Tag Archives: Soekarno

30 September 1965, Tak Ada yang Sama Sekali Buta

“Aidit menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung”. “Bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa”.

SAMPAI tengah malam saat bertemunya akhir hari Kamis 30 September dan awal hari Jumat 1 Oktober 1965, terpetakan situasi berikut ini, diantara tokoh-tokoh yang akan mencipta satu episode baru dalam sejarah politik dan kekuasaan Indonesia. Semua tokoh, pada tempat pijakannya masing-masing, ada dalam keadaan tidak buta samasekali, dan semua punya sesuatu pengetahuan penting –meskipun dalam kadar kedalaman yang berbeda-beda–  terkait dengan apa yang akan terjadi kemudian tak berapa lama lagi. Beberapa diantara mereka terlibat dalam rangkaian perbuatan yang menimbulkan tanda tanya, sekaligus menempatkan mereka dalam posisi tertuduh dalam sejarah, sebagai orang-orang yang menciptakan suatu tragedi berdarah.

Soekarno, Presiden Republik Indonesia, memiliki bekal pengetahuan tentang akan adanya satu gerakan dari sekelompok perwira yang bertujuan menindaki sejumlah perwira lainnya di Angkatan Darat yang dianggap akan melakukan ‘kudeta’ terhadap dirinya. Ia sendiri yang memerintahkan penindakan para jenderal itu kepada Brigjen Sabur, Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. Tetapi memang menarik bahwa yang kemudian tampil bertindak adalah pasukan yang dikoordinasi oleh Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung, yang tidak ikut kesibukan lapor-melapor pada hari-hari menjelang tanggal 30 September 1965.

Soekarno percaya bahwa kelompok perwira yang akan melakukan makar itu, adalah apa yang dinamakan Dewan Jenderal. Bagi Soekarno, Dewan Jenderal identik dengan Jenderal Abdul Harris Nasution, yang menurut Soebandrio adalah jenderal yang paling ditakuti sang presiden. Jadi, baginya, Nasution adalah sasaran untuk ditindaki dan bersama sejumlah jenderal akan diperhadapkan kepadanya esok hari pada tanggal 1 Oktober 1965.

Ada kemungkinan, Soekarno tidak terlalu menyadari bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu sasaran gerakan, karena untuk Yani, Soekarno sudah punya solusi tersendiri. Keberatan Soekarno terhadap Yani hanyalah bahwa salah satu jenderal kesayangannya ini seringkali dianggapnya terlalu terpengaruh oleh Jenderal Nasution. Bahwa akan terjadi pembunuhan, kemungkinan besar adalah di luar keinginan Soekarno. Menurut Laksamana Madya Laut (Purnawirawan) Mursalin Daeng Mamangung, Soekarno pada hakekatnya ‘tidak tahan’ melihat darah mengalir. Mursalin tidak yakin bila suatu perintah pembunuhan bisa keluar dari mulut Soekarno. Artinya, bisa ditafsirkan bahwa ungkapan-ungkapan tentang pertumpahan darah di antara sesama saudara kalau perlu demi perjuangan, lebih cenderung sebagai ungkapan romantik belaka dari Soekarno mengenai revolusi. Tapi jangankan Soekarno, bagi Brigjen Soepardjo dan Kolonel Latief pun pembunuhan itu diluar dugaan. Perintah yang menyebabkan darah mengalir, berasal dari Letnan Kolonel Untung kepada Letnan Satu Doel Arief, yang kemudian ‘memperkuat’nya lagi ke bawah sebagai pilihan utama.

LETNAN JENDERAL Ahmad Yani pada 30 September malam itu, sadar betul tentang adanya satu rencana penculikan terhadap sejumlah jenderal, sesuai laporan intelijen yang dengan gencar masuk padanya, namun ia tak tahu secara definitif kapan itu akan terjadi. Memang menjadi tanda tanya, kenapa ia menyuruh pulang satuan Pomad Para yang malam itu justru merupakan perkuatan pengawalan rumahnya. Agaknya ia menganggap pengawalan reguler yang ada, sudah cukup memadai, selain bahwa ia pun sudah mengetahui tindak-tanduk Komandan CPM Brigjen Soedirgo di hari-hari terakhir.

Siang itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang dengan riang dan cerah dari kantornya, seperti yang dituturkan putera-puterinya. Sorenya ia tetap melakukan kegiatan olahraga golfnya, dan malamnya ia menerima laporan Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat serta perwira dari Corps Polisi Militer, serta telepon dari Brigjen Sugandhi. Sepanjang yang terlihat, tak ada yang perlu dikuatirkannya, dan ia percaya bahwa pengaturan keamanan dalam beberapa hari terakhir telah diatur dengan baik. Setidaknya, ia menerima laporan bahwa semuanya telah diatur. Sikap gembiranya pada siang hari, tak bisa diabaikan, pasti ada penyebabnya, dan itu terkait dengan berita ‘baik’ terkait rencana pertemuannya esok pagi dengan Presiden, bahwa ia mungkin saja akan diganti sebagai Menteri Pangad, ditegur keras, namun sebaliknya ia akan naik ke suatu posisi lebih tinggi, walau posisi baru itu tidak punya nilai komando dan akses kepada pasukan. Ada yang menyampaikan demikian padanya hari itu, yang dikatakan bersumber dari Presiden Soekarno sendiri.

DIPA Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengetahui adanya rencana gerakan internal Angkatan Darat. Ia siap untuk memetik keuntungan dari gerakan itu, tapi ia bukanlah di garis pertama persoalan maupun perencanaan. Kendali bukan pada tangannya. Itu menjadi tugas Biro Khusus di bawah Sjam Kamaruzzaman, yang diketahuinya ikut berperan untuk mendorong gerakan internal tersebut. Tapi ia tidak punya kontak khusus dan langsung, baik dengan Letnan Kolonel Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief maupun Mayor Sujono. Dan tampaknya Sjam tidak memberi gambaran detail, kecuali ‘rumus’ didahului atau mendahului. Dalam rangka mendahului, sepanjang informasi dari Sjam, kebetulan ada perwira yang tidak puas dan akan melakukan gerakan internal melawan kelompok Dewan Jenderal. Aidit lalu menganggapnya sebagai satu jalan keluar, tanpa perlu ‘mengotori’ tangan sendiri secara langsung, rival dalam pergulatan kekuasaan di sekitar Soekarno bisa ditundukkan, melalui pergantian pimpinan oleh Soekarno. Dari Soekarno ada jaminan bahwa pimpinan Angkatan Darat yang baru tidak dari kalangan perwira yang menempatkan PKI sebagai musuh.

Bahwa PKI memiliki perencanaan sendiri, betul, tetapi bukan pada tanggal 30 September 1965 itu. Aidit punya perencanaan lebih lanjut bagi partainya dalam kerangka kekuasaan politik, dalam bentuk dan cara yang lain. Maka partai tidak disiapkan untuk momentum tanggal 30 September, melainkan untuk sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Adanya rencana jangka panjang ini diungkapkan juga oleh Ketua CDP PKI Jawa Barat Ismail Bakri kepada aktivis mahasiswa Bandung 1978 Madjid Mahmud semasa sama-sama menjadi tahanan di RTM Cimahi pada tahun 1978. Ia juga menyebutkan bahwa sayap Moskow dalam PKI sebenarnya punya rencana sendiri lewat perjuangan politik, bukan dengan kekerasan bersenjata.

JENDERAL Abdul Harris Nasution, meskipun mengaku tidak ada firasat apa-apa menjelang tanggal 30 September, namun juga cukup memahami situasi dan dalam kedudukannya sebagai Menko Kasab telah mendapat laporan-laporan intelijen yang cukup. Ia menyadari, cepat atau lambat ada sesuatu yang akan terjadi, meskipun mungkin ia tidak tahu persis bahwa peristiwa akan mengambil waktu pada tanggal 30 September 1965.

Namun sayangnya memang laporan-laporan spesifik seperti yang disampaikan oleh Kolonel Herman Sarens Sudiro dan Kolonel Muskita misalnya tidak kepadanya, melainkan kepada Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Pangkostrad Mayjen Soeharto. Sebagai salah satu sasaran, ia sudah cukup punya prediksi, terkecuali kepastian waktu. Penjagaan di rumahnya, ada pada tingkat standar memadai, termasuk dengan adanya Letnan Pierre Tendean, meskipun juga punya titik lemah, yakni fakta bahwa pengawal itu berasal dari Brigif I yang ada di bawah komando Kolonel Latief yang kemudian hari diketahui justru terlibat dalam gerakan pada tanggal 30 September 1965 itu. Tetapi, terlepas dari itu penggunaan pasukan Tjakrabirawa memang suatu hal yang agak di luar dugaan dan punya dampak kejutan dan amat taktis.

LAKSAMANA Madya Udara Omar Dhani, pada dasarnya juga memperoleh informasi yang cukup mengenai beberapa bagian dari peristiwa yang akan terjadi. Ia memahami seluruh persoalan sebagai satu proses internal angkatan darat, untuk menindaki apa yang disebutkan sebagai jenderal-jenderal kontra revolusioner yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Omar Dhani memilih sikap untuk tidak campur tangan terhadap masalah internal angkatan yang lain dan menanti apa yang akan terjadi. Pada sisi lain ada faktor subjektif yang terkait dengan rivalitas antar angkatan kala itu. Namun, sadar atau tidak, terjadi keterlibatan nama Angkatan Udara, melalui keikutsertaan seorang Mayor Angkatan Udara dan beberapa anggota, serta digunakannya kendaraan dan senjata milik Angkatan Udara. Dan pimpinan Angkatan Udara tidak mencegah keikutsertaan tersebut. Selain itu, locus delicti ada di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, meskipun tidak seluruhnya termasuk dalam kawasan yang merupakan tanggungjawab Angkatan Udara, karena berada di luar area jurisdiksi seperti misalnya Lubang Buaya.

BAGAIMANA caranya memahami posisi Mayor Jenderal Soeharto dalam rangkaian peristiwa? Soeharto adalah orang yang menampung begitu banyak informasi dan petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan yang ditujukan kepada jenderal-jenderal koleganya yang merupakan perwira teras Angkatan Darat. Dan informasi-informasi itu justru datang dari dua calon pelaku gerakan, yakni Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief. Soeharto hanya menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri, tidak melanjutkannya kepada pimpinan Angkatan Darat, katakanlah setidaknya kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Dengan bekal informasi yang cukup detail itu, Soeharto dengan mudah ‘membaca’ situasi dan tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang kekuasaan yang luar biasa. Sikap dan perilaku Soeharto dalam peristiwa ini dalam hal tertentu memang bisa cukup mengherankan. Maka bukanlah sesuatu yang luar biasa bila pasca momentum ada analisa yang menempatkan Soeharto sebagai salah satu ‘tertuduh’ dalam rangkaian peristiwa. Sebagaimana, sikap dan perilaku janggal yang juga diperlihatkan baik Soekarno maupun Dipa Nusantara Aidit, pun telah menempatkan mereka masing-masing dalam posisi-posisi sebagai ‘tertuduh’.

September 1965: Konspirasi dan Pertumpahan Darah (2)

“Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya”.

SEPANJANG September Jenderal Nasution banyak bepergian ke daerah-daerah. Diantaranya, ke Jawa Timur, bersama Panglima Kodam Brawijaya Basuki Rachmat meninjau daerah-daerah pertanian yang dikelola prajurit-prajurit Brawijaya. Nasution berkunjung pula ke sejumlah pesantren, termasuk Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Kemudian, seminggu sebelum akhir September ke kampus Universitas Padjadjaran di Bandung untuk acara pemberian tunggul-tunggul batalion-batalion Resimen Mahasiswa Mahawarman. Lalu ke Yogyakarta keesokan harinya, mengunjungi Akademi Angkatan Udara, didampingi Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjo Sumpeno.

