Category Archives: Intermezzo

Kisah Legiun Penggempur Naga Terbang, Doa di Bawah Rumpun Bunga Matahari (2)

Dr Midian Sirait*

Tak ada lagi Jenderal. Barulah pada akhir Nopember hingga awal Desember, Mohammad Hatta datang bersama Letnan Kolonel Alex Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adjie, untuk mencoba mengatasi pertikaian. Seluruh komandan pasukan dipanggil oleh Bung Hatta, dan untunglah Wakil Presiden ini masih punya wibawa. Seluruh komandan mematuhi panggilan dan bersedia menerima pengaturan-pengaturan dari Bung Hatta. Pola pengaturan seperti di Pulau Jawa dengan pembagian wilayah menjadi beberapa Wehrkreise dijadikan contoh dengan penamaan sebagai Sektor-sektor. Bagian selatan Tapanuli ditetapkan sebagai Sektor I, terdiri dari Brigade A dan Brigade B, dengan Bejo sebagai komandannya, berkedudukan di Sidempuan. Bagian utara Tapanuli yang bersinggungan dengan wilayah yang diduduki pasukan Belanda, menjadi Sektor II yang terdiri dari eks Divisi Banteng Negara dan eks Brigade XI yang untuk sebagian juga sempat dilucuti oleh Brigade B. Posisi Komandan Sektor II diserahkan kepada Liberty Malau dan berkedudukan di Tarutung. Pada Sektor II bergabung Kapten AE Manihuruk, Kepala Staf Batalion III, karena luka-luka yang dideritanya untuk beberapa lama ia diperlakukan ‘istimewa’ seperti Jenderal Sudirman, kemana-mana ditandu. Sementara itu Sektor III meliputi wilayah bagian utara Karo dan Dairi, komandannya adalah Slamet Ginting bekas komandan Laskar Halilintar, berpusat di Sidikalang. Seluruh komandan sektor ini diberi pangkat mayor. Sektor IV  mencakup daerah pantai sisi barat Sumatera Utara di Tapanuli Tengah, dengan Sibolga sebagai pusat. Untuk sementara komandannya adalah Ricardo Siahaan yang dulu adalah Panglima di Medan Area, sebelum Maraden Panggabean tiba dari Bukittinggi. Adapun Maraden Panggabean, dilepaskan dari tahanan di Bukittinggi ketika Belanda menduduki kota itu. Maraden Panggabean dengan berjalan kaki akhirnya tiba di Sibolga dan menjadi komandan Sektor IV itu. Masih ada satu sektor lagi yang disebut Sektor S, meliputi pantai barat dari Barus sampai ke Natal, yang komandonya diserahkan kepada Angkatan Laut, dipimpin oleh Simanjuntak. Secara keseluruhan gabungan sektor-sektor ini disebut Sub Tertorial VII di bawah komando Letnan Kolonel Kawilarang, karena situasi saat itu tak memungkinkan diangkatnya Komandan yang dipilih dari antara perwira-perwira setempat yang telah terlibat konflik bersenjata. Sementara itu ‘Jenderal’ Timur Pane, yang memudar namanya pasca pertempuran Medan Area, tak ada lagi kabar beritanya. Tak ikut jadi Komandan Sektor hasil ‘reformasi’ Tapanuli.

Natal ala tentara Belanda. Keberhasilan Bung Hatta mendamaikan pertikaian di Tapanuli, membuat semua pihak bisa bernafas lega. Tapi tak lama-lama, karena hanya dua minggu setelah pengangkatan Kawilarang sebagai Komandan Sub Tertorial VII, Belanda menyerbu ke wilayah republik, menuju ke arah Balige dan Tarutung, pada tanggal 23 Desember 1948, hanya sehari menjelang malam Natal. Belanda rupanya tidak mempertimbangkan lagi untuk jangan bertempur di hari-hari menjelang Natal. Barangkali juga sengaja dengan alasan taktis atau memang karena ‘ingin’ berhari Natal di wilayah Tapanuli yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen. Sebelum penyerbuan, Belanda sudah menguasai wilayah sejak garis pantai Selat Malaka, Tebing Tinggi hingga Prapat di pantai timur Danau Toba. Tatkala Belanda memasuki Tapanuli, Komando Sektor II sebaliknya juga membentuk satu batalion khusus masuk bergerilya ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Satuan yang masuk bergerilya di Simalungun dipimpin oleh Bunga Simanungkalit yang menjelajah melakukan serangan-serangan sporadis sampai ke Sumatera Timur. Selain itu, untuk keperluan logistik, ada penyelundupan-penyelundupan dengan perahu melalui Danau Toba, tanpa perlu melintasi garis demarkasi Belanda di wilayah daratan, khususnya demarkasi Prapat yang memang sulit dilewati, menuju Sumatera Timur. Waktu itu pantai-pantai Danau Toba dekat di wilayah Simalungun diduduki Belanda, sedang pantai selatan danau masih dikuasai pasukan Republik.

Pagi hari 23 Desember, saya membawa pasukan kecil tentara pelajar, sepulang dari Pulau Samosir, memasuki kota Tarutung. Kami yang terdiri dari 10 orang, baru selesai menjalankan tugas untuk memberi penerangan kepada rakyat di pulau itu, bagaimana caranya membantu pasukan pejuang yang akan datang ke pulau itu dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang per kelompok, bila ada serangan Belanda. Dari radio memang kita sudah mendengar tentang penyerbuan Yogya pada 19 Desember 1948, sehingga sudah bisa memperkirakan bahwa Tapanuli juga akan diserbu lagi. Tanggal 22 kami kembali dari Samosir dengan kapal kecil ke Balige, lalu melanjutkan perjalananan ke Tarutung untuk melapor kepada Komandan Sektor II. Sekaligus untuk memenuhi instruksi bahwa seluruh tentara pelajar menjelang serbuan Belanda agar kembali ke kampung halaman masing-masing dan bergabung dengan satuan-satuan setempat. Kami tidak bisa melapor kepada Komandan Sektor II Mayor Liberty Malau. Sang komandan sudah meninggalkan kota untuk menyiapkan tempat pengungsian. Para pimpinan militer kita pada waktu itu memang menggariskan untuk tidak melakukan perlawanan frontal terhadap Belanda. Keputusan itu sangat beralasan, karena akibat benturan fisik habis-habisan antar pasukan sebulan sebelumnya, persediaan peluru hampir terkuras habis, dan setiap pasukan amat banyak kehilangan anggota gugur dalam pertempuran sesama pejuang. Semua pasukan telah compang-camping dan baik di atas kertas maupun di lapangan takkan mungkin mampu bertempur lagi, kali ini melawan Belanda.

Puluhan tahun kemudian, jauh setelah usainya perang, Pangeran Bernhard, suami Ratu Belanda datang ke Danau Toba. Ia terpesona akan keindahan danau ini, tetapi juga sekaligus cemas akan kelestariannya. Pada kedatangannya yang ketiga kali ke Danau Toba, ia mengatakan, “Kelestariannya harus dijaga”, dan merelakan namanya –ia adalah Presiden pertama World Wild Fund– ‘dijual’ demi pelestarian danau itu. “Sebetulnya saya paling tidak suka nama saya dibawa-bawa untuk urusan apapun, tapi untuk keindahan Danau Toba, silahkan  jual nama saya ke manca negara”, ujarnya.

Doa di bawah rumpun bunga matahari. Serangan Belanda ke Tapanuli memang terjadi pada tanggal 23 Desember. Kota Tarutung yang sebagian adalah perbukitan dan sebagian lain adalah lembah, dibom dan dihujani peluru mitraliur dari udara oleh pesawat-pesawat Belanda, pada pukul satu siang, bertepatan saat saya dan kawan-kawan akan memasuki kota itu. Sewaktu akan melintasi sebuah jembatan yang membentang di atas sungai di bagian lembah, di pintu masuk kota Tarutung, sekitar pukul tiga sore, pesawat Belanda datang lagi menghujani dengan tembakan. Dengan cepat kami semua turun ke tebing sungai di bawah jembatan. Tapi tak lama kemudian, muncul pasukan Belanda yang mengendarai puluhan jeep yang masing-masingnya terdiri dari 5 orang, menuju ke arah jembatan. Melihat itu, tanpa pikir panjang kami semua melompat ke sungai Sigeaon yang sedang banjir dan berenang sampai belasan meter jauhnya. Lalu saya dan seorang teman, Victor Napitupulu, yang berenang berdekatan melihat di salah satu sisi sungai ada rimbunan pohon bunga matahari yang merunduk condong ke air karena menyongsong arah terbit matahari. Dengan cepat kami berdua menepi dan bersembunyi di sana di bawah rimbunan pohon bunga matahari itu. Saya menggigil kedinginan. Saya mengajak Victor untuk berdoa bersama, “Bapa kami di Surga, berilah kami keselematan. Izinkanlah kami hidup lebih lama, supaya dapat berbuat kebaikan kepada orang tua, saudara dan orang-orang lain dan bangsa kami, dengan penuh kasih”. Jalan keselamatan seakan membuka perlahan bagi kami berdua. Perhatian tentara Belanda teralih ke arah jembatan lain yang berlawanan arah dengan tempat kami. Tentara Belanda menembaki truk-truk pasukan republik yang sedang melintas di jembatan kedua itu. Perhatian mereka tersita seluruhnya ke sana. Kami aman karenanya di bawah rimbunan bunga matahari yang sedang mekar itu, berendam selama 4 jam dalam air sebatas leher hingga pukul 7 malam. Lalu kami mendengar suara ibu-ibu yang datang berombongan kurang lebih 20-an orang dari arah gereja HKI. Dengan cepat saya dan Victor Napitupulu, merangkak naik dari sungai, memungut buntalan pakaian kami dan segera menggabung di tengah ibu-ibu itu. Rombongan kaum ibu itu, rupanya menuju ke arah jembatan untuk melintasi sungai, apa boleh buat kami terpaksa terus ikut karena tak ada lagi pilihan lain. Pasukan Belanda, yang seluruhnya terdiri dari orang Belanda asli dan tidak tercampur dengan tentara ‘sawo matang’ seperti biasanya, lebih tertuju perhatiannya ke arah jembatan kedua di bagian lain sungai, dan seorang perwiranya malah memberi isyarat sambil berkata “Kom…. kom…”, menyuruh ibu-ibu itu segera melintas jembatan dengan cepat. Demikianlah, kami berdua pun ikut lolos. Perilaku tentara-tentara Belanda saat itu kepada kaum ibu merupakan hal yang menarik, setidaknya untuk saat itu. Mereka tidak menunjukkan sikap ganas, tidak membabi buta, dan tidak merasa perlu bersikap keras dan kejam kepada kaum sipil. Sungguh ironis bahwa seperti yang terlihat pada masa pertempuran di Medan Area, tentara-tentara Belanda keturunan Indonesia berkulit sawo matang, berperilaku lebih bengis dan berangasan. Asal melihat ada pemuda, entah sipil entah gerilya, langsung diberondong tembakan. Terhadap para tangkapan, mereka juga main tendang dan popor. Mungkin begitulah mental orang bayaran.

