Dan merupakan kebetulan bahwa salah satu perusahaan Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, sedang mengalami masalah perpajakan, sehingga ditafsirkan bahwa SBY sedang mengancam Ketua Golkar itu.

Berikut ini, bukan kisah kemarahan Soesilo Bambang Yudhoyono, tetapi mengenai beberapa kisah tentang kemarahan Presiden Soeharto terutama saat jam terbangnya dalam kekuasaan sudah semakin tinggi. Dan juga tentang kemarahan ‘terkendali’ Presiden Soekarno, yang digantikan oleh Presiden Soeharto.

Dari ‘tempiling’ hingga akal menghimpun dana

JENDERAL Soeharto adalah seorang yang tampil sabar, santun dan bahkan kerapkali dianggap terlalu low profile pada masa-masa awal menapak ke dalam pucuk kekuasaan negara. Banyak kemiripannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa-masa awal pun dikenal sangat santun, sehingga karenanya kerap malah dianggap seorang peragu.

Jenderal Soeharto dikenal pendiam. Kalaupun sedang marah, seringkali tak terbaca oleh orang lain, karena ia diam saja. Hanya pada 13 Juni 1967 Soeharto sedikit menunjukkan ‘kemarahan’nya ketika dalam suatu pertemuan dengan aktivis 1966, tokoh kesatuan aksi Adnan Buyung Nasution mengeritik dwi-fungsi ABRI dan mengatakan ABRI sudah terlalu rakus, ingin mengangkangi semua di tangannya. Setelah berusaha keras menahan marah, akhirnya dengan sedikit berang Jenderal Soeharto berkata “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling….”.

Kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, membawa Jenderal Soeharto ke posisi kekuasaan yang lebih kokoh. Golkar memenangkan 236 kursi dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, yang berarti 65, 55 %. Selain itu, sesuai konsensus bahwa anggota ABRI tidak ikut pemilihan umum namun sebagai gantinya mendapat kursi perwakilan di DPR, sebanyak 100 kursi di luar kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum. Dari yang 100 itu, Presiden Soeharto memutuskan 75 diberikan kepada perwakilan ABRI dan menjadi Fraksi ABRI di DPR-RI, sedang 25 sisanya adalah anggota DPR yang diangkat, berasal dari kalangan sipil atau pensiunan militer dan polisi. Mereka yang disebut terakhir ini digabung ke dalam Fraksi Karya. Dengan demikian jumlah anggota DPR seluruhnya 460. Dari jumlah itu, praktis 336 di antaranya adalah barisan pendukung yang solid bagi Soeharto.

Dengan menguasai 73,60% kursi DPR, dan dengan demikian juga di Lembaga Tertinggi Negara, MPR-RI, Presiden Soeharto menjadi pemimpin negara yang sangat berkuasa. Bila koalisi yang dibentuk Soesilo Bambang Yudhoyono –yang memenangi lebih dari 60 persen suara dalam Pemilihan Presiden 2009– solid, maka sebenarnya pemerintahan SBY tak kalah kuatnya. Tapi koalisi SBY itu, dengan pendukung utama Partai Demokrat yang memenangi hanya sekitar 21 persen suara dalam pemilihan umum, rupanya cukup rapuh dan masih mudah bergoyang-goyang. Partai-partai yang ikutan dengan mendapat kursi di kabinet, adalah partai-partai yang tak bisa dikendalikan sepenuhnya, lahir maupun batin, karena mempunyai dan memang lebih mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri.

Dengan posisi kekuasaan yang lebih kokoh, Jenderal Soeharto, cukup banyak berubah dalam praktek kekuasaan sehari-hari. Ini terjadi terutama setelah memperoleh legitimasi dalam Pemilihan Umum 1971 –yang selalu berhasil diperbaharui dalam pemilihan-pemilihan umum berikutnya. Berangsur-angsur kekuasaan makin mengumpul dalam tangannya seorang. Beberapa kali ia lebih menampilkan rasa marahnya kepada berbagai pihak yang dianggap menentang dirinya, dalam beberapa forum, maupun lewat titipan pesan atau setidaknya diekspresikannya dengan wajah cemberut. Termasuk, kepada sejumlah jenderal kelompok idealis yang sebenarnya sama berjasanya dengan dirinya pada tahun 1965 dan dalam masa transisi 1966-1967, seperti Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian kepada Jenderal AH Nasution. Karena rasa tidak senang, ia meninggalkan Letnan Jenderal Sarwo Edhie di luar lingkaran kekuasaan, bahkan kemudian suatu ketika menyuruh tangkap Letnan Jenderal HR Dharsono. Rasa marah yang sama juga pernah dilontarkannya kepada kelompok generasi muda, khususnya kelompok mahasiswa, antara lain dalam kaitan aksi-aksi protes terhadap rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang digagas oleh isterinya, Siti Suhartinah Soeharto.

