Category Archives: Falsafah & Budaya

Kisah Mbah Maridjan: Cermin Manusia Jawa (Indonesia) Meniti Kehidupan Sosial dan Gaib Yang Menyatu

“Di Indonesia, fenomena gejolak alam yang berujung pada bencana, seringkali dihubung-hubungkan sebagai tanda peringatan Sang Maha Kuasa, kalau bukan malah sudah merupakan hukuman. Tetapi menjadi tanda tanya, kenapa yang menjadi korban senantiasa adalah rakyat dari kalangan akar rumput? Apakah kalangan akar rumput ini yang memang paling berdosa? Apa bukannya para pemimpin yang tak mampu mencerdaskan bangsa, para pemimpin yang melakukan korupsi dan praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan, pelaku political and power game melalui tipu daya sampai money politics, manipulasi angka dalam pemilihan umum, dan tak henti-hentinya membohongi rakyat?”.

RAGA Mbah Maridjan sebagai jasad manusia tak bernyawa boleh terbaring di bawah tanah di kaki Gunung Merapi, setelah memasuki alam kematian, tetapi kisahnya masih ‘hidup’ di tengah masyarakat dalam berbagai konotasi dan pemaknaan. Seakan-akan sukmanya, lengkap dengan jalan pikiran dan keyakinannya, masih eksis di sekitar penduduk di wilayah selatan Merapi. Sampai-sampai ada yang (mungkin) berimajinasi dan mengaku telah melihat gumpalan awan di atas Merapi yang membentuk profil Mbah Maridjan, tak lama setelah sejumlah media menyajikan foto gumpalan awan (panas) Merapi berbentuk kepala berkuncir dan berhidung panjang, yang dianggap menyerupai Petruk, salah satu tokoh punakawan Pandawa Lima dari dunia pewayangan.

Tampilnya bayangan Petruk bagi sebagian masyarakat yang selama ini meniti kehidupan sosialnya yang menyatu dengan alam pikiran gaib, adalah isyarat bagi akan tibanya bencana-bencana yang besar. Dalam lakon ‘Petruk Dadi Raja’ negara menjadi kacau balau di bawah kepemimpinannya yang berpola badut penuh sikap aji mumpung. Tokoh Petruk, bersama ayahandanya Semar dan saudara-saudaranya, Bagong dan Gareng, tak ada dalam kisah asli mengenai Pandawa Lima yang berasal dari India yang masuk ke pulau Jawa sebagai karya sastra bersama masuknya kebudayaan Hindu. Tetapi dalam perjalanan waktu berabad-abad, kisah Pandawa Lima versi Jawa lengkap dengan tokoh Semar dan putera-puteranya, telah begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat Jawa, sehingga seakan-akan keberadaannya di suatu saat di masa lampau adalah nyata. Bahkan, eksistensinya, khususnya Semar dan keluarganya telah mendampingi dan menjaga rakyat pulau Jawa dalam suatu konsep pikiran gaib selama berabad-abad hingga kini. Suatu kebajikan yang dianggap justru tidak dilakukan dengan baik oleh para penguasa negeri dari waktu ke waktu.

LALU bagaimana dengan tampilnya bayangan profil Mbah Maridjan di awan Gunung Merapi?

Awan yang sehari-hari kita lihat menghiasi langit di atas kita, adalah kumpulan berjuta-juta bintik air dan atau serbuk es. Ketika matahari menyinari dan memanasi bumi, terjadi penguapan air terutama dari lautan dan danau. Uap itu membubung ke angkasa dan semakin tinggi menjadi bertambah dingin. Uap air itu bertumbukan dengan debu-debu yang melayang-layang di udara, dan ketika uap air itu makin dingin ia berubah menjadi butir-butir air yang masing-masing membawa butir debu. Kumpulan uap dan butir air inilah yang berkumpul membentuk awan. Pada saat butir-butir air ini semakin berat untuk bisa melayang, ia lalu jatuh ke bumi sebagai hujan di daerah tropis dan bisa sebagai butiran salju di daerah-daerah belahan utara dan selatan bumi. Seperti halnya awan biasa, awan panas yang keluar dari gunung berapi pada hakekatnya juga adalah terdiri dari uap-uap air. Uap ini bisa berasal dari hasil pemanasan air yang selama ribuan tahun meresap jauh ke kedalaman bumi sehingga bersuhu amat tinggi, bisa mencapai 500 derajat celcius. Bersama uap air ini keluar juga gas-gas lain yang bersuhu tinggi seperti hidrogen klorida, hidrogen, metan, karbon monooksida, karbon dioksida, argon dan sebagainya selain butiran pasir atau bebatuan kecil.

Awan, termasuk awan panas gunung berapi, memang ‘memiliki’ semacam seni dari berbagai kebetulan sehingga seakan-akan bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk. Setiap orang bisa melihat awan dalam berbagai wujud, yang penafsirannya juga bisa berbeda-beda sesuai persepsi sesaat, tatkala menatap awan. Apalagi, awan bisa berubah-ubah bentuk dalam berjalannya waktu. Ibarat melihat gambar roscha dalam tes psikologi, untuk satu gambar bisa terjadi penafsiran atau tangkapan kesan berbeda seseorang dengan orang lainnya. Ada yang mengatakan satu bentuk dalam gambar mirip anjing, sementara yang lainnya melihatnya bagaikan kuda atau manusia yang sedang merangkak. Begitu juga dalam ‘menyimpulkan’ kesan tatkala menatap satu gumpalan awan. Berbagai sugesti dari berbagai sumber dan sebab, pun bisa mempengaruhi tangkapan kesan. Gambar awan yang dikatakan mirip Petruk, bagi orang bukan Jawa yang tak ‘kenal’ Petruk, bisa terlihat seperti trenggiling. Apalagi bila itu menyangkut profil Mbah Maridjan yang tidak punya ciri sangat khas untuk mudah dibedakan dari tampilan manusia pada umumnya.

Meskipun mengaku tak menyaksikan sendiri awan yang dikatakan menggambarkan Mbah Maridjan, seorang politisi yang dikenal sebagai paranormal (atau paranormal yang juga dikenal sebagai politisi?), Permadi SH, telah menggunakan informasi itu sebagai data untuk mengulas Mbah Maridjan. Awan dengan profil Mbah Maridjan, ditafsirkan Permadi sebagai pertanda kehadiran (roh atau sukma) Mbah Maridjan di hadapan masyarakat, khususnya masyarakat penghuni kaki Merapi dan sekitarnya, untuk meminta maaf atas ketidakmampuannya memberikan penafsiran tepat tentang gejolak Merapi. Kenapa harus minta maaf? Karena Mbah Maridjan yang telah larut dalam kehidupan duniawi sebagai selebriti setelah menjadi bintang iklan (Kuku Bima EnerG), sudah tumpul dan tak mampu lagi menjaga dan memperingatkan masyarakat akan bahaya Merapi, sehingga terjadi korban jiwa sejumlah manusia.

Mungkin kita bisa saja menyesali fakta masih cukup kuatnya keyakinan masyarakat terhadap hal-hal irrasional di luar jalur positivisme, yang bila tak bisa dikelola dengan baik bisa mencipta ‘mitos-mitos’ baru yang menyesatkan. Tetapi penafsiran Permadi yang mengada-ada, di jalur pikiran yang tak kalah irrasionalnya, seperti yang diberitakan media internet, tak kalah besar juga aspek pembodohannya. Tak perlu menempatkan Mbah Maridjan yang hanyalah cermin dari masyarakat yang masih menyatukan kehidupan sosialnya dengan nilai-nilai gaib, sebagai penanggungjawab kesalahan. Kelalaian juga ada pada berbagai pihak lain, terutama dari mereka yang berada dalam barisan pengelolaan negara. Seperti dikatakan Niels Mulder, seorang romo yang lama bermukim di Yogyakarta, dimensi hidup pada masyarakat Jawa, hanya satu. Identitas individu hanya bersifat sosial, hakekat hidup diwujudkan oleh hubungan-hubungan sosial dan gaib. Garis pemisahan antara mahluk kasar dan mahluk halus tidak terang, dan kedua macam mahluk saling bercampuran tangan, merupakan keseluruhan. Di luar keseluruhan sosial dan gaib itu tak ada dimensi lain yang diakui sah. Apa yang telah dilakukan para penguasa selama ini untuk memperbaiki cara berpikir seperti itu?

KETIDAKTAHUAN lah yang seringkali membawa manusia kepada rasa takluk kepada apa yang mereka persepsi sebagai alam gaib. Gunung berapi adalah salah satu sumber fenomena alam yang bisa menimbulkan kegentaran dan sensasi gaib karena berbagai gejalanya yang terasa menakutkan. Selain menyebabkan gempa, gunung berapi yang sedang menuju proses meletus, sering memperdengarkan suara gemuruh bagai suara guruh bercampur berbagai suara ‘aneh’ lainnya. Gemuruh itu terjadi saat bergeraknya gas dan batuan yang mencair karena panas dan tekanan besar. Danau di gunung bisa tiba-tiba hilang airnya, atau sebaliknya tiba-tiba muncul mata air panas. Ketika Gunung Tambora di Sumbawa meletus di tahun 1815 gemuruhnya terdengar hingga sejauh 1500 kilometer, debunya menutupi Kalimantan yang jaraknya 1400 kilometer. Kapal-kapal tak bisa berlayar karena laut dipenuhi batu apung. Saat gunung berapi meletus petir bercabang bisa menyambar-nyambar di udara diiringi suara guruh, yang bisa ‘dianggap’ sebagai tanda kemurkaan penguasa jagat. Petir terjadi karena timbulnya listrik statis akibat gesekan benda-benda yang keluar karena tekanan dari celah-celah gunung api. Semburan dari kepundan gunung api yang lurus tinggi ke atas tampak merah bagai tongkat api karena sorotan lava yang berpijar di kawah gunung. Fenomena mengerikan yang ditampilkan gunung berapi saat bergelora seperti ini, akan menjadi sesuatu fenomena gaib karena ketidaktahuan. Diinterpretasi sebagai tanda kemarahan penguasa gaib. Kenapa marah? Manusia lalu mencoba mawas diri dan bertanya pada diri, mungkin kami telah berbuat kesalahan yang mengundang murka penguasa jagat?