Malam hari tanggal 30 September 1965, Nasution memberi ceramah mengenai Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta), tanpa point-point yang eksplosif secara politis. “Saya diantarkan oleh Kolonel M. Amin dan Kolonel Isa Edris. Rupanya selama saya berceramah ada kelompok pemuda yang tidak dikenal yang terus mengawasi, sehingga terjadi bentrokan dengan para mahasiswa yang bertugas sebagai penjaga keamanan”. Pada malam yang sama, menurut Nasution, iparnya yang bernama Sunario Gondokusumo, melihat Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam Jaya, memeriksa penjagaan di rumah Jenderal Nasution. Tetapi secara umum, menurut kesan Nasution sendiri tentang keadaan sekitar kediamannya pada 30 September malam itu, tidak ada hal-hal yang aneh. Dan, “regu pengawal dari Brigif I pun tidak melaporkan apa-apa. Sebagaimana biasa mereka bergiliran tidur”. Waktu Nasution tiba di rumah dekat tengah malam, isterinya telah tidur bersama puterinya yang bungsu, Ade Irma. Sebagaimana biasanya pula, mereka tidur dengan jendela terbuka untuk mendapat hawa dingin dari luar. “Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram”.

Pada pekan terakhir September Nasution banyak berlatih golf karena akan mengikuti pertandingan golf dalam rangka Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata 5 Oktober. Nasution sendiri menghendaki agar hari ulang tahun ABRI kali itu dirayakan secara sederhana saja, mengingat keadaan ekonomi negara, tetapi Soekarno ingin dirayakan besar-besaran. Soekarno ingin melakukan show of force, dan bahkan ingin menyelenggarakan suatu pekan olahraga, GanefoGames of the New Emerging Forces– militer, dengan mengundang tim-tim olahraga angkatan bersenjata negara-negara sahabat yang tergolong sebagai Nefos. Tetapi ini tidak sempat lagi dilaksanakan karena alasan teknis dan keterbatasan waktu, meskipun sempat dilakukan sejumlah persiapan awal dan kepanitiaan pun sudah dibentuk. Dalam kepanitiaan duduk antara lain Brigjen Supardi sebagai ketua dan Brigjen Andi Mattalatta.

Terlihat bahwa sepanjang September Jenderal Nasution banyak berkeliling ke berbagai daerah, namun tanpa mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras yang mengundang tanggapan. Sebaliknya, berbeda dengan Nasution, justru Dipa Nusantara Aidit banyak melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi, nyaris sepanjang bulan September. Sehingga, kala itu dalam persepsi banyak orang, PKI sedang berada di atas angin, sangat revolusioner, sangat agresif dan terkesan ingin menerkam habis lawan-lawan politiknya. Kesan ini besar pengaruhnya kelak dalam rangkaian peristiwa yang terjadi sejak 30 September 1965 malam dan pada masa-masa berikutnya segera setelah itu.

Laporan-laporan tentang kelompok jenderal yang tidak loyal. Seperti digambarkan Soebandrio, memang Soekarno menerima begitu banyak laporan tentang perkembangan terakhir. Ini terjadi boleh dikatakan hampir sepanjang tahun 1965 –sejak munculnya isu Dewan Jenderal– dan meningkat tajam pada bulan September 1965. Dan adalah karena laporan-laporan itu, Soekarno mempunyai persepsi dan prasangka tertentu kepada sejumlah jenderal, yang lalu membawanya kepada suatu rencana ‘pembenahan’ yang untuk sebagian besar, beberapa waktu kemudian ternyata berkembang di luar kendalinya sendiri.

Ketika merayakan ulang tahunnya, 6 Juni 1965, di Istana Tampak Siring, Bali, isu mengenai adanya kelompok jenderal yang tidak loyal menjadi bahan pembicaraan. Bagaimana menghadapi kemungkinan makar dari para jenderal itu, Soekarno secara langsung memberikan petunjuk kepada beberapa orang diantara yang hadir. Waktu itu, hadir antara lain tiga Waperdam, yakni Dr Subandrio, Chairul Saleh dan Dr Johannes Leimena serta Menteri Gubernur Bank Sentral, Jusuf Muda Dalam. Selain mereka, hadir tiga pejabat teras yang berkedudukan di Denpasar, yakni Pangdam Udayana Brigjen Sjafiuddin, Gubernur Bali Sutedja dan Panglima Daerah Kepolisian. Beberapa perwira keamanan dan ajudan juga hadir, yakni Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komisaris Besar Polisi Sumirat, Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil dan ajudan Kolonel Bambang Widjanarko yang adalah perwira korps komando. Setelah membentangkan laporan-laporan yang telah diterimanya sejauh itu, tentang adanya kelompok jenderal tidak loyal pada dirinya, yang dikelompokkan sebagai Dewan Jenderal, Soekarno lalu menugaskan kepada Brigjen Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut siapa-siapa saja jenderal tidak loyal itu serta jaringan kerjanya.

Pada waktu itu juga Presiden Soekarno sudah mencetuskan keinginannya untuk melakukan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat. Dengan gusar Soekarno mempertanyakan apa maksud para jenderal Angkatan Darat yang sekitar sebulan sebelumnya menyelenggarakan Seminar Angkatan Darat di Bandung yang menyimpulkan adanya “bahaya dari utara” dan menetapkan sejumlah doktrin menghadapi bahaya tersebut. Soekarno menafsirkan bahwa kesimpulan dan doktrin para jenderal itu tak lain bertujuan mematahkan poros Jakarta-Peking yang telah dilontarkannya. Menurut Nasution, Presiden Soekarno sering marah-marah bila menyebut nama jenderal-jenderal yang terkait dengan isu Dewan Jenderal atau jenderal-jenderal yang tidak loyal. Kerap terlontar istilah ‘jenderal brengsek’ dari Soekarno. Dan Soekarno lalu kerap kali memanggil dan menerima sejumlah jenderal lain yang dianggapnya loyal sebagai imbangan terhadap para jenderal yang dianggapnya tidak loyal itu. Suatu ketika Letnan Jenderal Ahmad Yani mengantarkan Soewondo Parman dan Soetojo Siswomihardjo menghadap Presiden Soekarno, dan keduanya dimarahi habis-habisan oleh Soekarno. Soekarno mengatakan para jenderal perlu memahami bukan hanya taktik-taktik perang saja, tapi juga harus memahami strategi, termasuk strategi dunia. Soekarno mengecam pikiran adanya ‘musuh dari utara’ bagi Asia Tenggara. Itu strategi Nekolim, ujarnya. Jangan terperangkap. Para jenderal harus mendukung strategi Soekarno, poros Jakarta-Peking.

Brigjen Sjafiuddin tidak memerlukan waktu yang lama untuk melapor kembali. Ia terlihat beberapa kali datang menghadap Soekarno di Istana Merdeka dan memastikan kepada Soekarno kebenaran adanya jenderal yang tidak loyal. Sjaifuddin menggambarkan adanya dualisme di Angkatan Darat sehingga membingungkan pelaksana di tingkat bawah dan ada yang lalu ikut-ikutan tidak loyal kepada Panglima Tertinggi.  Ia mengkonfirmasikan beberapa nama yang dulu sudah disinggung Soekarno di Tampak Siring, yaitu Soewondo Parman, R. Soeprapto, Mas Tirtodarmo Harjono dan Soetojo Siswomihardjo, sebagai positif tidak loyal kepada Presiden Soekarno. Soekarno sekali lagi menyatakan akan mengadakan perubahan di lapisan pimpinan Angkatan Darat, bahkan kali ini menyebutkan nama calon Menteri Panglima Angkatan Darat yang akan menggantikan Ahmad Yani, yakni Mayjen Mursjid. Pada kesempatan lain, 29 September 1965, Soekarno bahkan sudah mengatakan langsung kepada Mursjid rencana pengangkatannya sebagai pengganti Yani dan menanyakan apakah Mursjid bersedia menjalankan tugas tersebut. Mursjid tanpa pikir panjang langsung menyatakan kesediaannya.

Selain Sjaifuddin, Presiden Soekarno juga memerintahkan beberapa perwira lain untuk menyelidiki dan mengusut mengenai kelompok perwira yang tidak loyal itu. Dua diantara yang ditugasi adalah Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan Komandan Corps Polisi Militer Brigjen Soedirgo. Keduanya juga membenarkan adanya kelompok jenderal yang tidak loyal itu. Keduanya selalu kembali dengan laporan yang memperkuat tentang adanya Dewan Jenderal, jenderal-jenderal yang tidak loyal, dan bahwa sewaktu-waktu mereka itu akan melakukan makar merongrong Pemimpin Besar Revolusi.

Di bulan Agustus, tanggal 4, Soekarno memanggil Letnan Kolonel Untung salah satu komandan batalion Tjakrabirawa. Kepada Untung ia bertanya, apakah siap dan berani bila ditugaskan untuk menghadapi para jenderal yang tidak loyal, dan apabila terjadi sesuatu apakah Untung akan bersedia bertindak. Untung menyatakan sanggup. Ia kemudian malah bertindak cukup jauh. Ia menghubungi Walujo dari Biro Khusus PKI, yang kemudian melanjutkannya kepada Sjam. Bahkan Sjam mengembangkan informasi ini menjadi suatu perencanaan menindaki para jenderal tidak loyal itu, melalui suatu gerakan internal Angkatan Darat. Perintah Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini telah menggelinding begitu jauh, sehingga akhirnya justru terlepas dari kendali Soekarno sendiri pada akhirnya.

Setelah itu, tercatat bahwa dalam bulan September, seakan melakukan satu rangkaian konsolidasi dukungan, Soekarno berkali-kali meminta kesediaan beberapa perwira untuk bersiap-siap menindaki para jenderal yang tidak loyal. Pada 15 September, Soekarno memerintahkan hal tersebut kepada Brigjen Sabur dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunarjo. Perintah ini disaksikan oleh Soebandrio, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio dan Kepala BPI Brigjen Polisi Soetarto, Kombes Sumirat serta dua orang lain yakni Muallif Nasution dan Hardjo Wardojo. Lalu pada tanggal 23 September pagi, di serambi belakang Istana Merdeka, terhadap laporan Mayjen Mursjid bahwa “ternyata memang benar, jenderal-jenderal yang bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik bapak dan tidak setia pada bapak”, Soekarno berkata harus dilakukan suatu tindakan yang cepat. Ia lalu bertanya kepada Sabur bagaimana mengenai perintahnya beberapa hari yang lalu untuk mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal tersebut. Komandan Resimen Tjakrabirawa itu lalu melaporkan bahwa rencana penindakan itu telah dibicarakannya dengan Brigjen Sunarjo dan Brigjen Soedirgo. “Tapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan persiapan yang lebih teliti lagi”. Soekarno lalu mengulangi lagi perintahnya kepada Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo dan Brigjen Soedirgo –yang tidak hadir pagi itu, karena ke Kalimantan– untuk segera mempersiapkan penindakan. Hadir saat itu adalah  Dr Soebandrio, Chairul Saleh, Dr Leimena, Brigjen Sunarjo, Djamin dan Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Berlanjut ke Bagian 3

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (3)

“Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern”.

SEBELUM lontaran gagasan mengenai Angkatan Kelima, lebih awal di bulan Januari 1965 itu Soebandrio melontarkan semacam teka-teki politik yang mengundang bermacam tafsir, karena menyodorkan insinuasi akan terjadinya suatu persilangan jalan politik. Senin 4 Januari, Soebandrio menyampaikan semacam ‘perkiraan’ politik, dan dikutip pers menyatakan bahwa “dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi di mana kawan seperjuangan akan menjadi lawan”. Apa yang sekarang revolusioner, ujar sang Wakil Perdana Menteri I, akan menjadi kontra revolusi dan reaksioner. ”Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi dan comrades in arms”.

