Tag Archives: Presiden Soeharto

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (6)

Soeharto: Patah arang dan putus harapan oleh beberapa peristiwa ‘balik badan’ pengikut setia.

TATKALA Jenderal Wiranto berperan di belakang layar ‘membuka’ pintu bagi ‘pendudukan’ DPR oleh mahasiswa, sejak 18 Mei 1998, sejumlah aktivis pro-demokrasi sempat menoleh dan menaruh perhatian bahkan harapan kepada dirinya. Tetapi perhatian dan harapan menyangkut Wiranto ini, tak berusia panjang.

Pendudukan gedung DPR di Senayan itu sendiri tak boleh tidak menjadi salah satu faktor penekan utama perubahan sikap Harmoko, Ketua MPR/DPR, yang tadinya amat dikenal dalam gambaran seakan hidup dan matinya adalah untuk mendukung Soeharto, justru berperan menjadi pendorong agar Soeharto mengundurkan diri. Bila tadinya ia selalu mengatakan “sesuai petunjuk pak Presiden”, kini kepada Soeharto ia berbalik mengatakan “sesuai kehendak rakyat”. Harmoko dan kawan-kawan unsur pimpinan DPR, dalam rapat pimpinan 19 Mei sore, memutuskan akan menyampaikan ‘harapan’ kepada Presiden Soeharto agar mengundurkan diri. Hasil rapat pimpinan itu secara resmi baru disampaikan 21 Mei pagi melalui surat yang disampaikan langsung kepada Soeharto –tak lebih dari satu jam sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya– tetapi sudah lebih dulu terpublikasi melalui pers segera setelah ‘keputusan’ itu diambil.

Wakil Ketua MPR/DPR Letnan Jenderal Syarwan Hamid yang juga adalah Ketua Fraksi ABRI, menceritakan bahwa saat sikap pimpinan DPR itu tersiar, ia menerima telepon dari Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Mayor Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono yang menyampaikan bahwa Syarwan dimaki-maki banyak orang di Mabes ABRI. Syarwan mengatakan persetujuannya adalah sikap pribadi, bukan atas nama fraksi ABRI atau institusi ABRI. Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyatakan bisa mengerti sikap yang diambil Syarwan.

Bagaikan semacam anti-klimaks bagi para mahasiswa penentang Soeharto, hanya beberapa jam setelah tersiarnya sikap pimpinan DPR, pada jam 19.15 malam Menteri Hankam/Pangab Jenderal Wiranto memberi pernyataan mempersalahkan sikap pimpinan DPR. Ia menyatakan “ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR-RI agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif”. Terminologi ‘individual’ ini agaknya terutama berasal dari informasi Syarwan Hamid sebagaimana yang disampaikannya kepada Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tindakannya adalah bersifat individual dan tidak mengatasnamakan Fraksi ABRI. Jenderal Wiranto lebih jauh menegaskan, sesuai dengan konstitusi, pendapat pimpinan DPR itu tidak memiliki kekuatan hukum. “Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR”. Wiranto mendesak agar diadakan reshuffle kabinet dan menyarankan pembentukan Dewan Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat, termasuk unsur kampus dan tokoh-tokoh kritis. Sebelum menyampaikan pernyataan ini, Jenderal Wiranto terlebih dahulu menghadap kepada Presiden Soeharto.

Seperti yang dapat dicatat, dua butir gagasan dalam pernyataan Wiranto –yang agaknya berasal dari Soeharto juga– yakni reshuffle kabinet dan pembentukan dewan reformasi tak pernah bisa dilakukan. Soal reshuffle, Soeharto sudah patah arang dan putus harapan terutama oleh peristiwa ‘balik badan’ sejumlah golden boys dalam kabinetnya, Ginandjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung beserta 12 menteri lainnya, yang menyatakan tak bersedia duduk dalam suatu kabinet baru Soeharto. Sementara itu gagasan pembentukan Dewan Reformasi dan atau Komite Reformasi, patah karena tokoh-tokoh yang tadinya bersedia datang memenuhi permintaan Soeharto untuk bertemu dan membentuk dewan semacam itu juga balik badan. Sebagian karena perbedaan prinsip, sebagian juga sebagai hasil membaca arah angin yang berubah cepat. Keadaan ini sempat membuat Yusril Ihza Mahendra seorang tokoh ‘muda’ –salah seorang speechwriter Presiden– yang terlibat dalam proses itu terkesan sedikit uring-uringan. Seluruh proses patah arang ini berlangsung tak lebih dari 24 jam.

Dalam ruang waktu yang sama di tempat berbeda, Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto, terlibat dalam suatu rangkaian kegiatan lain: Bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat, aktivis tertentu dan sejumlah politisi, yang mengarus datang ke Merdeka Timur, hingga dinihari 21 Mei (Lihat Bagian 4). Di antara berbagai spekulasi, ada satu spekulasi yang menyebutkan bahwa Prabowo Subianto adalah ‘pewaris’ tahta kekuasaan dari Soeharto. Spekulasi lain menyebut sang ‘pewaris’ adalah Siti Hardianti Rukmana yang kala itu menjabat sebagai Menteri Sosial. Spekulasi muncul di tengah makin derasnya informasi bahwa Soeharto akan segera mengundurkan diri, yang antara lain diperkuat setelah adanya pernyataan pimpinan DPR yang mengharapkannya mundur dari jabatan Presiden.

Tentang arus pengunjung yang mendatanginya, khususnya pada dinihari 21 Mei, dalam suatu keterangan persnya di bulan Februari 1999, Prabowo menuturkan: “Pada 21 Mei 1998 dinihari, kurang lebih pukul 02.00, puluhan tokoh dari kurang lebih 44 ormas, menanyakan kepada saya tentang sikap saya atas terbetiknya berita bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Di hadapan puluhan tokoh tersebut saya menyampaikan bahwa saya mendukung proses konstitusional, dan secara konstitusional bapak Wakil Presiden B. J. Habibie seharusnya menggantikan bapak Presiden Soeharto, apabila bapak Presiden Soeharto berhenti atau berhalangan”. Mengenai adanya pergerakan pasukan sejak beberapa hari sebelum 21 Mei, Prabowo Subianto, memberi penjelasan: “Menjelang tanggal 20 Mei 1998, tersiar berita bahwa akan ada gerakan massa sebanyak satu juta orang ke arah Lapangan Monas. Juga terbetik berita bahwa akan ada gerakan ke arah kediaman Presiden Soeharto di Cendana. Secara logis pun terdapat ancaman terhadap keselamatan wakil presiden di Kuningan”. Rencana pengerahan sejuta massa, seperti diketahui waktu itu, direncanakan antara lain oleh tokoh Muhammadiyah, M. Amien Rais, namun urung dilakukan setelah ada pendekatan dari Jenderal Wiranto. Menurut Prabowo, jelas bahwa semua penempatan dan pengerahan pasukan pada saat-saat yang dimaksud adalah justru untuk mengamankan semua objek vital, terutama keselamatan presiden dan wakil presiden.

Spekulasi tentang pewaris tahta dari lingkungan istana sendiri, patah pada 21 Mei 1998 ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya lalu menyerahkan jabatan tersebut kepada Wakil Presiden yang segera dilantik Ketua MA hari itu juga. Yang menjadi persoalan kemudian adalah pengerahan pasukan yang dilakukan Letnan Jenderal Prabowo Subianto tetap berlanjut setelah terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Presiden Soeharto ke tangan Presiden baru, Baharuddin Jusuf Habibie. Apa yang sebenarnya terjadi?

Namun, agaknya perlu lebih dulu surut 12 tahun dari 1998 ke tahun 1986, untuk suatu catatan kilas balik ‘lahirnya’ semacam rencana Jenderal Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan yang kala itu telah dipangkunya hampir 20 tahun lamanya.

Hanya satu hari sebelum peringatan 20 tahun lahirnya Surat Perintah 11 Maret, ada satu wawancara khusus dengan isteri Presiden, Siti Suhartinah Soeharto, 10 Maret 1986. Wawancara dilakukan Sarwono Kusumaatmadja –waktu itu Sekjen DPP Golkar– didampingi Rum Aly (penulis catatan ini) untuk suatu laporan khusus mengenai SP-11-Maret yang akan dimuat Majalah Media Karya, edisi bulan Maret itu. Sebenarnya pemenuhan waktu wawancara itu sudah melebihi tenggat waktu penerbitan, tetapi terpaksa diakomodir dengan menunda penerbitan yang seharusnya setiap minggu pertama dari bulan berjalan. Wawancara di Cendana itu ikut dihadiri oleh Ketua Umum Golkar Sudharmono SH dan salah satu Wakil Bendahara Golkar, Tati Sumiyati Darsoyo.