Saat gagasan itu dilontarkan terbuka oleh Ibu Tien selaku Ketua Yayasan Harapan Kita di depan forum pertemuan Gubernur se Indonesia pada bulan Desember 1971 –suatu forum yang di mata publik janggal bagi seorang isteri Kepala Negara untuk tampil dan apalagi selaku pimpinan yayasan swasta– segera saja reaksi penolakan merebak di masyarakat, di kalangan cendekiawan, para teknokrat dan di kalangan mahasiswa kritis, terutama di Jakarta dan Bandung. Pertemuan itu adalah atas permintaan Siti Suhartinah Soeharto yang mengetahui akan diselenggarakannya rapat gubernur se Indonesia.

Dalam forum pertemuan para Gubernur itu, Ibu Tien meminta keikutsertaan para Gubernur untuk membangun rumah-rumah adat khas daerahnya dan mengisinya dengan penggambaran kebudayaan dan kesenian khas, serta penyajian berbagai hasil kerajinan daerah di suatu tempat yang disebut Taman Mini Indonesia Indah. Sekertaris Kabinet Sudharmono SH dalam keterangan pers setelah pertemuan Gubernur itu memberikan suatu penjelasan yang moderat, “Karena pemerintah sedang memusatkan perhatian dari sumber dana yang ada bagi pembangunan ekonomi, pemerintah dapat menyetujui kalau proyek itu dapat dibiayai oleh masyarakat sendiri”. Untuk itu –mengulangi apa yang diutarakan ibu Tien di forum pertemuan dengan gubernur– diperlukan dukungan masyarakat luas, dan diminta agar “para Gubernur yang juga mempunyai kepentingan untuk menyajikan seni budaya daerah masing-masing mengerahkan potensi di daerahnya untuk pembangunan TMII”.

Ibu Tien menggunakan kesempatan pada forum tersebut untuk membantah berita di luar bahwa biaya TMII yang seringkali disebut Proyek Mini mencapai US$ 50,000,000 bahkan mencapai US$ 100,000,000 atau US$ 300,000,000. Waktu itu, kurs per dollar masih berkisar sekitar 200 rupiah (sebelum berangsur-angsur naik hingga Rp.415). Ibu Tien menyebut angka Rp.10,5 milyar dan meminta para gubernur berpartisipasi mengumpulkan dana tersebut. Menteri Dalam Negeri Amirmahmud dengan gesit dan agresif menyambut bola yang dilontarkan ibu negara. “Ibu Tien tak usah kuatir”, ujarnya kepada sang ibu negara, “Dengan segala kewibawaan saya, saya berkewajiban mensukseskan proyek itu. Percayalah, bu Tien, semua aparat daerah yang saya pimpin akan saya kerahkan”. Dengan gaya akrobatik yang tangkas pula, Amirmahmud memuji-muji briefing ibu Tien sebagai kampanye yang berhasil, seperti halnya kampanye Golkar dalam pemilihan umum yang baru lalu. “Saya nilai uraian ibu mengenai sasarannya, terbukti dari wajah gubernur-gubernur yang nampak serius-serius itu. Mereka sibuk mencatat”. Dan secara langsung dalam monolognya itu Amirmahmud menginstruksikan “Saudara-saudara gubernur, dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing”. Para gubernur disuruh mencari akal untuk menghimpun dana, termasuk “akal supaya dari para pengusaha berhasil dihimpun dana”.

Berlanjut ke Bagian 2

Pers Indonesia: Senjata Perjuangan yang Beralih Menjadi Penanda Kegagalan Sosiologis (2)

“Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965”. “Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani”.

