Tag Archives: Ali Moertopo

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (4)

“Pada tahun 1970-an sekitar pemilihan umum, merupakan kenyataan menarik bahwa birokrasi banyak diduduki oleh tentara maupun purnawirawan. Waktu itu, ada 26 propinsi di Indonesia, dan 20 dari 26 propinsi itu dipimpin oleh Gubernur yang berasal dari kalangan tentara – umumnya Angkatan Darat. Diantara 20 propinsi tersebut, tercatat 11 propinsi yang selama beberapa periode dipimpin terus menerus tanpa jeda oleh militer”. “Setelah Pemilu 1971 ada 13 gubernur yang diperpanjang untuk masa jabatan kedua. Sementara itu, dari sekitar 300-an kabupaten dan kota, 60 persen diantaranya dipimpin oleh perwira-perwira menengah tentara berbagai angkatan dengan Angkatan Darat sebagai mayoritas”.

Pergulatan Dalam Selimut

SECARA internal, setelah kemenangan Golkar, sebenarnya suatu ‘pergulatan’ –betapapun halus getarannya– telah dimulai. Dalam selimut. Ke dalam suasana Golkar seperti inilah, kaum cendekiawan yang masuk Golkar melalui Pemilu 1971, turut serta dan mau tidak mau harus bergumul di dalamnya. Termasuk di sini adalah tokoh-tokoh mahasiswa  dan cendekiawan Bandung yang mantan aktivis pergerakan 1966. Mereka ini, relatif tidak mendapat kesukaran, berupa kritik dan penentangan misalnya, dari mahasiswa generasi baru yang menggantikan mereka, yang lebih bergerak pada dataran pergerakan berbasis kekuatan intra yang idealis. Namun, sebaliknya mereka juga tidak pernah mendapat dukungan ‘politik’ dari para mahasiswa intra karena memang generasi baru kampus bergerak ke arah menjauhi politik praktis. Yang mempertautkan kedua sisi ini hanyalah kekuatan pemikiran dan kekuatan logika. Sepanjang berjalan pada alur logika dan pemikiran sehat, akan senantiasa ada kesejajaran yang dapat berwujud sebagai dukungan moral. Secara nyata yang menjembatani komunikasi dua sisi ini, untuk Bandung, selain Mingguan Mahasiswa Indonesia, mungkin pula adalah peranan forum-forum diskusi yang diselenggarakan pada masa-masa itu. Dengan teratur membaca Mingguan Mahasiswa Indonesia, para cendekiawan politisi tersebut bisa mengikuti jalur pemikiran dan aspirasi yang berkembang diantara para mahasiswa kampus generasi baru. Begitu pula sebaliknya, mahasiswa generasi baru dapat mengikuti sepak terjang para ‘senior’ itu dalam kancah politik pembaharuan. Tetapi terlihat bahwa para cendekiawan yang sudah berada dalam tubuh kekuasaan –yang penuh dengan pergulatan dalam selimut– sangat berkepentingan untuk menyelaraskan gerak mereka dengan aspirasi generasi baru. Tanpa itu mereka akan kehilangan ‘makna’ dalam percaturan politik.

Sementara itu, tentara yang tetap mencoba menjalin komunikasi dan mencoba memelihara jalur ke mahasiswa seperti di masa-masa ‘partnership’ secara umum gagal. Pendekatan melalui Resimen Mahasiswa Mahawarman, misalnya, menjadi tidak efektif lagi seperti di masa lampau. Bahkan menurut beberapa mahasiswa ITB, keadaan berbalik, pada tahun 1970-an itu posisi Mahawarman telah berubah menjadi ‘orang kita’ di tentara. Kurikulum kewiraan melalui Walawa (Wajib Latih Mahasiswa) berkali-kali menghadapi kerikil tajam dalam pelaksanaannya. Malahan pernah terjadi ‘pemberontakan ala Peta yang dipimpin Supriyadi’ yang dilancarkan mahasiswa peserta Walawa di Universitas Padjadjaran (Peristiwa Pengalengan 1969) yang dipimpin oleh mahasiswa Fakultas Hukum Chairuman Harahap.  Mahasiswa lebih alert dan sudah lebih mengenali bilamana ada perorangan yang ‘dekat’ dengan tentara dan mencoba menjalankan misi khusus. Pendekatan tidak ada hasilnya. Karena situasi seperti ini, lahir rasa kesal, lalu sejumlah tokoh tentara dan atau kekuasaan, sering melontarkan insinuasi tentang adanya pihak yang ‘menunggangi’ mahasiswa. Tapi siapa, wujud mahluknya tak pernah berhasil tergambarkan. Partai-partai ? Tidak ada satupun yang punya jalur ke kampus, malah mereka menjadi salah satu sasaran kritik mahasiswa generasi baru. Kaum teknokrat ? Untuk bisa diterima berceramah di kampus terkemuka di Bandung pun susahnya bukan main. Karena, dari waktu ke waktu, makin menguat pula anggapan bahwa para teknokrat di pemerintahan itu pun tak ada bedanya dengan tangan-tangan kekuasaan yang lain.

Insinuasi dan isu lain adalah ‘pengaruh PSI’. Ini seringkali menjadi lelucon, karena setiap orang yang kelihatannya berpikiran intelektual dengan gampang dicap PSI. Dengan kata lain, diluar itu, tidak punya otak. Sebagai humor, maka tidak soal amat bagi para mahasiswa kalau dicap PSI. Dianggap pintar, kan tidak apa-apa. Inilah yang disebut pengaruh ‘semu’ PSI, dianggap ada dan mendalam –terutama dalam gambaran kalangan kekuasaan dan kalangan partai-partai politik Islam– tapi sebenarnya tak pernah betul-betul memiliki pengaruh amat serius dan spektakuler. Tapi bila dikatakan tidak ada, jelas tidak tepat juga, karena nyatanya terdapat beberapa tokoh-tokoh ‘pengelana’ PSI yang aktif bergerak dan dalam tingkat tertentu bisa menanamkan pengaruh-pengaruh pemikiran ke kalangan intelektual di Bandung, termasuk di kalangan cendekiawan perguruan tinggi dan tokoh-tokoh mahasiswa.

Pertemuan yang bersifat intelektual kadang-kadang mencengangkan hasilnya, meskipun tidak begitu disadari daya kerjanya. Bisa disebutkan satu nama tokoh ‘pengelana’ PSI misalnya, yakni Soemarno yang lebih dikenal sebagai ‘Om Marno’ di kalangan yang lebih muda dan sebagai ‘Bung Marno’ di kalangan yang lebih senior. Bung Marno rajin mendatangi tokoh-tokoh intelektual dan kalangan pejabat di pemerintahan maupun militer. Ia pun rajin berkunjung ke kantor Mingguan Mahasiswa Indonesia, sering sekedar untuk bercakap-cakap dan tidak jarang juga menitipkan artikel-artikel untuk dimuat dengan nama samaran ‘Rachmat’. Di antaranya tulisan-tulisan konseptual mengenai Orde Baru (yang seharusnya) dan mengenai hubungan Sipil-Militer yang bagaimana yang seharusnya dibangun.  Tetapi beberapa kali, artikelnya juga tidak dimuat bila Pemimpin Redaksi (Rum Aly) merasa isinya terlalu ‘khusus’.

Selain Bung Marno, ada pula Paul Mudigdo dan beberapa ‘bung’ lainnya yang dikenal sebagai tokoh-tokoh ‘samar’ PSI kerap berkunjung ke Tamblong Dalam, seperti Bung Maskun dan Bung Anwar Isnudikarta. Ciri khas mereka gampang ditandai, yakni nonstop mengisap pipa cangklong dan ahli dalam mengepul-ngepulkan asap dalam deretan berbentuk cincin. Tapi dua nama terakhir ini sepertinya tidak ‘bernafsu’ untuk menularkan sesuatu kepada orang lain. Kecuali, bila bertemu dengan mereka yang segaris, mereka lalu berdiskusi dengan antusias. Dan entah bagaimana ceritanya, salah seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, Zulkifli Batubara, belakangan menjadi menantu Bung Anwar Isnudikarta. Itulah satu-satunya ‘close encounter’ yang terjadi. Sedang para tokoh mahasiswa generasi muda yang duduk dalam kepengurusan Dewan Mahasiswa tahun 1970-an, meskipun kerap berkunjung ke kantor Mingguan Mahasiswa Indonesia, dan tak jarang berpapasan dengan tokoh-tokoh pengelana PSI ini, bisa dikatakan tak pernah terlibat dalam suatu ‘close encounter’ satu sama lain, kecuali dalam bentuk sapa menyapa yang bersifat sopan santun. Ini betul-betul suatu hal yang menarik.

Tentang PSI ini ada catatan lain yang menarik. Mengenai PSI, Ali Moertopo pernah menyampaikan di suatu forum yang amat terbatas dan eksklusif, semacam pengkategorian. Kelompok pertama menurut Ali, adalah PSI ‘sangat kanan’ (dalam artian ekstrim, bukan dalam makna ideologis), yaitu kelompok Prof. Sarbini Soemawinata yang pengikutnya di kalangan generasi muda antara lain Sjahrir dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Lalu yang kedua adalah PSI Kanan yakni Soebadio Sastrosatomo dan Soedjatmoko, dan kedalamnya antara lain dimasukkan Moerdianto (Om Anto). Kelompok ketiga adalah Kelompok PSI Tengah yakni kelompok Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, yang antara lain terdapat Soeripto. Dan kelompok keempat adalah PSI amat moderat dan dianggap ‘PSI baik’ oleh Ali Moertopo adalah antara lain Soemarno (Om Marno) dan Rahman Tolleng. Namun, pasca Peristiwa 15 Januari di tahun 1974, adalah Ali Moertopo yang terutama meminta dilakukan penahanan terhadap tokoh-tokoh yang dikategorikan PSI ini, tanpa kecuali, lengkap dari empat jalur. Sementara itu, Jenderal Soemitro mengatakan tak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh PSI itu dan menyebutkan Ali Moertopo melakukannya.