Kala itu, kejatuhan Presiden Marcos di Filipina masih menjadi bahan pembicaraan. Tak heran bila ibu Tien juga sempat membicarakannya, sebelum wawancara resmi berlangsung. Isteri Presiden Soeharto itu dengan nada sedikit getir mengatakan “Kasihan ya, Presiden Marcos dan Imelda….”. Kurang lebih ibu negara Indonesia itu menyesalkan betapa kepala negara Filipina itu jatuh, yang antara lain tak terlepas adanya keterlibatan orang ‘kepercayaan’ di sekitarnya. Semacam kasus musuh dalam selimut. “Begitulah, kita tidak bisa menduga hati orang, tapi ya….”. Lalu ibu Tien mengungkap bahwa dirinya telah meminta pak Harto untuk “mengundurkan diri saja”. Ibu Tien agaknya kuatir nasib Ferdinand Marcos menimpa pula ke diri mereka penghuni Cendana. Dan menurut ibu Tien, pak Harto setuju akan mundur secara bertahap sambil mempersiapkan pengganti. Agaknya kejatuhan Marcos dimaknai oleh ibu Tien sebagai suatu isyarat mawas diri, serta kemungkinan kecenderungan ‘pengkhianatan’ dari dalam sebagai kejatuhan suatu rezim, termasuk di Indonesia. Nyatanya kemudian, kejatuhan Soeharto memang cukup diwarnai oleh sejumlah sikap pembalikan dari para pengikutnya, termasuk yang dianggap paling setia, di kalangan sipil maupun di lingkungan ABRI.

Seraya menoleh ke arah Sudharmono SH yang ada di sudut sebelah kanannya, ibu Tien mengatakan bahwa pengganti pak Harto sudah disiapkan. “Ya, kan, pak Dhar?”.

Ini tentu saja menjadi konfirmasi bagi suatu skenario kekuasaan yang saat itu diketahui amat terbatas. Semacam konfirmasi lainnya adalah ketika Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina menyampaikan pidato ‘miris’ pada acara HUT Golkar Oktober 1986 di Balai Sidang Jakarta (kini JCC). Menurut skenario itu, untuk periode yang akan datang, 1988-1993, Soeharto akan menjalani periode terakhir kepresidenannya, dan Sudharmono SH menjadi Wakil Presiden. Selanjutnya, pada periode 1993-1998, Sudharmono SH naik menjadi Presiden, didampingi Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Dan pada tahap berikutnya lagi, 1998-2003, giliran Try Sutrisno menjadi Presiden dengan alternatif Wakil Presiden adalah Wismoyo Arismunandar. Wismoyo pernah menjabat sebagai KSAD. Isterinya adalah kerabat ibu Tien. Tetapi untuk tahap ketiga ini, maupun tahap berikutnya lagi, sudah disebutkan juga alternatif lain berupa dua nama: Prabowo Subianto dan atau Siti Hardianti Rukmana. Kepada mereka para senior yang menjadi calon-calon pengganti awal Soeharto, setidaknya kepada Sudharmono SH –mungkin kepada Try Sutrisno juga?– pak Harto telah menitipkan agar Prabowo dan Siti Hardianti, dibantu dan diberi tuntunan. Tetapi merupakan catatan sejarah bahwa seluruh skenario ini patah sepenuhnya sejak Soeharto, sepeninggal Siti Suhartinah, ternyata masih melanjutkan masa kepresidenannya pada periode 1993-1998 dan untuk 1998-2003 (yang tak berhasil dirampungkan). Sastrawan Cina Shih Nai-an pernah memberi ungkapan, “Jika engkau telah menyiapkan ranjang, maka engkau harus puas berbaring di atasnya”. Agaknya Jenderal Soeharto kala itu masih ragu apakah akan puas berbaring di atas ranjang baru yang telah dipersiapkannya.

Berlanjut ke Bagian 7/Akhir.

Membunuh Raja, Membunuh Presiden

Dari Zealots, Hashshashin, Al Qaeda dan teroris Indonesia. Jangan ada yang merasa tertindas oleh bangsa sendiri di masa Indonesia merdeka ini.

DUA HARI di akhir pekan pertama bulan Agustus 2009 ini dipenuhi berita penyergapan pelaku teror di Indonesia, di Jakarta, di Bekasi dan di Temanggung. Bisa bernilai spektakuler, bilamana ‘dugaan resmi’ yang mengiringi penyergapan itu kemudian terbukti kebenarannya.

Rangkaian penyergapan pertama terjadi di Jakarta Utara dan Jatisari Bekasi. Di Jakarta, dua orang yang diduga terlibat pemboman JW Marriot dan Ritz Carlton, ditangkap. Sedang di Bekasi, dalam penyergapan sebuah rumah di Jatisari, dua orang yang diklasifikasikan sebagai teroris tertembak mati oleh Densus 88. Salah satunya narapidana kasus pemboman Kedutaan Besar Australia beberapa tahun silam. Tetapi bagian paling penting terkait penyergapan ini adalah ditemukannya 500 kilogram bahan peledak, mirip yang digunakan dalam pemboman JW Marriot-Ritz Carlton. Bahkan ditemukan bom yang siap pakai dengan sebuah kendaraan yang akan digunakan untuk sebuah rencana pemboman. Bersama itu, ditemukan pula apa yang disebutkan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, sebagai suatu bukti yuridis terkait rencana pembunuhan dengan bom tersebut atas diri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 14 hari ke depan. Mungkin semacam kejutan HUT Proklamasi RI ke-64?

Penyergapan kedua terjadi di sebuah rumah di dusun Beji, desa Kedu kabupaten Temanggung. Hasilnya, melalui suatu pengepungan 18 jam sejak Jumat sore hingga Sabtu pagi 8 Agustus, seorang yang untuk sementara diidentifikasi sebagai Noordin M. Top, tewas. Kapolri masih berhati-hati sehingga tak tergesa-gesa memastikan bahwa itu adalah sang buronan nomor satu dalam aksi terorisme di Indonesia selama ini, sebelum selesainya tes DNA. Tetapi sejauh yang tercerna dari keterangan-keterangan resmi, penyergapan di Jakarta dan Temanggung memiliki tali temali sebagai satu jaringan.

Dengan bukti yuridis yang ditemukan itu, tak boleh tidak ini memberi pembenaran terhadap sinyalemen berdasarkan data intelijen yang disampaikan SBY beberapa waktu yang lalu, bahwa ada rencana pembunuhan atas dirinya. Tetapi baru separuh. Separuh lainnya, terkait dengan jawaban bagi pertanyaan: Apakah rencana itu ada hubungannya dengan ketidakpuasan yang tercipta setelah usainya pemilihan presiden? Dan beberapa pertanyaan akan menyusul, antara lain, siapa yang berdiri di belakang rencana itu? Mereka yang kalah di arena pemilihan umum? Dengan melihat jalinan dan kaitan antara penyergapan di Bekasi dan yang di Temanggung, bila yang tewas memang betul Nurdin M. Top, secara awam tersimpulkan bahwa jaringan itulah yang ingin membunuh Presiden. Tapi kenapa jaringan Nurdin M. Top ingin membunuh Presiden Indonesia itu? Apa alasan rasionalnya yang objektif? Sulit untuk meraba. Satu-satunya alasan adalah kalau jaringan itu menganggap Susilo Bambang Yudhoyono atau pemerintah Indonesia merupakan ‘perpanjangan tangan’ Amerika Serikat yang dianggapnya menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Atau, balas dendam atas eksekusi mati bagi sejumlah teroris selama ini? Pertanyaannya lagi, apakah betul penguasa Indonesia saat ini adalah ‘hamba’ hamba Amerika Serikat dan kepentingan-kepentingannya? Meski cukup banyak tudingan seperti ini, terutama di masa kampanye yang baru lalu, percayakah anda dengan adanya hubungan penghambaan itu? Akan tetapi, kalau bukan kelompok Nurdin M. Top, lalu siapa yang ingin membunuh Presiden?

DALAM sejarah kepresidenan kita, di Indonesia, belum ada pengalaman tentang pembunuhan Presiden. Percobaan pembunuhan, banyak, telah berkali-kali dialami Presiden Soekarno: Penggranatan di Perguruan Cikini Jakarta 30 November 1957 oleh Saadon cs lalu satu penggranatan lagi di Jalan Cenderawasih Makassar, kemudian peristiwa Daniel Maukar pilot yang Maret 1960 memberondong Istana dengan menggunakan pesawat Mig 17 dan usaha penembakan Soekarno dalam acara shalat Idul Adha di halaman Istana. Semua percobaan gagal. Terhadap Jenderal Soeharto, bahkan samasekali tak pernah ada catatan percobaan pembunuhan, walau di belakang layar banyak juga suara kebencian yang menghendakinya ‘berlalu’ saja lebih cepat. Begitu juga terhadap BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri, hampir tak pernah terdengar ada usaha pembunuhan. Tapi menurut  seorang tokoh Jamaah al-Islamiyah Megawati Soekarnoputeri sebenarnya juga pernah direncanakan untuk dibunuh oleh kelompok radikal.

Rencana seperti itu baru kini terdengar kembali, dari mulut Presiden sendiri yang kemudian tampaknya mendapat perkuatan dari Kapolri. Bila peristiwa penyergapan di Bekasi berkaitan dengan yang di Temanggung, artinya dalam konteks jaringan, ini merupakan hal baru bagi Indonesia, bahwa percobaan pembunuhan dilakukan oleh atau melalui suatu jaringan teroris. Kalau ada persamaan dengan Soekarno, itu hanya sebatas bahwa keduanya pernah dicoba dibunuh oleh kelompok yang mungkin berlatar belakang politik ideologi agama. Soekarno antara lain coba dieliminasi oleh kelompok DI-TII.