NUSANTARA, meminjam pandangan Clifford Geertz, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception. Merupakan produk dari pengalaman kemalangan sejarah yang panjang: Pertemuan dan persilangan yang hampir tak masuk akal dari perilaku terburuk dari bangsa-bangsa yang datang dengan hasrat penaklukan, mulai dari orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda, bahkan juga dari ‘sesama’ Asia yakni India dan Cina. Juga menjadi tempat persilangan penyebaran agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan kerap dengan pertumpahan darah, penaklukan dan tipu daya, apakah itu Hindu, Budha, Konghucu, maupun Kristen dan juga Islam. Cara penyebaran yang tak damai itu menyisakan dalam jangka panjang dan berulang-ulang suatu rangkaian konflik berdasarkan perbedaan agama. Lalu, pada dua abad terbaru, Indonesia menjadi pula tempat persilangan antara sistem kapitalisme liberal, imperialisme dan komunisme, bahkan juga ideologi-ideologi berdasar agama yang digunakan dalam kehidupan politik yang amat duniawi, bertentangan dengan kesucian ajaran agama-agama itu sendiri. Pertemuan silang ideologi-ideologi ini menciptakan situasi pertarungan politik dengan orientasi kekuasaan semata.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan, para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan.

Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok gerakan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Di mana posisi dan peran Pers Indonesia dan Pers Mahasiswa dalam bingkai peristiwa? Dalam kurun waktu kekuasaan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang, jelas bahwa pers Indonesia ada dalam masa suram. Pers selalu ada dalam ancaman supresi, namun sungguh menarik bahwa sejumlah pelaku pers tetap mencoba mencari celah untuk menyampaikan aspirasi tentang kebebasan bagi rakyat, kendati pada waktu yang sama tak kurang banyaknya kaum opportunis maupun yang menempatkan diri dalam pola penghambaan terhadap kekuasaan.

Sementara itu, ketika berada dalam masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun kekuasaan otoriter Soeharto, harus diakui bahwa mayoritas pelaku pers nasional melakukan pilihan yang paling aman untuk tunduk terhadap kekuasaan dan menempatkan diri sebagai penyalur suara dan kepentingan kekuasaan belaka. Beberapa tokoh pers terkemuka melakukan pembelaan diri dengan terminologi sikap taktis. Hanya terdapat sedikit pengecualian, dan contoh paling terkemuka untuk dua kurun waktu ini adalah tokoh Mochtar Lubis dengan Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya.

Harkat dan martabat pers berada pada titik nadir paling rendah, di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965. Setiap penerbitan pers diharuskan memiliki induk partai dan atau kekuatan politik. Seterusnya penerbitan-penerbitan pers di daerah harus bergabung pada salah satu induk pers di Jakarta. Karena seluruh partai dalam struktur Nasakom kala itu dapat dikatakan sepenuhnya adalah partai-partai dengan kepribadian lemah karena sikap opportunis para pemimpinnya, maka dengan sendirinya penerbitan pers yang bergabung dengannya tak bisa diharapkan memiliki kepribadian yang jelas. Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia yang secara politis berada di atas angin, partai itu dan organ-organ persnya menjadi sangat agresif dan provokatif. Dan dalam masa kekuasaan Soeharto yang begitu represif, dengan hanya sedikit pengecualian pers Indonesia menjadi pers yang tanpa keberanian dan sikap kritis. Justru di masa langka kepemilikan keberanian moral itu, kehadiran sejumlah pers yang diasuh mahasiswa menjadi fenomena dengan sikap kritisnya yang cerdas dan berani.

Pengamatan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa aktivitas pers mahasiswa senantiasa terkait erat dengan aktivitas pergerakan dan atau perjuangan mahasiswa dari masa ke masa. Mahasiswa yang terbina dalam kebebasan akademis, memiliki ketertarikan kepada kegiatan pers yang merupakan media penyampaian aspirasi dalam pemahaman demokratis. Sementara kalangan kekuasaan dengan kecenderungan otoriteristik memandang pers hanyalah sekedar alat penanaman opini yang efektif. Pergerakan moral mahasiswa –sebagian bagian dari kaum intelektual– maupun aktivisme pers dalam konteks demokrasi memiliki idealisme dan etika dasar yang sama, yaitu kebenaran objektif dalam pengertian universal yang dengan sendirinya juga memperjuangkan keadilan.