Karena Soebandrio adalah juga membawahi Badan Pusat Intelejen yang sehari-hari dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, tentu saja pernyataannya menjadi perhatian dan bahan spekulasi tentang apa sebenarnya yang telah dan akan terjadi, apalagi ia menyampaikannya dengan suatu gaya yang dramatis tentang akan adanya pisah jalan sekaligus situasi konfrontatif. “Jangan terkejut, apabila saya katakan  bahwa mungkin  dalam tahun 1965 ini  kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan karena tak bisa lagi mengikuti jalannya revolusi”, lanjutnya. “Menghadapi kemungkinan ini, kita sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi revolusi kita tak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa kita lakukan demi keselamatan revolusi kita”, seraya mengingatkan pula bahwa revolusi kita belum selesai.

Bila penggunaan istilah ‘comrades in arms’ adalah dalam konteks kelaziman hubungan di antara golongan kiri, semestinya yang dimaksud adalah kawan seperjuangan satu ideologi. Tapi bilamana ‘comrades in arms’ digunakan di sini secara artifisial dan sekedar basa-basi, dengan segera dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksudkan adalah kalangan tentara yang tak berhaluan kiri, baik kelompok Jenderal Abdul Harris Nasution maupun kelompok Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada awalnya dinyatakan sebagai ‘tangan kanan’ –rechter hand–  Soekarno. Dan karena Soebandrio selama beberapa lama dikenal sebagai ‘tangan kiri’ Soekarno dalam politik dan kekuasaan, maka pernyataan itu dianggap datang dari Soekarno sendiri yang kala itu makin condong ke kiri.

Belakangan, setelah terjadinya peristiwa di akhir September 1965, semua itu dikaitkan sebagai isyarat dini dari Soekarno tentang suatu rencana pembersihan antas Angkatan Darat. Perlu dicatat, di akhir 1964 dan awal 1965 itu, BPI sudah mulai mencium adanya kegiatan sejumlah perwira Angkatan Darat menjalankan misi khusus untuk menghentikan konfrontasi terhadap Malaysia. Lebih dari itu, pada sekitar waktu yang sama BPI menyampaikan pula semacam pra-analisa untuk kalangan terbatas secara internal, yang dibahas di tingkat pimpinan, tentang kemungkinan telah berkembangnya satu rencana di kalangan perwira Angkatan Darat yang berkonotasi pengambilalihan kekuasaan.

Tatkala Aidit melontarkan tuntutan mengenai Angkatan Kelima dan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah kalangan tentara lainnya memberi reaksi penolakan, yang mulanya bernada diplomatis sebelum menjadi keras sehingga disebut Soekarno sebagai sikap ‘koppig’, perkiraan awal tahun Soebandrio seakan mendapatkan pembenarannya. Silang kata mengenai Angkatan Kelima berlangsung eskalatif, selama berbulan-bulan. Pada bulan kelima 1965, isu dan polemik keras mengenai Angkatan Kelima, tambah menajam karena muncul lagi satu isu baru menyangkut ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist tentang suatu konspirasi Barat dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Bahwa di tubuh Angkatan Darat ada sebuah Dewan Djenderal yang merencanakan suatu pengambilalihan dari tangan Soekarno. Dua pokok soal, Angkatan Kelima dan Dewan Jenderal, menyebabkan terjadi pemanasan politik dan penajaman perseteruan politik menjadi pertarungan politik dan kekuasaan yang sebenarnya di dalam tubuh segitiga kekuasaan.

Dalam kasus ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal, Angkatan Darat ditempatkan dalam posisi tertuduh dalam serangan gencar oleh Soebandrio dan PKI, sebagai perencana suatu usaha pengambilalihan kekuasaan. Tetapi di  tahun sebelumnya, 1964, PKI lah yang menjadi tertuduh selaku perencana suatu perebutan kekuasaan negara. Sebuah ‘dokumen’ rahasia berisi Rencana 4 Tahun PKI yang berisi pokok perjuangan PKI yang menuju perebutan kekuasaan, ‘ditemukan’ pada awal tahun tersebut. Dalam suatu pertemuan di Istana Bogor, di depan Soekarno, adalah tokoh Partai Murba (Musyawarah Rakyat Berjuang) yang juga adalah Waperdam III Chairul Saleh yang mengungkapkannya. Soekarno yang mendengar laporan itu, langsung menanyakannya secara terbuka kepada Aidit. Dengan sengit, seraya menoleh ke arah Chairul, Aidit membantahnya sebagai dokumen palsu, yang dimaksudkan untuk memfitnah PKI.

Dalam salah satu versi peristiwa, dalam rapat di Istana Bogor itu, yang dipercaya kebenarannya, terjadi debat sengit antara Chairul dengan Aidit. “Itu dokumen palsu !”, kata Aidit keras. Tak kalah kerasnya, Chairul membentak “Kalau dokumen ini dikatakan palsu, tunjukkan mana aslinya !”, supaya bisa diperbandingkan. Ketika Aidit hendak mendebat lagi, Chairul maju dengan cepat dan melayangkan satu pukulan ke bagian wajah Aidit. Soekarno yang berada tak jauh dari mereka, segera melerainya lalu mendamaikan keduanya. Para peserta rapat, di bawah arahan Soekarno lalu melahirkan ‘Deklarasi Bogor’ untuk mengakhiri dan mencegah persoalan berlanjut.

Tetapi agaknya, PKI tetap menyimpan dendam dan melancarkan serangan politik dengan menyebutkan pimpinan Murba sebagai “penyebar dokumen palsu” dan “tukang fitnah”. Berikutnya, serangan itu meningkat dengan aksi-aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran Murba. Pada akhirnya Murba memang betul-betul dibubarkan oleh Soekarno, 21 September 1965. Namun, dalam salah satu rapat menjelang Peristiwa 30 September 1965, setahun lebih setelah insiden di Istana Bogor, ketika Sjam Kamaruzzaman mengusulkan kepada Aidit, agar menculik Chairul Saleh dan eks Wakil Presiden Mohammad Hatta, Aidit dengan wajah tampak heran balik bertanya, “Untuk apa ?”. Sjam memberi alasan, bahwa kedua orang itu, khususnya Hatta, sering berhubungan dengan Jenderal Nasution, dan banyak tahu mengenai Dewan Jenderal dari sang Jenderal, sehingga dari keduanya bisa dikorek keterangan mengenai hal itu. Aidit menolak menculik Hatta maupun Chairul Saleh, tokoh yang pernah bermasalah dengannya di tahun sebelumnya (Pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan Mahmilub 1968 di Gedung Merdeka Bandung). Pembubaran Murba hanya sembilan hari menjelang 30 September sejauh perkembangan yang terjadi tidaklah menyebabkan Chairul Saleh tergeser dari posisinya di kabinet maupun dari sisi Soekarno dan ikut bersama sang pemimpin memasuki tahun 1966 yang bergolak. 

Kasus ‘dokumen rahasia’ Rencana 4 Tahun PKI 1964 untuk pengambilalihan kekuasaan politik dan negara, ‘penemuan’ dokumen Gilchrist beserta isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan dari Soekarno, gagasan pembentukan Angkatan Kelima yang didahului ramalan Soebandrio tentang perpisahan dengan comrade in arms yang akan berubah dari kawan seperjuangan menjadi lawan, berpadu dalam akumulasi tanda pergeseran tingkat situasi.

Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua puluh tahun Indonesia merdeka, telah terjadi setidaknya delapan pemberontakan berskala cukup besar, terdiri dari satu pemberontakan komunis di Madiun, empat pemberontakan DI-TII di empat daerah, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Artinya, satu pemberontakan setiap dua setengah tahun. Selain itu, tak kurang dari sepuluh pemberontakan atau insiden skala lebih kecil juga terjadi dalam kurun waktu tersebut, ditambah sepuluh pemberontakan atau benturan dan peristiwa berdarah lainnya di antara sesama bangsa sendiri maupun upaya pemisahan diri yang semuanya terkait dengan provokasi Belanda. Secara keseluruhan, ini berarti ada dua atau tiga peristiwa per tahun, hingga saat itu. Sungguh meletihkan.

Dan akan terjadi satu lagi, di saat tingkat pertarungan politik dan kekuasaan sekali lagi melangkah memasuki wilayah konspirasi: Peristiwa 30 September 1965. Selesai.

Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.

Membunuh Raja, Membunuh Presiden

Dari Zealots, Hashshashin, Al Qaeda dan teroris Indonesia. Jangan ada yang merasa tertindas oleh bangsa sendiri di masa Indonesia merdeka ini.

DUA HARI di akhir pekan pertama bulan Agustus 2009 ini dipenuhi berita penyergapan pelaku teror di Indonesia, di Jakarta, di Bekasi dan di Temanggung. Bisa bernilai spektakuler, bilamana ‘dugaan resmi’ yang mengiringi penyergapan itu kemudian terbukti kebenarannya.

Rangkaian penyergapan pertama terjadi di Jakarta Utara dan Jatisari Bekasi. Di Jakarta, dua orang yang diduga terlibat pemboman JW Marriot dan Ritz Carlton, ditangkap. Sedang di Bekasi, dalam penyergapan sebuah rumah di Jatisari, dua orang yang diklasifikasikan sebagai teroris tertembak mati oleh Densus 88. Salah satunya narapidana kasus pemboman Kedutaan Besar Australia beberapa tahun silam. Tetapi bagian paling penting terkait penyergapan ini adalah ditemukannya 500 kilogram bahan peledak, mirip yang digunakan dalam pemboman JW Marriot-Ritz Carlton. Bahkan ditemukan bom yang siap pakai dengan sebuah kendaraan yang akan digunakan untuk sebuah rencana pemboman. Bersama itu, ditemukan pula apa yang disebutkan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, sebagai suatu bukti yuridis terkait rencana pembunuhan dengan bom tersebut atas diri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 14 hari ke depan. Mungkin semacam kejutan HUT Proklamasi RI ke-64?

Penyergapan kedua terjadi di sebuah rumah di dusun Beji, desa Kedu kabupaten Temanggung. Hasilnya, melalui suatu pengepungan 18 jam sejak Jumat sore hingga Sabtu pagi 8 Agustus, seorang yang untuk sementara diidentifikasi sebagai Noordin M. Top, tewas. Kapolri masih berhati-hati sehingga tak tergesa-gesa memastikan bahwa itu adalah sang buronan nomor satu dalam aksi terorisme di Indonesia selama ini, sebelum selesainya tes DNA. Tetapi sejauh yang tercerna dari keterangan-keterangan resmi, penyergapan di Jakarta dan Temanggung memiliki tali temali sebagai satu jaringan.

Dengan bukti yuridis yang ditemukan itu, tak boleh tidak ini memberi pembenaran terhadap sinyalemen berdasarkan data intelijen yang disampaikan SBY beberapa waktu yang lalu, bahwa ada rencana pembunuhan atas dirinya. Tetapi baru separuh. Separuh lainnya, terkait dengan jawaban bagi pertanyaan: Apakah rencana itu ada hubungannya dengan ketidakpuasan yang tercipta setelah usainya pemilihan presiden? Dan beberapa pertanyaan akan menyusul, antara lain, siapa yang berdiri di belakang rencana itu? Mereka yang kalah di arena pemilihan umum? Dengan melihat jalinan dan kaitan antara penyergapan di Bekasi dan yang di Temanggung, bila yang tewas memang betul Nurdin M. Top, secara awam tersimpulkan bahwa jaringan itulah yang ingin membunuh Presiden. Tapi kenapa jaringan Nurdin M. Top ingin membunuh Presiden Indonesia itu? Apa alasan rasionalnya yang objektif? Sulit untuk meraba. Satu-satunya alasan adalah kalau jaringan itu menganggap Susilo Bambang Yudhoyono atau pemerintah Indonesia merupakan ‘perpanjangan tangan’ Amerika Serikat yang dianggapnya menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Atau, balas dendam atas eksekusi mati bagi sejumlah teroris selama ini? Pertanyaannya lagi, apakah betul penguasa Indonesia saat ini adalah ‘hamba’ hamba Amerika Serikat dan kepentingan-kepentingannya? Meski cukup banyak tudingan seperti ini, terutama di masa kampanye yang baru lalu, percayakah anda dengan adanya hubungan penghambaan itu? Akan tetapi, kalau bukan kelompok Nurdin M. Top, lalu siapa yang ingin membunuh Presiden?