Washington itu bermarga Sitorus. Kira-kira pukul 8 malam saya masuk ke sebuah desa di sisi lain Tarutung. Di desa itu ada sebuah seminari milik HKBP (Huriah Kristen Batak Protestan). Salah seorang pendeta yang mengajar di seminari itu, bermarga Sirait juga, tapi tak saya kenal. Ketika saya memberitahu nama ayah saya, dengan segera ia ingat bahwa mereka dulu teman sekelas semasa Sekolah Dasar. Di situlah saya dan Victor menginap. Ikut berhari Natal. Barulah pada tanggal 27 Desember saya berjalan kaki 90 kilometer jauhnya hingga ke tempat kelahiran saya. Ternyata ayah dan keluarga telah mengungsi lebih jauh beberapa kilometer, dan hanya mengetahui mengenai saya dari berbagai kabar yang simpang   siur,   sudah    bertempur   entah  di mana. Tetapi, akhirnya baik, kami berkumpul kembali.Setelah segala urusan perjumpaan dengan keluarga usai, baru saya berkesempatan melapor kepada komandan tentara di tempat itu, Kapten Washington Strouwsky yang memimpin Kompi IV dari Batalion II yang tergabung dalam Sektor II. Nama sang kapten sebenarnya sempat menimbulkan tanda tanya bagi para tentara Belanda. Kedengarannya seperti nama orang Rusia, jangan-jangan memang Rusia menempatkan perwira di daerah itu. Tapi nama  depannya itu, kenapa  Washington, yang mengingatkan orang kepada nama Jenderal pemimpin perjuangan kemerdekaan yang diabadikan namanya untuk ibukota Amerika Serikat ? Duduk perkaranya, adalah sebagai berikut ini: Nama marga asli Strouwsky sebenarnya adalah Sitorus. Karena ia komandan Kompi yang biasa diringkas Ki, maka dia disebut Sitorus Ki, artinya Sitorus yang komandan kompi. Inilah yang kemudian menjelma menjadi Strouwsky. Lalu bagaimana ceritanya dengan nama depan Washington –yang ditulis meleset sebagai Washinton– wah, itu tidak jelas bagi saya. Mungkin asli pemberian orang tua. Sesudah perang berakhir, Strouwsky melanjutkan karir militernya dan mencapai pangkat terakhir sebagai kolonel. Saya sangat terkesan kepada keberanian dan kepemimpinannya, sehingga puluhan tahun kemudian, untuk mengenangnya saya memprakarsai pembuatan sebuah monumen untuknya di wilayah perjuangannya tempo dulu.

*Dr Midian Sirait. Doktor rerum naturalum sekaligus doktor filsafat lulusan Jerman (Barat). Pernah menjadi Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan DepKes, tetapi lebih dikenal sebagai aktivis gerakan pembaharuan politik Indonesia pada paruh kedua tahun 1960-an. Semasa mudanya, sebagai tentara pelajar, berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia di front pertempuran Medan Area, Sumatera Utara. Jumat 13 Agustus 2010 mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama. Tapi tak hadir di Istana, karena sedang terbaring tak sadarkan diri di RS, di Singapura maupun di Indonesia, sejak beberapa lama karena berbagai penyakit yang dideritanya di usia menjelang 82 tahun.

Kisah Legiun Penggempur Naga Terbang, Doa Di Bawah Rumpun Bunga Matahari (2)

Begitu rupa sengitnya pertempuran-pertempuran antara pasukan republik ini, sehingga jatuh banyak korban yang jumlahnya bahkan melebihi korban yang jatuh dalam seluruh pertempuran melawan Belanda di Sumatera Utara. Selain korban jiwa –mati sia-sia untuk sesuatu yang tak berharga– yang begitu banyak, seluruh pasukan nyaris terkuras habis persediaan pelurunya.Memang ‘perang saudara’ itu lebih kejam daripada perang konvensional, sebab tidak ada aturannya. Memulai ‘perang saudara’ itu adalah mudah, tapi amat sulit untuk mengakhirinya.

Romantisme yang dahsyat. Selain darah, airmata dan tangis, perang juga bisa menghadirkan berbagai kisah ‘gempar’ yang betapapun ironisnya kadang-kadang, mampu menimbulkan rasa haru dan juga tawa. Terbawa romantisme perjuangan mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi 1945, para pejuang kerapkali memilih nama-nama dahsyat untuk pasukan mereka atau diri mereka. Di pulau Jawa ada Pasukan Samber Nyawa –yang sebenarnya diangkat dari catatan sejarah lampau, nama seorang pangera – serta nama tokoh sakti yang dipakai dalam nama Divisi Ranggalawe, dan di Sulawesi Selatan ada Pasukan Lipan Bajeng. Lalu di daerah Sumatera Utara ada pula pasukan dengan nama Legiun Penggempur Naga Terbang. Pasukan dengan nama dahsyat ini dipimpin oleh Timur Pane, dengan wilayah gerak di Medan Area bagian selatan. Timur Pane sang komandan, termasyhur karena memberi dirinya sendiri pangkat Jenderal dan mempermaklumkannya ke seluruh penjuru Tapanuli.

Agaknya penulis cerita film Nagabonar dan Asrul Sani yang menjadi penulis skenario, terinspirasi oleh sang jenderal pemimpin Legiun Penggempur Naga Terbang ini, lalu menciptakan tokoh Nagabonar yang seperti Timur Pane, juga memberi dirinya pangkat Jenderal. Sekaligus meminjam nama naga yang kemudian diramu dengan bonar yang merupakan nama yang umum di Tapanuli. Tidak seperti Nagabonar yang disuruh mak-nya ngaji tapi malah jadi copet, Timur Pane bukanlah bekas pencopet. Meskipun, memang banyak juga bekas pencopet dari Medan yang bergabung dalam pasukan-pasukan perlawanan di sekitar Medan Area itu. Tetapi ucapan Nagabonar yang terkenal “Matilah kau” – dengan tambahan kalimat, “Sekarang, dimakan cacinglah kau” – agaknya diadaptasi dari ucapan seorang komandan lain lagi, yang ucapan aslinya dalam bahasa Batak adalah “Mati maho…”.

Pada wilayah pertempuran yang lebih dikenal dengan penamaan Medan Area ini bertugas banyak pasukan dengan wilayah kekuasaan masing-masing. Pada bagian timur ada pasukan yang dipimpin Matheus Sihombing, menggunakan nama Laskar Penggempur Napindo yang dikenal pula sebagai Nasionalis Napindo Andalas Utara. Lalu pada bagian barat ke arah Tanah Karo terdapat Laskar Halilintar yang dipimpin Slamet Ginting. Ada juga laskar bentukan partai Pesindo, tetapi pasukan ini lemah sehingga cepat pudar. Sementara itu di garis agak belakang dari wilayah pertempuran Medan Area, ada pasukan yang menamakan diri Harimau Liar. Sesuai namanya, pasukan ini memang berkelakuan agak liar dan banyak melakukan ekses, antara lain menculik raja-raja kecil Batak dan mengganggu kaum pengungsi setelah penyerbuan pasukan Belanda 21 Juli 1947. Harimau Liar ini lalu ditertibkan dan akhirnya hilang dari peredaran. Terakhir, di bagian utara Medan Area, ada pasukan yang dipimpin oleh Bejo. Ia ini tadinya seorang ‘tukang ahli’ dari perkebunan, dan anggota-anggota pasukannya pun umumnya adalah pekerja-pekerja perkebunan yang kebetulan adalah Pujakesuma alias putera Jawa keturunan Sumatera atau dikenal pula sebagai Jadel alias Jawa Deli. Letnan Kolonel Ricardo Siahaan ditunjuk sebagai Panglima wilayah pertempuran Medan Area, pada tahun 1947, untuk mengkoordinasi seluruh pasukan resmi tentara nasional maupun laskar di Medan Area ini. Sang Panglima memiliki kekhasan, yakni model rambut panjang mirip tokoh Jango dalam film-film koboi tahun 1960-an.

Romantisme dalam perjuangan itu memang bisa menjadi sesuatu yang dahsyat.

Apa yang kurang? ‘Suma satu. Pada Agresi I pasukan tentara Belanda tidak berjaya. Gabungan pasukan tentara dan laskar dari bagian timur, selatan dan barat berhasil mendesak mundur tentara Belanda sampai ke pelabuhan Belawan. Akhirnya, pasukan Belanda naik kapal, berlayar menyusur Selat Malaka ke arah selatan. Mereka mendarat di Pantai Cermin lalu masuk ke Tebing Tinggi, jauh di garis belakang pasukan Indonesia di Medan Area. Dari Tebing Tinggi pasukan Belanda meluruk ke Pematang Siantar yang terletak di arah barat daya Tebing Tinggi. Kaget diserbu dari belakang, dari arah yang tak terduga, pasukan-pasukan pejuang ini kocar-kacir, apalagi serangan darat itu dibarengi pula tembakan gencar dari pesawat-pesawat Belanda.

Pasukan-pasukan kita mundur tidak teratur. Pasukan yang bisa mundur teratur adalah Pasukan Halilintar yang dipimpin Slamet Ginting yang berada pada sisi barat Medan Area, dan menarik diri ke daerah Karo dan Dairi. Pasukan sisi selatan kocar kacir dan sebagian-sebagian mundur untuk akhirnya berkumpul di Rantau Prapat jauh di selatan. Matheus Sihombing sendiri terdorong ke arah barat laut dan ikut ke arah Aceh. Legiun Penggempur Naga Terbang di bagian selatan Medan Area yang dipimpin ‘Jenderal’ Timur Pane bernasib sama, harus mundur tidak teratur. Timur Pane kehilangan banyak anggota pasukan dan harus pula ‘mengungsi’. Pernah juga ia mencoba untuk menyusun kembali satu pasukan dengan mengajak berbagai kesatuan lain, namun usahanya itu tak berhasil, kurang mendapat ‘sambutan’. Sejak itu nama Timur Pane memudar. Hanya pasukan yang dipimpin Bejo yang berada jauh di utara pertempuran yang bisa tetap utuh terkoordinasi, karena serangan Belanda tak datang langsung dari arah pantai sebelah timur Medan Area. Mungkin saja Pasukan Bejo semula berniat membantu ke selatan, tetapi entah mengapa pasukan itu terus saja ke selatan, menyusur sejajar pantai Selat Malaka dengan menghindari pertempuran, hingga akhirnya tiba di Rantau Prapat.

Sehari sebelum Pematang Siantar diduduki pasukan Belanda yang datang dari Tebing Tinggi, Wakil Presiden Mohammad Hatta sebenarnya masih berada di sana dan sempat berpidato mengobarkan semangat mempertahankan kemerdekaan. Matheus Sihombing komandan Laskar Penggempur Napindo pun masih melapor kepada Bung Hatta dan mengatakan bahwa diharapkan malam itu pasukannya bisa masuk kota Medan seraya menjanjikan, “Bapak bisa menginap di Hotel de Boer”. Bung Hatta pun mengangguk-angguk. Matheus lalu menyambung, “suma satu yang kurang, bapak”. Bung Hatta lalu balik bertanya, “kurang apa yang satu itu?”. “Ya, bapak, suma satu…”. “Sebut saja yang satu itu”. Setelah ada yang membisiki, barulah Bung Hatta paham bahwa yang dimaksud suma satu itu adalah “cuma catu”. ‘Catu’ adalah jatah beras. Rupanya lidah khas Komandan Matheus Sihombing bisanya menyebut “suma satu”. Semua huruf ‘c’ menjadi huruf ‘s’. Bung Hatta hanya bisa tersenyum, soal ‘suma satu’ pun menjadi jelas. Setelah itu, cuma satu persoalan yang tersisa, Matheus Sihombing tak berhasil ‘mengantar’ Bung Hatta menginap di Hotel de Boer di Medan, karena terjadi force majeur, justru Pematang Siantar jatuh ke tangan Belanda keesokan harinya. Bung Hatta yang tak jadi menginap di Medan, dibawa melalui darat mengitari Danau Toba melawan arah jarum jam, menyusur sisi utara Danau Toba lalu turun ke selatan di pesisir barat dan meneruskan perjalanan darat itu ke Sumatera Barat.                       