Dharma ketiga perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa sebagai insan akademis ada dalam konteks. Lahir dan terbentuknya IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) di tahun 1950-an banyak terkait dengan perjuangan mahasiswa untuk penegakan demokrasi. Di masa demokrasi terpimpin Soekarno, IPMI menjadi tempat persemaian aktivis pro demokrasi yang resah terhadap gejala kekuasaan yang mengarah kepada bentuk diktatorial. Pada waktu yang sama, banyak aktivis mahasiswa yang melakukan perlawanan bawah tanah terhadap kekuasaan, antara lain dengan menggunakan pamflet dan selebaran gelap yang berisi tulisan-tulisan kritis terhadap cara Soekarno menjalankan kekuasaan. Di tahun 1970-an di Bandung lahir pula BKS Pers MI (Badan Kerja Sama Pers Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah kerjasama penerbitan pers mahasiswa intra maupun ekstra kampus.

Kendati pers mahasiswa juga bisa digeluti oleh beberapa mahasiswa hanya atas dasar minat dan ketertarikan kepada kegiatan jurnalistik, tetapi dalam perjalanan keterlibatan itu akan selalu tampil romantisme atas dasar idealisme seberapa kecilpun kadarnya. Paling tidak, menyalurkan aspirasi untuk mengkritisi keadaan di sekitar dalam berbagai skala. Model ini banyak kita temukan dalam bentuk penerbitan internal di fakultas-fakultas, dan atau di kalangan internal organisasi ekstra-universiter.

Model dengan skala lebih luas adalah penerbitan yang diselenggarakan untuk tingkat universitas. Kampus Universitas Padjadjaran pernah memiliki Gema Padjadjaran pada akhir tahun 1960 hingga awal 1970-an sampai menjelang meletusnya Peristiwa 15 Januari 1974. Kemudian, setelah peristiwa, ada Aspirasi. Keduanya diterbitkan di bawah naungan Dewan Mahasiswa dan atau lembaga mahasiswa internal kampus, dengan supportasi otoritas kampus. Kampus ITB adalah contoh menarik lainnya dalam pers mahasiswa. Kampus ini sejak tahun 1960-an sebelum 1965, dan kemudian pada masa-masa sesudahnya, senantiasa memiliki lembaga-lembaga pers. Ada Berita-berita ITB pada masa pergolakan karena politisasi kampus di masa demokrasi terpimpin, yang terbagi antara kubu mahasiswa intra yang independen dengan kubu mahasiswa onderbouw kekuatan eksternal kampus seperti CGMI, GMNI, Perhimi dan sebagainya. Berita-berita ITB ini berhasil eksis dalam jangka yang amat panjang. Di ITB pernah pula ada Gelora Teknologi, Majalah Kampus, Scientiae. Selain itu, ITB memiliki Liga Film Mahasiswa yang tetap memutar film-film barat pada saat kekuatan politik kiri di masa Soekarno ramai-ramai mengganyang apa yang mereka sebut sebagai film Nekolim. ITB pun memiliki Radio ITB dan sempat ada Pemancar TV di kampus.

Kampus Universitas Gajah Mada di Yogyakarta juga memiliki sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan pers mahasiswa. Sampai kini ada Lembaga Pers yang dikenal sebagai Balairung yang menerbitkan Balkon atau Balairung Koran dan Jurnal yang terbit 1-2 kali setahun dengan kumpulan tulisan tematis. Lembaga pers UGM ini lahir pada masa UGM dipimpin Rektor Prof. Dr Kusnadi Hardjasumantri. Almarhum pada masa mahasiswanya di tahun 1950-an menjadi salah satu pendiri IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) antara lain bersama Emil Salim. Kampus UGM juga memiliki SKM Bulaksumur. Setiap fakultas memiliki penerbitan mahasiswa, seperti halnya dengan Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan, Universitas Indonesia dan berbagai kampus perguruan tinggi di tanah air. Universitas Indonesia juga pernah tercatat sebagai kampus dengan banyak penerbitan pers mahasiswa. Mereka pernah punya Koran Salemba. Karena pemberitaannya, koran mahasiswa itu berkali-kali menghadapi persoalan dengan kalangan kekuasaan masa Soeharto.