NEGARA-negara lain lebih berpengalaman dengan pembunuhan atas kepala negara dan kepala pemerintahan mereka. Amerika Serikat mengalami setidaknya dua peristiwa pembunuhan presiden yang sangat menggemparkan, yaitu atas Abraham Lincoln dan atas John Fitzgerald Kennedy beberapa abad sesudahnya. Amerika Serikat juga sangat berpengalaman dengan percobaan pembunuhan Presiden. India mengalami setidaknya juga dua pembunuhan Perdana Menteri, Indira Gandhi lalu puteranya, Rajiv Gandhi. Di Mesir, Presiden Anwar Saddat, ditembak oleh peserta sebuah parade militer. Pakistan, mengalami ‘pembunuhan’ resmi atas PM Ali Bhutto dan kemudian pembunuhan atas puterinya, mantan PM Benazir Bhutto, diselingi ‘pembunuhan’ Jenderal Zia ul Haq, 17 Agustus 1988, melalui sabotase pesawat yang ditumpanginya. Zia adalah tokoh militer yang menggulingkan pemerintahan Ali Bhutto dan kemudian menghukum gantung mantan  Perdana Menteri itu. Ketika Soviet menginvasi Afghanistan, sepanjang 1979, rezim Zia ul Haq aktif membantu dana dan senjata bagi militan Islam Mujahidin melakukan perlawanan.

Apalagi di Afrika dan Amerika Latin, pembunuhan politik, pembantaian massal dan penggulingan kekuasaan seakan menjadi tradisi.

Membunuh raja, membunuh presiden, sudah seumur peradaban manusia. Terjadi sepanjang tarikh Masehi. Begitu pula dengan kehadiran kelompok teroris, sudah lebih tua dari peradaban dalam tarikh Masehi. Pada awal tarikh Masehi, di tanah bani Israil, sudah ada sebuah kelompok teroris yang dikenal sebagai Zealot dari Judea, yang pada mulanya didirikan oleh Judas dan anaknya sebagai suatu organisasi politik ‘penegak kebenaran’ dan pembela tanah air. Zealot menjalankan rangkaian pembunuhan terhadap kalangan penguasa Romawi yang menjajah negeri mereka. Tapi dalam beberapa kasus, sejumlah tokoh Jahudi sendiri, telah dieksekusi oleh para penghukum dari organisasi politik yang bernama Zealot ini. Di dunia pemerintahan Islam sejak sekitar abad 11 muncul kelompok Hashshashin yang dalam literatur barat disebut Assassin dan bermakna sebagai kelompok pembunuh yang melakukan sejumlah pembunuhan politik dan kekuasaan. Hashshashin itu sendiri dalam bahasa Arab berarti ‘pengguna hashish’. Para anggota pelaksana pembunuhan Assassin itu dari waktu ke waktu dicekoki dengan candu Arab, hashshis, untuk merangsang kebringasan. Sultan Saladin, pemimpin tentara Islam dalam Perang Salib, pernah menjadi sasaran percobaan pembunuhan barisan Assassin, tahun 1176, tatkala ia dinilai ia sudah ‘lemah’ dalam bersikap kepada yang dianggap ‘musuh’ Islam. Beberapa pemimpin kekhalifahan juga pernah mengalaminya. Sikap toleransi kepada umat agama lain, kearifan dan kebesaran sikap karena sifat ksatria, adalah beberapa ciri yang dianggap sebagai tanda kelemahan oleh para Assassin.

Dalam dua abad terakhir terorisme menjadi semacam jalan keluar efektif bagi mereka yang tersudut dan berposisi lemah dalam berbagai konflik. Taktik teror menjadi senjata paling ampuh untuk mengimbangi kekalahan posisi dalam arena konflik. Tokoh pembebasan Palestina Dr George Habash pernah mengatakan, hanya dengan aksi teror “kami bisa mendapat perhatian”. Pejuang Irlandia Utara membentuk IRA  (Irish Republican Army), yang melakukan pemboman di mana-mana untuk mengimbangi keunggulan tentara Kerajaan Inggeris. Tupac Amaru di Peru, LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) atau Macan Tamil di Srilanka, GRAPO (Grupo de Resistencia Anti-Fascista Premero de Octubre) di Spanyol, Tentara Merah di Jepang dan sebagainya adalah beberapa contoh.

Namun yang kemudian amat menonjol adalah gerakan-gerakan ekstrim yang menggunakan Islam sebagai ideologi dan alasan perjuangan, sehingga kini Islam selalu diasosiasikan dengan terorisme, vice-versa. Ada puluhan organisasi keras yang bisa dicatat, yang melakukan berbagai gerakan teror di seluruh penjuru dunia: Ansar al-Islam dan Abu Nidal yang berbasis di Irak, Al-Ittihad Al-Islami di Somalia. Di Pakistan terdapat lebih dari satu sayap radikal antara lain Al Badhr Mujahidin, Harakat ul-Jihad Islami (yang juga ada di Bangladesh), Harakat ul-Mujahidin, Harakat ul-Ansar, Lashkar e-Thayyiba. Di Pakistan dan Afghanistan Hisb-I Islami Gulbudin dan di Kashmir ada Hisb ul-Mujahidin. Tak ketinggalan Abu Sayyaf di Filipina serta Jamaah al-Islamiyah di Singapura dan Malaysia. Karena ketatnya penindakan di kedua negara terakhir ini, lalu ‘sampah’ eksesnya terlontar ke Indonesia. Banyak teroris di Indonesia mendapat pelatihan dan mungkin dana gerakan dari Al Qaeda yang berpusat di Afghanistan. Al Qaeda ini, yang pernah menggemparkan Amerika di jantung negerinya sendiri, dengan serangan atas Menara Kembar WTC di New York bukan lagi sekedar organisasi dengan batas satu negara tetapi sudah menjadi jaringan transnasional dan beroperasi secara internasional. Pada umumnya, gerakan-gerakan radikal ini menempatkan Amerika Serikat sebagai musuh Islam nomor satu, simbol ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat Islam. Padahal, banyak kaum militan ini dulunya ketika menghadapi Uni Soviet –terutama di Afghanistan– mendapat bantuan dana, senjata dan pelatihan dari dinas rahasia Amerika Serikat.

MENOLEH kembali ke negeri kita sendiri, menjadi pertanyaan apakah para pemerintah kita dari waktu ke waktu  begitu terkesan ‘menghamba’ kepada Amerika dan Barat pada umumnya, atau menjadi begitu liberalistik, seperti yang misalnya dituduhkan oleh beberapa kompetitor Susilo Bambang Yudhoyono dalam ajang pemilihan presiden yang lalu? Dan apakah demikian pula yang masuk sebagai kesan ke alam bawah sadar maupun pikiran kaum radikal Islam sehingga merasa harus memberi ‘penghukuman’ melalui cara teror yang sebenarnya justru tak Islami? Tetapi terlepas dari itu semua, barangkali memang saatnya para pengendali negara kita makin lebih memperhatikan aspek keadilan sosial dan ekonomi, maupun keadilan hukum dan keadilan politik, untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Sebaliknya adalah tugas para cendekiawan membantu masyarakat untuk bisa meninggalkan cara berpikir dan cara memahami agama yang sempit. Beriman dalam keseimbangan antara rasa dan akal. Jangan sampai ada lapisan dalam masyarakat, terutama di kalangan akar rumput, merasa termarginalkan, terpinggirkan atau bahkan tetap tertindas –dan kali ini oleh tirani kekuasaan negara dan tirani kekuasaan moral yang datang dari bangsa sendiri– di masa Indonesia merdeka ini.

-Rum Aly

Kisah Seorang Kepala Polisi dan Dua Jaksa Agung di ‘Negeri Para Maling’ (1)

– Rum Aly

Apapun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas. Apakah KPK pun akan mengikut jejak nasib mereka bertiga, ‘patah’ atau ‘dipatahkan’?

TATKALA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hari-hari belakangan ini seakan masuk ke ‘ladang pembantaian’ –diterpa badai dari luar sekaligus ‘badai dalam gelas’– pikiran terasosiasi kepada dua institusi penegak hukum lainnya yang juga punya wewenang penanganan pemberantasan korupsi. Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tak lain karena saat ini, kedua institusi ini sedang dan akan menangani tokoh-tokoh teras KPK dalam satu jalinan peristiwa rumit yang sengaja atau tidak berpotensi untuk meredupkan, bahkan memadamkan, nyala bintang masa kini  di panggung pemberantasan korupsi.

Antasari Azhar Ketua KPK non-aktif –seorang yang berlatar belakang karir jaksa– yang sedang diperiksa Polri sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen, bagai ‘meniupkan’ badai dalam gelas. Entah tersudut karena data yang ada dalam laptop-nya, entah karena alasan yang lebih complicated, Antasari membuat testimoni yang membuka kisah suap setidaknya atas dua orang pimpinan KPK lainnya oleh Anggoro Widjojo pimpinan PT Masaro dalam penanganan kasus SRKT (Sistem Komunikasi Radio Terpadu) Departemen Kehutanan. Testimoni ini akan menjadi dasar suatu gebrakan lanjut pihak Polri untuk ‘membersihkan’ KPK. Dengan segera dua –M. Jasin dan Bibit Samad Rianto– dari empat pimpinan KPK yang ‘tersisa’ menjawab dengan sengit bahwa testimoni Antasari itu mengandung fitnah.  Apa yang bergejolak di seputar KPK ini lalu memperkuat keyakinan sejumlah aktivis anti korupsi, bahwa KPK memang sedang dalam proses penghancuran.