Bagaimana pun untuk jangka waktu tertentu, kaum intelektual dalam Golkar bisa bermanuver dan sempat mengisi posisi-posisi strategis, namun harus dengan berbagai ‘seni’. Mengenai ‘seni’ ini, di sini tidak perlu diceritakan lebih jauh. Yang menjadi jelas bahwa dalam tubuh Golkar memang tumbuh berbagai kekuatan yang ‘memperebutkan’ hegemoni. Kekuatan tentara tentu saja ada di urutan pertama. Pada tahun 1970-an kepengurusan Golkar di daerah tingkat I maupun tingkat II, hampir seluruhnya dipegang oleh tentara atau purnawirawan dan sedikit mantan pejabat birokrasi di daerah. Kekuatan birokrasi, ada pada urutan berikutnya. Tetapi kekuatan birokrasi ini juga kerap tak bisa dibedakan lagi, karena tubuh birokrasi juga secara cepat terisi oleh unsur tentara dan atau purnawirawan tentara. Sejak sebelum Pemilu 1971, tokoh birokrasi yang menjabat Menteri Dalam Negeri yang juga adalah seorang jenderal Angkatan Darat, Mayjen Amirmahmud, dikenal sebagai buldoser kekuasaan dan kepentingan Golkar. Mulai dari pembersihan DPRD-DPRD tingkat I (Propinsi) dari unsur-unsur partai yang ‘berideologi lama’ sampai dengan pengerahan camat dan lurah dalam operasi pemenangan Golkar di kecamatan dan desa-desa.

Di luar tentara dan birokrasi, di Golkar juga terdapat kekuatan faktual yang berupa Kino-kino sebanyak tujuh buah. Kino adalah kelompok induk organisasi, seperti Soksi (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia), Kosgoro (Koperasi Gotong Royong), MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) dan lain-lain. Tapi dalam Kino-kino inipun peranan unsur tentara dan purnawirawan cukup besar. Suhardiman dari Soksi dan RH Sugandhi dari MKGR, adalah Jenderal AD. Mas Isman dari Kosgoro adalah eks Tentara Pelajar dan juga Jenderal Angkatan Darat.

Pada tahun 1970-an sekitar pemilihan umum, merupakan kenyataan menarik bahwa birokrasi banyak diduduki oleh tentara maupun purnawirawan. Waktu itu, ada 26 propinsi di Indonesia, dan 20 dari 26 propinsi itu dipimpin oleh Gubernur yang berasal dari kalangan tentara –umumnya Angkatan Darat. Diantara 20 propinsi tersebut, tercatat 11 propinsi yang selama beberapa periode dipimpin terus menerus tanpa jeda oleh militer. Setelah Pemilu 1971 ada 13 gubernur yang diperpanjang untuk masa jabatan kedua. Sementara itu, dari sekitar 300-an kabupaten dan kota, 60 persen diantaranya dipimpin oleh perwira-perwira menengah tentara berbagai angkatan dengan Angkatan Darat sebagai mayoritas. Ini semua berlangsung untuk jangka waktu yang cukup lama sepanjang Orde Baru, meskipun kemudian ada penurunan prosentase hingga ke 50 persen pada bagian-bagian akhir masa pemerintahan Jenderal Soeharto.

Berlanjut ke Bagian 5

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (3)

“Tuduhan terkait PKI waktu itu ditakuti, masyarakat begitu takutnya dihubung-hubungkan dengan segala yang berbau PKI. Maka saat itu, bahkan hingga beberapa tahun sesudahnya, tuduhan terlibat atau ditunggangi PKI sebagai alat untuk meredam sikap kritis terhadap kekuasaan masih sangat ampuh dan sering digunakan. Berbagai peristiwa, termasuk gerakan kaum muda, kerap coba dipatahkan dengan tuduhan-tuduhan semisal ditunggangi PKI”.

Sebagai catatan kaki untuk melengkapi data, Liddle mengutip  Daniel Lev (‘The Political Role of the Army in Indonesia’, Pacific Affairs, 1963) yang menguraikan bahwa “Sesungguhnya, Golkar adalah pembentukan kembali suatu kelompok parlementer yang sudah ada, yakni Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya), yang dibentuk pada 1964 di bawah perlindungan Angkatan Darat untuk mengendalikan dan memobilisasi anggota-anggota parlemen yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno guna mewakili bermacam-macam ‘golongan karya’ dalam masyarakat Indonesia, seperti buruh, tani, pemuda, wanita dan tentara. Selama Demokrasi Terpimpin, Angkatan Darat mendukung fungsionalisme sebagai suatu alat untuk mengesahkan partisipasi politiknya sendiri”.

Semula sebelum pilihan jatuh pada alternatif menghidupkan kembali Sekber Golkar, sebuah partai yang didirikan oleh kalangan tentara, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) sempat disebutkan akan diperbesar oleh tentara untuk menghadapi Pemilihan Umum pasca Soekarno. IPKI adalah partai yang dibentuk pada tahun 1954, bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, yang tujuan utamanya untuk menyongsong Pemilihan Umum 1955. Anggota dan pendukung utama partai ini adalah bekas-bekas pejuang kemerdekaan, dan dikenal masyarakat sebagai partainya Angkatan Darat. Namun dalam Pemilihan Umum 1955, IPKI hanya memperoleh 4 kursi, sebuah debut yang tak begitu bagus. Tulang punggung IPKI di masa-masa awal pasca Soekarno adalah Jenderal Soekendro. Ia sempat mengupayakan IPKI sebagai partai alternatif. Tapi ia tampaknya menghadapi ketidakcocokan dengan Aspri bidang politik dari Presiden Soeharto, Jenderal Ali Moertopo, yang lebih cenderung kepada membesarkan Sekber Golkar. Untuk menyongsong pemilihan umum yang pertama dari masa orde baru, pilihan penguasa baru akhirnya jatuh kepada Sekber Golkar untuk dibesarkan. Mungkin memang lebih baik menciptakan sesuatu yang ‘lebih baru’ daripada mencoba sesuatu yang pernah ‘tak berhasil’ di masa lampau. Golkar diidentifikasikan sebagai pengelompokan yang punya ‘posisi’ dalam UUD 1945 yakni unsur “golongan-golongan” dalam Pasal 2 Bab II. Dalam bagian penjelasan Pasal tersebut, “golongan-golongan” ini ‘tergambarkan’ ada di mana-mana dalam masyarakat berupa badan-badan koperasi, badan pekerja, berbagai badan kolektif dan dalam badan-badan ekonomi. Betul-betul luas pengertiannya, siapa pun yang bekerja dan berkarya, pastilah termasuk Golongan Karya.

Keluhan utama yang secara klasik disampaikan para politisi partai Islam adalah bahwa sepak terjang mereka dihambat dengan cara-cara curang oleh tentara. Tudingan ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Tetapi tudingan ini seakan mendapat pembenaran, setelah dibelakang hari, setelah pensiun, mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, pernah dikutip oleh Adam Schwarz (buku ‘A Nation in Waiting’) penilaiannya mengenai kemenangan Golkar tahun 1971 bahwa “kalau mengandalkan kepada kemampuan Golkar sendiri, tanpa topangan dari ABRI, maka partai-partai Islam lah yang akan menang”. “Saya dapat memastikan itu”. Sekali lagi, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi terlepas dari itu, nyatanya memang partai-partai politik berideologi Islam tersebut, mengalami pencapaian yang di luar harapan mereka sendiri. NU yang pada tahun 1955 memperoleh 47 kursi, pada pemilu 1971 memperoleh 58 kursi, tapi jelas sangat berbeda posisinya karena pada tahun itu kursi DPR adalah 460. Jadi NU hanya memperoleh 12,6 persen. Bandingkan dengan tahun 1955 yang sebesar 17,28 persen. Sementara itu Parmusi yang dianggap penjelmaan Masjumi hanya memperoleh 24 kursi (5,21 persen), sedangkan Masjumi tahun 1955 memperoleh perwakilan 22,05 persen, karena perolehan kursi 60 dan berada pada tempat teratas melebihi PNI yang memperoleh 58 kursi.

Sebenarnya, harapan partai-partai Islam untuk unggul setelah jatuhnya Soekarno, sehingga bisa bermitra dalam kekuasaan negara dengan tentara, memang tidak terlalu realistis. Memang benar menurut statistik sekitar 90 persen rakyat Indonesia tercatat beragama Islam. Tetapi, mereka yang beragama Islam itu tidak dengan sendirinya seluruhnya setuju dengan dibawa-bawanya nama Islam dalam politik untuk memperebutkan kekuasaan yang duniawi. Kalangan cendekiawan Islam sendiri misalnya, tak kurang banyaknya yang menyerukan keberatan terhadap pengatasnamaan Islam ini dalam berpolitik. Selain itu, harus disadari juga adanya kaum abangan dalam struktur masyarakat Indonesia, yang biasanya lebih bersimpati kepada kekuatan politik yang beraliran nasionalis tanpa membawa embel-embel agama dan sikap-sikap fanatis. Setelah terjadi Peristiwa G30S, merupakan fakta yang berkaitan untuk dicatat, bahwa pengikut-pengikut atau simpatisan PKI dan demikian pula simpatisan PNI Asu (Ali-Surachman), yang untuk sebagian juga beragama Islam ternyata melakukan eksodus dalam rangka mencari perlindungan baru, berpindah agama menjadi Kristiani, ditambah sedikit Hindu dan Budha. Jelas, tidak tampilnya PKI dan PNI Asu dalam pemilihan umum 1971, bukan berarti partai-partai Islam akan mendapat benefit, kecuali bahwa jumlah pesaing menurut kuantita kepartaian berkurang.

