Antara Jakarta-Teheran: “Kenapa Indonesia takut kepada Amerika?”

“Kalau ada yang terlihat anti Amerika di Indonesia, itu hanyalah Hizbut Thahrir dan beberapa kelompok Islam garis keras lainnya. Tidak kita ketahui sejauh mana kedalamannya. Sebagian hanya sebatas retorika, karena diberi keyakinan samar-samar bahwa Amerika memusuhi Islam. Sebagian lagi, temporer bersikap anti Amerika sekedar sebagai komoditi politik dalam negeri untuk mencari ‘perhatian’ dan atau ‘menggertak’ penguasa Indonesia yang diasumsikan terlalu ‘tunduk’ kepada pengaruh negara adidaya itu”.

MESKIPUN tadinya sempat ‘dipersulit’ untuk masuk ke Amerika Serikat, Presiden Iran Ahmadinejad toh akhirnya bisa tampil di Konperensi Pengkajian Traktat Nonproliferasi, di New York, Senin 3 Mei yang lalu. Dan Ahmadinejad langsung menggebrak AS di hari pertama itu. Pers mengutip serangannya bahwa AS harus dikeluarkan dari Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). “Bagaimana mungkin AS pantas menjadi anggota Dewan Gubernur IAEA, bila dulu negara itu pernah menggunakan bom atom terhadap Jepang dan kemudian menggunakan senjata depleted uranium terhadap Irak”, ujarnya, dan “mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap Iran” (Kompas/AP/Reuteurs). Delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Hillary Clinton kontan meninggalkan ruang sidang, diiringi oleh delegasi Perancis dan Inggeris, sebagai protes terhadap apa yang disebutnya ‘tudingan liar’ Iran. Menurut Hillary Clinton, kini Iran adalah satu-satunya negara yang belum mematuhi Traktat Nonproliferasi Nuklir, sehingga perlu diisolasi.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, menjadi pembicara tepat sebelum giliran Ahmadinejad. Dua pekan sebelumnya Marty Natalegawa juga bertemu dengan Ahmadinejad di suatu forum internasional mengenai perlucutan senjata nuklir di Teheran 18 April 2010. Kata Menteri Luar Negeri Indonesia itu, pemberian sanksi tidak efektif dan penjatuhan sanksi yang pernah terjadi di masa lampau takkan punya pengaruh apapun bagi Iran. Kantor berita Iran, IRNA, mengutip Marty, bahwa “sejarah dan pengalaman membuktikan bahwa perundingan lebih berpengaruh dan efektif daripada penjatuhan sanksi”. Marty menegaskan, pendapat resmi Indonesia adalah “berunding lebih efektif daripada sanksi”.

Melihat gelagatnya, Ahmadinejad, mungkin memang lebih membutuhkan perundingan daripada ‘perang’, namun pada sisi lain tidak mau menunjukkan kegentaran terhadap ancaman-ancaman AS dan negara-negara adidaya lainnya terhadap proyek pengembangan nuklir Iran. Berpegang kepada pendapat resmi yang disampaikan Natalegawa, seorang diplomat Indonesia lalu bertanya kepada seorang anggota DPR Iran. “Mengapa negara anda lebih memilih sikap melawan AS daripada jalan berunding?”. Mungkin di luar dugaan sang diplomat Indonesia itu sendiri, yang terjadi adalah bahwa dengan sengit sang anggota DPR Iran itu malah balik bertanya, “Kenapa negara anda yang lebih besar dan jauh lebih banyak rakyatnya, takut melawan Amerika? Apa yang anda semua takutkan?”. Tanya jawab putus sampai di situ. Mungkin perlu nasehat bagi sang diplomat Indonesia, pelan-pelan saja kalau menganjurkan jalan damai bagi orang yang lagi marah. Rupanya, di Iran ada juga anggota parlemen yang bertype Ruhut Sitompul ‘Si Poltak Raja Minyak’

Penguasa-penguasa Indonesia pasca Soekarno, pada umumnya adalah ‘anak manis’ bagi negara adidaya Amerika Serikat. Terutama Soeharto, terkecuali pada saat-saat terakhir, ditinggal jatuh oleh Amerika. Melawan Amerika? Tunggu dulu. Kalau ada yang terlihat anti Amerika di Indonesia, itu hanyalah Hizbut Thahrir dan beberapa kelompok Islam garis keras lainnya. Tidak kita ketahui sejauh mana kedalamannya. Sebagian hanya sebatas retorika, karena diberi keyakinan samar-samar bahwa Amerika memusuhi Islam. Sebagian lagi, temporer bersikap anti Amerika sekedar sebagai komoditi politik dalam negeri untuk mencari ‘perhatian’ dan atau ‘menggertak’ penguasa Indonesia yang diasumsikan terlalu ‘tunduk’ kepada pengaruh negara adidaya itu. Tapi pada sisi lainnya lagi, seberapa pun kecilnya secara kuantitatif, terbukti ada juga kelompok yang sudah sangat radikal sehingga melakukan berbagai tindakan pemboman dan bentuk teror lainnya dan bersedia mati untuk keyakinan sempitnya..