Kelahiran KPK itu sendiri, terjadi karena kuatnya kesangsian banyak pihak, bahwa baik Polri maupun Kejaksaan Agung selama ini tidak mampu menunjukkan diri sebagai alat efektif untuk memberantas perilaku korupsi yang sudah seumur republik ini. Karena itu, dibutuhkan sapu baru. Itulah KPK. Dan publik tampaknya sangat menaruh harapan terhadap KPK. Tapi bagaimana bila testimoni Antasari itu ternyata mengandung kebenaran?

Menoleh sejenak ke masa lalu, Polri pun pernah menjadi bintang pengharapan dalam penegakan hukum, terutama dalam penanganan kriminal ‘tingkat atas’ (korupsi dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan lainnya), tatkala institusi itu dipimpin oleh Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Sementara itu, harapan yang sama pernah tercurah penuh kepada Kejaksaan Agung di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, baik ketika institusi itu dipimpin Marzuki Darusman SH maupun kemudian oleh Baharuddin Lopa SH yang menggantikannya. Apa pun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas.

Kekuasaan otoriter dan ‘kesaktian’ uang. Kapolri Hoegeng Iman Santoso pernah menangkapi para pelaku penyelundupan mobil,  Robby Tjahjadi dan kawan-kawan, yang di belakangnya melibatkan sejumlah orang kuat di republik ini. Anak buah Hoegeng menghadang dan menahan mobil-mobil mewah yang baru keluar dari perut pesawat Hercules, di mulut jalan keluar PAU Halim Perdanakususumah. Penyelundupan itu tidak berdiri sendiri, karena nama sejumlah perwira ABRI terlibat dan bahkan pucuk jalinannya ‘disebutkan’ berada di Cendana. Sebagai akhir cerita, Hoegeng ‘dipatahkan’, dicopot dan diganti. Hoegeng pun sebenarnya berkali-kali berada dalam posisi tak berdaya di hadapan kekuasaan rezim, sehingga tak berhasil menangani dengan baik dan benar beberapa kasus yang menarik perhatian publik kala itu, seperti kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning yang berusia 16 tahun di Yogya, kasus Gadis Ismarjati mahasiswa IKIP di Bandung, serta terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Coenrad di depan kampusnya dalam suatu insiden dengan para Taruna Angkatan 1970 Akabri Kepolisian. Dalam insiden yang disebut terakhir ini, kala itu pers kritis dan kalangan mahasiswa (begitu pula dalam opini publik) sesuai fakta jalannya peristiwa, kuat meyakini bahwa pembunuh Rene Coenrad adalah dari kalangan calon perwira yang segera dilantik itu. Tetapi, adalah kenyataan pahit, bahwa seorang bintara, Djani Maman Surjaman, dikorbankan sebagai kambing hitam dan dihukum dalam suatu peradilan yang diragukan kejujurannya. Lebih jauh tentang semua peristiwa ini, bisa dibaca dalam sebuah tulisan pada halaman lain blog ini, Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter (Juni 27, 2009).

TAK LAMA setelah masuk dalam kabinet/pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang diumumkan 26 Oktober 1999, sebagai Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman, menggebrak dengan mencabut SP3 atas diri mantan Presiden Soeharto, yang sebelumnya dikeluarkan oleh pejabat Jaksa Agung Ismujoko SH. Dengan demikian, perkara KKN mantan penguasa Indonesia selama 32 tahun itu, kembali dibuka. Sebenarnya banyak yang kala itu menilai tindakan Marzuki Darusman tersebut kurang taktis. Semestinya ia terlebih dulu ‘mengambil’ satu persatu orang-orang di lingkaran luar lalu bergerak lebih ke dalam sampai ke pusatnya. Kalau terbalik, lingkaran luar akan sempat membentuk front yang akan mati-matian membentengi nucleus, agar tak sampai terseret ke depan pengadilan dan dijatuhi hukuman. Karena, bila ini terjadi, akan melanjut sebagai efek domino, barisan KKN rezim akan ‘tumbang’ seluruhnya. Selain membuka kembali penyidikan atas diri Soeharto, dalam tempo yang sebenarnya cukup cepat, aparat Kejaksaan Agung menyeret satu persatu pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme dari masa rezim lama, seperti kasus BLBI, sekaligus kemudian berturut-turut menangani kasus-kasus baru (yang sebagian sudah dimulai oleh Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib) seperti kasus Bank Bali yang melibatkan Gubernur BI Syahril Sabirin, kasus Bahana yang mengaitkan antara lain nama Arifin Panigoro dan sebagainya. Kasus Bank Bali menyebabkan ia dimusuhi di lingkungan partainya sendiri, Golkar, karena ada keterlibatan masalah dana untuk Golkar dalam kasus tersebut. Tapi pada sisi lain ia juga dicurigai para aktivis anti korupsi takkan mungkin bersungguh-sungguh dalam penanganan perkara tersebut.

Dalam kasus BLBI sejumlah pengusaha dan bankir besar diseret masuk tahanan Kejaksaan Agung, sekalian pengusutan terhadap beberapa pejabat BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang seharusnya membenahi piring kotor akibat skandal BLBI. Sadar atau tidak, dengan menangani orang BI dan bankir serta pengusaha besar seperti itu, Marzuki Darusman berhadapan dengan para pemilik ‘kesaktian’ kekuatan uang, yang lama-lama menjadi tergorganisir dan melibatkan banyak kekuatan sosial-politik melalui perorangan-perorangan yang ternyata bisa dibeli meskipun setiap hari juga meneriakkan reformasi dan pemberantasan KKN. Situasi menjadi aneh, karena justru Kejaksaan Agung yang menjadi sasaran demonstrasi setiap hari. Garis tempur makin melebar ketika ia kemudian juga menangani sejumlah kasus di Pertamina dan menahan sejumlah mantan petinggi perusahaan minyak nasional tersebut, termasuk mantan Dirut Faisal Abda’u. Apalagi ketika ia kemudian juga merambah menangani kasus TAC yang melibatkan nama Ginandjar Kartasasmita mantan menteri terkemuka rezim Soeharto dan saat itu di masa reformasi setelah 1998 adalah salah seorang Wakil Ketua MPR.

Marzuki Darusman, pernah menulis dalam referensi tema untuk buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter mengenai rangkaian demonstrasi ini. “Merupakan fenomena kala itu, setiap kali ada calon tersangka baru diperiksa di Kejaksaan Agung, serangkaian demonstrasi dengan sasaran Kejaksaan Agung terjadi. Memang, tema-tema yang ditampilkan dalam aksi unjuk rasa itu umumnya sepertinya idealistis dan ‘mulia’ mengenai penegakan hukum, namun senantiasa pula dibarengi dengan kecaman yang menyudutkan dan tuduhan-tuduhan tentang latar belakang politis. Kepada saya pernah disajikan –oleh saudara Rum Aly, penulis buku ini– sejumlah data yang menunjukkan adanya korelasi antara frekuensi pengajuan calon tersangka dengan frekuensi unjuk rasa ke Kejaksaan Agung pada kurun waktu yang bersamaan. Menurut ‘penelitian’ dan informasi yang diperoleh oleh yang bersangkutan, sebagian terbesar –untuk tidak menyebut hampir seluruh– unjuk rasa itu dibiayai oleh orang-orang yang sedang dalam ‘kasus’, tanpa disadari oleh massa atau anggota masyarakat yang dikerahkan”. Menurut logika dan data empiris, mereka yang menyandang ‘kasus’ pada umumnya pernah berhasil mengambil dan menguasai kekayaan negara dalam jumlah puluhan dan ratusan miliar, bahkan hingga triliunan rupiah, sehingga secara finansial memang mempunyai kemampuan membiayai apa saja.

‘Perlawanan’ paling sengit diperlihatkan oleh Ginandjar, yang menyatakan dirinya yakin tak bersalah dan apa yang menimpanya adalah berlatarbelakang politis. Ketika akan ditahan, Ginandjar berhasil ‘diloloskan’ oleh para pengacara dan barisan pengawal pribadinya, dan bisa sampai ke RS Pertamina yang tak jauh letaknya dari Gedung Kejaksaan Agung. Alasan yang digunakan, adalah bahwa ia memang akan berobat. Petugas Kejaksaan Agung tak berhasil membawa Ginandjar kembali ke Kejaksaan Agung. Ia bisa bertahan di tempat tidur kamar perawatannya, menggunakan alat penyangga di leher yang secara dramatis ‘menunjukkan’ bahwa ia betul-betul sakit. Mantan Wakil Presiden Sudharmono yang juga sedang dirawat di RS yang sama karena gangguan prostat, sebelum pulang ke rumah, bahkan sempat menjenguk Ginandjar di kamarnya, dan agaknya cukup ‘terkesan’ dengan penyangga yang melingkar di leher sang Wakil Ketua MPR itu.