Namun yang paling fenomenal dalam kehidupan pers mahasiswa adalah masa pergerakan tahun 1966. Pada tahun 1966 lahir Harian KAMI di Jakarta dan Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan. Berbeda dengan pers kampus, kedua media yang disebut di atas adalah sebuah media yang bergerak sebagai pers umum, namun diasuh oleh sumberdaya manusia yang berasal dari kampus, khususnya kalangan mahasiswa. Selain edisi Jawa Barat, lebih dulu ada Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat dan kemudian edisi Yogyakarta. Akan tetapi dua yang disebut terakhir ini justru tak berusia panjang, sehingga edisi Jawa Barat akhirnya tampil dengan nama Mingguan Mahasiswa Indonesia saja dengan posisi dan kategori pers nasional. Harian KAMI maupun Mingguan Mahasiswa Indonesia memiliki Surat Izin Terbit dari Departemen Penerangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Meskipun kedua media itu menyandang nama mahasiswa, media yang diasuh mahasiswa ini menjalani kehidupan pers umum. Beredar secara nasional dengan tiras yang kadangkala bisa menyamai bahkan melampaui media massa nasional yang ada masa itu.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (4)

“Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala….”. “Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan….. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian…”.

CATATAN Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno ini menarik untuk dipinjam di sini, terutama karena memiliki nuansa penilaian yang berbeda. Apakah tindakan Amirmahmud saat itu masih termasuk tindakan taktis, ataukah murni akrobatik politik? Kalau ternyata Amirmahmud melakukannya dengan kesepakatan para pimpinan Angkatan Darat, apakah itu sekaligus menunjukkan bahwa para jenderal memang telah melakukan akrobatik politik, mengutamakan ‘permainan’ dan tak segan menempatkan mahasiswa sekalipun dalam posisi pion yang sewaktu-waktu bisa saja dikorbankan untuk meraih kemenangan? Apalagi, dalam persepsi tokoh kesatuan aksi, RAF Mully, Angkatan Darat memang hanya menempatkan mahasiswa dalam posisi untuk dimanfaatkan. “Tidak sepenuhnya Angkatan Darat bisa diharapkan sebagai pelindung bagi mahasiswa”. Adalah suatu fakta di lapangan, bahwa pasukan-pasukan Kodam Jaya kala itu tak selalu menunjukkan sikap bersahabat dengan para mahasiswa. Adakalanya mereka begitu garang dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa. Ini berbeda dengan pasukan-pasukan yang ada di bawah garis komando Mayjen Kemal Idris yang menggantikan Soeharto sebagai Panglima Kostrad, atau pasukan-pasukan RPKAD, yang oleh para mahasiswa bisa dirasakan memiliki sikap melindungi, setidaknya tak bermusuhan.

Adanya dua jenis perilaku tentara ini sangat terasa oleh kelompok mahasiswa. Bila sikap tidak bersahabat itu ditunjukkan oleh kalangan militer yang dekat dengan Soekarno, tentu tidak mengherankan. Tetapi bagaimana kalau kasat mata ia memiliki kedekatan dengan Soeharto, tetapi ketika berhadapan dengan mahasiswa menunjukkan permusuhan ? Tak lain hal itu berarti, sejak mula Soeharto pun sudah mulai memelihara sejumlah perwira berperilaku otoriter di dekatnya. Dengan demikian, sikap berbeda-beda di kalangan tentara bukanlah semata-mata soal pro atau kontra Soekarno.

Jenderal Abdul Harris Nasution menggambarkan “Barisan Soekarno mulai menjadi kenyataan fisik. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke istana dan bekerja untuk itu”. Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei –yang dikenal sebagai ‘raja’ para copet Jakarta– sebagai Komandan. “Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik”. Bahkan Soeharto, tutur Nasution, menampung persoalan gerakan baru ini berupa perlombaan atau jor-joran menyatakan setia kepada Presiden, dengan menginstruksikan “appel-appel kesetiaan”, melalui Pengumuman O1/Koti/1966.

