Tag Archives: KPK

Indonesia: Belum Suatu Negara Hukum

“Praktis tak ada sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi dalam struktur kekuasaan Majapahit abad 14. Itu sebabnya tak ada KPK di Kerajaan Majapahit,…. Yang ada hanya Bhayangkara Kerajaan untuk menjaga ketertiban demi kekuasaan. Maka tak pernah ada kasus cicak-buaya di sana”.

PERISTIWA-peristiwa hukum yang mencuat belakangan ini dalam suatu suasana yang betul-betul hiruk-pikuk, di satu sisi menunjukkan betapa makin kritisnya masyarakat terhadap penegakan hukum, tetapi pada sisi lain memperlihatkan betapa Indonesia masih berada dalam situasi kegagalan bidang hukum sebagai bagian dari kegagalan sosiologis bangsa ini. Dari berbagai peristiwa itu tercermin betapa, ternyata, negara ini belumlah suatu negara hukum sebagaimana diamanatkan UUD, melainkan sekedar negara UU.

Banyak kalangan penegak hukum –pengacara, polisi, jaksa dan hakim– maupun anggota badan legislatif, dalam argumentasinya atas berbagai peristiwa hukum akhir-akhir ini, khususnya dalam perdebatan mengenai kasus KPK vs Polri, lebih menempatkan pasal-pasal undang-undang pada posisi unggul terhadap hakekat dasar dari hukum itu sendiri.

Pembelahan dan tekanan massa. Sementara itu, di ranah sosial, terjadi pembelahan masyarakat dengan sikap hitam-putih, pro atau kontra terhadap peristiwa ikutan ‘perseteruan’ KPK-Polri, seperti misalnya apakah kasus Bibit-Chandra dihentikan karena kurang kuatnya bukti atau sebaliknya dilanjutkan ke pengadilan seperti yang kuat diinginkan pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung? Terutama, sebelum munculnya ‘kata tengah’ dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah mendapat masukan dari Tim 8 Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Pembelahan di masyarakat ini menciptakan tekanan-tekanan massa –bercampur aduk antara yang spontan karena dorongan terusiknya rasa keadilan yang dimilikinya ataupun gerakan buatan karena unsur pengerahan– sehingga berpotensi munculnya fenomena baru berupa law by mobs untuk mendampingi fenomena-fenomena lama seperti law by order (oleh kekuasaan yang otoriter) maupun law by conspiration (yang dikenal sebagai mafia hukum atau mafia peradilan).

Tujuan utama hukum itu sendiri adalah menemukan kebenaran dan dari kebenaran itu lalu ditegakkan keadilan. Undang-undang, baik KUHP maupun KUHAP dan berbagai undang-undang khusus lainnya, sepenuhnya adalah untuk menegakkan tujuan utama dari hakekat hukum itu. Baik dalam undang-undang tentang kepolisian, kejaksaan, hakim dan peradilan maupun undang-undang tentang pengacara, selalu tercantum fungsi sebagai penegak hukum. Selain itu senantiasa terkandung setidaknya satu pasal yang harus kita anggap penting, tentang diskresi, yang pengertian dasarnya secara dialektis memungkinkan dikesampingkannya pasal-pasal manapun, bilamana pelaksanaan atau penerapannya akan menyebabkan tak tercapainya keadilan, karena tak ditemukannya kebenaran. Setidaknya, jika takkan membuat rakyat atau warga negara –untuk siapa hukum itu diadakan– aman dan terlindungi.

Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, bilamana para penegak hukum masih selalu membalikkan pemahaman bahwa undang-undang adalah lebih penting dari hakekat hukum itu sendiri, berarti kita memang masih tetap sebagai suatu negara kekuasaan, bukan negara hukum. Persis sama dengan masa kekuasaan otoriter Soekarno maupun Soeharto, di mana hukum menjadi alat kekuasaan melalui berbagai undang-undang yang dijalankan sebagai alat supresi. Pun  tak beda jauh dengan keadaan pada masa kolonial. Bahkan barangkali masih punya kesamaan dengan zaman Kerajaan Majapahit.

Kerajaan yang selalu dielu-elukan dalam sejarah Nusantara ini, juga punya undang-undang, yang disebut sebagai Undang-undang Majapahit. Tetapi Kerajaan Majapahit bukanlah sebuah negara hukum. Undang-undang Majapahit hanyalah kumpulan pasal-pasal pengendalian dan supresi oleh penguasa dan kasta-kasta tinggi terhadap kalangan akar rumput yang terdiri dari kasta-kasta rendah. Bilamana seorang kalangan penguasa atau kasta tinggi memetik buah-buahan dari pohon yang ditanam rakyat, perbuatan itu bukan kesalahan. Tetapi sebaliknya bila seorang kasta rendah berani memetik buah-buahan dari kebun-kebun milik kasta atas, ia bisa ditangkap lalu dikenakan hukuman siksa. Bandingkan dengan mbok Minah dari Banyumas tahun 2009 yang diproses oleh polisi karena tuduhan mencuri 3 biji buah coklat, diteruskan jaksa dan kemudian dihukum oleh hakim di pengadilan. Sang hakim boleh saja meneteskan air mata, tapi dalam konteks undang-undang ia ‘merasa’ harus tetap menjatuhkan hukuman dan ia melakukannya. Berdasarkan Undang-undang Majapahit, seorang kasta tinggi yang memperkosa budak perempuannya takkan mendapat hukuman apapun, kecuali ia memperkosa budak milik raja. Bandingkan dengan nasib gadis penjual telur dari Yogya bernama Sum Kuning yang diperkosa tahun 1970 oleh pemuda-pemuda putera pejabat tinggi dan kalangan bangsawan. Tatkala Sum Kuning melaporkan apa yang menimpanya, polisi malah menahan dan menuduhnya membuat laporan palsu disertai intimidasi sebagai anggota Gerwani. Polisi memanipulasi perkara dengan sejumlah skenario paksaan yang mengorbankan pihak jelata, sementara pelaku sebenarnya dari kalangan atas tak pernah tersentuh oleh hukum.

Dalam hal pelanggaran parusya (penghinaan), Pasal 220 Undang-undang Majapahit mengatur bahwa “seorang ksatria yang memaki-maki brahmana didenda 2 tali. Jika waisya memaki-maki brahmana didenda 5 tali. Jika brahmana memaki-maki sudra didenda ¼ tali. Tetapi jika sudra memaki-maki brahmana, ia dihukum mati”, (Sanento Juliman, 1971). Bandingkan dengan beberapa mahasiswa yang dari waktu ke waktu dijatuhi hukuman karena penghinaan kepada presiden dan bandingkan pula dengan kasus Prita Mulyasari tahun 2009. Undang-undang Majapahit menetapkan, makin tinggi pangkat seseorang, semakin terlepas ia dari hukuman. Tentu saja, Raja berdiri di atas ‘hukum’. Tetapi Majapahit memang bukan suatu negara hukum, melainkan suatu ‘negara’ kekuasaan. Praktis tak ada sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan korupsi dalam struktur kekuasaan Majapahit abad 14. Itu sebabnya tak ada KPK di Kerajaan Majapahit, karena memang tidak diperlukan, yang satu dan lain hal, terkait dengan mutlaknya kekuasaan. Yang ada hanya Bhayangkara Kerajaan untuk menjaga ketertiban demi kekuasaan. Maka tak pernah ada kasus cicak-buaya di sana.