DALAM sejarah kepresidenan kita, di Indonesia, belum ada pengalaman tentang pembunuhan Presiden. Percobaan pembunuhan, banyak, telah berkali-kali dialami Presiden Soekarno: Penggranatan di Perguruan Cikini Jakarta 30 November 1957 oleh Saadon cs lalu satu penggranatan lagi di Jalan Cenderawasih Makassar, kemudian peristiwa Daniel Maukar pilot yang Maret 1960 memberondong Istana dengan menggunakan pesawat Mig 17 dan usaha penembakan Soekarno dalam acara shalat Idul Adha di halaman Istana. Semua percobaan gagal. Terhadap Jenderal Soeharto, bahkan samasekali tak pernah ada catatan percobaan pembunuhan, walau di belakang layar banyak juga suara kebencian yang menghendakinya ‘berlalu’ saja lebih cepat. Begitu juga terhadap BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri, hampir tak pernah terdengar ada usaha pembunuhan. Tapi menurut  seorang tokoh Jamaah al-Islamiyah Megawati Soekarnoputeri sebenarnya juga pernah direncanakan untuk dibunuh oleh kelompok radikal.

Rencana seperti itu baru kini terdengar kembali, dari mulut Presiden sendiri yang kemudian tampaknya mendapat perkuatan dari Kapolri. Bila peristiwa penyergapan di Bekasi berkaitan dengan yang di Temanggung, artinya dalam konteks jaringan, ini merupakan hal baru bagi Indonesia, bahwa percobaan pembunuhan dilakukan oleh atau melalui suatu jaringan teroris. Kalau ada persamaan dengan Soekarno, itu hanya sebatas bahwa keduanya pernah dicoba dibunuh oleh kelompok yang mungkin berlatar belakang politik ideologi agama. Soekarno antara lain coba dieliminasi oleh kelompok DI-TII.

NEGARA-negara lain lebih berpengalaman dengan pembunuhan atas kepala negara dan kepala pemerintahan mereka. Amerika Serikat mengalami setidaknya dua peristiwa pembunuhan presiden yang sangat menggemparkan, yaitu atas Abraham Lincoln dan atas John Fitzgerald Kennedy beberapa abad sesudahnya. Amerika Serikat juga sangat berpengalaman dengan percobaan pembunuhan Presiden. India mengalami setidaknya juga dua pembunuhan Perdana Menteri, Indira Gandhi lalu puteranya, Rajiv Gandhi. Di Mesir, Presiden Anwar Saddat, ditembak oleh peserta sebuah parade militer. Pakistan, mengalami ‘pembunuhan’ resmi atas PM Ali Bhutto dan kemudian pembunuhan atas puterinya, mantan PM Benazir Bhutto, diselingi ‘pembunuhan’ Jenderal Zia ul Haq, 17 Agustus 1988, melalui sabotase pesawat yang ditumpanginya. Zia adalah tokoh militer yang menggulingkan pemerintahan Ali Bhutto dan kemudian menghukum gantung mantan  Perdana Menteri itu. Ketika Soviet menginvasi Afghanistan, sepanjang 1979, rezim Zia ul Haq aktif membantu dana dan senjata bagi militan Islam Mujahidin melakukan perlawanan.

Apalagi di Afrika dan Amerika Latin, pembunuhan politik, pembantaian massal dan penggulingan kekuasaan seakan menjadi tradisi.

Membunuh raja, membunuh presiden, sudah seumur peradaban manusia. Terjadi sepanjang tarikh Masehi. Begitu pula dengan kehadiran kelompok teroris, sudah lebih tua dari peradaban dalam tarikh Masehi. Pada awal tarikh Masehi, di tanah bani Israil, sudah ada sebuah kelompok teroris yang dikenal sebagai Zealot dari Judea, yang pada mulanya didirikan oleh Judas dan anaknya sebagai suatu organisasi politik ‘penegak kebenaran’ dan pembela tanah air. Zealot menjalankan rangkaian pembunuhan terhadap kalangan penguasa Romawi yang menjajah negeri mereka. Tapi dalam beberapa kasus, sejumlah tokoh Jahudi sendiri, telah dieksekusi oleh para penghukum dari organisasi politik yang bernama Zealot ini. Di dunia pemerintahan Islam sejak sekitar abad 11 muncul kelompok Hashshashin yang dalam literatur barat disebut Assassin dan bermakna sebagai kelompok pembunuh yang melakukan sejumlah pembunuhan politik dan kekuasaan. Hashshashin itu sendiri dalam bahasa Arab berarti ‘pengguna hashish’. Para anggota pelaksana pembunuhan Assassin itu dari waktu ke waktu dicekoki dengan candu Arab, hashshis, untuk merangsang kebringasan. Sultan Saladin, pemimpin tentara Islam dalam Perang Salib, pernah menjadi sasaran percobaan pembunuhan barisan Assassin, tahun 1176, tatkala ia dinilai ia sudah ‘lemah’ dalam bersikap kepada yang dianggap ‘musuh’ Islam. Beberapa pemimpin kekhalifahan juga pernah mengalaminya. Sikap toleransi kepada umat agama lain, kearifan dan kebesaran sikap karena sifat ksatria, adalah beberapa ciri yang dianggap sebagai tanda kelemahan oleh para Assassin.

Dalam dua abad terakhir terorisme menjadi semacam jalan keluar efektif bagi mereka yang tersudut dan berposisi lemah dalam berbagai konflik. Taktik teror menjadi senjata paling ampuh untuk mengimbangi kekalahan posisi dalam arena konflik. Tokoh pembebasan Palestina Dr George Habash pernah mengatakan, hanya dengan aksi teror “kami bisa mendapat perhatian”. Pejuang Irlandia Utara membentuk IRA  (Irish Republican Army), yang melakukan pemboman di mana-mana untuk mengimbangi keunggulan tentara Kerajaan Inggeris. Tupac Amaru di Peru, LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) atau Macan Tamil di Srilanka, GRAPO (Grupo de Resistencia Anti-Fascista Premero de Octubre) di Spanyol, Tentara Merah di Jepang dan sebagainya adalah beberapa contoh.

Namun yang kemudian amat menonjol adalah gerakan-gerakan ekstrim yang menggunakan Islam sebagai ideologi dan alasan perjuangan, sehingga kini Islam selalu diasosiasikan dengan terorisme, vice-versa. Ada puluhan organisasi keras yang bisa dicatat, yang melakukan berbagai gerakan teror di seluruh penjuru dunia: Ansar al-Islam dan Abu Nidal yang berbasis di Irak, Al-Ittihad Al-Islami di Somalia. Di Pakistan terdapat lebih dari satu sayap radikal antara lain Al Badhr Mujahidin, Harakat ul-Jihad Islami (yang juga ada di Bangladesh), Harakat ul-Mujahidin, Harakat ul-Ansar, Lashkar e-Thayyiba. Di Pakistan dan Afghanistan Hisb-I Islami Gulbudin dan di Kashmir ada Hisb ul-Mujahidin. Tak ketinggalan Abu Sayyaf di Filipina serta Jamaah al-Islamiyah di Singapura dan Malaysia. Karena ketatnya penindakan di kedua negara terakhir ini, lalu ‘sampah’ eksesnya terlontar ke Indonesia. Banyak teroris di Indonesia mendapat pelatihan dan mungkin dana gerakan dari Al Qaeda yang berpusat di Afghanistan. Al Qaeda ini, yang pernah menggemparkan Amerika di jantung negerinya sendiri, dengan serangan atas Menara Kembar WTC di New York bukan lagi sekedar organisasi dengan batas satu negara tetapi sudah menjadi jaringan transnasional dan beroperasi secara internasional. Pada umumnya, gerakan-gerakan radikal ini menempatkan Amerika Serikat sebagai musuh Islam nomor satu, simbol ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat Islam. Padahal, banyak kaum militan ini dulunya ketika menghadapi Uni Soviet –terutama di Afghanistan– mendapat bantuan dana, senjata dan pelatihan dari dinas rahasia Amerika Serikat.

MENOLEH kembali ke negeri kita sendiri, menjadi pertanyaan apakah para pemerintah kita dari waktu ke waktu  begitu terkesan ‘menghamba’ kepada Amerika dan Barat pada umumnya, atau menjadi begitu liberalistik, seperti yang misalnya dituduhkan oleh beberapa kompetitor Susilo Bambang Yudhoyono dalam ajang pemilihan presiden yang lalu? Dan apakah demikian pula yang masuk sebagai kesan ke alam bawah sadar maupun pikiran kaum radikal Islam sehingga merasa harus memberi ‘penghukuman’ melalui cara teror yang sebenarnya justru tak Islami? Tetapi terlepas dari itu semua, barangkali memang saatnya para pengendali negara kita makin lebih memperhatikan aspek keadilan sosial dan ekonomi, maupun keadilan hukum dan keadilan politik, untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Sebaliknya adalah tugas para cendekiawan membantu masyarakat untuk bisa meninggalkan cara berpikir dan cara memahami agama yang sempit. Beriman dalam keseimbangan antara rasa dan akal. Jangan sampai ada lapisan dalam masyarakat, terutama di kalangan akar rumput, merasa termarginalkan, terpinggirkan atau bahkan tetap tertindas –dan kali ini oleh tirani kekuasaan negara dan tirani kekuasaan moral yang datang dari bangsa sendiri– di masa Indonesia merdeka ini.

-Rum Aly

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (5)

“Semacam teori pembusukan untuk mempercepat kejatuhan Soeharto yang telah memerintah terlalu lama”

DALAM pusaran peristiwa politik Mei 1998 di Indonesia, nama Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, ada dalam pusat perhatian dan keduanya senantiasa ditempatkan dalam posisi berseberangan. Saat itu, Jenderal Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI, sedang Letnan Jenderal Prabowo Subianto menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Dalam ringkasan eksekutif Laporan Akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), Bab V Analisa, dituliskan bahwa di bidang politik terjadi gejala yang mengindikasikan adanya pertarungan faksi-faksi intra elit yang melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat pada “isu penggantian kepemimpinan nasional”. Hal ini, “tampak dari adanya faktor dinamika politik seperti yang tampak dalam pertemuan di Makostrad tanggal 14 Mei 1998 antara beberapa pejabat ABRI dengan beberapa tokoh masyarakat, yang menggambarkan bagian integral dari pergumulan elit politik”. Di samping itu dinamika pergumulan juga “tampak pada tanggung jawab Letjen TNI Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis”. Analisa ini, menurut laporan tersebut, semakin dikuatkan dengan fakta terjadinya pergantian kepemimpinan nasional satu minggu setelah kerusuhan terjadi, 13-15 Mei, yang sebelumnya telah didahului dengan dengan adanya langkah-langkah ke arah diberlakukannya Tap MPR No.V/MPR/1998.

Mengenai penculikan aktivis, di belakang hari dalam sidang Dewan Kehormatan Perwira, Letnan Jenderal Prabowo Subianto mengakui hanya menculik 9 orang dengan menggunakan aparat Kopassus, menjelang Sidang Umum MPR Maret 1998. Tetapi semua korban telah dibebaskan kembali beberapa waktu kemudian setelah Sidang Umum. Dengan demikian menjadi tidak jelas, siapa penculik 14 aktivis lain. Menurut Munir (almarhum korban pembunuhan politik) dari Kontras, Mayjen Sjafrie Sjamsoedin pernah mengakui memerintahkan beberapa penangkapan namun kemudian diserahkan ke kepolisian. Prabowo sendiri mengatakan adanya perintah atasan untuk melakukan ‘penculikan’ itu dan secara tidak langsung menyebutkan adanya pihak lain yang juga melakukan rangkaian ‘pengambilan paksa’. Apakah ‘pihak lain’ ini juga adalah faksi di tubuh ABRI sendiri? Melihat cara-cara penculikan, tampaknya memang ya. Dan apakah penculikan oleh faksi lain ini, yang korbannya pada umumnya tetap hilang hingga kini –sehingga diduga telah dibunuh– bertujuan untuk mengesankan bahwa penghilangan paksa itu juga dilakukan Prabowo atas perintah Soeharto (karena tak mungkin atas perintah Wiranto, mengingat hubungan tak nyaman di antara mereka)? Katakanlah, semacam teori pembusukan untuk mempercepat kejatuhan Soeharto yang kala itu telah memerintah terlalu lama.