Di Indonesia, fenomena gejolak alam yang berujung pada bencana, seringkali dihubung-hubungkan sebagai tanda peringatan Sang Maha Kuasa, kalau bukan malah sudah merupakan hukuman. Tetapi menjadi tanda tanya, kenapa yang menjadi korban senantiasa adalah rakyat dari kalangan akar rumput? Apakah kalangan akar rumput ini yang memang paling berdosa? Apa bukannya para pemimpin yang tak mampu mencerdaskan bangsa, para pemimpin yang melakukan korupsi dan praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan, melakukan kekerasan, pelaku political and power game melalui tipu daya sampai money politics, memanipulasi angka dalam pemilihan umum, dan tak henti-hentinya membohongi rakyat?  Pada sisi lain, tentu tak kalah absurd adalah pandangan yang mengaitkan bertubi-tubinya bencana yang menimpa Indonesia belakangan ini sebagai bagian dari proses ‘pembayaran’ tumbal manusia penguasa Indonesia kepada penguasa alam gaib yang telah membantu mencapai kekuasaan. Setidaknya dua tokoh kekuasaan mutakhir, Megawati Soekarnoputeri  dan Susilo Bambang Yudhoyono, telah terlanda oleh rumours politik seperti itu.

BAGAIMANA kalau kita kini bersama-sama mulai lebih bersungguh-sungguh mengganti persepsi gaib dengan pemahaman ilmu pengetahuan? Murid-murid sekolah, terutama yang berada di wilayah gunung berapi, selain ditransformasikan ilmu mengenai kemanfaatan gunung berapi, juga dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang cara bekerjanya gunung berapi dan berbagai fenomenanya termasuk aspek risikonya. Gunung Merapi misalnya bisa menjadi ruang kuliah alam bagi centre of excellence ilmu kegunungapian dari Universitas Gajah Mada. Persentuhan insan akademis dengan masyarakat sekitar akan sekaligus memicu pencerdasan masyarakat. Dengan mengetahui, mereka takkan terseret kepada jawaban-jawaban yang diambil dari khazanah ilmu gaib. Sementara itu mereka yang berumah di wilayah kepulauan dijadikan masyarakat yang sangat mengenal laut termasuk mengenai tsunami, selain dari pengalaman sehari-hari, juga pengenalan tambahan dengan informasi terbaru ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehari-harian mereka.

Pasfoto Sang Iblis

Sanento Juliman*

OMONGKOSONG saja, kata anda. Pasfoto Sang Iblis? Seperti apa rupa Iblis?  Kalau saya harus menceritakan rupa Iblis, maka pertama-tama akan saya katakan bahwa Iblis itu mirip dusta.

Kita sama-sama tahu, dusta itu selalu meminjam wajah. Dusta tidak bisa tampil dengan wajahnya sendiri. Sungguh sangat fatal apabila dusta memproklamirkan dirinya sebagai dusta, karena pada detik itu juga iapun matilah.

Seperti dusta, Iblis pun tidak mau dikenal. Selamanya Iblis jalan-jalan di dunia ini incognito. Ia berlagak sebagai  yang-bukan-dia, dengan kata lain, ia berlagak tidak ada. Dan di situlah kelihaian Iblis: kepandaiannya meyakinkan bahwa dia tidak ada.

AGAMA mengajarkan bahwa Iblis itu mahluk spiritual. Iblis masuk kategori spiritual oleh karena ia anti-spiritual: pekerjaannya ialah memberantakkan spiritualita manusia. Ia mempunyai pekerjaan demikian, karena ia tidak percaya kepada kemuliaan manusia, kepada martabat manusia. Ia menolak menghormati Adam. Betapa mungkin menghormati Adam, jika Adam hanya dibuat dari lempung? Di sinilah letaknya hakekat Iblis yang terpenting: ia adalah Sang Anti-Manusia. Iblis melihat Manusia sebagai yang tidak patut dihormati. Oleh karena ia bersikap demikian, ia telah menentang Tuhan. Sebelum manusia tercipta, Iblis baik-baik saja: ia adalah malaikat yang tidak berbeda dari malaikat-malaikat lainnya.

SEBAGAI mahluk spiritual, Iblis beroperasi dalam dunia subjektif, yaitu di dalam kedalaman subjek manusia. Di situ ia mengadakan kontrak dengan manusia dan mencantumkan tandatangannya. Tetapi kontrak inipun harus merupakan kontrak rahasia, artinya, manusia sendiri harus tidak mengetahui hakekat sesungguhnya dari kontrak tersebut. Manusia harus dibikin mabuk, atau dihipnotis, atau diberi ilusi-ilusi. Iblis memasang tirai di daam diri manusia, sehingga manusia tidak lagi dapat melihat dimensi ke dalam. Manusia harus melihat tindakan-tindakannya terlepas dari dirinya, terpapar di luar, erat bersatu dengan mata rantai sebab-musabab objektif di dunia luar. Sangkut-paut dengan dunia dalam, akar subjektif dari tindakan-tindakan, tidak lagi nampak.

Demikianlah saya menolak hak cipta dari tindakan-tindakan saya, kejahatan-kejahatan saya –karena semua itu hanya konsekuensi logis dari rangkaian sebab-musabab objektif di dunia luar. Saya tidak tersangkut, saya murni, saya innocence, saya tidak ternoda. Maka saya katakan: “Saya merampok, saya menodong, saya mencuri, karena paksaan kondisi ekonomi, saya tidak bisa berbuat lain”. Atau saya katakan: “Saya melacur karena kebutuhan biologis harus dipuaskan, jika saya mau sehat-sehat saja. Pelacuran itu human”. Atau: “Tahap perjuangan dan perkembangan situasi politik sekarang ini mengharuskan kita sedikit berdusta, sedikit licik, sedikit berkata-kata kotor, jika kita mau memenangkan perjuangan”.

Dalam penglihatan begini, Iblis tidak ada. Dosa pun tidak ada. Dan jika dosa tidak ada, kebaikan moral pun tidak ada. Kebaikan moral lenyap, yang ada hanya kebaikan-kebaikan lainnya yang bukan moral. “Baik” itu sama dengan pemenuhan kebutuhan vital, dengan sukses keuangan, dengan nilai pragmatis, dengan kemenangan perjuangan politik, dan sebagainya, dan sebagainya.

Iblis paling-paling tinggal sebuah nama yang antik dan hampa. Tentu masih ada faedahnya juga, karena saya dapat menggunakan namanya, untuk mencap musuh saya. Dengan begitu saya ‘mengobjektifkan’ Iblis. Sekarang ia muncul secara objektif dan konkret di dunia luar. Iblis berada di luar sana, tidak di dalam sini.

Tetapi kita lupa bahwa tidak ada tembok yang cukup tebal yang tidak dapat diterobos Iblis. Iblis mondar-mandir antara penjahat-penjahat dan pahlawan-pahlawan. Iblis merangkul orang-orang berdosa, tetapi juga mengetuk pintu kamar orang-orang suci. Tidak ada orang suci, betapa pun sucinya, yang tidak lagi berurusan dengan Iblis. Orang-orang suci masih selalu menghadapi godaan-godaannya dan selalu berjuang menolaknya. Kesucian bukanlah keadaan. Kesucian adalah tindakan terus menerus.

Jadi Iblis ada di sana, tetapi juga di sini –Iblis ada di mana-mana. Ia beroperasi di hati musuh saya, tetapi juga beroperasi di hati saya sendiri. Yang paling baik di dalam dirimu tidaklah lebih baik dari yang paling baik di dalam orang-orang lain, yang paling jahat di dalam diri orang lain tidak bisa lebih jahat dari yang paling jahat di dalam dirimu, kata Khalil Gibran. Melihat kesamaan-kesamaan kualitatif antara saya dan musuh saya, sungguh sulit. Diperlukan sense of irony yang cukup tajam. Itulah sebabnya kerapkali tanpa malu-malu saya meneriak-neriakkan demokrasi, padahal sehari-hari bertindak tidak demokratis. Tanpa rasa bersalah saya mempropagandakan rasio, rasio, rasio, tapi sehari-harinya bekerja irrasional. Dalam hal ini seakan-akan terjadi kontrak rahasia antara saya dan musuh saya untuk mempraktekkan azas-azas yang sama, walaupun dengan ekspresi verbal yang berbeda, dan tentu saja, dengan perbedaan kuantitatif yang cukup menyolok sehingga saya merasa berhak mencuci diri.

Sense of irony setidak-tidaknya membantu mencegah pelipatgandaan kesamaan kualitatif tersebut. Hanya mereka yang melihat dan menerima ironi ini akan dapat menyapu kesamaan-kesamaan ini, cepat maupun lambat.