Meskipun sebenarnya sedang agak marah kepada Ginandjar sebagai salah satu golden boy Soeharto dan juga Sudharmono sendiri, tetapi tega ‘mengkhianat’i Soeharto, dengan balik badan pada bulan Mei 1998 –justru pada saat secara batiniah Soeharto sedang ada pada satu titik nadir– Sudharmono tetap menunjukkan sikap ‘membela’. “Kok, sampai hati Marzuki mau menangkap Ginandjar”, ujar Sudharmono kepada Rum Aly (penulis catatan ini). “Katanya bertiga, Akbar, Ginandjar, Marzuki triumvirat penyelamat Golkar……”. Ketika dijawab, “Kan ini masalah hukum pak, dan Marzuki yakin pada bukti-bukti hukum yang ada”, Sudharmono lalu melanjutkan, “Tapi ya, tidak bisa begitu…”. Sewaktu diteruskan lagi dengan suatu pernyataan yang sebenarnya tidak relevan, “Hitung-hitung saja, pak Dhar, ini adalah ganjaran terhadap apa yang dilakukan Ginandjar kepada pak Harto”, Sudharmono SH tidak menjawab lagi. Terlepas dari adanya suatu situasi bahwa Sudharmono SH pernah dikecewakan Soeharto ketika ‘tidak’ diperkenankan merangkap jabatan Wakil Presiden dengan jabatan Ketua Umum Golkar pada Munas Golkar setelah Pemilihan Umum 1987, Sudharmono tetap bersikap loyal kepada Soeharto. Tidak berkenannya Soeharto itu, menempatkan Sudharmono dalam posisi ‘lebih’ lemah kendati ia adalah Wapres. Dan ini secara tidak langsung berpengaruh juga kepada nasibnya di belakang hari dalam Sidang Umum MPR 1993. Tidak bisa menduduki posisi Wapres untuk kedua kali, walau Presiden Soeharto masih menginginkannya. Sebelum pemilihan umum 1987, tak lama setelah kejatuhan Presiden Marcos di Filipina, pernah ada skenario berdasar keinginan Soeharto: Bahwa setelah pemilu 1987, Sudharmono akan menjadi Wakil Presiden mendampingi Soeharto. Ini terjadi. Sesudah pemilu 1992, Soeharto takkan mau melanjutkan lagi dan Sudharmono naik ke posisi teratas didampingi Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Separuh dari rencana tahap dua ini tidak terjadi. Soeharto ternyata mengikuti anjuran “lanjutkan” dari inner circle-nya untuk menjadi Presiden kembali, Try Sutrisno menjadi Wakil Presiden melalui suatu proses cukup dramatis di SU MPR 1993.

MESKIPUN melakukan perlawanan yang cukup keras, pada akhirnya Ginandjar berhasil juga dijemput oleh petugas Kejaksaan Agung dan dimasukkan ke dalam rumah tahanan Kejaksaan Agung. Beberapa pengacaranya ‘setia’ ikut mendampingi menginap bersesak-sesak di sel tahanan. Namun kemudian Ginandjar Kartasasmita berhasil memenangkan proses pra peradilan di Jakarta Selatan. Kejaksaan Agung dianggap tak berhak menangani kasus Ginandjar dan menahannya, karena sewaktu melakukan perbuatan yang disangkakan, Ginandjar masih seorang perwira tinggi ABRI (Angkatan Udara) yang aktif. Dengan demikian, Kejaksaan Agung harus memproses sebagai perkara koneksitas. Ketika akhirnya tim koneksitas dibentuk dengan susah payah, Kejaksaan Agung sudah kehilangan kendali. Sampai saat itu, tak ada sejarahnya ABRI menghukum para perwiranya, kecuali bila sang perwira ‘mencuri’ uang di tubuh organisasinya sendiri.

Kuburan’ dan Nusakambangan. Sebenarnya, sebelum dan sesudah ‘terkuburnya’ kasus Ginandjar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Agung Marzuki Darusman beberapa kali bertemu dan atau berkomunikasi telepon dengan Baharuddin Lopa yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan) sejak 9 Februari 2001. Intinya adalah Marzuki Darusman minta bantuan Baharuddin Lopa agar berbuat sesuatu sesuai kewenangan dan wibawa yang dimilikinya, memberi arah positif untuk terciptanya sikap yang membantu pemberantasan korupsi di kalangan para hakim. Ini menyusul sejumlah fakta empiris betapa pengadilan tertentu di Jakarta telah menjadi kuburan beberapa kasus pidana korupsi setidaknya selama satu tahun terakhir. Meski Lopa menyatakan akan membantu, tetapi dalam kenyataan tak ada perubahan yang signifikan terjadi. Tampaknya, salah satu penyebabnya adalah bahwa berbeda dengan masa lampau, ‘kewenangan’ Menteri Hukum (dahulu Menteri Kehakiman) masa reformasi terhadap para hakim jauh menyurut. Wewenang aspek juridis lebih banyak berada di tangan Mahkamah Agung. Kebebasan hakim lebih dikedepankan terlepas dari esensi pemahaman yang sebenarnya mengenai aspek kebenaran dan keadilan dalam hukum.

Baharuddin Lopa punya reputasi luarbiasa sebagai jaksa yang handal, namun agaknya tidak sebagai menteri hukum atau posisi non-jaksa lainnya. Dua ahli hukum yang terkemuka, Loebby Luqman SH dan Luhut Pangaribuan SH, sempat menyatakan kesangsian mengenai kemampuan Lopa menuntaskan berbagai pekerjaan hukum dan HAM dalam kedudukannya selaku Menteri Hukum dan HAM. “The right man on the wrong place”, demikian dikatakan. Tetapi di luar badan peradilan, Lopa toh sempat unjuk gigi. Ia intensif melakukan inspeksi mendadak di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Beberapa tindakan penertiban yang keras dilakukannya untuk memperbaiki pemenuhan kewajiban petugas-petugas imigrasi dan perlakuan petugas di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Salah satu tindakannya yang disambut publik adalah keputusannya untuk mengirimkan sejumlah terpidana kasus korupsi ke Nusakambangan. Salah satu di antaranya adalah Bob Hasan, pengusaha besar yang dekat Soeharto dan pernah sejenak menjadi Menteri Perdagangan di kabinet terakhir Soeharto sebelum lengser.

Di masa Soeharto, Baharuddin Lopa memang pernah menjadi Dirjen Pemasyarakatan. Dalam suatu percakapan –disela-sela suatu wawancara khusus– di satu ruang kecil yang menjadi kantornya saat ia masih menjadi Dirjen Pemasyarakatan, Baharuddin Lopa mengatakan LP kita penuh dengan maling-maling kecil saja. Maling-maling besarnya berkeliaran dengan bebas di dalam pemerintahan dan di lingkungan pengusaha yang dekat kekuasaan. Itu, pejabat-pejabat koruptor dan para konglomerat. Negeri ini sudah jadi negerinya para maling, ujarnya. “Tapi saya sekarang sudah tidak bisa berbuat banyak”. Ketika itu ia barangkali belum membayangkan bahwa suatu waktu ia akan menjadi Jaksa Agung, namun memang jelas tersirat bahwa ia lebih happy bila bertugas sebagai jaksa kembali. Sebagai orang yang sejak muda berkecimpung sebagi jaksa, bagaimanapun ia memiliki obsesi untuk menjadi Jaksa Agung, setidaknya menjadi Jaksa Agung Muda sebagai penutup karirnya. Tapi ia menyadari bahwa saat itu ia ‘dipagari’ agar tidak menjadi jaksa lagi dan tidak ‘mengacau’ permainan di pentas kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2.

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (2)

Bulog “sebuah lembaga yang penuh godaan”.  Pertamina yang “bagaikan negara di dalam negara, semacam kerajaan gurita”.

Pada bulan Juni tahun 1973, Achmad Tirtosudiro diberhentikan dari jabatan Kepala Bulog dan diangkat menjadi Duta Besar RI di Republik Federasi Jerman (Jerman Barat, waktu itu). Kala itu, pengangkatan menjadi duta besar, dikonotasikan sebagai hal yang tidak menggembirakan, bahkan kerap dianggap sebagai ‘pembuangan’. Penggantian Achmad Tirtosudiro, tidak berarti kegagalan-kegagalan yang berulang-ulang Bulog dalam menjalankan fungsinya ikut berhenti. Di bawah para pengganti Achmad Tirto, siapa pun dia, kesalahan tetap terulang. Apakah orang-orang di Bulog itu bodoh-bodoh ? Jelas tidak betul kalau dikatakan demikian. Maka hanya ada satu jawaban untuk ini, yaitu bahwa kegagalan-kegagalan yang merugikan kepentingan umum dan kepentingan negara, terjadi karena telah tumbuh dan berkembangnya satu tradisi khusus yang terkait dengan permainan yang berbau korupsi. Tradisi khusus ini makin menguat dari waktu ke waktu, apalagi kemudian, Bulog tak hanya mengurusi beras, tetapi juga kebutuhan pokok lainnya, mulai dari gula, minyak goreng, tepung terigu sampai kepada impor dan pengaturan jatah kedele. Bersamaan dengan meluasnya lapangan wewenangnya untuk mengelola sembako (sembilan bahan pokok) itu, Bulog lalu juga menjadi ‘lumbung’ dana non budgetair dengan aneka penggunaan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan kekuasaan.

