Lugu versus Retorika

“Wah celaka….. Tuhan hilang. Dan kelihatannya kita yang dipersalahkan oleh orang-orang, kita dituduh telah menghilangkan Tuhan. Pak Ustadz menanyakan kepada saya, Tuhan ada di mana….”.

PADANAN yang tepat dalam bahasa Inggeris bagi kata atau sikap lugu adalah ignore dan ignorance. Lugu adalah suatu keadaan ‘kurang tahu’ dan atau ‘tidak tahu’ atau pilon. Lugu sering juga diplesetkan sebagai ‘lucu’ dan ‘gundul’. Tapi kalau misalnya secara insidental atau semi permanen ada politisi atau pengacara yang sengaja menggunduli kepalanya, atau pejabat yang gundul karena memang botak total, bukan dengan sendirinya berarti mereka lucu, meskipun banyak juga entah sengaja entah tidak kerapkali menjadi lucu karena melakukan atau mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal, sehingga mereka memang jadi lucu dalam keadaan gundul. Sebenarnya, yang lebih sering, banyak politisi, pengacara, pejabat atau bahkan kalangan penegak hukum, berlagak pilon. Sebenarnya tahu betul suatu masalah namun membelak-belokkannya dengan berbagai retorika demi suatu kepentingan lain. Kapan-kapan perilaku seperti ini perlu juga dibahas.

Dalam kehidupan sehari-hari keluguan seringkali berhadapan dengan retorika.

SEORANG menteri yang kebetulan Ketua Umum sebuah organisasi politik di masa Soeharto, dalam suatu pertemuan dengan para kader di sebuah kabupaten di Madura, menunjuk salah seorang di antaranya untuk diuji, “Coba, sebutkan sila-sila Pancasila…”. Sang kader memberikan jawaban yang jumpalitan tidak keruan. Maka sang Ketua Umum bilang, “Bagaimana ini? Pancasilanya kok terbalik-balik….?”, lalu menyebutkan Pancasila secara urut dan lengkap. Dengan wajah tak bersalah, sang kader berkomentar, “Iya, memang sampeyan harus tahu, yang menteri kan sampeyan….”. Sang menteri hanya bisa menggeleng-geleng dengan senyum kecut.

PALING lugu adalah seorang ibu yang suatu saat mengurus paspor di kantor imigrasi. “Mau dibantu biar cepat selesai, bu?”, tanya petugas. “Iya, dong, mau”, jawab sang ibu. “Tapi itu…, uang rokoknya ya bu….?”. “Beres, pak, nanti saya siapkan”. Lalu sang ibu meninggalkan meja sang petugas. Lima belas menit kemudian ia kembali ke meja petugas. Dari sebuah kantong plastik, ia mengeluarkan satu slof rokok 555. “Ini pak, langsung saya belikan rokoknya”. Sang petugas imigrasi hanya bisa menganga bingung sejenak, dan hanya bisa mengeluh “Ah, ibu ini….”.

Tak kalah ‘lugu’ adalah seorang dokter perempuan yang baru beberapa bulan lulus Fakultas Kedokteran di Universitas luar pulau Jawa, di tahun 1970an. Bolak-balik ia ke Departemen Kesehatan mengurus surat penempatannya sebagai dokter, namun tak kunjung selesai. Maka suatu saat ia bertanya kepada petugas, “Kenapa sih nggak selesai-selesai, pak?”. Petugas menjawab, “Kertas habis…”. Oh, begitu? Ia lalu pergi ke seberang jalan Gedung Departemen Kesehatan (bukan gedung Depkes yang sekarang) membeli satu riem kertas. Ia memberikan kertas itu kepada sang petugas. Sang petugas menerima kertas satu riem itu dengan wajah masam lalu membantingnya ke lantai, “Anda ini bodoh atau pelit…?!”. Akhirnya surat penempatan itu bisa diterima juga setelah seorang petugas lain menengahi, bahwa kata-kata “kertas habis” itu hanyalah kata isyarat diperlukannya uang pelicin. Besaran angka rupiahnya lalu disebutkan dengan gamblang dan ‘mau tidak mau’ dibayar tunai saat itu juga, maka surat yang diperlukan pun bisa diterima. Surat itu rernyata sudah lama selesai, terlihat dari tanggal yang tercantum. Salah-salah bisa basi. Tentu saja mengingat tahun peristiwanya, kejadian ini sudah kadaluarsa untuk dilaporkan ke Satgas Anti Mafia Hukum, kecuali kasus-kasus yang masih baru, ‘kalau’ masih ada.

Cerita-cerita di atas diangkat dari kisah nyata. Tapi yang berikut ini, tampaknya cenderung merupakan fiksi humor, tapi bisa saja terjadi betulan.

SEPASANG suami-isteri, orang tua dari dua anak lelaki berusia 9 dan 8 tahun, merasa kewalahan menghadapi kenakalan kedua anak mereka. Kedua anak itu, suka bolos sekolah, bolos mengaji, tidak sholat kalau tidak diawasi, selain gemar menyambit jendela kaca rumah tetangga, menghilangkan barang dan aneka kenakalan lain yang dianggap keterlaluan. Karena kelakuan mereka itu, bila ada sesuatu keonaran, atau ada sesuatu yang hilang, kedua anak itu selalu dipersalahkan. Tapi makin dipersalahkan, makin menjadi pula kenakalan mereka. Rupanya sepasang suami isteri itu sudah terlalu serius dan sensitif dalam menghadapi kenakalan kedua anak mereka. Lalu mereka minta bantuan seorang Ustads terkemuka yang mereka kenal.

Suatu hari, sang Ustadz pun datang. Ia sangat concern, terutama tentang perilaku bolos mengaji dan sholat. Mula-mula si sulung yang diperhadapkan kepada sang Ustadz. Dengan raut muka yang serius, mata yang menatap tajam, sang Ustadz memulai komunikasi dengan sebuah pertanyaan yang bernada retorika, “Hei nak, Tuhan ada di mana?”. Ditanya seperti itu, si sulung menjadi pucat, tak bisa berkata-kata. Berkeringat dingin. Tiba-tiba dia bangkit dan kabur meninggalkan sang Ustadz, sambil menarik tangan adiknya yang menunggu di teras rumah. Dengan terengah-engah sesampainya di tempat ‘persembunyian’ mereka, si sulung berkata kepada adiknya, “Wah celaka….. Tuhan hilang. Dan kelihatannya kita yang dipersalahkan oleh orang-orang, kita dituduh telah menghilangkan Tuhan. Pak Ustadz menanyakan kepada saya, Tuhan ada di mana….”.

One thought on “Lugu versus Retorika”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s