Ada semacam ‘prinsip kabinalisme’. Dengan prinsip ini orang mengalahkan musuh kemudian mengambilalih kekuatannya, semangatnya, bahkan kekejamannya. Orang primitif melaksanakan prinsip ini dengan jalan meminum darah musuh yang dibunuhnya. Tujuannya ialah: mengambilalih kualita atau esensi si musuh. Manakala prinsip kanibalisme menang, maka musuh dikalahkan secara aktual tetapi musuh menang secara esensial, secara prinsipil. Saya hancurkan musuh, tetapi secara esensial saya menjelma menjadi musuh itu.

Sense of irony setidak-tidaknya membuat orang berendah hati dan berhati-hati. Ia membuat orang awas terhadap tingkah Sang Iblis.

RASA-RASANYA, pada saat saya memperhitungkan Iblis, pada saat saya menyiasatinya, Iblis sedang mengerdip-ngerdipkan matanya. Pada saat saya mengepalkan tinju dan memutuskan untuk melawannya, Iblis tersenyum. Seperti apakah senyuman Iblis? Dapat dilihat pada potretnya. Sungguh pahit dan mengejutkan: kadang-kadang saya lihat potretnya tercantum pada kartu penduduk saya.

*Sanento Juliman, budayawan, mengajar di Seni Rupa ITB. Kini sudah almarhum. Semasa mahasiswa menjadi redaktur budaya di Mingguan Mahasiswa Indonesia. Artikel ini dimuat di media generasi muda itu, 10 September 1967. Tulisan ini menarik, karena terasa tetap relevan dan aktual, seakan-akan baru saja ditulis pagi ini.

Bahasa Sang Tiran

Beberapa waktu terakhir, meski menyatakan diri demokratis, ada begitu banyak pelaku politik dan kekuasaan maupun tokoh masyarakat, dalam berbagai interaksi politik dan sosial justru kerap menggunakan kata-kata mutlak, mirip bahasa tiran. Mereka yang baru saja memenangkan posisi kepemimpinan negara, misalnya, tak henti-hentinya mengagul-agulkan keunggulan suara lebih dari 60 persen yang mereka peroleh dalam pemilihan presiden. Bersamaan dengan itu ‘bahasa’ otot dan massa juga menjadi alat ekspresi sehari-hari. Apakah bahasa tiran itu? Tulisan Sanento Juliman* Maret 1967, berikut ini, mungkin bisa dijadikan referensi.

BAHASA Sang Tiran bukan saja bahasa yang digunakan oleh seorang tiran. Ia adalah juga bahasa  yang melahirkan seorang tiran. Tiran adalah sejenis mahluk yang jarang terdapat karena tidak tahan sembarang iklim. Dibutuhkan iklim yang khusus agar seorang tiran bisa hidup. Bahasa adalah salah satu faktor iklim ini: bahasa bersangkut paut dengan sikap mental, dengan cara orang berhubungan dengan orang lain, dengan cara berpikir, cara manusia melihat dan menghadapi kenyataan. Pendeknya, bahasa bersangkut paut dengan iklim kehidupan.

Sang Tiran datang di tengah kekalutan bahasa. Tetapi bahasa yang kalut bukanlah bahasa. Paling-paling ia hanya sebuah sistem omong kosong – yaitu seonggok omong kosong yang kelihatannya saja sistimatis. Sang Tiran datang karena kekalutan ini, dan ia mempertahankan kekalutan ini di dalam ia mempertahankan diri. Ia berusaha menjadi penguasa tunggal, berusaha memonopoli kekalutan. Dengan berbuat begitu ia telah berhasil memonopoli omong kosong sambil berlagak seakan-akan ia memonopoli kebenaran.

Teka-teki, menyembunyikan diri

Bahasa yang sewajarnya adalah alat manusia untuk menyatakan dirinya. Tetapi bahasa Sang Tiran adalah alat manusia untuk menyembunyikan dirinya. Sekian juta orang berteriak bahwa mereka menjunjung Pancasila, padahal kitab suci mereka adalah Manifesto Komunis dan Das Kapital, orang beramai-ramai setuju Nasakom padahal mereka anti komunis. Orang mengatakan ya padahal maksudnya tidak, orang mengatakan biru tetapi maksudnya merah. Orang tidak lurus mengatakan kebenaran, melainkan berbelit-belit, melingkar-lingkar, menghasilkan barang yang aneh: persenyawaan kebenaran dan dusta. Bahasa menjadi kaca kelam. Bahasa berhenti menjadi alat komunikasi dan berubah menjadi teka-teki.

Dengan bangkrutnya bahasa menjadi teka-teki hilanglah perhubungan yang wajar antara orang dengan orang, golongan dengan golongan. Yang ada hanyalah kecurigaan, prasangka, kebencian, ketakutan dan sebagainya.

Dalam keadaan seperti ini orang tidak melakukan dialog. Mereka hanya melakukan monolog. Dua pihak yang kelihatannya ramai berdebat sesungguhnya tidak berdebat. Mereka hanya saling memaki. Masing-masing pihak tidak mendengarkan pihak lawannya. Masing-masing hanya mendengar suaranya sendiri.

Demikianlah setiap orang, setiap golongan, hanya meniru Sang Tiran. Karena, seorang tiran pun tidak berdialog. Ia melakukan monolog selama hidupnya.

Kata-kata dijauhkan dari maknanya. Salah satu contoh adalah hasil kebiasaan dari masa lalu, menyangkut sebutan “super semar”. Kata-kata “surat perintah sebelas maret” dengan cepat dan jelas memperlihatkan maknanya, tak ada jarak yang harus ditempuh oleh pikiran saya antara kata-kata dan makna tersebut. Dengan “super semar” makna tersebut bukan saja dijauhkan tetapi juga dikaburkan, karena “super” dan “semar” adalah kata-kata yang punya maknanya sendiri yang tidak ada hubungannya dengan “surat perintah sebelas maret”. Dengan “super semar” terjadi pemboncengan makna, pembauran makna. Menjauhkan kata-kata dari maknanya, mengaburkan makna kata-kata hanya berarti satu hal: memperdungu manusia.

Kata-kata tidak saja dijauhkan dari maknanya. Kata-kata juga dijauhkan dari kenyataan –karena kata-kata berhubungan dengan kenyataan melalui maknanya. Dengan kekalutan yang terjadi antara kata, makna dan kenyataan, dengan menjauhnya makna ke dalam kekaburan dan teka-teki, dengan surutnya kenyataan ke latar belakang yang gelap, maka kata-kata tampil ke depan berupa kehampaan yang menyilaukan. Tidak menjumpai kenyataan di belakang.

Kata-kata, lepas dari hubungannya dengan kenyataan, menggelembung menjadi malaikat atau setan, megah atau menakutkan, dan manusia bersorak, menyumpah, bangga, marah, takut, antusias, benci, dendam, hanya oleh kata-kata. Orang, tidak sadar mereka cuma berkata-kata, telah jadi budak kata-kata.

Antara manusia dan kenyataan terbentang tirai kata. Manusia memahami kenyataan melalui kata-kata. Bahasa adalah bagaikan jendela pada dinding gelap –dan melalui jendela itu manusia meninjau dan memahami kenyataan.

Demokrasi menghendaki orang sadar dan kritis akan adanya jendela itu: itulah sebabnya dicoba membersihkan jendela tersebut menjadi sejernih mungkin. Tetapi bahasa tiran bukanlah jendela yang jernih. Pada jendela itu terpasang kotak-kotak, cetakan-cetakan yang kaku, sehingga kenyataan pun nampak sebagai kotak-kotak cetakan itu. Orang melihat kenyataan melalui kotak-kotak cetakan itu tanpa menyadari apakah cetakan-cetakan itu sesungguhnya sesuai dengan kenyataan. Orang menganggap sebaliknya: cetakan-cetakan itu adalah kenyataan.

Istilah-istilah masa lampau, seperti “progresif-revolusioner”, “kontra-revolusioner”, “reaksioner”, “setan desa”, “komunisto-phobia”, “Islamo-phobia”, “ABRI-phobia”, “Nasakomis-munafik”, “kanan”, “kiri”, “Pancasilais sejati” dan sebagainya dan sebagainya adalah cetakan-cetakan yang semacam itu (Catatan editor: Belakangan, muncul istilah-istilah semacam “anti pembangunan”, “tidak reformis” dan sebagainya). Cetakan seperti ini bukanlah cetakan-cetakan yang netral, semuanya mempunyai daya gugah emosi yang hebat-hebat. Orang memberikan respon terhadap cetakan-cetakan ini dengan antusiasme atau kebencian, sorak sorai atau kutukan yang serba gemuruh.

Sekali diciptakan cetakan-cetakan di dalam bahasa, orang pun segera melihat orang-orang lain terbagi-bagi di dalam cetakan-cetakan. Respon seseorang terhadap orang lain bukan lagi respon terhadap pribadi, melainkan respon terhadap cetakan. Pendatang yang baru muncul di tengah gelanggang tidak punya hak memiliki kepribadiannya yang unik, pikiran-pikirannya yang khas, sikapnya yang tersendiri, di luar segala cetakan. Tidak ada ruang di antara cetakan-cetakan di mana seseorang bisa berdiri. Nuansa-nuansa yang halus, kompleksitas dan kerumitan tidaklah dikenal. Orang hanya masuk ke dalam cetakan yang satu ataupun yang lainnya.

Seseorang masuk ke dalam semua cetakan bukan karena kenyataannya demikian, melainkan karena ia telah ditinjau melalui cetakan-cetakan.

Cetakan-cetakan ini merupakan alat yang seakan-akan disiapkan bagi Sang Tiran. Dengan menggenggam cetakan-cetakan ini, Sang Tiran menggenggam berjuta-juta orang lain.

