Para Tamu Yang Tak Diundang

“Maka seorang aktivis keadilan sosial pernah mempraktekkan, makin kaya pengundang, makin kecil isi amplop yang disumbangkannya, kalau perlu tanpa amplop samasekali. Makin lemah status sosial ekonomi sang pengundang, ia menganjurkan agar makin besar isi amplop sumbangan. Kalau sang pengundang sudah kaliber Aburizal Bakrie atau keluarga Ibnu Sutowo, menurut ilmu keadilan sosial, mau kasih apa lagi soalnya?”.

KISAH lelaki pelayat palsu Selandia Baru di sejumlah rumah duka, seperti yang diberitakan dalam Kilasan Kawat Sedunia (Kompas, 5 Juni), sebenarnya masih kalah seru (dan keterlaluan) dari pelayat palsu di Indonesia. Lelaki Selandia Baru itu katanya ketahuan melayat ke berbagai rumah duka sekedar untuk mengumpulkan makanan guna dibawa ke rumahnya sendiri.

Di Indonesia lain lagi. Tak hanya sekali ada orang pura-pura melayat sambil memalingi barang berharga di rumah duka. Orang berduka biasanya kurang waspada, dan yang lain bisa menganggap sang maling anggota keluarga, karena pandai berlaku sok sibuk mengurus berbagai kepentingan keluarga yang berduka. Pernah kejadian, di Kebayoran Baru Jakarta, seorang pelayat palsu dengan tenang menggulung taplak meja di ruang tamu tempat orang menaruh amplop sumbangan duka, lalu membawa buntelan uang itu ke dalam… Tapi ternyata, mutar lagi keluar lewat pintu samping menuju garasi yang penuh pelayat lain, kemudian terus ke luar rumah.

Model meraup uang sumbangan juga sering terjadi di pesta kawinan di sebuah kota luar Jawa. Soalnya, di kota itu, menyumbang uang dalam amplop merupakan tradisi, dalam bahasa setempat dikenal sebagai doe pannyiori, alias uang partisipasi. Bisa meringankan beban biaya perkawinan yang sudah dikeluarkan. Ketika mode membawa kado berupa barang marak mendesak tradisi, pemberian sumbangan uang menyurut drastis. Situasi jadi ‘berat’ juga bagi yang punya hajat. Akibatnya, rumah yang empunya hajat bisa tiba-tiba penuh sesak dengan berbagai gelas, cangkir, piring, sendok-garpu, dalam jumlah yang melampaui kebutuhan normal sebuah rumah tangga. Solusinya, kadang-kadang stok ex kado kembali dibingkis sebagai kado saat diundang ke pesta kawinan. ‘Kelemahan’ sistem kado, barang-barang besar seperti kulkas, televisi apalagi furniture, tak bisa dibungkus. Jadi, jarang ada kado besar-besaran. Tapi orang kaya Jakarta di masa ‘kelimpahan’ rezeki pada bagian-bagian awal masa pemerintahan Soeharto, berhasil bikin terobosan. Bingkisan kado bisa menjadi kecil mungil –terutama bila yang empunya hajatan adalah pejabat tinggi– tapi isinya nggak tanggung-tanggung: kunci mobil, kunci rumah, atau berlian-berlian lengkap dengan sertifikatnya.

Dan akhirnya, tibalah musim bunga. Say it with flower. Tempat-tempat pesta dipenuhi karangan bunga gede-gedean bak papan reklame, dengan nama pengirim kembang segede gajah. Benefitnya hanya dinikmati oleh para pengusaha kembang. Konon bisa menaikkan gengsi kalau dalam karangan-karangan bunga itu berderet nama-nama tokoh terkenal seperti pejabat tinggi dan sebagainya.

KINI budaya menyumbang dengan uang kembali marak. Syukur alhamdulillah, kata sejumlah orangtua yang mantu. Secara ekonomis, lebih berguna dan berdampak baik, karena bernilai partisipatif. Tapi anehnya, makin tinggi tingkat kekayaan penyelenggara hajat, makin tinggi pula nominal isi amplop. Sedang penyelenggara kawinan yang dari kalangan menengah ke bawah, nominal isi amplopnya juga bernominal menengah ke bawah. Jangan berharap yang tinggi-tinggilah, bila tidak punya modal sosial dan status yang juga tinggi. Maka seorang aktivis keadilan sosial pernah mempraktekkan, makin kaya pengundang, makin kecil isi amplop yang disumbangkannya, kalau perlu tanpa amplop samasekali. Makin lemah status sosial ekonomi sang pengundang, ia menganjurkan agar makin besar isi amplop sumbangan. Kalau sang pengundang sudah kaliber Aburizal Bakrie atau keluarga Ibnu Sutowo, menurut ilmu keadilan sosial, mau kasih apa lagi soalnya? Pengamanan penerimaan amplop sumbangan juga sudah lebih ketat. Sumbangan ditampung dalam guci atau kotak yang kokoh, dijaga pagar ayu dan pagar cakep penerima tamu.

BERITA pasukan Batik di Jakarta yang numpang makan di acara pesta perkawinan, juka bukan kelakuan baru. Berbagai acara lain, seperti diskusi, peluncuran buku, atau acara lainnya, terutama di hotel-hotel besar, rawan ketamuan fellow traveller semacam itu. Tak soal betul sebenarnya, sepanjang logistik penyelenggara hajatan cukup kuat. Terus terang, banyak mahasiswa rantau, dari dulu hingga sekarang, mempraktekkan kiat menambah gizi (atau memenuhi kesenjangan pemenuhan kebutuhan hidup) seperti itu, terutama di kota-kota mahasiswa seperti di Bandung dan Yogya. Cuma dulu, modalnya bukan baju batik, tetapi kemeja biasa tambah dasi –kalau bisa jas pinjam. Biasa dilakukan secara berjamaah, 3-5 orang. Kalau dasinya kurang, terpaksa giliran. Selesai makan, langsung ke luar agar teman yang menunggu di luar, bisa giliran pakai dasi dan masuk bersantap. Selain dasi, modal lain adalah sikap sok ramah, sok akrab dan sok kenal, menyapa tamu-tamu lain. Saat mengisi buku tamu, tak segan-segan mencantumkan titel sarjana di depan nama. Sering konyol juga, bawa sebungkus kado kosong terbungkus kertas kado bekas. Tetapi perilaku yang ini akhirnya dihindari karena hanya akan menimbulkan ‘kebencian’ yang nantinya menjadi sumber info agar memperketat penerimaan tamu.

Sebenarnya, banyak penyelenggara pesta kawinan di Bandung tahun 1960-1970an sudah cukup mahfum, dan tidak berusaha mencegah kedatangan para penggembira ini, asal jumlahnya masih ada dalam ambang batas toleransi persediaan logistik. Selain itu, suasana pertengahan 1960 hingga 1970an adalah masa ‘perjuangan’ mahasiswa. Jadi, ya, semacam dukungan politik begitu.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s