Dalam Negara Hukum, tugas mencapai keadilan dalam konteks kebenaran, bukan hanya boleh terjadi di pengadilan, melainkan pada setiap jenjang pelaksanaan penegakan hukum: Pengacara hanya akan membela sebatas kebenaran yang ada pada kliennya, bahwa polisi takkan memaksakan sangkaan dan takkan memaksakan melanjutkan ke kejaksaan bila sangkaannya tak didukung kebenaran, sebagaimana jaksa menghentikan penuntutan bila tak ada dasar kebenaran bagi suatu perkara. Andai saja, pemahaman ideal seperti ini, ada pada setiap tingkatan penegak hukum, penyelesaian yang ideal bagi suatu kasus, juga akan terjadi. Tapi agaknya,  harapan tentang suatu situasi ideal seperti itu, untuk sementara masih harus disingkirkan

Keadaan hukum tanpa hukum. Jadi, negara kita ini, di tahun 2009 ini, sebuah negara hukum atau belum sebuah negara hukum? Seorang mantan Jaksa Agung, memberi catatan dalam sebuah tulisannya, tentang keadaan pelaksanaan hukum di Indonesia. Meskipun catatan itu sudah berusia lima tahun, terasa masih sangat relevan menggambarkan keadaan hukum kita hingga kini. “Dewasa ini kita menghadapi suatu realitas bahwa masyarakat Indonesia berada dalam suatu ‘keadaan hukum tanpa hukum’, di mana hukum lebih bersifat indikatif sebagai tanda telah diterapkannya ketentuan hukum”. Keadaan semacam ini membuat masyarakat tak dapat lagi mengenali apa yang disebut penegakan hukum sesungguhnya. Penegakan hukum tak lagi bisa dibedakan dengan sekedar tampak menjalankan hukum. Keadaan ini secara menyeluruh sama sekali tak memungkinkan lagi hukum menjalankan fungsi regulator yang masuk akal, melainkan semata-mata telah menjadi alur birokrasi untuk memproduksi dan mengadministrasi pemberkasan. “Ini berarti bahwa disfungsi sistem telah menyebabkan hukum kita telah berada pada suatu posisi yang sedemikian tiada”. (Marzuki Darusman, 2004).

Tetapi bukankah ‘sisa-sisa’ ketertiban masih terasa keberadaannya? Ketertiban minimal yang masih ada –setidaknya, yang disangka masih berlangsung hingga kini– “tidaklah bersumber pada hukum, melainkan merupakan ketertiban sebagai sisa momentun otoriterisme masa lalu”. Dengan demikian, penegakan hukum tidak lagi mungkin dilakukan dari dalam sistem hukum itu sendiri, melainkan memerlukan upaya-upaya luar biasa di bidang politik. Sementara itu, proses koruptif yang berkelanjutan secara definitif, menutup seluruh kemungkinan membawa masyarakat keluar dari lingkaran kebathilan yang permanen yang bagaimanapun menjadi bagian tak terpisahkan dari kegagalan sosiologis yang masih mendera bangsa ini.

Kisah Seorang Kepala Polisi dan Dua Jaksa Agung di ‘Negeri Para Maling’ (1)

– Rum Aly

Apapun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas. Apakah KPK pun akan mengikut jejak nasib mereka bertiga, ‘patah’ atau ‘dipatahkan’?

TATKALA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hari-hari belakangan ini seakan masuk ke ‘ladang pembantaian’ –diterpa badai dari luar sekaligus ‘badai dalam gelas’– pikiran terasosiasi kepada dua institusi penegak hukum lainnya yang juga punya wewenang penanganan pemberantasan korupsi. Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tak lain karena saat ini, kedua institusi ini sedang dan akan menangani tokoh-tokoh teras KPK dalam satu jalinan peristiwa rumit yang sengaja atau tidak berpotensi untuk meredupkan, bahkan memadamkan, nyala bintang masa kini  di panggung pemberantasan korupsi.

Antasari Azhar Ketua KPK non-aktif –seorang yang berlatar belakang karir jaksa– yang sedang diperiksa Polri sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen, bagai ‘meniupkan’ badai dalam gelas. Entah tersudut karena data yang ada dalam laptop-nya, entah karena alasan yang lebih complicated, Antasari membuat testimoni yang membuka kisah suap setidaknya atas dua orang pimpinan KPK lainnya oleh Anggoro Widjojo pimpinan PT Masaro dalam penanganan kasus SRKT (Sistem Komunikasi Radio Terpadu) Departemen Kehutanan. Testimoni ini akan menjadi dasar suatu gebrakan lanjut pihak Polri untuk ‘membersihkan’ KPK. Dengan segera dua –M. Jasin dan Bibit Samad Rianto– dari empat pimpinan KPK yang ‘tersisa’ menjawab dengan sengit bahwa testimoni Antasari itu mengandung fitnah.  Apa yang bergejolak di seputar KPK ini lalu memperkuat keyakinan sejumlah aktivis anti korupsi, bahwa KPK memang sedang dalam proses penghancuran.

Kelahiran KPK itu sendiri, terjadi karena kuatnya kesangsian banyak pihak, bahwa baik Polri maupun Kejaksaan Agung selama ini tidak mampu menunjukkan diri sebagai alat efektif untuk memberantas perilaku korupsi yang sudah seumur republik ini. Karena itu, dibutuhkan sapu baru. Itulah KPK. Dan publik tampaknya sangat menaruh harapan terhadap KPK. Tapi bagaimana bila testimoni Antasari itu ternyata mengandung kebenaran?

Menoleh sejenak ke masa lalu, Polri pun pernah menjadi bintang pengharapan dalam penegakan hukum, terutama dalam penanganan kriminal ‘tingkat atas’ (korupsi dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan lainnya), tatkala institusi itu dipimpin oleh Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Sementara itu, harapan yang sama pernah tercurah penuh kepada Kejaksaan Agung di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, baik ketika institusi itu dipimpin Marzuki Darusman SH maupun kemudian oleh Baharuddin Lopa SH yang menggantikannya. Apa pun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas.

Kekuasaan otoriter dan ‘kesaktian’ uang. Kapolri Hoegeng Iman Santoso pernah menangkapi para pelaku penyelundupan mobil,  Robby Tjahjadi dan kawan-kawan, yang di belakangnya melibatkan sejumlah orang kuat di republik ini. Anak buah Hoegeng menghadang dan menahan mobil-mobil mewah yang baru keluar dari perut pesawat Hercules, di mulut jalan keluar PAU Halim Perdanakususumah. Penyelundupan itu tidak berdiri sendiri, karena nama sejumlah perwira ABRI terlibat dan bahkan pucuk jalinannya ‘disebutkan’ berada di Cendana. Sebagai akhir cerita, Hoegeng ‘dipatahkan’, dicopot dan diganti. Hoegeng pun sebenarnya berkali-kali berada dalam posisi tak berdaya di hadapan kekuasaan rezim, sehingga tak berhasil menangani dengan baik dan benar beberapa kasus yang menarik perhatian publik kala itu, seperti kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning yang berusia 16 tahun di Yogya, kasus Gadis Ismarjati mahasiswa IKIP di Bandung, serta terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Coenrad di depan kampusnya dalam suatu insiden dengan para Taruna Angkatan 1970 Akabri Kepolisian. Dalam insiden yang disebut terakhir ini, kala itu pers kritis dan kalangan mahasiswa (begitu pula dalam opini publik) sesuai fakta jalannya peristiwa, kuat meyakini bahwa pembunuh Rene Coenrad adalah dari kalangan calon perwira yang segera dilantik itu. Tetapi, adalah kenyataan pahit, bahwa seorang bintara, Djani Maman Surjaman, dikorbankan sebagai kambing hitam dan dihukum dalam suatu peradilan yang diragukan kejujurannya. Lebih jauh tentang semua peristiwa ini, bisa dibaca dalam sebuah tulisan pada halaman lain blog ini, Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter (Juni 27, 2009).

TAK LAMA setelah masuk dalam kabinet/pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang diumumkan 26 Oktober 1999, sebagai Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman, menggebrak dengan mencabut SP3 atas diri mantan Presiden Soeharto, yang sebelumnya dikeluarkan oleh pejabat Jaksa Agung Ismujoko SH. Dengan demikian, perkara KKN mantan penguasa Indonesia selama 32 tahun itu, kembali dibuka. Sebenarnya banyak yang kala itu menilai tindakan Marzuki Darusman tersebut kurang taktis. Semestinya ia terlebih dulu ‘mengambil’ satu persatu orang-orang di lingkaran luar lalu bergerak lebih ke dalam sampai ke pusatnya. Kalau terbalik, lingkaran luar akan sempat membentuk front yang akan mati-matian membentengi nucleus, agar tak sampai terseret ke depan pengadilan dan dijatuhi hukuman. Karena, bila ini terjadi, akan melanjut sebagai efek domino, barisan KKN rezim akan ‘tumbang’ seluruhnya. Selain membuka kembali penyidikan atas diri Soeharto, dalam tempo yang sebenarnya cukup cepat, aparat Kejaksaan Agung menyeret satu persatu pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme dari masa rezim lama, seperti kasus BLBI, sekaligus kemudian berturut-turut menangani kasus-kasus baru (yang sebagian sudah dimulai oleh Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib) seperti kasus Bank Bali yang melibatkan Gubernur BI Syahril Sabirin, kasus Bahana yang mengaitkan antara lain nama Arifin Panigoro dan sebagainya. Kasus Bank Bali menyebabkan ia dimusuhi di lingkungan partainya sendiri, Golkar, karena ada keterlibatan masalah dana untuk Golkar dalam kasus tersebut. Tapi pada sisi lain ia juga dicurigai para aktivis anti korupsi takkan mungkin bersungguh-sungguh dalam penanganan perkara tersebut.