APAKAH Iran masa kini masih se’radikal’ dan seketat pada masa awal ‘revolusi Islam’ Ayatollah Khomeini pasca kejatuhan Syah Iran Reza Pahlevi? Melihatnya bisa dimulai dengan situasi kehidupan kaum perempuannya, yang dalam dunia Islam selalu dianggap sebagai bagian yang lemah dalam konteks kesetaraan gender. Soal kerudung atau jilbab, memang merupakan kebiasaan berpakaian kebanyakan perempuan Iran. Negeri ini dalam sejarah masa lampaunya yang berusia 4000 tahun dikenal sebagai Persia yang jaya dan bercahaya. Pada abad ke-6 sebelum Masehi, balatentara Persia di bawah Raja Cyrus yang Agung, melakukan penaklukan atas wilayah Timur Tengah dan Asia Tengah sampai wilayah yang kini dikenal sebagai Pakistan. Tapi pada abad ke-4 SM Cyrus terlempar dari tahtanya karena penaklukan Iskandar yang Agung. Iskandar Agung dan para panglimanya membangun dinasti baru di sana dan menanamkan pengaruh kebudayaan Yunani di seluruh kawasan. Abad ke-7 Masehi para panglima perang Arab merasuk ke dataran Iran menggusur dinasti Sassanid, seraya memperkenalkan agama Islam, menggantikan Zoroastrianisme yang sebelumnya dianut orang Iran.  Wanita Persia di masa lampau, terutama di istana, memakai selendang pemanis penutup kepala, namun bisa agak ‘terbuka’ di bagian tubuh lain untuk memanjakan mata kaum lelaki. Hampir tak ada perempuan Iran masa kini yang bercadar seperti di Irak atau beberapa negara Arab lainnya. Kesempatan pendidikan hingga perguruan tinggi cukup diperoleh perempuan Iran, dan hanya sedikit terputus di masa hidup dan berkuasanya Ayatollah Khomeini, namun kini berlanjut kembali.

Di masa kekuasaan Syah Iran Reza Pahlevi, Iran mengalami modernisasi luar biasa yang ditopang kekayaan melimpah dari minyak bumi. Namun modernisasi itu tak berhasil menyentuh kelompok Islam ortodoks pengikut Ayatollah Khomeini. Menghadapi mereka yang dianggap kaum fanatik Islam, Reza Pahlevi terlalu besar memberi keleluasaan peran bagi kelompok intelejen, yang ternyata super represif terhadap mereka yang melawan rezim, terutama terhadap kelompok Islam ortodoks. Sehingga mengakumulasi kebencian. Banyak kemiripannya dengan peranan kelompok intelejen Indonesia di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Khomeini yang tak kalah ‘keras kepala’, mengalami masa ‘pembuangan’ yang panjang di luar negeri, sebelum kembali ke Iran. Permusuhan lahir batin antara Reza Pahlevi dan Khomeini sangat mendalam dan kadang-kadang sudah sangat pribadi, berlangsung sampai akhir hayat. Makanya ada humor politik, bahwa di alam sana mereka masih saling cari untuk menuntaskan dendam kesumat lama.

Perempuan Iran –terutama yang asal usulnya adalah kaum elite di masa lampau– yang naik pesawat ke luar negeri, begitu keluar wilayah udara negaranya, akan segera mencopot kerudungnya. Orang-orang kaya Iran –sebagian terbesar adalah OKB– banyak berinvestasi di luar negeri, terutama di Qatar. Informasi tak resmi menyebutkan 40 persen investasi di Qatar adalah dari OKB Iran. Negeri ini, bagaimanapun masih punya sumber minyak sisa masa lampau. Banyaknya kiprah investor Iran di Qatar membuat soal Iran selalu menjadi perhatian di sana. Suratkabar di Qatar memberi tempat yang luas bagi berita-berita tentang Iran. Lambat laun, elite lama Iran yang umumnya berpendidikan ‘barat’ ditambah elite baru yang terbentuk dengan bertumbuhnya kelompok kaya baru, akan membuat Iran kembali mampu memperbaharui diri. Setidaknya mengayun lebih cepat kembali, pada arah berlawanan dengan masa kekuasaan Khomeini.

One thought on “Antara Jakarta-Teheran: “Kenapa Indonesia takut kepada Amerika?””

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s