Slogan senantiasa mempunyai kegunaannya. Bahkan demokrasi memerlukan slogan. Tetapi selagi dalam demokrasi, seseorang tetap dipandang sebagai warganegara yang terhormat, sekalipun berbicara dengan bahasa yang sederhana, tenang dan jernih tanpa slogan. Dalam alam totaliter setiap orang dipaksa untuk terus menerus memamerkan slogan. Orang takut masuk ke dalam cetakan-cetakan “kontra revolusi”, “setan ini” atau “setan itu”, “kaki tangan subversi” dan sebagainya, karena mereka takut menjadi anak jadah tanah air. Itulah sebabnya mereka terus-menerus meraung, bahkan di tempat-tempat yang tidak seharusnya meraung. Slogan menggantikan pemikiran yang jernih, orang tidak lagi berpikir dan hanya mengutip.

Sang Tiran, dramatist personae

Penumpulan pikiran rakyat adalah jalan lapang bagi kedatangan Sang Tiran. Apakah pikiran yang waras dan tajam, kalau bukan senjata yang halus yang selalu merintangi dan mencemoohkan daya upaya tirani?

Sang Tiran datang dikawal tirani kata-kata: terbelenggu oleh kata-kata, manusia tak sanggup lagi melihat keadaan yang sesungguhnya. Bagaikan kerasukan, manusia bersorak-sorai dan mengutuk, memuji dan menyumpah selagi perut mereka kosong, bahkan mereka bersedia menjadi umpan peluru hanya karena mendengar sabda Sang Tiran.

Sang Tiran muncul sebagai dramatist personae dalam sebuah cerita drama. Dramatisasi pemimpin adalah proses yang agak panjang untuk diceritakan. Pendeknya, Sang Tiran adalah tokoh yang mempesona, yang menggunakan perasaan-perasaan yang hebat, ia sungguh tokoh dramatis.

Sang Tiran tidak cukup mengenakan pici dan pakaian kebesaran yang unik dan tongkat komando: Berjuta-juta orang, yang merasa lemah, kecil dan tak berdaya sebagai individu, yang bingung dan cemas oleh kehidupan yang sulit dan ruwet, ingin memperoleh kebesaran, kekuatan, penjelasan, keamanan pada orang yang satu ini. Berjuta-juta individu yang merasa dirinya kerdil dan lemah, lari dari kemerdekaan dan tanggungjawabnya sebagai individu dan beramai-ramai membonceng kebesaran dan kekuatan orang yang satu ini. Itulah sebabnya mereka berkepentingan untuk membuat orang yang satu ini menjadi lebih besar –mahabesar melebihi proporsi manusia. Dan berjuta-juta orang ini, ditenung oleh sihir kata-kata, segera beramai-ramai menyelubungi Sang Tiran dengan kata-kata –agar tak nampak ukuran kemanusiaannya dan agar Sang Tiran tampil dalam kebesaran seorang dewa.

Gelar adalah jubah tebal yang menyebabkan orang yang memakainya nampak lebih besar dari yang sebenarnya. Lebih hebat dan lebih banyak gelar yang dipakai, semakin besarlah kelihatannya si pemakai –makin tumbuh mencapai raksasa, ukuran super human. Gelar tidak menunjukkan keadaan si pemakai sebagaimana adanya, melainkan menunjukkan apa yang harus dipercayai tentang si pemakai, bagaimana orang harus berpikir, merasa dan bersikap terhadap si pemakai.

Sang Tiran, dalam jubah gelarnya, tampil di depan rakyat tidak sebagai manusia biasa: ia adalah sebuah lambang. Dan sebuah lambang, karena ia lambang, tidak dapat dikotori oleh kotoran duniawi. Padahal, apalah artinya debu dan bercak-bercak kotoran yang melekat pada sehelai bendera, selama ia masih berkibar sebagai lambang? Kebesarannya, kesuciannya tidaklah terganggu karenanya. Demikianlah kekotoran Sang Tiran tidak ada yang berani menyebutnya, karena sebuah lambang tidak dapat kotor.

Apakah anda seorang wartawan? Seorang penulis? Atau anggota MPR maupun DPR? Seorang kepala daerah, pemimpin organisasi, pemimpin partai politik? Jika anda seorang demokrat yang merasa bertanggungjawab atas jatuh bangunnya demokrasi, anda tidak akan menggunakan bahasa Sang Tiran. Bahasa demokrasi adalah bahasanya orang yang tulus, yang sederhana, yang mengakui kenyataan, yang berusaha berkata sejelas-jelasnya, yang berani mengatakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Bahasa demokrasi menyingkiri sejauh mungkin sloganisme, kata-kata cetakan, gelar-gelar muluk, singkatan-singkatan yang menenggelamkan arti. Bahasa demokrasi adalah bahasa yang berusaha sejernih mungkin, setransparan mungkin: ia tidak menyembunyikan makna, kebenaran dan kenyataan, melainkan berusaha memperlihatkannya sejelas mungkin. Bahasa demokrasi adalah bahasanya dua orang yang bercakap-cakap, yang saling menghormati, saling mendengarkan, yang sama-sama menghormati kebenaran dan kenyataan. Bahasa demokrasi adalah bahasanya orang yang bermoral, berperasaan dan berpikiran waras.

*Sanento Juliman. Budayawan. Pernah menjadi redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia pada masa awal. Lulusan Seni Rupa ITB dan kemudian menjadi pengajar di almamaternya selama beberapa tahun, sebelum almarhum. Tulisan ini dimuat Mingguan Mahasiswa Indonesia, Maret 1967, dan buku ‘Simtom Politik 1965’, Kata Hasta, 2007

“Di Mana Tuhan?”

DALAM KEKERASAN, TUHAN IKUT MENDERITA DALAM CIPTAANNYA

M.A.W. Brouwer*

ELI WIESER tertangkap dan oleh kaum Nazi (kaki tangan Adolf Hitler) dibawa ke Auschwitz. Tujuh juta orang senasib dibunuh, disiksa, disembelih. Eli Wieser sanggup  mengatasi siksaan dan menuliskan pengalamannya dalam buku Night dimana bayangan ingatan dikenang kembali supaya jiwa Eli dibersihkan dari hantu-hantu itu.

Pagi-pagi benar penghuni kamp tahanan politik disuruh berkumpul di lapangan. Tujuh ratus orang berderet-deret seperti militer yang berbaris, tetapi compang camping. Tiga tiang gantungan dipasang di muka deret-deretan tahanan. Komandan kamp dengan singkat mengatakan bahwa tiga orang akan digantung sebagai nasihat dan peringatan. Yang digantung, dua laki-laki tua dan seorang pemuda yang berusia duapuluh tahun. Yang tua lekas mati, tapi sakratul maut sang pemuda, seorang mahasiswa, berlangsung setengah jam. Setelah sepuluh menit lamanya anak muda itu berjuang melawan maut, sehingga amat mengerikan dan memilukan, sekonyong-konyong satu dari ratusan tahanan tak bisa menahan diri lagi dan berteriak “Di mana Tuhan?!”. Semua orang diam dalam kejut dan mengharap dibunuh sekaligus dengan mitralyur. Dalam keadaan sepi terdengar jawaban, “Tuhan kelihatan di situ, tergantung di tiang gantungan”.

Dorothee Solle yang membicarakan laporan Eli Wieser, tidak tahu dengan persis, bagaimana kedua kalimat itu harus ditafsirkan. Mungkin ucapan itu harus dianggap sebagai teriakan orang yang tak tahan lagi dan menyatakan suatu perasaan yang setengah sadar dari orang yang dibanjiri penderitaan sesama dan tidak tahu di mana keadilan harus dicari.

Di mana setan disembunyikan

Dalam Observer bulan Juli 1973 terdapat satu foto dari anggota tentara Portugis yang asyik memenggal leher seorang negro dari Angola. Dalam laporan tentang kekejaman tentara itu di Mozambique, dikisahkan bahwa anak-anak dan wanita yang akan ditembak dalam jumlah puluhan sekaligus, harus lebih dulu bertepuk tangan dan menyanyi, “Kita lepas dan pindah ke sorga”. Dan keanehannya, ialah bahwa perintah itu dituruti oleh para calon korban. “Di mana Tuhan?”.  Kita tanyakan sekali lagi, waktu melihat foto dan membaca laporan itu. Apakah perlu mundur ke zaman Nazi atau pindah ke Mozambique-Angola untuk mulai bertanya tentang alibi Tuhan? Tak usah. Koran-koran Bandung melaporkan suatu berita dari rumah tahanan politik Kebon Waru, di mana seorang tahanan yang merasa tertekan sehingga menjadi ‘gila’, membabi buta dan membunuh penjaga. Meskipun semua penghuni rumah tahanan mencoba mempertahankan tata tertib, mereka ditindak dengan segera. Dipisahkan dari kunjungan keluarga, dikurung dalam blok-blok. Dapat diharapkan bahwa akan lebih banyak lagi yang menjadi ‘gila’ dan circulus vitiosus akan berputar terus.

Mestinya ada pemecahan lain. Jangan takut bahwa satu orang di antara penduduk Bandung akan bertanya, di mana Tuhan. Kalau setan disembunyikan, memang identitas Tuhan tidak menjadi soal. Dan itu yang terjadi di negeri kita. Disembunyikan di Bandung, disembunyikan di Pulau Buru, di Pekalongan, di Cimahi, di Jakarta.