Dalam kasus BLBI sejumlah pengusaha dan bankir besar diseret masuk tahanan Kejaksaan Agung, sekalian pengusutan terhadap beberapa pejabat BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang seharusnya membenahi piring kotor akibat skandal BLBI. Sadar atau tidak, dengan menangani orang BI dan bankir serta pengusaha besar seperti itu, Marzuki Darusman berhadapan dengan para pemilik ‘kesaktian’ kekuatan uang, yang lama-lama menjadi tergorganisir dan melibatkan banyak kekuatan sosial-politik melalui perorangan-perorangan yang ternyata bisa dibeli meskipun setiap hari juga meneriakkan reformasi dan pemberantasan KKN. Situasi menjadi aneh, karena justru Kejaksaan Agung yang menjadi sasaran demonstrasi setiap hari. Garis tempur makin melebar ketika ia kemudian juga menangani sejumlah kasus di Pertamina dan menahan sejumlah mantan petinggi perusahaan minyak nasional tersebut, termasuk mantan Dirut Faisal Abda’u. Apalagi ketika ia kemudian juga merambah menangani kasus TAC yang melibatkan nama Ginandjar Kartasasmita mantan menteri terkemuka rezim Soeharto dan saat itu di masa reformasi setelah 1998 adalah salah seorang Wakil Ketua MPR.

Marzuki Darusman, pernah menulis dalam referensi tema untuk buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter mengenai rangkaian demonstrasi ini. “Merupakan fenomena kala itu, setiap kali ada calon tersangka baru diperiksa di Kejaksaan Agung, serangkaian demonstrasi dengan sasaran Kejaksaan Agung terjadi. Memang, tema-tema yang ditampilkan dalam aksi unjuk rasa itu umumnya sepertinya idealistis dan ‘mulia’ mengenai penegakan hukum, namun senantiasa pula dibarengi dengan kecaman yang menyudutkan dan tuduhan-tuduhan tentang latar belakang politis. Kepada saya pernah disajikan –oleh saudara Rum Aly, penulis buku ini– sejumlah data yang menunjukkan adanya korelasi antara frekuensi pengajuan calon tersangka dengan frekuensi unjuk rasa ke Kejaksaan Agung pada kurun waktu yang bersamaan. Menurut ‘penelitian’ dan informasi yang diperoleh oleh yang bersangkutan, sebagian terbesar –untuk tidak menyebut hampir seluruh– unjuk rasa itu dibiayai oleh orang-orang yang sedang dalam ‘kasus’, tanpa disadari oleh massa atau anggota masyarakat yang dikerahkan”. Menurut logika dan data empiris, mereka yang menyandang ‘kasus’ pada umumnya pernah berhasil mengambil dan menguasai kekayaan negara dalam jumlah puluhan dan ratusan miliar, bahkan hingga triliunan rupiah, sehingga secara finansial memang mempunyai kemampuan membiayai apa saja.

‘Perlawanan’ paling sengit diperlihatkan oleh Ginandjar, yang menyatakan dirinya yakin tak bersalah dan apa yang menimpanya adalah berlatarbelakang politis. Ketika akan ditahan, Ginandjar berhasil ‘diloloskan’ oleh para pengacara dan barisan pengawal pribadinya, dan bisa sampai ke RS Pertamina yang tak jauh letaknya dari Gedung Kejaksaan Agung. Alasan yang digunakan, adalah bahwa ia memang akan berobat. Petugas Kejaksaan Agung tak berhasil membawa Ginandjar kembali ke Kejaksaan Agung. Ia bisa bertahan di tempat tidur kamar perawatannya, menggunakan alat penyangga di leher yang secara dramatis ‘menunjukkan’ bahwa ia betul-betul sakit. Mantan Wakil Presiden Sudharmono yang juga sedang dirawat di RS yang sama karena gangguan prostat, sebelum pulang ke rumah, bahkan sempat menjenguk Ginandjar di kamarnya, dan agaknya cukup ‘terkesan’ dengan penyangga yang melingkar di leher sang Wakil Ketua MPR itu.

Meskipun sebenarnya sedang agak marah kepada Ginandjar sebagai salah satu golden boy Soeharto dan juga Sudharmono sendiri, tetapi tega ‘mengkhianat’i Soeharto, dengan balik badan pada bulan Mei 1998 –justru pada saat secara batiniah Soeharto sedang ada pada satu titik nadir– Sudharmono tetap menunjukkan sikap ‘membela’. “Kok, sampai hati Marzuki mau menangkap Ginandjar”, ujar Sudharmono kepada Rum Aly (penulis catatan ini). “Katanya bertiga, Akbar, Ginandjar, Marzuki triumvirat penyelamat Golkar……”. Ketika dijawab, “Kan ini masalah hukum pak, dan Marzuki yakin pada bukti-bukti hukum yang ada”, Sudharmono lalu melanjutkan, “Tapi ya, tidak bisa begitu…”. Sewaktu diteruskan lagi dengan suatu pernyataan yang sebenarnya tidak relevan, “Hitung-hitung saja, pak Dhar, ini adalah ganjaran terhadap apa yang dilakukan Ginandjar kepada pak Harto”, Sudharmono SH tidak menjawab lagi. Terlepas dari adanya suatu situasi bahwa Sudharmono SH pernah dikecewakan Soeharto ketika ‘tidak’ diperkenankan merangkap jabatan Wakil Presiden dengan jabatan Ketua Umum Golkar pada Munas Golkar setelah Pemilihan Umum 1987, Sudharmono tetap bersikap loyal kepada Soeharto. Tidak berkenannya Soeharto itu, menempatkan Sudharmono dalam posisi ‘lebih’ lemah kendati ia adalah Wapres. Dan ini secara tidak langsung berpengaruh juga kepada nasibnya di belakang hari dalam Sidang Umum MPR 1993. Tidak bisa menduduki posisi Wapres untuk kedua kali, walau Presiden Soeharto masih menginginkannya. Sebelum pemilihan umum 1987, tak lama setelah kejatuhan Presiden Marcos di Filipina, pernah ada skenario berdasar keinginan Soeharto: Bahwa setelah pemilu 1987, Sudharmono akan menjadi Wakil Presiden mendampingi Soeharto. Ini terjadi. Sesudah pemilu 1992, Soeharto takkan mau melanjutkan lagi dan Sudharmono naik ke posisi teratas didampingi Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Separuh dari rencana tahap dua ini tidak terjadi. Soeharto ternyata mengikuti anjuran “lanjutkan” dari inner circle-nya untuk menjadi Presiden kembali, Try Sutrisno menjadi Wakil Presiden melalui suatu proses cukup dramatis di SU MPR 1993.

MESKIPUN melakukan perlawanan yang cukup keras, pada akhirnya Ginandjar berhasil juga dijemput oleh petugas Kejaksaan Agung dan dimasukkan ke dalam rumah tahanan Kejaksaan Agung. Beberapa pengacaranya ‘setia’ ikut mendampingi menginap bersesak-sesak di sel tahanan. Namun kemudian Ginandjar Kartasasmita berhasil memenangkan proses pra peradilan di Jakarta Selatan. Kejaksaan Agung dianggap tak berhak menangani kasus Ginandjar dan menahannya, karena sewaktu melakukan perbuatan yang disangkakan, Ginandjar masih seorang perwira tinggi ABRI (Angkatan Udara) yang aktif. Dengan demikian, Kejaksaan Agung harus memproses sebagai perkara koneksitas. Ketika akhirnya tim koneksitas dibentuk dengan susah payah, Kejaksaan Agung sudah kehilangan kendali. Sampai saat itu, tak ada sejarahnya ABRI menghukum para perwiranya, kecuali bila sang perwira ‘mencuri’ uang di tubuh organisasinya sendiri.

