SEORANG politisi partai yang sedang berorasi di panggung kampanye di sebuah kabupaten kecil, tiba-tiba roboh. Ia segera dibawa ke rumah sakit satu-satunya di ibukota kabupaten itu. Seorang perawat disuruh seorang dokter muda memeriksa nadinya. “Tidak ada denyutan lagi, dok…”, kata sang perawat. “Ya, sudah”, kata sang dokter tanpa memeriksa lebih jauh lagi.
Pengurus partai setempat memutuskan untuk secepatnya mengirim jenazah ke ibukota propinsi untuk selanjutnya diterbangkan dengan pesawat ke Jakarta pada kesempatan pertama. Setelah diurus seperlunya, sang politisi yang sudah terbungkus kain kafan dimasukkan peti jenazah oleh dua petugas kamar jenazah RS Kabupaten. Saat diletakkan ke dalam peti, tubuh dalam bungkusan kain kafan itu bergerak-gerak. “Dia bergerak…”, kata salah seorang di antara petugas itu. Lalu terdengar suara tertahan-tahan dari balik kain kafan, “Sa..ya.. di ma..na, a..da a..pa….?”. Sang petugas menjawab, “Bapak dalam peti mati”. Terdengar jeritan tertahan, “Sa…ya bbee…lum ma..ti…!”. Hah? “Bagaimana ini?”, tanya sang petugas kepada temannya. Dengan nada menggerutu petugas yang satu lagi berkata, “Ah, dia kan politisi… Jangan percaya. Mereka selalu berbohong. Sudah mati kok masih menyangkal…”. Akhirnya kedua petugas melanjutkan tugasnya tanpa beban mental lagi, menutup peti mati dan memakunya sekalian. Lalu menaikkannnya ke mobil jenazah.
BILA diperiksa dengan sangkaan melakukan korupsi, menerima suap atau gratifikasi, para pejabat dan politisi pada umumnya menyangkal dengan mengatakan bahwa dirinya menjadi korban politisasi, mengalami character assasination dan argumen sejenis. Beberapa di antara mereka mampu dengan wajah tenang tanpa mata berkedip atau tanpa bergerak hidungnya, menyampaikan penyangkalan-penyangkalan di depan pemeriksa, bahkan sampai di depan persidangan pengadilan sekalipun. Kalau alasan-alasan itu tidak mempan, banyak tersangka mulai mangkir dari pemeriksaan atau persidangan dengan alasan sakit. Almarhum pak Harto, berhasil menghindar dari persidangan pengadilan karena para pengacaranya mampu menampilkan alasan kreatif dan innovatif ‘sakit permanen’ dengan bantuan sederet dokter ahli.
Belakangan, lebih dari sekedar menyangkal, para tersangka kasus korupsi malahan berani melakukan serangan balik. Mulai dari serangan balik berupa kata-kata semisal “saya difitnah”, “nama baik saya dicemarkan” atau tudingan balik “maling teriak maling”, hingga ke penuntutan balik melalui laporan “pencemaran nama baik” ataupun mengajukan tuntutan pra peradilan. Dan istimewanya, counter strike itu selalu saja bisa mendapat jalan dengan bantuan kalangan penegak hukum sendiri yang rupa-rupanya untuk sebagian sudah dirasuki golongan hitam. Terkesan bahwa golongan hitam ini sudah begitu kuat mencengkeram di berbagai institusi.
TAK heran bila kalangan bukan pejabat dan bukan politisi pun meniru-niru pola penyangkalan ala pejabat dan politisi itu, apalagi lidah memang tak bertulang, sangat sesuai dipakai untuk berbohong bila hati nurani tidak digunakan. Para artis dan selebrities yang terseret masalah hukum, tidak terkecuali. Para artis yang baru-baru ini terlibat kasus video porno juga berkelit, dengan wajah tenang mengatakan bahwa yang ada dalam video itu bukan mereka, walau beberapa ahli telematika sudah menyimpulkan 99 persen mirip. Dan pengacara pun mengatakan mereka para artis ini, Ariel, Luna Maya dan Cut Tari, adalah korban. Seorang isteri mantan petinggi Polri yang terlibat dalam kasus suap bagi-bagi traveller cheque dalam kaitan pemilihan deputi senior BI,Miranda Gultom, sampai saat ini belum bisa dibawa ke pengadilan sebagai saksi, karena alasan dan alibi ampuh, mengalami sakit yang menyebabkan degradasi daya ingat yang berat.
Kalau begitu, apalagi yang bisa diperbuat? Masih ada satu cara untuk mendeteksi kebohongan, meniru fantasi dunia periklanan: Beri mereka mie Sedap. Lidah tidak bisa bohong….