“Panglima Kodam Jaya Jenderal Amirmahmud melakukannya secara besar-besaran, 120 utusan parpol dan ormas Jakarta bersama panglima menyampaikan kesetiaan kepada Presiden. Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie menyatakan bahwa Sam Karya yang diterima Siliwangi adalah identik dengan Soekarno dan dibela oleh Siliwangi. Bung Karno telah dimasukkan dalam catur laksana Korps Siliwangi”.

Tapi, fakta yang paling tak dapat diabaikan, seperti juga dikatakan Nasution, adalah bahwa para Panglima di Jawa dewasa itu, di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga secara pribadi kuat mendukung Soekarno. Bagaimanapun, “isu pembentukan Barisan Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan dapat membingungkan”. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya. Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya. Sementara itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.

Waperdam I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga ia menekankan aspek fisik. Dalam suasana yang menghangat, 15 Pebruari 1966, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I Soebandrio mengadakan pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu, Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana Merdeka. Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. “Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga”, ujar Soebandrio. Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut membentuk Barisan Soekarno itu, “biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet”.

Barisan dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung. Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung di Jalan Lembong. Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa, Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Ia tewas di depan kampusnya Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.

Setelah terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan massa Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Pebruari hingga awal Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‘jalan tengah’ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia, 7 Maret. Gagasan ini sebenarnya berasal dari ide pembentukan National Union of Student (NUS) yang dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari setelah mendengarkan saran dan laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang Sosial Politik, Ruslan Abdulgani. Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dan Ruslan, muncul penolakan yang keras dari mahasiswa Bandung dalam sebuah pernyataan 2 Pebruari 1966. Mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet dan berbagai lembaga negara. Mahasiswa Bandung curiga bahwa pembentukan NUS dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsur-unsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Front Marhaenis per saat itu dalam anggapan mahasiswa-mahasiswa Bandung tersebut adalah partner terdekat PKI di zaman pra G30S.

Dalam suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor, kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan “Gerwani Agung”. Julukan ‘Gerwani Agung’ yang ditujukan kepada Hartini ini membuat Soekarno amat marah. Di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan “Soekarno, No” serta berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa mahasiswa tak lagi menginginkan Soekarno sebagai pemimpin negara. Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan “Gedung Komidi Stambul”. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir “MPRS…. Yes, yes, yes” yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi ‘perwakilan rakyat’ itu berisi dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan “yes” kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim. Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mereka yang dituding.

Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia memasukkan sejumlah tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Mobil-mobil dikempeskan bannya sehingga menteri-menteri  yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian dan jenazahnya dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, telah pula jatuh korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat karena peluru pasukan Cakrabirawa.

Berlanjut ke Bagian 5

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (4)

“Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan”.

DALAM pertemuan kesembilan, 26 September, ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional) dekat Halim Perdanakusumah sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini ada desakan agar D-Day ditetapkan pada 29 September, tetapi Letnan Kolonel Untung memintanya ditunda menjadi 30 September, karena ia masih berharap mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi Siliwangi. Dan ia telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada seseorang yang sepanjang data yang ada belum pernah terungkap namanya. Menurut seorang jenderal purnawirawan yang pernah bertugas di bidang intelijen, orang yang dimaksud tak lain adalah Mayjen Soeharto, yang kemudian memintanya dari Brigjen Rukman dari Siliwangi yang oleh Sjam dikatakan pernah menyanggupi memberi bantuan pasukan. Namun data ini masih harus ditelusuri lebih jauh kebenarannya.

Permintaan Untung akan dukungan kavaleri dari Siliwangi ini, tak pernah terpenuhi sampai terjadi peristiwa pada 1 Oktober dinihari. Namun merupakan suatu kebetulan yang menakjubkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965, satu pasukan kavaleri dengan 30 buah tank dan kendaraan lapis baja dari Siliwangi –persis sama dengan yang diinginkan Letnan Kolonel Untung– betul-betul datang ke Jakarta dan bergabung ke bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Pertemuan terakhir, dilakukan tepat pada D-Day 30 September, di rumah Sjam, di Salemba Tengah. Pada pertemuan ini, barulah dimunculkan Brigjen Soepardjo, yang datang dari Pontianak sehari sebelumnya atas permintaan Sjam Kamaruzzaman. Pangkopur II ini menawarkan mendatangkan pasukan dari Kalimantan yang ada dalam komandonya, namun perwira lainnya menyatakan tak perlu, karena pasukan yang tersedia sudah mencukupi. Malam itu ditaklimatkan nama delapan jenderal yang akan dijemput, yakni Jenderal AH Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soewondo Parman, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo dan Brigjen Ahmad Soekendro.