Pembela Pancasila di tengah pertikaian. Serbuan Belanda yang menusuk hingga Pematang Siantar, membuat seluruh pasukan pemerintah dan laskar terkumpul semuanya di Tapanuli, jumlahnya ada belasan ribu. Tetapi hingga sejauh itu, ‘perekonomian’ keresidenan Tapanuli yang dipimpin oleh Residen Ferdinand Lumban Tobing, tampaknya masih sanggup memikul tambahan beban itu. Pasukan-pasukan yang secara resmi telah menjadi tentara pemerintah, mempunyai anggaran sendiri, meskipun juga terbatas. Sementara itu laskar-laskar yang belum menjadi tentara resmi, terpaksa ditanggulangi biaya hidupnya oleh Fonds Kemerdekaan yang dibentuk tahun 1947-1948. Fonds ini mempunyai modal berupa gudang-gudang beras peninggalan balatentara Jepang. Dapur-dapur umum bisa ditopang oleh keberadaan gudang-gudang beras ini. Dengan dapur umum inilah belasan ribu anggota pasukan dipenuhi kebutuhan makannya setiap hari.

Kesatuan yang menjadi tuan rumah di Tapanuli ini sebenarnya adalah Brigade XI. Tetapi brigade tuan rumah ini terdiri dari pasukan-pasukan yang belum cukup terlatih dan teruji dalam medan pertempuran yang sebenarnya, seperti halnya dengan pasukan-pasukan lain yang pernah mengalami pertempuran di Medan Area. Demikianlah di Tapanuli saat itu berkumpul antara lain pasukan pimpinan Bejo yang belakangan diberi nama Brigade B. Selain itu ada Brigade A yang datang dari Sumatera Timur, dipimpin Letnan Kolonel Hotman Sitompul. Di dalam Brigade A tergabung pasukan eks Harimau Liar yang dipimpin Saragih Ras. Pasukan TNI Brigade XII di bawah pimpinan Hotman Sitompul dari Sumatera Timur pun bergabung dengan Brigade XI di Tapanuli. Masih pula ada laskar-laskar yang berkumpul di bawah komando Liberty Malau yang berkumpul di Rantau Prapat dan menamai diri sebagai Divisi Banteng Negara. Bertemu dan berkumpulnya berbagai pasukan di Tapanuli ini menimbulkan aneka kesulitan, karena bisa dibayangkan bahwa setiap pasukan ini mencari hegemoni masing-masing. Brigade XI yang lemah karena kurang pengalaman perang, lama kelamaan hilang, sejumlah personil dan seluruh persenjataannya terserap ke dalam Divisi Banteng Negara. Divisi yang disebut terakhir ini, tak punya alokasi anggaran negara dan hanya dibiayai oleh Fonds Kemerdekaan, namun makin terkoordinir dan memilih untuk masuk ke Tarutung dan menyerap pasukan-pasukan lain yang ada di sana, terutama Brigade XI tadi. Brigade XII bergabung dengan Resimen yang dipimpin Letnan Kolonel Maraden Panggabean di Sibolga.

Sementara itu, dalam perjalanan mundur dari utara, pasukan yang dipimpin Bejo boleh dikatakan telah menjelajah hampir ke seluruh penjuru Tapanuli. Pasukan ini sebenarnya relatif utuh karena terhindar dari pertempuran langsung dengan Belanda yang datang dari belakang Medan Area, sehingga menjadi pasukan yang terkuat personil dan persenjataannya. Sewaktu Bung Karno datang dari Bukittinggi sampai ke Balige, Tapanuli, bulan Juni 1948, pasukan Bejo lah yang mengawal. Bung Karno berpidato di sebuah lapangan di sisi pantai Danau Toba di Balige. Pada saat itu, tentara Belanda berada hanya 40 kilometer jauhnya.

Kedatangan Soekarno sempat meredam sejenak suasana persaingan memperebutkan hegemoni di antara pasukan-pasukan. Tetapi begitu Bung Karno meninggalkan Tapanuli, entah siapa yang sebenarnya memulai, ketegangan antar pasukan yang ada di Tapanuli ini meningkat, dari Juli hingga ke Agustus, dan akhirnya pada bulan September meletus pertempuran-pertempuran antar pasukan yang selama ini bersaing memperebutkan pengaruh di Tapanuli itu. Ada yang mengumumkan Tapanuli dalam keadaan darurat. Pasukan Bejo yang paling kuat persenjataannya kala itu mempelopori upaya untuk menggusur kedudukan Residen Tapanuli Ferdinand Lumban Tobing. Divisi Banteng Negara sebaliknya mempertahankan Ferdinand Lumban Tobing. Kami para Tentara Pelajar, melihat semua ini sebagai sesuatu yang tidak benar, lalu membentuk ‘Pelajar Pembela Pancasila’, dengan komandannya Nortir Simanungkalit yang belakangan menjadi seniman musik, dirigen bagi Paduan Suara Nasional. Di tengah kekisruhan, justru kami yang amat muda, malah teringat akan Pancasila dan menginginkan gontokgontokan di antara sesama pejuang kemerdekaan dihentikan. Agaknya ada unsur-unsur yang belum juga bisa memahami arti dan pentingnya persatuan bagi Republik yang masih muda itu. Kami sependapat dengan Divisi Banteng Negara, agar Ferdinand Lumban Tobing dipertahankan.

Tidak tepat rasanya dalam keadaan menghadapi musuh yang mengancam kemerdekaan negara, justru kita gusur-menggusur satu sama lain. Tetapi apa boleh buat, nyatanya semua tak bisa mengendalikan diri. Mula-mula Pasukan Bejo masuk Tarutung sampai Balige dan Porsea. Lalu datang pasukan Divisi Banteng Negara, mengusir Pasukan Bejo sampai Sibolga. Tapi tak lama datang lagi pasukan lain mencoba menduduki Tarutung, lalu diusir, datang lagi yang lain, begitu seterusnya. Tampaknya muncul dua front yang saling berhadapan. Pasukan Bejo, Brigade A dan Brigade B, yang umumnya berpengalam dalam kancah pertempuran Medan Area berada dalam satu front. Sementara Divisi Banteng Negara, ex Brigade XI, Brigade XII ditambah batalion Maraden Panggabean berada pada front yang lain. Maraden Panggabean ditangkap oleh Pasukan Bejo, lalu dibawa ke Bukittinggi, dan apa alasan penangkapan itu, tidak pernah jelas hingga sekarang. Letnan Kolonel itu baru bisa kembali ke pasukannya setelah Belanda menduduki Bukittinggi.

Begitu rupa sengitnya pertempuran-pertempuran antara pasukan republik ini, sehingga jatuh banyak korban yang jumlahnya bahkan melebihi korban yang jatuh dalam seluruh pertempuran melawan Belanda di Sumatera Utara. Selain korban jiwa –mati sia-sia untuk sesuatu yang tak berharga– yang begitu banyak, seluruh pasukan nyaris terkuras habis persediaan pelurunya. Kami pasukan Pelajar Pembela Pancasila yang usianya masih amat muda, tak berdaya mencegah pertikaian yang tak jelas ujung pangkalnya ini. Kita bisa menarik pelajaran, bahwa memang ‘perang saudara’ itu lebih kejam daripada perang konvensional, sebab tidak ada aturannya. Memulai ‘perang saudara’ itu adalah mudah, tapi amat sulit untuk mengakhirinya.

Berlanjut ke Bagian 2

*Tulisan ini dimuat sebagai Kisah Selingan dalam buku Dr Midian Sirait, “Revitalisasi Pancasila – Catatan-catatan Tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial” (Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2008).

Kisah Indra Azwan: Gagal Bertemu Presiden, Gagal Bertemu Gorila Ragunan

“Kalau Indra berhasil menghadap, kira-kira apa yang bisa dilakukan seorang Presiden yang selama ini selalu menampilkan diri sebagai orang yang ‘tak mau’ mengintervensi hukum. Bukankah kasus tabrak lari atas putera Indra Azwan sudah dinyatakan ditolak pengadilan karena kadaluarsa. Kasus-kasus baru saja susah ditolong, apalagi yang sudah berusia 17 tahun”.

INI adalah kisah akhir pekan untuk disajikan di awal pekan ini. Kisah ‘ringan’ tapi sebenarnya bermakna ‘berat’, tentang pejalan kaki Malang-Jakarta, Indra Azwan, yang mencoba mencari keadilan atas kematian puteranya yang menjadi korban tabrak lari seorang perwira Polri 17 tahun silam. Indra mencari keadilan karena peristiwa itu baru bisa sampai ke pengadilan setelah 15 tahun tertahan di kepolisian, untuk mendapat ‘vonnis’ bebas bagi pelaku karena sudah kadaluarsa menurut ketentuan hukum yang ada. Dua tahun terakhir ini ia melanjutkan mencari keadilan, namun tak mendapat perhatian, apalagi pemecahan. (Baca, Kisah Polisi: Intervensi di Lapangan Sepakbola, Kasus Tabrak Lari 17 Tahun, dan Tilang Fatwa Haram, sociopolitica, 3 Agustus 2010).

Setelah dua kali gagal bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Jumat 30 Juli dan Senin 2 Agustus 2010 –dan hanya di’tampung’ oleh Staf Presiden Denny Indrayana– sekali lagi Indra Azwan mencoba menemui Presiden. Kali ini di kediaman Puri Cikeas, Sabtu 7 Agustus, tetapi sekali lagi gagal. Menurut Indra Azwan, ia hanya ditemui Paspampres yang sedang bertugas, karena Presiden sedang istirahat. Atau barangkali karena Presiden sendiri memang merasa tidak perlu dan tidak harus bertemu dengan seseorang bernama Indra Azwan ini. Hasrat bertemu Presiden mungkin saja dianggap keinginan yang berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya. Setelah tiga kali gagal bertemu Presiden, Azwan rupanya jadi patah arang, bahwa tokoh paling ‘atas’ di republik ini takkan pernah bisa menemuinya.

Setelah gagal untuk kedua kali, 2 Agustus yang lalu, ia pernah berkata, bahwa ia memang bertekad bertemu dengan Presiden sebagai titik harapan penghabisan. Kalau tidak bisa, “apa saya harus mengadu kepada satwa di kebun binatang?”, demikian kurang lebih dikatakan Azwan. Tetapi nyatanya, Indra Azwan memang gagal bertemu dengan pemimpin ‘tertinggi’ manusia Indonesia saat ini. Tentu, peristiwa tidak berhasil bertemu Presiden, adalah hal lumrah, bukan sesuatu yang luarbiasa. Apalagi bagi mereka yang sekedar tergolong manusia kelas akar rumput. Para pemimpin Indonesia hanya gampang ditemui saat kampanye politik. Barangkali, harus menjadi konglomerat dulu misalnya, seperti yang tergambarkan dalam buku seorang wartawan muda, Pak Beye dan Istananya, barulah seseorang jauh lebih berpeluang menghadap Presiden di Istana. Menghadap Presiden itu, harus ada ‘urgensi’nya. Dan, jangan jalan kaki dong! Pakai sepatu yang sudah jebol lagi. Saru.