Tapi Bulog sendiri memanglah suatu lembaga yang penuh godaan. Seperti dalam mitologi Yunani, seolah-olah lembaga itu memiliki satu kotak Pandora yang sekali dibuka akan menebar dosa dan kejahatan nan membelit tanpa bisa diakhiri. Sejauh ini, secara empiris, tak pernah ada pimpinan Bulog yang mampu luput dari permasalahan, begitu pula sejumlah eselon di  bawahnya. Sejak Bustanil Arifin SH, Ir Beddu Amang hingga Dr Rahardi Ramelan menteri Perindustrian dan Perdagangan yang merangkap Kepala Bulog di masa Presiden BJ Habibie, semua pernah berurusan dengan masalah hukum dan bahkan hingga kepada vonnis-vonnis pengadilan, terkait dengan sangkaan manipulasi yang mencapai angka ratusan milyar rupiah. Beberapa nama Presiden pun sempat dikaitkan dengan aroma dan godaan ‘dana non budgetair’ sejak Soeharto, Habibie sampai Abdurrahman Wahid. Di masa Habibie, muncul kasus dana non budgetair yang melibatkan secara hukum nama Dr Rahardi Ramelan dan Ir Akbar Tandjung selaku Menteri Sekretaris Negara.

Rahardi Ramelan mendekam dalam penjara, sementara Akbar Tandjung dinyatakan tak bersalah di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Di balik berita, sebenarnya terdengar dan diketahui bahwa pada masa Habibie itu bukan hanya Akbar Tandjung yang ‘menerima’ dana non budgetair, melainkan juga ada nama-nama tokoh politik tingkat tinggi dari berbagai partai ranking atas peserta Pemilihan Umum 1999 sebagai penerima dana ex kotak Pandora. Namun, mengutip kata-kata seorang tokoh perjuangan 1966 yang di zaman mahasiswa kerap berseberangan dengan Akbar, “kebetulan Akbar saja yang sedang sial”. Di masa Abdurrahman Wahid, muncul kasus ‘Bulog Gate’ yang dijadikan salah satu alasan dan batu loncatan untuk menjatuhkan kedudukannya. Sedang dalam masa pemerintahan Megawati, sorotan terhadap Bulog yang dipimpin Drs Widjanarko Puspojo –mantan Ketua Umum DPP Ampi, Golkar, sebelum bergabung ke PDIP– yang semula hanya sebatas polemik impor beras dan peranan Bulog dalam imbal beli pesawat jet tempur Sukhoi, pada akhirnya juga berujung pada peradilan dan vonis penjara. Dan, kotak Pandora sudah terlanjur terbuka.

Kehidupan gemerlap ‘para raja’

ADA gula ada semut. Bulog memang adalah satu diantara badan pembawa rejeki pada menjelang dan sesudah 1970. Tidak mengherankan bahwa Bulog menjadi pusat perhatian bagi banyak pihak, termasuk yang menginginkan Bulog sebagai sekedar dompet kepentingan pribadi maupun sebagai ‘lumbung dana’ kepentingan politik dan kekuasaan.

Tetapi yang lebih legendaris sebenarnya, adalah Pertamina (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional) yang pada masa-masa awal Orde Baru telah menjelma sebagai sumber dana negara yang sekaligus juga sebagai sumber kepentingan khusus. Setelah ladang-ladang minyak baru tak berhentinya ditemukan dan dieksplorasi –satu hal yang tidak berhasil dilakukan di masa kekuasaan Soekarno– pusat kegemerlapan berada di Pertamina dan sekitarnya. Menurut catatan, pada tahun 1969 anggaran pemerintah mengandalkan ‘pemasukan’ 27 persen yang berupa bantuan dan pinjaman luar negeri. Sedang 14 persen berasal dari pajak penghasilan dan pajak penjualan minyak mentah dan produk minyak lainnya ke luar negeri (Baru setelah 1973 pemasukan pajak dari minyak ini meningkat lebih pesat).

Sebenarnya ‘kisah sukses’ Pertamina sudah dimulai sejak tahun 1957. Pertamina berasal dari sebuah perusahaan minyak Belanda yang dinasionalisasi pada tahun itu dan pengelolaannya ‘boleh dikatakan’ diserahkan kepada Angkatan Darat (tepatnya kepada perwira-perwira Angkatan Darat). Pertamina saat itu, tak dapat ikut terlalu ‘dinikmati’ oleh Soekarno, tetapi sebaliknya sangat menopang Angkatan Darat sehingga membuat Angkatan Darat memiliki kemandirian keuangan dan ekonomi sejak masa Soekarno. “Di bawah Orde Baru”, tulis seorang peneliti Perancis Francois Raillon yang merujuk tulisan-tulisan dari Mingguan Mahasiswa Indonesia, Pertamina “menjadi perusahaan terpenting di Indonesia berkat cara-cara pengembangan perusahaan yang non konvensional dan amat berani mengambil risiko”. Pertamina dipimpin Ibnu Sutowo “yang memimpinnya sebagai sebuah perusahaan pribadi. Ia melindungi  sepenuhnya para anak buah, dan pegawainya, sedangkan dari mereka ia mengharapkan kesetiaan sejati dan Sutowo sendiri hanya mengakui satu penguasa di Indonesia yaitu Kepala Negara”. Ibnu Sutowo adalah seorang pribadi kharismatik dengan gaya “bangsawan besar”. Meskipun Pertamina memiliki status sebagai perusahaan negara, dan karenanya berada di bawah Departemen Pertambangan, Ibnu Sutowo hanya melapor langsung kepada Kepala Negara. Pertamina merupakan satu inkarnasi dari ketimpangan-ketimpangan yang dapat dilihat dalam sebuah negara patrimonial.

Dua media pers yang tergolong paling depan dalam mengecam ketimpangan yang berkaitan dengan Pertamina, adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh tokoh pers Indonesia yang berintegritas tinggi Mochtar Lubis, serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang dipimpin Rahman Tolleng. Sedangkan kekuatan masyarakat yang paling kritis boleh dikatakan hanyalah para mahasiswa. Para mahasiswa intra kampus di Bandung termasuk diantara yang berada pada deretan depan dalam barisan yang paling kritis. Namun pada sisi lain, tak dapat dipungkiri pula adanya segelintir kalangan generasi muda di Jakarta yang cukup pandai memanfaatkan celah-celah untuk memperoleh keuntungan dan rezeki. Ada yang mendemo Pertamina, sementara yang lain bernegosiasi dengan Ibnu Sutowo, untuk netralisasi situasi.

“Segala sesuatunya di sekitar Jenderal Ibnu Sutowo adalah cemerlang dan gemerlapan. Pakaian seragamnya, kantornya yang dingin dibuat dari kayu jati (dengan minuman dingin coca cola dan air conditioning), pengawal-pengawalnya yang bersenjata, rumahnya yang megah di tengah kota yang tidak menentu, dan pesawat terbang jetnya”, tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia di tahun 1969. Penyelenggaraan pesta-pestanya pun disorot dan dikiaskan sebagai pestanya para Sultan. “Dengan wewenang khusus yang diperolehnya dari pimpinan negara dalam perminyakan, Ibnu Sutowo telah mengembangkan dirinya sebagai raja minyak Indonesia. Ia tidak lagi semata-mata bertindak selaku petugas yang memimpin usaha pertambangan minyak negara, tetapi juga wakil negara untuk urusan perminyakan dengan negara luar, melampaui kewibawaan Departemen Pertambangan yang notabene secara hirarkis jauh lebih tinggi kedudukannya”. Selain itu, Pertamina pun telah berubah bagaikan negara dalam negara, semacam kerajaan gurita. “Pertamina di bawah Ibnu Sutowo telah melebarkan sayap ke bidang-bidang usaha di luar perminyakan. Sudah menyusup ke dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional dan dikabarkan telah menanamkan modalnya di mana-mana sekehendak hati: di bidang perasuransian, pariwisata, restoran-restoran dan lain-lain”.

Pertamina pun berada di luar kontrol keuangan negara. Pertamina bisa memberikan sekehendaknya sumbangan terhadap pelbagai macam kegiatan dan organisasi, dengan jumlah yang cukup besar, sehingga menimbulkan tanda tanya. “Berapa banyak uang negara yang telah dihamburkan di luar kontrol Departemen Keuangan ? Dan sampai berapa jauhkah Ibnu Sutowo atau Pertamina mempunyai wewenang untuk mengeluarkan uang dari kasnya secara demikian ? Belum lagi  sumbangan-sumbangan yang diberikan secara tertutup kepada berbagai pihak dan golongan yang bisa menimbulkan kesan sebagai suatu usaha penyusunan kekuatan. Dan barang siapa yang membaca berita tentang pemberian sumbangan gedung baru dari Pertamina untuk Departemen Pertambangan, akan merasakan keganjilan. Betapa mungkin sebuah perusahaan negara yang ada dalam lingkup wewenang Departemen itu sendiri bisa menghadiahkan sebuah gedung yang notabene dibeli dengan uang negara juga?”. Penghadiahan gedung terjadi pada tahun 1969. Namun, bukan hanya Departemen Pertambangan, gedung kantor Presiden, yakni Bina Graha pun merupakan ‘pemberian’ Pertamina. Bagi Presiden Soeharto, agaknya Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo juga adalah salah satu kocek untuk keperluan-keperluan khusus. Ketika misalnya mempersuasi Jenderal Soemitro pasca 15 Januari 1974 agar bersedia ‘mengalah’ menerima pos Duta Besar di Washington, dan Soemitro mengajukan penolakan dengan alasan ‘keluarga saya besar, banyak anak’, Soeharto ‘tanggap’ dengan mengatakan “Nanti akan saya beritahu Ibnu untuk membantu”.