Mengenai sebab pokok peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 itu sendiri, TGPF menyimpulkan, adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat. Di dalam proses pergumulan elit politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Dalam kaitan inilah, pertemuan Makostrad 14 Mei 1998, menurut TGPF, patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola pergumulan yang menunjuk pada kerusuhan yang terjadi. TGPF lebih jauh menyimpulkan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini. “Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa”.

Laporan ini secara terbuka menunjuk ‘kelemahan’ operasi keamanan di Jakarta bertalian erat dengan keseluruhan pengembanan tanggung jawab Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoedin “yang tidak menjalankan tugasnya sebagai yang seharusnya”. Meskipun tidak menyebutkan nama Jenderal Wiranto, sebenarnya tanggungjawab dari kegagalan keamanan bagaimanapun tertuju kepada sang Panglima ABRI (TNI) ini yang juga sesuai rumusan “tidak melakukan tindakan apa-apa”. Pers asing maupun lokal, memang menyorot Wiranto dalam kaitan ‘kekosongan’ komando saat peristiwa terjadi. Far Eastern Economic Review, menyebutkan bahwa adalah mengherankan kenapa Jenderal Wiranto bersama pimpinan-pimpinan teras TNI justru terbang ke Malang, Jawa Timur, di pagi hari peristiwa kerusuhan hanya untuk menghadiri suatu acara parade. Padahal, tak mungkin Wiranto tidak memperkirakan dan atau tidak mengetahui besarnya kemungkinan meletusnya suatu peristiwa di Jakarta, yang bagi kalangan awampun sebenarnya sudah bisa dirasakan. Mengenai kekosongan komando ini, dalam bukunya yang ditulis Hendro Subroto, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan mengatakan, “Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang, maka mereka membuat kesalahan”. Tetapi, “kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, mereka lebih salah lagi. Mengapa mereka sampai tidak tahu? Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional”. Belakangan, Wiranto –yang sempat ‘menyatukan’ kembali jabatan Menteri Hankam dengan jabatan Panglima ABRI di tangannya dalam kabinet terakhir Soeharto yang hanya berusia kurang dari dua bulan, setelah sejak lama dipisah– memberi klarifikasi bahwa dengan memiliki teknologi komunikasi yang canggih ketika itu, meskipun berada di luar Jakarta ia tetap memegang kendali komando. Dengan demikian tak bisa dikatakan ada kekosongan komando. Artinya, kegagalan penanganan masalah Jakarta saat itu, tetap merupakan tanggungjawabnya? Tapi sejauh ini tak pernah ada proses pertanggungjawaban resmi yang dilakukan.

Presiden Soeharto yang saat kerusuhan Mei 1998 terjadi sedang berada di ibukota Mesir, Kairo, mempercepat kepulangannya ke Jakarta dan tiba dinihari Jumat 15 Mei. Ia segera mengumpulkan para pembantunya, mulai dari Wakil Presiden, para menteri dan para jenderal pemegang komando keamanan untuk mendengar laporan lengkap peristiwa. Pagi-pagi keesokan harinya Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No.16 mengenai pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional –mirip Kopkamtib di masa lampau– dengan Jenderal Wiranto sebagai Panglima. Komando ini memiliki wewenang yang besar berdasarkan wewenang yang dimiliki Soeharto sebagai pengemban Tap MPR No.V/1998. Instruksi ini banyak diinterpretasikan sebagai semacam Surat Perintah 11 Maret 1996 yang dulu diperoleh Soeharto dari Soekarno.

Tetapi “ternyata sikap Wiranto tidak jelas”, demikian Sintong Panjaitan. “Seharusnya Wiranto menghimpun seluruh potensi Angkatan Bersenjata dan memimpin mereka untuk menjamin terwujudnya keamanan dan ketertiban. Tetapi perintah Panglima Tertinggi itu tidak dilaksanakannya”. Lebih jauh, kata Sintong, “Wiranto boleh menolak perintah Panglima Tertinggi tetapi karena hal itu merupakan subordinasi, maka selambat-lambatnya ia harus mengundurkan diri dalam jangka waktu delapan hari”. Bahkan, menurut Sintong, setelah Wiranto menolak perintah Panglima Tertinggi ABRI, maka pada saat itu juga ia harus langsung mengundurkan diri. Agaknya Soeharto juga membaca ketidakjelasan sikap Wiranto, sehingga ia ini sempat menawarkan KSAD Jenderal Subagyo HS untuk memegang jabatan Panglima Komando baru itu mengganti Wiranto. Tetapi sikap dan jawaban Subagyo rupanya sama tidak jelasnya.

Mengutip Far Eastern Economic Review, Sinansari Ecip dalam buku Siapa “Dalang” Prabowo (Penerbit Mizan, 1999) menuliskan, bahwa menjelang pergantian presiden, ada yang lolos dari perhatian para demonstran, yakni “gerakan militer yang dikomandoi Wiranto”. Jadi alih-alih melaksanakan Instruksi Presiden, Wiranto, diam-diam bersama sejumlah jenderal menyusupkan pasukan dalam jumlah besar ke gedung DPR, guna menekan loyalis Soeharto agar berbalik menentangnya. Digambarkan juga bahwa para jenderal itu mendekati para pimpinan mahasiswa dan kemudian membiarkan para mahasiswa memasuki gedung tersebut. Beberapa mahasiswa menjadi terheran-heran karenanya. Cara ini, mengingatkan kepada peristiwa munculnya “pasukan tak dikenal” yang mendekati istana saat Soekarno memimpin Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Soekarno merasa tertekan. Dan kemudian lahirlah Surat Perintah 11 Maret yang merupakan awal peralihan kekuasaan ke tangan Jenderal Soeharto kala itu.

Pada sekitar waktu yang hampir bersamaan dengan ‘membuka’ pintu DPR bagi pendudukan oleh mahasiswa, di tempat lain Wiranto menggelar suatu konferensi pers, didampingi Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Di situ ia membantah isu bahwa ia akan mengumumkan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden. Ia malah mengecam pernyataan Ketua MPR/DPR Harmoko yang mendesak Soeharto mengundurkan diri, sebagai tindakan yang inkonstitusional. ‘Permainan politik’ yang dianggap cukup cerdik ini, menurut Marzuki Darusman –yang saat itu adalah Ketua Komnas HAM– dalam wawancara dengan Far Eastern Economic Review, merupakan suatu upaya Wiranto untuk menghindarkan Soeharto mengetahui adanya suatu kelompok dalam militer yang sedang bersatu untuk melawan dirinya. “Dia mencoba menjaga jarak dengan gerakan utamanya, untuk menciptakan kesan independen”.

Berlanjut ke Bagian 6

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (2)

Trauma dan ‘penganiayaan’ politik

Para penguasa baru pasca Soeharto, pun ternyata tak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi dan tak mampu menarik pelajaran dari sejarah, betapa pun mereka semua merasa paham sejarah dan sering mengulang-ulang pemeo ‘jangan lupakan sejarah’ atau ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’. Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputeri, dengan kadar yang berbeda-beda cenderung hanya mengulangi kekeliruan demi kekeliruan masa lampau, yang dilakukan Soeharto maupun yang dilakukan Soekarno. Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dinilai melakukan beberapa kekeliruan khas kalangan penguasa Indonesia dari masa ke masa. Bisa dicatat pula betapa Susilo Bambang Yudhoyono memiliki tipikal kepemimpinan khas Jawa, yang banyak kemiripannya dengan gaya Soeharto.

Kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan para penguasa baru pasca Soeharto maupun partai-partai politik di masa reformasi sebagai suatu realita kasat mata itulah yang menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah harus kembali menoleh kepada sumber militer?

Menjelang Pemilihan Umum pertama di masa reformasi pada tahun 1999, lahir ratusan partai baru, namun hanya 48 di antaranya yang lolos kualifikasi sebagai peserta.  Tiga di antaranya, adalah ‘reinkarnasi’ dari partai lama yakni PPP, PDI-P yang merupakan ‘hasil’ pecahan PDI dan Partai Golkar yang adalah jelmaan Golkar. Tiga partai ini termasuk dalam deretan partai-partai yang lolos ke DPR hasil pemilihan umum, dan menjadi teratas bersama beberapa partai baru seperti PKB, PAN dan Partai Keadilan. Masih terdapat beberapa yang lain berhasil menempatkan wakil-wakil di DPR seperti PBB, PDKB. Menarik untuk diamati bahwa dua partai urutan teratas, PDIP dan Partai Golkar memberi tempat yang amat layak pada tokoh-tokoh eks tentara, sederet jenderal purnawirawan, pada dewan pimpinan pusat mereka, ataupun sebagai ‘wakil rakyat’ di DPR. Fenomena ini berlangsung hingga pemilu-pemilu berikutnya. Di PPP misalnya ada antara lain Letnan Jenderal Purnawirawan Yunus Yosfia dan Muhammad Ghalib. Sementara di PDIP Theo Sjafei dan kawan-kawan senantiasa ada di posisi terhormat selaku pimpinan partai dari satu periode ke periode lainnya. Tetapi tak kurang pula banyaknya barisan jenderal purnawirawan yang gagal membawa suara signifikan untuk partai-partai yang ikut mereka tangani, seperti misalnya Jenderal Rudini dan Edi Sudradjad. Partai Keadilan yang di pemilihan umum 2004 kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera, dengan ‘basis’ Islam, adalah partai yang menonjol tidak ikut arus menerima kader ex tentara. Di situ hanya ada Soeripto SH yang pernah berkecimpung dengan kelompok tentara di masa lampau dalam kiprah di dunia intelijen.

Fenomena yang paling menarik tentu adalah yang terjadi di PDIP di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputeri. Partai ini lebih tertarik kepada sumber kader eks tentara daripada yang berasal dari kalangan perguruan tinggi. Tatkala Megawati, naik berkuasa sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang putus di tengah jalan, praktis barisan gerakan kritis mahasiswa menjadi salah satu penentang utamanya, sebagai jawaban terhadap sikapnya yang juga tidak bersahabat terhadap kelompok mahasiswa –padahal ia tiba pada posisinya, semula sebagai Wakil Presiden lalu Presiden, tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang berhasil membuat Presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila ia memiliki trauma terhadap ‘mahasiswa’ –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan Soekarno sang ayahanda dari kekuasaannya– semestinya iapun memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru adalah juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Namun sebaliknya, ia malahan banyak memberi konsesi kepada tentara tahun 2000-an. Agaknya Megawati tak menyukai gaya kritik ala mahasiswa. Dalam pada itu tokoh-tokoh ABRI (TNI) pasca Soeharto tidak pernah mengeritiknya melainkan aktif melakukan pendekatan pada dirinya, terutama sebagai Presiden incumbent hingga tahun 2004.

Salah satu bentuk akomodasi Megawati terhadap para jenderal adalah dipertahankannya beberapa jenderal purnawirawan ex kabinet Abdurrahman Wahid dalam kabinetnya, yakni antara lain Susilo Bambang Yudhoyono dan Agum Gumelar yang sempat diparkir atau memarkir diri menjelang usaha dekrit Presiden Abdurrahman Wahid.