Satu lagi, kalau Indra berhasil menghadap, kira-kira apa yang bisa dilakukan seorang Presiden yang selama ini selalu menampilkan diri sebagai orang yang ‘tak mau’ mengintervensi hukum. Bukankah kasus tabrak lari atas putera Indra Azwan sudah dinyatakan ditolak pengadilan karena kadaluarsa. Kasus-kasus baru saja susah ditolong, apalagi yang sudah berusia 17 tahun.

MAKA, pada akhirnya setelah gagal di dunia manusia, lalu Indra Azwan datang ke Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta Selatan. Mencoba menghadap ke satwa terkemuka di sana, yaitu sang Gorila –yang merupakan satwa dengan penampilan yang paling mendekati sosok manusia. Sayang seribu sayang, saat Indra Azwan ingin menghadap pada Minggu sore pukul 17.00, 8 Agustus 2010, sang Gorila sudah masuk ke dalam tempat peristirahatannya. Sang Gorila istirahat, setelah seharian menjalankan tugas protokolernya sebagai ‘tontonan’ resmi para pengunjung Ragunan. Terpaksa Indra Azwan hanya berkeluh kesah di depan patung Gorila. Sungguh malang orang Malang yang malang ini, Gorila pun tak bisa menerimanya untuk mengadu. “Baru jadi Gorila saja, sudah tidak bisa, apalagi…..”, kata Azwan pada akhirnya. Agaknya hanya ke hadiratNya Azwan bisa mengadu, setiap saat, sebagai harapan paling akhir. Semoga Dia yang di atas itu mampu menggerakkan para manusia pencinta keadilan untuk terus menyuarakan tuntutan keadilan bagi kasus ini dan kasus-kasus ketidakadilan lainnya. Dan semoga Dia juga akan mendamaikan hati ayah yang tak mendapat keadilan di dunia ini untuk kematian puteranya 17 tahun silam.

Kisah-kisah Uji Kelayakan yang Tak Selalu Layak

“Sang menteri tersenyum, “Kalau anda tak bisa menjawab, biasakanlah minta petunjuk atasan”. “Meski pernah juga mengeluhkan mengenai membanjirnya aplikasi masuk kabinet, sampai-sampai ada yang mencoba menggunakan jalur mertua, kelihatannya Presiden ‘gamang’ juga menentukan kabinetnya sendirian”.

“Lanjutan cerita menjadi tidak layak, satu persatu anggota DPR yang terlibat dalam proses pemilihan itu ditangkap KPK dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Kini sebagian dari mereka sudah mendekam dalam penjara karena terbukti menerima suap untuk memenangkan sang deputi senior. Namun sumber mata air kucuran dana tetap tak tersentuh hingga kini”.

HARI-hari ini sedang berlangsung uji kelayakan tahap akhir terhadap sejumlah tokoh dalam rangka mencari seorang calon pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) guna mengisi kekosongan sepeninggal Antasari Azhar. Tes psikologi sudah rampung, dan akan dilanjutkan dengan wawancara untuk penentuan final. Salah seorang anggota panitia penyaringan uji kelayakan calon pimpinan KPK ini, Todung Mulya Lubis, mengatakan meskipun sudah cukup puas dengan beberapa tokoh yang lolos memasuki tahap akhir, tapi tetap merasa rindu kehadiran beberapa nama tokoh yang sesungguhnya sangat layak, namun sayangnya tidak mengikuti seleksi.

Tokoh-tokoh berkualitas dengan reputasi yang sangat layak, biasanya cenderung tidak berminat mengikuti pola rekrutmen yang berbau job seeking seperti yang dilakukan saat ini. Tanpa mengecilkan nama-nama seperti Bambang Widjajanto atau Jimmly Asshidiqie misalnya, memang harus diakui bahwa pendaftar seleksi pimpinan KPK ini dibanjiri oleh banyak nama yang mungkin saja sulit dipertanggungjawabkan kredibilitas atau rekam jejaknya atau setidaknya betul sekedar ‘pencari kerja’. Meskipun KPK sedang dilanda ‘angin puting beliung’, peminat tak surut juga.

MEMANG hampir seluruh jabatan di republik ini kini harus diperoleh melalui uji kelayakan. Posisi-posisi pucuk pimpinan pemerintahan negara, seperti Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur dan Bupati, punya cara uji kelayakan tersendiri yang sudah jelas yaitu pemilihan umum. Begitu pula posisi-posisi wakil rakyat. Sementara itu jabatan-jabatan pada berbagai Komisi dan atau lembaga ad-hoc lainnya melalui uji kelayakan yang lebih dikenal sebagai fit and proper test, sama halnya dengan jabatan Gubernur atau Deputi Gubernur Bank Indonesia. Untuk fit and proper test kelas atas, pengujian finalnya dilakukan oleh Komisi atau Kepanitiaan DPR sebelum mendapat pengesahan Presiden. Uji kelayakan di DPR bukannya tanpa masalah dan keluhan. Seringkali ‘penguji’ kelayakan lebih cetek ilmu dan wawasannya. Seorang akademisi yang pernah mengikuti uji kelayakan di DPR, kena ‘batu’nya. Kepadanya diajukan suatu pertanyaan yang keliru dan di luar konteks karena ada salah persepsi. Saat mencoba meluruskan mis-persepsi sang anggota, sang akademisi malah di’bentak’, “Jangan mengajari saya. Bagaimana saudara bisa diloloskan, kalau saudara tidak menguasai masalah!”. Hah? Agaknya, kadung menjadi penguji dengan segala kewenangannya, banyak anggota DPR terpaksa ambil posisi ‘sok pintar’.

Cara-cara rekrutment yang lebih ‘canggih’ dan sekaligus lebih ‘rumit’ masa kini merupakan kesepakatan Pemerintah dan DPR pasca reformasi. Cara ini diharapkan menghasilkan para pemangku tugas yang lebih berkualitas dan bisa dipertanggungjawabkan serta memenuhi syarat kualitatif demokratis, tidak bertumpu kepada sekedar selera seorang penguasa. Presiden makin terbatas hak prerogatifnya, yakni sebatas dalam penyusunan kabinet. Sistem pemerintahan yang dianut tetap saja bernama sistem presidensial, tetapi dengan setting makin besarnya kekuasaan DPR, maka aroma sistem parlementer tercium dengan kuat. DPR sampai-sampai ‘memiliki’ beberapa wewenang eksekutif. Dengan demikian kepada kita terhidang gado-gado sistem presidensial semi parlementer. Ilmu tatanegara yang diajarkan di sekolah-sekolah suatu waktu barangkali perlu direvisi.

MESKI tetap sepenuhnya memegang hak prerogatif dalam penyusunan kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sedikit berbagi ‘wewenang’ kepada lingkaran terdekatnya dalam kekuasaan. Meski pernah juga mengeluhkan mengenai membanjirnya aplikasi masuk kabinet, sampai-sampai ada yang mencoba menggunakan jalur mertua, kelihatannya Presiden ‘gamang’ juga menentukan kabinetnya sendirian. Pimpinan partai diajak rembug –istilah politik praktisnya, negosiasi– dalam penempatan kader di kabinet. Selain itu, beberapa orang di lingkaran dekatnya, cukup didengar pendapatnya. Konon beberapa lobby politik bisa menghasilkan goal. Wewenang tim dokter terkesan tak kalah ‘penting’nya. Istimewanya, semua calon menteri ternyata lolos tes kesehatan, kecuali calon menteri kesehatan Nila Moeloek yang justru adalah seorang dokter. Konon, Nila Moeloek tidak lulus test psikologi. Sebenarnya, yang disebut tes psikologi itu di sini adalah MMPI (Minnesota Multi Phasic Inventory). Tetapi MMPI itu sebenarnya lebih merupakan test psikiatri dan bukan tes psikologi. Metode ini diintrodusir oleh Minnesota University dan digunakan untuk menguji ketahanan mental prajurit-prajurit Amerika yang akan diterjunkan ke kancah Perang Dunia I (1914-1918) di Eropah, terhadap tekanan situasi. Tes ini sudah out of date bahkan sudah ditinggalkan penggunaannya di negeri asal setidaknya sejak dua puluh tahun yang lalu, karena beberapa kali dalam hal tertentu cenderung tak akurat. Kalau tetap digunakan, MMPI harus disertai penggunaan metode tes psikologi lainnya sebagai pembanding. Apakah Nila Moeloek korban dari kekeliruan MMPI?

BAGAIMANA Presiden Soeharto menguji calon-calon menterinya? Tak banyak diceritakan karena minimnya bocoran informasi. Tetapi kata orang yang pernah berada di lingkarannya, Soeharto betul-betul menjalankan hak prerogatifnya, meskipun sesekali mau juga mendengar ‘bisikan’. Karena minimnya informasi tentang seleksi ala Soeharto, maka yang lebih banyak beredar adalah humor rumor.

Suatu ketika saat ingin mencari siapa calon Wakil Presiden pendampingnya, Soeharto memanggil tiga orang jenderal. Kepada calon pertama ia bertanya, berapakah 2+2? Dengan pasti sang calon yang dikenal sebagai seorang jenderal yang tegas, menjawab 4. “Betul 4?”, tanya Soeharto lagi. Ya, betul pak, 4. Soeharto hanya manggut-manggut. Calon kedua, juga ditanya, berapa 2+2? Lama berpikir, sang calon akhirnya menjawab, kalau tak salah 4, pak. “Betul 4, bukan 5?”. Eh, jawab sang jenderal lagi, barangkali juga 5 pak. Soeharto juga hanya manggut-manggut. Tiba giliran calon ketiga,  Soeharto menanyakan berapa 2+2? Dengan cepat dan sopan, sang jenderal menjawab “Terserah bapak saja”. Calon ketiga terpilih.

Usai dilantik sebagai presiden untuk kesekian kalinya, Soeharto lalu melakukan uji kelayakan terhadap salah seorang calon menterinya. “Ayah saya bernama Karto, kakak saya bernama Bejo dan adik perempuan saya bernama Inem. Nah, siapakah anak ayah saya yang satunya lagi?”. Sang calon menteri berkeringat dingin, dan akhirnya menjawab, “Maaf, pak, saya tidak tahu, bapak tidak menyebutnya tadi. Mohon petunjuk pak”. “Bodoh betul orang ini”, kata Soeharto dalam hati. Tapi untuk pos menteri yang satu ini kebetulan tidak dibutuhkan kecerdasan, yang penting selalu mau minta petunjuk, Soeharto lalu memilihnya menduduki pos itu.