Kuburan’ dan Nusakambangan. Sebenarnya, sebelum dan sesudah ‘terkuburnya’ kasus Ginandjar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Agung Marzuki Darusman beberapa kali bertemu dan atau berkomunikasi telepon dengan Baharuddin Lopa yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan) sejak 9 Februari 2001. Intinya adalah Marzuki Darusman minta bantuan Baharuddin Lopa agar berbuat sesuatu sesuai kewenangan dan wibawa yang dimilikinya, memberi arah positif untuk terciptanya sikap yang membantu pemberantasan korupsi di kalangan para hakim. Ini menyusul sejumlah fakta empiris betapa pengadilan tertentu di Jakarta telah menjadi kuburan beberapa kasus pidana korupsi setidaknya selama satu tahun terakhir. Meski Lopa menyatakan akan membantu, tetapi dalam kenyataan tak ada perubahan yang signifikan terjadi. Tampaknya, salah satu penyebabnya adalah bahwa berbeda dengan masa lampau, ‘kewenangan’ Menteri Hukum (dahulu Menteri Kehakiman) masa reformasi terhadap para hakim jauh menyurut. Wewenang aspek juridis lebih banyak berada di tangan Mahkamah Agung. Kebebasan hakim lebih dikedepankan terlepas dari esensi pemahaman yang sebenarnya mengenai aspek kebenaran dan keadilan dalam hukum.

Baharuddin Lopa punya reputasi luarbiasa sebagai jaksa yang handal, namun agaknya tidak sebagai menteri hukum atau posisi non-jaksa lainnya. Dua ahli hukum yang terkemuka, Loebby Luqman SH dan Luhut Pangaribuan SH, sempat menyatakan kesangsian mengenai kemampuan Lopa menuntaskan berbagai pekerjaan hukum dan HAM dalam kedudukannya selaku Menteri Hukum dan HAM. “The right man on the wrong place”, demikian dikatakan. Tetapi di luar badan peradilan, Lopa toh sempat unjuk gigi. Ia intensif melakukan inspeksi mendadak di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Beberapa tindakan penertiban yang keras dilakukannya untuk memperbaiki pemenuhan kewajiban petugas-petugas imigrasi dan perlakuan petugas di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Salah satu tindakannya yang disambut publik adalah keputusannya untuk mengirimkan sejumlah terpidana kasus korupsi ke Nusakambangan. Salah satu di antaranya adalah Bob Hasan, pengusaha besar yang dekat Soeharto dan pernah sejenak menjadi Menteri Perdagangan di kabinet terakhir Soeharto sebelum lengser.

Di masa Soeharto, Baharuddin Lopa memang pernah menjadi Dirjen Pemasyarakatan. Dalam suatu percakapan –disela-sela suatu wawancara khusus– di satu ruang kecil yang menjadi kantornya saat ia masih menjadi Dirjen Pemasyarakatan, Baharuddin Lopa mengatakan LP kita penuh dengan maling-maling kecil saja. Maling-maling besarnya berkeliaran dengan bebas di dalam pemerintahan dan di lingkungan pengusaha yang dekat kekuasaan. Itu, pejabat-pejabat koruptor dan para konglomerat. Negeri ini sudah jadi negerinya para maling, ujarnya. “Tapi saya sekarang sudah tidak bisa berbuat banyak”. Ketika itu ia barangkali belum membayangkan bahwa suatu waktu ia akan menjadi Jaksa Agung, namun memang jelas tersirat bahwa ia lebih happy bila bertugas sebagai jaksa kembali. Sebagai orang yang sejak muda berkecimpung sebagi jaksa, bagaimanapun ia memiliki obsesi untuk menjadi Jaksa Agung, setidaknya menjadi Jaksa Agung Muda sebagai penutup karirnya. Tapi ia menyadari bahwa saat itu ia ‘dipagari’ agar tidak menjadi jaksa lagi dan tidak ‘mengacau’ permainan di pentas kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2.

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (1)

NASIB lanjut pemberantasan korupsi di Indonesia, hingga Juli 2009 ini, penuh tanda tanya, terutama dalam kaitan eksistensi KPK sebagai lembaga yang paling diharapkan menjadi ujung tombak melawan korupsi. KPK mengalami kegoncangan setelah pecahnya kasus Ketua KPK Antasari Azhar yang dijadikan tersangka suatu kasus pembunuhan. Menyusul, tersiar luasnya kabar tentang rencana Polri dan Kejaksaan Agung yang akan memeriksa beberapa orang di jajaran pimpinan KPK lainnya karena tuduhan menerima suap PT Masaro rekanan Departemen Kehutanan. Bersamaan dengan itu, masih pula merupakan tanda tanya, apakah DPR periode 2004-2009 ini akan sanggup (atau mau) menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sebelum masa kerjanya berakhir? Atau kalau tidak, betulkah Presiden bersedia melahirkan Perpu sebagai pengganti UU, agar kelembagaan khusus Pengadilan Tipikor – yang terkait erat dengan kelanjutan kerja, bahkan eksistensi KPK dan nasib pemberantasan korupsi secara keseluruhan– eksis?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar untuk dilontarkan, karena berdasarkan pengalaman empiris sepanjang Indonesia merdeka, kekuasaan –eksekutif, legislatif maupun judikatif– lebih cenderung ‘bersahabat’ dengan korupsi daripada memberantasnya. Ada begitu banyak usaha pemberantasan korupsi telah dipatahkan selama puluhan tahun terakhir ini. Berikut ini sejumlah kilas balik sejarah korupsi di Indonesia, yang dipaparkan kembali dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004) dan berbagai catatan dokumentasi lainnya.

BENARKAH kekuasaan senantiasa berkecenderungan untuk korup ? Pada tahun 1970-an, adalah ungkapan yang dipinjam dari Lord Acton “Power tend to corrupt” tersebut termasuk paling sering dikutip dalam lontaran-lontaran kritik mengenai korupsi yang menggejala dengan kuat seiring dengan perubahan kekuasaan. Kutipan-kutipan dari Lord Acton itu –yang tak asing bagi para mahasiswa yang selalu mengambil peran terdepan gerakan anti korupsi– ditampilkan untuk menunjukkan terjadinya pengokohan kekuasaan baru pasca Soekarno yang makin nyata dengan bekal legitimasi Pemilihan Umum 1971 dan bersamaan dengan itu gejala korupsi ternyata memang juga terjadi dalam satu kurva menaik, bahkan seperti tak kenal henti lagi hingga bertahun-tahun kemudian. Sehingga, pada akhirnya memang layak bila dikatakan bahwa korupsi telah memasuki ‘perspektif keabadian’ di Indonesia. Pada berbagai kesempatan, Dr Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI yang pertama dan salah seorang proklamator, bahkan menyebutkan bahwa korupsi itu telah menjadi kebudayaan di Indonesia. Ungkapan bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ memang tak asing dalam ‘kehidupan’ Indonesia, yang oleh cerdik cendekia Jawa masa lampau cukup digambarkan dengan satu kata, ‘dumeh’.

Kasus penolakan pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) yang merebak di tahun 1972 ada dalam posisi penting dalam konteks perlawanan terhadap perilaku korupsi. Sebagai suatu kasus politik persoalan TMII memang dapat dianggap selesai pada bulan Maret 1972 itu, terutama setelah adanya jalan tengah melalui suatu proses di DPR. Tetapi sebagai pola, agaknya kasus itu menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan swasta, awal model penggunaan dana non budgetair, awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Jelas tak ada transaksi-transaksi nyata dan seketika antara kekuasaan dan swasta yang diminta menyumbangkan sedikit keuntungannya pada Proyek TMII yang dinyatakan bukan proyek pemerintah, kendati melibatkan Ibu Negara, sejumlah menteri dan gubernur. Tapi pada masa-masa berikutnya terbukti secara empiris bahwa mereka yang berjasa, secara tidak langsung mendapat ‘nama baik’ di mata kalangan kekuasaan dan memperoleh ‘benefit’ dengan berbagai cara dan bentuk. Semua berlangsung ibarat hembusan angin, tak terlihat dan tak dapat dipegang, namun terasa keberadaannya.