Jangan keliru, kaum komunis di Indonesia tidak bisa begitu saja dianggap atheis, apalagi pengikut PNI –meskipun saat itu ada kedekatan dengan PKI. Banyak data dan bukti menunjukkan bahwa anggota-anggota PKI untuk sebagian besar adalah penganut Islam yang cukup baik dan taat, tidak semuanya abangan, terutama yang ada pada mantel-mantel organisasinya seperti organisasi buruh dan petani. Secara historis, salah satu cikal bakal PKI di Indonesia memang berasal dari salah satu sayap Sarekat Islam. Robert Heffner dan Margaret L. Lyon, dalam tulisan-tulisan mereka mengungkapkan berpindahnya tak kurang dari dua juta orang yang adalah anggota keluarga PKI dari agama Islam ke agama lain karena ‘mencari perlindungan’. Tapi banyak indikasi menunjukkan bahwa perpindahan yang terjadi sebenarnya adalah lebih besar, sehingga mencapai setidaknya dua kali lipat yaitu sekitar 4 juta hingga rentang beberapa tahun setelah peristiwa 1965, setidaknya sampai tahun 1970.

Kenapa hal ini terjadi, tak lain karena dalam aksi ‘pengganyangan’ PKI, banyak anggota atau simpatisan partai komunis ini yang dibunuh. Kemudian setelah itu, suatu tekanan yang terus menerus tetap berlangsung atas diri mantan PKI maupun keluarganya, sehingga mereka terpaksa juga untuk tidak berhenti-hentinya mencari ‘jalan pelarian’. Menurut satu Komisi Peneliti yang ditugaskan Soekarno untuk mencari fakta, ada 78.000 orang yang terbunuh. Sementara berbagai lembaga swadaya masyarakat internasional menyebutkan angka 100.000 hingga 500.000 orang.  Selain korban yang dibunuh itu, puluhan ribu, bahkan ada yang menyebut angka ratusan ribu, ditangkap dan ditahan bertahun-tahun di berbagai tempat di pelosok tanah air. Professor dari Monash University, Australia, Dr Herbert Feith, menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik yang ditahan penguasa baru Indonesia di tempat-tempat tahanan yang sangat buruk kondisinya. Herbert menyebut penahanan itu sebagai ‘noda dalam riwayat Orde Baru’. Sementara itu sisa-sisa PKI lainnya melarikan diri, bersembunyi dan mungkin melakukan perlawanan-perlawanan sosial dan politik dengan berbagai cara termasuk penyusupan.

Bila klaim Aidit benar, anggota aktif PKI adalah sekitar 3.500.000 orang, dan bahwa organisasi-organisasi massa onderbouwnya memiliki 23.000.000 anggota, bisa diperkirakan berapa besar gerak antisipasi yang telah berlangsung di kalangan orang-orang PKI maupun keluarganya ini. Selain kepada tentara (Angkatan Darat), kebencian keluarga korban pembunuhan ditumpahkan terutama kepada organisasi-organisasi kepemudaan Islam yang mereka anggap, ketahui dan yakini sebagai eksekutor-eksekutor atas kakek, ayah, ibu, paman dan kakak mereka yang dituduh PKI. Ada sejumlah tokoh pemuda Islam (pada tahun 1965), yang tidak perlu disebutkan namanya, di kemudian hari menyatakan tidak menyesal atas peranannya dalam rangkaian pembunuhan itu, karena ini tak lain “mata di balas mata, nyawa dibalas nyawa”. PKI dan onderbouwnya bertahun-tahun lamanya di era Nasakom Soekarno telah melakukan penindasan, kekejian dan pembunuhan terhadap pemuka-pemuka agama di berbagai pelosok pedesaan, maka menurutnya, layak untuk memikul beban atas dosa-dosa mereka.

Pada sisi lain, masalah PKI ini juga senantiasa digunakan oleh penguasa sebagai senjata untuk menekan dan meredam berbagai perlawanan dalam masyarakat dan gerakan kritis. Ketika pada tahun 1969, HJC Princen dari Lembaga Pembela Hak Azasi Manusia, mengungkap adanya pembunuhan bergelombang di Puwodadi terhadap mereka yang dicurigai sebagai komunis oleh kesatuan ABRI di bawah pimpinan seorang Kapten, ia segera dituduh sebagai seorang komunis. Tuduhan terang-terangan bahwa Princen komunis datang dari Gubernur Jawa Tengah Mayjen Munadi. Sang Gubernur menyebut Princen adalah seorang bekas serdadu Belanda yang menggabungkan diri dengan pasukan PKI yang menduduki Pati di tahun 1948. Dan ketika Pati direbut kembali, Princen dibawa pasukan Siliwangi ke Jawa Barat. Tapi Letnan Jenderal Kemal Idris memberi keterangan yang mematahkan tuduhan Munadi. Menurut Kemal, ia menemukan Princen sebagai tawanan PKI, dan setelah ada kepastian bahwa Princen bertekad ikut Republik, maka Princen dibebaskan dan ikut long march Siliwangi kembali ke Jawa Barat.

Tuduhan terkait PKI waktu itu ditakuti, masyarakat begitu takutnya dihubung-hubungkan dengan segala yang berbau PKI. Maka saat itu, bahkan hingga beberapa tahun sesudahnya, tuduhan terlibat atau ditunggangi PKI sebagai alat untuk meredam sikap kritis terhadap kekuasaan masih sangat ampuh dan sering digunakan. Berbagai peristiwa, termasuk gerakan kaum muda, kerap coba dipatahkan dengan tuduhan-tuduhan semisal ditunggangi PKI. Mahasiswa yang kritis sering diwanti-wanti, agar waspada dan jangan sampai ditunggangi PKI.

Berlanjut ke Bagian 4

Dipa Nusantara Aidit: Mengibarkan Bendera Merah (3)

“Karena elite partai-partai Islam ini tak mampu, untuk tidak menyebutnya tak berani, terang-terangan membela akar rumputnya –dengan beberapa pengecualian– maka tercipta ‘api dalam sekam’ berupa kebencian terpendam dari mereka yang teraniaya dan secara tragis sekaligus tak terlindungi oleh para pemimpinnya. Suatu ketika, semua ini meledak dalam bentuk pelampiasan dendam… “.

DALAM usia masih amat muda, Aidit bersama teman-teman lain seperti Nyoto dan Nyono, pada tahun 1952 berhasil menapak masuk ke dalam jajaran pimpinan pusat partai, menggantikan generasi yang lebih tua yang telah kenyang merasakan suka-duka perjuangan ideologi dan perjuangan melawan Belanda bersama kaum pergerakan lainnya.

Sajoeti Melik menuturkan, bahwa sebelum mengambilalih kepemimpinan PKI, Aidit pernah menemuinya pada tahun 1951, mengajaknya untuk menyusun kembali dan mengambilalih kendali PKI yang berantakan dan stagnan setelah Peristiwa Madiun 1948. Tapi Sajoeti menolak ajakan tersebut dan mengatakan tidak pernah tertarik kepada komunisme. Sajoeti sendiri menilai bahkan Aidit pun bukanlah orang yang betul-betul tertarik kepada komunisme, dalam artian seorang ideolog, namun lebih tertarik kepada aspek peranan dan kekuasaan yang bisa dicapai melalui partai. Penilaian Professor Durgov dari Uni Sovyet –seperti yang pernah disampaikannya kepada Harry Tjan– lebih pahit dari itu, “Pengetahuan Aidit tentang Marxisme-Komunisme, baru setingkat SMA”. Demikian pula dalam menarik dan mengendalikan rakyat.

Terlepas dari bagaimana tingkat ‘kemampuan’ ideologinya waktu itu maupun di kemudian hari, nyatanya dengan masuk dan mengambilalih kepemimpinan PKI di tahun 1952, Aidit berhasil menapak ke dalam kekuasaan, setelah membawa PKI menjadi 4 besar Pemilihan Umum 1955. Aidit tak dapat diremehkan lagi. Tema keadilan dan persamaan yang dibawakan PKI bagaimanapun harus diakui cukup memikat bagi kebanyakan rakyat yang kala itu sudah kenyang dengan berbagai penderitaan dan kemiskinan sejak zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan tahun-tahun awal Indonesia yang bergolak setelah proklamasi serta perlakuan kalangan penguasa yang kerapkali amat buruk.

Aidit –yang lahir di pulau Belitung tahun 1923– sebenarnya menjalani keikutsertaan terbatas dalam pergerakan pra kemerdekaan Indonesia. Ia masuk Gerindo pada tahun 1939. Perkenalannya dengan dunia organisasi sejak itu, membawanya bergabung ke dalam kelompok Pemuda Menteng 31 Jakarta di masa pendudukan Jepang. Teman-temannya di Menteng 31 itulah yang mengusulkan pada Aidit untuk merubah nama aslinya, dari Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit, karena sudah terlalu banyak yang bernama Ahmad di kalangan pemuda Menteng 31 itu (Harsutejo 2003: 179). Konon, ayahandanya, Abdullah Aidit menyetujui perubahan nama itu, cukup dengan restu tanpa selamatan potong kambing.

Usai proklamasi, Aidit sempat ditangkap Belanda dan dipenjarakan di pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Karena mendekam dalam penjara hingga tahun 1947, praktis Aidit tidak tercatat keikutsertaannya dalam berbagai peristiwa dan gerakan bersenjata kalangan pemuda di sekitar Jakarta hingga Karawang-Bekasi. Segera setelah dibebaskan, Aidit meninggalkan Jakarta dan dicatat kiprahnya di Yogyakarta dan sekitarnya setelah itu. Namun ketika pecah Peristiwa Madiun 1948, ia melarikan diri kembali ke Jakarta. Berbagai cerita beredar kemudian mengenai pelariannya ini, di antaranya ia disebutkan melarikan diri ke Sumatera, bahkan sampai Vietnam. Nyatanya ia hanya bersembunyi di Jakarta dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat persembunyian lainnya, agar tidak tertangkap dalam kaitan Peristiwa Madiun 1948.