Setelah menjadi menteri, dibutuhkan memilih Sekjen dan Dirjen baru di departemennya. Maka ia juga melakukan uji coba terhadap beberapa calon. Meniru cara Presiden menguji, kepada salah satu calon, sang menteri mengajukan pertanyaan, seratus persen copy paste, “Ayah saya bernama Karto, kakak saya bernama Bejo dan adik perempuan saya bernama Inem. Nah, siapakah anak ayah saya yang satunya lagi?”. Dengan cepat calon eselom satu itu menjawab, “Anak itu adalah bapak sendiri”(seraya menyebut nama sang menteri). “Hah, anda salah besar. Jawaban yang benar adalah Pak Harto”, ujar sang menteri tersenyum. “Kalau anda tak bisa menjawab, biasakanlah minta petunjuk atasan”.

DALAM uji kelayakan Gubernur BI ataupun Deputi Senior Gubernur, dalam suatu pengertian lain, logika 2+2 sama dengan 4, juga tak selalu berlaku. Seorang calon Gubernur BI bisa saja menjadi sasaran kritik, kecaman dan tudingan terlibat suatu skandal, tetapi pada saat yang tepat, DPR justru berhasil memutuskan untuk memilih sang calon untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia yang baru. Dalam suatu pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, bisa mendadak satu calon tertentu mendapat dukungan serentak dari berbagai fraksi berbeda dan terpilih secara signifikan. Hanya saja lanjutan cerita menjadi tidak layak, satu persatu anggota DPR yang terlibat dalam proses pemilihan itu ditangkap KPK dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Kini sebagian dari mereka sudah mendekam dalam penjara karena terbukti menerima suap untuk memenangkan sang deputi senior. Namun sumber mata air kucuran dana tetap tak tersentuh hingga kini.

Babi, Monyet dan Kawan-kawan

“Perilaku manusia meniru-niru khewan dalam kehidupan politik dan penggunaan politik uang, mampu merubah jalannya demokrasi dan nantinya dengan sendirinya akan merubah jalannya sejarah politik Indonesia. Konon, menurut rumor alias kabar burung yang bersumber dari kalangan internal, beberapa partai politik besar telah mengalami lakon ala topeng monyet. Dalam beberapa Munas atau Kongres Partai, peta dukungan dalam pemilihan Ketua Umum bisa berubah dengan cepat, saat penawaran baru yang lebih tinggi dalam rangka money politics masuk ke para pemberi suara”.

SAMPUL depan edisi akhir Juni 2010 Majalah Berita Mingguan Tempo yang secara karikatural memperlihatkan seorang perwira polisi bersama tiga celengan babi, menjadi alasan bagi pimpinan Polri menuduh Majalah Tempo mempersamakan Polisi dengan Babi. Itulah yang kemudian disebutkan sebagai penghinaan terhadap institusi penegak hukum itu. Tetapi dengan suatu apresiasi yang ‘lurus’, gambar karikatural itu sebenarnya sama sekali tidak tepat ditafsirkan mempersamakan Polisi dengan Babi. Semua orang juga rasanya bisa tahu bahwa yang digambarkan di situ bukan babi, tapi celengan babi. Dan itu sesuai dengan judul laporan utama, Rekening Gendut Perwira Polisi, yang isinya melaporkan adanya ‘tabungan’ sejumlah perwira menengah dan jenderal polisi yang disimpan dalam beberapa rekening dengan angka ‘gemuk’ bernilai puluhan miliar rupiah.

Jadi, bisa dipastikan, yang tidak disenangi oleh para petinggi Polri, adalah pengungkapan keberadaan rekening-rekening itu, yang disebutkan tak wajar karena, angka-angkanya terlalu fantastis bila dibandingkan dengan gaji para jenderal sekalipun. Angka-angka fantastis itu menjadi satu keanehan tersendiri. Dan bahwa Polri hingga sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda keinginan menindaklanjuti subtansi masalah, yakni kejanggalan keberadaan dan angka rekening-rekening tersebut, tetapi sebaliknya malah mengutamakan rencana penuntutan atas ‘penghinaan’ serta mengusut sumber berita, merupakan keanehan lainnya lagi.

Apa boleh buat, untuk kesekian kalinya, nama khewan kembali diseret-seret dalam kontroversi politik dan kepentingan antar manusia. Kali ini, babi, yang dagingnya diharamkan bagi penganut agama ‘mayoritas’ di Indonesia. Sejauh ini, bagi rakyat lapisan bawah, yang lebih populer adalah kisah takhyul pesugihan babi ngepet. Jalan pintas menuju kekayaan. Masyarakat bawah praktis tak punya peluang memperkaya diri dengan menerima suap dan merekayasa perkara demi uang.

BEBERAPA bulan yang lalu, nama khewan pedaging lainnya, kerbau, juga sempat masuk sebagai berita politik. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menunjukkan kegusaran ketika kerbau dituntun para pengunjuk rasa terkait skandal Bank Century. Presiden menyebutkan kehadiran sang kerbau –yang selalu dianggap khewan dungu– telah disalah-digunakan menyindir dirinya tambun dan lamban. Padahal, tubuh sang presiden tak gemuk-gemuk amat, kecuali bila dibandingkan dengan masa-masa menjadi Taruna Akabri seperti yang terlihat dalam foto-foto album lama. Akhirnya, kepolisian mengeluarkan seruan agar para pengunjuk rasa tidak membawa khewan kala berdemonstrasi.

Nama khewan memang sudah lama meramaikan kehidupan politik di Indonesia. Para demonstran gerakan kritis sering menghadiahkan ayam (sayur) kepada para anggota DPR yang dianggap tidak punya keberanian dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, dalam satu-dua tahun belakangan, giliran sejumlah anggota badan perwakilan rakyat itu yang kerapkali –entah sadar entah tidak– banyak memetik nama-nama dari perbendaharaan kata yang sering digunakan di kebun binatang, sebagai bagian dari debat kusir politik.

DALAM pergaulan manusia, demikian pula dalam kehidupan sosial-politik tempo dulu maupun kini, mereka yang bersikap oportunis disebut ular berkepala dunia. Mereka yang emosi karena dikritik tajam, dianggap berkelakuan bagai cacing kepanasan. Pernah pula pada masa tertentu anggota-anggota DPR yang kerjanya hanya menurut kemauan penguasa dianggap hanya bisa mem-bebek, dan mereka yang selalu meniru-niru ucapan para pemimpin disebut mem-beo. Di masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, bermunculan sejumlah politisi bunglon yang sanggup menyesuaikan warna dengan siapapun, atau politisi yang mampu menyesuaikan diri, mengembik di kandang kambing dan melenguh di kandang sapi. Ada pula politisi muka badak yang tak kenal malu, pandai menjilat ke atas tapi menginjak ke bawah. Dan ada juga politisi yang bersikap malu-malu kucing, pura-pura tidak mau tapi bila ada kesempatan tak segan-segan menyambar ikan di meja, tak terkecuali milik majikannya. Para pemimpin

Nama khewan-khewan gagah dan cerdik, sampai yang bodoh-bodoh juga banyak digunakan. PNI dan partai-partai Marhaenis turunannya menggunakan lambang banteng yang siap menanduk. PDI-P menggunakan tanda gambar banteng yang lebih gemuk dan bermoncong putih. Sementara partai ‘sempalan’nya menggunakan gambar sketsa banteng yang hampir abstrak. Di zaman pergerakan kebangsaan, Ir Soekarno pendiri PNI sering dijuluki singa podium, bukan banteng podium. Adam Malik yang lincah dalam manuver politik dan bersilat kata, digelari si kancil. Kaum kolonial Belanda dituding kerap menggunakan politik divide et impera dan atau politik adu domba. Tapi jangan salah, di masa Indonesia merdeka, kerapkali politik adu domba ataupun politik adu jangkrik yang berisik, juga dijalankan. Rakyat banyak cenderung hanya dijadikan kambing congek atau kelinci percobaan. Lapisan tertentu masyarakat dijadikan sapi perahan politik atau kepentingan ekonomi. Sebagian lainnya lagi diformat bagaikan anjing-anjing Pavlov. Bagaimana mungkin dengan keadaan seperti itu Indonesia menjadi macan Asia seperti yang dulu diramal-ramalkan?

Penguasa politik dan ekonomi menjadi serigala pemangsa. Massa rakyat maupun organisasi massa dan organisasi politik dijadikan sekedar kuda tunggangan politik menuju kekuasaan. Partai-partai yang kuat membagi amplop atau nasi bungkus plus air mineral setiap kampanye, mampu mengumpulkan massa yang menyemut. Dalam rangka mencuci tangan atas kekeliruannya, para penguasa senang mencari kambing hitam. Bila sedang tak punya solusi untuk satu permasalahan, para petinggi pemerintah atau petinggi partai memilih untuk bersikap pura-pura bagai kura-kura dalam perahu. Soal anggota KPU tak boleh jadi pengurus partai, masakan yang bersangkutan maupun partai yang merekrutnya tak paham undang-undang? Para penguasa juga merekrut ‘profesional’ yang tekun mendengarkan dan trampil mengumandangkan his master voice. Tempo dulu ada label gramafon His Master Voice yang menggunakan maskot anjing yang duduk dengan santun mendengar. Pada masa Soekarno dan Soeharto, para anggota badan perwakilan rakyat akan duduk dengan santun mendengar bila para penguasa tertinggi itu sedang berpidato, namun bertepuk tangan meriah pada bagian-bagian tertentu. Di zaman Presiden Habibie dan Megawati, para pendengar berkurang kesantunannya, ada yang ngobrol dan ada pula yang malah tertidur saat pidato berlangsung. Di zaman Abdurrahman Wahid, banyak ger-geran, maklum sang presiden suka melontarkan banyolan. Kebiasaan ngobrol dan tertidur, keterusan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi kebiasaan itu mereda dengan drastis, karena suatu kali sang presiden menegur keras mereka yang tertidur saat ia sedang berpidato.

Untuk mencari dana politik maupun memperkaya diri banyak kalangan penguasa menjadi tikus-tikus yang menggerogoti keuangan negara. Kaum koruptor dibagi atas yang kelas kakap yang jarang diciduk dan kelas teri yang lebih gampang ditindaki. Kenapa? Karena yang koruptor kelas berat biasanya licin bagai belut. Apalagi kalau mereka sudah menggurita, siapa yang bisa melawan? Koruptor kecil-kecilan mudah dijebloskan ke kandang macan alias sel tahanan, tetapi kelas gurita, tersentuh pun tidak. Bila toh ada yang apes, takkan masuk kandang macan itu melainkan masuk kamar prodeo fasilitas bintang lima. Lembaga pemberantas korupsi, KPK, nasibnya timbul tenggelam, diincar tidak hanya oleh jaringan koruptor tetapi juga oleh sesama penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Seberapa besar kekuatan KPK? Jenderal Polisi Susno Duadji, yang kini dijadikan tersangka kasus Arwana setelah meniup peluit, dulu mengibaratkan KPK bagaikan cicak melawan buaya dibandingkan Polri.

Pendek kata, kehidupan politik kita seakan dipenuhi binatang politik dan kehidupan ekonomi kita sesak oleh binatang ekonomi. Penguasa dan partai politik sudah jamak terlibat politik dagang sapi, misalnya dalam menentukan porsi dalam kabinet dan jabatan empuk lainnya. Ada akademisi yang sampai emosi mengatakan bahwa kehidupan kita kini dipenuhi monyet-monyet.