Dalam jangka waktu yang dekat-dekat dengan peristiwa Taman Mini dan sesudahnya, menjadi fenomena betapa makin pintarnya para oknum kekuasaan mengalirkan dana. Penyambutan-penyambutan pejabat tinggi dari pusat, misalnya, menjadi alasan yang kuat bagi para pejabat daerah untuk melakukan pengeluaran biaya yang boros. Kritik atas contoh soal yang pernah dilontarkan adalah kasus pemborosan penyambutan Ibu Negara dan ibu-ibu Ria Pembangunan (organisasi isteri menteri kabinet) beserta puluhan isteri pejabat pusat yang datang ke Sulawesi Utara dengan satu Fokker 28 Pelita Air anak perusahaan Pertamina. Kedatangan para ibu itu untuk meresmikan antara lain beberapa poliklinik dan gedung wanita. Penyambutan yang dilakukan oleh Gubernur HV Worang dan Nyonya itu dinilai begitu megah dan semarak, sehingga menurut Harian Kompas biaya penyambutan yang dikeluarkan dari kas Pemerintah Daerah Sulawesi Utara itu sendiri masih bisa dan cukup untuk dipakai membangun sebuah poliklinik lagi. Apakah itu sekedar pemborosan, atau dibalik pemborosan itu ada korupsi, tak ada cara untuk mengetahui dan membuktikannya saat itu. Masyarakat hanya bisa melihat satu fakta empiris yang merisaukan, namun tak mendapat jawaban atas pertanyaan apa di balik itu semua, selain bahwa itu adalah bagian dari berkembangnya sikap ABS (Asal Bapak/Ibu Senang).

 

Tikus sehat di lumbung yang hampir kosong

PADA saat para pelaksana proyek Taman Mini Indonesia Indah mulai ambil ancang-ancang untuk membangun impian Ibu Negara, tanah air dilanda krisis harga dan persediaan beras. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, bermula sejak munculnya sikap keras penguasa terhadap kritik-kritik mahasiswa anti Taman Mini, pengekangan kebebasan menjalankan hak-hak politik, kebebasan bersuara dan mengeritik, meningkat. Sikap keras dan ketat itu berlanjut saat penguasa menghadapi protes krisis beras.

Kegagalan dalam pengadaan beras melalui pembelian kepada petani yang diselenggarakan oleh Badan Urusan Logistik yang dipimpin Mayor Jenderal Achmad Tirtosudiro, memicu kenaikan harga-harga dalam negeri. Pengelolaan Bulog memang amat buruk dan selalu menjadi sasaran kritik banyak pihak dan para mahasiswa. Bulog ini dimata mahasiswa dikenal pula sebagai tempat terjadinya banyak penyelewengan, sejak beberapa tahun sebelumnya. Kegagalan pengadaan beras akibat pengelolaan buruk ini, menyebabkan membanjirnya kecaman dan kritik terhadap Bulog dan Achmad Tirtosudiro. Muncul Gerakan Anti Lapar dari kalangan mahasiswa. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang mendukung gerakan-gerakan itu, menyalurkan pula aspirasi mahasiswa Bandung yang menuntut Kepala Bulog Achmad Tirtosudiro diganti dan penyelewengan-penyelewengan dilingkungan Bulog segera dihentikan dan ditindak secara hukum.

Kegagalan Bulog dipenghujung 1972 itu, membuka lagi borok-borok lama yang pernah terjadi di Bulog sebelumnya, tatkala Bulog masih dikenal dengan singkatan BUL (Badan Urusan Logistik). Salah satu diantaranya adalah skandal Beras Tekad. Apa yang disebut Beras Tekad ini adalah suatu produk beras ‘sintetis’ yang diproduksi oleh PT Mantrust milik pengusaha bernama Teguh Sutantyo di Bandung dengan dukungan kuat Kepala BUL Achmad Tirtosudiro dari belakang. Tekad adalah singkatan dari ‘ketela, kacang, djagung’ (djagung adalah ejaan lama bahasa Indonesia untuk jagung). Beras sintetis dimaksudkan untuk mengisi bilamana terjadi kekosongan atau kelangkaan beras. Tapi biaya produksi Tekad ini ternyata terlalu tinggi dan tidak ekonomis. Ditambah lagi pada waktu itu tercium adanya aroma penyelewengan dana, sehingga mendapat kritikan dan penentangan yang keras. PT Mantrust ini dalam penampilan lahiriah memperlihatkan diri punya sekumpulan keinginan untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam produksi bahan makanan. Hanya saja, setiap kreativitasnya, umumnya gagal karena lebih menonjol aroma penyelewengannya untuk kepentingan komersial. Selain mengintroduksi Tekad, Mantrust pun dikenal sebagai produsen berbagai kebutuhan ransum tentara –namun sayangnya bermutu rendah– seperti misalnya nasi goreng dalam kaleng. Mantrust pun memproduksi daging kaleng. Mutu daging kalengnya cukup bagus, namun kerap kurang teliti dalam pengawasan internal. Pernah terjadi sejumlah daging kaleng yang sudah kadaluarsa dan sempat ditarik kembali, dipasteurisasi ulang lalu diedarkan kembali dengan label baru. Ternyata, di pasaran kalengnya kembung dan bagian dalamnya mengandung karat sehingga bisa membahayakan konsumen.

Jadi memang ironis, saat lumbung negara hampir kosong, ada ‘tikus’ negara yang bukan ‘milik negara’ bersama ‘tikus’ swasta bisa gemuk dengan memanfaatkan situasi. Bahkan lebih dari sekedar memanfaatkan situasi, kerap kali BUL atau Bulog malah menyebabkan keruwetan-keruwetan dalam masalah beras karena kebijakannya yang aneh dan salah tempat maupun waktu. BUL membeli beras tanpa kenal waktu dan tanpa melihat ‘angin’. Seringkali terjadi ia memborong beras dari petani dan pasaran di musim paceklik, disaat beras di pasaran kurang. Tidak ayal lagi harga beras melonjak, seperti misalnya di tahun 1967 dan awal 1968. Sebaliknya, di saat harga sangat rendah, BUL tidak berhenti membagi-bagikan beras konsumsi pegawai negeri, pegawai perusahaan negara dan ABRI. Maka makin merosotlah harga beras, membuat petani di mana-mana menjerit. Alangkah tragisnya apa yang terjadi pada suatu ketika. Di tengah-tengah jeritan para produsen beras karena tidak bisa menjual kelebihan beras mereka (kuartal akhir 1968 dan kuartal awal 1969), BUL tidak henti-hentinya mendatangkan beras impor. Pada 14 April 1969 misalnya, dari Korea tiba 113.000 x 80 kg beras kelas menengah dengan harga tinggi. Padahal waktu itu di dalam negeri terdapat banyak kelebihan beras yang bisa dibeli dengan “harga lebih murah dengan mutu baik”. Kala itu ada gambaran bahwa BUL merupakan tempat manipulasi dan mencari keuntungan, padahal tugasnya adalah untuk menjaga stabilisasi persediaan beras dan stabilisasi harga beras. Untuk apa dana-dana yang diperoleh dengan ‘memainkan’ pasar seperti itu ? Terbetik kabar bahwa BUL menjadi penyumbang dana ‘non budgetair’ bagi kelompok-kelompok tentara dan kelompok-kelompok kekuasaan lainnya, tak terkecuali ormas dan kelompok politik tertentu.

Soeharto saat itu sebenarnya mulai dikritik oleh beberapa pers yang punya keberanian, terlalu membiarkan ‘anak buah’ yang tidak beres, seperti di Bulog atau Pertamina. Kelak memang akan terbukti, bahwa salah satu sumber kejatuhan dan kehancuran reputasi Soeharto adalah ‘kegagalan’ dalam bertindak kepada para bawahan, kawan dan kerabatnya yang melakukan kesalahan berat, penyimpangan dan korupsi. Sehingga, di bagian akhir perjalanan politik dan kekuasaannya, seluruh beban dipikulkan ke bahunya, sebagaimana yang sangat kerap dimintanya sendiri, dan lama kelamaan tercipta dan menguat image bahwa memang dia lah yang memimpin korupsi rezim. Setelah tidak lagi dalam kekuasaan formal pemerintahan, Soeharto menjadi tujuan penindakan hukum. Namun secara dramatis dan tragis Jaksa Agung Marzuki Darusman kandas, tak berhasil membawanya ke depan pengadilan, meskipun kasus korupsi sang mantan Presiden sudah mulai digelar di Pengadilan Jakarta Selatan.

Berlanjut ke Bagian 2

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (3)

Pemberantasan korupsi, tidak bisa dilakukan dengan cara tergesa-gesa”, kata Soeharto. Dan “Jangan menjebak”, ujar Soesilo Bambang Yudhoyono.