Ketika suasana ‘anti PKI’ sebagai akibat Peristiwa Madiun 1948 mereda, Aidit berhasil mengisi kekosongan kepemimpinan partai di tahun 1952 dan terbilang berhasil mengibarkan bendera merah komunis nyaris sempurna di Indonesia selama 13 tahun. Berhasil menjadi 4 besar dalam Pemilihan Umum 1955, PKI kemudian tumbuh pesat menjadi kekuatan politik berpengaruh melalui sinergi dengan Soekarno melalui forum Nasakom sampai 30 September 1965. Di bawah bendera Nasakom, kelompok Komunis secara de facto merupakan unsur terkuat dan dominan dibandingkan dengan dua unsur lainnya, baik kelompok Agama maupun kelompok Nasional. Periode 1963 hingga September 1965, sebelum terjadi patahan, menjadi masa paling ‘cemerlang’ bagi PKI. Pada masa itu, PKI menjadi partai paling ‘revolusioner’, ofensif, dan tercatat sebagai partai yang terdepan dalam berbagai inisiatif politik.

Salah seorang puteranya, Ilham Aidit (kini, berusia sekitar 50 tahun), mencatat kesan masa kecilnya bahwa Dipa Nusantara Aidit adalah seorang yang amat sangat sibuk. “Kedudukannya sebagai ketua partai membuat rumah kami selalu ramai sampai larut malam, karena begitu banyak orang hilir mudik untuk bertemu, rapat, diskusi, atau sekedar ngobrol ringan dengan Kawan Ketua itu. Yang paling sering datang adalah kawan dekatnya separtai, seperti Lukman, Nyoto, Sudisman, Nyono dan Sakirman” (Ilham Aidit, wawancara dan catatan tertulis).

Dalam kehidupan manusiawinya, di luar pagar kehidupan politiknya, Aidit, adalah seorang kepala keluarga dengan lima anak. Dua anak tertua, perempuan, Iba dan Ilya yang kala itu berusia belasan tahun, bersekolah di Moskow. Anak ketiga, bernama Iwan. Ilham dan adik kembarnya adalah anak keempat dan kelima. Isteri Aidit, seorang dokter, bernama Tanti. Selama bertahun-tahun, hingga bulan April 1965, keluarga ini tinggal di Galur, Tanah Tinggi, Jakarta, sebelum pindah ke jalan Pengangsaan Barat. Ayah Aidit dan seorang adik Aidit, bernama Asahan, ikut tinggal bersama keluarga Aidit. Asahan ini bertugas mengelola perpustakaan pribadi Aidit yang berisi ribuan buku. Aidit biasa bekerja, membaca atau rapat di ruang perpustakaan itu yang berukuran lima kali empat belas meter, yang terletak di bagian belakang rumah. Kebiasaan yang masih diingat isteri dan anak-anaknya, adalah “kemampuannya untuk bisa tertidur lelap di kursi kerjanya setelah membaca dan bekerja sepanjang malam”.

Enam hari dalam seminggu hidup Aidit, hampir sepenuhnya adalah untuk kegiatan politik, namun hari Minggu sepenuhnya untuk keluarga dan diisi dengan rekreasi di pantai Cilincing atau tempat lainnya. Selain itu, pada hari lain, meskipun hanya beberapa menit, bila ia pulang dan berjumpa dengan anaknya, ia akan segera meletakkan berkas-berkas yang terkepit di ketiak kanannya dan tas kerja yang ada di tangan kirinya, untuk “langsung meraih dan mengangkat tubuh kecil anak-anaknya dengan wajah gembira”. Tapi pada saat Aidit larut dalam kegiatan politiknya, menurut kesan anak-anaknya, seperti yang dicatat Ilham tampillah “sisi seorang DNA yang tak pernah kuduga dan kukenal, amat berbeda dengan ketika dia berada di tengah keluarga”. DNA adalah akronim yang digunakan Ilham untuk Dipa Nusantara Aidit, selain nama asli Ahmad. “Semangat dan suara lantangnya terdengar menggelegar, bergelora di tengah massa. Amarah dan kebenciannya keluar semua dalam orasinya. Aku pernah tak mengerti mengapa DNA seperti mempunyai kebencian dan marah yang luar biasa terhadap sesuatu. Semua meluap dalam orasinya ketika bicara soal Nekolim, tentang antek Amerika-Inggeris, dan Tujuh Setan Desa. Setiap aku berkesempatan pergi bersamanya, tak pernah aku jemu bertanya, mengapa DNA memusuhi itu semua”. Ketika Aidit menjawab, puteranya yang kala itu masih berusia sekitar enam  tahun, tak mengerti penuh uraian jawaban sang pemimpin partai.

Partai Nasional Indonesia yang menjadi representan utama dari unsur Nasional, antara 1959 hingga 1965, pada hakekatnya hanyalah partai ‘milik’ Soekarno yang tak punya kemauan dan sikap politik mandiri karena tak bisa keluar dari lindungan bayang-bayang kharisma pribadi Soekarno. Selain itu, suatu ‘penyusupan’ yang amat signifikan terjadi atas dirinya, terutama dari unsur komunis, yang tercermin antara lain dari didudukinya posisi Sekertaris Jenderal partai oleh Ir Surachman yang berhaluan kiri dan lebih patuh kepada PKI. Ali Sastroamidjojo, sang Ketua Umum, tersandera dalam rangkaian kebimbangan antara suara arus bawah dari sebagian warga kepala banteng itu yang menyuarakan keinginan keterbebasan dan pengambilan inisiatif peran politik disatu sisi, dan pada sisi lain ‘keharusan’ patuh terhadap pemikiran dan tindakan politik Soekarno yang begitu dekat dengan PKI.

Pada masa demokrasi terpimpin 1959-1965 itu, dengan demikian setidaknya ada dua kelompok yang berseteru di dalam tubuh PNI, antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan kecenderungan politik kiri serta kehadiran unsur komunis di tubuh partai. Mereka yang tidak berkenan dengan pengaruh komunis di tubuh partai, ada pada posisi minor, karena terdesak oleh dominasi kelompok kiri bersamaan dengan kuatnya kecenderungan oportunistik secara internal. Pengelompokan itu melajur hingga lapisan terbawah partai, sehingga melumpuhkan insiatif politik partai di berbagai tingkat dan di berbagai daerah.

Sementara itu, barisan partai-partai politik berideologi agama –Islam maupun Kristen dan Katolik– juga secara de facto menjadi unsur yang cukup lemah dalam konstelasi politik Nasakom. Parkindo dan Partai Katolik, terkendala oleh ‘kompleks’ dan konotasi minoritas mereka, kendatipun cukup terdapat pemikiran politik maju, ‘radikal’ dan progresif di dalam diri mereka. Partai Katolik bahkan adalah partai yang kendati memiliki postur tubuh yang tidak besar, menyimpan dalam dirinya think tank dengan performa tinggi dan mengesankan, serta memiliki pengorganisasian kepartaian yang signifikan sehingga cukup tangguh. Ketangguhan ini akan terbukti kelak melalui kader-kadernya dalam suatu proses perubahan politik yang terjadi beberapa tahun kemudian, mampu berperan bagaikan mayoritas pada posisi pijakan minoritas.

Bersama Ali Moertopo, sebagian dari kader-kader Katolik ini, ditambah suatu peran khusus kisah ‘belakang layar’ yang dijalankan Pater Joop Beek yang seorang rohaniwan Katolik, hampir-hampir menjadi legenda dalam pengendalian kekuasaan politik dalam satu kurun waktu tertentu kala itu. Sedangkan partai ideologi Islam terbesar NU –setelah dinyatakannya Masjumi sebagai partai terlarang, 17 Agustus 1960– lebih memilih bersikap mempertahankan status quo, terutama karena kebutuhannya untuk selalu berada sejajar berdampingan dengan kekuasaan, agar senantiasa disertakan dalam posisi-posisi pada pemerintahan, dalam posisi sekunder sekali pun. Jatah tradisional mereka dalam pemerintahan adalah Departemen Agama, ditambah pengikutsertaan rutin tokoh NU KH Idham Chalid selama beberapa tahun dalam kabinet Soekarno maupun selaku unsur pimpinan MPRS.

Partai-partai Islam lainnya, pun cenderung memilih jejak langkah ‘taktis’ NU yang terbukti aman. Bagi partai-partai ini dan sejumlah partai lain di luar PKI dan ‘separuh’ PNI, berlaku adagium ‘kalau tak mampu memukul lawan, rangkullah lawan itu’. Adalah beberapa di antara tokoh-tokoh unsur A ini yang berperan dalam akrobat politik, seperti misalnya penganugerahan gelar Waliyatul Amri untuk Soekarno. Sementara itu, penetapan Soekarno sebagai Presiden “seumur hidup” adalah akrobat politik lainnya lagi yang dilakukan beramai-ramai oleh setiap kekuatan politik dalam konstelasi Nasakom.

Situasi perilaku para pemimpin politik umat ini sebenarnya paradoksal dengan kenyataan bahwa pada tahun-tahun 1963, 1964 hingga pertengahan 1965, di berbagai daerah di tingkat bawah, pendukung partai-partai Islam ini, khususnya NU, menjadi sasaran utama aksi-aksi sepihak PKI, terutama dalam masalah pertanahan. Karena elite partai-partai Islam ini tak mampu, untuk tidak menyebutnya tak berani, terang-terangan membela akar rumputnya –dengan beberapa pengecualian– maka tercipta ‘api dalam sekam’ berupa kebencian terpendam dari mereka yang teraniaya dan secara tragis sekaligus tak terlindungi oleh para pemimpinnya. Suatu ketika, semua ini meledak dalam bentuk pelampiasan dendam yang tak terduga-duga kedahsyatannya. Selesai.

(Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006)

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (3)

“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto”

Pihak militer, meskipun mulanya merasa agak ter-’faitaccompli’, akhirnya mencari dan menemukan celah yang lebih baik pada masalah konfrontasi terhadap Malaysia. Penghapusan tuntas SOB, pada kwartal pertama 1963, potensil melemahkan posisi dan peran militer, namun adanya konfrontasi yang bagaimanapun juga membutuhkan unsur militer, telah menciptakan celah baru bagi suatu peran memadai. Nyatanya, terlihat kemudian Yani maupun Nasution banyak mendapat peran-peran signifikan dalam rangka Dwikora.

Juni 1964, Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani, berangkat ke Moskow dalam suatu misi untuk memperoleh persenjataan baru dengan teknologi lebih tinggi bagi keperluan Dwikora, di antaranya ‘membeli’ peluru-peluru kendali. Misi ini tidak berhasil memperoleh apa yang diharapkan. Bulan September, Soekarno meminta Nasution ‘melanjutkan’ misi Yani itu. Bahkan tatkala Nasution berada di Moskow, Soekarno menyusul ke sana. Misi Nasution ‘berhasil’ memperoleh persetujuan dari PM Kruschev, walau ia ini sempat menyentil tidak lancarnya Indonesia membayar utang-utang terdahulu. Akhirnya Jenderal Nasution menandatangani suatu perjanjian baru pembelian senjata dengan Marsekal Gretsko. Tapi, sekitar seminggu kemudian, Kruschev disingkirkan dari kekuasaaan oleh Breshnev dan kawan-kawan. Nasution mencatat, bahwa sewaktu diadakan jamuan  makan malam balasan oleh Soekarno bagi Kepala Negara Sovjet dan pemimpin Sovjet lainnya –yang tidak dihadiri Kruschev yang sedang ‘berlibur’ bersama keluarga–  Breshnev yang saat adalah orang kedua memang berperilaku agak aneh, lebih banyak diam sepanjang acara seolah-olah pikirannya ada di tempat lain (1987: 83).

Di luar kaitan masalah militer sementara itu, keadaan ekonomi yang makin memburuk secara luar biasa, kembali memerlukan pengalihan perhatian rakyat, setelah selesainya gerakan pembebasan Irian Barat. Alasan yang terakhir ini, diakui atau tidak, faktual menjadi kebutuhan Soekarno. Apapun, Soebandrio berhasil ‘membangkitkan’ Soekarno yang memang selalu menempatkan diri di barisan depan gerakan anti neo kolonialisme dan neo imperialisme, untuk kembali berada di garis depan dan lebih ‘dalam’ melawan Barat. Kendati mulai bersuara keras terhadap rencana Federasi Malaysia, dan juga terhadap Tunku Abdul Rahman, toh Soekarno masih ada kesediaan menuju meja perundingan di tahun 1963 itu, setidaknya sampai Agustus 1963.

PKI dan Soebandrio betul-betul memanfaatkan gerakan kiri Azahari yang menginginkan mengenyahkan Inggeris. PKI menyampaikan retorika, bahwa gerakan Azahari adalah gerakan rakyat untuk mengusir kaum kolonial dari tanah air mereka, maka harus didukung oleh semua kaum revolusioner yang anti kolonialisme dan imperialisme. Sementara itu di bawah permukaan, PKI dengan kuat mensupport Soebandrio yang mengerahkan BPI untuk menjalankan sejumlah operasi intelejen. PKI dan Soebandrio ‘menampung’ sejumlah pelarian yang melintas perbatasan ke wilayah Indonesia karena menghindari penangkapan setelah gagalnya gerakan Azahari. Pelarian-pelarian ini umumnya adalah dari etnis Cina yang berideologi komunis. Di Serawak terdapat hampir 300 ribu etnis Cina dari sekitar 800 ribuan penduduk, sedang di Sabah ada kurang lebih 100-150 ribu etnis Cina di antara sekitar 500 ribuan penduduk. Kebanyakan dari mereka adalah anggota partai dan organisasi-organisasi politik komunis, serta amat militan.

Atas ‘perintah’ Soebandrio, BPI merekrut puluhan dari pelarian militan ini, lalu diam-diam membawa mereka ke Jawa dan memberi mereka latihan militer yang cukup keras dibawah instruktur-instruktur combatan dari unsur Angkatan Kepolisian di Bogor. Hal ini tak sulit dilakukan karena Kepala BPI adalah seorang perwira kepolisian, yakni Brigadir Jenderal Soetarto. Mereka yang telah dilatih di Bogor ini, dikembalikan ke perbatasan Serawak, dan melatih lagi puluhan lainnya pelarian, termasuk sejumlah wanita, sebagai gerilyawan dengan kemampuan militer. Mereka inilah yang kemudian merupakan cikal bakal PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang mulai bergerak kembali ke Serawak dan menjalankan aksi gerilya sejak pertengahan 1963.

Kisah Abang Kifli, Operasi A dan ‘Operasi Babu-babu’. Soebandrio juga memberi dorongan dan kesempatan kepada Azahari dan pengikut-pengikutnya membentuk Kabinet Kalimantan Utara dalam ‘pengasingan’ di wilayah Indonesia. Seluruh anggota kabinet itu adalah golongan kiri di Kalimantan Utara. Tetapi ada seorang di antaranya, yang diangkat sebagai Menteri Pertahanan, bernama Abang Kifli, ternyata tidak berideologi kiri. Ia ini pernah bermukim sebagai ‘imigran’ di Indonesia dan bahkan bekerja untuk pemerintah Indonesia di Departemen Agama. Ia memiliki hubungan baik dengan Abdul Harris Nasution, jenderal yang mempunyai sejarah hubungan buruk dengan Soebandrio dan dianggap oleh yang disebut belakangan ini sebagai ‘musuh’ politiknya.

Mengetahui latarbelakang Abang Kifli yang sempat dinobatkan dengan pangkat ‘Letnan Jenderal’ selaku Menteri Pertahanan, Soebandrio ‘memerintahkan’ BPI agar membawa Kifli ke perbatasan untuk ikut suatu operasi penyusupan –Operasi A– ke wilayah Kalimantan Utara. Namun dengan alasan ada tugas penting di Jakarta ia kembali ke ibukota negara. Ia dianggap melakukan desersi dan segera dicopot dari Kabinet Kalimantan Utara, lalu ditahan beberapa bulan sampai dilepaskan kembali. Tampaknya, Jenderal AH Nasution berperan membantunya keluar dari penahanan.

Tak lama setelah lepas dari penahanan, ia dengan segera ke Kedutaan Besar Pilipina di Jalan Diponegoro-Imam Bonjol untuk meminta suaka. Dr Subandrio memerintahkan BPI menjerat kembali Kifli yang sebenarnya aman dalam pagar kekebalan diplomatik Kedutaan Besar Pilipina. Beberapa intel polisi ‘dikerahkan’ Kepala BPI Sutarto yang adalah seorang perwira kepolisian, melakukan operasi illegal memasuki kedutaan yang terdiri dari dua gedung dalam satu kompleks, satu digunakan sebagai kantor dan yang lainnya menjadi kediaman anggota kedutaan. Sepanjang hari, karena dua fungsi itu, praktis kedutaan terawasi selama 24 jam. Tetapi agaknya ada peluang pada setiap Minggu petang, yakni ketika para wanita pembantu rumah tangga dan beberapa pegawai diperbolehkan keluar kompleks untuk berbelanja makanan maupun sekedar ngobrol di tikungan dekat kedutaan. Pada peluang waktu yang sempit itu, dengan menggunakan kait para intel polisi suruhan BPI itu memanjat disamping gedung ke lantai dua, lalu dari sana turun ke lantai satu dan menemukan Abang Kifli sedang berbaring-baring di salah satu kamar. Selain membawa serta Kifli, mereka pun menyambar sebuah radio dan beberapa barang kecil lainnya untuk menimbulkan kesan pencurian. Kelak dalam laporan pihak kedutaan di kepolisian memang disebutkan motif pencurian. Karena operasi ‘penculikan’ Kifli ini memanfaatkan peluang yang tercipta oleh para wanita pembantu rumah tangga yang meninggalkan ‘pos’ mereka, maka operasi ini diberi nama ‘Operasi Babu-babu’. Abang Kifli lalu disekap sampai berakhirnya konfrontasi pada masa kekuasaan baru di Indonesia.

Operasi A adalah operasi penyusupan ke wilayah semenanjung maupun Kalimantan Utara. Operasi ini meniru yang pernah dilakukan pada masa Trikora pembebasan Irian Barat. Dalam mempersiapkan operasi ini, dengan bantuan PKI, sejumlah anggota organisasi kiri di Malaya dan Singapura, diberi isyarat untuk masuk ke Indonesia. Mereka datang dengan penerbangan-penerbangan komersial ke Jakarta dan disambut oleh beberapa perwira polisi dan anggota BPI untuk dibawa keluar Bandar Udara Kemayoran tanpa melalui pintu imigrasi. Mereka ditampung di sebuah tempat di Jakarta Timur bersama ratusan sukarelawan yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya mereka diangkut ke tempat pelatihan paramiliter, di Sekolah Kepolisian Sukabumi. Dilatih oleh instruktur-instruktur polisi dibawah selubung program pelatihan sukarelawan, yang sudah lazim dilakukan sejak masa Trikora. Pelatihan yang berlangsung sampai Juli 1963 itu, meliputi latihan yang ekstra khusus seperti pendidikan intelejen dan kontra intelejen, perang urat syaraf dan sabotase.