Dua jenderal ini sama-sama maju ke kancah Pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali di tahun 2004 sebagai pesaing Megawati. Agum Gumelar menjadi kandidat Wapres pasangan Hamzah Haz (ex Wapres pendamping Mega). Tetapi yang paling menarik perhatian adalah tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing Megawati dalam kancah itu. Semula, ada semacam ‘rancangan’ bersama untuk menjadikan SBY sebagai calon Wapres bagi Mega, tetapi gagal karena terjadi beberapa kecelakan komunikasi. Pada masa-masa akhir masa pemerintahan Mega, SBY yang menduduki posisi Menko Polkam, berkali-kali tak lagi diikutsertakan dalam rapat kabinet menyusul isu ketidakcocokannya dengan suami Mega, Taufik Kiemas. ‘Pengucilan’ SBY ditambah serentetan pernyataan serangan pribadi atas dirinya dari Taufik Kiemas menimbulkan kesan terjadinya penganiayaan politik, yang justru menjadi blessing in disguise bagi SBY berupa aliran simpati yang besar. Masyarakat pada sekitar saat itu amat sensitif terhadap korban penganiayaan dan akan cenderung membela yang ‘tertindas’. Megawati sendiri menjadi terapung karena faktor emosional seperti itu, ketika ia terkesan mengalami penindasan politik rezim Soeharto, yang mengalirkan dukungan simpati politik bagi dirinya.

Salah satu puncak penindasan terhadap Megawati adalah penyerbuan dan pendudukan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro oleh massa ‘PDI’ yang didukung dari belakang oleh kekuatan militer rezim Soeharto pada Peristiwa 27 Juli 1997. Menarik bahwa tatkala penyerbuan berlangsung, Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Kastaf Kodam Jaya dicatat kehadirannya tak jauh dari lokasi peristiwa. Akan tetapi dikemudian hari, kehadiran ini tidak dipermasalahkan lanjut karena mantan atasannya, Panglima Kodam Jaya, Sutiyoso membentengi dengan menyatakan bahwa seluruh tanggungjawab komando ketika itu ada di tangannya dan SBY tidak turut campur sehingga dengan demikian tidak bersalah.

Dalam kancah Pemilihan Presiden 2004, Megawati tampil didampingi Hasyim Muzadi Ketua Umum PB-NU sedang Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah sempat menunggu-nunggu konfirmasi Mega untuk posisi nomor dua, akhirnya maju sebagai pesaing berpasangan dengan Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha. Sebagai kendaraan politik utama, SBY membangun Partai Demokrat sebelumnya. Bersamaan dengan itu tampil juga seorang jenderal lain, yakni Wiranto, mantan Panglima ABRI yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto, berpasangan dengan Solahuddin Wahid yang juga berlatar-belakang NU dan kebetulan adik kandung Abdurrahman Wahid.  Wiranto tampil setelah memenangkan konvensi Golkar, antara lain dengan menyisihkan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Prabowo Subianto yang pernah ‘tinggal kelas’ karena satu masalah di Akabri adalah adik kelas Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun 1973 adalah Komandan Taruna dan menjadi lulusan terbaik Akabri tahun itu. Masa pendidikan mereka berdua di Akabri kala itu, adalah masa yang khas karena saat itu Gubernur Akabri dijabat oleh seorang jenderal legendaris masa transisi 1965-1966, Mayor Jenderal (waktu itu) Sarwo Edhie Wibowo yang dikenal sebagai jenderal berintegritas tinggi. Bertiga, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono dan Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah barisan jenderal idealis yang dihormati kalangan perjuangan 1966, namun kemudian perlahan-lahan satu persatu disisihkan oleh Soeharto dari kekuasaan. Tanpa mereka, kekuasaan di tangan rezim militer pasca Soekarno di bawah Jenderal Soeharto pun berangsur-angsur menyimpang dari jalan lurus dan memasuki masa-masa penuh intrik, tekanan dan rangkaian penganiayaan politik.

Berlanjut ke Bagian 3

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (3)

Beberapa kilas sejarah ‘persahabatan’

APAKAH korupsi hanya boleh dilakukan oleh para pengelola badan usaha milik negara ? Ini adalah pertanyaan yang sinis pada saat korupsi sudah demikian meluasnya. Dalam dunia yang sudah terlanjur terbalik, jawabannya adalah ‘boleh dilakukan oleh siapa saja’. Para birokrat yang ada dalam pusaran pusat kekuasaan, harus menjadi pemeran utama dan sumber inspirasi bagi lingkaran kedua dan ketiga kekuasaan, bahkan inspirasi bagi masyarakat yang berminat terjun dalam karir korupsi.

Permainan korupsi memang tak hanya dilakukan di panggung negara. Banyak lakon terjadi di panggung partikulir, meskipun tetap melibatkan pelakon kalangan negara. Di Jawa Barat, yang termasyhur adalah kasus CV Haruman yang melibatkan figuran –dan mungkin saja sutradara– dari lingkungan Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K). Dalam birokrasi pemerintahan, pelaku korupsi tak pilih-pilih tempat pula. Bisa di Departemen Sosial yang salah satu fungsinya mengentaskan kemiskinan dan memberikan bantuan-bantuan sosial serta pertolongan bagi korban bencana alam. Bahkan, bisa pula di Departemen Agama. Untuk yang terakhir ini, jelas menjadi contoh kasus yang menarik. Bagaimana mungkin di suatu departemen yang semestinya menjadi sumber moral dan teladan mulia, bisa terjadi penyelewengan ? Rupanya syaitan pun senang berbisik bahkan di tempat yang paling musykil sekalipun.

Tatanan dasar yang berkembang dan merupakan cikal bakal ‘dunia yang terbalik’ dalam cermin kehidupan bangsa Indonesia bisa diketemukan dalam budaya banyak suku bangsa di Nusantara ini. Dalam banyak suku bangsa Indonesia, kebiasaan memberi upeti dengan jalur dari bawah ke atas sudah merupakan kebiasaan sejak dulu kala. Dari rakyat kepada kepala desa. Dari kepala desa kepada camat. Dari camat kepada bupati atau petinggi kekuasaan lainnya. Pada jalur yang sama dengan arah yang sebaliknya berjalan pula arus penekanan dari atasan ke bawahan yang berbau ‘pemerasan’.

Di zaman kolonial Hindia Belanda, Bupati yang merupakan jabatan tertinggi pribumi dalam jajaran Pangreh Praja di pulau Jawa, melanjutkan estafet kepada tuan Residen yang menjadi tangan kekuasaan terdepan penguasa kolonial, Binnenlandsch Bestuur (BB), menghadapi pribumi. Tuan Residen masih pula dilengkapi perangkat sehari-hari seperti Asisten Residen dan Kontrolir, yang semuanya adalah orang Belanda. Di atas para residen ialah Gubernur Jenderal. Para residen mempunyai wewenang menunjuk dan mengangkat pejabat pribumi hingga tingkat wedana, biasanya dengan mendengar pendapat bupati. Penunjukan dan pengangkatan bupati sendiri serta pejabat diatas tingkat wedana adalah wewenang Gubernur Jenderal. Ini berlangsung hingga masuknya bala tentara Jepang di tahun 1942.

Agar mampu memenuhi ‘kewajiban’ untuk memberi upeti, para priyayi Pangreh Praja ini kerap kali terpaksa menekan ke bawah. Seorang bupati yang harus menyenangkan hati para atasan kolonialnya, membutuhkan biaya. Misalnya, pada saat atasan kulit putih itu datang berkunjung dengan rombongan, paling kurang para bupati harus mengeluarkan biaya perjamuan makan. Selain itu, seorang bupati biasanya membiayai suatu keluarga yang besar yang terdiri dari isteri utama, Raden Ayu atau Padmi, beberapa selir dan sejumlah anak-anak dari perkawinan dengan para perempuan itu. Belum lagi sanak keluarga yang mengabdi. Sehingga jumlah anggota penghuni rumah seorang bupati bisa mencapai puluhan orang. Jelas ini membutuhkan biaya. Belum lagi bahwa secara periodik dalam rangka menegakkan nama dan prestisenya, sudah terbiasa bila para bupati menyelenggarakan pesta, yang lengkap dengan pertunjukan ronggeng dan sebagainya. Mulai dari pesta pertama pada pelantikannya hingga ke berbagai pesta lainnya pada hari-hari besar keluarga, semisal khitanan dan perkawinan. Lalu, masih akan ada pesta-pesta merayakan peristiwa penting dalam karirnya, seperti saat mendapat gelar-gelar atau penghargaan-penghargaan. Masih lagi ada ‘keharusan’ sosial untuk membantu sanak keluarga yang miskin dan membantu rakyat bila ada bencana –karena bupati harus tampak mencintai rakyatnya.

Semua itu membutuhkan biaya besar yang tak kenal henti sepanjang masa jabatannya yang biasanya berlangsung lima hingga sepuluh tahun. Gaji bupati per bulan yang diperolehnya dari pemerintah Hindia Belanda adalah kurang lebih 1000 gulden, setara dengan gaji wedana dalam setahun. Cukup besar, tetapi dibandingkan social standing cost yang disandangnya, jumlah itu sangatlah tidak mencukupi. Bagi bupati yang di daerahnya ada wilayah perkebunan besar, atau bagi bupati yang berasal dari keluarga kaya sejak mulanya, mungkin takkan ada kesulitan. Namun, akan menjadi berbeda bagi yang bukan berasal dari keluarga kaya sejak awal. Dan, justru ini yang terbanyak. Karena besarnya beban biaya yang harus dipikulnya, lalu banyak bupati yang terjerat utang kepada rentenir-rentenir –yang umumnya dari keturunan etnis Cina dan Arab– yang bagaimanapun harus dibayar pada waktunya. Bilamana tidak bisa dibayar dengan uang, mungkin melalui suatu fasilitas yang menguntungkan bagi pemberi utang. Inilah praktek kolusi.

Salah satu cara informal dan kesempatan mengumpulkan uang, yang pernah dipraktekkan beberapa bupati, adalah melalui forum 35 harian sekali, di mana para bawahan, yakni para wedana dan para lurah, wajib hadir ‘demi masa depan’ karir mereka. Forum ini dihubungkan dengan hari lahir bupati berdasarkan perhitungan pasaran. Biasanya, para bawahan membawa hadiah-hadiah selain membayar cover charge beberapa gulden. Saat bupati berkumpul dengan para bawahannya itu seraya menonton ronggeng, di salah satu ruang dalam Raden Ayu (isteri utama bupati) mengorganisir para isteri bawahan dalam suatu arena perjudian. Sejumlah tertentu dari uang yang ada di arena itu disisihkan untuk nyonya rumah. Selain itu, pada kesempatan yang sama, Raden Ayu juga menjual berbagai barang –kain batik, aneka perhiasan dan sebagainya– kepada para isteri bawahan dengan harga yang lebih tinggi dari harga di pasaran. Maka terkumpullah dana bagi sang bupati dan keluarganya.

Seringkali pula bupati dalam keadaan mendesak, pada berbagai kesempatan, menjual berbagai barang berharga milik keluarga kepada para bawahan dengan harga yang cukup tinggi. Tetapi kemungkinan besar pada suatu waktu kelak barang-barang yang dijual itu diminta kembali. Atau, sebaiknya, para bawahan lebih tanggap dan dengan tangkas mengembalikan sendiri barang-barang yang sudah dibelinya itu. Tapi jangankan harta benda, perempuan pun menjadi sasaran penyalahgunaan kekuasaan. Banyak bupati proaktif yang gemar melakukan tournee keliling wilayah kekuasaannya, selain mengumpulkan hadiah dari bawahan, mereka pun kerap menikmati anak-anak gadis pak lurah atau bawahannya yang lain yang dipersembahkan kepadanya dalam safari sex itu. Dalam tournee atau safari keliling itu, para bupati bisa melihat langsung ‘tingkat kesejahteraan’ para bawahannya dan atas dasar penglihatan kasat mata itu bisa menentukan ‘kutipan’ dari para bawahan. Bila seorang bawahan di suatu daerah memiliki seekor kuda yang bagus, misalnya, sang bupati akan menyatakan kekagumannya disertai kata-kata seperti “Hebat kamu ya ?” yang terdengar seakan-akan pujian. Sang bawahan mengerti, lalu menyatakan daulat tuan bupati lah yang sebenarnya lebih pantas memiliki kuda sang bawahan yang melebihi kuda bupati sendiri. Dan pada peristiwa lain, bilamana bupati sempat melihat anak gadis bawahan yang cantik, lalu memuji “Pandai kamu membesarkan anak gadis menjadi cantik, sayang kau sembunyikan selama ini”, maka nasib sang anak gadis takkan berbeda jauh dengan kuda bagus. ‘Kalau beruntung’, bila sang bupati saat itu memiliki ‘hanya’ tiga isteri sah menurut agama Islam, sang gadis akan diangkat menjadi isteri keempat untuk menggenapkan. Jadi, dalam kurun waktu yang ekstrim dalam sejarah kekuasaan di Nusantara, segala macam bisa ‘dirampok’, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak. Tetapi pada umumnya ‘perampokan’ itu diterima dan bisa saja menyenangkan kedua belah pihak. Katanya, segala sesuatu yang diambil oleh atasan, pada hakekatnya adalah berkah bagi sang bawahan.