ADALAH menarik, setelah aksi mahasiswa menggugat korupsi tidak kunjung reda juga, Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh mahasiswa di Istana Merdeka pada bulan Agustus 1970. Yang hadir kebanyakan adalah tokoh-tokoh yang selama ini dikenal sebagai tokoh-tokoh ekstra universiter ex perjuangan 1966 yang berasal dari Jakarta, seperti Nono Anwar Makarim, Mar’ie Muhammad, Ridwan Saidi dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini pada umumnya tak asing lagi bagi Soeharto sebagai bekas ‘partner’ seperjuangan di tahun 1966. Dan mungkin karena itu, Soeharto bisa dengan tenang mengatakan kepada mereka, “pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara tergesa-gesa”. Bila diterjemahkan, pada dasarnya harus diartikan bahwa Soeharto tidak terlalu senang terhadap kritik-kritik anti korupsi. Dan 39 tahun kemudian, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menegaskan pentingnya upaya pencegahan korupsi agar tak lagi terjadi. Dalam pemberantasan korupsi, ia tak begitu suka satu cara ‘tertentu’: “Jangan menjebak”, ujarnya. Apakah KPK misalnya, pernah melakukannya? Tampaknya, sejauh ini KPK belum pernah tercatat ‘menjebak’ orang agar bisa ditangkap sebagai pelaku korupsi. Yang pernah dilakukan hanya sebatas ‘menjebak’ seseorang yang disangka pelaku agar bisa tertangkap.

Beberapa tokoh ex perjuangan 1966 yang masih sangat vokal dan tokoh-tokoh mahasiswa intra universiter dalam pada itu tidak ikut hadir, padahal justru pergerakan waktu itu untuk sebagian perannya telah mulai beralih ke tangan para mahasiswa intra –terutama di Bandung– sejalan dengan telah makin memudarnya pergerakan ekstra universiter yang direpresentasikan oleh meredupnya peranan KAMI. Waktu itu, memang di jalan masih bertahan sejumlah tokoh mahasiswa ex 1966, namun kebanyakan dari mereka adalah aktivis yang dikenal sebagai tokoh gerakan moral seperti Arief Budiman dan budayawan muda WS Rendra. Selebihnya, khususnya di Bandung, peranan telah beralih ke tangan generasi baru kampus.

Para aktivis kampus ini yang secara teratur dari waktu ke waktu terbaharui, memang masih menghormati para tokoh pergerakan 1966, namun tak pernah menganggap lagi mereka sebagai pemimpin. Pola hubungan yang terjadi kebanyakan adalah sekedar menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai tempat bertanya. Itu pun selektif, karena banyak diantara tokoh-tokoh itu dianggap sudah punya kepentingan pribadi dalam kekuasaan baru. Duduknya beberapa tokoh mahasiswa 1966 dalam DPRGR misalnya, telah menimbulkan sejumlah kesalahpahaman dan kekeliruan persepsi. Tapi bagi mahasiswa Bandung –dan juga beberapa kalangan mahasiswa di Jakarta dan kota-kota lainnya– tokoh pergerakan senior Rahman Tolleng mungkin merupakan perkecualian. Begitu pula terhadap Arief Budiman, secara spesifik mahasiswa Bandung menunjukkan penghargaan dan apresiasi khusus terutama kepada gerakan-gerakan moralnya.

Ke dalam institusi perguruan tinggi sendiri, sejumlah Dewan Mahasiswa –Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia dan beberapa perguruan tinggi di Yogya dan kota-kota lainnya– melakukan aksi protes terhadap kondisi belajar yang kurang memenuhi syarat. Gerakan-gerakan yang bersifat ke dalam ini, satu dan lain hal, karena mahasiswa agaknya ingin menunggu hasil kerja Komisi 4. Meskipun sebenarnya sangsi terhadap kemampuan Komisi 4, tetapi pada dasarnya mahasiswa menghargai dan menghormati tokoh-tokoh sepuh yang duduk dalam Komisi 4. Wilopo adalah tokoh nasionalis yang dihormati. Kasimo tokoh nasional yang punya reputasi baik di berbagai kalangan meskipun ia adalah juga tokoh Katolik. Begitu pula Anwar Tjokroaminoto adalah tokoh Islam yang dihargai banyak orang. Sedang Prof Ir Johannes tokoh perguruan tinggi yang sangat dihormati. Apalagi Mohammad Hatta yang merupakan salah satu proklamator. Itu sebabnya, mahasiswa mau mencoba menunggu apa yang dapat dilakukan orang-orang lurus ini.

Kampus-kampus kala itu mengalami satu situasi berupa bertambahnya terus jumlah mahasiswa yang diterima namun tidak dibarengi peningkatan fasilitas seimbang. Sementara itu, tak ada peningkatan anggaran pendidikan, bahkan dalam beberapa hal terjadi penurunan anggaran. Di luar kampus dalam pada itu, terjadi peningkatan inflasi dan peningkatan kesulitan kehidupan ekonomi, yang kontradiktif dengan munculnya segelintir orang yang berhasil menikmati pembangunan ekonomi yang mulai dilancarkan. Dan terjadinya ekses kontradiktif ini tak terlepas dari topangan sekaligus keikutsertaan unsur-unsur kekuasaan sendiri.

Ini semua tak luput dari pengamatan dan menjadi kesimpulan para mahasiswa dan sering disuarakan para mahasiswa dalam forum diskusi dan berbagai kesempatan lainnya. Fakta-fakta telanjang tentang kepincangan di masyarakat ini mengakumulasi dan siap memicu berbagai ketegangan sosial, yang kelak pada dua-tiga tahun berikutnya menimbulkan kerusuhan sosial, salah satunya di tahun 1973, Peristiwa 5 Agustus di Bandung.

Berlanjut ke Bagian 4

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (1)

TAK lebih dari sepekan setelah Pemilihan Umum Presiden 8 Juli 2009, Soesilo Bambang Yudhoyono –yang ‘dipastikan’ akan memangku jabatan presiden untuk kedua kali– menjawab kesangsian publik tentang komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan pernyataan “Tak ada yang mempunyai niat tidak baik untuk menggagalkan pemberantasan korupsi”. Ia mengucapkannya dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi, Senin 13 Juli, bersama pimpinan KPK, Kejaksaan Agung, Polri, MA, MK, BPK dan BPKP.

Penegasan tersebut penting terutama setelah belakangan ini terkesan bagi publik bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sedang digempur –untuk dilemahkan bahkan akan dimatikan– melalui momentum kasus Antasari Azhar. Kadar kecemasan cukup tinggi, karena dibandingkan dengan upaya pemberantasan korupsi di masa-masa sebelumnya, baru kali ini, dengan kehadiran KPK dengan gebrakan-gebrakannya tercipta harapan yang jauh lebih besar. Kecemasan itu, menjadi lebih tinggi, karena proses penyelesaian RUU Peradilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di DPR cenderung ditelantarkan. Bila UU itu tak berhasil diselesaikan sampai akhir masa kerja DPR periode sekarang, keberadaan lembaga peradilan Tipikor takkan berlanjut dan sekaligus akan membuat keberadaan KPK sia-sia. Semua ini mungkin saja terjadi, karena menurut pengalaman empiris masyarakat dari waktu ke waktu, sudah begitu banyak gerakan pemberantasan korupsi yang telah dipatahkan.

Seraya menunggu peristiwa lanjut apa yang akan terjadi kali ini dalam upaya pemberantasan korupsi, perlu untuk membuka kembali sejumlah lembaran sejarah gerakan anti korupsi dan kegagalan-kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia dari waktu ke waktu. Serangkaian tulisan berikut yang akan disajikan melalui media ini, diangkat dengan beberapa perubahan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004).

Dari ‘Petisi Keadilan’ hingga Partai-partai yang tak pernah memperhatikan nasib rakyat

PADA tahun 1970, terjadi banyak aksi mahasiswa yang bergerak dari kampus. Aksi-aksi mahasiswa antara lain terpicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal 1970. Diantara tema-tema yang diluncurkan mahasiswa adalah meningkatkan pembangunan dan turunkan harga. Dan tema yang kemudian menjadi tema utama adalah hapuskan korupsi, yang digemakan secara moderat pada mulanya sejak paruh akhir tahun 1969 dan makin keras pada waktu-waktu berikutnya.