Pada bulan Juli itu juga, tampaknya apa yang dilakukan BPI itu sejak pelatihan untuk PGRS sampai upaya persiapan Operasi A ini, telah tercium oleh Inggeris dan Malaya. Tanggal 9 Juli Tunku Abdul Rahman menandatangani persetujuan pembentukan Federasi Malaysia. Dan adalah pula karena perkembangan baru tersebut pada bulan Juli itu persiapan Operasi A makin dimatangkan. Ke dalam operasi ini dimasukkan unsur-unsur KKO (Marinir) yang pimpinannya dikenal sebagai Soekarnois sejati. Begitu pula unsur-unsur Angkatan Kepolisian dan Angkatan Udara, yang beberapa pimpinannya juga amat Soekarnois dan mempunyai aspirasi ‘politik’ yang condong ke kiri, diikutkan dalam persiapan operasi. Jumlah yang dikerahkan dari tiga kelompok militer ini mencapai ratusan orang. Tetapi sepanjang tahun 1963 hingga pertengahan 1964, operasi ini belum juga dilaksanakan. Barulah kurang lebih 3 bulan setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, rombongan pertama coba disusupkan dari laut ke daratan Malaysia (Agustus 1964) namun mereka dipergoki oleh patroli udara Inggeris dan dibombardir sampai tenggelam. 20 orang tewas. Setelah kegagalan ini, BPI meninggalkan program ini.

Tugas-tugas kemiliteran selanjutnya secara resmi dilaksanakan Komando Siaga (KOGA) yang dibentuk dalam rangka Dwikora, dipimpin oleh Menteri Panglima AU Laksamana Madya Omar Dhani. Wakil Panglima I adalah Menteri Panglima AL Laksamana Muda Muljadi dan wakil Panglima II Brigadir Jenderal AD Achmad Wiranatakusumah. Sebagai Kepala Staf, diangkat Komodor Leo Wattimena, seorang penerbang Mig yang handal dan tersohor ke publik sebagai penerbang jagoan karena nekad bermanuver di udara. Komando Siaga ini dalam tempo tiga bulan ditingkatkan menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga)  dan dirombak susunannya karena suatu alasan internal. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dimasukkan ke dalam Kolaga sebagai Wakil Panglima I, sedangkan Laksamana Muda Laut Muljadi pindah menjadi Wakil Panglima II. Panglima Kolaga, tetap Laksamana Madya Udara Omar Dhani, dan Kepala Staf pun tetap dijabat Leo Wattimena yang telah naik pangkat menjadi Perwira Tinggi, Laksamana Muda Udara. Ditambahkan pula jabatan Wakil Kepala Staf, yakni Brigadir Jenderal AD A. Satari. Cukup menarik bahwa Menteri Panglima AD tidak duduk dalam Kolaga sebagaimana halnya Panglima dari dua angkatan yang lain.

Kisah Sarwo Edhie Wibowo. Masalah yang dihadapi oleh Angkatan Darat, tidak semata-mata penyusupan dari kekuatan politik, khususnya dari PKI, serta dilema terkait masalah Dwikora. Belakangan muncul pula tudingan adanya hubungan CIA dengan AD terkait ‘Dokumen Gilchrist’ –melalui istilah ‘our local army friends’– serta tudingan adanya ‘Dewan Djenderal’ yang berniat mengambilalih kekuasaan dari tangan Soekarno. Masalah lainnya, persoalan Angkatan Kelima. Banyak persoalan dan dilema juga timbul dalam rangka persaingan pribadi yang terkait dengan masalah karir, perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat maupun sikap-sikap kritis terhadap sikap dan perilaku kepemimpinan satu sama lain. Masalah CTN yang kemudian menjadi alasan ketidakpuasan Kolonel Kahar Muzakkar sehingga kemudian membelot dan berontak misalnya, merupakan salah satu contoh. Contoh lain, adalah berikut ini.

Pada akhir tahun 1964, terjadi sedikit masalah di tubuh pasukan elite AD, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Seorang Mayor bernama Benny Moerdani mengeritik secara terbuka atasannya, Komandan RPKAD Kolonel Mung Parhadimuljo, dalam suatu pertemuan, terkait soal ketidakefisienan penggunaan dana dan sumberdaya, Kolonel Mung, meskipun cukup kesal terhadap serangan terbuka Benny – yang oleh beberapa perwira lain dianggap pembangkangan kepada atasan – tidak sampai mengambil tindakan apa pun terhadap Benny. Maka, tampaknya persoalan tersebut takkan berkembang dan merembet lebih jauh. Itulah sebabnya, setelah pertemuan itu, Benny sempat melanjutkan rencana pribadinya keluar Jakarta untuk melaksanakan bulan madu dengan isteri yang baru dinikahinya. Akan tetapi, Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, wakil komandan pasukan elite Angkatan Darat tersebut, merasa perlu untuk menyampaikan persoalan tersebut kepada Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Panglima AD ini tak terlalu terkejut dengan laporan Sarwo, karena secara pribadi Benny yang menjadi salah seorang perwira tulang punggung operasi di Irian Barat, pernah menyampaikan keluhannya mengenai Kolonel Mung ini. Penyampaian Sarwo menjadi konfirmasi tambahan baginya.  Bulan Januari 1965, Yani melakukan serangkaian perubahan dengan caranya sendiri. Kolonel Mung mendapat tugas baru sebagai Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur, salah satu garis depan ke wilayah Malaysia dalam rangka Dwikora. Benny Murdani, sempat diskors oleh Sarwo Edhie. Dalam masa skors ini Benny bertemu Letnan Kolonel Ali Moertopo yang bertugas di Komando Strategis Angkatan Darat di bawah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Ali menanyakan kepada Benny, “tugas di mana sekarang ?”. Benny lalu menceritakan nasibnya yang sedang di ujung tanduk. Dan akhirnya dengan bantuan Ali Moertopo, Benny berhasil dialihkan ke Kostrad, dan bertugas di bawah komando Panglima Kostrad. Benny Murdani sebelumnya pernah bertugas di bawah Soeharto dalam rangka operasi Mandala, karena Soeharto adalah Panglima Mandala untuk pembebasan Irian Barat.

Kekosongan di RPKAD setelah Mung dialihkan, diisi oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan mengangkat Letnan Kolonel Sarwo Edhie sebagai komandan baru – lebih tepatnya sebagai pelaksana harian – dengan kenaikan pangkat menjadi Kolonel. Sebenarnya pengangkatan Sarwo Edhie ini tidak terlalu menggembirakan bagi sejumlah perwira AD terutama di lingkungan RPKAD sendiri. Ada penilaian bahwa Yani sedikit nepotik dalam pengangkatan Sarwo yang amat dekat secara pribadi. Menurut kriteria tak tertulis yang berlaku selama ini, seorang Komandan RPKAD haruslah dari kalangan perwira yang telah menjalani latihan-latihan komando, baik di pusat latihan Batujajar dekat Bandung maupun pelatihan setara di luar negeri. Pendidikan luar negeri yang pernah dijalani Sarwo tidak berkategori pelatihan sekolah komando, ia adalah siswa pada pendidikan staf (staff college) militer di Australia. Untuk mendampingi Sarwo, sebagai wakil diangkat Letnan Kolonel Prijo Pranoto yang pernah mengenyam pendidikan ranger di Fort Benning (1960) AS. Sebelumnya Prijo Pranoto adalah komandan pusat pelatihan RPKAD di Batujajar. Maka banyak yang berharap bahwa Sarwo Edhie hanya akan menjadi komandan masa transisi untuk beberapa lama, sebelum Yani mengangkat perwira lain yang lebih sesuai kualifikasinya. Meskipun banyak ‘complain’ disampaikan kepada Ahmad Yani melalui berbagai cara, Panglima AD ini tetap mempertahankan keputusannya mengenai Sarwo Edhie, tanpa pernah memberi penjelasan apapun.

Namun sejarah mencatat bahwa pengangkatan Sarwo Edhie Wibowo oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi pimpinan RPKAD kelak ternyata menjadi semacam suatu rahmat terselubung, sebagaimana yang terjadi 1 Oktober di tahun 1965 itu juga. Kolonel Sarwo Edhie ternyata menjadi pemain bintang dalam menghadapi Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Suatu ‘ketidakmujuran’ bagi PKI dan Aidit. Seakan Yani memiliki suatu visi yang khas tatkala memilih Sarwo. Tapi malang, Yani sendiri adalah salah satu jenderal yang menjadi korban pembunuhan dan penculikan G30S pada Jumat malam 30 September menuju 1 Oktober 1965.

Pengangkatan Kolonel Sarwo sebagai pelaksana harian Komandan RPKAD oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani, belakangan mendapat pengukuhan baru dari Jenderal Soeharto tatkala menduduki posisi selaku Menteri Panglima AD sesudah berlalunya peristiwa berdarah itu.  Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah bagaikan anak panah yang muncul dari balik tabir blessing in disguise dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Selesai.

-Pemaparan ulang dari bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Kini, Kisah Tiga Jenderal:Jejak Rekam Masa Lampau (1)

– Rum Aly

SERPIHAN bom di Mega Kuningan untuk sebagian juga terlontar masuk ke ruang politik praktis –yang temperaturnya tak ikut turun bersama usainya pemilihan presiden 8 Juli 2009– dan menciptakan rentetan ledakan baru di sana. Sementara itu, indikasi yang ditunjukkan sidik forensik yang ditemukan penyelidik kepolisian di sekitar lokasi peristiwa pemboman Marriot-Ritz Carlton tampaknya berjalan menuju arah yang berbeda dengan indikasi berdasarkan laporan intelijen yang dikutip Presiden kemarin, Jumat 17 Juli. Mengasumsikan bahwa kedua sumber indikasi punya kadar reliability yang sama, dengan sedikit menyederhanakan pemikiran, kita bisa mengatakan pada hakekatnya ada dua peristiwa berbeda namun bersatu dalam satu ‘ledakan’. Sampai, ada fakta lanjutan yang bisa menunjukkan bahwa kedua soal itu, yakni pemboman dan kekecewaan terhadap pilpres, ternyata berkaitan dalam satu hubungan sebab-akibat.