SEBAGAI kisah penutup, adalah mengenai monyet-monyet penghibur di Bandung. Bila memasuki kota Bandung, terutama di akhir pekan atau pada masa-masa libur panjang, kemungkinan besar para pengunjung akan terjebak macet dengan kategori ‘padat merayap’. Tapi ada kelompok-kelompok topeng monyet di trotoar tepi jalan atau di median jalan, yang bisa sedikit menghibur untuk mengurangi kekesalan. Kalau dulu-dulu, lakon para monyet itu hanyalah unjuk kebolehan meniru ibu-ibu membawa keranjang seakan-akan ke pasar, pandai memakai payung, atau sekali-sekali menarik gerobak bagai pemulung, maka kini ada lakon-lakon baru. Bila dilontari uang kertas lewat jendela mobil, sang monyet akan segera memungutnya lalu mengembangkan lebar-lebar uang itu dan menaruhnya di jidat sambil memberi hormat. Makin besar satuan nilai uangnya, makin lama dan makin takzim sang monyet memberi hormat. Monye-monyet itu rupanya sudah kenal betul nilai uang. Bagaimana kalau uang receh? Recehan seribu atau limaratus masih cukup dihargai, tetapi sekilas saja ditempel ke jidat. Dan bagaimana kalau recehan dua ratus atau seratus? Sering-sering tidak lagi ditempelkan ke jidat tapi langsung diberikan ke pawang. Kalau recehan 50 rupiah? Ada yang cerita, sang monyet tidak menggubris, bahkan pernah ada yang memungut lalu melemparkan kembali recehan itu ke mobil sang ‘donatur’. Pelit ah, kata sang monyet (barangkali)…… Pasti monyet-monyet itu sudah mengalami pendidikan politik (uang) ala manusia. Mereka meniru manusia yang sudah lebih dulu meniru perilaku monyet, sehingga tak heran bila akhirnya muncul, maaf, terminologi monyet politik.

Perilaku manusia meniru-niru khewan dalam kehidupan politik dan penggunaan politik uang, mampu merubah jalannya demokrasi dan nantinya dengan sendirinya akan merubah jalannya sejarah politik Indonesia. Konon, menurut rumor alias kabar burung yang bersumber dari kalangan internal, beberapa partai politik besar telah mengalami lakon ala topeng monyet. Dalam beberapa Munas atau Kongres Partai, peta dukungan dalam pemilihan Ketua Umum bisa berubah dengan cepat, saat penawaran baru yang lebih tinggi dalam rangka money politics masuk ke para pemberi suara. Sejumlah kandidat yang tadinya dijagokan, bisa rontok oleh praktek topeng monyet dalam konteks politik uang tersebut. Beberapa tahun lalu, penawaran lazimnya dilakukan via sms. Kini mungkin, caranya sedikit dirubah, karena komunikasi via telepon genggam sudah lebih mudah dilacak.

Memang Lidah Tak Bertulang, Beri Mereka Mie Sedap…

SEORANG politisi partai yang sedang berorasi di panggung kampanye di sebuah kabupaten kecil, tiba-tiba roboh. Ia segera dibawa ke rumah sakit satu-satunya di ibukota kabupaten itu. Seorang perawat disuruh seorang dokter muda memeriksa nadinya. “Tidak ada denyutan lagi, dok…”, kata sang perawat. “Ya, sudah”, kata sang dokter tanpa memeriksa lebih jauh lagi.

Pengurus partai setempat memutuskan untuk secepatnya mengirim jenazah ke ibukota propinsi untuk selanjutnya diterbangkan dengan pesawat ke Jakarta pada kesempatan pertama. Setelah diurus seperlunya, sang politisi yang sudah terbungkus kain kafan dimasukkan peti jenazah oleh dua petugas kamar jenazah RS Kabupaten. Saat diletakkan ke dalam peti, tubuh dalam bungkusan kain kafan itu bergerak-gerak. “Dia bergerak…”, kata salah seorang di antara petugas itu. Lalu terdengar suara tertahan-tahan dari balik kain kafan, “Sa..ya.. di ma..na, a..da a..pa….?”. Sang petugas menjawab, “Bapak dalam peti mati”. Terdengar jeritan tertahan, “Sa…ya  bbee…lum ma..ti…!”. Hah? “Bagaimana ini?”, tanya sang petugas kepada temannya. Dengan nada menggerutu petugas yang satu lagi berkata, “Ah, dia kan politisi… Jangan percaya. Mereka selalu berbohong. Sudah mati kok masih menyangkal…”. Akhirnya kedua petugas melanjutkan tugasnya tanpa beban mental lagi, menutup peti mati dan memakunya sekalian. Lalu menaikkannnya ke mobil jenazah.

BILA diperiksa dengan sangkaan melakukan korupsi, menerima suap atau gratifikasi, para pejabat dan politisi pada umumnya menyangkal dengan mengatakan bahwa dirinya menjadi korban politisasi, mengalami character assasination dan argumen sejenis. Beberapa di antara mereka mampu dengan wajah tenang tanpa mata berkedip atau tanpa bergerak hidungnya, menyampaikan penyangkalan-penyangkalan di depan pemeriksa, bahkan sampai di depan persidangan pengadilan sekalipun. Kalau alasan-alasan itu tidak mempan, banyak tersangka mulai mangkir dari pemeriksaan atau persidangan dengan alasan sakit. Almarhum pak Harto, berhasil menghindar dari persidangan pengadilan karena para pengacaranya mampu menampilkan alasan kreatif dan innovatif ‘sakit permanen’ dengan bantuan sederet dokter ahli.

Belakangan, lebih dari sekedar menyangkal, para tersangka kasus korupsi malahan berani melakukan serangan balik. Mulai dari serangan balik berupa kata-kata semisal “saya difitnah”, “nama baik saya dicemarkan” atau tudingan balik “maling teriak maling”, hingga ke penuntutan balik melalui laporan “pencemaran nama baik” ataupun mengajukan tuntutan pra peradilan. Dan istimewanya, counter strike itu selalu saja bisa mendapat jalan dengan bantuan kalangan penegak hukum sendiri yang rupa-rupanya untuk sebagian sudah dirasuki golongan hitam. Terkesan bahwa golongan hitam ini sudah begitu kuat mencengkeram di berbagai institusi.

TAK heran bila kalangan bukan pejabat dan bukan politisi pun meniru-niru pola penyangkalan ala pejabat dan politisi itu, apalagi lidah memang tak bertulang, sangat sesuai dipakai untuk berbohong bila hati nurani tidak digunakan. Para artis dan selebrities yang terseret masalah hukum, tidak terkecuali. Para artis yang baru-baru ini terlibat kasus video porno juga berkelit, dengan wajah tenang mengatakan bahwa yang ada dalam video itu bukan mereka, walau beberapa ahli telematika sudah menyimpulkan 99 persen mirip. Dan pengacara pun mengatakan mereka para artis ini, Ariel, Luna Maya dan Cut Tari, adalah korban. Seorang isteri mantan petinggi Polri yang terlibat dalam kasus suap bagi-bagi traveller cheque dalam kaitan pemilihan deputi senior BI,Miranda Gultom, sampai saat ini belum bisa dibawa ke pengadilan sebagai saksi, karena alasan dan alibi ampuh, mengalami sakit yang menyebabkan degradasi daya ingat yang berat.

Kalau begitu, apalagi yang bisa diperbuat? Masih ada satu cara untuk mendeteksi kebohongan, meniru fantasi dunia periklanan: Beri mereka mie Sedap. Lidah tidak bisa bohong….

Para Tamu Yang Tak Diundang

“Maka seorang aktivis keadilan sosial pernah mempraktekkan, makin kaya pengundang, makin kecil isi amplop yang disumbangkannya, kalau perlu tanpa amplop samasekali. Makin lemah status sosial ekonomi sang pengundang, ia menganjurkan agar makin besar isi amplop sumbangan. Kalau sang pengundang sudah kaliber Aburizal Bakrie atau keluarga Ibnu Sutowo, menurut ilmu keadilan sosial, mau kasih apa lagi soalnya?”.

KISAH lelaki pelayat palsu Selandia Baru di sejumlah rumah duka, seperti yang diberitakan dalam Kilasan Kawat Sedunia (Kompas, 5 Juni), sebenarnya masih kalah seru (dan keterlaluan) dari pelayat palsu di Indonesia. Lelaki Selandia Baru itu katanya ketahuan melayat ke berbagai rumah duka sekedar untuk mengumpulkan makanan guna dibawa ke rumahnya sendiri.

Di Indonesia lain lagi. Tak hanya sekali ada orang pura-pura melayat sambil memalingi barang berharga di rumah duka. Orang berduka biasanya kurang waspada, dan yang lain bisa menganggap sang maling anggota keluarga, karena pandai berlaku sok sibuk mengurus berbagai kepentingan keluarga yang berduka. Pernah kejadian, di Kebayoran Baru Jakarta, seorang pelayat palsu dengan tenang menggulung taplak meja di ruang tamu tempat orang menaruh amplop sumbangan duka, lalu membawa buntelan uang itu ke dalam… Tapi ternyata, mutar lagi keluar lewat pintu samping menuju garasi yang penuh pelayat lain, kemudian terus ke luar rumah.

Model meraup uang sumbangan juga sering terjadi di pesta kawinan di sebuah kota luar Jawa. Soalnya, di kota itu, menyumbang uang dalam amplop merupakan tradisi, dalam bahasa setempat dikenal sebagai doe pannyiori, alias uang partisipasi. Bisa meringankan beban biaya perkawinan yang sudah dikeluarkan. Ketika mode membawa kado berupa barang marak mendesak tradisi, pemberian sumbangan uang menyurut drastis. Situasi jadi ‘berat’ juga bagi yang punya hajat. Akibatnya, rumah yang empunya hajat bisa tiba-tiba penuh sesak dengan berbagai gelas, cangkir, piring, sendok-garpu, dalam jumlah yang melampaui kebutuhan normal sebuah rumah tangga. Solusinya, kadang-kadang stok ex kado kembali dibingkis sebagai kado saat diundang ke pesta kawinan. ‘Kelemahan’ sistem kado, barang-barang besar seperti kulkas, televisi apalagi furniture, tak bisa dibungkus. Jadi, jarang ada kado besar-besaran. Tapi orang kaya Jakarta di masa ‘kelimpahan’ rezeki pada bagian-bagian awal masa pemerintahan Soeharto, berhasil bikin terobosan. Bingkisan kado bisa menjadi kecil mungil –terutama bila yang empunya hajatan adalah pejabat tinggi– tapi isinya nggak tanggung-tanggung: kunci mobil, kunci rumah, atau berlian-berlian lengkap dengan sertifikatnya.

Dan akhirnya, tibalah musim bunga. Say it with flower. Tempat-tempat pesta dipenuhi karangan bunga gede-gedean bak papan reklame, dengan nama pengirim kembang segede gajah. Benefitnya hanya dinikmati oleh para pengusaha kembang. Konon bisa menaikkan gengsi kalau dalam karangan-karangan bunga itu berderet nama-nama tokoh terkenal seperti pejabat tinggi dan sebagainya.