Terhadap ‘pemerasan’ atasan dan kewajiban mempersembahkan upeti, dari mana para bawahan memperoleh uang guna memikul beban ‘berkah’ dari atas itu ? Tak ada lain, selain menekan ke bawah pula, dalam aneka bentuk pemerasan, dan rakyat lah yang ada di alas piramida sosial itu. Tapi bagi  masyarakat pribumi sendiri, pola itu tidak ada salahnya. Karena bagi mereka, sangatlah saru bila ada pejabat yang miskin dan hidup melarat. Pejabat harus bermartabat, dan salah satu penopang martabat adalah kekayaan materi. Secara umum, para atasan kolonial, membiarkan ‘harmoni’ itu berjalan sebagaimana adanya, tapi sesekali ada juga tindakan keras terhadap apa yang mereka namai korupsi itu. Tindakan seperti itu muncul terutama bilamana ada kepentingan kekuasaan kolonial terusik, atau sesekali bilamana ada pejabat kolonial baru yang sedang berhati nurani. Ini ironis, karena pada hakekatnya korupsi itu diajarkan Belanda sendiri melalui VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) selama ratusan tahun kekuasaan perusahaan dagang Belanda itu di Nusantara. Belanda di tanah kolonial mengajarkan kalimat dasar untuk korupsi dan suap menyuap, segala sesuatunya harus ada imbalannya –voor wat hoort wat. Kalimat ini di kalangan koruptor kelas amat teri, biasa tampil dalam pertanyaan “Mana uang rokoknya….?”.

Suatu pemahaman tentang aspek historis dan sosiologis seperti di atas, bukan hal yang asing dan cukup dipahami oleh beberapa kalangan di masyarakat, terutama mahasiswa dan kaum intelektual. Mudah untuk memahami bahwa korupsi itu sesungguhnya ilmu lama yang diwariskan dari satu kekuasaan ke lain kekuasaan. Agaknya, korupsi itu memang merupakan kecenderungan kekuasaan. Maka ia lekat kepada birokrasi dan badan-badan usaha milik negara. Akan terjadi terus menerus selama tidak ada mekanisme kontrol yang kuat. Ada pada masa awal kemerdekaan, ada pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, masa Soeharto dan ada pada masa sesudahnya hingga kini. Ternyata kemerdekaan negara belum dengan sendirinya akan berarti sebagai sepenuhnya ‘pembebasan’.

Pada masa awal Orde Baru, mekanisme kontrol itu sangat lemah, dan kontrol hanya hidup dalam keinginan sejumlah orang yang masih idealis. Secara terbuka, para mahasiswa lah yang dapat dicatat sebagai salah satu kekuatan moral yang terbesar pada awal Orde Baru yang punya keberanian untuk melakukan kampanye anti korupsi. Peranan mahasiswa Angkatan 1966, patut diakui dalam hal ini. Namun, patut dicatat pula betapa kemudian beberapa tokohnya kemudian larut dalam rezim yang korup tatkala diberi kesempatan ikut dalam pemerintahan dan kekuasaan. Setidak-tidaknya, harus mengubur cita-citanya semula untuk melakukan perubahan dari dalam. Larutnya beberapa tokoh 1966 itu jugalah yang satu dan lain sebab yang menciptakan gap antara mereka dengan generasi baru mahasiswa tahun 1970-an. Apalagi kemudian muncul penafsiran baru bahwa mahasiswa di tahun 1966 itu hanyalah alat Angkatan Darat untuk mewujudkan ambisi kekuasaannya

BILA korupsi memang telah berakar sejak zaman kolonial, dan kemudian berlanjut pada awal kemerdekaan dan masa demokrasi terpimpin, maka tidaklah mengherankan kalau korupsi kembali merajalela masih pada saat orde baru ‘seumur jagung’. Pada masa kolonial, pelaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang paling menonjol adalah kalangan pangreh praja –yang oleh penguasa kolonial sering pula disebut sebagai indlandsch bestuur. Mulai dari perangkat di desa-desa hingga kecamatan dan wilayah kekuasaan kabupaten dengan bupati sebagai tokoh utamanya. Di masa kemerdekaan, pelaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tetaplah kalangan birokrat –seolah-olah melanjutkan tradisi zaman kolonial– namun telah bertambah dengan pelakon baru yakni kalangan tentara. Korupsi yamg paling menonjol dengan pelaku-pelaku kalangan tentara terutama berlangsung pada saat tentara mulai memasuki perusahaan-perusahaan ex-Belanda yang dinasionalisasi menjadi perusahaan negara sekitar tahun 1957, termasuk di bidang pertambangan minyak dengan lahirnya Pertamina.

Tatkala Soekarno berada pada masa puncak kekuasaannya dalam kurun waktu demokrasi terpimpin 1959 hingga 1965, korupsi pun tetap terjadi. Mitos yang sering ditiupkan kala itu bahwa Soekarno tidak perlu uang dan materi, samasekali tidak punya dasar kebenaran. Pengumpulan dana untuk kekuasaan dilakukan atas namanya setidaknya oleh Soebandrio dan Jusuf Muda Dalam –dua di antara para menteri kabinetnya. Suatu dana yang disebut sebagai ‘Dana Revolusi’ dikumpulkan di tangan Soebandrio dengan pelaksana utama pengumpulan Jusuf Muda Dalam. Mingguan Mahasiswa Indonesia pada tahun 1966 mengungkapkan bahwa Soekarno di puncak kekuasaannya –berbeda dengan Soekarno masa perjuangan menuju Indonesia Merdeka– adalah seorang yang punya selera hidup mewah dan mengambil uang dari kas negara secara tak terbatas. “Karena hati-hati maka ia menumpuk kekayaan di luar negeri”. Penyelewengan Soekarno sering diungkapkan oleh Mingguan Mahasiswa Indonesia itu dengan didukung angka-angka. Apakah tuduhan ini benar ? Belakangan, pemerintah baru yang menggantikan kekuasaan Soekarno pernah berhasil memperoleh dan ‘mencairkan’ kekayaan Soekarno dan ‘Dana Revolusi’ yang disimpan di luar negeri. Seorang mantan petinggi negara mengakui hal ini setelah pensiun (kepada penulis buku sumber catatan ini). Bahwa Soekarno senang hidup mewah, terbukti dari kenyataan betapa  sangat seringnya berlangsung pesta-pesta tari lenso di Istana yang dihadiri oleh para pejabat negara yang dekat Soekarno, para pengusaha yang mendapat fasilitas kekuasaan serta wanita-wanita cantik yang biasanya dari kalangan artis. Beberapa diantara artis ini berhasil menikmati hadiah-hadiah dari Istana atas ‘jasa-jasa’nya, paling terkenal adalah hadiah mobil sedan Fiat 1300 yang waktu itu menjadi model paling mutakhir. Pada masa Soekarno terkenal nama-nama pengusaha yang meroket karena fasilitas seperti Markam pemilik perusahaan Karet Markam (Karkam), Dasaad pemilik Dasaad Musin Concern, Hasjim Ning importir mobil Fiat dan Rahman Aslam pengusaha new comer keturunan Pakistan-Indonesia yang antara lain bergerak di bidang perdagangan tekstil.

Berlanjut ke Bagian 4

Kisah ‘Tumbal Darah’ Lintas Waktu dalam Sejarah Nusantara (5)

“Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain dari kalangan masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya”.

Kisah ketujuh. Segera setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, proses penghancuran PKI terjadi dengan cepat. Anggapan yang kuat bahwa peristiwa ini adalah pengkhianatan PKI untuk keduakalinya setelah Peristiwa Madiun 17 tahun sebelumnya, ditambah tumpukan kebencian yang tercipta akibat sepak terjang partai ini ketika berada di atas angin selama bertahun-tahun dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis, menjadi pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara luas. Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang ‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) dan memiliki kedekatan yang sama dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah seperti Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, juga di Jawa Barat serta secara sporadis dan insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.

Tak ada angka yang betul-betul pasti mengenai jumlah korban, namun angka yang semula dianggap paling mendekati adalah jatuhnya sekitar 500.000 korban manusia,yang kemudian berkembang menjadi perkiraan dengan angka 1.000.000 – 3.000.000. Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa partai. Namun tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa yang bukan anggota partai, karena bersamaan dengan itu terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain dari kalangan masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.

Peristiwa berdarah ini hingga kini menyisakan kontroversi penilaian, apakah ini merupakan sekedar peristiwa politik dengan segala risikonya, ataukah peristiwa sosiologis yang berupa kejahatan atas kemanusiaan – siapa pun pelaku maupun korban, dan apa pun alasannya. Di kemudian hari, untuk sebagian, peristiwa pembantaian tanpa rasa kemanusiaan tersebut, menjadi bagian dari pembenaran ‘teori’ tentang PKI sebagai korban konspirasi politik dan korban skenario kekuasaan militer (Angkatan Darat).

Tujuh kisah ini mewaliki benang merah dari ratusan atau bahkan ribuan peristiwa berdarah dan kematian, serta sejumlah tragedi lain, besar kecil, yang menunjukkan satu pola perilaku manusia Indonesia dalam menghadapi dan memaknai kekuasaan serta hasrat-hasrat manusiawi yang mengiringinya.

Berlanjut ke Bagian 6

Kisah ‘Tumbal Darah’ Lintas Waktu dalam Sejarah Nusantara (1)

-Rangkaian tulisan socio-politica menjelang 84 Tahun Indonesia Merdeka

MESKIPUN belum sepenuhnya bebas dari tindak dan perilaku kecurangan di sana-sini, proses perubahan kekuasaan negara melalui dua pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden wakil presiden dalam sepuluh tahun terakhir ini, 2004 dan 2009, tidaklah merupakan perubahan yang berdarah-darah ataupun diiringi konflik berkadar tinggi. Perubahan extra-ordinary di tahun 1998 diiringi sejumlah peristiwa kekerasan berdarah yang antara lain mengambil korban jiwa mahasiswa, perkosaan lintas etnis, kerusuhan sosial, pembakaran dan berbagai bentuk perusakan lainnya. Perubahan melalui pemilihan umum 1999 diikuti oleh penggantian tokoh puncak kekuasaan di tengah jalan. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden di tahun 2004 dan kemudian di tahun 2009 ini, sejauh yang tampak hingga kini, kendati juga cukup bergejolak, relatif berlangsung lebih ‘damai’. Walau belum juga dengan sendirinya berarti bahwa sistem demokrasi telah bekerja dengan baik. Sebenarnya, pemilihan-pemilihan umum masa orde baru –yang lebih banyak merupakan pembaharuan mandat kekuasaan 5 tahunan dari Soeharto– pun cenderung berjalan tanpa banyak gejolak, namun ‘kedamaian’ yang tercipta lebih karena kekuatan supresi dan bukan karena demokrasi.

Bagaimanapun, perubahan-perubahan dalam konteks rotasi kekuasaan saat ini, telah cukup jauh meninggalkan pengalaman buruk sejarah kekuasaan di masa lampau. Berikut ini adalah adaptasi dari beberapa bagian buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Kata Hasta Pustaka, 2006) mengenai tradisi tumbal darah dan kekerasan dalam perubahan kekuasaan Nusantara (Indonesia) dari waktu ke waktu. Catatan tentang masa lampau ini ini lebih dimaksudkan sebagai referensi.