Setiap orang bisa mengerti bahwa bekas anggota PKI bagi pemerintah menjadi suatu soal keamanan (security problem). Jelas penyelesaian soal itu, suatu tugas raksasa. Jelas juga bahwa kritik tanpa mengusulkan penyelesaian adalah sangat kurang sportif. Tapi hukum ialah hukum, hak ialah hak. Setiap tindakan  yang melukai hak-hak azasi manusia menjadi urusan setiap umat manusia. Kalau Arief Budiman dalam surat pada Tempo meminjam ungkapan orang Perancis l’Indonesie c’est un prisonen gigantesque, Indonesia adalah penjara raksasa, dia tak dapat dianggap orang subversif. Dia nyata berusaha menjaga keutuhan hukum dan hal itu adalah usaha yang baik dan mulia. Kalau Sean McBride mau mengajukan soal tahanan politik kepada Security Council hal itu bukan campur tangan urusan dalam negeri, karena res tua agitur, luka hukum ialah soal kita semua.

Heran sekali bahwa begitu banyak tinta dibuang untuk soal seperti keluarga berencana, PON atau Proyek Mini, sedang nasib ratusan ribu warga negara Indonesia dibiarkan. Bahaya dari setiap negara yang menumpas komunisme ialah kemungkinan terjun dalam fasisme yang tidak tahu hukum. Yang harus dipikirkan ialah kemungkinan bahwa tuduhan subversi komunis dipakai untuk menangkap, menahan dan menyiksa orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PKI itu. Mereka yang pernah berafiliasi dengan gololongan politik tersebut sekalipun, berhak diperlakukan berdasar hukum dan hak azasi manusia. Kalau tidak, kita pun melakukan dosa yang sama yang menjadi tuduhan bagi PKI, yaitu totaliterisme dan pengerasan hukum. Belum ada satu orang di Bandung yang akan bertanya ‘Dimana Tuhan?’. Selama setan disembunyikan di belakang tembok-tembok kamp tahanan politik, hal itu tidak akan menjadi soal. Tetapi orang yang nanti harus menulis halaman-halaman sejarah dari zaman kita, tak dapat menghindarkan  bahwa pada akhirnya juga akan mengeluarkan rangka ini dari lemari.

Penderitaan dan kesengsaraan

Lebih hangat daripada soal hukum, adalah soal penderitaan dan kesengsaraan. Bagaimana kita dapat memberikan makna pada kesengsaraan massal yang terdapat di dunia sekarang? Pada Abad Pertengahan di Eropa, Amerika dan Asia, renungan tentang penderitaan terutama ditimbulkan oleh kenyataan dari perang, penyakit dan kelaparan. Di hampir seluruh bagian dunia yang berkebudayaan, kesengsaraan itu dihilangkan. Tetapi, justru karena itu, mata kita terbuka terhadap wabah modern yang melanda dunia, yaitu kesengsaraan dari mereka yang berada di Rusia, RRC, Vietnam, Brazilia, Angola Mozambique dan Indonesia, yang disiksa karena terkait dengan keyakinan politik. Lubang harimau di Vietnam, pembusukan massal di Angola, pulau pengasingan tahanan politik di negeri kita, siksaan terhadap mahasiswa di Brazilia dan Turki, rumah-rumah ‘psikiatri’ di Rusia, kamp-kamp kerja paksa di RRC, kesemuanya mewakili neraka di dunia dan memaksa kita bertanya bagaimana makna dari siksaan, penderitaan dan penyembelihan ini?

Dorothee Solle dalam Merkur (Stuttgart, 1973) mencoba memberi suatu jawaban dan mengambil pertanyaan “Di mana Tuhan?” sebagai titik tolak. Dorothee Solle memberi dua tafsiran. Satu dari kebudayaan agama Nabi Musa, satu lagi sesuai dengan ideologi kebudayaan Nabi Isa. Dalam agama Nabi Musa, ada ide yang diberikan nama shekinah, yaitu keyakinan bahwa Tuhan menghidupkan bangsa dan alam. Setelah Adam dan Hawa berbuat dosa, Tuhan tidak membiarkan begitu saja bangsa dan alam  yang membutuhkan pertolongan, melainkan turun ke dalam alam untuk mengalami bersama umatNya pembuangan, menderita bersama yang sedih dan berada di antara derita siksaan pada umat (Martin Buber Werke III, halaman 749). Dalam keadaan exilium atau pembuangan itu, Tuhan berada bersama umatNya dalam penjara, kamp, sel dan semua tempat di mana orang disiksa. Bangsa yang mengembara yang tersebar dan tersesat mendiami alam seperti Tuhan supaya bangsa dalam Tuhan dan bersama Tuhan, dibebaskan. Nicht zum schein ist Gott in seiner Welteinwohnung ins Exil gegangen, nicht zum Schein erleidet Er in Seiner Einwohnung das Schicksal seiner Welt mit. Begitulah menurut Dorothee Solle, dapat dikatakan bahwa dalam corak shekinah, Tuhan di Auschwitz disiksa bersama tiga orang yang dibunuh, dan menunggu dasz von der Welt aus die anfangende Bewegung zur Er losung geschehe.

Interpretasi yang kedua dicari Dorothe Solle dalam ideologi Nabi Isa, dan dapat dikatakan bahwa Nabi Isa sendiri menderita dalam badan pemuda itu. Dalam tafsiran ini orang bisa bertanya bagaimana makna tafsiran yang membandingkan Nabi Isa dengan beribu-ribu penderita dari Auschwitz itu. Dua hal yang tak dapat diperbandingkan, disamakan, diperbedakan dan diperbandingkan. Pembunuhan Nabi Isa oleh orang Romawi dan Yahudi diperbandingkan dengan pembunuhan orang di Auschwitz oleh kaum Nazi, sehingga intisari dari yang satu diterangi oleh yang lain.

Dalam peristiwa Nabi Isa, jumlah korban adalah satu, dibandingkan dengan tujuh juta yang tercatat dalam pembasmian di Auschwitz. Yang dipentingkan dalam peristiwa Nabi Isa, bukan caranya manusia disiksa, melainkan makna dari siksaan yang menyangkut penderitaan seluruh umat manusia, sementara penyiksaan manusia itu sendiri dilakukan tanpa makna dan tanpa arti bagi para pelakunya. Namun menjadi jelas bahwa manusia dalam siksaan bisa berubah. Tatkala disiksa, Nabi Isa mulai memohon agar siksaan dihentikan, namun hingga pada saat akhir isi piala penderitaan itu direguk sampai tetes penghabisan. Jalan Gethsemane-Golgotha ialah jalan meninggalkan narcisisme dari apathia dan cinta bagi diri sendiri. Dalam sinar pengertian itu, jawaban saksi di Auschwitz “Tuhan kelihatan di situ, tergantung di tiang gantungan”, menjadi jelas. Bukan kemasyhuran, kemuliaan dan ke-Allah-an apatis seperti yang dilihat sekarang, melainkan ke-Allah-an yang menderita bersama dan di dalam ciptaannya. Eli eli lama sabactani, demikian dikatakan Isa sewaktu akan meninggal. Itu bukan suara seorang anak, melainkan suara orang yang menjadi dewasa, dan kedewasaan itu menjadi dasar cinta Illahi. Dengan pantas sakratul maut disebut agonia, artinya perlombaan dimana sang pemenang mendapat kedewasaannya.

Bila laporan Eli Wieser dan riwayat kesengsaraan di Auschwitz serta kesengsaraan Nabi Isa diperbandingkan, kita melihat yang hanya satu dalam riwayat sengsara Isa, menjadi tiga suara dalam laporan Wieser. Orang yang mewakili ‘dalang’ dalam peristiwa Isa berteriak seperti Nabi Isa, pemuda di tiang gantungan Auschwitz meninggal seperti Nabi Isa, dan yang mewakili ‘dalang’ mendengar suara yang menjawab pertanyaan Di mana Tuhan, “….kelihatan di situ, tergantung di tiang gantungan”. Tuhan berada dalam diri pemuda yang menderita. Kesatuan dalam riwayat Isa, pecah dalam laporan Eli Wieser: tidak ada komunikasi. Yang bertanya tak mendapat jawaban, yang meninggal tak mendapat khabar, dan ‘dalang’ dengan suaranya tetap sendirian. Nabi Isa ialah pertanyaan, korban dan sekaligus jawaban. Tetapi di Auschwitz, pertanyaan tak dijawab.

Atas dasar analisa tersebut, Dorothee Solle menarik kesimpulan bahwa riwayat Eli Wieser mendapat dua tafsiran. Tuhan bukan peninjau yang tak ambil pusing atau acuh tak acuh. Tuhan bersama dengan mereka yang menderita, disiksa bersama yang disiksa. Itu yang pertama. Kedua, ada penjelasan tentang pemuda di tiang gantungan itu, karena tanpa keterangan itu, riwayatnya tak mendapat tafsiran yang benar, dan jawaban yang pertama hilang artinya. Tetapi, bagaimana bisa terjadi bahwa penjelasan tentang pemuda di tiang gantungan itu diberikan tanpa sinisme? Waktu seorang wartawan Belanda mengunjungi penjara Ankara Turki dan bertemu dua mahasiswa yang hari berikutnya akan digantung dalam hukuman mati, sang wartawan merasa bahwa setiap perkataan yang dimaksudkan untuk menghibur memang sia-sia belaka.