KINI budaya menyumbang dengan uang kembali marak. Syukur alhamdulillah, kata sejumlah orangtua yang mantu. Secara ekonomis, lebih berguna dan berdampak baik, karena bernilai partisipatif. Tapi anehnya, makin tinggi tingkat kekayaan penyelenggara hajat, makin tinggi pula nominal isi amplop. Sedang penyelenggara kawinan yang dari kalangan menengah ke bawah, nominal isi amplopnya juga bernominal menengah ke bawah. Jangan berharap yang tinggi-tinggilah, bila tidak punya modal sosial dan status yang juga tinggi. Maka seorang aktivis keadilan sosial pernah mempraktekkan, makin kaya pengundang, makin kecil isi amplop yang disumbangkannya, kalau perlu tanpa amplop samasekali. Makin lemah status sosial ekonomi sang pengundang, ia menganjurkan agar makin besar isi amplop sumbangan. Kalau sang pengundang sudah kaliber Aburizal Bakrie atau keluarga Ibnu Sutowo, menurut ilmu keadilan sosial, mau kasih apa lagi soalnya? Pengamanan penerimaan amplop sumbangan juga sudah lebih ketat. Sumbangan ditampung dalam guci atau kotak yang kokoh, dijaga pagar ayu dan pagar cakep penerima tamu.

BERITA pasukan Batik di Jakarta yang numpang makan di acara pesta perkawinan, juka bukan kelakuan baru. Berbagai acara lain, seperti diskusi, peluncuran buku, atau acara lainnya, terutama di hotel-hotel besar, rawan ketamuan fellow traveller semacam itu. Tak soal betul sebenarnya, sepanjang logistik penyelenggara hajatan cukup kuat. Terus terang, banyak mahasiswa rantau, dari dulu hingga sekarang, mempraktekkan kiat menambah gizi (atau memenuhi kesenjangan pemenuhan kebutuhan hidup) seperti itu, terutama di kota-kota mahasiswa seperti di Bandung dan Yogya. Cuma dulu, modalnya bukan baju batik, tetapi kemeja biasa tambah dasi –kalau bisa jas pinjam. Biasa dilakukan secara berjamaah, 3-5 orang. Kalau dasinya kurang, terpaksa giliran. Selesai makan, langsung ke luar agar teman yang menunggu di luar, bisa giliran pakai dasi dan masuk bersantap. Selain dasi, modal lain adalah sikap sok ramah, sok akrab dan sok kenal, menyapa tamu-tamu lain. Saat mengisi buku tamu, tak segan-segan mencantumkan titel sarjana di depan nama. Sering konyol juga, bawa sebungkus kado kosong terbungkus kertas kado bekas. Tetapi perilaku yang ini akhirnya dihindari karena hanya akan menimbulkan ‘kebencian’ yang nantinya menjadi sumber info agar memperketat penerimaan tamu.

Sebenarnya, banyak penyelenggara pesta kawinan di Bandung tahun 1960-1970an sudah cukup mahfum, dan tidak berusaha mencegah kedatangan para penggembira ini, asal jumlahnya masih ada dalam ambang batas toleransi persediaan logistik. Selain itu, suasana pertengahan 1960 hingga 1970an adalah masa ‘perjuangan’ mahasiswa. Jadi, ya, semacam dukungan politik begitu.

Perempuan dan Bola, Lelaki Tanpa Menopause

“Bagi lelaki yang tergolong pencinta sejati, khususnya bagi penghayat sejarah, makin antik makin disayang. Bola tak hanya dipandangi, namun sesekali dipangku, diusap dan dibelai”. “Kaum lelaki tidak pernah berhasil meninggalkan masa pubertas mereka, mati-matian mereka mempertahankan pubertasnya walau seringkali sudah bagaikan menegakkan benang basah”.

PEREMPUAN di mata lelaki, sering dianalogikan sebagai bola.

Pada usia remaja hingga 20 tahun, perempuan ibarat bola dalam permainan sepakbola, 22 orang saling kejar-kejaran dan sikut menyikut untuk memperebutkannya. Kadang-kadang ada pemain yang kena kartu kuning, dan bila keterlaluan cara rebutannya terpaksa dikenakan kartu merah dan harus keluar gelanggang.

Ketika menanjak menjadi perempuan muda usia 20 hingga 30 tahun, ia diperebutkan bagai bola dalam permainan basket. Sepuluh lelaki memperebutkan agar bisa memasukkannya (ke) keranjang. Kalau satu menggiringnya (ke) keranjang, empat lelaki satu tim mungkin membantu, sementara lima lelaki yang lain mati-matian mencegahnya.

Pada usia 30-35 tahun seorang perempuan masih juga diperebutkan oleh setidaknya empat orang bagai bola dalam permainan volli pantai. Ditepuk ke sana ke mari dengan keras bila permainan meningkat panas. Setelah itu, hingga usia 40 tahun bagai bola pingpong, di-smash bolak-balik oleh dua orang pemain saja.

Saat berada dalam usia 40-50 tahun, seorang perempuan cenderung menjadi bola dalam permainan squash, sesekali dengan dua pemain melawan tembok, lebih banyak oleh pemain tunggal. Dan setelah berusia lebih dari 50 tahun, bagaikan bola golf. Dipukul sekeras-kerasnya agar terbang sejauh-jauhnya. Tapi anehnya masih selalu disusuli ke tempat ia jatuh untuk diterbangkan lagi sejauh-jauhnya.

Bagaimana setelah usia 60 tahun? Banyak bola yang disimpan sekedar sebagai benda kenangan. Dipajang di lemari kaca dan dipandangi saat mengenang permainan-permainan indah di masa lampau. Tapi bagi lelaki yang tergolong pencinta sejati, khususnya bagi penghayat sejarah, makin antik makin disayang. Bola tak hanya dipandangi, namun sesekali dipangku, diusap dan dibelai.

DAN sebaliknya apakah sebenarnya seorang lelaki itu? Lelaki bagaikan huruf Q, yang jika tidak terselamatkan oleh adanya secuil ekor hanyalah sebuah angka nol besar. Mengapa dewasa ini makin banyak perempuan yang memilih untuk tidak menikah? Tak lain karena mereka lebih menghargai daging dalam lemari es daripada sapi yang ada di ruang duduk.

Apa persamaan antara udang dan lelaki? Dapat dinikmati semuanya kecuali kepalanya. Apa persamaan antara ikan lumba-lumba dan lelaki? Kedua-duanya dikatakan pintar, namun tak seorangpun dapat membuktikannya. Apa persamaan antara microwave dengan lelaki? Kedua-duanya menjadi panas hanya dalam tempo 15 detik.

Mengapa lelaki tidak bisa rupawan sekaligus pintar? Kalau bisa, maka dia adalah seorang perempuan. Mengapa baterai lebih baik dari lelaki? Baterai paling tidak punya satu ujung yang positif. Mengapa diperlukan berjuta sel sperma untuk bisa membuahi satu sel telur? Karena sel sperma yang berasal dari lelaki, enggan menanyakan arah. Lalu mengapa seorang lelaki tidak melalui masa menopause? Karena kaum lelaki tidak pernah berhasil meninggalkan masa pubertas mereka, mati-matian mereka mempertahankan pubertasnya walau seringkali sudah bagaikan menegakkan benang basah.

Lugu versus Retorika

“Wah celaka….. Tuhan hilang. Dan kelihatannya kita yang dipersalahkan oleh orang-orang, kita dituduh telah menghilangkan Tuhan. Pak Ustadz menanyakan kepada saya, Tuhan ada di mana….”.

PADANAN yang tepat dalam bahasa Inggeris bagi kata atau sikap lugu adalah ignore dan ignorance. Lugu adalah suatu keadaan ‘kurang tahu’ dan atau ‘tidak tahu’ atau pilon. Lugu sering juga diplesetkan sebagai ‘lucu’ dan ‘gundul’. Tapi kalau misalnya secara insidental atau semi permanen ada politisi atau pengacara yang sengaja menggunduli kepalanya, atau pejabat yang gundul karena memang botak total, bukan dengan sendirinya berarti mereka lucu, meskipun banyak juga entah sengaja entah tidak kerapkali menjadi lucu karena melakukan atau mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal, sehingga mereka memang jadi lucu dalam keadaan gundul. Sebenarnya, yang lebih sering, banyak politisi, pengacara, pejabat atau bahkan kalangan penegak hukum, berlagak pilon. Sebenarnya tahu betul suatu masalah namun membelak-belokkannya dengan berbagai retorika demi suatu kepentingan lain. Kapan-kapan perilaku seperti ini perlu juga dibahas.

Dalam kehidupan sehari-hari keluguan seringkali berhadapan dengan retorika.

SEORANG menteri yang kebetulan Ketua Umum sebuah organisasi politik di masa Soeharto, dalam suatu pertemuan dengan para kader di sebuah kabupaten di Madura, menunjuk salah seorang di antaranya untuk diuji, “Coba, sebutkan sila-sila Pancasila…”. Sang kader memberikan jawaban yang jumpalitan tidak keruan. Maka sang Ketua Umum bilang, “Bagaimana ini? Pancasilanya kok terbalik-balik….?”, lalu menyebutkan Pancasila secara urut dan lengkap. Dengan wajah tak bersalah, sang kader berkomentar, “Iya, memang sampeyan harus tahu, yang menteri kan sampeyan….”. Sang menteri hanya bisa menggeleng-geleng dengan senyum kecut.

PALING lugu adalah seorang ibu yang suatu saat mengurus paspor di kantor imigrasi. “Mau dibantu biar cepat selesai, bu?”, tanya petugas. “Iya, dong, mau”, jawab sang ibu. “Tapi itu…, uang rokoknya ya bu….?”. “Beres, pak, nanti saya siapkan”. Lalu sang ibu meninggalkan meja sang petugas. Lima belas menit kemudian ia kembali ke meja petugas. Dari sebuah kantong plastik, ia mengeluarkan satu slof rokok 555. “Ini pak, langsung saya belikan rokoknya”. Sang petugas imigrasi hanya bisa menganga bingung sejenak, dan hanya bisa mengeluh “Ah, ibu ini….”.

Tak kalah ‘lugu’ adalah seorang dokter perempuan yang baru beberapa bulan lulus Fakultas Kedokteran di Universitas luar pulau Jawa, di tahun 1970an. Bolak-balik ia ke Departemen Kesehatan mengurus surat penempatannya sebagai dokter, namun tak kunjung selesai. Maka suatu saat ia bertanya kepada petugas, “Kenapa sih nggak selesai-selesai, pak?”. Petugas menjawab, “Kertas habis…”. Oh, begitu? Ia lalu pergi ke seberang jalan Gedung Departemen Kesehatan (bukan gedung Depkes yang sekarang) membeli satu riem kertas. Ia memberikan kertas itu kepada sang petugas. Sang petugas menerima kertas satu riem itu dengan wajah masam lalu membantingnya ke lantai, “Anda ini bodoh atau pelit…?!”. Akhirnya surat penempatan itu bisa diterima juga setelah seorang petugas lain menengahi, bahwa kata-kata “kertas habis” itu hanyalah kata isyarat diperlukannya uang pelicin. Besaran angka rupiahnya lalu disebutkan dengan gamblang dan ‘mau tidak mau’ dibayar tunai saat itu juga, maka surat yang diperlukan pun bisa diterima. Surat itu rernyata sudah lama selesai, terlihat dari tanggal yang tercantum. Salah-salah bisa basi. Tentu saja mengingat tahun peristiwanya, kejadian ini sudah kadaluarsa untuk dilaporkan ke Satgas Anti Mafia Hukum, kecuali kasus-kasus yang masih baru, ‘kalau’ masih ada.