Pada tahun 1969, para teknokrat yang ada di pemerintahan, sepakat dengan kritik-kritik yang dilontarkan para mahasiswa dan sebagian pers. Mereka melancarkan upaya-upaya untuk mengembalikan Pertamina pada relnya. Mereka mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa keuangan Pertamina. BPK gagal, karena tak diperkenankan melihat semua buku kas dan tidak boleh mengetahui prosedur pemakaian uang. Bukan hanya karena dihadang oleh Pertamina saja, tetapi juga karena tak ada dukungan dari berbagai pihak dalam kekuasaan yang rupanya berkepentingan dengan ‘ketertutupan’ Pertamina. Upaya meminta ‘bantuan” Presiden Soeharto juga tidak mendapat tanggapan. Jadi, ke mana lagi ? Bahkan belakangan, menghadapi segala serangan, Ibnu Sutowo berhasil menggalang kolega-koleganya dari kalangan jenderal untuk menangkis, sehingga keluar pernyataan “pemerintah akan melindungi Pertamina terhadap serangan-serangan yang bertujuan menghancurkan Pertamina”.

Pendek kata, pada sekitar tahun 1970, sebelumnya maupun hingga 5 tahun sesudahnya Pertamina begitu kokohnya. Setelah itu baru lah kekuatan benteng Pertamina itu luruh, tatkala pada tahun 1975 perusahaan itu nyaris bangkrut karena tak mampu membayar miliaran dolar utang jangka pendek yang dibuat Ibnu Sutowo dalam mengejar ambisinya membangun berbagai proyek yang sebenarnya sudah di luar jangkauan keuangan dan kemampuan ril Pertamina. Ibnu Sutowo akhirnya diganti. Setidak-tidaknya Ibnu telah membuktikan kepiawaiannya atas para pengeritiknya. Banyak diantara para pengeritiknya lebih dulu mati terkubur, seperti misalnya Harian Indonesia Raya dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Tampuk kepemimpinan Pertamina telah berganti. Tapi lagi-lagi, pergantian tidak selamanya berarti ‘end of the game’. Permainan berjalan terus dalam babak-babak baru dengan episode dan para pelaku baru pula. (Untuk mendapat referensi dari sisi lain, pembaca tulisan ini bisa membaca sebuah buku biografi Ibnu Sutowo, disusun Ramadhan KH, yang diluncurkan puteranya Pontjo Sutowo beberapa bulan berselang).

Bagi banyak pengelola BUMN yang lain, sebenarnya Pertamina besar ‘jasa’nya. Karena, dengan berbagai lakonnya Pertamina telah menyedot perhatian dan kritik yang besar, sehingga permainan yang berlangsung di BUMN yang lain dianggap kecil dan nyaris tak terperhatikan. Padahal, pada kurun waktu yang sama, sejak 1969 hingga tahun 1970-an, tak kurang banyaknya raja-raja kecil yang berkuasa dan bermain dengan leluasa. Gaya hidup bermewah-mewah bukan monopoli orang-orang Pertamina semata, melainkan milik banyak kalangan BUMN lainnya maupun lembaga-lembaga pemerintahan. Roesman Anwar –seorang kalangan BUMN yang sering menulis secara kritis di Mingguan Mahasiswa Indonesia– jauh-jauh hari, masih di tahun 1968 pada saat pemerintahan Soekarno masih terbilang seumur jagung, telah mengingatkan melalui suatu pemaparan. “Mobil nampak-nampaknya merupakan lambang prestise pertama. Sebuah Mercedes atau Holden baru seakan merupakan keharusan untuk dimiliki seorang manager”. Ia mengaku pernah melihat dari dekat “bagaimana seseorang yang di hari pertamanya sebagai Direktur memerintahkan untuk menyediakan sebuah Holden baru dan memperbaiki mobil lamanya untuk dipakai oleh sang isteri, yang semuanya dibebankan pada perusahaan”. Dan merupakan kebiasaan pula bahwa kalau suatu saat terjadi pergeseran maka sang mobil ikut pergi dengan ‘majikannya’. Untuk pejabat penggantinya terpaksa disediakan lagi mobil baru. “Rumah adalah sasaran kedua”. Kalau rumah sudah dimiliki maka rumah tersebut harus dirombak agar tampak lebih representatif, ditambah dengan ‘isinya’ yang serba ‘up-to-date’, mulai dari mebel sampai AC-nya”. Sasaran ketiga, adalah perlu melakukan perjalanan dinas ke luar negeri untuk kepentingan segala macam proyek serta segala macam pembicaraan dagang. Kalau tujuannya Jepang, meskipun merupakan rute aneh dalam peta, “maka diperlukan singgah di Eropa Barat, sekedar untuk menambah pengetahuan dan menambah relasi”. Tidak jarang, sang isteri ikut pula mendampingi sang suami. “Dalam soal gaji, semuanya serba khusus, dengan segala macam dana-dana khusus yang tidak perlu dipertanggungjawabkan. Belum lagi keperluan ‘istirahat’ ke daerah-daerah sejuk di dalam negeri. Perusahaan semakin direpotkan dengan segala macam tagihan”.

BUMN-BUMN pada kurun waktu itu, cukup beraneka ragam, mulai dari perusahaan pelayaran seperti Pelni dan perusahaan penerbangan seperti Garuda, PN-PN Perkebunan, PN-PN perdagangan yang belakangnya berembel-embel ‘Bhakti’ semisal Panca Bhakti, dan sebagainya, serta deretan perusahaan milik pemerintah daerah. Perusahaan-perusahaan negara itu boleh mencatat rugi terus menerus, minimal impas, tetapi kehidupan para pengelolanya ada pada tingkat atas cukup mewah dan berkelebihan. Tak ada dalam kamus pemerintah kala itu untuk menutup, membubarkan apalagi menjual BUMN, sebagaimana ruginya sekalipun. Ini jauh berbeda dengan pemerintahan pasca reformasi saat ini, yang justru sangat bersemangat ‘menjual’ –dengan nama privatisasi– segala macam BUMN yang justru tercatat mampu meraih untung. Lain waktu lain kebiasaan, tapi baunya tetap sama.

Berlanjut ke Bagian 3

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (1)

NASIB lanjut pemberantasan korupsi di Indonesia, hingga Juli 2009 ini, penuh tanda tanya, terutama dalam kaitan eksistensi KPK sebagai lembaga yang paling diharapkan menjadi ujung tombak melawan korupsi. KPK mengalami kegoncangan setelah pecahnya kasus Ketua KPK Antasari Azhar yang dijadikan tersangka suatu kasus pembunuhan. Menyusul, tersiar luasnya kabar tentang rencana Polri dan Kejaksaan Agung yang akan memeriksa beberapa orang di jajaran pimpinan KPK lainnya karena tuduhan menerima suap PT Masaro rekanan Departemen Kehutanan. Bersamaan dengan itu, masih pula merupakan tanda tanya, apakah DPR periode 2004-2009 ini akan sanggup (atau mau) menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sebelum masa kerjanya berakhir? Atau kalau tidak, betulkah Presiden bersedia melahirkan Perpu sebagai pengganti UU, agar kelembagaan khusus Pengadilan Tipikor – yang terkait erat dengan kelanjutan kerja, bahkan eksistensi KPK dan nasib pemberantasan korupsi secara keseluruhan– eksis?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar untuk dilontarkan, karena berdasarkan pengalaman empiris sepanjang Indonesia merdeka, kekuasaan –eksekutif, legislatif maupun judikatif– lebih cenderung ‘bersahabat’ dengan korupsi daripada memberantasnya. Ada begitu banyak usaha pemberantasan korupsi telah dipatahkan selama puluhan tahun terakhir ini. Berikut ini sejumlah kilas balik sejarah korupsi di Indonesia, yang dipaparkan kembali dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004) dan berbagai catatan dokumentasi lainnya.

BENARKAH kekuasaan senantiasa berkecenderungan untuk korup ? Pada tahun 1970-an, adalah ungkapan yang dipinjam dari Lord Acton “Power tend to corrupt” tersebut termasuk paling sering dikutip dalam lontaran-lontaran kritik mengenai korupsi yang menggejala dengan kuat seiring dengan perubahan kekuasaan. Kutipan-kutipan dari Lord Acton itu –yang tak asing bagi para mahasiswa yang selalu mengambil peran terdepan gerakan anti korupsi– ditampilkan untuk menunjukkan terjadinya pengokohan kekuasaan baru pasca Soekarno yang makin nyata dengan bekal legitimasi Pemilihan Umum 1971 dan bersamaan dengan itu gejala korupsi ternyata memang juga terjadi dalam satu kurva menaik, bahkan seperti tak kenal henti lagi hingga bertahun-tahun kemudian. Sehingga, pada akhirnya memang layak bila dikatakan bahwa korupsi telah memasuki ‘perspektif keabadian’ di Indonesia. Pada berbagai kesempatan, Dr Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI yang pertama dan salah seorang proklamator, bahkan menyebutkan bahwa korupsi itu telah menjadi kebudayaan di Indonesia. Ungkapan bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ memang tak asing dalam ‘kehidupan’ Indonesia, yang oleh cerdik cendekia Jawa masa lampau cukup digambarkan dengan satu kata, ‘dumeh’.