Ada perubahan angka pasukan yang akan dikerahkan, dari satu kompi Tjakrabirawa menjadi satu batalion, dan dari Brigif I Kodam Jaya dari satu batalion menjadi tiga batalion. Sehingga total pasukan yang akan dikerahkan menjadi sekitar 7000 orang. Adalah menarik bahwa pada tengah malam, Aidit yang sebenarnya dijemput oleh perwira Tjakrabirawa dari rumahnya untuk dibawa ke Halim Perdanakusumah, pasca peristiwa –berdasarkan sebuah laporan intelijen–  digambarkan ikut sejenak hadir dalam pertemuan itu. Aidit lalu dipertemukan dengan Mayjen Pranoto di ruang lain di rumah itu, sebelum akhirnya dibawa ke Halim Perdanakusumah. Letnan Kolonel Untung dikemudian hari dalam pengakuannya, menyebutkan dua tokoh tersebut sebagai ‘dua orang tak saya kenal’. Kehadiran Aidit di rumah Sjam malam itu, sedikit kurang jelas, karena setelah menghadiri acara di Senayan, dimana Soekarno berpidato, Aidit yang tidak menunggu acara sampai selesai, pulang kerumah dan menerima seorang tamu, Ketua CGMI Hardojo sampai menjelang tengah malam. Sekitar jam duabelas lewat, ia dijemput dari rumahnya di Pengangsaan Barat oleh dua perwira Tjakrabirawa yang menggunakan dua landrover AURI dan diminta ke Halim Perdanakusumah.

Acara di Istora Senayan, Musyawarah Nasional Teknik, 30 September malam, berlangsung hingga agak larut. Baru setelah pukul 22.00 Presiden Soekarno naik ke podium untuk berpidato. Sebelum itu, Soekarno sempat mendapat sepucuk surat, yang disampaikan melalui salah satu ajudannya, Kolonel Widjanarko. Setelah sejenak mengamati surat itu, memasukkan ke sakunya, Soekarno lalu meninggalkan tempat duduknya dan keluar menuju serambi gedung olahraga itu, diiringi oleh para perwira pengawalnya, Kolonel CPM Maulwi Saelan dan Komisaris Polisi Mangil, selain Kolonel Widjanarko. Mulanya, Soekarno menyempatkan diri ke kamar kecil. Lalu, di serambi Istora Senayan, Soekarno kemudian menyempatkan membaca surat tersebut. Lalu masuk kembali ke ruangan. Menurut kesaksian Widjanarko di kemudian hari, surat itu berasal dari Letnan Kolonel Untung yang disampaikan melalui seorang kurir. Setelah membaca surat itu, Soekarno mengangguk-angguk dan nampak bersemangat. Sikap bersemangat itu berkelanjutan ketika Soekarno kemudian menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itulah Soekarno menyampaikan sebuah kutipan dari dunia pewayangan, kisah Mahabharata, yang menggambarkan suatu ‘pelajaran’ untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.

Bagian yang dipaparkan Soekarno malam itu adalah mengenai pertentangan antara Pandawa dari kerajaaan Amarta dengan Kurawa dari kerajaan Hastina, yang sebenarnya masih memiliki pertalian darah. “Dua negara ini konflik hebat. Tetapi pimpinan-pimpinan dan panglima-panglima Hastina itu sebenarnya masih keluarga dengan pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima Pandawa”, demikian lanjutan pidato Soekarno setelah sejenak melihat jam yang telah mendekat pukul sebelas malam. “Arjuna yang harus mempertahankan negeri Pandawa, harus bertempur dengan orang-orang Hastina. Arjuna berat dia punya hati, karena ia melihat di barisan tentara Hastina itu banyak ipar-iparnya, karena isteri Arjuna itu banyak lho. Banyak ia punya oomoom sendiri, banyak ia punya tantetante sendiri. Lho memang di sana pun ada banyak wanita yang berjoang, saudara-saudara. Bahkan gurunya ada di sana, guru peperangan yaitu Durno, ada di sana. Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudaraku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri, karena Suryoputro sebetulnya keluar dari satu ibu. Arjuna lemas. Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, Arjuna, Arjuna, engkau ini ksatria. Tugas ksatria ialah berjuang. Tugas ksatria ialah bertempur jika perlu. Tugas ksatria ialah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar di sana ada engkau punya saudara sendiri, engkau punya guru sendiri. Mereka itu mau menggempur negeri Pandawa, gempur mereka kembali. Itu adalah tugas ksatria, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”.