Cerita-cerita di atas diangkat dari kisah nyata. Tapi yang berikut ini, tampaknya cenderung merupakan fiksi humor, tapi bisa saja terjadi betulan.

SEPASANG suami-isteri, orang tua dari dua anak lelaki berusia 9 dan 8 tahun, merasa kewalahan menghadapi kenakalan kedua anak mereka. Kedua anak itu, suka bolos sekolah, bolos mengaji, tidak sholat kalau tidak diawasi, selain gemar menyambit jendela kaca rumah tetangga, menghilangkan barang dan aneka kenakalan lain yang dianggap keterlaluan. Karena kelakuan mereka itu, bila ada sesuatu keonaran, atau ada sesuatu yang hilang, kedua anak itu selalu dipersalahkan. Tapi makin dipersalahkan, makin menjadi pula kenakalan mereka. Rupanya sepasang suami isteri itu sudah terlalu serius dan sensitif dalam menghadapi kenakalan kedua anak mereka. Lalu mereka minta bantuan seorang Ustads terkemuka yang mereka kenal.

Suatu hari, sang Ustadz pun datang. Ia sangat concern, terutama tentang perilaku bolos mengaji dan sholat. Mula-mula si sulung yang diperhadapkan kepada sang Ustadz. Dengan raut muka yang serius, mata yang menatap tajam, sang Ustadz memulai komunikasi dengan sebuah pertanyaan yang bernada retorika, “Hei nak, Tuhan ada di mana?”. Ditanya seperti itu, si sulung menjadi pucat, tak bisa berkata-kata. Berkeringat dingin. Tiba-tiba dia bangkit dan kabur meninggalkan sang Ustadz, sambil menarik tangan adiknya yang menunggu di teras rumah. Dengan terengah-engah sesampainya di tempat ‘persembunyian’ mereka, si sulung berkata kepada adiknya, “Wah celaka….. Tuhan hilang. Dan kelihatannya kita yang dipersalahkan oleh orang-orang, kita dituduh telah menghilangkan Tuhan. Pak Ustadz menanyakan kepada saya, Tuhan ada di mana….”.

Antara Jakarta-Teheran: “Kenapa Indonesia takut kepada Amerika?”

“Kalau ada yang terlihat anti Amerika di Indonesia, itu hanyalah Hizbut Thahrir dan beberapa kelompok Islam garis keras lainnya. Tidak kita ketahui sejauh mana kedalamannya. Sebagian hanya sebatas retorika, karena diberi keyakinan samar-samar bahwa Amerika memusuhi Islam. Sebagian lagi, temporer bersikap anti Amerika sekedar sebagai komoditi politik dalam negeri untuk mencari ‘perhatian’ dan atau ‘menggertak’ penguasa Indonesia yang diasumsikan terlalu ‘tunduk’ kepada pengaruh negara adidaya itu”.

MESKIPUN tadinya sempat ‘dipersulit’ untuk masuk ke Amerika Serikat, Presiden Iran Ahmadinejad toh akhirnya bisa tampil di Konperensi Pengkajian Traktat Nonproliferasi, di New York, Senin 3 Mei yang lalu. Dan Ahmadinejad langsung menggebrak AS di hari pertama itu. Pers mengutip serangannya bahwa AS harus dikeluarkan dari Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). “Bagaimana mungkin AS pantas menjadi anggota Dewan Gubernur IAEA, bila dulu negara itu pernah menggunakan bom atom terhadap Jepang dan kemudian menggunakan senjata depleted uranium terhadap Irak”, ujarnya, dan “mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap Iran” (Kompas/AP/Reuteurs). Delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hillary Clinton kontan meninggalkan ruang sidang, diiringi oleh delegasi Perancis dan Inggeris, sebagai protes terhadap apa yang disebutnya ‘tudingan liar’ Iran. Menurut Hillary Clinton, kini Iran adalah satu-satunya negara yang belum mematuhi Traktat Nonproliferasi Nuklir, sehingga perlu diisolasi.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, menjadi pembicara tepat sebelum giliran Ahmadinejad. Dua pekan sebelumnya Marty Natalegawa juga bertemu dengan Ahmadinejad di suatu forum internasional mengenai perlucutan senjata nuklir di Teheran 18 April 2010. Kata Menteri Luar Negeri Indonesia itu, pemberian sanksi tidak efektif dan penjatuhan sanksi yang pernah terjadi di masa lampau takkan punya pengaruh apapun bagi Iran. Kantor berita Iran, IRNA, mengutip Marty, bahwa “sejarah dan pengalaman membuktikan bahwa perundingan lebih berpengaruh dan efektif daripada penjatuhan sanksi”. Marty menegaskan, pendapat resmi Indonesia adalah “berunding lebih efektif daripada sanksi”.

Melihat gelagatnya, Ahmadinejad, mungkin memang lebih membutuhkan perundingan daripada ‘perang’, namun pada sisi lain tidak mau menunjukkan kegentaran terhadap ancaman-ancaman AS dan negara-negara adidaya lainnya terhadap proyek pengembangan nuklir Iran. Berpegang kepada pendapat resmi yang disampaikan Natalegawa, seorang diplomat Indonesia lalu bertanya kepada seorang anggota DPR Iran. “Mengapa negara anda lebih memilih sikap melawan AS daripada jalan berunding?”. Mungkin di luar dugaan sang diplomat Indonesia itu sendiri, yang terjadi adalah bahwa dengan sengit sang anggota DPR Iran itu malah balik bertanya, “Kenapa negara anda yang lebih besar dan jauh lebih banyak rakyatnya, takut melawan Amerika? Apa yang anda semua takutkan?”. Tanya jawab putus sampai di situ. Mungkin perlu nasehat bagi sang diplomat Indonesia, pelan-pelan saja kalau menganjurkan jalan damai bagi orang yang lagi marah. Rupanya, di Iran ada juga anggota parlemen yang bertype Ruhut Sitompul ‘Si Poltak Raja Minyak’

Penguasa-penguasa Indonesia pasca Soekarno, pada umumnya adalah ‘anak manis’ bagi negara adidaya Amerika Serikat. Terutama Soeharto, terkecuali pada saat-saat terakhir, ditinggal jatuh oleh Amerika. Melawan Amerika? Tunggu dulu. Kalau ada yang terlihat anti Amerika di Indonesia, itu hanyalah Hizbut Thahrir dan beberapa kelompok Islam garis keras lainnya. Tidak kita ketahui sejauh mana kedalamannya. Sebagian hanya sebatas retorika, karena diberi keyakinan samar-samar bahwa Amerika memusuhi Islam. Sebagian lagi, temporer bersikap anti Amerika sekedar sebagai komoditi politik dalam negeri untuk mencari ‘perhatian’ dan atau ‘menggertak’ penguasa Indonesia yang diasumsikan terlalu ‘tunduk’ kepada pengaruh negara adidaya itu. Tapi pada sisi lainnya lagi, seberapa pun kecilnya secara kuantitatif, terbukti ada juga kelompok yang sudah sangat radikal sehingga melakukan berbagai tindakan pemboman dan bentuk teror lainnya dan bersedia mati untuk keyakinan sempitnya..

APAKAH Iran masa kini masih se’radikal’ dan seketat pada masa awal ‘revolusi Islam’ Ayatollah Khomeini pasca kejatuhan Syah Iran Reza Pahlevi? Melihatnya bisa dimulai dengan situasi kehidupan kaum perempuannya, yang dalam dunia Islam selalu dianggap sebagai bagian yang lemah dalam konteks kesetaraan gender. Soal kerudung atau jilbab, memang merupakan kebiasaan berpakaian kebanyakan perempuan Iran. Negeri ini dalam sejarah masa lampaunya yang berusia 4000 tahun dikenal sebagai Persia yang jaya dan bercahaya. Pada abad ke-6 sebelum Masehi, balatentara Persia di bawah Raja Cyrus yang Agung, melakukan penaklukan atas wilayah Timur Tengah dan Asia Tengah sampai wilayah yang kini dikenal sebagai Pakistan. Tapi pada abad ke-4 SM Cyrus terlempar dari tahtanya karena penaklukan Iskandar yang Agung. Iskandar Agung dan para panglimanya membangun dinasti baru di sana dan menanamkan pengaruh kebudayaan Yunani di seluruh kawasan. Abad ke-7 Masehi para panglima perang Arab merasuk ke dataran Iran menggusur dinasti Sassanid, seraya memperkenalkan agama Islam, menggantikan Zoroastrianisme yang sebelumnya dianut orang Iran.  Wanita Persia di masa lampau, terutama di istana, memakai selendang pemanis penutup kepala, namun bisa agak ‘terbuka’ di bagian tubuh lain untuk memanjakan mata kaum lelaki. Hampir tak ada perempuan Iran masa kini yang bercadar seperti di Irak atau beberapa negara Arab lainnya. Kesempatan pendidikan hingga perguruan tinggi cukup diperoleh perempuan Iran, dan hanya sedikit terputus di masa hidup dan berkuasanya Ayatollah Khomeini, namun kini berlanjut kembali.

Di masa kekuasaan Syah Iran Reza Pahlevi, Iran mengalami modernisasi luar biasa yang ditopang kekayaan melimpah dari minyak bumi. Namun modernisasi itu tak berhasil menyentuh kelompok Islam ortodoks pengikut Ayatollah Khomeini. Menghadapi mereka yang dianggap kaum fanatik Islam, Reza Pahlevi terlalu besar memberi keleluasaan peran bagi kelompok intelejen, yang ternyata super represif terhadap mereka yang melawan rezim, terutama terhadap kelompok Islam ortodoks. Sehingga mengakumulasi kebencian. Banyak kemiripannya dengan peranan kelompok intelejen Indonesia di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Khomeini yang tak kalah ‘keras kepala’, mengalami masa ‘pembuangan’ yang panjang di luar negeri, sebelum kembali ke Iran. Permusuhan lahir batin antara Reza Pahlevi dan Khomeini sangat mendalam dan kadang-kadang sudah sangat pribadi, berlangsung sampai akhir hayat. Makanya ada humor politik, bahwa di alam sana mereka masih saling cari untuk menuntaskan dendam kesumat lama.

Perempuan Iran –terutama yang asal usulnya adalah kaum elite di masa lampau– yang naik pesawat ke luar negeri, begitu keluar wilayah udara negaranya, akan segera mencopot kerudungnya. Orang-orang kaya Iran –sebagian terbesar adalah OKB– banyak berinvestasi di luar negeri, terutama di Qatar. Informasi tak resmi menyebutkan 40 persen investasi di Qatar adalah dari OKB Iran. Negeri ini, bagaimanapun masih punya sumber minyak sisa masa lampau. Banyaknya kiprah investor Iran di Qatar membuat soal Iran selalu menjadi perhatian di sana. Suratkabar di Qatar memberi tempat yang luas bagi berita-berita tentang Iran. Lambat laun, elite lama Iran yang umumnya berpendidikan ‘barat’ ditambah elite baru yang terbentuk dengan bertumbuhnya kelompok kaya baru, akan membuat Iran kembali mampu memperbaharui diri. Setidaknya mengayun lebih cepat kembali, pada arah berlawanan dengan masa kekuasaan Khomeini.