Batas manusia yang terakhir

Jika dikatakan bahwa anak itu akan masuk surga atau mendapat tempat yang baik di akhirat, kita terjun dalam tradisi yang berbau religius namun sebenarnya tak lain daripada apathia atau kemalasan rohani, kata Dorothee Solle. Dalam agama sesungguhnya kita harus belajar berdiri sendiri, bercakap dan berpikir sendiri. Maka, keterangan yang lebih cocok adalah anjuran mendengar dalam jawaban Tuhan bersama yang dibunuh dan kesaksian dari tentara Romawi yang menyatakan keyakinnya bahwa dalam Isa sewaktu disalibkan, dia menemui Tuhan. Itulah bahasa yang membebaskan manusia dan yang menghilangkan apathia. Ikut dalam keyakinan itu berarti meninggalkan narcisisme sebagai keyakinan murah bahwa manusia bisa menghindarkan semua penderitaan penghinaan, kesengsaraan maut dan luka-luka. Enersi yang diikat narcisisme, perasaan yang terikat apathia, menjadi bebas dan manusia bisa mulai menciptakan dunia yang sedikit lebih baik dari yang sezaman, misalnya dunia tanpa kamp konsentrasi, tanpa kamar-kamar interogasi, tanpa ‘binatang-binatang’ berseragam yang di Angola Mozambique, Rusia, RRC dan mungkin di Indonesia, yang menyiksa mahluk Tuhan. Itu semua menjadi mungkin hanya kalau kita yakin bahwa Tuhan ikut menderita dalam ciptaannya.

Apakah jawaban dari Dorothee Solle juga dapat menghibur berjuta-juta orang yang menjadi tahanan politik di dunia ini? Nyata bahwa kebanyakan dari mereka termasuk dalam kategori ideologi materialisme dialektis. Suatu ideologi yang menerangkan segala hal, kecuali kesengsaraan dan maut. Tak heran bahwa di antara mereka juga terjadi minat yang baru untuk situasi-situasi ekstrim di mana manusia menemui batas-batasnya. Zaman perjuangan penderitaan diterima dan dimaknakan berhubung dengan cita keadilan sosial. Dan orang heran, misalnya, waktu membaca Out of the Night dan mengetahui betapa banyak kesengsaraan dapat diterima orang yang punya cita-cita. Sekarang batas manusia menjadi terang dalam kesengsaraan manusia yang menjadi tahanan politik dan tidak begitu gampang dimaknakan dengan struggle for the Cause. Mungkin juga, bagi mereka Tuhan muncul sebagai batas manusia yang terakhir?

*MAW Brouwer seorang rohaniwan Katolik, lulusan seminari Weert, Belanda. Psikolog lulusan UI. Mengajar Filsafat di Psikologi Universitas Padjadjaran sejak 1961. Juga mengajar di berbagai perguruan tinggi lainnya di Bandung. Meninggal 19 Agustus 1991 di Belanda. Tulisan ini dimuat Mingguan Mahasiswa Indonesia 12 Agustus 1973. Juga dalam buku ‘Simtom Politik 1965’, Kata Hasta Pustaka, 2007, editor OC Kaligis-Rum Aly.

Kisah ‘Tumbal Darah’ Lintas Waktu dalam Sejarah Nusantara (4)

“Konsep raja sebagai wakil Tuhan di dunia ini sendiri sesungguhnya mengingkari hakikat ajaran Islam bahwa semua umat manusia memiliki persamaan di hadapan dan di mata Allah, serta terbedakan di hari akhir semata karena amal ibadahnya belaka”.

Kisah keenam. Surut ke pertengahan abad ke-15, pada masa awal berkembangnya Islam di Nusantara. Ini adalah kisah kontroversial tentang persaingan pengaruh antara Sultan Demak Bintoro (Raden Fatah) bersama Wali Songo yang mengamalkan Islam melalui pendekatan syariah di satu sisi dengan Sjeh Siti Djenar yang menjalankan pendekatan sufi pada sisi berseberangan. Sjeh Siti Djenar mengajarkan tentang ‘jalan kematian’ yang ‘filosofis’, bahwa hidup di alam dunia ini hanyalah fase singgah para manusia yang sesungguhnya hanyalah ‘mayat hidup’, sebelum menjalani kehidupan yang sejati dan abadi kelak pada fase sesudah ‘kematian’ di alam dunia ini. Barulah dalam kehidupan abadi setelah meninggalkan alam dunia, manusia terikat untuk sepenuhnya menjalankan syariat agama. Siti Djenar pun mengajarkan pantheism, yaitu konsep bersatunya Tuhan pada seisi alam termasuk dalam diri manusia, yang sesungguhnya tak asing dalam ajaran Hindu yang telah ada di pulau Jawa sebelum Islam masuk.

Sembilan wali yang menyebarkan Islam dengan pendekatan syariah di pulau Jawa itu umumnya berasal dari kalangan bangsawan yang menjadi bagian dari pemegang kendali kekuasaan di pulau Jawa. Sebagian terbesar dari mereka berdarah Arab dan disilsilahkan sebagai turunan lapis ketujuh, kedelapan dan kesembilan dari Siti Fatimah binti Muhammad (SAW) melalui garis Sayidina Husein –cucu Nabi Muhammad yang kematiannya yang syahid diratapi umat dan diperingati pada hari Asyura setiap 10 Muharram. Beberapa di antara para wali juga memiliki campuran darah Cina. Setidaknya, enam dari sembilan wali ini, terikat dalam satu pertalian darah. Salah satu wali yang merupakan keturunan bangsawan adalah Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel. Putera Maulana Ibrahim dan ibunya adalah Puteri Champa. Raden Rahmat ini adalah pula menantu Adipati Tuban, Ario Tedjo. Sunan Ampel merupakan salah seorang diantara yang merancang berdirinya Demak Bintara sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa ini dan mendorongkan Raden Patah – keturunan Raja Madjapahit terakhir, Sri Kertabumi, yang memerintah hanya empat tahun (1474-1478) –sebagai sultan pertama pada tahun 1478. Wali lainnya, adalah Maulana Makdum Ibrahim putera Sunan Ampel dan dikenal sebagai Sunan Bonang. Lalu ada Falatehan yang tak lain Sjarif Hidajatullah yang setelah wafat dalam usia amat lanjut digelari sebagai Sunan Gunung Jati. Falatehan sempat pula menjadi pemimpin pemerintahan, berkedudukan di wilayah Cirebon dan mengundurkan diri urusan duniawi itu di usia 95 tahun. Sjarif Hidajatullah inilah yang menyerbu ke arah barat menuju Jayakarta dan membebaskannya dari Portugis seraya meng-Islam-kan wilayah itu. Gelar Falatehan atau Fatahillah yang berasal dari bahasa Arab Fathullah bermakna ‘memperoleh kemenangan dari Allah’. Sjarif Hidajatullah adalah putera Maulana Ishak –adik Maulana Malik Ibrahim– beribukan seorang perempuan Arab keluarga Quraisyi, serta merupakan menantu Raden Patah. Berikutnya, Raden Mas Sjahid anak Bupati Tuban Ki Temenggung Wilatika, yang tak lain adalah Sunan Kalijaga. Putera Sunan Kalijaga, yang bernama Raden Umar Said, juga adalah satu dari Wali Songo dan digelari Sunan Muria karena mengajarkan Islam di wilayah sekitar Gunung Muria. Masih ada empat wali lain. Pertama, adalah Maulana Malik Ibrahim atau Sjeh Maghribi yang menurunkan tiga wali pada dua generasi. Kedua, Sunan Giri yang sebelumnya bernama Ainul Yakin, juga putera Maulana Ishak, sehingga bersaudara dengan Sjarif Hidajatullah namun dari lain ibu yakni puteri Adipati Blambangan. Ketiga, Sunan Drajat yang dikenal pula sebagai Raden Kasim, bersaudara dengan Sunan Bonang, dan keduanya putera Sunan Ampel. Yang keempat, Sunan Kudus. Dengan demikian, terlihat bahwa enam dari sembilan wali berasal dari satu rumpun keluarga, dari tiga generasi keturunan Siti Fatimah binti Muhammad (SAW), yakni Maulana Malik Ibrahim Sjeh Maghribi, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Djati, Sunan Bonang dan Sunan Dradjat. Sedang tiga lainnya juga punya pertalian darah dan kekerabatan. Sjeh Siti Djenar dalam pada itu, merupakan figur yang keberadaannya dalam sejarah Indonesia adalah antara ada dan tiada, bahkan ada yang menganggapnya tokoh mitos yang dihadirkan untuk merepresentasikan ‘keberadaan’ kaum sufi. Dalam strata kemasyarakatan, ia disebutkan berasal dari kalangan rakyat jelata, dari kasta sudra, meskipun adapula yang menyebutkannya berasal dari keluarga kalangan kekuasaan di sekitar Cirebon.