CORAK warna yang dominan dalam sejarah Indonesia dari abad ke abad, adalah merah, karena darah. Menjadi satu dengan itu, adalah rangkaian pertarungan kekuasaan. Perilaku pemenuhan hasrat kekuasaan menjadi bagian utama karakter para pemuka kelompok masyarakat dalam tata feodalistik –yang senantiasa membutuhkan tumbal darah rakyat. Darah hanya berhenti mengalir bila rakyat pasrah dan mengalah kepada kekuasaan. Kekuasaan yang mana pun: Kekuasaan kolonial ataupun kelompok kekuasaan bangsa sendiri. Kekuasaan berdasar kepentingan duniawi maupun berdasar agama (yang semestinya lepas dari wujud kepentingan duniawi yang vulgar).

Hanya dalam keadaan tanpa adanya rakyat yang melawan, sejarah masa lampau mencatat Nusantara menjadi rangkaian kepulauan yang seakan damai, aman, tenteram yang mencipta legenda tentang keindahan dan kekayaan alam. Tanpa ada yang melawan, kehidupan rakyat Nusantara seakan memasuki perspektif keabadian – sub specie aeternitatis – yang mengutamakan keselarasan. Tak diperlukan perubahan yang cepat. Kehidupan berlangsung bagaikan ulat yang berenang di air – sangat lambat – dan rakyat dalam jiwanya bagaikan di antara tidur dan bangun[1]. Sejarah juga mencatat bahwa seluruh kelompok penguasa yang pernah ada di negeri kepulauan ini, telah menjadikan stabilitas sebagai keharusan bagi kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Perubahan hanya mendapat toleransi begitu kecil di ruang yang sedemikian sempit. Kalaupun perubahan harus terjadi, harganya mahal. Apalagi bila perubahan itu menyangkut pergantian kekuasaan.

Dalam konsep ‘semu’ kehidupan yang mengutamakan harmoni dan keabadian, tak ada perubahan tanpa mengalirkan darah. Ini berlaku sebagai kesimpulan, sepanjang tak ada fakta yang menunjukkan lain di luar itu. Penguasa dan rakyat Nusantara sangat terikat dengan beberapa nilai masa lampau dan kepada konsep kekuasaan perkasa yang gaib. Kekuasaan duniawi yang ada juga diyakini selalu berlatarbelakang kekuatan gaib. Para raja masa lampau – bahkan juga sejumlah pemimpin Indonesia masa modern – berkecenderungan mengaitkan dirinya dengan dukungan kekuatan mitos tersembunyi yang berasal dari alam ‘gaib’, serta penggambaran sakral sebagai pemegang wahyu. Dalam konsep ‘gaib’ itu, bilamana hendak membangun sesuatu –  istana, jalan, bahkan hingga bangunan keagamaan sekalipun – dibutuhkan bukan sekedar perhitungan dan penentuan ‘hari baik’, melainkan lebih dari itu, harus ada tumbal darah. Begitu pula untuk seremoni yang berkait dengan adat atau kepercayaan spiritual, dan juga bila ada pemimpin tinggi hingga kepala suku yang baru, selalu ada tumbal darah dan korban jiwa manusia karena ada bagian-bagian tubuh manusia kurban yang dibutuhkan untuk ritual pengesahan kekuasaan. Pada masa-masa terakhir, tumbal darah itu berangsur berubah menjadi kurban khewan – biasanya kerbau yang dipenggal untuk ditanam kepalanya di tempat yang akan dibangun. Akan tetapi dalam satu kurun waktu yang panjang sebelumnya, hingga setidaknya awal tahun 1960-an, yang dibutuhkan pada serangkaian acara ritual seperti itu memang adalah tumbal jiwa, kepala dan darah manusia. Ada beberapa kisah yang diketahui banyak orang, namun tak terungkapkan secara terbuka, apalagi masuk dalam catatan peristiwa hukum, tentang penggunaan tumbal darah manusia ini. Pengetahuan spiritual seperti itu mengikuti perjalanan waktu telah mengendap ke alam bawah sadar dan merembes turun temurun lintas generasi.

Berikut ini beberapa ‘kisah pembuka’ lintas waktu tentang tumbal darah Nusantara dan kisah lumuran darah lainnya, serta kematian melalui jalan kekerasan.

Kisah kesatu. Menjelang tahun 1960, di suatu daerah di luar Jawa – sebagai salah satu contoh untuk beberapa kisah serupa di berbagai wilayah Nusantara – beberapa bocah belasan tahun hilang dua hari sebelum peletakan batu pertama sebuah proyek bendungan untuk pengairan. Kedua peristiwa itu diyakini berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks kepercayaan mistis tradisional, setidaknya dibutuhkan empat kepala manusia muda sebagai tumbal karena suatu ‘bangunan’ mempunyai empat sudut, dan alam memiliki empat penjuru angin utama. Beberapa waktu kemudian, tubuh-tubuh bocah itu ditemukan kembali tanpa kepala, dan bagian tubuh yang hilang itu tak pernah ditemukan. Kala itu luas diyakini kepala bocah-bocah itu tertanam rapi di bawah beton pondasi di sudut-sudut bendungan. Mereka adalah tumbal yang dipersembahkan kepada penguasa gaib, agar berkenan atas pembangunan bendungan dan tak ada marabahaya selanjutnya dalam penggunaannya kelak. Tentang penemuan tubuh-tubuh tanpa kepala itu, pemerintah daerah memberikan keterangan tidak resmi bahwa penculikan dan pemenggalan kepala dilakukan oleh pasukan pemberontak Darul Islam-Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan ringkasan DI-TII[2]. Nyatanya, meskipun telah diberi tumbal, proyek itu terlunta-lunta penyelesaiannya. Perekonomian dan keuangan negara di masa pemerintahan Soekarno kala itu, tak kuat untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan seperti itu. Atau, dalam sudut pandang dan alam pikir mistis, ‘mungkin’ sang penguasa gaib tak berkenan terhadap sesuatu dalam pelaksanaan negosiasi darah itu. Kisah ini menunjukkan bahwa dalam konsep mistis, untuk pencapaian lebih besar, diperlukan pengorbanan ‘kecil’. Kalangan penguasa tak mungkin mengorbankan diri, maka korban lebih ‘layak’ dipilih dari antara rakyat yang lemah dan ‘kecil’ saja artinya dalam tatanan kekuasaan yang feodalistik.

Berlanjut ke Bagian 2.


[1] Lihat juga, Rum Aly, ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’, Penerbit Buku Kompas, 2004.

[2] Berdasarkan catatan dan ingatan tahun 1950-an.

Perspektif Sejarah dan Sudut Pandang Baru Mengenai Kekuasaan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

 

SETIDAKNYA ada empat kurun waktu kekuasaan negara yang ‘penting’ telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia setelah masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955 hingga 2006. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh kekuatan partai Nasakom dan militer. Ketiga, masa demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung.

Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dan masa Demokrasi Pancasila di bawah Soeharto, kepastian dan jaminan –untuk mencapai suatu stabilitas kekuasaan– merupakan nilai politik tertinggi. Kini, pada masa yang disebutkan sebagai masa reformasi, bukan lagi kepastian dan jaminan seperti itu yang menjadi nilai politik tertinggi, melainkan peluang dan kemerdekaan menjalankan hak dan kewajiban sebagai nilai politik tertinggi. Situasi bergeser menjadi situasi di mana ketidakpastian sebagai norma, namun tanpa perlu menghilangkan kepastian dasar yang berupa jaminan negara terhadap hak azasi manusia, yang merupakan salah satu tujuan dasar demokrasi. Jaminan dasar itu adalah untuk melindungi warganegara dari pasar yang sangat kejam terhadap orang-orang berposisi lemah dalam sistem yang bebas.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden hasil pemilihan umum 2004 secara langsung, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan demikian menjadi simbol dari situasi dengan ketidakpastian sebagai norma. Situasi dengan ketidakpastian sebagai norma seperti itu kerap menimbulkan kesan berjalannya satu kekuasaan yang ragu-ragu. Terutama bila dilakukan perbandingan secara tidak adil dengan dua kekuasaan masa lampau yang ‘kuat’ karena memang dijalankan secara otoriter. Sementara itu, saat ini dengan amandemen terhadap UUD 1945, kekuasaan memang lebih dimaksudkan untuk dijalankan secara kolektif dan bukan dalam kualitas tunggal. Setidaknya semua ini dapat menjadi catatan bagi SBY dan JK yang kini sedang ‘bertarung’ memperebutkan posisi nomor satu bersama Mega.

Setiap kualitas kekuasaan tersebut, tentu saja memiliki dilema. Di masa lampau, kekuasaan yang otoriter, memang lebih menjamin stabilitas untuk jangka waktu tertentu, namun pada sisi lain membenamkan aspek hak azasi manusia. Kini, aspek hak azasi manusia itu relatif mendapat ruang yang lebih lapang, meskipun belum sepenuhnya bersih dari sisa karakter masa lampau. Tetapi, pada sisi lain muncul kecemasan sebagai akibat penampilan kekuasaan yang terkesan ragu-ragu, sehingga dianggap lamban dan menimbulkan tanda tanya akan kemampuannya justru di tengah meningkatnya ekspektasi masyarakat dalam berbagai masalah. Pengertian kekuasaan di sini, tidak hanya menyangkut Presiden dengan kabinetnya, melainkan juga mencakup kekuasaan legislatif maupun judikatif.

Pemahaman dan kesepahaman apa yang bisa dicapai terhadap perkembangan ini ?

Sebagai kekuatan, tiga unsur dalam demokrasi itu, yang kerapkali juga menyebutkan pers sebagai kekuatan keempat, dengan sendirinya berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Nusantara, meminjam pandangan Clifford Geertz, seperti disebutkan pada bagian lain rangkaian tulisan ini, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan. Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok intelektual dan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok kaum intelektual dan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Kehidupan politik dan kekuasaan sebagai bagian dari kegagalan sosiologis Indonesia, belum juga berada dalam suatu situasi ideal. Peranan kaum intelektual, akan selalu diperlukan dalam situasi yang menyimpang. Meskipun, pada sisi lain harus juga diakui adanya gejala intellectual prostitution akibat erosi mental karena situasi sosiologis yang sakit dan kuatnya godaan kenikmatan kekuasaan dan hedonisme di masa tak menentu ini. Dalam suatu situasi antusiasme yang berlebihan ketika menjadi partisan, seperti yang tampak di tahun 2009 ini, kaum intelektual (tua maupun muda) kembali bisa tergelincir ke dunia prostitusi jenis khusus ini. Persaingan keras secara internal untuk mendapat posisi ‘lingkaran dalam’ di seputar tokoh puncak (atau kandidat tokoh puncak) kekuasaan, menjadi salah satu faktor pendorong bagi terjadinya aksi ‘antusiasme’ berlebihan itu.

Karena pers pada saat ini, dengan hanya sedikit pengecualian, juga tidak bebas dari penularan kesakitan kegagalan pembangunan sosiologis, maka pada waktu yang sama pers pun menjadi tidak sepenuhnya reliable dalam menyuarakan kepentingan  kebenaran. Aspirasi dan suara kritis kaum intelektual serta mahasiswa sebagai kelompok intelektual muda, dengan demikian takkan mungkin memperoleh kanal yang normal, apalagi bila itu akan mengganggu kepentingan kekuasaan politik ataupun kekuasaan ekonomi –yang umumnya kini menjadi pemilik media massa. Apalagi pers Indonesia saat ini pada umumnya memang lebih merupakan komoditi bisnis daripada institusi idealistik. Harus ada penyadaran agar pers kembali mengambil peran sebagai saluran aspirasi untuk menjangkau dan membawa pemikiran-pemikiran jujur dan objektif ke tengah masyarakat.