Dalam konteks situasi yang dipahami orang per waktu itu, semestinya yang dimaksudkan bahwa yang dihadapi Arjuna –yang sepertinya dipersonifikasikan sebagai Soekarno dari Indonesia– adalah Malaysia yang serumpun. Namun, setelah peristiwa tanggal 30 September 1965, kelak analogi dari pewayangan yang disampaikan Soekarno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut. Apalagi, Soekarno di bagian akhir pidatonya mengucapkan serentetan kalimat, “Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam nanti….”. Di kemudian hari, kalimat ini ditafsirkan terkait dengan surat yang diterimanya sebelum itu, yang berasal dari Untung, dan menjadi bagian dari analisa keterlibatan dirinya dalam perencanaan peristiwa yang beberapa jam lagi akan terjadi setelah ia mengucapkan pidatonya malam itu, 30 September menuju 1 Oktober 1965. Bahkan Soe-Hokdjin (Arief Budiman) pernah memberi catatan bahwa setahun sebelumnya, di depan para perwira Perguruan Tinggi Hukum Militer di Istana Bogor, Soekarno menterjemahkan ajaran Kresna, karmane evadhi karaste maphalesu kadacana, sebagai “kerjakan kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akibatnya”. Tetapi pada 30 September malam, Soekarno menterjemahkannya sebagai “kerjakan kau punya tugas kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi”. Apakah karena sebelum berpidato, ia telah menerima secarik surat dari Letnan Kolonel Untung?

Pada Jumat dinihari 04.00, 1 Oktober 1965, dimulailah gerakan ‘penjemputan’ para jenderal. Tapi ternyata, apa yang semula direncanakan sebagai ‘penjemputan’ untuk kemudian diperhadapkan kepada Presiden Soekarno setelah diinterogasi untuk memperoleh pengakuan akan melakukan kudeta, telah berubah menjadi peristiwa penculikan berdarah yang merenggut nyawa enam jenderal dan satu perwira pertama. Hanya Jenderal Abdul Harris Nasution yang lolos, dan Brigjen Soekendro ternyata tak ‘dikunjungi’ Pasopati. Kenapa ‘penjemputan’ lalu berubah menjadi penculikan dengan kekerasan dan mengalirkan darah ? Ternyata, tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan Kolonel Abdul Latief, dua perwira yang paling tinggi pangkatnya dalam gerakan, Letnan Kolonel Untung mengeluarkan perintah kepada Letnan Satu Doel Arief, untuk menangkap para jenderal target itu “hidup atau mati”. Letnan Kolonel Untung menegaskan, “Kalau melawan, tembak saja”. Dan Doel Arief meneruskan perintah itu kepada regu-regu penjemput dalam bentuk yang lebih keras.

Dalam kamus militer, terminologi “hidup atau mati”, cenderung berarti izin membunuh, dan umumnya yang terjadi para pelaksana memilih alternatif ‘mati’ itu bagi targetnya. Apalagi bila yang akan ditangkap itu melakukan perlawanan, hampir dapat dipastikan bahwa yang dipilih adalah alternatif ‘mati’ tersebut. Bilamana penjemputan para jenderal itu memang bertujuan menghadapkan mereka kepada Presiden Soekarno, seperti misalnya yang dipahami dan dimaksudkan oleh Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief, maka tak perlu ada perintah “hidup atau mati”.

Faktanya, semua yang dijemput, memang mati terbunuh di tempat maupun kemudian di Lubang Buaya. Selesai.

–Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.