Bagi para wali yang sembilan itu –lima di antaranya amat dalam keterlibatannya pada kasus Siti Djenar– ajaran-ajaran Sjeh Siti Djenar adalah sesat, kendati pun juga bersumber pada Al Qur’an. Selain itu, Siti Djenar juga dianggap terlalu ‘terbuka’ dalam persentuhannya dengan rakyat lapisan bawah, dan mengajarkan ketidakpatuhan terhadap Sultan Demak Bintoro, padahal sang raja telah diposisikan sebagai ‘perwujudan’ kekuasaan Tuhan di muka bumi. Konsep raja sebagai wakil Tuhan di dunia ini sendiri sesungguhnya mengingkari hakikat ajaran Islam bahwa semua umat manusia memiliki persamaan di hadapan dan di mata Allah, serta terbedakan di hari akhir semata karena amal ibadahnya belaka. Penggambaran diri Nabi Muhammad SAW lebih rendah hati. Delapan belas hari sebelum wafat pada bulan Juni tahun 632, Nabi dalam suatu khutbah salat berjamaah, berkata tentang dirinya, “Sesungguhnya saya ini adalah Nabimu, pemberi nasehat dan penyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izinNya belaka”. Lebih dari perbedaan tentang konsep posisi raja itu, ajaran Siti Djenar tentang ‘jalan kematian’ dianggap telah menyebabkan ‘kegilaan’ di kalangan rakyat bawah yang menghendaki kematian yang cepat di bumi dan tak segan membuat keonaran dan mengamuk untuk mencari mati. Untuk sebagian, tampaknya rakyat kalangan bawah tidak mudah mengerti dan karenanya tidak sepenuhnya memahami filosofi dasar ‘jalan kematian’ dari Sjeh Siti Djenar, kecuali keyakinan pintas bahwa makin cepat mereka memperoleh kematian adalah makin baik. Pada sisi lain, yang paling mendasar bagi Sultan Bintoro, yang menjadi sekutu duniawi strategis Wali Songo, adalah aspek perlawanan dan ketidakpatuhan yang ditimbulkan ajaran Siti Djenar sehingga merupakan ancaman nyata bagi kekuasaan. Pengertian kekuasaan kala itu adalah kekuasaan politik dan rohani yang dimiliki dalam satu sinergi antara raja dan para wali. Maka Sultan Demak meminta Wali Songo untuk menghukum mati Sjeh Siti Djenar bilamana tidak menyatakan penyesalan dan mohon ampun kepada Sultan Demak. Namun Sjeh Siti Djenar memilih kematian dengan jalannya sendiri, sehingga Wali Songo tak perlu memenggal kepala dan mengalirkan darahnya, seperti diperintahkan Sultan –dan dengan demikian tangan mereka bersih dari darah. Di hadapan lima wali yang datang membawa perintah Sultan Demak, Siti Djenar memegang bagian belakang lehernya sendiri, memusatkan pikiran guna menutup jalan nafas, lalu mati seketika. Demikian penggambaran tentang proses kematian Pangeran Siti Djenar.

Tetapi, yang lebih kontroversial dari kematian Siti Djenar yang diinginkan oleh kalangan kekuasaan kala itu, adalah konspirasi untuk menghancurkan nama Siti Djenar justru setelah kematiannya. Para wali yang membawa jenasahnya ke Mesjid Agung Demak, mengganti jenasah Siti yang ada dalam keranda dengan bangkai seekor anjing kudisan berbulu belang kusam. Suatu perbuatan duniawi yang tak suci dari antara orang-orang yang ‘suci’, kalau memang demikian jalan peristiwa sebenarnya. Namun ada versi lain menyebutkan bahwa lima wali utusan itu setengah gagal menjalankan tugas ‘kematian’ bagi Siti Djenar, dan dengan demikian tak mungkin membawa jenazah ‘musuh kerajaan’ yang telah menggoncangkan ‘stabilitas’ pulau Jawa itu, sehingga terpaksa menggantinya dengan bangkai anjing kudisan. Tapi, apapun kejadian sebenarnya, tatkala pada keesokan harinya di halaman mesjid, Sultan Bintoro menyuruh buka tutup keranda, ia terkejut. Sultan yang tak mengetahui detail rencana penggantian jenasah dengan bangkai itu, agaknya begitu takjub dalam ‘ketidaktahuan’nya itu pada fenomena tentang nasib orang yang menentang agama yang diajarkan Wali Songo: ‘Terbukti’ betapa sang murtad berubah ke dalam kehinaan tiada tara menjadi bangkai anjing kurus yang kudisan. Sultan memerintahkan mempertontonkan bangkai anjing itu kepada rakyat sebagai pelajaran tentang nasib mereka yang melawan ajaran agama yang disebarkan para wali yang suci. Bangkai itu digantung di tengah keramaian terlebih dahulu sebelum dikuburkan, dan untuk beberapa lama telah menciptakan opini yang meluas di tengah rakyat jelata mengenai kehinaan Sjeh Siti Djenar. Namun ketika konspirasi dan peristiwa sebenarnya terungkap, dan bertambah dengan cerita bahwa pada malam pertama sesungguhnya jenasah Siti Djenar mengeluarkan sinar bagaikan bulan purnama dan menebar bau harum, tercipta opini –yang merugikan kaum syariah– bahwa ajaran dan penafsiran Siti Djenar tentang Islam dan Al Qur’an tidaklah sesat melainkan suatu kebenaran, betapapun absurd ajaran Siti Djenar itu sebenarnya. Tercipta suatu pembelahan berkepanjangan dalam tubuh masyarakat, yang kadangkala pengaruhnya tetap terasa dari masa ke masa, bahkan hingga kini.

Berlanjut ke Bagian 5

Kemurungan Indonesia Pasca-Demokrasi

Tulisan ini pernah disampaikan tepat setahun lalu dalam peluncuran buku ‘Kembalinya Politik’ bersamaan dengan 70 Tahun Rahman Tolleng, dan pernah pula dimuat sebagai artikel referensi dalam buku Dr Midian Sirait, ‘Revitalisasi Pancasila’, November 2008. Tulisan ini tepat disajikan kembali dalam suasana pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden Juli 2009 ini, sebagai bahan renungan mengenai kehidupan politik Indonesia.

A. Rahman Tolleng*

 

TIADA kata lain yang paling tidak disukai, dan mungkin dijauhi sekarang ini, selain kata politik. Politik, secara intrinsik, memang selalu tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun, suka atau tidak suka, tidak ada orang yang bisa membebaskan diri dari politik. Anda boleh mengasingkan diri ke suatu pulau. Tetapi di sana anda tidak mungkin bebas dari sengatan “global warming”, yang langsung atau tidak langsung merupakan produk politik dan hanya bisa “ditanggulangi” juga secara politik.

Sesungguhnya, di masa lalu, politik pernah menduduki tempat terhormat dalam masyarakat. Suatu waktu, politik merupakan istilah dengan sejumlah konotasi positif yang setidaknya dihubungkan dengan the common good atau kemaslahatan bersama. Di Athena klasik, pada zaman Plato dan Aristoteles, politik merupakan “ratu” dari ilmu-ilmu yang lain dan merupakan kegiatan manusia yang terpenting. Aristoteles sendiri merumuskan politik itu sebagai master science yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang excellent dan telah banyak makan asam garam kehidupan. Di zaman modern sekarang ini, sejalan dengan diferensiasi kehidupan masyarakat, the primacy of politics itu tidak lagi berlaku. Meskipun begitu, politik tetap saja penting dan tak dapat tiada dalam kehidupan bermasyarakat.

Sayang, bahwa politik yang sebenarnya indah dan mulia itu kini banyak dicemari oleh praktek yang tak bertanggung jawab. Dewasa ini, politik semakin merupakan istilah kotor yang sinonim dengan kemunafikan, korupsi dan barang dagangan yang menjijikkan. Pada demokrasi lama orang-orang kian membenci politik dan kehilangan kepercayaan terhadap kinerja institusi-institusi demokrasi. Partisipasi politik kian melemah. Turnout atau kehadiran dalam pemilihan hanya merupakan porsi yang terus mengecil dari keseluruhan pemilih. Partai-partai politikpun semakin kehilangan partisan sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kemurungan yang sama berlangsung pula di Indonesia. Dalam beberapa hal, malah lebih intens dan banal. Demokrasi beserta hak-hak yang menyertainya yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata, begitu cepat menampilkan paradoks-paradoks yang mengerikan. Demonstrasi-demonstrasi dan konflik-konflik fisik tak henti-hentinya sepanjang tahun. Kelompok-kelompok vigilante bermunculan di beberapa kota. Atas nama agama, moral dan ketertiban umum, dengan menggunakan kekerasan, kelompok-kelompok itu dengan seenaknya “main hakim sendiri”. Walhasil, populisme vulgar – kalau bisa disebut begitu – seolah-olah menghadirkan diri sebagai alternatif demokrasi-perwakilan yang konstitusional. Sementara tindak kekerasan telah menegasikan prinsip bahwa hanya negaralah yang memiliki wewenang penggunaan koersi.

Setiap kali menjelang pemilihan umum, kita juga menyaksikan, bagaikan jamur di musim hujan, lahirnya banyak partai yang semakin sukar dibedakan satu sama lain – kecuali dalam hal tokoh yang memimpinnya. Kehadiran partai berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi politik warga. Belakangan ini kita tersentak oleh rendahnya turnout dalam Pilkada, khususnya Pilkada Jawa Tengah, yang mendekati angka 50 persen.

Suatu paradoks lain dari demokrasi Indonesia, pertengahan 2008 ini diangkat sebagai tema seminar di Yogyakarta yang disponsori oleh Komite Indonesia untuk Demokrasi. Paradoks itu dirumuskan sebagai hilangnya voluntarisme dalam perpolitikan di Indonesia. Dikatakan bahwa partisipasi politik, khususnya partisipasi dalam kegiatan partai, tidak lagi dilakukan secara suka rela dan tanpa pamrih melainkan telah bergeser menjadi kegiatan transaksional. Apa yang terjadi ?

Colin Crouch, seorang profesor sosiologi pada European University Institute, dalam bukunya Post-Democracy, mengetengahkan apa yang disebutnya sebagai the commercialization of citizenship. Yang ia maksudkan ialah komersialisasi hak-hak sosial warga, seperti pendidikan dan kesehatan. Praktek komersialisasi itu juga telah berlangsung di sini. Tetapi yang dihadapi di Indonesia jauh lebih dahsyat: hak-hak politik itu sendiri yang diperjualbelikan. Dan itu ditemui tidak hanya di lapisan bawah, melainkan juga pada tingkat elite di tubuh partai maupun dalam dewan-dewan perwakilan rakyat.