Terlepas dari itu, sebenarnya ada ‘detil kecil’ menarik dalam penyampaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selepas Jumat siang itu. Presiden menggunakan penyebutan intelijen yang ‘ada di pihak pemerintah’. Apakah percikan ‘refleks’ ini berarti ada intelijen yang bukan di pihak pemerintah? Ini menjadi menarik, bila dikaitkan bahwa dalam kancah pemilihan presiden yang baru lalu ini, ada tiga jenderal –purnawirawan dengan pengaruh dan atau sisa pengaruh tertentu yang dapat dipastikan tidak kecil– di antara enam tokoh yang maju sebagai kandidat calon presiden atau wakil presiden. Di masa lampau, sepanjang yang dapat dicatat, ada sejarahnya bahwa tidak selalu jaringan intelijen ada dalam kendali resmi pemerintah, melainkan bisa di bawah kendali perorangan atau kelompok militer tertentu yang ada di dalam kekuasaan. Salah satu contoh paling klasik adalah jaringan Opsus (Operasi Khusus) di bawah Ali Moertopo di masa awal orde baru. Dan dibelakang Ali Moertopo ada nama Pater Beek, yang sebenarnya seorang biarawan namun berpengalaman dan berkemampuan operasional khusus dengan kategori excellent.

Apakah di luar SBY yang adalah Presiden incumbent, kedua jenderal yang lain, Wiranto dan Prabowo Subianto, juga punya jaringan intelijen yang aktif dan atau telah diaktivasi kembali untuk kepentingan politik masing-masing? Sekedar melihat bahwa di sekeliling dua jenderal itu memang terdapat sejumlah purnawirawan tokoh militer dengan kategori ‘terkemuka’ di masanya masing-masing, dan beberapa di antaranya pernah memangku jabatan di lembaga-lembaga intelijen, secara awam dapat dikatakan bahwa bagaimanapun ada jaringan semacam itu atau setidaknya ada cara dan metode intelijen yang digunakan sebagai penopang dalam berpolitik. Hal yang sama tentu terjadi dengan Susilo Bambang Yudhoyono, yang bahkan punya akses kuat terhadap intelijen ‘incumbent’. Artinya, di belakang pertarungan politik yang baru lalu ini terjadi pula semacam ‘perang’ intelijen? Barangkali, ya. Kalau ya, memang ya, karena ini semua ciri gaya militer dalam berpolitik, bukan gaya pertarungan politik kaum sipil yang lebih pandai dalam pertarungan adu mulut saja –dari yang etis sampai yang tak etis samasekali. Tempo hari, militer yang berpolitik sering dijuluki politician in uniform, sedangkan politisi sipil dari partai disebut sebagai ‘tukang kecap’ dan tak pernah ada kecap yang tidak nomor satu.

Pada awal bergulirnya reformasi, peranan politik kelompok-kelompok militer, secara kuat ditekan oleh berbagai kekuatan politik dan kekuatan lainnya dalam masyarakat. Nyaris-nyaris tiba ke titik nol, terbalik sama sekali dengan masa ‘kegemilangan’ penerapan Dwifungsi ABRI, yang memberikan peranan dan fungsi sosial politik yang besar kepada ABRI (kini TNI) selain peranan dan fungsi pertahanan-keamanan yang sudah begitu kuatnya. Sedemikian besar fungsi sospol yang dimiliki sehingga ada masa di mana posisi-posisi penting di kabinet dan pemerintahan serta jabatan-jabatan gubernur, bupati/walikota, pimpinan badan usaha milik negara dan lain sebagainya hampir-hampir habis diborong tak bersisa bagi kaum sipil.

Ternyata kaum sipil yang seakan-akan berhasil merebut tempat utama dalam kehidupan politik sesudah berakhirnya masa kekuasaan Soeharto –dan dengan demikian juga diharapkan dalam pengelolaan kekuasaan negara– tidak cukup memiliki kepercayaan diri dan pada akhirnya kembali menoleh kepada sumber-sumber militer. Fenomena ini menguat menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Presiden secara langsung di tahun 2004 dan makin kokoh pada tahun 2009. Niatnya, kira-kira bagaimana kini ‘memperalat’ militer, tapi nyatanya bisa juga terbalik kemudian. Berikut ini, beberapa cuplikan catatan lama tentang perilaku partai dan kekuatan sipil lainnya tatkala mendapat kesempatan mengelola kekuasaan negara setelah 1998 (yang untuk sebagian diangkat dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Partai-partai dan kekuatan-kekuatan politik aktual yang berperan setelah 1998 –baik yang memiliki kaitan sejarah dengan partai-partai atau kekuatan politik masa orde baru maupun yang muncul melalui peluang baru masa reformasi– ternyata lebih kuat kecenderungannya kepada subjektivitas hasrat kekuasaan untuk dirinya sendiri daripada memperjuangkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Kerapkali keburukannya sulit dibedakan dengan tentara di waktu lalu, hanya saja mereka tak bersenjata di tangan, tetapi pada hakekatnya sama-sama haus dan mengutamakan kekuasaan untuk diri sendiri. Sehingga, sulit untuk diharapkan sepanjang mereka semua tidak punya kemauan melakukan perubahan signifikan dalam dirinya masing-masing. Dan itu tetap sama keadaannya hingga tahun 2009 ini, terutama di saat sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia sedang menderita ‘kesakitan sosiologis’ seperti sekarang: mudah dibeli sehingga gampang merubah ‘kesetiaan’, mudah diperalat, mudah diprovokasi, mudah diadudomba, mudah marah tapi mudah pula putus asa, malas berpikir dan seakan-akan sudah kehilangan persepsi, dan sebagainya. Ada daftar panjang untuk hal ini.

Fenomena sikap para pemegang kekuasaan baru pasca Soeharto, yang berasal dari kalangan sipil, yakni sampai naiknya Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatarbelakang militer, mungkin bisa dipahami hanya dari fakta bahwa kehadiran mereka pada garis besarnya tidak diawali dengan kuat oleh suatu perjuangan idealistik. Katakanlah, misalnya, perjuangan idealistik berupa suatu inisiatif menjalankan proses pembaharuan secara konseptual, atau perjuangan menegakkan demokrasi yang mendasar, melainkan sekedar terseret peralihan ataupun korban ‘perlawanan’ (kalau memang ada perlawanan, karena pusat perlawanan ada di ‘tempat’ atau di tangan orang lain) –untuk tidak menyebutnya sekedar korban dengan berbagai lekatan sisa sindroma– terhadap penindasan rezim sebelumnya. Tatkala penindas perlaya, mereka yang pernah diinjak – seperti semut, namun tak sempat menggigit– boleh naik dan mungkin saja merasa berhak untuk ‘menginjak’ atas nama dan dalih apapun.

Berlanjut ke Bagian 2

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (4)

Korupsi: Dalam Perspektif Keabadian

HINGGA tahun 1970, tingkat kepercayaan kepada Soeharto sebenarnya masih cukup tinggi. Ada beberapa kisah kecil yang menunjukkan dirinya masih patut diteladani, pada tahun-tahun awal penampilannya sebagai pemimpin bangsa dan negara. Sebuah sketsa peristiwa disajikan di pertengahan 1968 (Mingguan Mahasiswa Indonesia, 21 Juli 1968) sebagai berikut ini: “Kini anak-anak penggede-penggede Orde Baru mulai banyak tingkah”. Tiap hari koran-koran Jakarta mengecam ngebut (Dulu, Guntur Soekarnoputera juga senang ngebut dengan mobilnya di Bandung tanpa ada yang berani menegur). Polisi lalu lintas dikecam karena tidak berani bertindak. Suatu hari seorang wartawan datang pada perwira tinggi polisi dan bertanya tentang soal ini. “Bagaimana anak buah saya berani bertindak ? Suatu kali polisi lalu lintas menegur salah seorang pemuda yang melanggar lalu lintas. Apa jawabnya ? ‘Kamu tidak tahu ? Saya anak menteri luar negeri !’…”, demikian sang perwira menuturkan. Diceritakan seterusnya, “anak Jenderal Soeharto juga ditangkap polisi lalu lintas. Tetapi ayahnya tegas. Anaknya tetap diadili. Dan di rumah ia dimarahi oleh ayahnya”. Bahkan ada yang menyaksikan bahwa ‘rebewijs’ (SIM atau Surat Izin Mengemudi) anaknya itu disobek. “Tindakan Jenderal Soeharto terhadap anaknya patut dicontoh oleh penggede-penggede Orde Baru yang lain”, demikian dituliskan. “Jangan menyalahgunakan kekuasaan bapaknya”.

Demikianlah, di mata mahasiswa misalnya, dengan berbagai fakta dan data empiris Soeharto dianggap masih bisa diharapkan membawa perbaikan setelah jatuhnya Soekarno dari panggung kekuasaan. Tapi ada beberapa kritik yang diajukan kepadanya. Dalam menjawab kritik, sebaliknya kepada mahasiswa –dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan sejumlah tokoh mahasiswa– ia mengajarkan pentingnya bersabar, dan menyitir pepatah Jawa alon-alon waton kelakon. Ia pun menampilkan banyak “tepa slira”, suatu sikap yang senantiasa berusaha menempatkan diri dalam posisi orang lain, berusaha mengerti mengapa sampai terjadi suatu perbuatan  dan tak buru-buru menindaki. Tetapi secara bertolak belakang, pada waktu yang bersamaan banyak kalangan kekuasaan yang dekat dengan Soeharto menjawab kritik-kritik mahasiswa dengan cara yang lebih ketus dan sering vulgar.