‘Petisi Keadilan’ dilancarkan pada Januari 1970 oleh puluhan tokoh mahasiswa dan tokoh pergerakan senior seperti Rahman Tolleng, Roedianto Ramelan, Awan Karmawan Burhan, Chris Siner Key Timu, Rachmat Witoelar, Wimar Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Erna Walinono, Arifin Panigoro serta diselipi tokoh-tokoh mahasiswa yang lebih junior seperti Paulus Tamzil, Paskah Suzetta, Rulianto Hadinoto, Noke Kirojan, Tjupriono Priatna yang beberapa diantaranya adalah dari Studi Group Mahasiswa Indonesia –yang banyak anggotanya adalah ketua-ketua dan pengurus Dewan Mahasiswa yang ada di Bandung. Selain tokoh-tokoh junior itu tercatat keikutsertaan beberapa kalangan intelektual di antara 66 penandatangan ‘Petisi Keadilan’, seperti Dr Midian Sirait, dr MM Moeliono, Amartiwi Saleh SH, Ny Otong Kosasih, Djuchro Sumitradilaga dan tokoh senior perjuangan 1966 lainnya seperti Dedi Krishna, Alex Rumondor, Bonar Siagian, Djoko Sudyatmiko, RAF Mully, Bernard Mangunsong, Lili Asdjudiredja dan Sjahrir dari Jakarta. Beberapa nama di atas mungkin masih bisa ditemukan dalam berbagai kancah kegiatan di tanah air saat ini, sementara beberapa nama lainnya mungkin tak lagi dikenali oleh generasi baru.

Mereka mengajukan tiga pokok masalah yang mereka anggap merupakan tanda-tanda yang dapat menjadi titik tolak kegagalan usaha mengadakan pembaharuan guna memperbaiki tingkat hidup rakyat. Pertama, dalam hal pengumpulan, pemanfaatan dan pengawasan atas pendapatan dan kekayaan negara seperti minyak bumi dan sebagainya, dirasakan banyak kepincangannya. “Kekayaan berlimpah-limpah yang dinikmati sebagai hasil korupsi segelintir oknum aparatur negara di satu pihak, dan dimintanya pengorbanan lebih banyak dari rakyat dengan antara lain menaikkan harga minyak bumi dan kurang diperhatikannya kebutuhan-kebutuhan dunia pendidikan di lain pihak, dengan jelas memperlihatkan contoh kepincangan-kepincangan ini”. Yang kedua, masih dirasakan banyaknya, bahkan makin meningkatnya penyelewengan-penyelewengan dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan terutama oleh oknum-oknum aparatur negara sendiri yang tidak ditindak secara konsekuen, “telah menimbulkan rasa ketidakpercayaan di kalangan masyarakat akan itikad pemerintah untuk menegakkan kekuasaan hukum”. Lalu yang ketiga, “Pandangan hari depan perkembangan politik, tidak memperlihatkan kemungkinan perubahan ke arah peningkatan kesadaran berpolitik seluruh rakyat, dengan dipertahankannya pola kehidupan politik lama, seperti diperlihatkan dalam Undang-undang Pemilihan Umum”. Petisi ini ditujukan kepada Presiden Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru dan para pemimpin masyarakat lainnya.

Kekecewaan terhadap perkembangan negara juga ditunjukkan oleh Dewan Mahasiswa ITB, melalui suatu pernyataan yang ditandatangani Ketua Umum Sjarif Tando dan Sekertaris Umum Bambang Warih Kusuma. “Perkembangan akhir-akhir ini telah menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan masyarakat, yang tercermin dalam sikap protes mahasiswa-mahasiswa Indonesia”. DM-ITB kemudian menyimpulkan bahwa ketidakpuasan itu disebabkan oleh empat hal. “Belum adanya kesungguhan pemerintah untuk menertibkan aparaturnya terhadap ketidakberesan birokrasi dan penyalah gunaan wewenang dan korupsi”, merupakan sebab pertama. Berikutnya, yang kedua “belum terlihat kesungguhan pemerintah untuk menciptakan kehidupan sosial politik yang menjamin terlaksananya cita-cita pembaharuan yang pernah diperjuangkan”. Dan yang ketiga, “dibebankannya akibat-akibat negatif dari hal-hal tersebut kepada rakyat banyak berupa kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari”. Terakhir, yang keempat “Terhadap perbaikan dunia pendidikan yang menjadi dasar dari pembangunan masyarakat dan kehidupan negara di hari mendatang, justru tidak menjadi dasar alasan tindakan-tindakan pemerintah kini, tapi bahkan Pemilu lah yang dijadikan dasar”. DM-ITB lalu menyerukan kepada para mahasiswa untuk lebih banyak dan cermat mengikuti perkembangan situasi negara sekarang.

Sementara itu di Jakarta sejumlah aktivis, Arief Budiman dan kawan-kawan, melancarkan aksi ‘Mahasiswa Menggugat’ yang memprotes kenaikan harga minyak dan korupsi. Bersama Arief, tercatat aktivis lain seperti Sjahrir, Julius Usman dan Harry Victor D. Selain didukung oleh veteran perjuangan 1966, ‘Mahasiswa Menggugat’ sebenarnya menjadi kuat karena ditopang oleh kekuatan intra yang berasal dari kampus Universitas Indonesia, antara lain dari Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi (Tapi di UI sendiri, secara menyeluruh menurut tradisi sebenarnya intra kampus di kuasai oleh ekstra universiter. Maka apa yang terjadi di tiga fakultas ini, yang punya kemiripan dengan suasana kampus-kampus utama Bandung, merupakan sesuatu yang istimewa). Dalam aksi 15 Januari 1970 mereka mulai bergerak dari kampus Salemba dalam satu barisan sambil meneriakkan yell-yell anti korupsi dan kecaman terhadap tindakan pemerintah menaikkan harga minyak. Sambil berjalan mereka melakukan pula aksi penempelan plakat-plakat protes. “Gantung koruptor !” bunyinya salah satu plakat. Yang lainnya berbunyi, “Minyak dan Bensin naik ! Tidak semua orang bisa tertawa, memang tepat bung ! 5 % dari bangsa Indonesia yang masih sempat tertawa ! (Iya toh proff !? Quo vadis Mon General ??”, “Tuntutan Mahasiswa dan Pelajar: SOS dunia pendidikan ! Jawaban pemimpin kita: Kenaikan uang masuk/kuliah. Tidak ada fasilitas pendidikan”, “Tuntutan Rakyat: Berantas Korupsi !! Jawaban: Kenaikan harga minyak dan bensin 2 x lipat. Rakyat: Terima kasih bapak Jenderal dan Professor”. Ketika berdemonstrasi beberapa hari kemudian di Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), ‘Mahasiswa Menggugat’ mencetuskan ‘Tri Tuntutan’. Kesatu, “Berantas korupsi yang menghambat usaha pembangunan”. Kedua, “Turunkan harga minyak bumi”. Ketiga, “Jangan layani kekenesan partai-partai politik dengan Pemilu-nya”. ‘Mahasiswa Menggugat’ mengemukakan bahwa salah satu alasan kenaikan harga minyak adalah pemilihan umum. “Padahal kita tahu, pada pemilihan umum nanti yang boleh kita pilih adalah pemimpin-pemimpin partai yang dahulu berpesta pora bersama Soekarno”. Kritik tajam kepada perilaku politisi partai, juga dilontarkan oleh Imam Yudotomo mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogyakarta bersama kawan-kawannya dalam aksi ‘Pemuda Bergerak’. Terhadap wakil-wakil partai yang duduk di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mereka melontarkan kecaman, “Kepada DPRD kami menyatakan kekecewaan karena mereka kurang memperhatikan nasib rakyat” ujar Imam. Para mahasiswa Yogya ini menyampaikan bingkisan berupa gambar kapal terbang yang disertai keterangan “bisa dicicil tujuh turunan” kepada para anggota DPRD. Ini untuk menyindir pembagian skuter Lambretta kepada para anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Sindiran serupa tertuang dalam plakat “Lambretta Yes, bela rakyat No”. Yang paling mereka kecam adalah keterangan kalangan pemerintah bahwa harga minyak dinaikkan untuk keperluan pembiayaan pemilihan umum. “Tidak adil. Rakyat yang dibebani biaya untuk menaikkan orang-orang partai ke kursi-kursi empuk di DPR, sedang kita tahu bahwa pada kenyataannya partai-partai sama sekali tidak pernah menghiraukan nasib rakyat. Mereka lebih banyak membawa rakyat ke jurang penderitaan”.