Kasus penolakan pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) yang merebak di tahun 1972 ada dalam posisi penting dalam konteks perlawanan terhadap perilaku korupsi. Sebagai suatu kasus politik persoalan TMII memang dapat dianggap selesai pada bulan Maret 1972 itu, terutama setelah adanya jalan tengah melalui suatu proses di DPR. Tetapi sebagai pola, agaknya kasus itu menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan swasta, awal model penggunaan dana non budgetair, awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Jelas tak ada transaksi-transaksi nyata dan seketika antara kekuasaan dan swasta yang diminta menyumbangkan sedikit keuntungannya pada Proyek TMII yang dinyatakan bukan proyek pemerintah, kendati melibatkan Ibu Negara, sejumlah menteri dan gubernur. Tapi pada masa-masa berikutnya terbukti secara empiris bahwa mereka yang berjasa, secara tidak langsung mendapat ‘nama baik’ di mata kalangan kekuasaan dan memperoleh ‘benefit’ dengan berbagai cara dan bentuk. Semua berlangsung ibarat hembusan angin, tak terlihat dan tak dapat dipegang, namun terasa keberadaannya.

Dalam jangka waktu yang dekat-dekat dengan peristiwa Taman Mini dan sesudahnya, menjadi fenomena betapa makin pintarnya para oknum kekuasaan mengalirkan dana. Penyambutan-penyambutan pejabat tinggi dari pusat, misalnya, menjadi alasan yang kuat bagi para pejabat daerah untuk melakukan pengeluaran biaya yang boros. Kritik atas contoh soal yang pernah dilontarkan adalah kasus pemborosan penyambutan Ibu Negara dan ibu-ibu Ria Pembangunan (organisasi isteri menteri kabinet) beserta puluhan isteri pejabat pusat yang datang ke Sulawesi Utara dengan satu Fokker 28 Pelita Air anak perusahaan Pertamina. Kedatangan para ibu itu untuk meresmikan antara lain beberapa poliklinik dan gedung wanita. Penyambutan yang dilakukan oleh Gubernur HV Worang dan Nyonya itu dinilai begitu megah dan semarak, sehingga menurut Harian Kompas biaya penyambutan yang dikeluarkan dari kas Pemerintah Daerah Sulawesi Utara itu sendiri masih bisa dan cukup untuk dipakai membangun sebuah poliklinik lagi. Apakah itu sekedar pemborosan, atau dibalik pemborosan itu ada korupsi, tak ada cara untuk mengetahui dan membuktikannya saat itu. Masyarakat hanya bisa melihat satu fakta empiris yang merisaukan, namun tak mendapat jawaban atas pertanyaan apa di balik itu semua, selain bahwa itu adalah bagian dari berkembangnya sikap ABS (Asal Bapak/Ibu Senang).

 

Tikus sehat di lumbung yang hampir kosong

PADA saat para pelaksana proyek Taman Mini Indonesia Indah mulai ambil ancang-ancang untuk membangun impian Ibu Negara, tanah air dilanda krisis harga dan persediaan beras. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, bermula sejak munculnya sikap keras penguasa terhadap kritik-kritik mahasiswa anti Taman Mini, pengekangan kebebasan menjalankan hak-hak politik, kebebasan bersuara dan mengeritik, meningkat. Sikap keras dan ketat itu berlanjut saat penguasa menghadapi protes krisis beras.

Kegagalan dalam pengadaan beras melalui pembelian kepada petani yang diselenggarakan oleh Badan Urusan Logistik yang dipimpin Mayor Jenderal Achmad Tirtosudiro, memicu kenaikan harga-harga dalam negeri. Pengelolaan Bulog memang amat buruk dan selalu menjadi sasaran kritik banyak pihak dan para mahasiswa. Bulog ini dimata mahasiswa dikenal pula sebagai tempat terjadinya banyak penyelewengan, sejak beberapa tahun sebelumnya. Kegagalan pengadaan beras akibat pengelolaan buruk ini, menyebabkan membanjirnya kecaman dan kritik terhadap Bulog dan Achmad Tirtosudiro. Muncul Gerakan Anti Lapar dari kalangan mahasiswa. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang mendukung gerakan-gerakan itu, menyalurkan pula aspirasi mahasiswa Bandung yang menuntut Kepala Bulog Achmad Tirtosudiro diganti dan penyelewengan-penyelewengan dilingkungan Bulog segera dihentikan dan ditindak secara hukum.

Kegagalan Bulog dipenghujung 1972 itu, membuka lagi borok-borok lama yang pernah terjadi di Bulog sebelumnya, tatkala Bulog masih dikenal dengan singkatan BUL (Badan Urusan Logistik). Salah satu diantaranya adalah skandal Beras Tekad. Apa yang disebut Beras Tekad ini adalah suatu produk beras ‘sintetis’ yang diproduksi oleh PT Mantrust milik pengusaha bernama Teguh Sutantyo di Bandung dengan dukungan kuat Kepala BUL Achmad Tirtosudiro dari belakang. Tekad adalah singkatan dari ‘ketela, kacang, djagung’ (djagung adalah ejaan lama bahasa Indonesia untuk jagung). Beras sintetis dimaksudkan untuk mengisi bilamana terjadi kekosongan atau kelangkaan beras. Tapi biaya produksi Tekad ini ternyata terlalu tinggi dan tidak ekonomis. Ditambah lagi pada waktu itu tercium adanya aroma penyelewengan dana, sehingga mendapat kritikan dan penentangan yang keras. PT Mantrust ini dalam penampilan lahiriah memperlihatkan diri punya sekumpulan keinginan untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam produksi bahan makanan. Hanya saja, setiap kreativitasnya, umumnya gagal karena lebih menonjol aroma penyelewengannya untuk kepentingan komersial. Selain mengintroduksi Tekad, Mantrust pun dikenal sebagai produsen berbagai kebutuhan ransum tentara –namun sayangnya bermutu rendah– seperti misalnya nasi goreng dalam kaleng. Mantrust pun memproduksi daging kaleng. Mutu daging kalengnya cukup bagus, namun kerap kurang teliti dalam pengawasan internal. Pernah terjadi sejumlah daging kaleng yang sudah kadaluarsa dan sempat ditarik kembali, dipasteurisasi ulang lalu diedarkan kembali dengan label baru. Ternyata, di pasaran kalengnya kembung dan bagian dalamnya mengandung karat sehingga bisa membahayakan konsumen.

Jadi memang ironis, saat lumbung negara hampir kosong, ada ‘tikus’ negara yang bukan ‘milik negara’ bersama ‘tikus’ swasta bisa gemuk dengan memanfaatkan situasi. Bahkan lebih dari sekedar memanfaatkan situasi, kerap kali BUL atau Bulog malah menyebabkan keruwetan-keruwetan dalam masalah beras karena kebijakannya yang aneh dan salah tempat maupun waktu. BUL membeli beras tanpa kenal waktu dan tanpa melihat ‘angin’. Seringkali terjadi ia memborong beras dari petani dan pasaran di musim paceklik, disaat beras di pasaran kurang. Tidak ayal lagi harga beras melonjak, seperti misalnya di tahun 1967 dan awal 1968. Sebaliknya, di saat harga sangat rendah, BUL tidak berhenti membagi-bagikan beras konsumsi pegawai negeri, pegawai perusahaan negara dan ABRI. Maka makin merosotlah harga beras, membuat petani di mana-mana menjerit. Alangkah tragisnya apa yang terjadi pada suatu ketika. Di tengah-tengah jeritan para produsen beras karena tidak bisa menjual kelebihan beras mereka (kuartal akhir 1968 dan kuartal awal 1969), BUL tidak henti-hentinya mendatangkan beras impor. Pada 14 April 1969 misalnya, dari Korea tiba 113.000 x 80 kg beras kelas menengah dengan harga tinggi. Padahal waktu itu di dalam negeri terdapat banyak kelebihan beras yang bisa dibeli dengan “harga lebih murah dengan mutu baik”. Kala itu ada gambaran bahwa BUL merupakan tempat manipulasi dan mencari keuntungan, padahal tugasnya adalah untuk menjaga stabilisasi persediaan beras dan stabilisasi harga beras. Untuk apa dana-dana yang diperoleh dengan ‘memainkan’ pasar seperti itu ? Terbetik kabar bahwa BUL menjadi penyumbang dana ‘non budgetair’ bagi kelompok-kelompok tentara dan kelompok-kelompok kekuasaan lainnya, tak terkecuali ormas dan kelompok politik tertentu.

Soeharto saat itu sebenarnya mulai dikritik oleh beberapa pers yang punya keberanian, terlalu membiarkan ‘anak buah’ yang tidak beres, seperti di Bulog atau Pertamina. Kelak memang akan terbukti, bahwa salah satu sumber kejatuhan dan kehancuran reputasi Soeharto adalah ‘kegagalan’ dalam bertindak kepada para bawahan, kawan dan kerabatnya yang melakukan kesalahan berat, penyimpangan dan korupsi. Sehingga, di bagian akhir perjalanan politik dan kekuasaannya, seluruh beban dipikulkan ke bahunya, sebagaimana yang sangat kerap dimintanya sendiri, dan lama kelamaan tercipta dan menguat image bahwa memang dia lah yang memimpin korupsi rezim. Setelah tidak lagi dalam kekuasaan formal pemerintahan, Soeharto menjadi tujuan penindakan hukum. Namun secara dramatis dan tragis Jaksa Agung Marzuki Darusman kandas, tak berhasil membawanya ke depan pengadilan, meskipun kasus korupsi sang mantan Presiden sudah mulai digelar di Pengadilan Jakarta Selatan.

Berlanjut ke Bagian 2