Sifat-sifat Soeharto yang lekat dengan budaya Jawa ini, bagi sebagian besar mahasiswa dianggap mulai ketinggalan zaman. Tentang prinsip alon-alon ini, Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung namun memiliki pengaruh secara nasional itu, menulis pada salah satu terbitan di bulan Agustus 1970 –dua tahun setelah memuat sketsa teladan kecil Soeharto– sebagai berikut. “Alonalon asal kelakon, adalah petuah kakek-kakek dan nenek-nenek Jawa, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia ‘Lambat-lambat sajalah, pokoknya terlaksana’. Di balik pemeo ini tersimpan sikap yang cermat dan hati-hati (‘nistiti lan ngatiati’), menerima (‘narima’), rendah hati (‘andapasor’) – diletakkan dalam tempo hidup yang ‘nguler kambang’ (seperti ulat berenang di air, sangat lambat). Dapat dibayangkan ‘pegangan hidup’ semacam itu dipetuahkan oleh seorang bangsawan tua sambil duduk di kursi goyang, menikmati teh kental lambat-lambat, satu teguk setiap lima menit. Diiringi suara perkutut dan gending ‘Pangkur Palaran laras Pelog patet Barang’ yang mengalun gemulai seperti padang bunga tertiup angin dan membentang sayup-sayup seakan tak bertepi –surga yang ‘terdengar’ di bumi itu– yang dapat membawa seorang ‘priyantun Jawi’ (bangsawan Jawa) ke dalam ‘liyep layaping ngaluyup’ (keadaan jiwa yang melayap sayup, antara tidur dan jaga)”. Tapi, “Sedikitnya sejak dua generasi yang lalu, alonalon waton kelakon mulai kurang populer. Orang-orang Jawa mulai meninggalkan hidup ‘sub specie aeternitatis’ (dalam perspektif keabadian) dan membeli arloji. Waktu telah mulai menjadi pertimbangan. Seorang ahli musik mengeluh bahwa gending-gending Jawa klasik yang bernafas panjang-panjang mulai menghilang dan digantikan oleh gending yang bertempo lebih cepat”. Maka sesungguhnya mengherankan jawaban “alonalon waton kelakon’ yang diberikan Presiden Indonesia di abad 20 ini kepada kampanye anti korupsi dalam sebuah negara yang sedang memodernkan masyarakatnya. Dikaitkan dengan pemberantasan korupsi itu, mingguan tersebut mengingatkan “Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan proses pengadilan dan dengan perbaikan-perbaikan organisasi, administrasi dan manajemen. Ia harus dimulai karena waktu di zaman Apollo lebih bengis dan lebih cekatan dari di zaman Mahabharata. Sang Batara Kala di zaman sekarang telah menemukan pemeo internasional: Now or never”.

Apapun yang dikemukakan Soeharto, kelambanan adalah kelambanan bagi mahasiswa. Mereka mengajukan “sekarang atau tidak pernah”. Kelambanan ini sebenarnya telah dikeluhkan sejak tahun 1967. Amien Rais dari Universitas Gadjah Mada pernah mengingatkan “Orde Lama telah memprodusir kaum koruptor dan kelompok profiteur di mana-mana. Oleh karena itu, tanpa berani menggulung benalu-benalu yang telah difabrisir oleh Orde Lama itu, Orde Baru sulit akan melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi” (Mingguan Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-II Mei 1967). Amien menggambarkan kabinet Soeharto saat itu dihadapkan pada korupsi tingkat tinggi. “Kita tahu justru, koruptor-koruptor kaliber besar adalah mereka yang mempunyai kedudukan dan jabatan tinggi, baik dari kalangan sipil ataupun militer”. Soeharto harus berani menanggulangi korupsi secara wajar, ujar Amien. Sedang menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri dalam edisi yang sama, “Soekarno-soekarno kecil  yang korup  dan kaum vested interest pada umumnya masih dibiarkan berkeliaran dan memegang jabatan-jabatan kenegaraan”. Dan pada waktu yang bersamaan telah muncul debutan-debutan baru pelaku korupsi baru.

Nyatanya, seruan “sekarang atau tidak” memberantas korupsi tidak cukup bergema bagi penguasa baru pasca Soekarno. Sejarah memang membuktikan kemudian, bahwa bahkan hingga kini pemberantasan korupsi kenyataannya tidak pernah dilakukan sungguh-sungguh. Perspektif keabadian tidak berhasil ditinggalkan, khususnya dalam memberantas korupsi, sehingga mungkin saja kelak kita tercengang bahwa perilaku korupsi menempati posisi keabadian dalam kehidupan bangsa ini. Bahkan setelah Indonesia berganti presiden beberapa kali.

Tidak sabar menunggu-nunggu hasil Komisi 4, sejak Juni 1970 sejumlah tokoh mahasiswa di Bandung telah melakukan tukar pikiran yang intensif untuk merancang suatu gerakan baru anti korupsi, karena mereka kurang yakin terhadap peluang keberhasilan Komisi 4. Maka tanpa menunggu lama-lama mahasiswa Bandung dan juga mahasiswa Jakarta sejak Juli mulai bergerak kembali melakukan aksi anti korupsi. Di Bandung, muncul ‘Bandung Bergerak’ yang dimotori oleh aktivis-aktivis Dewan Mahasiswa seperti Marzuki Darusman, Sjarif Tando dan Boy Musbar Nurmawan. Selain itu tercatat pula nama-nama lain seperti Erna Walinono (kini Erna Witoelar), Agus Dipo Subagyo, Hernanto, A. Razak Manan, Arifin Panigoro, Muhidin, Oberlin Batubara, Seto Harianto, Paulus Harli, Achmad Buchari Saleh, Piet Tuanakotta, Lili Asdjudiredja, Surjana Nataadikusuma dan Jajun Wahju. Selain aktivis dewan mahasiswa dari ITB, Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan, sebagian dari mereka adalah fungsionaris-fungsionaris organisasi-organisasi ekstra seperti PMB, Imaba, CSB, Damas, PMKRI dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Pada saat-saat berikutnya datang dukungan dari HMI Bandung. Aktivis-aktivis HMI ini menggabungkan diri dan secara aktif turut serta dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung anti korupsi tersebut.  ‘Bandung Bergerak’ (BB) mendatangi sejumlah pejabat yang dianggap bertanggung jawab pada berbagai kementerian, menggugat dan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang mereka anggap korupsi dan penghamburan uang negara. Selain mendatangi beberapa kementerian yang lebih lazim disebut departemen, mahasiswa ‘Bandung Bergerak’ mendatangi kantor Pertamina di Jalan Perwira Jakarta dan Kejaksaan Agung di Jalan Sisingamangaraja. Di sana mereka menempelkan poster-poster anti korupsi. Kelompok ‘Bandung Bergerak’ ini diterima oleh Ketua DPR-GR dan kemudian menemui Presiden Soeharto. Kepada kedua pucuk pimpinan lembaga tinggi negara itu, mereka menyampaikan sepucuk surat terbuka yang menyangkut masalah korupsi. Pada waktu yang hampir bersamaan, sejumlah tokoh mahasiswa yang umumnya dari Universitas Indonesia, Arief Budiman, Marsilam Simandjuntak dan Sjahrir, melakukan kegiatan yang sama di bawah nama ‘Komite Anti Korupsi’ (KAK). KAK ini sebenarnya gabungan dari ‘Mahasiswa Menggugat’ dengan aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) sisa-sisa 1966.

Meski memiliki pola yang mirip, sebenarnya ada ganjalan yang terjadi antara mahasiswa Bandung dengan mahasiswa Jakarta kala itu. Mahasiswa Bandung mencurigai sebagian dari gerakan-gerakan mahasiswa di Jakarta itu diperalat oleh partai-partai – waktu itu ada 9 partai yang eksis dan siap mengikuti Pemilihan Umum 1971 bersama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Memang, isu-isu dan penyampaian yang dilontarkan mahasiswa Jakarta saat itu terasa amat paralel dengan suara-suara sejumlah partai. Apalagi fakta menunjukkan tercampurbaurnya sejumlah tokoh mahasiswa organisasi ekstra universiter yang dikenali sebagai ‘mereka yang dekat dengan kalangan partai’ dalam gerakan-gerakan mahasiswa Jakarta. Ditambah pula adanya satu dua tokoh yang diragukan integritasnya karena kedekatan dengan beberapa kalangan penguasa –dengan tentara maupun Opsus Ali Moertopo– dan atau punya tujuan-tujuan tertentu memanfaatkan gerakan di luar tujuan-tujuan idealistis. Bagi mahasiswa Bandung, partai-partai adalah kekuatan-kekuatan kepentingan sempit dan ideologistis yang merupakan penghambat modernisasi kehidupan politik dan bernegara. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang berbasis kampus di tahun 1970 itu dengan tegas menyatakan diri “tetap berpegang kepada strategi modernisasi” dalam menjalankan aksi-aksi mereka.

Jadi, sepanjang ada bau partai, tak ada kompromi bagi mahasiswa Bandung, kecuali partai-partai mau memperbaharui diri atau diperbaharui. Sikap tidak mau berkompromi dengan segala yang berbau partai politik ini pula, yang membuat banyak organisasi mahasiswa ekstra universiter yang secara langsung atau tidak langsung punya kaitan dengan partai, tersisih di kampus-kampus Bandung. Dalam pemilihan senat dan dewan mahasiswa di kampus-kampus utama perguruan tinggi yang ada di Bandung, secara umum tokoh-tokoh mahasiswa yang tercium punya afiliasi ekstra langsung tersisih. Yang masih agak menonjol adalah HMI, tapi organisasi yang dianggap punya kaitan dengan neo Masjumi dan ikut menopang kelahiran Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) ini dalam banyak hal kehilangan pengaruh di kampus terkemuka di Bandung, terkecuali di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) dan sedikit kampus kecil-kecil. Komisariat-komisariat mereka di berbagai kampus antara ada dan tiada dalam kegiatan. Tapi mereka yang secara perorangan menunjukkan kesamaan persepsi dalam menanggapi berbagai permasalahan sosial politik aktual tetap diterima dalam kegiatan sehari-hari. Rekan-rekannya di kampus memahami bahwa meskipun memiliki kesamaan persepsi, anggota-anggota HMI ini terkendala untuk ikut serta dalam kegiatan kritis yang sama dengan mahasiswa lain. Termasuk dalam gerakan anti korupsi. Karena, segala sesuatunya, sepanjang menyangkut soal pergerakan kala itu, keputusannya ada di tangan PB HMI di Jakarta.

Berlanjut ke Bagian 5