Keadilan Setiap Hari, Obsesi Penegakan Hukum

Oleh Denny Kailimang

 

NILAI-NILAI kebenaran dan keadilan adalah inti etika transenden –yakni etika keilahian yang tak terjangkau pikiran manusia namun bisa dipahami sebagai etika transendental– yang melekat erat satu dengan yang lain. Kebenaran dan keadilan menjadi dasar esensial penegakan hukum dalam kehidupan bersama manusia, yaitu suatu cara menciptakan keteraturan dan untuk mendampingi kebebasan yang merupakan hak yang azasi dari setiap individu. Setiap masyarakat di dunia secara adil telah mendapat kesempatan pencerahan dari dan oleh etika transendental, sehingga dari manapun gagasan pembentukan aturan hukum, ia menjadi milik bersama karena kandungan nilai universalnya. Banyak bangsa menggunakan dengan baik peluang pencerahan dalam hidupnya untuk pencapaian lebih baik, meningkatkan harkat dan martabat. Di Indonesia, banyak momen masa merdeka telah disia-siakan. Tak terkecuali dalam pembangunan sistem hukum dan keadilan. Sebagai bangsa, kita belum berhasil merapat sedekat mungkin pada aspek keteraturan, kebenaran dan keadilan. Baik di awal kemerdekaan, maupun masa berikutnya di berbagai masa kekuasaan, hingga kini. Seluruh kurun waktu kekuasaan, menunjukkan kesamaan, menempatkan ‘sistem’ hukum sekedar  subordinasi ‘sistem’ politik dan kekuasaan.

Hakekat kebenaran dan keadilan dalam etika keilahian di posisi transenden –nun jauh di sana– memang tak mampu sepenuhnya dipahami manusia. Tetapi dengan akal budi, sebagai manusia kita bisa dari waktu ke waktu lebih mendekati pengertian kebenaran dan keadilan yang telah ditransformasikan sebagai etika transendental yang diterima universal itu. Masalahnya hanya, apakah kita mau menjadi manusia yang selamanya bebal, mengingkari keteraturan yang secara hakiki adalah sistem perlindungan kebebasan orang per orang? Secara empiris, ternyata nyaris tak ada perubahan signifikan dalam pemahaman, perilaku dan perlakuan manusia Indonesia terhadap dan atau di depan hukum, dari waktu ke waktu hingga kini. Elite tertentu dalam pemerintahan, politik dan masyarakat, terbuka atau terselubung cenderung menempatkan hukum sekedar alat kekuasaan. Para elite yang memiliki pengaruh politik dan kekuasaan, maupun mereka yang memiliki pengaruh kemasyarakatan dan keagamaan, bisa berbeda dalam banyak hal, namun bisa bersatu dalam kebersamaan perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan banyak anggota masyarakat yang kemarin menjadi korban ketidakadilan dan kriminal,  hari ini bisa berubah menjadi pelaku penginjak-injakan hukum saat ada peluang, sebagai individu ataupun dalam kerumunan massa.

Sepanjang 2008 hingga bulan-bulan awal 2009, kita mungkin bisa sedikit terhibur oleh berbagai gebrakan KPK yang kali ini terkesan lebih berani ke ‘atas’ dan merambah lebih ‘lebar’. Namun tanpa pretensi mengecilkan pencapaian KPK –dan tanpa mengaitkan dengan kasus hukum yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar SH– bila lebih cermat, kita akan melihat betapa rentetan penindakan KPK yang betapapun menarik perhatian publik, ternyata masih bagai riak kecil saja di lautan perilaku korup sepanjang yang diasumsikan publik dan indikasi kasat mata yang mungkin masih perlu ‘dibuktikan’ lanjut. Perilaku korupsi bisa terjadi di berbagai institusi pemerintahan, lembaga legislatif maupun judikatif, dunia usaha dan unsur masyarakat, sendiri-sendiri maupun dalam konspirasi kolektif. Keterlibatan penegak hukum pun, termasuk kalangan pengacara, banyak disebutkan dan digambarkan bekerja dalam satu jaringan kejahatan suap menyuap.

KPK boleh bekerja keras, begitupun Kejaksaan Agung yang belum lama ini berada dalam sorotan, tetapi dengan pengamatan lebih teliti bisa dianalisis, laju pemberantasan tetap kalah pesat oleh laju perilaku korupsi. Kehidupan politik kita sangat cepat memobilisasi rekrutmen pengisian berbagai posisi dalam kekuasaan baik di lembaga perwakilan maupun pemerintahan, terkait rangkaian pilkada yang berlangsung pekan demi pekan sepanjang tahun. Proses ini akan terhubung dengan terjadinya mutasi-mutasi posisi kekuasaan pada berbagai tingkat. Seakan berlaku adagium, posisi atau kekuasaan baru, akan berarti pula korupsi baru. ‘Pertarungan’ politik melalui pilkada memakan effort luar biasa, dengan angka rupiah yang cenderung fantastis dan deretan janji posisi dan balas jasa. Bagaimana pula nanti dalam pemilihan-pemilihan posisi tingkat nasional 2009? Bukan sekedar prasangka, tetapi secara akademis sudah bisa dibaca ke mana semua ini akan bermuara.

Sementara itu, sungguh mencemaskan bahwa penegakan hukum kita belum berhasil memasuki suatu perspektif pencegahan dan pemecahan di hulu masalah. Pencegahan memang bisa terjadi melalui contoh penindakan yang cepat dan tegas untuk menimbulkan efek jera dan rasa takut kepada mereka yang berpotensi melakukan korupsi baru dan kriminalitas lainnya karena melihat effort penegak hukum begitu kuat dan efektif. Tapi itu takkan cukup berarti bila tidak dilakukan massif dan sangat luar biasa. Selain itu, mungkin kita semua yang berkecimpung sebagai penegak hukum –hakim, jaksa, polisi dan pengacara– perlu mengundang akademisi berbagai disiplin ilmu yang bisa mengkontribusikan metodologi pemberantasan korupsi dan kejahatan pada umumnya dengan mengatasi akar-akarnya. Kontribusi akademis itu, untuk menyebut contoh, bisa dengan mengembangkan psikologi forensik, dan mengajak para sosiolog membantu menemukan akar-akar kecenderungan perilaku korup dan kriminalitas di masyarakat. Tak kalah penting, menyehatkan kehidupan politik sebagai salah satu sumber utama virus perilaku korup selama ini.

Untuk profesi pengacara, secara khusus perlu bertanya, di manakah tepatnya keberadaan para pengacara di tengah-tengah kancah semua problematika Indonesia itu? Sebagai bagian dari dinamika penegakan hukum, para pengacara seperti halnya dengan seluruh praktisi hukum lainnya, berada di atas jalan tugas yang sepenuhnya ideal dengan nilai transendental yang bersumber dari nilai-nilai keilahian: kebenaran dan keadilan. Penuh kemuliaan. Tetapi apakah kita mampu menyandang kemuliaan itu? Apakah kita tidak menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara kita, bila perlu dengan mengorbankan kebenaran dan keadilan? Apakah kita masih berpegang kepada prinsip untuk tetap menegakkan kebenaran dan keadilan walaupun langit runtuh, ataukah kita sungguh berhasrat menikmati ‘langit’ walaupun kebenaran dan keadilan harus runtuh? Apa yang lebih kita pentingkan, neraca keadilan atau neraca keuangan? Apakah kita juga telah cukup memperhatikan nasib rakyat kecil yang tertimpa musibah hukum, entah korban kekerasan, entah salah tangkap, entah salah tuduh, entah salah hukum, karena berlakunya ketidakbenaran dan ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum? Dan untuk masalah-masalah internal dunia pengacara yang kita alami belakangan ini, mampukah kita sedikit menjinakkan arogansi kita masing-masing untuk mencapai kebersamaan yang lebih baik? Kita kerap berhasil menunjukkan kemampuan menyelesaikan persoalan orang lain, apakah tidak seharusnya kita mampu pula menyelesaikan masalah kita sendiri?

Demikian sekedar penyampaian dalam beberapa pertanyaan. Mungkin terasa lebih tertuju kepada kalangan pengacara, namun pada hakekatnya untuk sebagian besar berlaku pula bagi kalangan penegak hukum lainnya, hakim, jaksa dan polisi serta pelaksana pada komisi pemberantasan korupsi. Mari kita bersama mencoba membiarkan hati nurani berbicara memberi jawaban-jawaban. Sebagai penutup, sebuah pernyataan sederhana yang semoga bisa bermakna banyak: Penegakan hukum adalah kepentingan bersama. Dengannya kita bisa mendekati cita-cita –yang mungkin saja perlu menjadi obsesi bersama– keadilan dalam kebenaran, setiap hari, bagi semua. Dalam keteraturan hukum.

Denny Kailimang SH MH, praktisi hukum di Jakarta, berprofesi sebagai pengacara.