Bagi mereka yang terlibat, politik itu dipandang tidak lebih dari suatu jenis bisnis yang lain. Maka tak pelak lagi, arena politik telah didegradasikan sebagai semacam pasar, tempat bertemunya “pembeli” dan “penjual”. Dan harus segera ditambahkan di sini: pasar itu untuk sebagian besar merupakan pasar gelap, lengkap dengan makelar-makelarnya. Maka tak terelakkan, pada akhirnya hanya orang-orang berduit yang bisa bermain di dalamnya. Kita kini berada dalam era pasca-demokrasi yang disinyalir oleh Colin Crouch dalam bukunya yang disebutkan tadi.

Banyak faktor yang bisa disebut sebagai prima causa dari perkembangan buruk ini. Dapat disebutkan, diantaranya: Pertama, mencairnya semen ideologi, sementara partai tak dapat menawarkan platform sebagai alternatif. Kedua, biaya politik, khususnya biaya kampanye semakin eksesif. Ketiga, dampak negatif dari kemajuan (teknologi) media massa, khususnya media elektronik. Keempat, dampak negatif dari sistem presidensial dan pemilihan langsung kepala daerah yang pada gilirannya memperlemah cohesiveness atau daya rekat partai. Kelima, personalisasi politik di tengah-tengah masyarakat yang sudah dan kian teratomisasi atau terindividualisasi. Keenam, pada tingkat massa, kemiskinan sudah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang dapat dijual kecuali hak-hak itu. Dan ketujuh, kita terlampau liberal (konvensional) dalam menerapkan demokrasi[1].

Demikianlah, sejumlah faktor pada dataran sosio-politik yang merupakan penyebab terpuruknya perpolitikan kita sekarang ini. Semua faktor, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama ikut berperan. Dan terlampau penting untuk tidak dikemukakan di sini, pada dataran etis, sebagai resultante dari bekerjanya faktor-faktor tadi, bangsa ini menemukan dirinya dalam keadaan kekosongan nilai-nilai civic berupa hilangnya komitmen terhadap kehidupan bersama diantara para warganya. Dirumuskan secara lain, dengan menggunakan idiom republikanisme: The final cause adalah lunturnya patriotisme, lunturnya keutamaan civic dalam masyarakat.

Politik, pada dasarnya, bersangkut paut dengan bagaimana menghidupi, memelihara atau mempertahankan, kehidupan bersama. Oleh karena itu tantangan yang kita hadapi sekarang ini adalah memulihkan kembali kedudukan politik seperti itu yang kini dilanda krisis kepercayaan oleh warganya sendiri.

Bukan tempatnya di sini untuk berbicara mendetil tentang apa yang seharusnya dikerjakan. Tetapi setidak-tidaknya perlu disadari bahwa kita harus pandai memilah-milah antara konstanta dan variabel. Yang merupakan konstanta harus dijadikan kendala dengan menanggulangi ekses-eksesnya. Yang merupakan variabel perlu dipertimbangkan kembali, dan kalau terpaksa ditinggalkan sama sekali dengan menerapkan alternatif lain. Untuk menanggulangi hal-hal yang bersifat etis, tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan, pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang meliputi pendidikan civic di sekolah dan education by practicing dan by doing dalam masyarakat luas maupun dalam komunitas kecil.

Apakah kita tidak terlambat? Maurizio Viroli, dalam bukunya Republicanism, mengutip Alexis Tocquivelle yang mengatakan bahwa “bangsa tidak pernah menua seperti halnya dengan manusia”. Sebagai anak manusia, saya misalnya, sekarang sudah memasuki ujung masa senja dan niscaya pada waktunya akan meninggalkan gelanggang ini. Tetapi bangsa ini niscaya akan terus meremajakan dirinya dengan terus melahirkan generasi baru yang boleh jadi dapat merangkul kesadaran civic yang kuat demi mewujudkan Indonesia yang kokoh, Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.

* A. Rahman Tolleng. Aktivis mahasiswa sejak tahun 1955 dan dekat dengan kehidupan politik Indonesia. Terlibat dalam gerakan kritis dalam masa kekuasaan Soekarno, dan pergerakan tahun 1966. Lebur dalam proses upaya pembaharuan struktur politik Indonesia pada masa-masa awal orde baru dan gerakan-gerakan pro demokrasi tatkala rezim Soeharto semakin ketat menjalankan kekuasaan. Sempat menjadi tahanan politik setelah Peristiwa 15 Januari 1974. Hingga kini, ia tetap ada dalam jalur kehidupan politik tanpa menjadi partisan, dengan sikap kritis yang tetap terpelihara. Sehingga ada yang menyebutnya, “ia yang berumah dalam politik”. Sementara itu, di mata sejumlah aktivis, dari masa ke masa, ia adalah seorang ‘guru politik’.


[1] Kaum liberal-konvensional sangat mementingkan hak-hak dan mengabaikan tugas kewajiban warga Negara. Bagi mereka, hak itu adalah milik anda dan terserah anda untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Kaum liberal-konvensional juga terlampau menekankan ancaman Negara terhadap kebebasan, sementara melupakan ancaman fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar yang bisa muncul dari dalam masyarakat.

Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau

 

Problematik yang dihadapi Indonesia merdeka adalah masih kuatnya dua sistim nilai yang merupakan warisan masa lampau. Yang pertama, menurut sejarawan Anhar Gonggong, adalah nilai-nilai yang berasal dari masa feodalisme, terutama feodalisme Jawa. Dan yang kedua adalah nilai-nilai yang terbentuk pada masa kolonialisme di Indonesia, yang selain menciptakan nilai-nilanya sendiri, dalam banyak hal juga ‘memelihara’ dan mengukuhkan nilai-nilai feodalisme.

Nilai-nilai yang ditumbuhkan pada masa kolonial di Nusantara, sarat dengan tatacara dan tujuan untuk mempertahankan hegemoni barat, baik dalam politik, ekonomi maupun secara kultural. Kolonialisme mengajarkan bahwa kekuasaan adalah di atas segalanya.

Nilai-nilai feodalisme Indonesia, sarat dengan tatacara dan tujuan mempertahankan kedudukan kaum penguasa dan sebaliknya menempatkan rakyat dalam posisi yang lemah. Suasana pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan perilaku dalam menghadapi pemilihan umum presiden-wakil presiden tahun 2009 ini, telah dan masih akan kuat diwarnai perilaku yang kuat dipengaruhi nilai-nilai warisan itu. Tersirat dan tersurat, orientasi pada kekuasaan menjadi yang utama. Demi tujuan kekuasaan, bahkan segala cara, mulai dari kata-kata sampai kepada perbuatan buruk belakang layar pun dihalalkan.

Proses pembaharuan dan pencerahan Indonesia menurut pengalaman empiris, senantiasa mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya secara tuntas karena kuatnya tarikan sistim nilai warisan nilai dari masa lampau tersebut. Salah satu aspek dari sistim nilai lama, khususnya feodalisme, adalah penempatan hegemoni kekuasaan pada kedudukan teratas. Dan kekuasaan dalam sistim feodal telah menempatkan para penguasa dalam segala keistimewaan dan limpahan kenikmatan dengan aspek pertanggungjawaban kepada rakyat yang nyaris tidak diperlukan,

Dalam sejarah Indonesia tercatat dua kehadiran pemimpin nasional yang mengawali kehadirannya – setidaknya sebagaimana yang dinyatakan secara formal – dengan tujuan-tujuan pembaharuan dan pencerahan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi ketika berada di puncak kekuasaan mengalami tarikan yang kuat dan tergoda untuk kembali kepada nilai-nilai warisan masa lampau yang lebih memberikan kenyamanan kekuasaan. Kedua pemimpin itu adalah Soekarno dan Soeharto. Sementara itu, dua pemimpin lain yang bersikukuh  dengan upaya pembaharuan dan pencerahan untuk meninggalkan nilai-nilai warisan masa lampau, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, tersisih dalam proses kehidupan bernegara.

Sistim nilai yang dibawa bersama penyebaran Islam di Nusantara, untuk sebagian besar juga terkontaminasi oleh nilai-nilai feodal dan kontradiksi yang dimunculkan oleh sistim kolonialisme. Tentu, ini besar pengaruhnya, karena Islam adalah agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Tak jarang agama –yang sesungguhnya penuh ajaran mulia– dijadikan alat untuk kepentingan hegemoni kekuasaan di satu sisi, dan pada sisi lain mendorong massa umat beragama terdorong melindungi diri dengan ‘kulit kerang’ fanatisme karena kecemasan terhadap pengaruh luar yang tak difahaminya dengan baik. Pada masa kekuasaan Soeharto, terutama pada tahun 1970-an, amat menonjol penciptaan situasi bagi terbentuknya kelompok ekstrim dan fundamentalis Islam yang tak terlepas dari imbas pergulatan kekuasaan. Dan tak ada perubahan signifikan yang terjadi, hingga kini.

Perlu bersungguh-sungguh menjalankan pembangunan sosiologis. Pendidikan dalam arti yang luas dan bukan sekedar dalam pengertian sekedar pengajaran, menjadi alternatif solusi dalam rangka pembaharuan dan pencerahan manusia Indonesia. Selama ini Indonesia gagal dalam menjalankan pendidikan dalam arti yang luas itu, dan pada waktu yang bersamaan sepanjang catatan yang ada kehidupan kepartaian dan organisasi kemasyarakatan, tidak menunjukkan kontribusi dalam pendidikan politik, bernegara dan bermasyarakat dengan baik dan benar. (RA).